MAKALAH KEPERAWATAN ANAK
“KEKERASAN PADA ANAK”
DI SUSUN OLEH :
BUDI SARI DEWI
P27220011 166
DIII BERLANJUT DIV KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH
POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2012/2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat, taufiq
serta karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul
“kekerasan pada anak” untuk memenuhi tugas Mata kuliah keperawatan anak.
Kami mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak khususnya yang terhormat beliau
ibu asrining s selaku Dosen pengampu Mata kuliah keperawatan anak yang telah memberikan
petunjuk dan bimbingan selama penyusunan makalah ini, juga kepada rekan-rekan mahasiswa
yang mendukung sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Pada dasarnya kami menyadari bahwa dalam isi makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.Dan
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semua tentang
kekerasan pada anak . Sekian dan terimaksih
Surakarta, maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
I. HalamanJudul............................................................................................................... 1
II. Kata Pengantar............................................................................................................. 2
III. Bab I Pendahuluan:
A. Latar Belakang....................................................................................................... 4
B. Perumusan Masalah............................................................................................... 4
C. Manfaat penulisan………………………………………………………………. 5
IV. Bab II Pembahahasan Masalah
A. Aspek –aspek kekerasan pada anak....................................................................... 6
B. Suber – sumber penicu kekerasan pada anak........................................................ 6
C. Kekeraran pada anak menurut UU perlindungan anak.......................................... 7
D. Kekerasan menurut pandangan islam.................................................................... 9
E. Kekerasan dalam peninjauan psikologi................................................................. 11
V. Bab IIIPenutup:
a. Kesimpulan..................................................................................................... 12
b. Kritik dan saran............................................................................................... 12
VI. Daftar Pustaka............................................................................................................. 13
VII. Lampiran...................................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak adalah individu unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, baik dari segi
fisik, emosi, pola pikir, maupun perlakuan terhadap anak membutuhkan spesialisasi perlakuan
khusus dan emosi yang stabil.
Pada anak tertumpu tanggungjawab yang besar. Anak harapan masa depan bangsa dan agama
disandarkan. Anak adalah bapak masa depan, penerus cita-cita dan pewaris keturunan. Bahwa
anak adalah tunas bangsa, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki
peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensial
bangsa dan negara pada masa depan.
Banyak cara yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak. Ada yang mengutamakan
kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan yang lebih bersifat afektif. Ada pula yang
menggunakan kekerasan sebagai salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan
pendisiplinan anak. Kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis dipilih sebagai cara untuk
mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan..
Kasus kekerasan pada anak adalah kasus yang sangat pelik. Dimana jenis kasusnya yang
beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan. Sebagian orang
menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan sebagai hak otonominya, dan bersifat pribadi,
dan orang lain tidak boleh mengetahuinya karena terhasuk aib yang harus ditutupi. Dengan
alasan ini, sehingga banyak kasus-kasus kekerasan tidak bisa diungkap.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas dapat di temukan rumuskan masalah di antaranya:
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Makalah ini bermaksud untuk menyadarkan dan mengubah pola pikir orangtua dan pengasuh
terhadap anak dengan tujuan untuk memperbaiki pola interaksi dengan anak, menghindari tindak
kekerasan pada anak karena alasan apapun, mengubah pola pendidikan yang hanya berorientasi
pada nilai akademik dengan mengesampingkan akhlak aplikatif, melindungi anak dalam segala
hal, dan menciptakan lingkungan anak yang sehat secara psikologis, untuk mempersiapkan
mereka sebagai pemegang estafet pembangunan, agar menjadi generasi muslim yang benar-
benar berkepribadian yang islami
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak
Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan sedikit banyaknya menyebabkan hal-hal tertentu
dalam pelbagai kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Secara hukum kelahiran tersebut
mempunyai/menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini
berpokok kepada anak dan kewajiban seperti : kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak dan
penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, dan pengangkatan anak.
