Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
134
PENINGKATAN HASIL BELAJAR
MEMBANDINGKAN PECAHAN
MENGGUNAKAN MEDIA GARIS BILANGAN
LIMBAH TRIPLEK PADA SISWA KELAS 3
SDN BATOK 01 KECAMATAN GEMARANG
KABUPATEN MADIUN
Mohamad Ridwan
SDN Batok 01, Kec. Gemarang Kab. Madiun, Email : [email protected]
Abstrak, Hasil belajar matematika pada siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamatan
Gemarang Kabupaten Madiun, materi membandingkan pecahan semester II tahun
pelajaran 2013/2014, pada kondisi awal masih banyak dibawah KKM. Hasil belajar
siswa yang dilihat dari nilai rata-rata kelas tes individu menunjukan bahwa dari siswa
15 anak, sebanyak 11 anak tidak tuntas, dan hanya 4 anak tuntas. Hal ini disebabkan
karena kurangngya pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, tidak adanya media
belajar yang tepat, siswa masih pada tahap operasional konkret, aktifitas siswa dan guru
yang kurang optimal dalam proses pembelajaran dan penggunaan model pembelajaran
yang masih konvensional. Dengan menggunakan media belajar berupa media garis
bilangan yang terbuat dari limbah triplek, maka dilakukan Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) sebagai upaya peningkatan hasil belajar terhadap materi pelajaran tersebut.
Setelah dilakukan perbaikan pembelajaran melalui PTK selama 2 siklus, maka hasil
belajar siswa dari instrumen tes individu mengalami peningkatan. Pada siklus I nilai
rata-rata kelas dari tesindividu sebesar dengan rincian 7 siswa tuntas, dan 8 Siswa tidak
tuntas. Meningkat lagi pada siklus II dengan nilai rata-rata kelas sebesar 88,67
sebanyak 13 siswa tuntas dan 2 siswa tidak tuntas. Dengan demikian media garis
bilangan dari limbah triplek dapat meningkatkan hasil belajar membandingkan pecahan
Kata Kunci: PTK, Media Pembelajaran, Hasil Belajar.
1. Pendahuluan
Lahirnya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengubah
paradigma baru dalam proses pembelajaran di sekolah, khususnya bagi guru atau pendidik
yang mengajar di dalam kelas. Jika sebagian besar proses pembelajaran masih menggunakan
model pembelajaran konvensional, yaitu pembelajaran terpusat pada guru, siswa hanya diam
mendengarkan, mencatat dan mengerjakan tugas yang diberikan, maka dengan lahirnya UU
dan perkembangan zaman, paradigma baru telah muncul yaitu dengan model pembelajaran
modern yang berorintasikan sebuah proses pembelajaran yang terpusat pada siswa. Dalam
model pembelajaran modern ini, guru atau pendidik hanya bersifat sebagai fasilitator saja
dalam proses pembelajaran.
Kegiatan atau proses belajar mengajar di dalam kelas, tidak lepas dari berbagai masalah yang
ada. Dimuai dari keadaan kelas, psikis siswa, hingga pada hasil bekajar siswa terhadap suatu
materi pelajaran yang dismpaikan oleh guru kepada siswa. Perubahan paradigma baru
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
135
tersebut, tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan. Perlu adanya pendekatan atau
model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran yang disampaikan kepada diswa.
Pemilihan sebuah model, metode, atau media belajar yang menarik dan mudah dipahami
oleh siswa, tentunya akan membawa dampak yang baik pula terhadap hasil belajar siswa di
dalam kelas dalam memahami dan mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Beberapa mata pelajaran yang disampaikan kepada siswa tentunya mempunyai struktur dan
karakteristik yang berbeda antara pelajaran satu dan lainnya. begitu juga dengan karakteristik
siswa yang berbeda jika dilihat dari segi tingkat satuan pendidikan. Anak susia SD tentu
berbeda dengan abak seusia SMP atau SMA. Pada anak usia SD yang masih diselimuti usia
anak-anak khususnya pada kelas rendah ( kelas 1 -3 ) masih pada tahap operasional konret.
Yang artinya, proses pembelajaran masih perlu bantuan atau bimbingan dengan memberikan
contoh-contoh konkret yang mudah dipahami. Berbeda dengan anak usia SMP dan SMA
yang telah masuk pada tahap operasional abstrak.
Salah satu mata pelajaran yang mempunyai karakteristik dan ciri khusus yang memerlukan
contoh – contoh konkret adalah matematika. Mata pelajaran matematika, baik yang diberikan
pada tingkat dasar mauun menengah, memerlukan pemahaman dan logika berpikir yang
lebih optimal. Sesuai dengan salah sau cirinya, bahwa matematika terdiri dari angka, simbol
abstrak dan sebagainya, maka tidak heran jika mata pelajaran matematika untuk sebagian
besar siswa merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit dan menakutkan. Kondisi
demikian berujung pada hasil belajar siswa yang masih rendah dan tidak sedikit terjadi angka
mengulang kelas, terutama pada siswa tingkat sekolah dasar. Sesuai dengan kenyataan di
lapangan, bahwa matematika dirasa sulit dan menakutkan bagi siswa terutama untuk siswa
SD, maka guru sebagai pendidik hendaknya mempunyai suatu strategi pembelajaran, baik
berupa model, metode atau media pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran
matematika yang akan disampaikan kepada siswa.
Hasil belajar siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun
semester II tahun pelajaran 2013/2014 pada mata pelajaran matematika materi
membandingkan pecahan yang dinilai dari tes individu, sebagian besar masih dibawah KKM
yang ditentukan yaitu nilai 70, baik secara individu maupun nilai rata-rata kelas. Setelah
dilakukan rekapitulasi terhadap nilai tes individu, maka didapatkan nilai rata-rata kelas
sebesar 62,67, dengan perincian bahwa dari 15 siswa kelas III, sejumlah 4 siswa telah
memenuhi standart KKM yang ditetapkan. Namun, sebanyak 11 siswa masih mendapatkan
nilai dibawah KKM.
Berdasarkan kondisi awal nilai hasil belajar siswa tersebut, maka peneliti melakukan
perbaikan pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas (PTK) pada mata pelajaran
matematika materi membandingkan pecahan dengan alternatif pemecahan masalah
menggunakan media garis bilangan dari limbah triplek. Materi membandingkan pecahan
yang terdapat pada mata pelajaran matematika kelas III SD yang akan diteliti adalah
membandingkan pecahan sederhana mulai dari pecahan
sampai dengan pecahan
. Pada
materi ini, siswa masih merasa kesulitan dalam membandingkan pecahan antara lebih besar,
sama dengan atau lebih kecil. Hal ini karena pada penyampaian materi guru tidak
menggunakan metode dan media belajar yang tepat dalam menjelaskan dan menanamkan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
136
pemahaman konsep materi pelajaran kepada siswa, guru masih menggunakan model
pembelajaran konvensional dalam mengajar. Lebih lanjut, materi membandingkan pecahan
ini, perlu diberikan media belajar yang konkret agar siswa dapat memahami materi sehingga
hasil belajar siswa akan meningkat.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasikan beberapa
masalah dalam penelitian ini, yaitu , (1) pembelajaran yang bersifat konvensional atau
tradisional. Pembelajaran terpusat pada guru, (2) tidak digunakannya media belajar yang
konkret dalam penyampaian materi pelajaran, (3) kinerja guru yang kurang maksimal dalam
proses pembelaaran, (3) aktifitas siswa yang kurang terlibat pada proses pembelajaran di
dalam kelas, (4) rendahnya minat belajar siswa terhadap pelajaran matematika khususnya
materi membandingkan pecahan, dan (5) rendahnya nilai belajar siswa pada materi pelajaran
membandingkan pecahan tesebut. Dari beberapa identifikasi masalah diatas, dapat ditarik
beberapa analisis masalah yang dijadikan acuan dalam penelitian tindakan kelas ini, yaitu
(1) model pembelajaran yang konvensional dalam proses pembelajaran, (2) media belajar
yang belum ada dalam proses pembelajaran, (3) aktifitas siswa yang kurang maksimal, dan
(4) hasil belajar siswa pada materi membandingkan pecahan.
Dengan adanya berbagai permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini, maka dapat
dirumuskan masalah yaitu, apakah menggunakan media garis bilangan dapat meningkatkan
hasil belajar membandingkan pecahan pada siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamatan
Gemarang Kabupaten Madiun Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014?. Penelitian ini
bertujuan untuk memperbaiki kinerja dan aktfitas guru dalam proses pembelajaran dikelas,
menumbuhkembangkan minat belajar siswa melalui model, metode dan media belajar yang
interaktif dan menarik. Selain itu, tujuan pokok dari penelitian ini adalah meningkatkan hasil
belajar membandingkan pecahan pada siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamaan Gemarang
Kabupaten Madiun pada semester II tahun pelajaran 2013/2014 sesuai atau lebih besar dari
KKM yang ditetapkan.
Lebih lanjut, penelitian tindakan kelas ini pada akhirnya dapat bermanfaat bagi siswa
khususnya siswa kelas 3 SD antara lain, memberikan sajian proses pembelajaran yang
menarik, melatih siswa untuk aktif terlibat serta melatih siswa untuk lebih kreatif dan
inovatif dalam proses pembelajaran. Bagi guru penelittian ini dapat meningkatkan
profesionalitasnya sebagai seorang pendidik, meningkatkan kinerjanya dalam mengajar
siswa, mengenbangkan ide dan gagasan serta kreativitasnya dalam mengajar, khususnya di
SDN Batok 01 kecamaan Gemarang kabupaten Madiun. Sedangkan bagi sekolah, sebagai
tolok ukur dalam meningkatkan kemajuan pendidikan di sekolah, sebagai sarana dalam
meningkatkan kemampuan dan kreatifitas para gurunya, serta dapat digunakan sebagai bahan
referensi untuk penelitian lainnya. Indikator keberhasilan yang ingin dicapai pada penelitian
ini adalah, (1) jika nilai tes individu setiap siswa lebih besar atau sama dengan KKM (70)
maka dinaytakan tuntas, (2) nilai rata – rata kelas lebih besar atau sama dengan KKM 70,
maka pembelajaran dinyatakan tuntas, dan (3) tingkat ketuntasan seluruh kelas > 75 %.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
137
2. Kajian Teori
2.1. Media belajar
Media belajar dapat digunakan berbagai alat peraga sesuai dengan materi dan mata pelajaran
yang ingin disampaikan. Media belajar dapat berupa buku teks pelajaran, alat peraga, atau
audio visual. Tergantung bagaima guru memilih dan menerapkan media tersebut untuk
pembelajaran di dalam kelas. Alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran yang
diartikan sebagai semua benda (dapat berupa manusia, objek atau benda mati) sebagai
perantara di mana digunakan dalam proses pembelajaran (Sitanggang, 2013:4).
Lebih lanjut Sukayati dan Suharjana (2009) menyatakan bahwa media pembelajaran
diartikan sebagai semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran.
Berdasar fungsinya media dapat berbentuk alat peraga dan sarana. Dalam penyampaian suatu
mata pelajaran di kelas, masih banyak guru yang tidak menggunakan alat perga sebagai
media pembelajaran. Masih banyak juga guru yang menggunakan pengelolaan kelas secara
klasikal. Artinya, semua siswa diperlakukan sama untuk menerima materi pembelajaran.
Dari uraian dan pendapat beberapa ahli diatas, maka media pembelajaran atau media belajar
adalah suatu alat bantu yang digunakan oleh guru dalam memyampaikan sebuah materi
pelajaran agar siswa mampu menerima materi pelajaran dengan baik sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
2.2. Hasil Belajar
Oemar Hamalik dalam Isriyanto (2010) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah bila
seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya
dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Belajar dan
mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang
harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk pada
apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar
mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara
keduannya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses
belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil dan bisa juga melalui kreatifitas
seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar.
Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan dari guru, Dari uraian diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil penilaian guru terhadap siswa setelah
siswa menjalani berbagai uji kompetensi terkait hasil pembelajaran yang telah disampaikan
oleh guru, sedangkan hasil belajar siswa bisa berupa instrumen tes tulis baik kelompok
maupun individu, tes lisan, observasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini, maka hasil
belajar siswa didasarkan pada perolehan penilaian atau skor akhir dari tes tertulis yang
diberikan oleh peneliti atau guru setelah menyampaikan materi pembelajaran matematika
materi membandingkan pecahan sederhana. Dalam hasil belajar ini akan dilihat berapa siswa
yang tuntas maupun tidak tuntas dalam mengikuti proses pembelajaran matematika dengan
acuan KKM yang ditetapkan yaitu 70.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
138
2.3. Matematika
Musetyo (2013) menyatakan bahwa matematika mempunyai ciri – ciri yaitu a) abstrak, b)
dedukif, c) konsisten, d) hierarkis dan d) logis. Lebih jauh Sumardyono (2004) menyebutkan
bahwa matemtika mempunyai karakteristik sebagai a) memiliki kajian objek yang abstrak, b)
bertumpu pada kesepakatan, c) berpola pikir deduktif, d) konsisten dalam sistemnya, e)
memiliki simbol yang kosong dari arti, f) memperhatikan semesta pembicaraan.
Dengan demikian maka matemtika dapat disimpulkan sebagai mata pelajaran yang bersifat
abstrak, konsisten, deduktif, konsiten dan memiliki simbol–sombol dari arti. Sehingga pada
pembelajaran matemtika khususnya di jenjang sekolah dasar memerlukan sebuah strategi
dan model pembelajaran yang mudah diserap dan dipahami oleh peserta didik. Dalam
penelitian ini, fokus penelitian pada materi membandingkan bilangan pecahan sederhana
pada mata pelajaran matematika kelas III sekolah dasar.
2.4. Media Garis Bilangan Limbah Triplek
Media belajar ini merupakan modifikasi dan pengembangan dari cara membandingkan
pecahan menggunakan garis bilangan. Jika menggunakan garis bilangan yang terdapat pada
buku ataupun siswa membuat, menggambar garis bilangan masih banyak kelemahan, maka
media ini membantu siswa untuk memahami konsep sekaligus meningkatkan hasil
belajarnya pada materi membandingkan pecahan sederhana. Media Garis Bilangan pecahan
ini terbuat dari limbah triplek dengan ukuran 20 cm x 2,5 cm. Dengan disertai gambar
geometri, maka media ini merupakan bentuk konkret dari garis bilangan untuk
membandingkan pecahan.
Penggunaan media garis bilangan limbah triplek ini dengan menysuun dua atau lebih garis
bilangan sesuai dengan pecahan yang akan dibandingkan. Kemudian menbandingkan
pecahan dengan ketentuan jika pecahan berada di sebelah kiri pecahan lain, maka pecahan
bernilai lebih kecil dengan simbol ” < “, sedangkan bila berada si belah kanan pecahan
lainnya maka pecahan tersebut bernilai lebih besar “> “, dan apabila pecahan tersebut sejajar
lurus ke bawah dengan pecahan lain, maka bernilai sama besar dengan simbol “=”.
Gambar 1. Contoh penggunaan media garis bilangan triplek pada pecahan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
139
3. Metode
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan di SDN Batok 01 Kecamatan Gemarang
Kabupaten Madiun, dengan populasi seluruh siswa kelas III sejumlah 15 anak terdiri dari 10
siswa laki-laki dan 5 siswa perempuan. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu selama 3 bulan
dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun 2014, pada kurun waktu
semester II tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini terdiri dari 2 siklus, setiap siklus terdiri
dari 1 x pertemuan masing-masing pertemuan menggunakan alokasi waktu 3 x 35 menit ( 3
jam pelajaran ). Agar tidak mengganggu kegiatan proses belajar mengajar di sekolah, maka
pelaksanaan setiap siklus disesuaikan dengan jadwal yang sudah ada. Siklus I dilaksanakan
pada tanggal 17 Februari 2014 dan siklus II pada tanggal 06 Maret 2014.
PTK yang dilakukan adalah PTK Kolaboratif yakni peneliti bekerjasama dengan teman
sejawat yang bertindak sebagai observer. Observer membantu peneliti dalam melaksanakan
penelitian termasuk didalamnya memantau, mengamati dan memberikan masukan serta
kesimpulan di setiap siklus penelitian. PTK yang dilaksanakan ini mengacu pada jenis PTK
Kemmis & Mc Taggart (1998), yang terdiri dari empat tahapan untuk setiap siklusnya yaitu
perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi dari hasil penelitian setiap siklus untuk
dijadikan tolok ukur dan tindak lanjut serta mengambil kesimpulan dari hasil penelitian.
Instrumen dalam pengumpulan data yang digunakan dalam peneneitian ini berupa lembar
observasi dan lembar tes individu. Lembar observasi digunakan oleh observer untuk
mengamati, memantau dan mencatat serta memberikan masukan terkait proses pembelajaran
yang telah dilaksanakan.terdiri dari beberapa indikator yang telah disesuaikan dan disepakati
bersama dengan observer. Lembar tes individu digunakan untuk mengukur dan melihat hasil
belajar siswa setiap siklusnya. Hasil nilai dari tes ini, akan dibandingkan dengan indikator
kberhasilan sebelumnya, untuk selanjutnya diambil kesimpulan terhadap proses pembelaaran
berlangsung. Tes individu berisi 20 soal isian dimana jawaban yang akan digunakan hanya
berupa tanda > (lebih besar), = (sama dengan) atau < (lebih kecil) diantara dua pecahan yang
disajikan dalam soal.
Analisis data terhadap instrumen yang ada, menggunakan teknik analisis data kalitatif dan
kuantitatif. Tehnik analissi data kualitatif digunakan pada lembar observasi yang ada dengan
memberikan tanda ceklist (√ ) pada kolom yang sudah disediakan. Selanjutnya, observer
akan memberikan kesimpulan terhadap PTK yang dilakukan dengan memberikan catatan
atau komentar deskriptif. Sedangkan teknik analisisi tes ini, berupa teknik analisis data
kuantitif dimana pengolahan dan penyajian data menggunakan perhitungan dan kriteria
penilaian berupa tes indiviu didasarkan pada skor yang diperoleh terhadap beberapa soal
pertanyaan tersebut. Setiap nomor atau jawaban benar maka mendapatkan nilai 1, sedangkan
jawaban salah mendapatkan nilai nol ( 0 ). Nilai akhir (NA) yang digunakan sebagai tolok
ukur ketuntasan siswa menggunakan rumus :
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
140
Selanjutnya untuk menghitung nilai rata – rata kelas digunakan rumus :
Dimana adalah rata-rata kelas, adalah jumlah nilai akhir seluruh siswa, adalah
jumlah seluruh siswa kelas 3. Sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditentukan
sebelumnya, maka jika NA≥70 maka siswa dinyatakan tuntas, jika > 70 maka proses
pembelajaran dinyatakan tuntas dengan prosenstasi siswa tuntas minimal sebanyak 75 % dari
seluruh siswa kelas III.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Deskripsi per Siklus
Kondisi awal sebelum penelitian atau pra siklus, nilai rata-rata kelas hasil belajar yang
diperoleh dari tes individu pada materi membandingkan pecahan sebesar 62,67 dengan
perincian bahwa dari 15 siswa, sebanyak 4 siswa (27%) sudah tuntas dan sebanyak 11 siswa
(73%) tidak tuntas. Dengan melihat hasil tersebut, maka perlu diadakan perbaikan
pembelajaran menggunakan media garis bilangan dari limbah triplek.
Berdasarkan hasil pembelajaran pada kondisi awal tersebut (pra siklus), maka dilaksanakan
perbaikan pembelajaran sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Penggunaan media
garis bilangan limbah triplek diterapkan pada proses pembelajaran siklus I. Hasil belajar
siklus I setelah menggunakan media garis bilangan limbah triplek, menunjukkan bahwa dari
15 siswa, sebanyak 7 siswa (47%) sudah tuntas dan sebanyak 8 siswa (53%) tidak tuntas.
Nilai rata-rata kelas yang diperoleh sebesar 68,33.
Hasil perbaikan pembelajaran pada siklus II dengan menggunakan media garis bilangan
limbah triplek, nilai rata-rata kelas 88,67 dengan rincian sebanyak 13 siswa (87%) tuntas
sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu > KKM. Sedangkan 2 siswa
(23%) tidak tuntas karena memperoleh nilai dibawah KKM dan memang mempunyai
prestasi rendah dan faktor lain yang tidak diteliti dalam PTK.
4.2. Pembahasan
Hasil nilai belajar yang dilihat dari nilai rata-rata seluruh kelas mengalami peningkatan pada
setiap siklusnya dibandingkan dengan nilai rata-rata pada kondisi awal atau pra siklus. Pada
kondisi awal (pra siklus) nilai rata-rata kelas sebesar 62,67 dengan tingkat ketuntasan sebesar
27 % ( 4 siswa ). Tidak adanya media belajar sebagai alat bantu dalam memperjelas materi
yang disampaikan merupakan faktor utama nilai hasil belajar siswa masih dibawah KKM
selain kinerja guru yang kurang maksimal dan model pembelajaran yang masih konvensional
tersebut. Setelah dilakukan kajian bersama dengan teman sejawat, maka akan dilakukan
perbaikan pembelajaran selama dua siklus. Melalui empat tahapan dalam PTK yaitu
perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi, maka hasil pembelajaran matematika materi
membandingkan pecahan mengalami peningkatan.
