RELEVANSI BUDAYA ORGANISASI DENGAN KINERJA
ORGANISASI PUBLIK
Oleh : Bambang Pujiyono, MM.,M.Si1 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur
E-mail: [email protected]
Abstract
Relation in cultural organization and performance of public organization can be explained in two aspects: organization value and Personnel. Relation in the first aspect is represented in debates among many values which can be done to manage organisatorist to achieve the purposes and parameters of productivity. Relation in the second aspect is represented in struggle between value-free and value-laden approach. These relations put into continuum for developing public organization because between organization cultural and productivity both of them are viewed as complementary. Key words: Organiztion, Culture, Productivity
1 Penulis adalah Dosen Tetap pada Fikom Universitas Budi Luhur Jakarta
I. Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
Budaya organisasi merupakan sistem penyebaran
kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu
organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya. Budaya
organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan kompetitif yang
utama, yaitu bila budaya organisasi mendukung strategi organisasi,
dan bila budaya organisasi dapat menjawab atau mengatasi
tantangan lingkungan dengan cepat dan tepat.
Budaya organisasi bukan lagi sekedar pelengkap bagi
organisasi itu sendiri tetapi telah menjadi suatu kapabilitas utama
di samping kapabilitas lainnya. Handoko (1995:3) menyatakan
terdapat tiga kapabilitas yang perlu dikembangkan oleh setiap
organisasi dalam menghadapi lingkungan yang semakin cepat
berubah dan berbasis pengetahuan dan semua itu dipusatkan pada
akumulasi dan kreasi aset yang tidak nyata.
Kapabilitas pertama adalah learning organization (Senge,
1994:3) sebagai organisasi di mana orang secara terus menerus
memperluas kapasitas menciptakan hasil yang sungguh-sungguh
diinginkan, di mana pola berfikir baru dan ekspansif ditumbuhkan,
aspirasi kolektif dibiarkan bebas dan orang secara terus menerus
berupaya belajar bersama. Kedua, organization knowledge yaitu
kapabilitas organisasi secara keseluruhan untuk menciptakan
pengetahuan baru, menyebarkan ke seluruh jajaran organisasi,
dan mewujudkan pada berbagai produk, pelayanan, dan sistem
(Nonaka & Takaeuchi,1995:viii). Ketiga, kemampuan untuk
menyusun kembali budaya organisasi agar selaras, serasi, dan
seimbang dengan strategi organisasi (Fomburn,1992:194-195).
Dalam konteks administrasi publik, organisasi dalam hal ini
birokrasi merupakan perangkat kerja pemerintahan yang
melaksanakan fungsi pelayanan publik. Substansi pelayanan publik
selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi
semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak
masyarakat yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan
tujuan. Apapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang
terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan
kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan kepentingannya.
Pemerintah sebagai suatu organisasi besar dalam sebuah
negara mempunyai tugas mengelola, mengatur, dan
menyelenggarakan layanan publik kepada masyarakat. Bentuk
pelayanan yang diberikan merupakan aktivitas abdi negara untuk
memberikan jasa dalam wujud keramahtamahan, sigap dalam
membantu, antusiasme, lengkap dalam memberikan informasi
sehingga masyarakat mendapatkan kepuasan dalam pelayanan
tersebut (Woworuntu, 1997:12). Mutu dan bentuk pelayanan ini
tergantung dari perilaku dan budaya yang tertanam dan yang
ditanamkan kepada pelaksananya atau abdi negara.
Berkait dengan hal tersebut, Lukito (1995:10) menyatakan
budaya organisasi konservatif yang beroreintasi ke dalam dan tidak
mau berubah seiring dengan perubahan tuntutan lingkungan
budaya. Budaya jenis ini umumnya sangat tergantung kepada
senioritas, nepotisme, tidak mandiri ( selalu minta petunjuk), tidak
disiplin seperti yang umum terjadi pada budaya di Indonesia. Pada
kenyataannya menunjukkan masih ada sebagian aparat negara
yang melakukan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, terlalu
birokratik, tidak profesional, bekerja kurang efisien, dan kurang
efektif, disiplin masih rendah, kurang menghargai waktu,
produktivitas masih rendah, dan kurang peka terhadap
perkembangan dan perubahan politik.