Anak dalam masyarakat yang bagaimanapun bentuk dan coraknya, merupakan pembawa
bahagia. Tidak heran bila dalam upacara pernikahan pengantar dua insan ke gelanggan rumah
tangga di antar petuah serta doa restu, orang tua-tua selalu berpesan, semoga kedua mempelai
diberkati keturunan bukan satu, bukan dua, tetapi banyak. Pasal 91 (4) KUHP memberikan
penjelasan tentang anak adalah orang yang ada dibawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan
orang tuanya.
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.
Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian
anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21
tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap
kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia
21 tahun.
Sedangkan pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup
umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang melakukan perbuatan
sebelum umur 16 tahun.
Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun.
Dari beberapa pengertian anak di atas dapat di bedakan beberapa pengertian tentang anak, yaitu
(1) Anak kandung;
(2) Anak terlantar,
(3) Anak yang menyandang cacat,
(4) Anak yang memiliki keunggulan, dan
(5) Anak angkat, serta
(6) Anak asuh.
Yang dimaksud dengan anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari dalam rahim
seorang ibu; sedangkan anak terlantar adalah anak yang tidak terpelihara kebutuhannya secara
wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial; anak yang menyandang cacat adalah anak yang
mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangannya secara wajar; anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai
kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan bakat istimewa; anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan; anak
asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang
tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.
B. Konsep dan Batasan anak dibawah umur
Berbicara mengenai konsep dan batasan anak di bawah umur, penulis bertolak pada KUHP
dan konvensi Hak-Hak Anak (KHA), dimana dalam KUHP tersebut memberikan batasan anak di
bawah umur adalah lima belas tahun, sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah
umur adalah delapan belas tahun. secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga
batasan umur dalam KHA dirasa lebih tepat.
Sedangkan dalam hukum Islam batasan anak di bawah umur terdapat perbedaan penentuan.
Menurut hukum Islam batasan itu tidak berdasarkan hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda
perubahan badania baik bagi di anak laki-laki, demikian pula bagi anak perempuan. Sedangkan
dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, ditetapkan batasan umur 16 tahun
atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi
tergolong anak di bawah umur, tetapi sudah dewasa.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa
anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih
tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah
perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. dalam Undang-
Undang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun,
sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah
umur adalah di bawah umur 18 tahun.
C. Kewajiban dan Tanggung Jawab Anak
Sebelum penulis menjelaskan tentang kewajiban seorang anak terlebih dahulu akan di
jelaskan tentang pengertian kewajiban itu sendiri. Kewajiban adalah segala yang harus kita
penuhi sebelum kita menuntut hak. seorang anak selain memiliki kewajiban, juga memiliki
tanggung jawab baik itu terhadap dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa dan negaranya.
Dalam Undang-Undang perlindungan anak pasal 19 dijelaskan tentang kewajiban seorang anak,
yaitu :
(1) Menghormati orang tua, wali, dan guru;
(2) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
(3) mencintai tanah air, bangsa dan negara;
(4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
(5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Sedangkan tanggung jawab seorang anak adalah tanggung jawab terhadap dirinya sendiri
seperti memelihara diri dari segala gangguan yang mungkin membahayakan keselamatannya.
Tanggung jawab terhadap kedua orang tuanya seperti menghormati dan menghargai kedua orang
tuanya, guru, keluarga, masyarakat. Sedangkan tanggung jawab terhadap bangsa, negara dan
agamanya adalah menghargai para pahlawan yang telah gugur dalam mempertahankan bangsa
dan negara Indonesia, sedangkan tanggung jawab untuk agamanya adalah seorang anak harus
betul-betul mempelajari ajaran agama agar supaya mereka dapat memahami dan mengamalkan
ajaran agamanya. Tanggung jawab lain seorang anak terhadap agamanya dalam bentuk
melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, berakhlak dan beretika baik
D. Aspek-Aspek Kekerasan Pada Anak
Kekerasan yang terjadi pada anak bermacam-macam jenis kasusnya, sehingga perlu
pembatasan mengenai dan jenis-jenis kekerasan.
Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan
seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan emosi. Kekerasan fisik adalah apabila anak-
anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya
kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak. Kekerasan seksual
adalah apabila anak disiksa/diperlakukan secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau
melihat aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu
yang bertujuan mengeksploitasi seks dimana seseorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang
lain. Kekerasan karena diabaikan menurut Akta Perlindungan Anak sebagai kegagalan ibu
bapak untuk memenuhi keperluan utama anak seperti pemberian makan, pakaian, kediaman,
perawatan, bimbingan, atau penjagaan anak dari gangguan penjahat atau bahaya moral dan tidak
melindungi mereka dari bahaya sehingga anak terpaksa menjaga diri sendiri dan menjadi
pengemis. Kekerasan emosi adalah sekiranya terdapat gangguan yang keterlaluan yang terlihat
pada fungsi mental atau tingkah laku, termasuk keresahan, murung, menyendiri, tingkah laku
agresif atau mal development.
Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah segala tindakan yang
dilakukan terhadap anak baik fisik maupun psikis yang merugikan anak, ataupun karena
diabaikan.
E. Sumber-Sumber Pemicu Kekerasan pada Anak
Faktor-faktor penyebab yang menjadi stimulus kekerasan (bullying) adalah feodalisme
(senior/yunior), pubertas pada masa remaja (pencarian jati diri), krisis identitas, kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), ataupun kekerasan disekolah. Sumber-sumber pemicu kekerasan
terhadap anak bermacam-macam factor pencetusnya. Diantaranya:
1) Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Dengan
keadaan ekonomi yang memprihatinkan, banyak kebutuhan-kebutuhan anak menjadi tidak bisa
terpenuhi. Sehingga anak terpaksa atau dipaksa berkerja untuk mencari nafkah. Kemiskinan,
menurut kajian KPAID, adalah juga akar dari masalah trafficking (dalam Hadi Supeno, 2007).
Karena kemiskinan, banyak orang tua memaksa anaknya bekerja. Lebih ironis lagi, menjadikan
anak sebagai pekerja seks komersial.
Pernikahan anak dibawah umur, yang akhir-akhir ini, banyak terdengar, juga disinyalir
bermula dari keadaan ekonomi. Pernikahan dilakukan dengan iming-iming akan memberikan
sesuatu bagi keluarga (orang tua) si anak.
Kemiskinan kemungkinan mempunyai korelasi dengan intensitas perlakuan kekerasan.
Asumsi ini diperkuat dengan fakta dilapangan bahwa sejak krisis ekonomi melanda Indonesia,
angka kekerasan kepada anak juga meningkat. Data yang perlu dicatat pula bahwa, jumlah anak
yang masuk ke Panti Asuhan, dan anak jalanan semakin meningkat pula. Anak-anak yang tinggal
dipanti asuhan dan yang hidup dijalanan sudah dapat dipastikan adalah korban kekerasan.
Pekerja anak dibawah umur, anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK dan kasus pedofilia,
biasanya berasal dari keluarga miskin, atau tidak memiliki keluarga. Bisa juga karena anak dari
hasil hubungan gelap yang tidak diakui oleh orang tua mereka, dibuang begitu saja oleh orang
tuanya dengan maksud menghindar dari tanggung jawab moral dan hukum. Ada sebagian dari
anak ini yang mengalami cacat fisik, karena sejak dalam kandungan anak ini tidak diharapkan,
sehingga orang tuanya berupaya segala cara untuk menggugurkannya.
2) Stres
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan dapat terjadi, salah satu di
antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family stress) (dalam Indra
Sugiarno). Stres dalam keluarga bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.
1. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang
terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan
penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.
2. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa (psikosis atau
neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek
dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.
3. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau
pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.
3) Pengetahuan orang tua/pengasuh yang kurang
Pengatahuan atau skill orang tua/pengasuh sangat berpengaruh pada bagaimana cara
berinteraksi dengan anak. Kebanyakan kasus kekerasan kepada anak banyak disebabkan karena
ketidak tahuan orangtua/pengasuh. Orangtua yang tidak mengetahui bagaimana cara pengasuhan
yang baik, kemungkinan menganggap bahwa, hukuman fisik, ataupun psikis yang kelewatan, itu
biasa-biasa saja.