Pada siklus I, siswa diberikan media garis bilangan limbah triplek, guru menjelaskan tentang
cara mempergunakan, dan berdiskusi mengerjakan soal kelompok, terlihat siswa semakin
antusias dan berminat mengikuti proses pebelajaran matematika. Dengan bantuan media ajar
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
141
berupa garis bilangan limbah triplek tersebut, siswa semakin kreatif dan paham bagaimana
membandingkan pecahan dengan memasangkan 2 buah garis bilangan pecahan yang akan
dibandingkan. Namun demikian masih ada beberapa siswa yang kesulitan dalam
menggunakan alat peraga, masih ada beberapa siswa yang ramai dan gaduh saat guru
berkeliling membantu siswa atau kelompk lain, kinerja gurupun dalam membimbing siswa
kurang maksimal, guru belum banyak melibatkan siswa dalam pemecahan masalah,
pembelajaran masih dominan menggunakan ceramah dan guru banyak memberikan jawaban
alternatif dibandingkan siswa yang menjawab pertanyaan. Peningkatan hasil belajar siswa
dilihat dari nilai rata-rata kelas sebesar 9 % atau menjadi 68,33 dengan tingkat ketuntasan
sebesar 47%. ( 7 siswa ). Sesuai dengan indikator keberhasilan, maka pembelajaran siklus I
dinyatakan belum tuntas dan perlu perbaikan dan peningkatan pada siklus selanjutnya.
Hasil refleksi yang telah dilakukan setelah pelaksanaan siklus I, maka proses perbaikan
pembelajaran dilanjutkan pada siklus II. Pada siklus II ini tahapan proses pembelajaran
mengacu pada RPP yang telah disusun sebelumnya, dan tidak berbeda dengan siklus I.
Proses pembelajaran di dalam kelas, berdasarkan pengamatan observer sudah mengalami
peningkatan yang signifikan dibandingkan pada kondisi awal (pra siklus) dan siklus I.
Aktifitas siswa sudah terlihat meningkat dalam mengikuti semua proses pembelajaran di
dalam kelas. Siswa semakin aktif dan antusias dalam menjawab pertanyaan atau soal yang
diberikan. Hal ini dikarenakan siswa sudah mulai terbiasa dan mengerti bagaimana cara
mempergunakan media belajar berupa media garis bilangan limbah triplek yang dibagikan
oleh guru untuk setiap kelompoknya. Kinerja guru pada siklus II ini juga sudah mengalami
peningkatan. Guru menjelaskan kepada siswa secara runtut, sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator saja. Guru sudah banyak
melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa lebih banyak diminta mempraktekan ke
depan kelas dengan menggunakan alat peraga media garis bilangan limbah triplek.
Lebih lanjut, guru menyampaikan kepada siswa jika dalam proses pembelajaran tidak ada
alat peraga yang sejenis, siswa dapat menggunakan kertas berpetak karena pembagian dan
garis bilangan yang dibuat akan lebih mudah dibagi atau dipecah. Hasil belajar siswa siklus
II dilihat dari nilai rata-rata kelas tes individu, maka hasil yang didapat mengalami kenaikan
sebesar 30% menjadi 88,67 dengan tingkat ketuntasan naik sebesar 86 % dari siklus I
menjadi 86 % ( 13 siswa ). Berdasarkan hasil pembelajaran siklus II tersebut, maka sesuai
dengan indikator keberhasilan yang telah ditentukan, pembelajaran siklus II dinyatakan
sebagai siklus pemantapan dan penelitian berhenti pada siklus II. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat perbandingan ketuntasan pada tabel dan grafik dibawah ini.
Tabel 1. Jumlah Ketuntasan per Siklus
No Ketuntasan Siklus
Pra I II
1 Tidak Tuntas 11 8 2
2 Tuntas 4 7 13
3 Jumlah 15 15 15
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
142
Gmbar 2. Grafik Jumlah Ketuntasan per Siklus
Sedangkan nilai rata-rata kelas per siklus dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2. Nilai Rata-rata Kelas per Siklus
Nilai Rata-rata Kelas
Pra Siklus Siklus I Siklus II
62,67 68,33 88,67
Gambar 3. Perbandingan Nilai Rata-rata Kelas per Siklus
5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan selama dua siklus,
maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model , media dan metode
pembelajaran yang menarik dapat membuat aktifitas belajar siswa tumbuh dan meningkat
sehingga hasil belajar siswa sesuai dengan yang diharapkan. Lebih lanjut sesuai dengan
tujuan penelitian maka media garis bilangan limbah triplek dapat meningkatkan hasil belajar
11
8
2
4
7
13
0
3
6
9
12
15
1 2 3 (1) Pra Siklus, (2) Siklus I, (3) Siklus II
Tidak Tuntas
Tuntas
62.67 68.33
88.67
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Pra Siklus Siklus I Siklus II
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
143
membandingkan pecahan pada siswa kelas 3 SDN Batok 01 Kec. Gemarang Kab. Madiun
semester II tahun pelajaran 2013/2014.
5.2. Saran
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran matematika khusunya
untuk tingkat SD, para guru atau pendidik dapat mempergunakan alat perga atau media
belajar sebagai alat bantu dalam menyampaikan materi pelajaran, salah satunya dengan
menggunaan media garis bilangan limbah triplek pada materi membandingkan pecahan kelas
III Sekolah Dasar.
Daftar Pustaka
Dirjendikdas.(2009). Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di SD. Jakarta. Depdiknas.
Mujiyani Yustina, (2012). Peningkatan Prestasi Belajar Pecahan Menggunakan Media Garis
Bilangan Pecah pada Siswa Kelas III SD Tampirwetan Kecamatan Candimulyo
Kabupaten Magelang Tahun 2011–2012. Yogyakarta. Jurnal UNY Vol. I No. 1 Tahun 2012
Sitanggang, A. (2013). Alat Peraga Matematika Sederhana Untuk Sekolah Dasar. Sumatera Utara.
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.
Sukayati. (2003). Pecahan. Yogyakarta. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar Dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPG) Matematika..
Supinah, dkk (2009). Strategi Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Sleman. PPPTK
Matemtika.
Taufik, Agus. (2012). Pendidikan Anak di SD. Jakarta. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Untung. (2010). Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Dasar Bilangan Pecahan Menggunakan
Model Pembelajaran Kontekstual Pada Siswa Kelas III SD Negeri Guci 01, Kecamatan
Bumijawa,Kabupaten Tegal Tahun Ajaran 2009/2010. Penelitian Tindakan Kelas. Surakarta.
FIKIP UNS.
Wardhani.dkk (2011). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
144
PENINGKATAN HASIL BELAJAR
PROGRAM LINEAR MELALUI STRATEGI
PEMBELAJARAN INKUIRI DAN GEOGEBRA SISWA KELAS XII IPA1 SMA N 1 TOMPOBULU
Sulfiaty Idris
SMA Negeri 1 Tompobulu, Perm.Saumata Indah Blok I no 19
Kecamatan Somba Opu,
Kabupaten Gowa; [email protected]
Abstrak. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk
meningkatkan hasil belajar Program Linear melalui Strategi Pembelajaran Inkuiri dan
aplikasi GeoGebra Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu pada semester
ganjil tahun pelajaran 2013/2014, dengan jumlah siswa sebanyak 28 orang. Siklus I
dilaksanakan selama 5 kali pertemuan dan Siklus II juga dilaksanakan selama 5 kali
pertemuan termasuk pemberian akhir tes Siklus I dan tes Siklus II. Pengambilan data
dilakukan dengan menggunakan tes hasil belajar dan lembar observasi. Data yang
terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa: (1). Nilai rata-rata hasil belajar Siswa Kelas XII
IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulutes akhir siklus I adalah 59,14 dengan kategori sedang
sedangkan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus II adalah 73,64 dengan kategori
tinggi dan (2). Hasil belajar siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu pada
siklus I ke siklus II mengalami peningkatan melalui strategi pembelajaran inkuiri dan
aplikasi GeoGebra.
Kata Kunci. Hasil Belajar, Program Linear, Inkuiri, GeoGebra
1. Pendahuluan
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan
formal memegang peranan penting, karena matematika merupakan sarana berpikir ilmiah
yang sangat mendukung untuk mengkaji IPTEK. Realisasi pentingnya pelajaran matematika
diajarkan pada peserta didik, tercermin pada ditempatkannya matematika sebagai salah satu
ilmu dasar untuk semua jenis dan jenjang pendidikan.
Dalam pembelajaran matematika banyak guru yang mengeluhkan rendahnya kemampuan
siswa dalam menyelesaikan soal matematika. Hal ini terlihat dari banyaknya kesalahan siswa
dalam mengerjakan soal dan rendahya prestasi belajar siswa (nilai) baik dalam ulangan
harian, ulangan semester, maupun UN. Padahal dalam pelaksanaan proses pembelajaran di
kelas biasanya guru memberikan tugas secara kontinyu berupa latihan soal. Tetapi ternyata
latihan tidak sepenuhnya dapat meningkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah
matematika.
Berdasarkan pengalaman mengajar, program linear merupakan salah satu materi matematika
yang sulit dipahami siswa. Ini terkait materi prasyarat yang harus dikuasai siswa untuk
mempelajari program linear. Misalnya sistem persamaan dan pertidaksamaan linear. Siswa
kadang berdalih mengatakan bahwa materi prasyarat belum dipahami padahal materi itu
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
145
sebenarnya telah ada di jenjang sebelumnya (SMP). Namun yang paling dominan muncul
adalah kesulitan siswa dalam memahami soal cerita sehingga berakibat pada rendahnya nilai
hasil tes mereka. Hal ini dibuktikan dengan hasil tes materi program linear pada siswa kelas
XII IPA SMA Negeri 1 Tompobulu tahun pelajaran 2012/2013 dengan nilai rata-rata 53.
Strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankankan
pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri
jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Strategi pembelajaran ini dimaksudkan
untuk lebih memberikan kesempatan yang luas kepada siswa agar merasa ikut ambil bagian
dan berperan aktif dalam proses belajar mengajar untuk mengatasi masalah atau
menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru.
Selain itu, model pembelajaran yang dapat meningkatkan motifasi belajar siswa adalah
pembelajaran berbasis komputer. Karena dengan komputer, penyajian materi pelajaran dapat
ditampilkan lebih menarik dengan berbagai modifikasi program yang ada. Misalnya saja
tampilan power point dengan animasi yang beragam akan membawa pembelajaran lebih
menyenangkan bagi siswa. Hal ini tentu saja akan meningkatkan perhatian dan konsentrasi
belajar mereka.
GeoGebra adalah salah satu software komputer untuk pendidikan matematika. Software ini
dapat digunakan untuk belajar (visualisasi, komputasi, ekplorasi dan eksperimen) dan
mengajar materi geometri, aljabar, dan kalkulus. Hal paling sederhana yang dapat dilakukan
dengan GeoGebra adalah menggambar titik, ruas garis, vektor, garis, poligon, irisan kerucut,
dan kurva dua dimensi. Program linear merupakan salah satu materi matematika yang dapat
diselesaikan dengan pemanfaatan GeoGebra. Mulai dari persamaan linear dua variabel,
pertidaksamaan linear sampai kepada penyelesaian optimalisasi dengan metode uji titik
pojok atau dengan garis selidik.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dalam penelitian ini diterapkan Strategi
Pembelajaran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra dalam pembelajaran program linear untuk
meningkatkan hasil belajar Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu. Adapun
manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1)Bagi siswa. diharapkan dengan
penggunaan Strategi Pembelajaran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra khususnya pada materi
program linear dapat memperoleh hasil yang lebih baik. 2)Bagi guru, hasil penelitian ini
dapat menjadi masukan atau bahan pertimbangan alternatif pembelajaran untuk mata
pelajaran matematika sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa. 3)Bagi sekolah, hasil
penelitian ini memberikan sumbangan yang baik kepada sekolah dalam rangka perbaikan
pembelajaran guna meningkatkanhasil belajar siswa sehingga dapat menopang pencapaian
target yang diharapkan.
2. Kajian Teori
2.1. Hasil Belajar
Hasil belajar siswa dapat diukur dengan menggunakan alat evaluasi yang biasanya disebut
tes hasil belajar sedangkan hasil belajar matematika yang dikemukakan oleh Hudoyo (1990)
adalah tingkat keberhasilan atau penguasaan seorang siswa terhadap bidang studi
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
146
matematika setelah menempuh proses belajar mengajar yang terlihat pada nilai yang
diperoleh dari tes hasil belajarnya.
Adapun Soedijarto (Masnaini, 2003) menyatakan bahwaHasil belajar adalah tingkat
penguasaan yang dicapai oleh pelajar dalam mengikuti program belajar mengajar sesuai
dengan tujuan pendidikan. Hasil belajar dalam kerangka studi ini meliputi kawasan kognitif,
afektif, dan kemampuan/kecepatan belajar seorang pelajar. Sedangkan Keller (Abdurrahman,
1999), mengemukakan hasil belajar adalah prestasi aktual yang ditampilkanoleh anak, hasil
belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha (perbuatan yang terarah pada penyelesaian tugas-
tugas belajar) yang dilakukan oleh anak.
Hasil belajar siswa dapat diukur dengan menggunakan alat evaluasi yang biasanya disebut
tes hasil belajar sedangkan hasil belajar matematika yang dikemukakan oleh Hudoyo (1990)
adalah tingkat keberhasilan atau penguasaan seorang siswa terhadap bidang studi
matematika setelah menempuh proses belajar mengajar yang terlihat pada nilai yang
diperoleh dari tes hasil belajarnya.
Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah tingkat keberhasilan dalam
menguasai bidang studimatematika setelah memperoleh pengalaman atau proses belajar
mengajar dalam kurun waktu tertentu yang akan diperlihatkan melalui skor yang diperoleh
dalam tes hasil belajar. Hasil belajar matematika dalam penelitian ini merupakan kecakapan
nyata yang dapat diukur langsung dengan menggunakan tes hasil belajar matematika.
Kecakapan tersebut menyatakan seberapa jauh atau seberapa besar tujuan pembelajaran atau
instruksional yang telah dicapai oleh siswa dalam belajar matematika.
2.2. Program Linear
Pemecahan masalah dengan rumusan program linear ditemukan oleh seorang
matematikawan Rusia L.V. Kantorovich pada 1939 (Khairuddin, 2012). Ketika itu
Kantorovich bekerja untuk Kantor Pemerintah Uni Soviet. Ia diberi tugas untuk
mengoptimalkan produksi pada industri plywood. Ia kemudian muncul dengan teknik
matematis yang dikenal sebagai pemrograman linear. Seorang matematikawan Amerika
George Bernard Dantzig secara independen juga mengembangkan pemecahan masalah
tersebut, di mana hasil karyanya pada masalah tersebut pertama kali dipublikasikan pada
tahun 1947. Ketika itu tahap-tahap yang dilakukan dalam modelisasi dan optimasi solusi
suatu masalah meliputi (1) pendefinisian masalah, (2) merumuskan model, (3) memecahkan
model, (4) pengujian keabsahan model dan (5) implementasi hasil akhir.Program linear
(linear programming) merupakan model optimasi persamaan linear yang berkenaan dengan
masalah-masalah pertidaksamaan linear, Masalah program linear berarti masalah nilai
optimum (maksium atau minimum) sebuah fungsi linear pada suatu sistem pertidaksamaan
linear yang harus memenuhi optimasi fungsi objektif.
2.3. Strategi Pembelajaran Inkuiri
Strategi Pembelajaran inkuiri (SPI) adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang
menekankankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berfikir itu
sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi pembelajaran
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
147
ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu
heuriskein yang berarti saya menemukan (Sanjaya, 2008).
Menurut Gulo (2002) dalam Trianto (2010), menyatakan strategi inkuiri berarti suatu
rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa
untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka
dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Strategi pembelajaran ini menekankan pada proses mencari dan menemukan. Jerome
S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat,
mengemukakan bahwa belajar dengan menggunakan metode penemuan memberikan hasil
yang baik sebab anak dituntut untuk berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah
serta pengetahuan yang menyertainya. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung,
peran siswa dalam strategi ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran
sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing untuk belajar (Sanjaya, 2010).
Secara umum proses pembelajaran dengan menggunakan Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI)
dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1) orientasi, 2) merumuskan masalah, 3)
merumuskan hipotesis, 4) mengumpulkan data, 5) menguji hipotesis, dan 6) merumuskan
kesimpulan.
2.4. GeoGebra
GeoGebra = Geometri + Aljabar. Oleh pengembangnya, GeoGebra diberi sebutan Dynamic
Mathematics for Schools (Sahid dalam Idris, 2013), maksudnya sebagai software untuk
mengerjakan matematika secara dinamis di sekolah. Semula GeoGebra ditulis oleh Markus
Hohenwarter(sejak 2001) dari Universitas Atlantik di Florida (FAU), kemudian secara
bersama-sama oleh Yves Kreis (Universitas Luxembourg, sejak 2005), Loic Le Coq
(Perancis, 2006), Joan Carles Naranjo, Victor Franco, Eloi Puertas (Universitas Barcelona,
2007), dan Philipp Weissenbacher (Austria, 2007). Antarmuka GeoGebra sudah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Pengembangan
software GeoGebra didukung oleh bergai pihak, baik individu maupun lembaga serta
menggunakan software-software pendukung gratis lain.
Dalam pembelajaran (TIM, 2013), GeoGebra dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,
misalnya:1)Membuat dokumen terkait pembelajaran matematika, misalnya untuk penyiapan
bahan ajar, modul belajar, makalah, bahan presentasi dll. Sebagai contoh GeoGebra
digunakan untuk melukis bangun geometri. Gambar yang dihasilkan ini dapat disalin ke
aplikasi lain semisal ke aplikasi pengolah kata (misalnya MS Word), aplikasi presentasi
(misalnya MS Powerpoint), atau aplikasi lain untuk diolah lebih lanjut. 2)Membuat media
pembelajaran atau alat bantu pengajaran matematika. Media ini dapat digunakan untuk
menjelaskan konsep matematika atau dapat juga digunakan untuk eksplorasi, baik untuk
ditayangkan di depan kelas oleh guru atau siswa bereksplorasi menggunakan komputer
sendiri. 3)Membuat lembar kerja digital dan interaktif. 4)Menyelesaikan atau mem-verifikasi
permasalahan matematika. Dalam hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengecek jawaban soal.
Namun, perlu diperhatikan bahwa siswa jangan diarahkan untuk mencari jawaban dengan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
148
GeoGebra tapi lebih kepada mengecek jawaban, penekanannya adalah kepada proses yang
benar.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang terdiri dari
beberapa tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi.Subjek
dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA1 SMAN 1 Tompobulu sebanyak 28 orang,
pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014.
Penelitian tindakan kelas (PTK) dilaksanakan sebanyak dua siklus yaitu dengan siklus I
sebanyak 5 kali pertemuan dan siklus II sebanyak 5 pertemuan dengan masing-masing 4 kali
pertemuan pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra
dan 1 kali pertemuan untuk tes di akhir siklus.
Gambaran umum prosedur penelitian untuk tiap siklus adalah sebagai berikut:
Tahap Perencanaan
Hal-hal yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah: (1) menelaah kurikulum matematika
SMA kelas XII IPA, (2) menyusun alokasi waktu penelitian dan menyiapkan bahan ajar, (3)
membimbing siswa untuk menginstal GeoGebra pada laptop mereka, (4) membuat RPP,
lembar observasi dan tes akhir siklus.
Tahap Tindakan
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah: (1) melaksanakan pembelajaran sesuai
dengan RPP yang menerapkan Strategi Pembelajran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra dengan
model pembelajaran kooperatif (2) melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran di
kelas serta respon yang diberikan siswa serta menganalisis hasil belajar yang diperoleh.
Tahap Observasi
Pada tahap ini observasi dilakukan terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan
lembar observasi yang telah dipersiapkan dengan mencatat semua kejadian yang terjadi
dalam pelaksanaan tindakan serta pada saat mengadakan evaluasi.
Tahap Refleksi
Hasil yang diperoleh dari tahap obervasi dan evaluasi kemudian dianalisis pada tahap ini,
untuk melihat apakah kegiatan yang dilakukan telah dapat meningkatkan hasil belajar
matematika dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra. Pada
tahap ini dilihat sampai dimana faktor-faktor yang diselidiki telah dicapai. Hal-hal yang
dipandang masih kurang akan ditindak lanjuti pada siklus II dengan menggunakan keempat
tahap seperti pada siklus I dan memberikan model tindakan yang lebih memperbaiki dengan
tetap mempertahankan apa yang sudah baik.