Adapun budaya yang diharapkan dalam organisasi
pemerintah seperti yang tercantum dalam Pedoman Umum
Pelaksanaan Peningkatan Efisiensi dan Disiplin Kinerja Aparatur
Negara, Kementerian Pendayaan Aparatur Negara (2002) dalam
bentuk kebijakan sebagai berikut :
1. Memantapkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi;
pelaksanaan peningkatan efisiensi dan disiplin aparatur
negara dilakukan secara integral, terencana, terarah,
terpadu, terukur, bertahap, berkelanjutan, dan terkendali.
2. Menumbuhkan dan mengembangakan perilaku aparatur
negara menuju budaya wiraswasta, pemanfaatan, efisien,
efektif, disiplin dan sederhana. Setiap aparatur negara
khususnya pimpinan agar menjadi contoh dan teladan
dalam melaksanakan jiwa kewirausahaan, pemanfaatan,
penghematan, efisiensi, efektivitas dan penyederhanaan
dalam memberikan pelayanan kepada publik
3. Mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat baik di
tingkat pusat maupun daerah
4. Meningkatkan peran serta masyarakat. Masyarakat
diharapkan berperan serta dalam pemantuan, pengawasan,
dan pemberian umpan balik terhadap pelaksanaan tugas-
tugas aparatur negara.
Dalam kenyataannya, nilai-nilai di atas belum menjadi
budaya dalam organisasi pemerintahan. Lembaga publik belum
mampu menunjukkan kinerja yang dibangkitkan oleh budaya
organisasi yang ada. Kesimpulan umum dari berbagai penelitian
dan kajian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa sebagai
nilai-nilai yang ada belum melembaga menjadi sebuah pedoman
dalam bertindak untuk mencapai tujuan organisasi.
I.2. Perumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang permasalahan organisasi
di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sejauh
mana relevansi budaya organisasi dengan produktivitas kerja
organisasi publik.
1.3. Tujuan tulisan
a. Mendiskripsikan konsepsi tentang budaya organisasi
b. Mendiskripsikan konsepsi tentang relevansi budaya
organisasi dan produktivitas kerja organisasi publik
2. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini
berupa tinjauan pustaka. Penulis melakukan eksplorasi dalam
rangka menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan budaya
organisasi serta kinerja organisasi publik. Hasil analisis ini
menghasilkan proposisi yang merupakan hubungan antara kedua
konsep tersebut. Proposisi yang disusun secara eksplisit
menunjukkan relevansi antara budaya organisasi dan kinerja
organisasi publik.
3. Pembahasan
3.1. Pengertian Budaya Organisasi
Dalam lingkup organisasi, budaya organisasi sering diartikan
sebagai sekumpulan sistem nilai yang diakui dan dibuat oleh
semua anggotanya, yang membedakan organisasi yang satu
dengan lainnya (Robbins1991). Denilson dalam bukunya
“corporate culture and organizational effectiveness (1990)”,
menyatakan bahwa, budaya organisasi adalah “istilah yang
dipakai untuk memuat rangkaian variabel-variabel perilaku yang
mengacu pada nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan prinsip
pokok yang berperan sebagai suatu dasar bagi suatu sistem
manajemen organisasi”. Menurut Gibson, Ivancevich and Donelly
(1987), norma perilaku yang terbentuk akan mempengaruhi
perilaku individu dan kelompok.
Mempertegas arti budaya organisasi, Djamaludin Ancok
mendefinisikan sebagai nilai, norma, keyakinan akan
mengarahkan karyawan pada arah yang sama, dalam usahanya
mengatasi problem internal maupun eksternalnya. Oleh karena
itulah, karyawan yang bergabung ke dalam suatu organisasi,
harus memiliki pemahaman dan kesesuaian dengan budaya
organisasi atau mampu melakukan sosialisasi dengan baik.
Quchi (1982) menyatakan bahwa budaya organisasi
tercakup dalam falsafah manajemennya, yang terdiri atas teori-
teori, dan secara tersirat menjelaskan sasaran dan prosedur yang
digunakan untuk mencapainya. Sasaran dimaksud meliputi nilai-
nilai dari pemilik organisasi (perusahaan), karyawan, relasi dan
pemerintah. Suatu falsafah organisasi memberikan pengertian
tentang norma-norma bekerja untuk hidup, menyarankan cara
bertingkahlaku dalam organisasi dan menunjukkan bagaimana
organisasi bertingkah laku sebagai tanggapan terhadap
karyawan, relasi dan masyarakat yang dilayaninya.