Orangtua kadang tidak mengerti batas-batas kekerasan yang dilakukan terhadap anaknya
yang bisa ditolerir. Bagaimanapun juga, usia anak adalah usia imitasi yang sangat dominan.
Dengan perlakuan orangtua/pengasuh yang salah, dia akan mengidentifikasikan dirinya sesuai
dengan objek imitasi yang dilihatnya.
4) Dororongan Seksual yang tidak terkendali
Kekerasan terhadap anak yang sangat memprihatinkan adalah kekerasan seksual. Kekerasan
seksual ini akan mengakibatkan trauma yang mendalam. Biasanya anak yang mengalami trauma
kekerasan seksual, akan menjadi pelaku kekerasan seksual, ini merupakan sebuah mata rantai
yang harus diputus demi keselamatan generasi. Kekerasan seksual ini lebih banyak dilakukan
oleh orang-orang dekat anak. Kasus-kasus terakhir, lebih banyak dilakukan incest oleh orangtua
kepada anaknya, ataupun orangtua kepada anak tirinya, paman, kakek, kakak ataupun yang lain,
mempunyai hubungan dekat dengan anak. Kekerasan seksual kepada anak ini semakin
meningkat, seperti yang dilaporkan pada kejadian di Amerika (Oprah, Metro TV, Tanggal 11
April 2009, jam 11 WIB). Kasus yang terungkap hanya sebagian kecil dari kasus yang
sebenarnya (fenomena gunung es), bahkan pemunculan kasus baru melebihi jumlah kasus yang
bisa ditangani.
5) Keberadaan anak yang tidak diinginkan
Anak yang tidak diinginkan oleh orangtuanya, adalah salah satu dari korban kekerasan.
Orangtua yang tidak mengharapkan kehamilannya, sejak masih dalam kehamilan, akan
melakukan segala cara untuk melenyapkan si anak. Fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah
penghuni panti asuhan kebanyakan adalah anak yang tidak diketahui keberadaan orangtuanya.
F. Kekerasan Pada Anak Menurut UU Perlindungan Anak
Defenisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002;
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan.
Defenisi undang-undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun.
Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka
hukum.
Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPA) adalah kekerasan fisik dan
psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang
tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti
orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.
Batas-batas kekerasan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002
ini, Tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, dimana akan
menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu
pada defenisi, segala tindakan apapun seakan-akan harus dibatasi, dan anak harus dibiarkan
berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak). Hak anak untuk
menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain
.
G. Kekerasan Pada Anak Menurut Pandangan Islam
Dalam Islam, batas usia seorang anak adalah setelah dia mendapat tanda-tanda baligh
(mumayyiz). Jika tanda-tanda ini mendatangi seorang anak, maka dia sudah beralih ke masa
dewasa, yang kepadanya sudah dibebankan tanggungjawab (dunia dan akhirat).
Dalam Islam, penanaman nilai-nilai moralitas pada anak adalah hal yang sangat sentral.
Moral/akhlak, adalah ukuran baik buruknya atau sehat menyimpangnya perilaku seseorang.
Moral/akhlak menentukan seseorang bergaul dengan lingkungannya. Penanaman nilai-nilai yang
positif pada anak ini tidak langsung begitu saja tetapi melalui waktu yang panjang,
dari mulai seorang anak lahir bahkan sebelum lahir. Orang tua atau pengasuh memegang
peranan penting untuk perkembangan perilaku/akhlak/moral anak. Pada usia anak adalah usia
imitasi yang paling dominan.
H. Kekerasan dalam Tinjauan Psikologi
Kekerasan adalah salah satu bentuk agresi, dimana korban (anak) adalah objek
kekerasan/agresi itu. Perbuatan agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan
maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Mayers, 1996).