Jenis data yang didapatkan adalah data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes hasil belajar
dan data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi tentang kondisi pelaksanaan
pembelajaran.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
149
Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data mengenai
hasil belajar siswa dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan analisis deskriptif yang
terdiri atas rataan (mean), rentang, median, standar deviasi, nilai maksimum dan nilai
minimum yang diperoleh.Adapun teknik analisis data kualitatif adalah dengan menggunakan
hasil observasi.
Kriteria yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah teknik kategorisasi standar yang
ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Nuramar, 2006) sebagai berikut:
Tabel.1.Kriteria Analisis Kuantitatif
Skor Kategori
0 – 34 Sangat Rendah
35 – 54 Rendah
55 – 64 Sedang
65 – 84 Tinggi
85 – 100 Sangat Tinggi
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada siklus I hasil belajar siswa diukur dari hasil tes hasil belajar program linear yang
diberikan di akhir siklus. Hasil analisis deskriptif skor siswa yang diperoleh setelah
dilaksanakan pembelajaran dengan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi geogebra
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Statistik Skor Tes Hasil Belajar Program LinearSiklus I
Statistik Nilai
Subjek 28
Skor Ideal 100
Skor Tertinggi 97
Skor Terendah 26
Rentang Skor 71
Skor Rata-rata 59,14
Median 58,50
Standar Deviasi 24,31
Jika skor hasil belajar matematika siswa dikelompokkan ke dalam skala lima, maka
distribusi skor siswa seperti adalah sebagai berikut:
Tabel 3.Distribusi Frekuensi Kriteria Tes Hasil Belajar Program Linear Siswa Siklus I.
No. Skor Kategori Frekuensi Persentase (%)
1. 0 - 34 Sangat Rendah 7
7
25,00
2. 35 – 54 Rendah 6 21,43
3. 55 – 64 Sedang 2 7,14
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
150
4. 65 – 84 Tinggi 8 28,57
5 85 – 100 Sangat Tinggi 5 17,86
Jumlah 28 100
Dari catatan hasil observasi selama siklus I diperoleh bahwa:
a. Umumnya siswa belum mampu mengkonstruksi sendiri ide-ide atau pengetahuan yang
dimiliki untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang diberikan.
b. Meskipun pada awalnya guru telah memberikan arahan cara-cara menyelesaikan LKS
dan menjelaskan intisari materi yang ingin dipelajari, namun siswa tetap bingung
menyelesaikan pertanyaan dari LKS yang diberikan.
c. Hampir semua kelompok selalu bertanya dan meminta bimbingan yang penuh dalam
mengaplikasikan Geogebra dan menyelesaikan LKS, sehingga untuk membimbing
semua kelompok memerlukan waktu yang banyak, sementara waktu yang tersedia
terbatas.
d. Pada saat berlangsungnya belajar kelompok terdapat beberapa siswa dari kelompok
tertentu yang hanya berbincang-bincang di luar masalah diskusi, ada pula yang
melakukan pekerjaan lain di laptop mereka semisal main game, facebookan dan melihat-
lihat foto.Yang paling antusias menyelesaikan tugas dalam setiap kelompok rata-rata
hanya 2-3 siswa. Mereka adalah siswa-siswi yang memang kemampuan awalnya
tergolong tinggi, yang lain hanya berpartisipasi saja, tetapi masih ada juga siswa yang
pura-pura ikut aktif apabila diawasi oleh peneliti atau observer.
e. Dalam hal merangkum atau menyimpulkan materi, siswa masih takut mengeluarkan
pendapat serta cara penyampaian dan isi rangkuman belum terlalu tepat.
Sedangkan hasil analisis deskriptif tes hasil belajar program linear setelah dilaksanakan
pembelajaran dengan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra pada siklus II
adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Statistik Skor Tes Hasil Belajar Program Linear Siswa Siklus II
Statistik Nilai Statistik
Subjek 28
Skor Ideal 100
Skor Tertinggi 100
Skor Terendah 35
Rentang Skor 65
Skor Rata-rata 73,64
Median 69,00
Standar Deviasi 18,24
Apabila skor tes hasil belajar matematika siswa pada Siklus II
dikelompokkan ke dalam skala lima maka distribusi skor hasil belajar matematika
siswa dapat dilihat pada Tabel berikut:
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
151
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kriteria Tes Hasil Belajar Program Linear Siswa Siklus II
No. Skor Kategori Frekuensi Persentase
1. 0 - 34 Sangat Rendah 0
1
0,00
2. 35 – 54 Rendah 4 14,29
3. 55 – 64 Sedang 2 7,14
4. 65 – 84 Tinggi 12 42,86
5 85 – 100 Sangat Tinggi 10 35,71
Jumlah 28 100.00
Dalam siklus II ini, lembar observasi yang digunakan sama dengan di siklus I menyangkut
aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Beberapa perubahan tidakan yang dilakukan
adalah upaya perbaikan berdasarkan refleksi dari siklus I diantaranya: (1) dilakukan
pergantian anggota kelompok tanpa mengubah struktur kelompok, (2) lebih memperketat
pengawasan pada siswa yang melakukan perbuatan kurang positif, (3) lebih memotivasi dan
memberikan penghargaan kepada siswa yang aktif dalam pembelajaran.
Berdasarkan hasil pengamatan observer selama siklus II, tercatat bahwa:
a. Perhatian siswa mendengarkan arahan guru menjelaskan langkah kerja dalam melakukan
kegiatan penemuan juga semakin meningkat.
b. Siswa sudah mulai aktif dalam mengaplikasikan Geogebra dan mengerjakan LKS secara
berkelompok, kekompakan siswa dalam bekerja secara kelompok sudah mulai terlihat.
c. Sebagian siswa sudah mampu mencari sendiri jawaban dari pertanyaan yang diberikan,
ini terlihat dari kurangnya siswa yang memerlukan bimbingan dalam menyelesaikan
LKS.
d. Kemampuan siswa dalam merangkum materi pelajaran sudah mengalami kemajuan.
Tercatat disetiap pertemuan dalam siklus II, sudah ada beberapa siswa yang bisa
merangkum materi, meskipun hasil kesimpulannya belum terlalu sempurna.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar program linear siswa
kelas XII IPA1 SMANegeri 1 Tompobulu yang diajar dengan Strategi Pembelajaran Inkuiri
dan aplikasi GeoGebra mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Hal ini terlihat
disebabkan karena dengan pendekatan inkuiri dan aplikasi GeoGebra yang dipadu dengan
model pembelajaran kooperatif, siswa mengembangkan kemampuan berfikir kreatifnya
dalam memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pemikirannya. Sehingga siswa dapat
membangun kemampuan diri mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang
diberikan. Siswa juga lebih termotivasi dengan GeoGebra karena selain tampilannya yang
menarik, GeoGebra juga membantu siswa untuk menemukan jawaban dari masalah yang
diberikan. Siswa merasa senang karena dalam belajar program linear mereka juga dapat
menambah pengetahuan mereka tentang IT.
Berdasarkan hasil refleksi dan evaluasi dari siklus I sampai II ternyata strategi pembelajaran
inkuiri dan aplikasi GeoGebra yang diterapkan pada pokok bahasan program linear
menjadikan siswa memperoleh pengalaman belajar yang menyenangkan dan keaktifan siswa
dapat ditumbuhkembangkan. Dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dan
aplikasi GeoGebra pada proses belajar mengajar maka siswa lebih termotivasi karena materi
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
152
yang disajikan tidak langsung disampaikan oleh guru dan mereka merasa tertarik dengan
hasil tampilan GeoGebra. Siswa yang mengkonstruksi sendiri materi yang akan dipelajari.
Guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan membimbing siswa seperlunya, sehingga
pembelajaran lebih menyenangkan dan lebih bermakna.
Pada pendekatan ini pula siswa dituntut lebih aktif dimana pengetahuan yang mereka peroleh
merupakan hasil dari mereka sendiri dengan bimbingan dari guru dan bantuan GeoGebra
sehingga pengetahuan tersebut akan membekas lebih lama dipikiran mereka. Tetapi tidak
semua topik atau pokok bahasan bisa disajikan dengan menggunakan strategi inkuiri dan
juga dalam menyajikan materi dengan strategi ini membutuhkan waktu yang agak lama.
Siswa merasa tertarik dengan masalah yang harus diselesaikan dalam evaluasi sehingga
mereka termotivasi untuk belajar. Selain itu, materi yang didapatkan menjadi pengetahuan
yang melekat dalam jangka waktu yang tidak singkat karena di diperoleh dari hasil
penemuan siswa sendiri dengan sedikit bimbingan dari guru.Dengan demikian hipotesis
tindakan dan indikator kinerja dapat dicapai sehingga tidak perlu dilakukan pelaksanaan
siklus selanjutnya.
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan data-data hasil penelitian tindakan kelas yang berlangsung selama dua siklus
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Nilai rata-rata hasil belajar Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu tes akhir
siklus I adalah 59,14 dengan kategori sedang sedangkan nilai rata-rata hasil belajar
siswa pada siklus II adalah 73,64 dengan kategori tinggi
b. Hasil belajar siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu pada siklus I ke siklus II
mengalami peningkatan melalui strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra.
Dari hasil penelitian ini disarankan:
a. Dalam kegiatan pembelajaran dengan strategi pembelajaran inkuiri, peneliti harus lebih
memotivasi siswa dan siswa dituntut untuk aktif sehingga terjalin komunikasi yang baik
antar siswa, maupun guru dengan siswa.
b. Mengaplikasikan GeoGebra dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan
motivasi belajar siswa
c. Sebagai tindak lanjut penerapan, pada saat proses belajar mengajar berlangsung,
diharapkan guru lebih kreatif menyajikan permasalahan yang bervariasi agar siswa lebih
termotivasi, lebih aktif dan lebih terlatih untuk menemukan penyelesaian.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:Penerbit Rineka Cipta.
Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang:IKIP Malang.
Khairuddin, http://media.p4tkmatematika.org/wp-
content/uploads/2013/01/Prolin_Geogebra2.pdf,diakses 22 Oktober 2013
Masnaini. 2003. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika melalui Pemberian Kuis Dengan
Mencongak di Awal Setiap Pertemuan Pada Siswa Kelas V SDN 353 Patalabunga. Skripsi.
Makassar:Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
153
Nuramar. 2006. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII4 SMP Negeri 3 Makassar
Melalui Pembelajatan Koperatif dengan Mengintensifkan Scaffolding. Skripsi.
Makassar:Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar.
Sahid, Aktivitas Belajar Persamaan Lingkaran dan Garis Singgungnya dengan Software
GeoGebra,http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/10_GeoGebra4Lingkaran.pdf, diakses
20 Oktober 2013.
Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:Prenada Media Grup.
TIM PPPPTK Matematika. 2013. Pengenalan Aplikasi GeoGebra, Diklat Online-PPPPTK
Matematika.
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:Kencana.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
154
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP
PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI
DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS
SISWA
Suprapto, M.Pd.
SMPN 3 Pringsewu, Kab.Pringsewu Lampung, [email protected]
Abstrak. Penelitian dilatarbelakangi pada kenyataan bahwa sebagian besar siswa
merasa kesulitan menyelesaikan soal pemecahan masalah. Sementara itu, kemampuan
representasi matematis mempunyai peranan penting dalam pemecahan masalah
matematis. Siswa yang memiliki kemampuan representasi baik akan dapat memecahkan
masalah matematis dengan baik pula. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi
eksperimen dengan desain pretest – posttest control group design. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX SMP Negeri 3 Pringsewu Tahun Pelajaran
2013/2014. Penelitian ini melibatkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang
dipilih dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang dipergunakan adalah soal
kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis yang berbentuk uraian.
Hasil analisis terhadap data skor pretest ditemukan bahwa sebelum diberi perlakuan
kedua kelompok memiliki kemampuan awal yang sama, dan hasil analisis terhadap data
skor posttest ditemukan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Sebagai kesimpulan, penelitian ini membuktikan bahwa
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan
representasi dan pemecahan masalah matematis siswa.
Kata Kunci. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, Representasi Matematis,
Pemecahan Masalah Matematis.
1. Pendahuluan
Matematika termasuk mata pelajaran yang wajib dipelajari pada jenjang pendidikan dasar
maupun menengah. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi mata pelajaran
matematika SMP/MTs menyebutkan tujuan diberikannya mata pelajaran matematika pada
jenjang SMP/MTs antara lain agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah
yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh serta dapat mengomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah. Namun kenyataannya sebagian besar siswa merasa kesulitan menyelesaikan soal
pemecahan masalah yang disebabkan rendahnya kemampuan representasi matematis siswa.
Populasi dalam penelitian ini memiliki karakteristik terbiasa belajar secara individu,
sebagian siswa bersikap tertutup terhadap teman dan bergaul hanya kepada orang tertentu
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
155
saja. Para siswa umumnya enggan untuk bertanya atau bekerja sama dalam menyelesaikan
tugas-tugas matematis yang diberikan guru, sehingga siswa yang memiliki kemampuan yang
rendah akan semakin tertinggal prestasi belajarnya. Bila kondisi seperti ini dibiarkan, maka
akan berdampak kurang baik terhadap prestasi belajar matematika, khususnya pada aspek
kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah
model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan representasi dan
pemecahan masalah matematis siswa. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) menganalisis
kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional, 2) menganalisis kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Kerangka Dasar Teori
2.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Teori belajar telah banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan, salah satunya adalah teori
belajar kostruktivisme. Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan seseorang dibangun
(dikonstruksi) dari hasil pengalaman belajarnya. Para konstruktivis menekankan pentingnya
interaksi dengan teman sebaya melalui pembentukan kelompok belajar. Slavin (1995) dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial,
menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain.
Pembelajaran kooperatif juga dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis,
memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan
alasan tersebut, penggunaan model pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan kualitas
pembelajaran karena siswa dapat berpartisipasi aktif dalam satu kelompok kecil dalam
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Johnson & Johnson (Khan & Inamullah,2011) yang mengemukakan,
“Cooperative learning is a method used by educators can help students develop
necessary social skills. Healthy interaction skills, success of the individual
student and group members, and formation of personal and professional
relationships are the results of cooperative learning”.
STAD (Student Teams Achievement Division) merupakan model pembelajaran kooperatif
yang berlandaskan pada pendekatan konstruktivisme dimana siswa belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 hingga 6 orang
dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Dalam STAD guru menyampaikan
pokok materi pelajaran dan setiap siswa dalam kelompok harus memastikan bahwa semua
anggota kelompok dapat menguasai materi pelajaran tersebut. Akhirnya semua siswa
mengikuti kuis yang bersifat individu dan pada saat kuis mereka tidak diperkenankan saling
membantu. Selanjutnya, nilai-nilai hasil kuis siswa diperbandingkan dengan nilai rata-rata
mereka sendiri yang diperoleh sebelumnya. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, siswa diberi
penghargaan atau reward menurut peningkatan nilai yang mereka capai. Nilai-nilai yang
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
156
diperoleh anggota kelompok kemudian dijumlahkan untuk mendapat nilai kelompok.
Kelompok yang mencapai kriteria tertentu akan mendapatkan sertifikat atau reward lainnya.
2.2 Kemampuan Representasi Matematis
Kemampuan representasi matematis adalah kemampuan seseorang untuk melakukan
translasi suatu masalah atau ide matematis dalam bentuk baru berupa diagram, gambar, tabel
dan ekspresi matematis termasuk didalamnya dari gambar atau model fisik ke dalam bentuk
simbol, kata-kata atau kalimat. Kemampuan representasi mempunyai peranan yang amat
penting dalam pembelajaran matematika sehingga perlu dimiliki oleh setiap siswa. Arti
penting kemampuan representasi matematis dinyatakan dalam NCTM (National Council of
Teacher of Mathematics) bahwa representasi merupakan salah satu dari lima kemampuan
berpikir matematis yang harus dimiliki siswa. Kelima kemampuan tersebut adalah problem
solving, reasoning, communication, connection, dan representation.
Siswa yang memiliki kemampuan representasi yang baik akan dapat menyelesaikan masalah
matematis dengan baik pula. Kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis
ini akan berimplikasi terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
Nakahara (2008) mengklasifikasikan representasi ke dalam lima kategori, yaitu : (1)
symbolic representation, yaitu representasi yang menggunakan notasi matematika seperti
angka, huruf, dan simbol; (2) linguistic representation, yaitu representasi yang menggunakan
bahasa sehari-hari; (3) illustrative representation, yaitu representasi yang menggunakan
ilustrasi, angka, grafik, dan sebagainya; (4) manipulative representation, yaitu representasi
yang menggunakan alat peraga yang dibuat secara artifisial atau model; (5) realistic
representation, yaitu representasi yang menggunakan benda-benda aktual.
2.3 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan dalam menyelesaikan suatu masalah matematis, yang menuntut untuk diselesaikan
tetapi belum diketahui dengan segera prosedur ataupun cara penyelesaiannya. Reys,
Suydams, Lindquist dan Smith (Afgani,2011) menyatakan bahwa masalah (problem) adalah
suatu keadaan di mana seseorang menginginkan sesuatu, akan tetapi tidak mengetahui
dengan segera apa yang harus dikerjakan untuk mendapatkannya.
Kusumah (2011) menyatakan “matematika benar-benar penting dalam menyelesaikan
masalah kehidupan sehari-hari karena terdapat masalah nyata yang dapat disederhanakan dan
diselesaikan dengan menggunakan ide dan konsep matematis“. Oleh karena itu, seorang guru
matematika perlu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa secara
optimal, karena para siswa akan menghadapi berbagai permasalahan sehari-hari yang
kompleks dan rumit.
Baroody (Afgani,2011) membedakan tiga jenis masalah, yakni exercises, problems, dan
enigmas. Exercises adalah equates a problems with an assigment, maksudnya adalah, guru
biasanya memberikan sesuatu prosedur atau rumus/formula, kemudian memberikan latihan,
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
157
tugas ”problem” perhitungan. Dengan demikian, anak telah siap dengan strategi untuk
memperoleh penyelesaiannya karena cara menentukan jawaban dari masalah yang diberikan
telah diketahuinya. Problems dapat didefinisikan sebagai suatu situasi puzzling, dimana
seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiannya, akan tetapi strategi penyelesaiannya
belum diketahui. Lebih jelasnya suatu problems memuat (1) keinginan untuk mengetahui;
(2) tidak adanya cara yang jelas untuk mendapatkan penyelesaiannya; dan (3) memerlukan
suatu usaha dalam menyelesaikannya. Enigmas adalah suatu tugas yang diterima oleh
seseorang sebagai suatu masalah yang tidak terselesaikan (unsolvable) karena orang yang
mendapatkan masalah tersebut tidak tertarik untuk mendapatkan jawabannya.
Reys, Suydams, Lindquist dan Smith (Afgani,2011) menyebutkan bahwa masalah dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin. Masalah rutin
adalah masalah yang telah diketahui prosedur penyelesaiannya, siswa tinggal mengikuti
langkah-langkah penyelesaian yang telah diajarkan gurunya. Sedangkan masalah tidak rutin
adalah masalah yang memuat banyak konsep serta belum dapat diketahui prosedur
penyelesaiannya. Sementara itu Polya (Muzdalipah,2009) menyatakan bahwa terdapat empat
langkah dalam pemecahan masalah, yaitu memahami masalah, membuat rencana
penyelesaian, melakukan perhitungan, mengecek kembali jawaban yang diperoleh.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain pretest - posttest control
group design. Dalam penelitian kuasi eksperimen subyek penelitian tidak dikelompokkan
secara acak akan tetapi subyek diterima apa adanya. Hal ini karena kelas sudah terbentuk
sebelumnya. Rancangan eksperimen dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Rancangan Eksperimen
Kelompok Pretest Treatment Posttest
Eksperimen T1 X1 T2
Kontrol T1 X2 T2
(dalam Sudjana dan Ibrahim,2009)
Keterangan :
T1 : Pretest X1 : Perlakuan pembelajaran STAD
T2 : Posttest X2 : Perlakuan pembelajaran konvensional
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas IX SMP Negeri 3 Pringsewu Tahun
Pelajaran 2013/2014. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling.
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen diberikan pembelajaran kooperatif tipe
STAD, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan pembelajaran konvensional. Instrumen
dalam penelitian ini adalah soal tes kemampuan representasi dan pemecahan masalah
matematis.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
158
4. Hasil Penelitian
Pada kedua kelompok diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum
diberi perlakuan. Kemampuan awal siswa tercermin dari hasil pretest kemampuan
representasi dan pemecahan masalah matematis. Rata-rata skor pretest kemampuan
representasi matematis siswa pada kelompok eksperimen adalah 8,086 sedangkan pada
kelompok kontrol diperoleh rata-rata 8,063. Hasil pretest kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada kelompok eksperimen diperoleh rata-rata 9,143 sedangkan pada
kelompok kontrol diperoleh rata-rata 8,000.
Setelah diberikan perlakuan, rata-rata skor posttest kemampuan representasi matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran STAD adalah 13,343 dan rata-rata skor posttest kemampuan
representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional adalah 12,630.