Miller (1987) dalam bukunya “Manajemen Era Baru”:
Beberapa Pandangan Mengenai Budaya Perusahaan Modern”
menyebutkan bahwa budaya organisasi adalah nilai dan
semangat mendasar dalam cara mengelola serta
mengorganisasikannya. Nilai-nilai itu merupakan keyakinan yang
dipegang teguh dan terkadang tidak terungkapkan. Sedangkan
Daniel Denilson (1990), dalam bukunya “Corporate Culture and
Organizational Efectiveness” menerjemahkan budaya organisasi
sebagai kekuatan dan potensi yang dimiliki dalam suatu
organisasi untuk melakukan koordinasi dan kontrol terhadap
perilaku anggota organisasi tersebut. Semakin kuat budaya
organisasi dan sosialisasi diantara para anggotanya dengan baik,
akan berpengaruh semakin meningkatnya mutu informasi serta
koordinasi perilaku.
Schein (1997:12) melihat budaya sebagai suatu pola dari
asumsi-asumsi dasar yang diciptakan atau dikembangkan oleh
suatu kelompok untuk menjelaskan berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan proses adaptasi eksternal maupun integrasi
internal dan diyakini telah berjalan dengan baik sehingga
dianggap pantas untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai
cara yang tepat untuk membayangkan, memikirkan dan
merasakan segala hal yang berkaitan dengan masalah-masalah
tersebut.
Zwell (2000:9) budaya organisasi adalah way of life
organisasi yang diwariskan oleh suatu generasi yang diwariskan
oleh suatu generasi karyawan yang sukses. Budaya adalah ”who
are, what we believe, what we do, and how we do it.”
Hatch (1997:205) telah menyeleksi definisi budaya
organisasi yang dikutip dari para pakar organisasi. Beberapa
definisi tersebut diantaranya
1. Elliot Jaquest (1952) menekankan bahwa budaya organisasi
berkait dengan cara berfikir dan cara bekerja yang umum
dan sudah menjadi tradisi, tersebar ke seluruh anggota
organisasi nilai–nilai tersebut dan dilaksanakan dalam
memberikan pelayanan.
2. Joane Martin (1984) mendefiniskan budaya organisasi
sebagai perekat organisasi yang terpola dan bermakna
dalam konteks kerja sama.
3. Janice Beyer (1993) mendefinisikan budaya organisasi
sebagai suatu fenomena kolektif di mana individu dalam
kelompok dapat merespon keadaan-keadaan yang kurang
baik. Respon tersebut dapat berupa substansi seperti
pertukaran kepercayaan, perasaan,dll dan bentuk budaya
seperti tindakan ekspresi dll. Kesemua respon tersebut
dalam rangka pengelolaan organisasi yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian lain
bahwa budaya organisasi merupakan solusi yang secara
konsisten dapat berjalan baik bagi suatu kelompok dalam
menghadapi persoalan-persoalan eksternal dan internalnya.
Budaya organisasi dapat diajarkan kepada para anggota baru
sebagai suatu cara persepsi, berpikir dan merasakan dalam
hubungannya dengan persoalan-persoalan tersebut. Solusi-
solusi yang dimaksud pada akhirnya akan menjadi asumsi-
asumsi tentang sifat realita, kebenaran, waktu, ruang, sifat
manusia, kegiatan manusia dan hubungan kemanusiaan, yang
kemudian menjadi taken for granted.