Berbicara mengenai kekerasan anak, akan ditemukan, bahwa anak bisa menjadi
subjek/pelaku maupun objek kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan/subjek, biasanya
dikarenakan ia memiliki pengalaman sebagai objek kekerasan itu sendiri. Anak berperilaku
seperti itu sebagai bagian dari imitasi atupun pengekspresian pengalaman-pengalaman mereka,
entah itu disadari ataupun tidak.
Anak selalu menjadi korban kekerasan, karena secara fisik, dia tidak dapat mempertahankan
dirinya. Kekerasan ini dapat terjadi dimana saja, dirumah, sekolah, maupun lingkungan
sosialnya. Rumah, seyogianya menjadi tameng dan benteng pertahanan si anak untuk terhindar
dari kekerasan ini, tapi kekerasan kepada anak lebih banyak terjadi dirumah. Sekolah sebagai
suatu lembaga pendidikan yang akan memanusiakan anak secara utuh sebagai persiapan untuk
kehidupannya kelak, justru menjadi suatu momok yang menakutkan dan menimbulkan trauma
yang mendalam. Kekerasan yang terjadi bukan hanya kekerasan fisik, tetapi yang lebih
menyedihkan adalah kekerasan psikis yang akan mempengaruhi kepribadiannya.
Kekerasan pada anak tergantung pada pola asuh dan pola perlakuan kita terhadap anak. Pola
asuh anak juga sangat mempengaruhi kepribadian anak. Pola asuh ini menentukan bagaimana
anak berinteraksi dengan orangtuanya. Hurlock (1998 : 30), membagi pola asuh menjadi tiga:
a. Pola asuh otoriter, orang tua memberi peraturan yang dan memaksa untuk bertingkah laku sesuai
dengan kehendak orang tua, tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman diberikan tanpa ada
alasan dan jarang memberi imbalan.
b. Pola asuh demokrasi, orang tua memberikan peraturan yang luwes serta memberikan penjelasan
tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut.
c. Pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak tentang langkah
apa yang dilakukan anak, tidak pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak
tentang yang sebaiknya dilakukan anak. Dalam pola asuh ini hampir tidak ada komunikasi orang
tua dan anak, serta hampir tidak ada hukuman dan selalu mengijinkan segala keinginan anak.
Sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin
pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya
menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Di samping itu, menurut
Watson, sikap otoriter, sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa,
tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain, lemah hati atau mudah
berprasangka. Tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran
dari keadaan di dalam keluarga.
Kebanyakan orang tua yang menganut paham otoriter, menganggap anak bodoh sehingga apa
yang dikerjakannya memerlukan perintah yang tegas darinya. Ini akan membungkam kreativitas
anak.
Perlakuan orang tua ataupun pengasuh kepada anak sangat mempengaruhi kepribadian anak.
Masa kanak-kanak adalah masa dimana anak menunjukkan ekspresi dan eksistensinya sebagai
seorang manusia yang utuh. Kegagalan dalam masa ini, menurut Freud, akan terpendam dan
menjadi pengalaman bawah sadar anak, yang menjadikan pengalaman anak sebagai referensi
dalam menjadi hidupnya.
Menurut Freud, tingkah laku dan kepribadian seseorang tergantung pada fase-fase masa kecil
anak (gold age). Dia membagi fase itu kedalam lima tahap: Fase Oral (0 – 1,5 tahun), Fase Anal
(1,5 – 3 tahun), Fase Phallic (3 – 6 tahun), Fase Latency (6 - pubertas) dan Fase genital.
(Dewasa).
Freud membagi masa kanak-kanak kedalam lima tahapan sesuai dengan objek pemuasan
(libido) pada anak (psikoseksual). Freud menganalisis kepribadian seseorang sesuai pengalaman
masa kecilnya, yang lebih mengutamakan pada pemuasan (libido) pada tiap-tiap tahap
perkembangan. Apabila pada salah satu tahap mengalami hambatan, atau tidak/kurang
mengalami pemuasan maka akan berefek pada kepribadiannya kelak.