Rata-rata skor posttest kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran STAD lebih tinggi daripada rata-rata skor posttest kemampuan representasi
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan dengan
pembelajaran STAD diperoleh rata-rata 12,743 sedangkan rata-rata skor kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan pembelajaran konvensional
adalah 11,719. Rata-rata skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
yang diberi perlakuan dengan pembelajaran STAD lebih tinggi daripada siswa yang diberi
perlakuan pembelajaran konvensional.
4.1 Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan software SPSS 17 dengan Uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf
signifikansi α = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusan bila nilai p-value
(sig) < α maka tolak H0.
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data berdistribusi tidak normal
Hasil uji normalitas skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa
sebelum diberi perlakuan sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Skor Pretest
Kemampuan Kelompok
Kolmogorov-
Smirnov Kesimpulan Keterangan
statistic sig.
Representasi Eksperimen 0,125 0,184 H0 diterima Normal
Kontrol 0,150 0,065 H0 diterima Normal
Pemecahan
Masalah
Eksperimen 0,133 0,123 H0 diterima Normal
Kontrol 0,143 0,096 H0 diterima Normal
Pada Tabel 2 nampak bahwa pada kolom Kolmogorov-Smirnov nilai sig. kemampuan
representasi dan pemecahan masalah matematis siswa pada kedua kelompok lebih besar dari
α = 0,05 dengan demikian H0 diterima, sehingga penyebaran data skor kemampuan
representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan berdistribusi
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
159
normal. Adapun hasil uji normalitas skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah
matematis siswa setelah diberi perlakuan adalah sebagai berikut
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Skor Posttest.
Kemampuan Pembelajaran
Kolmogorov-
Smirnov Kesimpulan Keterangan
statistic sig.
Representasi STAD 0,137 0,093 H0 diterima Normal
Konvensional 0,152 0,059 H0 diterima Normal
Pemecahan
Masalah
STAD 0,217 0,000 H0 ditolak Tidak Normal
Konvensional 0,332 0,000 H0 ditolak Tidak Normal
Pada Tabel 3 nampak bahwa pada kolom Kolmogorov-Smirnov nilai sig. untuk kemampuan
representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional lebih besar dari α = 0,05 dengan demikian H0
diterima, sehingga penyebaran data skor posttest kemampuan representasi matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran STAD maupun konvensional berdistribusi normal.
Selanjutnya, nilai sig. kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran STAD dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional lebih kecil dari
α = 0,05 sehingga H0 ditolak. Jadi penyebaran data skor posttest kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD maupun konvensional
berdistribusi tidak normal.
4.2 Uji Homogenitas
Uji homogenitas menggunakan software SPSS 17 dengan Uji Homogeneity of Variance (Uji
Levene) pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusan bila nilai p-
value (sig) < α maka tolak H0.
H0 : =
H1 : ≠
Hasil uji homogenitas terhadap data skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah
matematis siswa sebelum diberi perlakuan disajikan pada tabel berikut :
Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Varians Skor Pretest
Kemampuan
Homogeneity of Variance
Kesimpulan Keterangan Levene
Statistic df1 df2 sig.
Representasi 0,096 1 65 0,758 H0 diterima Homogen
Pemecahan
Masalah 0,078 1 65 0,781 H0 diterima Homogen
Pada Tabel 4 nampak bahwa pada kolom Homogeneity of Variance, nilai sig. kemampuan
representasi dan pemecahan masalah matematis lebih besar dari α = 0,05 maka H0 diterima,
yang berarti bahwa variansi skor pretest kemampuan representasi dan pemecahan masalah
matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol homogen.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
160
Adapun hasil uji homogenitas terhadap data skor kemampuan representasi matematis siswa
setelah diberi perlakuan disajikan pada tabel berikut :
Tabel 5. Hasil Uji Homogenitas Varians Skor Posttest
Kemampuan Representasi Matematis
Kemampuan
Homogeneity of Variance
Kesimpulan Keterangan Levene
Statistic df1 df2 sig.
Representasi
Matematis 0,216 1 65 0,644 H0 diterima Homogen
Pada Tabel 5 nampak bahwa pada kolom Homogeneity of Variance, nilai sig. lebih besar dari
α = 0,05 maka H0 diterima, yang berarti bahwa variansi skor posttest kemampuan
representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional homogen, sedangkan data skor posttest kemampuan
pemecahan masalah matematis tidak perlu dilakukan uji homogenitas, karena data skor
posttest kemampuan pemecahan masalah matematis berdistribusi tidak normal.
4.3 Uji Kesamaan Rata-rata
Data skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi
perlakuan berdistribusi normal dan homogen, maka untuk mengetahui sama atau tidaknya
rata-rata kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum
diberikan perlakuan dilakukan uji kesamaan rata-rata dengan uji t. Pengujian hipotesis
menggunakan software SPSS 17 dengan uji t (compare means independent samples t test)
pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusan bila nilai p-value (sig)
< α maka tolak H0.
H0 : =
H1 : >
Hasil uji t terhadap skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa
sebelum diberi perlakuan disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 6. Hasil Uji Kesamaan Rata-Rata Skor Pretest
Kemampuan T Df sig. Kesimpulan Keterangan
Representasi
Matematis 0,033 65 0,974 Terima H0
Tidak ada
perbedaan
Pemecahan
Masalah Matematis 1,733 65 0,088 Terima H0
Tidak ada
perbedaan
Dari hasil uji t diperoleh nilai sig. kemampuan representasi dan pemecahan masalah
matematis lebih besar dari α = 0,05 sehingga H0 diterima. Hal ini berarti sebelum dilakukan
eksperimen kedua kelompok memiliki kemampuan awal yang sama pada aspek kemampuan
representasi dan pemecahan masalah matematis.
Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji homogenitas terhadap skor kemampuan representasi
matematis siswa setelah diberi perlakuan ditemukan bahwa data skor posttest kemampuan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
161
representasi matematis berdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu, untuk
mengetahui sama atau tidaknya kemampuan representasi matematis, maka dilakukan uji
kesamaan rata-rata dengan uji t. Hasil uji t terhadap skor posttest kemampuan representasi
matematis disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 7. Hasil Uji Kesamaan Rata-rata Skor Posttest
Kemampuan Representasi Matematis
Kemampuan T Df sig. Kesimpulan Keterangan
Reperesentasi
Matematis 2,130 65 0,037 Tolak H0
Ada
Perbedaan
Pada Tabel 7 nampak bahwa nilai sig. lebih kecil dari α = 0,05 maka H0 ditolak. Hal ini
berarti kemampuan representasi matematis siswa yang diberikan perlakuan dengan
pembelajaran STAD lebih baik daripada kemampuan representasi matematis siswa yang
diberi perlakuan dengan pembelajaran konvensional.
4.4 Uji Mann-Whitney
Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap skor posttest kemampuan pemecahan masalah
diperoleh kesimpulan bahwa skor kemampuan pemecahan masalah matematis berdistribusi
tidak normal, sehingga untuk mengetahui sama atau tidaknya kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa yang diberikan pembelajaran STAD dengan siswa yang diberikan
pembelajaran konvensional dilakukan dengan uji non parametrik menggunakan Uji Mann-
Whitney 2 Independent Sampel pada taraf signifikansi α = 0,05. Adapun kaidah pengambilan
keputusan adalah sebagai berikut bila nilai p-value (sig).< α maka tolak H0. Hasil analisis uji
mann-whitney terhadap skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa,
disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 8. Hasil Uji Mann-Whitney Skor Posttest Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis
Pemecahan Masalah Matematis
Mann-Whitney U 399,500
Wilcoxon W 927,500
Z -2,101
Asymp.sig 0,036
Dari hasil uji mann-whitney diperoleh nilai sig. lebih kecil dari α = 0,05 maka H0 ditolak.
Hal ini berarti kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran STAD lebih baik dari kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional
5. Pembahasan
Sebelum diberikan perlakuan, kedua kelompok diberikan pretest untuk mengetahui
kemampuan awal siswa pada aspek kemampuan representasi dan pemecahan masalah
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
162
matematis. Setelah perlakuan, kedua kelompok diberikan posttest untuk mengetahui
peningkatan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis. Hasil uji
normalitas dan uji homogenitas terhadap data skor kemampuan representasi dan pemecahan
masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan diperoleh hasil bahwa populasi
berdistribusi normal dan homogen. Selanjutmya, dari hasil uji t pada taraf signifikansi α =
0,05 terhadap skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa
sebelum diberi perlakuan diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal
representasi dan pemecahan masalah matematis siswa, atau dengan kata lain, sebelum diberi
perlakuan, kedua kelompok memiliki kemampuan representasi dan pemecahan masalah
matematis yang setara.
Setelah diberikan perlakuan, rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada rata-rata skor kemampuan
representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Skor
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan dengan
pembelajaran STAD diperoleh rata-rata 12,743 sedangkan rata-rata skor kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan pembelajaran konvensional
adalah 11,719. Rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi
perlakuan dengan pembelajaran STAD lebih tinggi daripada siswa yang diberi perlakuan
pembelajaran konvensional.
Gambar 1. Rata-rata skor pretest dan posttest
kemampuan representasi matematis
Pada Gambar 1 nampak bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal siswa pada aspek
kemampuan representasi matematis sebelum diberi perlakuan. Setelah siswa diberikan
perlakuan, terjadi peningkatan kemampuan representasi matematis baik pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
STAD ternyata dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa.
0
5
10
15
Pre Test Post Test
8.086
13,343
8.063
12,625
Eksperimen
Kontrol
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
163
Gambar 2. Rata-rata skor pretest dan posttest
kemampuan pemecahan masalah matematis
Pada Gambar 2 nampak bahwa sebelum diberi perlakuan rata-rata skor kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata
skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok kontrol. Namun
demikian, dari hasil uji kesamaan rata-rata dengan uji t dengan taraf signifikansi α = 0,05
diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa.
Setelah siswa diberikan perlakuan, terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis baik pada kelompok eksperimen maupun pada kelompok kontrol. Hal ini
tercermin dari rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis yang meningkat
pada kedua kelompok. Rata-rata skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada rata-rata skor siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
6. Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Sebagai kesimpulan, penelitian ini
membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan
kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa. Saran yang dapat
dikemukakan adalah perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengkaji korelasi kemampuan
representasi matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis.
0
5
10
15
Pre Test Post Test
9.143
12,743
8.063
11,719
Eksperimen
Kontrol
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
164
Daftar Pustaka
Afgani, J. 2011. Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka.
Khan, G. N. & Inamullah, M. H. 2011. Effect of Student’s Team Achievement Division (STAD) on
Academic Achievement of Students. Diambil 28 Desember 2012, dari situs
http://ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/download/13435/9341
Kusumah, Y. S. 2011. Literasi Matematis. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan
MIPA tanggal 26 November 2011. Bandar Lampung : FKIP - Universitas Lampung
Muzdalipah, I. 2009. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Melalui Pendekatan
Problem Posing. Jurnal Matematika volume 1, nomor 1, 2010. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang
Nakahara, T. 2008. Cultivating Mathematical Thinking through Representation. Diambil 1 Desember
2012, dari situs
http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/apec2008/papers/PDF/1.Keynote(Dec.9)_Tadao
Nakahara_Japan.pdf.
NCTM. 2000. Principles and Standarts for School Mathematics.Reaston,VA: NCTM.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Slavin, R. E. 1995. Cooperative Learning,Theory,Research,and Practice (2th). Boston : Allyn and
Bacon.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
165
CASYOPEE DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Nelly Yuliana
SMAN 1 Koba, Bangka Tengah; [email protected]
Abstrak. Artikel ini merupakan kajian pustaka mengenai software matematika yaitu Casyopee.
Casyopee adalah singkatan dari Cacul Symbolique des Possibillites a l”Eseignant et aux Eleves
(peluang penawaran komputasi simbolik untuk guru dan siswa). Casyopee bagian dari CAS
(Computer Algebra System) yang lahir dari inisiatif guru dan peneliti pendidikan lebih dari 10 tahun
yang lalu yang tergabung ke dalam wadah yang bernama Remath Eropa. Casyopee diperuntukkan
penggunaannya pada jenjang SMP ke atas ini merujuk kepada fitur-fitur yang disediakan. Casyopee
dapat bekerja lebih baik pada materi fungsi mengingat fitur khas Casyopee yang dapat membuat
parameter secara interaktif. Dengan penggunaan Casyopee dalam jangka waktu yang lama dan terus-
menerus telah berhasil meningkatkan kemampuan matematis siswa khususnya di negara asal software
Casyopee yaitu Perancis.
Kata Kunci. Casyopee, CAS, kemampuan matematis
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication
Technologies (ICT) secara bahasa diartikan seluruh peralatan teknis untuk memproses dan
menyampaikan informasi. Dari kata Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sendiri
dapat dipahami bahwa TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi
komunikasi. Aspek teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses,
penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi
komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk
memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Oleh karena itu,
teknologi informasi dan teknologi komunikasi tidak dapat dipisahkan. Jadi Teknologi
Informasi dan Komunikasi mengandung pengertian luas yaitu segala kegiatan yang terkait
dengan pemprosesan, manipulasi, pengelolaan, pemindahan informasi antar media.
Pengertian TIK tersebut juga menimbulkan pengertian bahwa TIK juga berhubungan dengan
pemrosesan, manipulasi, dan pemindahan informasi termasuk ke dalam media TIK. Media
TIK meliputi diantaranya adalah telepon, handphone, komputer, internet, radio, televise, dan
lain-lain. Ditinjau dari media bagian TIK tersebut maka segala segi kehidupan manusia
tidak akan luput dari penggunaan TIK itu sendiri.
Penggunaan media TIK juga berimplikasi kepada berkembangannya model dan media
pembelajaran. Pembelajaran yang biasanya guru dan siswa yang selalu berada di satu tempat
maka dengan adanya penggunaan TIK dapat dilakukan dengan menggunakan media yang
sudah dirancang dengan baik. Contohnya, adanya distance learning, yang merupakan
pembelajaran jarak jauh dimana guru dan siswa tidak berada disatu lokasi yang sama dan
proses pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan media TIK. Dan dewasa ini semakin
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
166
banyak diterapkannya model dan media pembelajaran yang memanfaatkan TIK diantaranya
seperti e-learning, mobile learning, video pembelajaran online, online learning, televisi
edukasi serta program atau software khusus yang dirancang untuk mata pelajaran tertentu.
Khusus pada pembelajaran matematika yang merupakan pelajaran wajib dilalui oleh semua
siswa pada tiap jenjangnya telah dikembangkan software yang dirancang untuk
mempermudah proses pengajaran matematika yang sulit dilakukan secara manual atau
konvensional. Software-sofware yang ada dan berkembang saat ini sebagian besar sudah
banyak digunakan khususnya di Indonesia, seperti Maple, Macromedia Flash, Cabri, Corel,
GSP, Geogebra, Autograph dan lain sebagainya. Khusus dalam makalah ini penulis akan
mengkaji salah satu software matematika yang bernama Casyopee. Sengaja dipilih software
ini karena selama ini belum ada atau bisa jadi Casyopee belum banyak digunakan di
Indonesia. Ini terlihat dari jurnal-jurnal referensi yang dapat dijadikan rujukan penulisan
belum ada yang berasal dari Indonesia. Semuanya berasal dari negara dikembangkannya
software Casyopee itu sendiri yaitu Perancis. Untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih
jauh tentang apa dan bagaimana software ini digunakan dalam pelajaran matematika,
sekaligus memperkenalkan software ini kepada rekan-rekan guru serta akademisi
matematika lainnya.
1.2. Rumusan Masalah
Secara umum masalah dalam makalah yang ingin dikaji adalah, bagaimana penggunaan
Casyopee dalam pembelajaran matematika?. Masalah tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1) Apakah yang dimaksud dengan Casyopee?
2) Bagaimana menggunakan Casyopee dalam pembelajaran matematika?
3) Apa saja kelebihan dan kekurangan penggunaan Casyopee dalam pembelajaran
matematika?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui
penggunaan Software Casyopee dalam pembelajaran matematika, dengan rincian sebagai
berikut:
1) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Casyopee.
2) Untuk mengetahui bagaimana menggunakan Casyopee dalam pembelajaran matematika.
3) Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan penggunaan Casyopee dalam pembelajaran
matematika.
2. Pembahasan
2.1. Software Casyopee
Casyopee adalah singkatan dari Cacul Symbolique des Possibillites a l”Eseignant et aux
Eleves (peluang penawaran komputasi simbolik untuk guru dan siswa). Casyopee bagian dari
CAS (Computer Algebra System) yang lahir dari inisiatif guru dan peneliti pendidikan lebih
dari 10 tahun yang lalu yang tergabung ke dalam wadah yang bernama Remath Eropa
(software lain dari Remath adalah Anulset, Aplusix, Machine Lab, Cruislet, dan Mopix).
Proyek penggunaan casyopee ini telah sukses dilakukan di Perancis.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
167
Casyopée cukup mudah diakses siswa, software ini dapat didownload secara gratis melalui
situs http://www.casyopee.eu/?lng=en. Setelah didownload dan terinstal pada PC/notebook
software ini dapat dipelajari siswa sendiri ataupun dengan bantuan guru. Casyopée memiliki
dua jendela utama, yaitu jendela simbolis dan jendela geometris.
Gambar 1. Tampilan Jendela Casyopee
Gambar 2. Penggunaan Jendela Geometris dan Jendela Simbolis/Aljabar
Fitur Casyopée kompatibel untuk Windows XP, Vista, Seven, Macintosh dan sistem operasi
lainnya. Jendela aljabar dan simbolis memberikan fasilitas yang berbeda namun saling
berkaitan satu sama lain.
Fasilitas yang tersedia dalam jendela aljabar:1) perhitungan fungsi, misalnya: faktorisasi;
2) representasi grafik fungsi; 3) penggunaan parameter fungsi; 4) perhitungan numerik atau
simbolik perhitungan dengan fungsi; 4) sebagai bantuan untuk membuktikan membuktikan
sifat dari suatu fungsi; 5) membantu untuk menulis laporan penelitian dalam bentuk file
html, formula matematika (yang dibuat oleh Casyopée atau dengan Latex), grafik dan angka
geometris.
Fasilitas di jendela geometri dinamis: 1) geometris konstruksi dari objek (titik , segmen,
garis, lingkaran); 2) penciptaan perhitungan geometris dari formula simbolik yang
prosedural; 3) eksplorasi numerik; 4) penciptaan fungsi geometris menggunakan
perhitungan; 5) pemodelan fungsi-fungsi geometris menjadi fungsi aljabar di tab aljabar.
Casyopee lebih menekankan penggunaannya kepada siswa SMP ke atas mengingat fitur-fitur
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
168
khas dalam software ini sesuai dengan materi matematika di jenjang pendidikan menengah.
Penggunaan software Casyopee dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi
matematika dengan cara penggunaan software dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan
terus menerus (Lagrange: 2010). Peran guru disini sebagai fasilitator siswa yang mengalami
kesulitan dalam penggunaan Casyopee. Intinya adalah bagaimana guru dapat membuat
bahan ajar atau instrumen Casyopee yang tepat sehingga dapat dieksplorasi oleh siswa untuk
dapat menyelesaikan masalah matematika dengan ide-ide yang didapat mereka selama
belajar matematika dengan menggunakan Casyopee.
2.2. Penggunaan Casyopee dalam Pembelajaran Matematika
Casyopee sebagai salah satu software matematika yang dapat membantu guru dalam
mengajar dikelas, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan efektif. Berikut akan
disajikan penggunaan casyopee dalam proses pembelajaran matematika khususnya materi
yang diajarkan di jenjag Sekolah Menengah Atas (SMA).
2.2.1. Materi dimensi dua
Casyopee dapat digunakan untuk menetukan luas daerah bangun datar, contoh luas bidang
segitiga.
Untuk membuat bidang datar segitiga, pada jendela geometri, klik menu polygon lalu
gambarkan tiga titik pada kertas kerja lalu klik sehingga muncul luas daerah yang dimaksud.
Gambar 4. Contoh gambar tampilan luas daerah segitiga
2.2.2. Lingkaran
Casyopee dapat digunakan untuk menjelaskan konsep lingkaran. Lingkaran adalah kurva
tertutup sederhana yang khusus, yang tiap titik pada lingkaran itu berjarak sama dari suatu
titik yang disebut pusat lingkaran. Membuat lingkaran pada jendela geometri, hampir sama
caranya dengan membuat bidang datar yang dicontohkan segitiga diatas.
Pada jendela geometri, dibuat dua buah titik yaitu titik pertama sebagai pusat lingkaran dan
titik kedua yang jaraknya tertentu terhadap titik pertama sebagai jari-jari lingkaran. Klik
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
169
circle lalu circle by center and radius by 2 points. Untuk menggambar lingkaran klik pada
titik pertama (titik pusat) dilanjutkan titik kedua kemudian klik sebarang titik ketiga dan
kembali ke titik pusat. Persamaan lingkaran dapat diketahui dengan mengklik kanan
lingkaran maka akan muncul persamaan lingkaran tersebut.