3.2. Karakteristik Budaya Organisasi
Lundberg (dalam Wienberg, 1990), mengemukakan adanya
4 (empat) dimensi budaya organisasi, yakni :
1. Artifacts, yang berupa kata-kata yang digunakan (seperti
mitos-mitos yang dilestarikan oleh anggota organisasi,
tindakan-tindakan budaya, misalnya upacara bendera, rapat-
rapat rutin, rapat kerja, kongres dan sebagainya, serta
obyek-obyek budaya, seperti adanya pakaian seragam,
peralatan kantor yang digunakan dan sebagainya);
2. Perspectives, adalah berbagai norma sosial dan peraturan baik
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana para
anggotanya seharusnya berperilaku dalam situasi-situasi
khusus;
3. Values, mencerminkan falsafah dan misi organisasi, cita-cita
organisasi, tujuan-tujuan, standar-standar dan dosa-dosa
(sins) atau larangan-larangan. Para anggota organisasi
menggunakan nilai-nilai (values) ini, untuk menilai (judging)
kepada anggota lain, tindakan-tindakan dan peluang-peluang
serta mengambil keputusan atas nama organisasi;
4. Assumption, yang dapat disebut sebagai lapisan terdalam atau
inti budaya organisasi, yaitu berupa kepercayaan-kepercayaan
para anggota organisasi yang tidak berhubungan dengan orang
lain, sifat organisasi dan hubungannya dengan dunia luar.
Karena kesemuanya merupakan asumsi-asumsi dasar dari
kehidupan organisasi, maka jarang sekali diartikulasikan atau
tidak disampaikan secara lisan atau terbuka.
Robin (1995:480) mengajukan sepuluh karakteristik atau
dimensi budaya organisasi. Kesepuluh karakteristik tersebut
meliputi :
1. Inisiatif individual, tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan
independensi yang dimiliki individu
2. Toleransi terhadap tindakan beresiko. Sejauh mana pegawai
dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan mengambil
resiko
3. Arah. Sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan
jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi
4. Integrasi. Tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi
didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi
5. Dukungan dari manajemen. Tingkat sejauh mana para
manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta
dukungan terhadap anak buah
6. Kontrol. Jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang
digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku
pegawai
7. Identitas. Tingkat sejauh mana para anggota organisasi
mengidentifikasi dirinya secara keselurahan dengan
organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu
8. Sistem imbalan. Tingkat sejauh mana alokasi imbalan seperti
kenaikan gaji, promosi didasari oleh prestasi kerja
9. Toleransi terhadap konflik. Tingkat sejauh mana para
pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik
secara terbuka
10. Pola-pola komunikasi. Tingkat sejauh mana komunikasi
organisasi dibatasi oleh hirarki kewenangan yang formal.
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
karakteristik budaya organisasi sangat bervariasi. Karakteristik
tersebut dapat diketahui secara detail pada organisasi yang
dijalankan melalui sistem terbuka. Hal ini perlu diketahui sebab
pada sistem organisasi yang tertutup, beberapa karakteristik
budaya organisasi di atas tidak nampak.
3.3. Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi yang kuat pada kenyataanya memiliki
nilai dan dampak positif bagi kinerja ekonomis organisasi. Berkait
dengan hal tersebut Gordon, jr dalam Purwanto (2001:76)
memberikan rincian fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
1. Untuk mendukung strategi usaha organisasi; tuntutan-
tuntutan baru budaya pelayanan terhadap konsumen
mendorong budaya organisasi yang ada berubah secara
fleksibel dan akomodatif.
2. Memberikan format-format nilai budaya yang dapat diterima
pengelola untuk berinteraksi dengan pihak stakeholder.
3. Membantu membuat keputusan kinerja; evaluasi kemampuan
kerja dapat didasarkan pada parameter budaya organisasi
yang mesti dipatuhi para pegawai
4. Memberi rambu-rambu secara alamiah sehingga dapat
diterima oleh semua pihak dalam rangka membina hubungan
antar pribadi dalam organisasi, baik secara vertical maupun
horizontal dalam konteks pelaksanaan tugas dan fungsi
organisasi.
5. Menentukan corak gaya pengelolaan organisasi yang tepat.
Pengelolaan organisasi akan berhasil jika memperhitungkan
unsur-unsur dalam budaya organisasi
3.4. Pembentukan Budaya Organisasi
Budaya sering diartikan sebagai budi dan daya atau hasil
budidaya manusia, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Hal
ini bermakna bahwa, pembentukan budaya adalah hasil rekayasa
manusia dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan hidup.
Demikian juga budaya organisasi, terbentuk sebagai upaya
pemilik organisasi yang berupa falsafah dasar pemiliknya, sistem
nilai dan norma-norma yang diberlakukan. Tujuannya agar
organisasi memiliki suatu landasan moral dan identitas yang
berbeda dengan organisasi lain.