Keluarga bertanggung jawab mengasuh anak dan merupakan tempat pertama kali anak
belajar berinteraksi dengan dunia luar (Wilson, 2000:44). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
tindakan kekerasan terhadap anak merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap
pembentukan konsep diri anak. Semakin tinggi tindakan kekerasan terhadap anak, maka semakin
negatif konsep diri yang dimiliki oleh anak. Kekerasan pada anak dalam keluarga, biasanya
tergantung dari pola asuh orang tuanya/pengasuhnya. Jika anak selalu diancam, dimarahi, bahkan
disakiti secara fisik, dia akan ragu-ragu dalam bertindak karena takut salah, akibatnya dia akan
ragu-ragu dalam mengambil suatu inisiatif. Ataupun anak akan mengalami poor emotion,
kegagalan dalam bergaul dengan orang lain, tidak mengerti perasaan orang, pendiam tapi agresif
dalam menanggapi respon yang datang.
Anak-anak yang dalam perkembangannya mengalami kekerasan, akan mengalami
kekurangan afeksi (kasih sayang orang tua mereka). Padahal dari sisi psikologis, anak sangat
membutuhkan afeksi ini (attachment) untuk mengekplorasi lingkungan mereka. Attachment
adalah suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan
melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu. Keterikatan (attachment) mereka
dengan orangtua/pengasuh akan menimbulkan rasa aman dan percaya diri anak. Keterikatan ini
adalah suatu ikatan emosional yang kuat antara anak dan orangtuanya/pengasuhnya. Bagimana
mungkin dapat diciptakan suatu relasi yang harmonis antara anak dan orang tuanya jika anak itu
adalah selalu menjadi korban kekerasan.
Misalnya saja pada anak korban perceraian. Anak korban perceraian akan merasa tidak
dicintai, menyangkal akan kenyataan yang dialami, sedih, ketakutan, marah, dan merasa
bersalah. Anak ini akan mengalami efek-efek yang merugikan terhadap harga dirinya sehingga
mereka mengangap dirinya anak ‘nakal’ yang telah menyebabkan perceraian orang tua mereka.
Anak korban perceraian akan menyesuaikan kembali kehidupannya dimana mereka harus
menghadapi perubahan-perubahan praktis yang memerlukan banyak penyesuaian, seperti pindah
sekolah, pindah rumah baru pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dan penyesuaian dengan
pola pengasuhan anak yang baru.
Ini akan menyebabkan stress pada anak. Anak kemungkinan menarik diri dari pergaulan
sosialnya, lebih introvert, dan penyesalan yang mendalam akan nasib yang dialaminya. Menurut
Purwandari (2004 : 227) Pengalaman traumatik mempengaruhi keseluruhan keseluruhan pribadi
anak. Bagaimana anak berpikir, belajar, mengingat, mengembangkan perasaan diri sendiri
tentang orang lain, juga bagaimana ia memahami dunia, semuanya tidak dapat dilepaskan dari
pengalaman traumatiknya.
Keadaan ini akan mempengaruhi kepribadian anak kelak. Pengalaman-pengalaman masa
kecilnya adalah pengalaman yang paling berharga dalam hidupnya. Dan pengalaman ini akan
dijadikan referensi dalam mengatasi problem-problem hidup ketika mereka dewasa kelak. Anak
akan selalu merasa bersalah sehingga memiliki self-concept yang salah.
Orang tua/pengasuh ataupun orang-orang yang terkait dalam hal ini dalam suatu keluarga
adalah sumber keamanan bagi perkembangan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri
sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang dibuat anak mempengaruhi keluarganya, begitu
pula sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan
pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola
tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Di samping keluarga sebagai tempat
awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan
mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi
yang baru lahir.
Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan antara orangtua/pengasuh
(attachment) akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan
kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kehangatan dan afeksi yang diberikan ibu pada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak
selanjutnya (Ampuni, 2002).
Dengan kelekatan ini, anak merasa nyaman dan aman dengan objek lekatnya (ibu/pengasuh).