Gambar 5. Contoh gambar lingkaran dengan pusat O (0,0)
Dapat pula digunakan untuk menggambar lingkaran dengan pusat dan konsep
lingkaran lainnya.
2.2.3. Materi fungsi
Materi fungsi adalah materi yang khas dengan fitur Casyopee, jadi siswa dapat
mengeksplorasi kemampuan matematis dengan menggunakan software ini. Cara untuk
menggambar fungsi pada Casyopee dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Mengaktifkan jendela simbolis atau aljabar lalupilih menu create function. Masukkan
parameter yang diinginkan, kemudian masukkan fungsi yang akan digambar grafiknya.
Gambar 6. Tampilan Jendela Casyopee untuk menggambar fungsi
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
170
Lalu klik evaluate, selanjutnya klik create, terakhir tutup jendela create function, lalu klik f
pada jendela simbolis untuk menampilkan grafik.
Langkah-langkah diatas sama penggunaannya untuk fungsi linier, fungsi kuadrat, fungsi
kuadrat dan fungsi linear, fungsi berpangkat tiga atau polinom, yaitu dengan memasukkan
fungsi yang ingin digambar lalu tentukan parameternya.Untuk menentukan titik-titik pada
fungsi dapat diketahui dengan mengklik menu Tabulate Function pada jendela simbolis.
Gambar 7. Contoh gambar fungsi linear
2.2.4. Faktorisasi fungsi
Menentukan faktor dari suatu fungsi dapat dilakukan dengan cara mengklik menu evaluate
formula lalu pilih menu factorisation kemudian masukkan fungsi yang akan difaktorkan.
2.2.5. Perhitungan atau komputasi
Casyopee juga memberikan fitur layaknya kalkulator untuk melakukan perhitungan yang
sulit dilakukan secara manual, misalnya untuk menghitung nilai sinus dan cosinus untuk
sudut yang tidak istimewa.Namun biasanya perhitungan secara manual dapat dilakukan
dengan rumus jumlah atau selisih dua sudut. Perhitungan dapat dilakukan dengan
menggunakan menu create calculation lalu masukkan nilai yang akan dihitung.
2.3. Kelebihan dan Kekurangan Casyopee
Banyaknya jenis software yang secara khusus diperuntukan untuk matematika, membuat
guru ataupun akademisi matematika dapat memilah dan membandingkan keunggulan dan
kelemahan masing-masing program. Sesuai dengan dasar pemilihan media banyak faktor
yang dapat dipertimbangkan, misalnya kesesuaian atau kekhasan dengan materi yang akan
diajarkan sehingga dapat mempermudah memanipulasi dan mengeksplor materi sesuai
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
171
dengan tujuan kompetensi matematika yang hendak dicapai. Untuk itu berikut akan disajikan
kelebihan dari Casyopee:
1. Casyopee dapat diakses secara mudah di internet dan gratis di http://www.casyopee.eu.
Jadi membuka peluang bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan software ini dalam
pembelajaran matematika.
2. Casyopee terdiri dari dua jendela yaitu jendela simbolis/aljabar dan jendela geometri
sehingga suatu ekspresi pada jendela aljabar bersesuaian dengan suatu objek pada
jendela geometri dan sebaliknya.
3. Fitur Casyopee yang khas yaitu dapat membuat perintah set angka dan parameter untuk
menentukan domain interaktif sangat bersesuaian dengan materi fungsi. Fungsi
didefinisikan dengan formula yang melibatkan fungsi variabel, dan domain yang
memadai. Jadi Casyopee dapat menjadi media pembelajaran yang efektif dalam
mengajarkan materi fungsi
4. Casyopee tidak menggunakan bahasa perintah, jadi mempermudah siswa untuk
menggunakan setiap menu dan fiturnya
5. Hasil pekerjaan pada jendela Casyopee dapat disalin ke Word, Excel, ataupun ke dalam
Microsoft Office lainnya.
6. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan di negara asal software ini, Casyopee dapat
meningkatkan pemahaman siswa dalam belajar matematika
7. Casyopee dapat meningkatkan komunikasi matematis siswa dalam belajar matematika
karena siswa dituntut dapat mengubah bahasa verbal pada materi pelajaran menjadi
bahasa matematika untuk dituangkan pada menu software ini
8. Guru dapat menggunakan bahan ajar matematika dengan menggunakan Casyopee yang
bersifat eksploratif bukan informatif, sehingga siswa dapat menuangkan ide dan
gagasan dalam menyelesaikan masalah matematika
9. Software Casyopee dapat menggeser porsi peran guru menjadi lebih kecil yang bersifat
fasilitator, sehingga siswa lebih aktif dalam pembelajaran.
Selain kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan, ada beberapa kekurangan Casyopee ini
dalam pembelajaran matematika, diantaranya adalah:
1. Pada awal penggunaan software casyopee, siswa akan mendapat sedikit kesulitan
karena baru menyesuaikan dengan software baik itu menu ataupun fitur-fiturnya.
Dibutuhkan peran guru dan waktu penggunaan yang cukup lama serta terus-menerus
sehingga Casyopee dapat digunakan oleh siswa dalam pembelajaran secara optimal.
2. Belum adanya buku petunjuk penggunaan versi yang terbaru yaitu Casyopee versi 2.6.8.
baru ada manual book versi 01, sehingga menuntut seseorang yang ingin memperdalam
mempelajari secara otodidak.
3. Casyopee diperuntukkan pada jenjang menengah ke atas, sehingga untuk pembelajaran
jenjang dasar kurang tepat.
3. Kesimpulan
Salah satu pilihan software yang dapat diaplikasikan penggunaannya dalam pelajaran
matematika adalah Casyopee. Casyopee dapat melakukan kerja pada dua jendela sekaligus
yang saling berhubungan, yaitu jendela geometris dan jendela aljabar. Casyopee
diperuntukkan penggunaannya pada jenjang menengah ke atas ini merujuk kepad fitur-fitur
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
172
yang disediakan. Casyopee dapat bekerja lebih baik pada materi fungsi mengingat fitur khas
casyopee yang dapat membuat parameter secara interaktif.
Terlepas dari beberapa kelemahan yang lazim dimiliki suatu software, penggunaan casyopee
dalam jangka waktu yang lama dan terus-menerus telah berhasil meningkatkan kemampuan
matematis siswa khususnya di negara asal software Casyopee yaitu Perancis. Selain itu siswa
menjadi lebih tertarik mempelajari sendiri materi matematika karena mereka merasakan
dapat menerapkan ide serta memperoleh banyak pengalaman belajar dalam proses
penyelesaian masalah matematika dengan menggunakan Casyopee.
4. Saran
Casyopee pada awalnya akan mengakibatkan sedikit kesulitan dan membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk beradaptasi, maka peran guru menjadi penting sebagai fasilitator.
Maka diharapkan guru lebih dahulu harus melek TIK khusunya komputer serta Casyopee itu
sendiri. Dikarenakan belum banyaknya penelitian-penelitian tentang penggunaan Casyopee
dalam pembelajaan matematika, maka diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga
dapat menjadi bahan rujukan dalam pelaksanaan pembelajaran matematika berbasis TIK.
Daftar Pustaka
Lagrange, JB & Le Feuvre, B. (2007).User Manual V.01. http://remath.cti.gr
Lagrange, JB & Kiem Minh Tran. (2010). Learning about Function with a Geometrical and Symbolic
Software Environment: a Study of Students’ Instrumental Genesis along Two Years.
http://atcm.mathandtech.org/ep2010/regular/3052010_18465.pdf
Lagrange, JB. (2009). Casyopee, a symbolic environment for secondary student and teachers.
http://rfdz.ph-
noe.ac.at/fileadmin/Mathematik_Uploads/ACDCA/VISITME2002/contribs/Lagrange/Lagra
nge.pdf
Lagrange, Jean Baptise & Chiappini, Giampaolo. (2007) Integrating The Learning of Algebra with
Technology at The European Level: Two Examples in The Remath
Project.http://jb.lagrange.free.fr/site/papers/CERME_Lagrange_Chiappini_def1.pdf
Team of MKPBM. (2001). Contemporary Mathematics Learning Strategies. Bandung: Indonesia
University of Education.
Casyopee (n.d.). http://www.casyopee.eu/index.php?lng=en
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
173
PENGEMBANGAN PERANGKAT
PEMBELAJARAN TEAMS GAMES
TOURNAMENT DENGAN PENDEKATAN
SAINTIFIK PADA MATERI
OPERASI ALJABAR
Via Yustitia
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Jl. Dukuh Menanggal XII, Surabaya;
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pengembangan perangkat pembelajaran
matematika dengan model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar yang valid
dan praktis; (2) mengetahui keefektifan pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran yang
dikembangkan tersebut. Pengembangan perangkat pembelajaran dilakukan dengan menggunakan
model 4-D Thiagarajan, dkk, namun peneliti hanya menempuh 3D (define, design, dan develop).
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah RPP, LKS, dan tes kemampuan pemecahan
masalah. Subjek ujicoba adalah siswa kelas VIII SMPN 2 Pemalang. Hasil validasi perangkat
pembelajaran dinyatakan valid menurut ahli dengan diperoleh rata-rata validasi dalam rentang skor
antara 1–4 dan telah memenuhi validitas isi, taraf kesukaran baik, daya pembeda baik, dan reliabel.
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan praktis, dengan hasil ujicoba: (1) adanya respons positif
dari siswa; (2) adanya respons yang baik dari guru; (3) keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran pada
kategori baik. Pembelajaran efektif pada kelas eksperimen karena setelah diujicobakan diperoleh
hasil: (1) aktivitas siswa kelas uji coba berkategori baik; (2) rata-rata kemampuan pemecahan masalah
siswa kelas uji coba perangkat lebih baik dari kelas kontrol; (3) kemampuan pemecahan masalah
siswa telah mencapai ketuntasan klasikal. Dapat disimpulkan bahwa pengembangan perangkat TGT
dengan pendekatan saintifik memenuhi kriteria valid, praktis, dan pembelajarannya efektif.
Kata Kunci: pengembangan perangkat pembelajaran, pendekatan saintifik, TGT
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan adalah melakukan perubahan
terhadap Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013. Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014
menjelaskan salah satu tujuan pembelajaran Matematika di SMP adalah mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah. Inti pembelajaran Matematika terletak pada problem
solving, namun problem solving yang dilakukan secara otomatis juga menyentuh persoalan
penalaran untuk membangun pola berpikir kritis siswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru Matematika SMPN 2 Pemalang, siswa
masih kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang mengacu pada aspek pemecahan
masalah, salah satunya pada materi operasi aljabar kelas VIII. Hal itu ditunjukkan dengan
nilai rata-rata ulangan harian kelas VIII pada materi operasi aljabar belum mencapai
ketuntasan belajar. Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas, diperoleh beberapa
kondisi yang menunjukkan bahwa: (1) siswa belum mampu untuk menyatakan situasi,
gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam model Matematika; (2) siswa belum terbiasa
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
174
untuk berdiskusi secara berkelompok; (3) siswa sering mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan permasalahan pada buku siswa apabila soal yang diberikan sedikit berbeda
dengan permasalahan sebelumnya; (4) aktivitas belajar siswa yang belum maksimal dapat
diamati dengan hanya 15% siswa yang bertanya selama proses pembelajaran berlangsung,
siswa belum berani mengemukakan pendapatnya saat berdiskusi. Oleh karena itu, guru perlu
memperhatikan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik pendekatan saintifik
dan tujuan pengembangan kemampuan pemecahan masalah.
Pemecahan masalah Matematika tidak semata-mata bertujuan untuk mencari sebuah jawaban
yang benar, tetapi menghubungkan antara apa yang mereka pelajari, kemampuan yang
mereka miliki, dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan sesuai dengan
situasi (Freitas: 2008). Menurut Polya, dalam pemecahan masalah terdapat empat langkah
yang harus dilakukan yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan
masalah sesuai rencana dan menafsirkan, dan melihat kembali. Kim (2012) menjelaskan
bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa dapat ditingkatkan melalui pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Salah satu model pembelajaran tersebut adalah model pembelajaran
kooperatif. Hasil penelitian Winarni (2014) menyatakan bahwa guru Matematika sebaiknya
menggunakan model pembelajaran kooperatif dalam menerapkan pendekatan saintifik.
Salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran Teams
Games Tournament (TGT). Hasil penelitian Tampubolon (2013) menyatakan bahwa model
pembelajaran TGT dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan pemahaman
Matematika. Sejalan dengan itu, hasil penelitian Rohendi (2010) menyatakan bahwa
aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran TGT memungkinkan
siswa dapat belajar lebih rileks, menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama,
persaingan sehat, dan siswa aktif dalam belajar bersama kelompoknya. Oleh karena itu,
model pembelajaran kooperatif TGT sangat relevan digunakan sesuai dengan karakteristik
dari pembelajaran Matematika di SMP.
Pembelajaran Matematika di kelas tidak cukup hanya dilakukan dengan mengintegrasikan
model dan pendekatan, tapi juga diperlukan perangkat pembelajaran Matematika yang sesuai
dengan karakteristik Kurikulum 2013. Beberapa perangkat pembelajaran yang perlu
dipersiapkan diantaranya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kegiatan
Siswa (LKS), dan soal tes. Berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa perangkat
pembelajaran yang digunakan oleh guru Matematika SMPN 2 Pemalang, belum cukup
mampu memfasilitasi guru untuk mempersiapkan antisipasi terhadap kemungkinan
beragamnya respons siswa dalam pembelajaran.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dan kondisi lapangan yang memerlukan
adanya upaya pemecahan masalah, salah satu cara pemecahannya adalah peneliti melakukan
pengembangan perangkat pembelajaran model kooperatif TGT dengan pendekatan saintifik
sehingga diperoleh perangkat pembelajaran yang valid, praktis, dan efektif untuk
pembelajaran Matematika pada materi operasi aljabar kelas VIII SMP.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
175
1. Bagaimana pengembangan dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran
Matematika model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar yang
valid dan praktis?
2. Bagaimana keefektifan pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran
Matematika model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan proses dan hasil pengembangan
perangkat pembelajaran Matematika dengan model TGT dengan pendekatan saintifik pada
materi operasi aljabar yang valid dan praktis; (2) mengetahui keefektifan pembelajaran
menggunakan perangkat pembelajaran Matematika dengan model TGT dengan pendekatan
saintifik pada materi operasi aljabar.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam penelitian pengembangan. Populasi pada penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas VIII SMPN 2 Pemalang Tahun Pelajaran 2014/2015. Uji coba penelitian
ini dilakukan di kelas VIII SMPN 2 Pemalang. Sampel penelitian sebanyak 70 responsden
yang terdiri atas 35 siswa sebagai kelas eksperimen dan 35 siswa sebagai kelas kontrol.
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi: (1) RPP; (2) LKS; (3) Tes
Kemampuan Pemecahan Masalah pada materi operasi aljabar. Pengembangan perangkat
pembelajaran dalam penelitian ini mengacu pada model pengembangan 4-D Thiagarajan dkk
(dalam Rochmad, 2012), namun dalam penelitian ini peneliti hanya menempuh 3D, yaitu
define, design, dan develop.
Tujuan tahap define adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran.
Dalam menentukan dan menetapkan syarat-syarat pembelajaran diawali dengan analisis
tujuan dan batasan materi yang dikembangkan perangkatnya. Ada 5 langkah pokok dalam
tahap pendefinisian yaitu analisis awal akhir, analisis siswa, analisis materi, analisis tugas,
dan perumusan tujuan pembelajaran. Tahap design adalah tahap untuk menyiapkan prototipe
perangkat pembelajaran. Perancangan awal ini merupakan perancangan perangkat
pembelajaran beserta instrumen yang akan dikembangkan. Tahap develop adalah tahapan
untuk memodifikasi prototipe perangkat pembelajaran sehingga menghasilkan perangkat
pembelajaran. Tahap develop ini terdiri atas validasi perangkat pembelajaran, uji
keterbacaan, dan uji coba.
Uji efektivitas bertujuan untuk mengetahui keefektifan perangkat pembelajaran yang telah
dikembangkan. Uji efektivitas menggunakan penelitian eksperimental semu. Variabel terikat
dalam penelitian ini adalah hasil belajar Matematika aspek pemecahan masalah, sedangkan
variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Metode pengumpulan data
menggunakan metode dokumentasi, observasi, angket, dan tes. Instrumen yang digunakan
yaitu lembar validasi, lembar observasi keterlaksanaan RPP, lembar observasi aktivitas
siswa, angket respons siswa, dan angket respons guru.
Kualitas produk yang dikembangkan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nieveen (dalam
Rochmad, 2012), yaitu jika memenuhi aspek kualitas yang dilihat dari validitas, kepraktisan,
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
176
dan keefektifan. Analisis data kevalidan perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran
dikatakan valid jika rata-rata skor masing-masing perangkat berada pada kategori baik atau
sangat baik. Analisis data kepraktisan perangkat pembelajaran, meliputi: (1) analisis data
respons siswa terhadap pembelajaran. Respons siswa dikatakan mempunyai respons positif
jika rata-rata persentase respons siswa lebih dari75%; (2) Analisis respons guru terhadap
perangkat pembelajaran dikategorikan praktis jika respons guru terhadap perangkat
pembelajaran minimal baik; (3) analisis data keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran
dikatakan praktis jika termasuk dalam kategori baik atau sangat baik.
Analisis data keefektifan perangkat pembelajaran, meliputi: (1) Analisis data aktivitas siswa
termasuk dalam kategori baik atau sangat baik; (2) kemampuan pemecahan masalah siswa
yang dikenai pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik lebih baik daripada yang
dikenai pembelajaran klasikal dengan pendekatan saintifik, yang diuji menggunakan uji
perbedaan rata-rata; (3) kemampuan pemecahan masalah siswa kelas pembelajaran TGT
dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar mencapai ketuntasan belajar
klasikal. Ketuntasan klasikal dihitung menggunakan uji proporsi pihak kanan dengan
proporsi ketuntasan klasikal sebesar 75%.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil validasi perangkat pembelajaran oleh ahli, diperoleh bahwa masing perangkat
pembelajaran valid dengan kategori baik, artinya perangkat pembelajaran dapat digunakan
dengan sedikit revisi. Secara umum, hasil validasi oleh para ahli ditunjukkan pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran
Perangkat
Pembelajaran
Skor dari Validator Skor
Rata-rata Kriteria
I II III IV V
RPP 3,25 3,46 3,25 3,32 3,32 3,32 Baik
LKS 3,11 3,44 3,67 3,44 3,44 3,42 Baik
TKPM 3,44 3,33 3,56 3,33 3,56 3,44 Baik
Berdasarkan komentar dan saran dari validator dilakukan evaluasi dan ditindaklanjuti dengan
melakukan revisi pada bagian yang perlu diperbaiki. RPP yang dikembangkan memiliki
karakteristik antara lain: (1) RPP mencantumkan kompetensi inti, kompetensi dasar, dan
indikator pencapaian kompetensi yang jelas; (2) penyusunan RPP mengacu pada tuntutan
Kurikulum 2013 yang diterapkan di SMP; (3) memuat fase-fase model pembelajaran Teams
Games Tournament; (4) memuat komponen 5M yang merupakan prinsip dari pendekatan
saintifik; (5) memberikan siswa pengalaman belajar mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
melalui model pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik; (6) penyajian materi diawali
dengan fenomena dan masalah nyata di sekitar siswa; (7) mengarahkan siswa untuk
memecahkan masalah melalui tahapan kegiatan pembelajaran dan media LKS yang
digunakan.
LKS yang dikembangkan memiliki karakteristik antara lain: (1) LKS mencantumkan
kompetensi inti, kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi yang jelas; (2) LKS
berisi latihan soal dan kegiatan siswa yang diharapkan mampu melatih kemampuan
pemecahan masalah siswa; (3) LKS memfasilitasi siswa dalam belajar kelompok sehingga
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
177
LKS diharapkan dapat memfasilitasi siswa secara aktif bereksplorasi dengan cara berdiskusi
kelompok untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah; (4) LKS memberikan siswa
kesempatan untuk memikirkan berbagai alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan
karena format yang dipilih juga disesuaikan dengan 5M pendekatan saintifik dan langkah-
langkah penyelesaian masalah menurut Polya. Contoh tampilan LKS yang telah
dikembangkan ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Tampilan LKS yang telah dikembangkan
Soal tes kemampuan pemecahan masalah yang dikembangkan memiliki karakteristik antara
lain: (1) soal tes disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi pada materi operasi
aljabar; (2) soal tes disesuaikan dengan kriteria soal pemecahan masalah dan jawabannya
harus melalui proses 4 tahap pemecahan masalah menurut Polya. Produk akhir tes
kemampuan pemecahan masalah adalah seperangkat soal yang memenuhi kriteria validitas
isi, tingkat kesukaran baik, daya pembeda baik, dan reliabel.