Menurut Shein (1992), budaya sebuah organisasi
terbentuk sebagai tanggapan terhadap 2 (dua) hal, yakni sebagai
berikut :
1. Persoalan-persoalan Adaptasi dan Survival yang Bersifat
Eksternal
Dalam hal ini Shein berpendapat bahwa, organisasi
selalu dihadapkan pada berbagai masalah yang berasal dari
luar. Sebagai suatu sistem yang terbuka, organisasi tidak
terlepas dari pengaruh sistem-sistem lain dari luar organisasi.
Sistem dimaksud, antara lain sistem politik, sistem
administrasi pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial dan
budaya, sistem keagamaan serta sistem keamanan. Kesemua
sistem ini secara langsung atau tidak mempengaruhi jalannya
roda organisasi. Tantangannya apakah suatu organisasi
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
cenderung berubah. Menurut Shein, manakala suatu
organisasi tidak memiliki kemampuan adaptasi, maka
kehidupannya akan terancam. Oleh karena itu, dalam
kerangka pembentukan budaya organisasi perlu diperhatikan
sejauhmana suatu organisasi memiliki kemampuan
melakukan adaptasi agar tetap survive.
2. Persoalan-Persoalan Integrasi Organisasi yang Bersifat
Internal.
Seperti diketahui bahwa manusia yang berada dalam
organisasi masing-masing memiliki budaya yang dibawa dari
luar. Sistem nilai dan norma-norma yang telah ada dalam
organisasi, tentu saja berbeda dengan budaya dari masing-
masing anggota atau karyawan organisasi tersebut.
Berdasarkan kenyataan itu, Schein berpendapat bahwa
budaya organisasi dapat terbentuk dengan aman dan baik, jika
organisasi tersebut mampu mengintegrasikan berbagai
perbedaan internal organisasi.
Secara visual, proses pembentukan budaya organisasi dapat
disimak dalam gambar berikut ini :
Gambar II. 1. Proses Pembentukan Budaya Organisasi. Sumber :
Robbin (1996:302)
Philosophy of Organizations Founders
Selection Criteria
Top Management Sosialization
Organization Culture
Apabila dilihat proses pembentukan budaya organisasi
nampak bahwa kepemimpinan puncak merupakan penentu
terhadap bentuk budaya organisasi. Ini berarti sikap, perilaku,
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan olehnya menjadi panutan
para bawahannya. Berdasarkan beberapa hasil penelitian,
khususnya bagi perusahaan bisnis, penggantian pimpinan
berdampak terjadinya perubahan budaya organisasi. Meskipun
perubahan yang terjadi tidak terlalu besar, karena sistem nilai
dasar dari para pendiri organisasi tetap menjadi acuan
utamanya. Namun demikian, adanya perubahan tetap saja dapat
dirasakan, terutama perubahan dalam gaya kepemimpinan.
3.5. Tingkatan Budaya
Schein (1997:16-26) memberikan analisis tentang derajad
kebudayaan. Pada tingkat permukaan akan ditemukan artifak
yang memiliki sifat kasat mata, dapat didengar, dan dirasakan.
Termasuk dalam tingkatan ini adalah produk-produk yang visible
seperti lingkungan fisik organisasi, bahasa, teknologi, gaya
berpakaian, mitos, dokumen-dokumen ataupun upacara ritual
dan seremonial yang juga termasuk perilaku individu. Tingkat ini
mudah diobservasi tetapi sulit diuraikan atau ditafsirkan, hanya
dapat digambarkan, dilihat, dirasakan tetapi tidak dapat
menjelaskan apa sesungguhnya maksud sesuatu tersebut.
Tingkat kedua adalah espoused value, yaitu nilai – nilai yang
mengarahkan perilaku seseorang, asumsi-asumsi tentang mana
yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai ini sulit untuk
diamati secara langsung. Untuk memahaminya dapat dilakukan
dengan cara mengobservasi kandungan artifak atau dengan
mempelajari apa yang dikatakan seseorang sebagai alasan
mengapa berperilaku tertentu. Espoused value juga merupakan
rasionable yang hampir sama dengan asumsi dasar, dan menjadi
filosofi perilaku kelompok. Dalam menganalisa nilai – nilai ini
harus berhati-hati dalam membedakan mana yang benar-benar
berfungsi sebagai asumsi dasar, sebagai pembenaran atau hanya
merupakan aspirasi tentang masa depan.
