Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
1
TUHAN MASA DEPAN
Oleh Haqqul Yaqin1
Abstract
Human perception of God has started since 140 centuries with
different ideas and definitions described by man, God became a kind blend
of so many human ideas with so many sociological impact. Becomes
unclear which one imagined god and god original, then here arises the
idea of God Historically, humans began initiating the creation story of
God-God himself. In teografis God then understood in the capacity of
human knowledge: God of the philosophers, mystics God, the Lord of the
reformers, the Lord of the clergy, the God of the scientists, and finally to
the declaration: Lord died. At the end comes the theology of God's future:
Anthropic-spiritualism, that's probably one of the right word to describe
the era of the idea of God to come, namely the creed of religious
philosophy that tries to position human subjectivity distribution center of
the universe that transcended entirely on spiritual awareness Ilahia
Keyword: God, Future
A. Pengantar
Lebih 14000 tahun lamanya manusia mencoba mengenali dan
mendefinisikan Tuhan yang dituangkan melalui ide-ide theologis,
filosofis, mistis, dan ilmu pengetahuan. Eksternalisasi dan ekspresi
pengalaman tentang Tuhan seakan tidak pernah lapuk dan usang oleh
perubahan zaman. Adanya perubahan dan perbedaan ruang dan waktu
justru semakin menambah sempurna wajah Tuhan. Tuhan yang dikonstruk
dalam lintasan panjang sejarah manusia telah memberi banyak celah
1 Dosen STAIN Madura
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
2
tentang sisi-sisi Tuhan yang mungkin dimasuki oleh nalar manusia. Tuhan
hadir dan menyapa manusia sesuai persepsi manusia tentang diriNya.
Para mistikus mengenal Tuhan sebagai Tuhan Sang Kekasih, para
filosof mengenal Tuhan sebagai Yang Maha Cerdas dan Kreatif, para
teolog mengenal Tuhan sebagai taskmaster, sedangkan para ilmuwan
mengenal Tuhan sebagai Sang Pembelenggu. Demikianlah seterusnya
manusia membangun ide dan keyakinan tentang Tuhan dan dipastikan
secara konstan sehingga ide tersebut masih dianggap relevan sampai saat
ini.2 Dalam konteks dialog agama, pluralitas ide dan keyakinan tersebut
pada urutannya akan melahirkan pluralitas agama, pluralitas teologi dan
pluralitas ideologi keagamaan.3
Namun yang perlu menjadi catatan dari uraian bahwa seluruh (ide)
Tuhan adalah output proyeksi personalitas manusia, bahkan Tuhan yang
dikenal melalui pewahyuanpun yang kemudian dimengerti sebagai
axiomatictruth- merupakan fenomena ide Tuhan yang keluar dari
personalitas itu. Jika demikian, yang harus diakui adalah kenyataan faktual
bahwa kebanyakan para pemeluk agama telah mengadopsi kedalam
dirinya (introject) suatu proyeksi keagamaan yang diambil dari
personalitas orang lain. Dari situlah tidak heran kalau agama kemudian
tampak sebagai suatu pengembaraan yang menakjubkan, atau bahkan
sangat mengerikan, penuh iri dan kecurigaan. Pemahaman terhadap kitab
suci, misalnya, secara eksplisit akan menghasilkan pikiran Tuhan yang
2 Karen Amstrong, History of God:4000-Year Quest of Judism,Chritianity,and
Islam,(New YORK: Ballantine Books, 1994), hal. 5. 3Komaruddin Hidayat & M.Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina,1995), hal. 116.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
3
penuh kebaikan. Tuhan disembah sebagai asal kebaikan, sumber keadilan,
sang bijaksana, penuh ketakjuban dan cinta.4
Dengan demikian Tuhan kemudian menjadi semacam racikan
sekian ide-ide manusia dengan sekian dampak sosiologinya. Menjadi tidak
jelas mana yang imagined god dan original god, yang terjadi bahwa setiap
kali ide tentang Tuhan dibangun maka di situ ada tuntutan pemenuhan
legitimasi. Tuhan seakan hanya boleh disuarakan oleh para nabi, pendeta,
biksu, filosuf dan kaum sufi. Merekalah yang dianggap memiliki otoritas
untuk mengurai pikiran Tuhan. Sehingga dalam konteks ini, penolakan
terhadap eksistensi Tuhan selalu bermula dari ketidakpuasan terhadap ide
tentang Tuhan. Yang ingin dimunculkan sebetulnya bukan persoalan
Tuhan Transenden, atau Tuhan yang disana, tapi Tuhan yang setiap hari
selalu dilahirkan dari pikiran-pikiran manusia, Tuhan yang disini atau
Tuhan yang historis.