Setelah soal dinyatakan valid secara kualitatif berdasarkan konten, konstruk, dan bahasa
kemudian soal tes kemampuan pemecahan masalah diujicobakan. Uji coba perangkat tes
kemampuan pemecahan masalah dilakukan di kelas VIII C. Soal uji coba terdiri dari 8 soal
uraian yang harus dikerjakan siswa dalam waktu 80 menit. Berdasarkan hasil uji coba tes
tersebut, diperoleh 5 soal yang memenuhi kriteria tingkat kesukaran, daya beda, dan
reliabilitas baik.
Berdasarkan hasil validasi yang dilakukan oleh lima orang ahli, diperoleh bahwa perangkat
pembelajaran matematika yang dikembangkan berada dalam kategori valid.Tercapainya
kriteria valid tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) komponen-komponen
perangkat pembelajaran matematika model TGT dengan pendekatan saintifiktelah sesuai
landasan teori dan indikator yang terdapat pada instrumen validitas perangkat pembelajaran;
(2) penyusunan perangkat pembelajaran matematika mengacu pada tuntutan standar proses
SMP Kurikulum 2013; (3) RPP, LKS, dan tes kemampuan pemecahan masalah
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
178
dikembangkan dengan mengakomodasi pelaksanaan Kurikulum 2013 dalam pembelajaran.
Hasil revisi draft I perangkat pembelajaran selanjutnya dijadikan draft II perangkat
pembelajaran. Tahap berikutnya adalah melakukan uji coba draft II perangkat pembelajaran
dalam proses pembelajaran di kelas. Uji coba perangkat pembelajaran di lapangan bertujuan
untuk mencari kepraktisan dan keefektifan perangkat pembelajaran. Uji coba perangkat
pembelajaran dilakukan pada kelas eksperimen, yaitu kelas VIII H SMPN 2 Pemalang,
sedangkan kelas kontrol adalah kelas VIII E SMPN 2 Pemalang. Sebelum uji coba perangkat
pembelajaran dilaksanakan, perlu dilakukan uji prasyarat dengan uji normalitas dan uji
homogenitas serta uji keseimbangan.Berdasarkan nilai UAS Matematika kelas VII semester
genap pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, diperoleh bahwa kedua sampel berasal dari
populasi berdistribusi normal, homogen, serta tidak ada perbedaan rerata antara dua populasi
tersebut.
Hasil uji coba perangkat pembelajaran menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang
dikembangkan praktis, dengan indikator: (1) pengamat berpendapat bahwa keterlaksanaan
RPP dalam pembelajaran baik; (2) respons siswa terhadap perangkat pembelajaran positif;
(3) respons guru terhadap perangkat pembelajaran baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Rochmad (2012) bahwa kepraktisan mengacu pada tingkat bahwa pengguna (atau pakar-
pakar lainnya) mempertimbangkan intervensi dapat digunakan dan disukai dalam kondisi
normal. Perangkat pembelajaran praktis karena keterlaksanaan pembelajaran baik dan
respons siswa guru baik.
Hasil uji coba pembelajaran model TGT dengan pendekatan saintifik telah menunjukkan
hasil: (1) aktivitas siswa di kelas eksperimen baik; (2) kemampuan pemecahan masalah
siswa kelas uji coba perangkat lebih baik daripada kelas pembelajaran klasikal dengan
pendekatan saintifik; (3) proporsi siswa yang dikenai model pembelajaran TGT dengan
pendekatan saintifik di SMPN 2 Pemalang. Berdasarkan ketiga hal tersebut berarti uji coba
pembelajaran model TGT dengan pendekatan saintifik telah menghasilkan proses
pembelajaran yang efektif.
Keberhasilan pembelajaran dengan model TGT dengan pendekatan saintifik disebabkan
karena model tersebut dan perangkat pembelajarannya berhasil meningkatkan kerjasama
siswa ke arah positif terutama kemampuan membantu teman memecahkan masalah secara
individu maupun berdiskusi sampai dengan ditemukan solusinya dan memperhatikan
kesulitan siswa lain. Siswa lebih terlatih menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah
sehingga kemampuan pemecahan masalahnya menjadi lebih baik.
Pengembangan perangkat pembelajaran matematika model TGT dengan pendekatan saintifik
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa SMP pada kelas eksperimen
menciptakan proses pembelajaran dan transfer ilmu pengetahuan yang lebih optimal
dibanding pada kelas kontrol sehingga wajar jika kemampuan pemecahan masalah siswa di
kelas uji coba lebih baik daripada di kelas kontrol. Keberhasilan tersebut disebabkan karena
pembelajaran dengan model kooperatif TGT berbasis konstruktivisme dan perangkat
pembelajaran berhasil meningkatkan kemampuan dan kecakapan yang dimiliki siswa ke arah
positif. Hasil ini telah sesuai dengan pendapat Bahbahani (2006) yang menyatakan bahwa
penggunaan variasi pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran mempengaruhi
prestasi, motivasi, dan aktualisasi diri siswa. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Tran
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
179
(2013), Tarim dan Akdeniz (2008), Özsoy dan Yildiz (2004) menunjukkan bahwa model
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar matematika serta lebih baik
dari model pembelajaran langsung. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Putrawan
(2014) dan Dewi dkk (2014) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan
saintifik efektif.
4. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengembangan dan uji coba yang dilakukan, maka dapat dikemukakan
simpulan bahwa:(1) perangkat pembelajaran matematika dengan model TGT dengan
pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar adalah valid berdasarkan penilaian ahli; (2)
perangkat pembelajaran yang dikembangkan praktis, karena setelah diujicobakan
menunjukkan adanya respons positif dari siswa, adanya respons yang baik dari guru, dan
keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran pada kategori baik; (3) pembelajaran efektif pada
kelas eksperimen karena setelah diujicobakan menunjukkan aktivitas siswa kelas uji coba
berkategori baik, rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa kelas uji coba perangkat
lebih baik dari kelas kontrol, dan kemampuan pemecahan masalah siswa telah mencapai
ketuntasan klasikal.
Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran
yang dirangkum sebagai berikut.(1) Mengacu pada hasil penelitian ini, model pembelajaran
TGT dengan pendekatan saintifik memberikan kemampuan pemecahan masalah yang lebih
baik daripada model pembelajaran klasikal. Melihat hal ini, guru mata pelajaran matematika
disarankan untuk menggunakan model pembelajaran tersebut dalam pembelajaran
matematika. Selain itu, guru hendaknya lebih kreatif dalam membuat soal pemecahan
masalah. (2) Mengacu pada hasil penelitian ini, diharapkan kepala sekolah memberi motivasi
kepada para guru untuk selalu berinovasi dalam melakukan pembelajaran di kelas. (3) Pada
penelitian ini dikembangkan perangkat pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik
sehingga bagi para calon peneliti diharapkan dapat meneruskan atau mengembangkan
perangkat pembelajaran lainnya. (4) Hasil penelitian ini terbatas pada materi operasi aljabar
kelas VIII SMP, untuk itu dapat dikembangkan pada materi lain dan jenjang yang lain pula.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada: kepala SMPN 2 Pemalang yang telah
memberikan ijin penelitian kepada penulis, guru matematika kelas VIII SMPN 2 Pemalang
yang telah membantu dan membimbing penulis pada saat pelaksanaan penelitian, siswa kelas
VIII SMPN 2 Pemalang tahun pelajaran 2014/2015 yang telah berpartisipasi dalam
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bahbahani, K. 2006. Inside Look: An Interior Potrait of Contructivist Teachers. International Journal
Contructivist. vol.17, no. 1, hlm.1-16.
Dewi, P.D., Suharta, P.G., dan Ardana, M.I. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Matematika dengan Pendekatan Scientific Berorientasi Teknologi Informasi dan
komunikasi untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Penalaran Siswa.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
180
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. vol. 3, no. 1, hlm. 1-
12.
Freitas, D.E. 2008. Critical Mathematics Education: Recognizing the Ethical Dimension of Problem
Solving. International Electronic Journal of Mathematics Education, vol. 3, no. 2. hlm.
79-95.
Kim, D. H. 2012. Improving Problem Solving and Critical Thinking among Korean Nursing Student
over an Academic Year. Educational Research Journal, vol. 2, no. 8, hlm: 257-265.
Özsoy, N dan Yildiz, N. 2004. The Effect of Learning Together Technique of Cooperative Learning
Method on Student Achievement in Mathematics Teaching 7th Class of Primary School
“Işbirlikli Öğrenme” Yönteminin Ilköğretim 7.Sinif Matematik Öğretiminde Öğrenci
Başarisi Üzerine Etkisi. The Turkish Online Journal of Educational Technology. vol.3,
no. 7, hlm. 49-54.
Putrawan, A.A. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan
Scientific Berbantuan Geogebra dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Komunikasi
dan Aktivitas Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP. e-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. vol. 3, no. 1, hlm. 13-26.
Rochmad. 2012. Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika. Journal Kreano
FMIPA UNNES. vol. 3, no.1, hlm. 59-72.
Rohendi, D. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament
Berbasis Multimedia dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran
Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jurnal Pendidikan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (PTIK). vol. 3, no. 1, hlm. 15-25.
Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Translated by Narulita Yusron.
2008. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Suherman, E., Turmudi, Suryadi, Herman, T., dan Suhendra. 2003. Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Tampubolon, P. 2013. Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Pemahaman
Matematika Siswa Melalui Strategi Kooperatif Tipe TGT. Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Sains dan Matematika. Salatiga: UKSW.
Tarim, K dan Akdeniz, F. 2008. The Effects of Cooperative Learning on Turkish Elementary
Students’ Mathematics Achievement and Attitude Towards Mathematics Using TAI and
STAD Methods, Educaton Study Math. vol.67, no. 3, hlm. 77-91.
Tran, V.D. 2013. Effects of Student Teams Achievement Division (STAD) on Academic
Achievement, and Attitudes of Grade 9th Secondary School Students towards
Mathematics. International Journal of Sciences. vol.2, no. 1, hlm 5-15.
Winarni, S. 2014. Peranan Cooperative Learning dalam Pembelajaran Matematika pada Kurikulum
2013. Jurnal Edumatica. vol 4, no. 1, hlm. 16-22.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
181
PEDOMAN PENSKORAN
Sumaryanta
PPPPTK Matematika, Yogyakarta, [email protected]
Abstrak. Salah satu aspek yang mempengaruhi keakuratan dan keadilan hasil
penilaian adalah ketepatan guru dalam mengoreksi hasil jawaban siswa. Koreksi yang
dilakukan tanpa hati-hati dan cermat berpotensi menghasilkan skor penilaian yang
tidak tepat. Hal ini akan menyebabkan kurang tepatnya penilaian yang diberikan guru
pada siswa. Dalam konteks inilah pedoman penskoran penting dan mutlak harus
disiapkan sebaik-baiknya oleh guru. Pedoman penskoran merupakan pedoman
menentukan skor terhadap hasil pekerjaan siswa. Dengan pedoman penskoran yang
baik, guru memiliki pijakan yang jelas dalam memberikan skor terhadap jawaban
siswa. Artikel ini merupakan hasil kajian pustaka disertai contoh pengembangan
pedoman penskoran. Melalui artikel ini diharapkan guru memiliki pemahaman yang
lebih jelas dan komprehensif tentang pedoman penskoran sehingga dapat
melaksanakan penilaian objektif dan akuntabel.
Kata Kunci: Penilaian, Pedoman, Penskoran
1. Pendahuluan
Dalam Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Standar
Kompetensi Guru dinyatakan bahwa salah satu kompetensi inti guru adalah
menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Kompetensi inti tersebut
dijabarkan dalam tujuh kompetensi, yaitu: 1) memahami prinsip-prinsip penilaian dan
evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, 2)
menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan dievaluasi
sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, 3) menentukan prosedur penilaian
dan evaluasi proses dan hasil belajar, 4) mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar, 5) mengadministrasikan penilaian proses dan hasil belajar secara
berkesinambungan dengan mengunakan berbagai instrumen, 6) menganalisis hasil penilaian
proses dan hasil belajar untuk berbagai tujuan, dan 7) melakukan evaluasi proses dan hasil
belajar.
Memperhatikan tuntutan kompetensi guru pada Permendiknas di atas, dapat diketahui bahwa
salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru adalah mengembangkan instrumen penilaian
dan evaluasi proses dan hasil belajar. Kompetensi ini tidak terpisah dengan kompetensi
lainnya. Kompetensi ini sangat penting untuk mendapatkan keakuratan dan keadilan
penilaian pada siswa. Hanya dengan instrumen penilaian yang baik, guru dapat memperoleh
hasil penilaian yang baik. Instrumen penilaian yang baik harus dilengkapi ketentuan-
ketentuan yang diperlukan untuk menentukan skor perolehan siswa. Ketentuan-ketentuan
inilah yang dikenal dengan pedoman penskoran. Pedoman penskoran diperlukan sebagai
pedoman menentukan skor hasil kerja siswa sehingga diperoleh skor seobjektif mungkin.
Oleh karena itu, penting bagi guru mempelajari dengan baik pedoman penskoran serta
langkah mengembangkannya sehingga hasil penilaian yang diperoleh lebih akurat dan
berkeadilan.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
182
2. Pengertian dan Jenis Pedoman Penskoran
Dalam evaluasi pembelajaran diperlukan pedoman penskoran yang dapat digunakan sebagai
petunjuk menilai pekerjaan siswa (Charlotte Danielson, 1997). Pedoman penskoran adalah
pedoman yang digunakan untuk menentukan skor hasil penyelesaian pekerjaan siswa. Skor
ini kemudian ditafsirkan menjadi nilai. Kesulitan yang dihadapi adalah menetapkan skor
dengan tepat terhadap penyelesaian pekerjaan siswa, baik tugas, ulangan, atau yang lain.
Konsistensi penskoran sangat penting untuk pemerolehan hasil penilaian antar siswa yang
tidak bias dikarenakan penilaian guru yang tidak konsisten.
Proses pengembangan pedoman penskoran perlu memperhatikan aspek dan kriteria yang
digunakan sebagai kerangka untuk menentukan skor terhadap hasil kerja siswa (Charlotte
Danielson, 1997). Aspek dan kriteria ini harus didefinisikan dengan jelas dan benar sebagai
pijakan dalam perumusan pedoman penskoran lebih lanjut. Aspek belajar yang dinilai harus
diselaraskan dengan kompetensi yang dipelajari siswa sehingga dapat membimbing guru
memberikan penilaian yang akurat. Kriteria penilaian juga penting ditentukan dengan baik
sebagai pijakan menentukan standar penskoran yang akan ditetapkan dalam pedoman.
Kriteria yang jelas akan membantu pengembang untuk menghasilan pedoman penskoran
yang tepat sehingga penilaian yang dihasilkan akan berkeadilan.
Akurasi dan keadilan penilaian merupakan prasyarat mutlak untuk dapat dihasilkannya
penilaian yang objektif dan akuntabel, selaras dengan tuntutan penilaian menurut
Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian. Dalam Permendikbud tersebut
dijelaskan bahwa penilaian harus dilakukan dengan objektif dan akuntabel, yaitu berbasis
pada standar dan tidak dipengaruhi oleh faktor subjektivitas penilai serta harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada pihak internal maupun eksternal sekolah. Pedoman
penskoran yang baik akan membantu guru menjawab kebutuhan terpenuhinya kedua prinsip
penilaian tersebut.
Pedoman penskoran diperlukan baik untuk tes bentuk pilihan maupun uraian. Kedua bentuk
tes tersebut memerlukan pedoman yang jelas apa dan bagaimana penilaian dilakukan.
2.1 Penskoran Tes Bentuk Pilihan
Cara penskoran tes bentuk pilihan ada dua, yaitu tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan
dan dengan koreksi terhadap jawaban tebakan (Djemari Mardapi. 2008).
1) Penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan
Untuk memperoleh skor dengan teknik penskoran ini digunakan rumus sebagai berikut:
Skor =
100
Keterangan:
B : banyaknya butir yang dijawab benar
N : banyaknya butir soal
Penskoran tanpa koreksi saat ini banyak digunakan dalam penilaian pembelajaran.
Namun teknik penskoran ini sesungguhnya mengandung kelemahan karena kurang
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
183
mampu mencegah peserta tes berspekulasi dalam menjawab tes. Hal ini disebabkan
tidak adanya resiko bagi siswa ketika memberikan tebakan apapun dalam memilih
jawaban sehingga jika mereka tidak mengetahui jawaban mana yang paling tepat maka
mereka leluasa memilih salah satu pilihan secara sembarang. Benar atau salahnya
jawaban sembarang tidak menunjukkan kemampuan siswa. Semakin banyak jawaban
tebakan semakin besar penyimpangan skor dengan penguasaan kompetensi siswa yang
sesungguhnya.
2) Penskoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan
Untuk memperoleh skor siswa dengan teknik penskoran ini digunakan rumus sebagai
berikut:
Skor =
Keterangan
B : banyaknya butir soal yang dijawab benar
S : banyaknya butir yang dijawab salah
P : banyaknya pilihan jawaban tiap butir.
N : banyaknya butir soal
Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0.
Keunggulan teknik penskoran ini dibanding penskoran tanpa koreksi adalah teknik ini
lebih mampu meminimalisir spekulasi jawaban siswa. Jika siswa mengetahui jawaban
salah akan berdampak berkurangnya skor yang akan mereka dapatkan maka siswa akan
lebih hati-hati memilih jawaban. Jika siswa tidak memiliki keyakinan yang cukup tentang
kebenaran jawabannya, maka siswa akan memilih mengosongkan jawaban untuk
menghindari pengurangan.
Contoh 1.
Andaikan Rizki mengerjakan soal pilihan ganda sebanyak 30 butir dengan 4 alternatif
jawaban. Pekerjaan yang benar sebanyak 16 butir. Skor yang diperoleh Rizki dihitung
sebagai berikut
Skor =
=
= 37,777778
38
2.2 Penskoran bentuk uraian
Pedoman penskoran tes bentuk urian ada dua macam, yaitu pedoman penskoran analitik dan
penskoran holistic (Djemari Mardapi. 2008).
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
184
a. Menggunakan penskoran analitik
Penskoran analitik digunakan untuk permasalahan yang batas jawabannya sudah jelas dan
terbatas. Biasanya teknik penskoran ini digunakan pada tes uraian objektif yang mana
jawaban siswa diuraikan dengan urutan tertentu. Jika siswa telah menulis rumus yang
benar diberi skor, memasukkan angka ke dalam formula dengan benar diberi skor,
menghasilkan perhitungan yang benar diberi skor, dan kesimpulan yang benar juga diberi
skor. Jadi, skor suatu butir merupakan penjumlahan dari sejumlah skor dari setiap respon
pada soal tersebut.
b. Menggunakan penskoran dengan skala global (holistik)
Teknik ini cocok untuk penilaian tes uraian non objektif. Caranya adalah dengan
membaca jawaban secara keseluruhan tiap butir kemudian meletakkan dalam kategori-
kategori mulai dari yang baik sampai kurang baik, bisa tiga sampai lima. Jadi tiap
jawaban siswa dimasukkan dalam salah satu kategori, dan selanjutnya tiap jawaban tiap
kategori diberi skor sesuai dengan kualitas jawabannya. Kualitas jawaban ditentukan oleh
penilai secara terbuka, misalnya harus ada data atau fakta, ada unsur analisis, dan ada
kesimpulan.
Penskoran soal uraian kadang menggunakan pembobotan. Pembobotan soal adalah
pemberian bobot pada suatu soal dengan membandingkan terhadap soal lain dalam suatu
perangkat tes yang sama. Pembobotan soal uraian hanya dilakukan dalam penyusunan
perangkat tes. Apabila soal uraian berdiri sendiri tidak dapat ditetapkan bobotnya. Bobot
setiap soal mempertimbangkan faktor yang berkaitan materi dan karakteristik soal itu
sendiri, seperti luas lingkup materi yang hendak dibuatkan soalnya, esensialitas dan tingkat
kedalaman materi yang ditanyakan serta tingkat kesukaran soal. Hal yang juga perlu
dipertimbangkan adalah skala penskoran yang hendak digunakan, misalnya skala 10 atau
skala 100. Apabila digunakan skala 100, maka semua butir soal dijawab benar, skornya 100;
demikian pula bila skala yang digunakan 10. Hal ini untuk memudahkan perhitungan skor.