Tingkat ketiga adalah basic assumption yaitu sesuatu yang
secara tidak disadari telah menjadi pengarah bagi anggota
kelompok bagaimana seharusnya berperilaku, berfikir, dan
merasakan. Asumsi dasar bermula dari satu hipotesis didukung
oleh nilai-nilai yang berangsur-angsur berubah sebagai realitas.
Pada saat asumsi mengakar kuat maka cenderung tidak dapat
dibantah atau diperdebatkan dan menjadi sangat sulit untuk
diubah.
3.6. Hubungan Budaya Organisasi Dengan Kinerja Organisasi
Adanya keterkaitan hubungan antara budaya korporat
dengan kinerja organisasi yang dapat dijelaskan dalam model
diagnosis budaya organisasi Tiernay bahwa semakin baik kualitas
faktor-faktor yang terdapat dalam budaya organisasi makin baik
kinerja organisasi tersebut (Moelyono Djokosantoso, 2003:42).
Karyawan yang sudah memahami keseluruhan nilai-nilai
organisasi akan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai suatu
kepribadian organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut akan
diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam bekerja,
sehingga akan menjadi kinerja individual. Didukung dengan
sumber daya manusia yang ada, sistem dan teknologi, strategi
perusahaan dan logistik, masing-masing kinerja individu yang
baik akan menimbulkan kinerja organisasi yang baik pula.
Dampak budaya organisasi terhadap kinerja dapat dilihat
pada beberapa contoh perusahaan yang memiliki kinerja yang
tinggi, seperti Singapore Airlines yang menekankan pada
perubahan-perubahan yang berkesinambungan, inovatif dan
menjadi yang terbaik. Baxter International, salah satu
perusahaan terbesar di dunia, memiliki budaya respect,
responsiveness dan result, dan nilai -nilai yang tampak di sini
adalah bagaimana mereka berperilaku ke arah orang lain,
kepada customer, pemegang saham, supplier dan masyarakat
(Pastin, 1986; 272).
Organisasi harus memiliki nilai-nilai yang telah diyakini,
dijunjung tinggi, dan menjadi motor penggerak oleh kebanyakan
anggota organisasi sebagai aturan main yang sah untuk
mencapai tujuan yang dikehendaki, membuat nilai-nilai itu
menjadi budaya organisasi. Terdapat tujuh karakteristik yang
membentuk budaya organisasi: 1) Inovasi dan pengambilan
resiko; 2) Perhatian terhadap detil; 3) Berorientasi pada hasil; 4)
Berorientasi pada manusia; 5) Berorientasi pada tim; 6)
Agresivitas; 7) Stabilitas (Robbins, 1998 : 248).
Menurut Zwell (2000:12-13) budaya organisasi yang
mampu mendukung suksesnya organisasi harus memiliki
karakteristik khusus yaitu 1) Mampu membantu pengembangan
kemampuan anggota dan mendorongnya untuk berbuat lebih
maksimal lagi bagi organisasi, 2) Mampu memberikan jalan atau
sarana bagi anggota yang berpotensi tinggi dalam
mengembangkan bakatnya, 3) Menciptakan lingkungan kerja
yang menarik, menantang, dan memotivasi, dan 4) Adanya
reward sistem dalam bentuk kompensasi dan pengakuan atas
kinerja dan kontribusi anggota dalam usaha mendukung
suksesnya organisasi.
Dananjaya (1995) mengutip pendapat Vijay Sathe
menyatakan bahwa budaya yang kuat dapat mempengaruhi
kehidupan organisasi diantaranya :
1. Kerja sama dalam menjalankan sistem dan prosedur kerja
yang ada dalam organisasi atas dasar kesamaan asumsi,
nilai, dan kepercayaan.
2. Pembuatan keputusan harus didasari oleh kesamaan asumsi
nilai dan kepercayaan.
3. Pengendalian yaitu pengambilan langkah yang tepat untuk
mencapai hasil yang telah direncanakan.