B. Tuhan Historis
Pertama kali manusia mengenal Tuhan ketika dia sedang “murka”.
Jejak kaki Tuhan ditemukan dalam reruntuhan tebing-tebing curam yang
longsor, tumpahan letusan gunung berapi yang membawa lahar panas, atau
tiupan angin topan yang membawa kabur rumah-rumah mereka. Karena
itu lalu Tuhan dibayangkan sebagai sang penguasa langit dan bumi. Inilah
kekuatan numinous yang dialami manusia yang terejawantah dalam bentuk
ketakutan yang teramat dalam ketika melihat fenomena alam. Kekuatan
numinous yang dimiliki manusia- bisa berbentuk semangat yang tak
4 Jack Miles, God:A Biography, (New York: Vintage Books,1995), hal. 4-6.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
4
terkendali, kegirangan yang meluap, perasaan yang teramat tenang, rasa
ketakutan, keterpesonaan, dan rasa ta’dhim- diduga sebagai elemen
dasariah manusia yang membimbingnya untuk mengenal kekuatan
misterius diluar dirinya: yang kemudian disebut Tuhan.5
Sejarah Tuhan, dengan demikian, dimulai sejak manusia
menggagas kisah penciptaan Tuhan-Tuhan itu sendiri. Tuhan antropologis
dalam kenyataan sosial di ilustrasikan dengan simbol yang bermacam-
macam: Apsu, Tiamat, Mumum, Lahma, Lahman, Marduk, El-Elyon,
Yahweh, Allah, dan begitu seterusnya. Inilah yang oleh Hegel selanjutnya
diistilahkan sebagai fenomelogi spiritual (phenomenology of spirit), yaitu
adanya manifestasi keyakinan spiritual dalam bentuknya yang fana selama
bentangan sejarah yang teramat panjang.6
Agama lalu dipahami sebagai memiliki dua sisi: kondisi ketika
jiwa tak terbatas menghujam pada jiwa terbatas dan satu keinginan
simultan yang dimiliki jiwa terbatas untuk selalu menyapa yang tak
terbatas. Selanjutnya terjadi proses dialektis ketika kesadaran diri tentang
yang Absolut dan ketika yang Absolut mewujud dalam kesedaran
manusia. Kesadran ilahiah manusia yang menggambarkan kenyataan
historisnya merupakan replica pengalaman manusia yang muncul dari
keseluruhan beban nalar praktis dan teoritis – keagamaannya.Karena itu,
kesadaran dapat terbangun dengan mengenal dunia yang mengitarinya dan
pada saat yang sama dunia “menjadi ada” ketika kesadaran itu ada. Inilah
sejarah pengalaman manusia yang secar konsisten akan selalu menembus
5Rudolf Otto, The Idea of The Holy ,trans. John W. Harvey , (London & New
York: Oxford University Press, 1958), hal. 5-11. 6Hans Kung, Does God Exsist? An Answer for Today, (New York: The
Croosroad Publishing Company, 1994), hal. 146.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
5
batas ruang dan waktu yang dengan subjektivitasnya manusia mampu
mengenali satu persatu dunia disekitarnya, termasuk dunia Tuhan.7
Don Cupitt melihat bahwa kepercayaan pada hal-hal yang spiritual
merupakan bentuk tradisi nomadic lama sedangkan keyakinan dan
kepercayaan terhadap Tuhan sangat berhubungan dengan asal mula
munculnya masyarakat negara yang pertama (state-society). Karena
berhubungan dengan negara maka dibutuhkan stabilitas dan legitimasi
kekuatan: itulah Tuhan. Berkorban demi Tuhan dengan demikian
merupakan jaminan keberlangsungan kehidupan suatu negara. Berangkat
dari pemikiran ini, Cupitt selanjutnya membagi pengalaman dan kesadaran
keagamaan menjadi dua:Paleolithic dan Neolithic.