Skor akhir siswa ditetapkan dengan jalan membagi skor mentah yang diperoleh dengan skor
mentah maksimumnya kemudian dikalikan dengan bobot soal tersebut. Rumus yang dipakai
untuk penghitungan skor butir soal (SBS) adalah :
SBS = x c
Keterangan SBS : skor butir soal
a : skor mentah yang diperoleh siswa untuk butir soal
b : skor mentah maksimum soal
c : bobot soal
Setelah diperoleh SBS, maka dapat dihitung total skor butir soal berbagai skor total siswa
(STP) untuk serangkaian soal dalam tes yang bersangkutan, dengan menggunakan rumus :
Keterangan STP : skor total peserta
SBS : skor butir soal
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
185
Contoh 2. Bobot soal sama, dengan skala 0 sampai dengan 100
No. Soal
Skor Mentah
Perolehan
Skor Mentah
Maksimum
Bobot
Soal
Skor Bobot
Soal
(a) (b) (c) (SBS)
1 30 60 20 10,00
2 20 40 30 15,00
3 10 20 30 15,00
4 20 20 20 20,00
Jumlah 80 140 100 60,00 (STP)
Contoh 3. Bila STP tidak sama dengan Total Bobot Soal dan Skala 100
No. Soal
Skor Mentah
Perolehan
Skor Mentah
Maksimum
Bobot
Soal
Skor Bobot
Soal
(a) (b) (c) (SBS)
01 30 60 20 10.00
02 40 40 30 30.00
03 20 20 30 30.00
04 10 20 20 10.00
Jumlah 100 140 100 10.00 (STP)
Pada dasarnya STP merupakan penjumlahan SBS, bobot tiap soal sama semuanya. Contoh
ini berlaku untuk soal uraian objektif dan uraian non-objektif, asalkan bobot semua butir soal
sama.
Pembobotan juga digunakan dalam soal bentuk campuran, yaitu pilihan dan uraian.
Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan oleh
cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat dalam
mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak,
sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih
banyak dan lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri dari N1 soal pilihan ganda dan N2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan
ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika seorang siswa menjawab benar
n1 pilihan ganda dan n2 soal uraian, maka siswa itu mendapat skor:
Misalkan, suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan dan 4 buah
soal bentuk uraian. Soal pilihan ganda dijawab benar 16 dan dijawab salah 4, sedang bentuk
uraian dijawab benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40
dan bentuk uraian 0,60, skor dapat dihitung:
a) Skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan: × 100 =80
b) Skor bentuk uraian adalah: ×100 = 50.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
186
c) Skor akhir adalah: 0,4 × (80) + 0,6 × (50) = 62.
3. Pengembangan Pedoman Penskoran
3.1 Langkah-langkah pengembangan pedoman penskoran
Ada tujuh langkah untuk mengembangkan pedoman penskoran, yaitu: menentukan tujuan,
mengidentifikasi atribut, menjabarkan karakteristik atribut, menentukan teknik penskoran,
menyusun pedoman penskoran, melakukan piloting/ujicoba terbatas, dan memperbaiki
pedoman penskoran menjadi pedoman siap pakai (Charlotte Danielson, 1997).
1) Menentukan tujuan
Tujuan akan mengarahkan pada langkah pengembangan selanjutnya. Tes dikembangkan
sesuai kebutuhan pengumpulan data aspek-aspek yang memang menjadi tujuan pengukuran.
Misalkan, akan dikembangkan pedoman penskoran tes uraian non objektif untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah siswa, akan berbeda dengan pedoman penskoran tes untuk
mengukur kreativitas berpikir. Tes untuk pengukuran kemampuan pemecahan masalah harus
mampu menggali informasi terkait kompetensi pemecahan masalah, antara memahami
masalah, merumuskan penyelesaian masalah, melaksanakan rencana penyelesaian masalah,
dan menarik kesimpulan. Begitu juga tes untuk mengukur pemahaman konsep, harus mampu
mengukur domain-domain tentang kreativitas berpikir, misal: berpikir lancar, luwes, orisinil,
terperinci, dan keterampilan menilai.
2) Identifikasi atribut secara spesifik yang ingin dinilai
Pada tahap ini harus diidentifikasi aspek-aspek apa saja yang akan menjadi fokus penilaian.
Jika tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah maka harus ditetapkan indikator-
indikator kunci kemampuan pemecahan masalah. Contoh lain, jika tes untuk mengukur
kemampuan kreativitas berpikir siswa, maka harus ditetapkan apa saja indikator kunci
kreativitas berpikir.
3) Menjabarkan karakteristik yang menggambarkan setiap atribut
Setelah atribut yang akan diukur secara jelas telah teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah
menjabarkan karakteristik atribut tersebut. Karakteristik ini inilah yang selanjutnya akan
menjadi poin pencermatan utama dalam penetapan skor. Misalkan pada pedoman penskoran
tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah, karakteristiknya antara lain:
kemampuan memahami masalah, kemampuan merumuskan penyelesaian, kemampuan
melaksanakan penyelesaian, kemampuan menyimpulkan/menafsirkan penyelesaian
4) Menentukan teknik penskoran
Agar skor yang diperoleh dapat menggambarkan atribut yang diukur dengan baik, Anda
harus menentukan teknik penskoran yang tepat. Anda dapat memilih salah satu disesuaikan
kebutuhan, analitik atau holistik. Untuk penskoran tes uraian objektif menggunakan
pedoman penskoran analitik, sedang tes uraian non objektif menggunakan pedoman
penskoran holistik. Jika pada tes tersebut terdapat soal uraian objektif sekaligus non objektif,
maka dapat digunakan kedua teknik penskoran tersebut sesuai dengan masing-masing soal.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
187
5) Menyusun pedoman penskoran
Penyusunan pedoman penskoran disesuaikan dengan teknik penskoran yang digunakan. Jika
teknik penskoran menggunakan teknik penskoran analitik, langkah awalnya adalah membuat
kunci jawaban seluruh butir soal. Selanjutnya menentukan skor setiap soal. Skor setiap soal
ditetapkan dengan menetapkan skor setiap unit. Skor tiap butir diperoleh dengan menjumlah
skor semua unit. Penetapan skor juga perlu memperhatikan bobot masing-masing butir,
sehingga skor akhir mewakili secara proporsional keseluruhan dimensi yang diukur. Jika
Anda menggunakan teknik penskoran holistik, penyusunan penskoran dapat diawali dengan
menyusun atribut dan indikator kunci dari aspek yang diukur. Atribut dan indikator kunci
tersebut kemudian dirumuskan menjadi kategori-kategori untuk menentukan skor jawaban.
6) Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penskoran
Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penskoran dilakukan dengan
menggunakannya pada beberapa lembar jawaban siswa.
a. Dilakukan sendiri
Cermatilah aplikabilitas penskoran Anda, apakah bisa diterapkan atau tidak,
menyulitkan atau tidak, jelas atau tidak, konsisten atau tidak, dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan keterbacaannya. Jika masih terdapat yang belum tepat, informasi
dari penggunaan terbatas ini digunakan untuk perbaikan.
b. Melibatkan orang lain
Ujicoba terbatas dapat dilakukan melibatkan teman guru lain. Mintalah teman Anda
mengoreksi lembar jawaban siswa yang Anda koreksi tadi dengan penskoran yang Anda
buat, sehingga diperoleh dua skor hasil koreksian. Hasil penskoran Anda dan teman
Anda kemudian dibandingkan. Jika ternyata terdapat perbedaan yang signifikan antara
skor hasil koreksi Anda dan teman Anda, dan perbedaan tersebut karena pedoman
penskoran yang kurang tepat, maka langkah perbaikan harus dilakukan berdasarkan data
temuan tersebut.
7) Memperbaiki pedoman penskoran
Perbaikan dilakukan berdasarkan informasi yang ditemukan pada piloting/ujicoba terbatas.
Perbaikan ini dapat meliputi penetapan skornya, redaksi, pembobotan, atau temuan lain yang
dipandang perlu untuk kebaikan dan kemudahan penggunaan pedoman penskoran tersebut.
3.2 Mengembangkan Pedoman Penskoran
1) Pedoman penskoran analitik
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pedoman ini digunakan untuk tes bentuk uraian
objektif. Berikut salah satu contoh pengembangan pedoman penskoran analitik yang akan
digunakan sebagai pedoman penentuan skor tes untuk mengukur penguasaan kompetensi
peserta didik dalam menghitung volume benda berbentuk balok dan mengubah satuan
ukurannya. Misalkan indikator dan butir soalnya adalah sebagai berikut:
Indikator : Siswa dapat menghitung volum bak mandi berbentuk balok jika diketahui
panjang, sisi, dan tingginya serta mengubah satuan ukuran.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
188
Butir Soal : Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80
cm, dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi volum bak mandi tersebut?
Mencermati atribut dan karakteristiknya, teknik penskoran yang tepat pada pedoman
penskoran soal di atas adalah penskoran analitik karena batas jawaban sudah jelas dan
terbatas.
Setelah ditetapkan tujuannya, Anda harus menentukan atribut yang akan diukur, yaitu
penguasaan kompetensi menghitung volum benda berbentuk balok dan mengubah satuan
ukurnya. Atribut ini kemudian dijabarkan karakteristiknya menjadi aspek-aspek yang diukur,
misal: menentukan rumus yang akan digunakan, menghitung volum berdasar rumus yang
ditetapkan, dan mengubah satuan.
Langkah selanjutnya Anda membuat kunci jawaban secara lengkap diuraikan dengan
menurut urutan tertentu. Bila siswa telah menulis rumus yang benar diberi skor,
memasukkan angka ke dalam formula dengan benar diberi skor, menghasilkan perhitungan
yang benar diberi skor, dan kesimpulan yang benar juga diberi skor. Skor akhir diperoleh
dengan menjumlahkan skor setiap respon pada soal tersebut. Berikut contoh pedoman
penskorannya:
Sebelum Anda gunakan, ujicobakan pedoman penskoran di atas pada beberapa lembar
pekerjaan siswa untuk mengetahui aplikabilitasnya. Jika ada beberapa bagian yang
menyulitkan penggunaannya, perbaikilah sebelum digunakan untuk mengoreksi seluruh
lembar jawaban siswa. Tetapi jika sudah dapat digunakan dengan baik, Anda dapat langsung
menggunakan pedoman penskoran di atas sebagai pedoman mengoreksi seluruh lembar
jawaban siswa.
2) Pedoman penskoran holistik
Misalkan Anda akan mengembangkan pedoman penskoran tes untuk mengukur kemampuan
pemecahan masalah siswa berikut.
Contoh 1.
Enuk, Endah, dan Sunarto masing-masing membeli sebuah buku di koperasi sekolah.
Enuk membeli buku seharga Rp. 750,00, Endah membeli buku seharga Rp. 800,00,
Langkah Kunci Jawaban Skor
1 Isi Balok = panjang × lebar × tinggi 1
2 = 150 cm × 80 cm × 75 cm 1
3 = 900.000 cm3
Isi bak mandi dalam liter :
4 = liter 1
5 = 900 liter 1
Skor Maksimum 5
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
189
dan Sunarto membeli buku seharga Rp. 850,00. Jika uang mereka masing-masing Rp.
1.000,00, berapakah keseluruhan sisa uang mereka bertiga?
Tujuan pengembangan penskoran ini jelas, yaitu sebagai pedoman penilaian pada
pengukuran kecakapan pemecahan masalah siswa. Setelah Anda menetapkan tujuan
penggunaan pedoman penskoran Anda, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi atribut
kemampuan pemecahan masalah. Lakukan kajian teoritik berbagai literatur sehingga
diperoleh gambaran jelas karakteristik kemampuan pemecahan masalah. Dari hasil kajian
tersebut, jabarkan karakteristik kemampuan pemecahan masalah sehingga bisa digunakan
sebagai poin pencermatan utama dalam penetapan skor.
Secara umum ada empat langkah memecahkan masalah, yaitu: memahami masalah,
membuat rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan
membuat kesimpulan. Berikut salah satu alternatif pedoman penskoran yang dapat
digunakan:
Kriteria 0 1 2
Memahami masalah Tidak memahami
masalah
Kurang memahami
masalah
Mampu memahami
masalah
Merumuskan
pemecahan masalah
Tidak mampu
merumuskan
pemecahan
Mampu merumuskan
pemecahan, tetapi tidak
tepat
Mampu merumuskan
pemecahanan dengan
tepat
Melaksanakan
pemecahan masalah
Tidak mampu
melaksanakan
pemecahan masalah
Mampu melaksanakan
pemecahan masalah,
tetapi tidak tepat
Mampu melaksanakan
pemecahan masalah
Membuat
kesimpulan
Tidak mampu
membuat kesimpulan
Mampu membuat
kesimpulan, tetapi tidak
tepat
Mampu membuat
kesimpulan
Contoh 2:
Suatu segienam beraturan dan segitiga samasisi memiliki keliling yang sama. Berapa
perbandingan luas segienam beraturan dan segitiga samasisi tersebut!
Soal di atas dapat diselesaikan dengan beragam cara sehingga diperlukan pedoman
penskoran holistik. Berikut salah satu bentuk pedoman penskoran yang dapat digunakan.
Pedoman penskoran
KRITERIA SKOR
Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, tetapi cara penyelesaian
tersebut tidak benar 0,5
Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, cara penyelesaian tersebut
dapat digunakan menentukan perbandingan luas kedua bangun, tetapi tidak berhasil
menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang tepat
1
Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, cara penyelesaian tersebut
dapat digunakan menentukan perbandingan luas kedua bangun, serta berhasil
menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang tepat, tetapi jawaban yang dituliskan
kurang jelas dan kurang komunikatif
2,5
Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, cara penyelesaian tersebut 3
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
190
dapat digunakan menentukan perbandingan luas kedua bangun, berhasil menyelesaikannya
sampai ditemukan jawaban yang tepat, dan jawabannya ditulis dengan jelas dan komunikatif
Untuk mempermudah penskoran hasil penyelesaian siswa, guru perlu memiliki alternatif
penyelesaian. Tentu alternatif penyelesaian ini tidak menjadi rujukan satu-satunya guru
mengkoreksi jawaban siswa. Alternatif ini hanya digunakan sebagai referensi sehingga
variasi cara penyelesaian siswa harus diakomodir dalam penskoran berdasarkan pedoman
yang telah disusun. Disinilah pentingnya pedoman holistik. Dengan pedoman penilaian
holistic, guru tetap dapat memberikan penghargaan yang lebih akurat dan berkeadilan untuk
seluruh siswa dengan masing-masing cara penyelesaiannya yang mungkin satu dengan yang
lain berbeda.
4. Kesimpulan
Pedoman penskoran merupakan pedoman menentukan skor pekerjaan siswa. Pedoman
penskoran bergantung bentuk soal yang digunakan guru. Penskoran tes bentuk pilihan ada
dua macam, yaitu: penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan dan penskoran dengan
koreksi terhadap jawaban tebakan. Penskoran tes bentuk uraian juga ada dua macamyaitu
pedoman penskoran analitik dan pedoman penskoran holistik. Guru harus mampu
menentukan dengan tepat jenis penskoran yang akan dibuat sehingga pedoman penskoran
tersebut benar-benar dapat memberikan hasil yang akurat dan adil terhadap hasil siswa.
Daftar Pustaka
Charlotte Danielson. 1997. A Collection of Performance Task and Rubrics. Larchmont, NY: Eye on
Education
Djemari Mardapi. 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Yogyakarta: Mitra Cendikia
Offset
Permendikbud No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
191
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVIS
PIAGET DAN VYGOTSKY
Sri Wulandari Danoebroto
PPPPTK Matematika, Yogyakarta; [email protected]
Abstrak. Teori perkembangan kognitif Piaget dan teori perkembangan sosiokultural
Vygotsky merupakan teori belajar yang banyak dirujuk oleh para guru matematika di
Indonesia. Kedua teori tersebut merupakan cikal bakal berkembangnya konstruktivisme.
Namun, bagaimana implikasi masing-masing teori dalam pembelajaran matematika dan
bagaimana kelemahan masing-masing teori jika diterapkan dalam pembelajaran
matematika? Untuk itu, artikel hasil studi literatur ini akan membahasnya dengan
meletakkan Indonesia sebagai kasus. Meskipun teori Piaget dan teori Vygotsky dapat
diterapkan dalam praktek pembelajaran matematika di Indonesia, namun masih
diperlukan kajian kritis dalam memahami dan memaknai teori tersebut. Dalam hal ini,
teori Piaget dan teori Vygotsky diaplikasikan melalui proses adaptasi dengan
memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia. Dengan demikian, harapan
akan suksesnya pendidikan matematika di Indonesia yang sekaligus memperkuat jati
diri bangsa dapat diwujudkan.
Kata Kunci. Teori Piaget, Teori Vygotsky, Konstruktivisme, Pembelajaran Matematika
1. Pendahuluan
Praktek pembelajaran matematika di Indonesia sangat dipengaruhi oleh teori belajar kognitif
dan teori belajar behavioral. Berbagai upaya telah dirintis untuk memperbaiki praktek
pembelajaran matematika dengan berpegang pada kedua aliran besar tersebut. Aliran teori
belajar kognitif diyakini sebagai suatu pembaharuan atau inovasi belajar yang diharapkan
dapat memperbaiki kualitas pendidikan matematika di Indonesia. Meskipun demikian, teori
belajar behavioral masih sangat mendominasi praktek pembelajaran matematika di sekolah
Indonesia.
Teori belajar yang banyak dirujuk dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah teori
perkembangan kognitif Piaget dan teori perkembangan sosiokultural Vygotsky. Tall (2013)
mengajukan skema teori belajar yang dikelompokkannya menjadi empat aliran yaitu
behavioris, kognitif, konstruktivis dan pendekatan sosial. Teori Piaget dan Vygotsky
ditempatkannya pada aliran konstruktivis, namun pada skema tersebut digambarkan garis
penghubung dengan aliran pendekatan sosial dan aliran kognitif. Aliran konstruktivis
dipandangnya memiliki kesamaan dengan pendekatan sosial serta terkait dengan aliran
kognitif. Teori Piaget dan Vygotsky memang menjadi cikal bakal berkembangnya
konstruktivisme, namun Vygotsky memiliki perhatian lebih dalam hal pengaruh lingkungan
sosial terhadap terbangunnya pengetahuan pada diri anak.
Intisari kedua teori tersebut hendaknya dipahami dengan baik oleh para guru agar upaya
untuk memperbaiki praktek pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan harapan. Untuk itu
perlu dikaji lebih lanjut bagaimana implikasi dari masing-masing teori pada pembelajaran
matematika serta bagaimana kelemahan dari masing-masing teori jika diterapkan dalam
pembelajaran matematika.
Artikel ini merupakan studi literatur untuk membahas implikasi masing-masing teori pada
pembelajaran matematika dengan meletakkan Indonesia sebagai kasus. Dalam hal ini,
diberikan contoh matematika dalam budaya Jawa yang dipengaruhi oleh cara pandang
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
192
masyarakat Jawa yang unik. Selanjutnya, akan dibahas kritik terhadap teori Piaget dan teori
Vygotsky untuk memperoleh penjelasan dan pemahaman yang lebih objektif.
2. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
2.1 Implikasi Teori Perkembangan Kognitif dalam Pembelajaran Matematika
Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang objek kajiannya bersifat abstrak sehingga
memerlukan penalaran deduktif untuk memahaminya. Oleh karena itu, belajar matematika
selalu dikaitkan dengan kesiapan kognitif. Dalam hal ini, belajar dipandang sebagai hasil
pencapaian dan perkembangan dari struktur kognitif. Kesiapan anak untuk belajar
matematika ditinjau dari kesiapan struktur kognitifnya, yaitu kapasitas kemampuan berpikir
secara terorganisir dan terkoordinir. Struktur kognitif diperlukan untuk mengembangkan
kemampuan penalaran yang dapat distimulasi melalui pengkajian matematis suatu objek.
Jadi, ada hubungan timbal balik antara kesiapan struktur kognitif dengan pengembangan
kemampuan penalaran dalam konteks belajar matematika.
Piaget terkenal dengan teori perkembangan kognitifnya. Ia memaparkan bahwa terkait
dengan perkembangan usia, maka kemampuan kognitif anak juga berkembang. Piaget
kemudian membagi perkembangan kognitif anak dalam empat tahap: (1) tahap sensori
motorik yaitu sejak lahir hingga anak berusia 2 tahun, (2) tahap praoperasional konkrit yaitu
sejak usia 2 tahun hingga 7 tahun, (3) tahap operasional konkrit yaitu sejak usia 7 tahun
hingga 11 tahun, dan (4) tahap operasional formal yaitu sejak usia 11 tahun dan seterusnya.
Perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh usia inilah yang kemudian menjadi acuan
guru-guru di Indonesia dalam mengajar matematika. Pemahaman bahwa anak-anak perlu
kapasitas struktur kognitif tertentu untuk mempelajari matematika pada tingkat tertentu
berimplikasi pada strategi mengajar guru. Misalnya, anak pada taraf berpikir operasional
konkrit maka materi matematika hendaknya dihadirkan melalui objek konkrit yang dapat
dimanipulasi oleh siswa. Dengan demikian, belajar matematika menurut teori Piaget perlu
disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif individu. Dalam kaitannya dengan
epistemologi, Piaget berpendapat bahwa anak membentuk pengetahuan melalui eksplorasi
lingkungan secara aktif. Problem pembelajaran matematika di Indonesia yang cenderung
individual dapat direduksi dengan mengelola pembelajaran yang memungkinkan anak untuk
berinteraksi sosial. Namun, guru harus mempertimbangkan jenis dan model interaksi yang
sesuai dengan taraf berpikir anak.