4. Komunikasi yaitu kesamaan nilai dan kepercayaan untuk
mengurangi berbagai kesalahpahaman dalam bekerja
5. Komitmen, yaitu timbul rasa kebanggaan bersama dan
memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi
6. Persepsi. Realitas organisasi dibangun lewat interaksi dan
pandangan tentang bagaimana kiranya sesama anggota
organisasi saling memandang dirinya, organisasi, dan
relasinya.
4. Kesimpulan
Relevansi budaya organisasi dengan produktivitas kerja
organisasi publik sangat nyata secara konseptual. Berkait dengan
relevansi tersebut perlu dilakukan kajian empiris berbasis data
untuk mendiskripsikan kekuatan hubungan antar variabel tersebut.
Dengan demikian, hasil kajian yang menggunakan data
empiris, nantinya dapat digunakan untuk memetakan budaya
organisasi yang ada berdasarkan aspek budaya organisasi yang
kuat, lemah, dan mungkin budaya organisasi tertentu yang akan
dikembangkan dalam organisasi publik dalam rangka memperbaiki
kinerjanya.
Daftar Bacaan
Amstrong, Michael, 1998. Performance Management The New Realities, Institutes of Personnel and Development, London
Dananjaya, Andreas, 1994. Budaya Perusahaan, Mitra, Jakarta
Edward T. Jennings, Jr., Does the Black-Box Make a Difference? The
Quality of Management and the Success of Welfare Reform,
,Prepared for presentation at the National Public Management Research Conference, Georgetown University, Washington,
D.C., October 9-11, 2003 Gibson et all, 1994. Organisasi, Jilid 1 dan 2, alih bahasa Agus
Dharma, Erlangga, Jakarta. Gibson, Rowan, 1998. Rethinking The Future : rethinking bussines,
principles, competition, control, leadership, markets, and the world ( terjemahan), Jakarta : Gramedia
Gilley, Jerry W. and Ann Maycunich.2000. Beyond the Learning
Organization: creating a culture of continous growth and development trough state of the art human resources practices, Perseus Book, Cambridge, Massachusetts
Handoko, T. Hani, 1992. Manajemen Personalia dan Sumber Daya
Manusia. Edisi Kedua, BPFE UGM, Yogyakarta.
Islamy, Irfan, 2001, Reformasi Birokrasi di Indonesia, Brawijaya,
Malang Joko Purwanto, dkk,2001, Teori Organisasi, Bina Aksara, Jakarta
Koter, P. John and James L. Haeskett.1992 Corporare Culture and
Performance, the free Press, New York
Luthans, Fred, 1997. Organizational Behavior , Third Edition. The McGraw-Hill Companies Inc., New York.
Marry Jo Hatch, 1997, Orgazation Theory: Modern, Symbolic and
Postmodern Perspective, Oxford University Press, England.
Martani Huseini, 2003, Teori Organisasi, UI pers, Jakarta
Moeljono Djokosantoso, 2003. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi, Elex Media Komputindo, Jakarta
Nonaka, Ikujiro and Hirotaka Takeuchi, 1995. The Knowledge Creating Company: How Japanese Companies Create the Dinamic of Innovation, Oxford University press.
Robbins, Stephern P., 1998. Organization Behavior, Concepts,
Controversies, Application. Seventh Edition, Englewood Cliffs , PT.
Prenhallindo, Jakarta. Robbin, Stephen P., 1994, Teori Organisasi (edisi ketiga), Arcan,
Jakarta Roger, S. 1990. Performance Management in Local Government, Jesica
Kindsey Publiser, London.
Senge, Peter. 1994, The Fifth Dicipline : The art and practice of the learning organization, Dobleday, New York
Schein, Edgar H. 1992, Organizational Culture and Leadership, Jossey-bass Publiser, San Fransisco
Susanto, AB., 1997. Budaya Perusahaan : Seri Manajemen Dan
Persaingan Bisnis. Cetakan Pertama, Elex Media
Komputindo, Jakarta. Wirawan, 2007. Budaya dan Iklim Organisasi : Teori, Aplikasi, dan
Penelitian, Jakarta : Salemba Empat
Woworuntu, Bob,2002. Budaya Kinerja PT. Angkasa Pura I, Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia
Zwell, Michael, 2000. Creating A Culture of Competence, New York:
John Wiley & Son
Top Related