Keadaan ini akan menjamin seorang anak untuk megeksplorasi lingkungannya dengan baik.
Seorang anak yang tidak mendapat objek kelekatan yang memadai, misalnya anak yang
mengalami kekerasan akan terlihat apatis dengan lingkungannya, selalu merasa curiga, dan
celakanya anak dapat mengalami gejala miskin emosi (poor emotion).
Jadi, syarat utama lingkungan yang sehat secara psikologi adalah lingkungan yang bisa
memberikan rasa aman bagi anak. Faktor ini bisa faktor aman secara internal (orang
tua/pengsuh) maupun eksternal (lingkungan sosial). Keamanan secara internal adalah keamanan
dalam membangun relasi yang sehat dengan orang-orang disekitarnya. Keamanan eksternal lebih
pada keamanan dari lingkungan yang lebih besar. Tanpa ada jaminan keamanan bagi anak, ia
akan selalu merasa cemas dan menjadi pendiam.
Kaitan antara berbagai faktor keluarga dengan prilaku yang anti sosial menurut penelitian
Sula Wolff (1985), ia mendapatkan factor-faktor berikut secara statistik berkaitan dengan
gangguan perilaku (dalam Dr. John. Pearce, hal 120):
a. Tiadanya seorang ayah
b. Kehilangan orang tua lebih karena perceraian bukan karena kematian
c. Ibu yang depresif
d. Orang tua yang mudah marah
e. Ketidakcocokan dalam perkawinan
f. Keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan
g. Banyak anak
Perlakuan yang salah terhadap anak, akan mendapat respon yang sama dari anak. Kebanyan
orang tua pelaku kekerasan terhadap anak adalah karena dimasa kecilnya diperlakukan sama oleh
orang tuanya. Perlakuan ini akan masuk di alam bawah sadar, sehingga menjadi pola pengasuhan
kelak. Jika hal ini tidak diberikan pemahanan yang benar tentang pengasuhan anak yang sehat,
kemungkinan hal ini akan berlanjut seterusnya. Pengasuhan anak membutuhkan suatu
keterampilan khusus, berhubungan dengan mereka membutuhkan kondisi emosi yang stabil.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masa depan anak dan generasi, kesuksesan maupun kegagalan banyak dipengaruhi oleh
peranan orang tua dan pengasuh di masa kecil anak. Orang tua ataupun pengasuh yang efektif
dalam pengasuhan anak untuk pemberian aspek afeksi bagi anak sangat diperlukan. Komunikasi
yang dibina dengan semaksimal mungkin akan memberikan dasar terpenting dalam pendidikan
anak.
Kekerasan Terhadap Anak, Keefektifan pendidikan dan pengasuhan anak akan berhasil
membentuk generasi muslim yang dapat diandalkan, jika:
1. Kehidupan dalam keluarga muslim menerapkan prinsip-prinsip keluarga yang islami
2. Orang tua atau pengasuh mempuyai pengetahuan yang memadai tentang perkembangan
anak.
3. Stimulasi lingkungan yang positif.
4. Orangtua atau pengasuh dapat menjadi teladan yang baik.
5. Sumber informasi yang mudah didapat oleh orang tua atau pengasuh.
6. Peraturan perundang-undangan yang mendukung.
REFERENSI
Ampuni, S., (2002). Hubungan antara Ekspresi afek Ibu dengan Kompetensi Sosial Anak Prasekolah.
Tesis. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Elfia Desi & Vivik Shofiah.2007.Hubungan Tindakan Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) dengan
Konsep Diri. Fakultas Psikologi UIN Suska Riau: Jurnal Psikologi, Vol.3 No. 2.
Haditono, S.R., dkk, (1994). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hurlock, B. Elizabeth.1998. ”Perkembangan Psikologi Anak”. Jakarta: Erlangga
Kasmini Kassim.1998.Penderaaan Emosi Kanak-Kanak (Trauma Terselindung).Universitas
Kebangsaan Malaysia.
Www.google.com
Top Related