Meskipun teori Piaget dikenal sebagai teori perkembangan kognitif, ia juga memiliki
pandangan menarik tentang afektif. Menurut Piaget (Knud Illeris, 2004), semua skema
apapun pada waktu yang sama adalah afektif dan kognitif. Piaget juga mengungkapkan
bahwa kehidupan afektif seperti kehidupan kognitif, yaitu adaptasi berkelanjutan dan
keduanya tidak hanya paralel tetapi interdependen, karena perasaan mengekspresikan minat
dan memberikan nilai kepada tindakan serta kognitif yang menyediakan strukturnya. Suatu
contoh kasus yang dinyatakan oleh Piaget adalah tentang dua anak dan pelajaran aritmetika.
Salah satu anak tersebut menyukai aritmetika, sedang yang satunya lagi merasa tidak bisa
aritmetika dan mempunyai semua ciri-ciri anak yang lemah dalam matematika. Anak yang
pertama akan belajar lebih cepat, sedangkan yang kedua lebih lambat. Tapi bagi keduanya,
dua tambah dua sama dengan empat. Afektif tidak mempengaruhi struktur sama sekali.
2.2 Kritik Terhadap Teori Piaget
Meskipun belajar matematika dipandang sebagai hasil pencapaian dan perkembangan
kognitif, terdapat faktor lain yang mempunyai peran sangat signifikan yaitu motivasi dan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
193
emosi. Aspek emosi ini kurang mendapat perhatian oleh Piaget. Bagi Piaget emosi
merupakan interaksi yang positif, namun penelitiannya terkonsentrasi pada perkembangan
pengetahuan dan jarang menyentuh isu emosional (Knud Illeris, 2004).
Teori Piaget tentang perkembangan kognitif mendapat kritik antara lain dianggap
mengabaikan pengaruh interaksi sosial terhadap perkembangan manusia (Laurenco &
Machado, 1996:150). Kritik yang muncul dari para pengikut teori Vygotsky ini seiring
meningkatnya pandangan bahwa konteks sosial individu berpengaruh terhadap
perkembangan kognitifnya. Dalam hal ini, belajar hendaknya juga dipandang sebagai proses
perubahan individu dalam interaksinya dengan lingkungan sosial dan budaya. Dengan
demikian, belajar bukan sekedar hasil pencapaian dan perkembangan struktur kognitif.
Menurut Piaget (Wadsworth, 1984: 29) ada empat fakor yang mempengaruhi perkembangan
kognitif seseorang yaitu: pengalaman, kematangan, transmisi sosial dan equilibrasi atau
keseimbangan internal. Interaksi keempat faktor ini menjadi landasan bagi perkembangan
kognitif atau konstruksi struktur mental seseorang. Dalam pandangan Piaget sebagai ahli
biologi, maka kematangan dipengaruhi oleh usia. Namun apakah pengalaman, transmisi
sosial dan equilibrasi juga dipengaruhi oleh usia? Ketiga faktor tersebut merupakan faktor
eksternal sehingga seharusnya menjadi bersifat relatif karena tergantung bagaimana individu
itu berinteraksi. Dengan demikian, lingkungan sosial budaya juga memiliki andil dalam
perkembangan kognitif seseorang. Bila lingkungan sosial budaya diperhitungkan maka
kecepatan perkembangan kognitif antar individu pada usia yang sama dapat berbeda, hal ini
tergantung pada variasi dan intensitas pengalaman belajar anak melalui lingkungan
sekitarnya.
Teori Piaget sendiri sesungguhnya lebih cenderung pada pendekatan epistemologi yang
menggunakan perkembangan anak untuk memahami asal dan logika ilmu pengetahuan
ilmiah (Smith, 1995). Hal ini menjelaskan mengapa teori Piaget banyak dianut untuk
diterapkan dalam pembelajaran matematika, yaitu matematika dipandang sebagai ilmu
pengetahuan ilmiah yang melibatkan struktur kognitif dalam mempelajarinya. Teori belajar
matematika yang mengacu pada teori perkembangan kognitif Piaget cenderung mengabaikan
pengetahuan intuitif anak tentang matematika. Hal ini karena teori Piaget kurang
memperhitungkan adanya faktor sosial yang berpengaruh terhadap perkembangan kognitif
anak. Menurut Piaget (Starkey & Klein, 2014: 255), pengetahuan matematika anak tidak
akan muncul hinggga anak memasuki periode berpikir operasional konkrit yaitu usia sekitar
6 atau 7 tahun saat anak memasuki sekolah dasar. Padahal, Starkey & Klein (2014:254)
menyatakan bahwa perkembangan matematika hadir sejak titik awal kehidupan dan
berkembang pesat saat usia dini.
Jika Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif anak dipengaruhi oleh kematangan
usia sehingga ia membagi tahap perkembangan kognitif anak berdasarkan pertumbuhan
biologis, maka Vygotsky mengemukakan bahwa perkembangan kognitif anak juga
dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan sosial budaya di mana anak itu tumbuh.
Berbeda dengan pemahaman Piaget tentang perkembangan anak, bahwa perkembangan
selalu mendahului pembelajaran sehingga kesiapan struktur mental merupakan hal yang
mutlak sebelum anak mampu mempelajari sesuatu, Vygotsky merasa bahwa pembelajaran
sosial mendahului perkembangan yang berarti melalui interaksi sosial anak dengan
lingkungannya maka hal ini akan mendorong anak untuk mampu mempelajari sesuatu.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
194
3. Teori Perkembangan Sosiokultural Vygotsky
3.1 Teori Perkembangan Sosiokultural Vygotsky terkait Berpikir Matematis
Perkembangan kognitif dalam pandangan Vygotsky diperoleh melalui dua jalur, yaitu proses
dasar secara biologis dan proses psikologi yang bersifat sosiobudaya (Elliot, et.al, 2000: 52).
Studi Vygotsky fokus pada hubungan antara manusia dan konteks sosial budaya di mana
mereka berperan dan saling berinteraksi dalam berbagi pengalaman atau pengetahuan. Oleh
karena itu, teori Vygotsky yang dikenal dengan teori perkembangan sosiokultural
menekankan pada interaksi sosial dan budaya dalam kaitannya dengan perkembangan
kognitif.
Perkembangan pemikiran anak dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam konteks budaya di
mana ia dibesarkan. Menurut Vygotsky (Salkind, 2004: 278), setiap fungsi dalam
perkembangan budaya anak akan muncul dua kali yaitu pada mulanya di tingkat sosial dalam
hubungan antarmanusia atau interpsikologi, kemudian muncul di tingkat personal dalam diri
anak atau intrapsikologi. Hal ini berarti, perlu mengetahui proses sosial dan budaya yang
membentuk anak untuk memahami perkembangan kognitifnya.
Kemajuan perkembangan kognitif anak diperoleh sebagai hasil interaksi sosial dengan orang
lain. Orang lain di sini tidak selalu orangtua, melainkan bisa orang dewasa lain atau bahkan
teman sebaya yang lebih memahami tentang sesuatu hal. Dalam kaitannya dengan pemikiran
matematika, maka anak akan berkembang kemampuan berpikir matematisnya melalui
interaksinya dengan orang lain yang menguasai matematika dengan lebih baik.
Jika masyarakat atau setidaknya orangtua dalam keluarga telah membudayakan pemikiran
matematika dalam kegiatan sehari-hari, maka kondisi ini akan menyuburkan perkembangan
pemikiran matematika anak. Aplikasi ide-ide matematika melalui berpikir logis,
memperhitungkan dengan cermat, mampu menganalisis permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari merupakan gambaran aktivitas keseharian yang menjadi budaya. Dalam konteks
budaya semacam ini maka menurut teori Vygotsky, kemampuan berpikir matematis anak
akan berkembang.
3.2 Implikasi Teori Perkembangan Sosiokultural pada Pembelajaran
Matematika
Teori perkembangan sosiokultural Vygotsky menekankan adanya pengaruh budaya terhadap
perkembangan kognitif anak. Anak akan mengembangkan kemampuan berpikirnya ke
tingkat yang lebih tinggi bila ia menguasai alat dan bahasa. Salah satu alat dan bahasa
tersebut adalah matematika. Pengembangan alat dan bahasa matematika dipengaruhi oleh
latar belakang sosial budaya. Hal ini berarti bahwa perkembangan pemikiran matematika
anak juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam konteks budaya di mana ia dibesarkan.
Implikasi hal ini pada pendidikan adalah upaya untuk mempelajari matematika dilakukan
melalui pembelajaran sosial dengan menggunakan konteks budaya anak. Hal ini akan
memungkinkan terjadinya proses belajar bertahap dan bermakna. Anak belajar secara
bertahap mulai dari materi matematika yang mudah ke yang sulit, mulai dari materi
matematika yang konkrit menuju ke yang abstrak. Anak belajar matematika melalui
bimbingan dan bantuan orang lain yang lebih memahami. Anak belajar matematika sesuai
dengan lingkungan budayanya akan memberikan pemahaman yang bermakna baginya.
Jean Schmittau (Salkind, 2004: 287-288) melakukan penelitian mengenai penerapan
pendekatan Vygotsky pada pembelajaran matematika. Pendekatan ini diadaptasinya dari
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
195
penerapan teori Vygotsky di sekolah Rusia pada pembelajaran matematika di mana anak
tidak sekedar diajarkan pengetahuan matematika melainkan belajar bagaimana caranya
belajar matematika. Hal ini kemudian diterapkan dalam program sekolah di Susquehanna,
New York. Hasilnya menunjukkan bahwa anak dapat menguasai matematika dengan baik
meskipun sebelumnya ia lemah pada mata pelajaran tersebut. Belajar mengenai bagaimana
caranya belajar merupakan kemampuan penting untuk dikuasai anak. Melalui hal ini anak
akan memiliki daya untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Terkait dengan
pemikiran matematika, maka matematika bukanlah diajarkan sebagai produk melainkan
sebagai proses berpikir yang dapat direkonstruksi.
Terdapat beberapa pendapat Vygotsky yang berimplikasi terhadap pembelajaran matematika,
yaitu pandangan Vygotsky tentang perlu adanya sumber belajar lain untuk memudahkan
siswa belajar matematika serta materi matematika yang sesuai dengan kapasitas siswa.
Vygotsky memberinya istilah More Knowledgable Other (MKO) atau orang lain yang lebih
tahu dan Zone of Proximal Development (ZPD) atau zona perkembangan terdekat. MKO
mengacu kepada siapa saja yang memiliki pemahaman yang lebih baik atau tingkat
kemampuan lebih tinggi dari siswa, pemahaman yang lebih baik ini sehubungan dengan
tugas tertentu, proses, atau konsep yang sedang dipelajari oleh siswa. MKO biasanya
dianggap sebagai seorang guru, pelatih, atau orang dewasa yang lebih tua, tetapi MKO juga
bisa menjadi teman sebaya, orang yang lebih muda, atau bahkan komputer atau media
belajar lainnya.
Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara kemampuan siswa untuk
melakukan tugas di bawah bimbingan orang dewasa dan atau dengan kolaborasi teman
sebaya dan pemecahan masalah secara mandiri sesuai kemampuan siswa. Menurut
Vygotsky, pembelajaran terjadi di zona ini. Implikasinya dalam pembelajaran matematika
adalah ZPD dapat berguna dalam menjembatani antara berpikir konkrit dan berpikir abstrak.
Pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam memahami matematika yang abstrak,
kemampuan tersebut dapat didorong melalui interaksi sosial melalui ZPD.
Teori Vygotsky tidak hanya potensial bagi terbangunnya pengetahuan matematika pada diri
anak, tetapi teori ini dipandang potensial dalam membangun kemampuan berpikir matematis
dan membentuk sikap positif terhadap matematika (Taylor, 1992:9). Sikap positif terhadap
matematika terkait dengan self-esteem siswa dalam mempelajari matematika, hal ini
mungkin terbangun melalui interaksi sosial. Selanjutnya Taylor (1992:15) mengajukan
model perkembangan sikap (attitude) terhadap matematika yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor termasuk di dalamnya terkait dengan ZPD dari Vygotsky, teori belajar sosial dari
Bandura dan kecerdasan ganda dari Howard Gardner.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
196
Gambar 1 Model Mathematical Attitude
Pada model Mathematical Attitude (Gambar 1), Taylor menempatkan attitude sebagai pusat
yang dipengaruhi oleh pemikiran, tindakan dan perasaan. Dalam hal ini, attitude atau sikap
diartikan sebagai wujud dari pemikiran, tindakan dan perasaan individu yang di antara
ketiganya juga saling mempengaruhi. Selanjutnya, terkait dengan teori Vygotsky maka
attitude dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya di mana hal itu terjadi dalam dua tahap
yaitu pada tahap sosial atau antara pribadi dan tahap individual atau saat internalisasi dalam
diri. Dalam kaitannya dengan ZPD, interaksi yang signifikan tersebut berfungsi untuk
menjembatani pengalaman, selanjutnya terdapat meta-awareness yang melibatkan kesadaran
individu dalam merefleksikan apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan. Proses ini
berlangsung terus menerus. Oleh karena itu, seorang individu dapat berulang kali
menjembatani ZPD-nya ke keadaan meta-awareness dan kemudian memiliki sikap yang
dikembangkan lebih lanjut.
3.3 Kritik terhadap teori Vygotsky
Teori Vygotsky dikenal dengan teori perkembangan sosiokultural, namun kritik justru datang
dari kaum sosiokulturalis saat ini. Meskipun Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan
kognitif dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya, namun Vygotsky dan Piaget sama-sama
gagal dalam mengaitkan perkembangan kognitif dengan konteks sosial. Pandangan kaum
sosiokulturalis saat ini adalah perkembangan kognitif tertanam atau menyatu dalam konteks
sosial di mana individu itu berada, sehingga pemisahan antara konteks sosial dan
perkembangan kognitif merupakan hal yang mustahil, dengan demikian tidak mungkin dapat
memberikan pengaruh.
Vygotsky sama halnya dengan Piaget yang beranggapan bahwa perkembangan individu
bersifat universal, bergerak maju dalam satu arah, melalui mekanisme yang universal tanpa
mempertimbangkan konteks di mana keterampilan itu digunakan atau bersifat independen
terhadap konteks, etnosentris atau kurang dalam nilai dan praktek yang lain (tatanan
masyarakat), serta anak-anak dipandang kurang mampu belajar tanpa bimbingan orang
dewasa atau adultocentris (Matusov dan Hayes, 2000). Piaget dan Vygotsky memaknai
Environment
Culture
Other People
ATTITUDE Acting
Feeling
Thinking
Meta-awareness
Zone of Proximal Development
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
197
perkembangan sebagai proses menurunkan kesenjangan antara struktur mental/fungsi dengan
tindakan individu dan norma-norma, namun Piaget melihat proses itu sebagai saintifik logis
dan Vygotsky melihatnya sebagai proses mediasi budaya. Meski Vygotsky dan Piaget sama-
sama berpendapat bahwa interaksi sosial diperlukan dalam perkembangan kognitif namun
Piaget fokus pada relasi sosial antar individu dalam suatu aktivitas dan konsekuensinya pada
perkembangan anak, sementara Vygotsky lebih tertarik pada mediasi perkembangan anak, di
mana kedua fokus ini dihargai oleh kaum sosiokulturalis saat ini.
Dengan demikian, Piaget dan Vygotsky sama-sama menekankan peran masyarakat, budaya,
dan lembaga dalam perkembangan anak. Namun, mereka menempatkan peran-peran ini
secara berbeda yaitu relasional dibandingkan mediasional. Piaget lebih terfokus pada
hubungan simetri dan asimetri dalam mempromosikan atau menghambat perkembangan
individu. Vygotsky berfokus lebih lanjut tentang meditasi semiotik dan alat sebagai cara
budaya dan lembaga membentuk perkembangan anak. Sementara dari perspektif
sosiokultural, perkembangan melibatkan transformasi partisipasi individu dalam aktivitas
sosial budaya daripada sekedar suatu perubahan dalam struktur tindakan individu (seperti
dalam teori Piaget) atau berkembangnya penguasaan individu terhadap alat, simbol (seperti
matematika), dan penggunaan bahasa (seperti dalam teori Vygotsky). Partisipasi dalam
pandangan kaum sosiokulturalis tidak hanya bersifat individu tetapi juga melibatkan
lingkungan sosial, di mana hal ini melibatkan negosiasi dari kontribusi individu dalam
aktivitas.
4. Kesimpulan
Vygotsky dan Piaget merupakan kaum universalis yang percaya bahwa rasionalitas, logika,
dan prinsip-prinsip berpikir ilmiah dapat diterapkan secara universal untuk semua
perkembangan individu di semua masyarakat (Smith, 1995). Hal ini ditunjukkan dengan
bagaimana Vygotsky tertarik untuk mempelajari masyarakat dengan budaya tradisional,
untuk menjadi bagian dari masyarakat yang secara historis dipandang lebih maju, misalnya
masyarakat intelektual barat (Matusov, 1998). Dalam hal ini, yang terjadi adalah
dekontekstualisasi, di mana konteks sosial budaya individu menjadi diabaikan tatkala sudut
pandang yang digunakan untuk memahami mereka menggunakan sudut pandang barat
(western).
Contoh kasus adalah masyarakat Jawa di Indonesia yang memiliki pola pikir tentang objek
pengetahuan dan cara memperoleh pengetahuan secara unik. Masyarakat Jawa menggunakan
filsafat othak athik mathuk yang menunjukkan kecenderungan berpikir spekulatif, di mana
spekulasi tidak didasarkan pada analisis logis saja tetapi menggunakan intuisi. Pola pikir
Jawa merupakan bentuk penalaran yang lebih didasarkan pada penghayatan dan pengamalan
daripada sistematisasi rasional logisnya (Endraswara, 2012;45). Pola pikir ini berimplikasi
pada cara mereka dalam memperoleh pengetahuan yang lebih cenderung secara intuitif.
Reksosusilo (2006:193) berpendapat bahwa filsafat atau cara berpikir orang Jawa tidak
mengarah kepada pengetahuan dalam arti menerima dan meneliti dengan indera, akal budi,
melalui logika yang ketat dan sistematis, tetapi melalui rasa cocok yang dilatih dalam olah
rasa batin yang mendalam, kemudian menjadi pengetahuan intuitif yang dalam. Cara
memperoleh pengetahuan sebagaimana pandangan Piaget dan Vygotsky yang diklaimnya
universal kurang mengakomodasi pentingnya intuisi anak. Keselarasan antara intuisi,
rasional logis dan olah rasa berupa apresiasi pada lingkungan merupakan alat-alat penting
yang seharusnya perlu distimulasi agar proses belajar anak dapat optimal.
Meskipun teori Piaget dan teori Vygotsky dapat diterapkan dalam praktek pembelajaran
matematika di Indonesia, namun masih diperlukan kajian kritis dalam memahami dan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-7925
198
memaknai teori tersebut. Dalam hal ini, teori Piaget dan teori Vygotsky diaplikasikan
melalui proses adaptasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, harapan akan suksesnya pendidikan matematika di Indonesia yang
sekaligus memperkuat jati diri bangsa dapat diwujudkan.
Daftar Pustaka
Elliot, S.N et al. (2000). Educational psychology: Effective teaching, effective learning 3rd
Edition.
Boston: McGraw-Hill Higher Education.
Knud Illeris. 2004. The three dimensions of learning. Florida: Krieger Publishing.
Laurenco, O & Machado, A. (1996). In Defense of Piaget’s Theory: A Reply to 10 Common
Criticisms. Psychological review Vol 103 No 1 hal 143-164.
Matusov, E & Hayes, R. (2000). Sociocultural critique of Piaget and Vygotsky. New Ideas in
Psychology No 18 pp 215-239. Diunduh dari www. Elsevier.com/locate/newideapsych pada
tanggal 24 Maret 2014.
Salkind, N.J. (2004). An introduction to theories of human development. London: Sage Publications,
Inc.
Smith, L. (1995). Introduction to Piaget's sociological studies. In J. Piaget, Sociological studies (pp. 1-
22). London, New York: Routledge.
Suwardi Endraswara. (2012). Falsafah hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala
S. Reksosusilo. (2006). Telaah buku: Falsafah Hidup Jawa dalam Studia philosophica et theologica,
Vol 6 No 2 Oktober hal 187-194
Tall, David. (2013). Integrating History, Technology and Education in Mathematics. Paper presented
at História e Tecnologia no Ensino da Matemática July 15, Universidade Federal de São
Carlos, Brazil.
Taylor, L. (1992). Mathematical Attitude Development from a Vygotskian Perspective. Mathematics
Education Research Journal, Vol. 4, No.3,hal 8-23.
Wadsworth, B. J. (1984). Piaget’s theory of cognitive and affective development (3rd
ed). New York:
Longman.Publishing.
Top Related