Paleolithic adalah kesadaran keagamaan kaum nomadic yang
memiliki perhatian keagamaan terbatas pada fenomena alam yang
terdeteksi di setiap pengembaraan yang mereka lakukan. Sedangkan
Neolithic adalah keberagamaan kaum yang memiliki peradaban berbeda
yang salah satunya ditandai dengan pola hidup dan tempat tinggal yang
permanen. Neolithic mentransformasikan keyakinan ekologisnya menjadi
ekspresi visi kosmologi idealnya. Dunia dilihat sebagai tatanan yang
teratur dan harmonis. Karena itu manusia Neolithic lebih memiliki mental
disiplin dari pada Paleolithic. Dari setiap wilayah yang mereka
bangun,didirikan satu bangunan prinsip tempat mereka mendedikasikan
ketaatannya pada patron god.8
Keyakinan Neolithic adalah keyakinan yang dinamis, keyakinan
yang selalu mengalami adaptasi-adaptasi dan nalar-nalar mandiri. Bagi
Cupitt, Tuhan sebelum-sebelumnya boleh jadi merupakan tetomisme
7 Ibid, hal. 144-145.
8 Don Cupitt, After God:The Future of Religion, (New York:Basic Books, 1997), hal. 19-
20.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
6
kesukuan atau penyucian klan-klan tertentu terhadap bentuk binatang atau
figur kesuburan seperti Inanna, Dumuzi, dan Dewi Sri. Secara perlahan
Tuhan lalu dinobatkan sebagai sang absolut yang monarkis: Tuhan telah
menyatu dan telah menata tidak hanya negara tapi juga ala mini (dalam
hubungan ini dia menekankan pentingnya memahami negara itu sendiri
sebagai satu model kosmologi yang dikaitkan dengan keyakinan dunia
yang ditata dan dikontrol secara total). Dan saat ini, Tuhan telah menjadi
pusat perhatian sehari-hari umat manusia sebagai yang mengadili, dan
disembah oleh jamaah-jamaah yang tersebar luas. Bahkan Tuhan semakin
akrab dengan pola hidup manusia: dijadikan inisial dan identitas person-
person umat manusia (nama) serta sebagai alat membangun kepercayaan
ketika bersumpah.9
Uraian Cupitt diatas sesuai dengan deskripsi yang diberikan Pierre
Teilhard de Chardin tentang evolusi teologisnya. Ia memendang ala mini
sebagai representasi kekuatan Tuhan yang bergerak secara evolutif dari
materi ke alam yang immateri dan akhirnya menuju Tuhan. Dunia
mengalami perkembangan alamiah menuju kesatuan, sekaligus
keserbaberagaman yang kompleks dan lebih besar. Dia menyebut
keserbaberagaman yang menggumpal dalam satu kesatuan tersebut sebagai
Omega Point, yaitu nilai agung dari alam semesta sebagai puncak proses
evolusioner penjelmaan Tuhan menjadi segala. Manusia hidup dalam
proses (antrophogenesis) dan belum mengalami kesempurnaan. Untuk
mencapai kesempurnaan ia berusaha menggapai Christogenesis dimana di
situ ada pleroma yang terdapat dalam Omega Point, tempat ketika
pengembara manusia individu dan kolektif mencapai akhir dan ketika
kesempurnaan dunia dan Tuhan menyatu. Pleromisasi adalah evolusi
9 Ibid.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
7
kosmos dan manusia yang mencapai kulminasi pada Tuhan kosmik
universal, yaitu suasana batin pada saat manusia menyatu dengan realitas
Tuhan dan alam. Inilah adalah suatu pandangan yang oleh Teilhard sendiri
tidak dianggap sebagai satu pure reason tapi sangat berbau keimanan.10
Tuhan telah menyebabkan timbulnya berbagai persepsi yang sangat
beragam yang pada gilirannya memunculkan keanekaragaman budaya.
Tuhan dicerap dalam realitas-realitas yang terselubung oleh dunia wujud
eksternal. Karena itu Dia tidak dapat dipersepsi melalui cara yang sama
ketika manusia merefleksi wujud-wujud lain yang tergantung padaNya dan
mengambil bagian di dalam eksistensi manusia. Secara teografis Tuhan
kemudian dipahami dalam diserfikasi pengetahuan manusia: Tuhan para
filosof, Tuhan mistikus, Tuhan para reformis, Tuhan para agamawan,
Tuhan para ilmuwan, dan akhirnya sampai pada deklarasi: Tuhan mati.
Para filosof mencoba berpandangan lebih proporsional dengan
meletakkan Tuhan pada sebuah kategori intelektual yang tidak terpecah
dan menggagas sistem keimanan yang tidak mengasingkan kebutuhan-
kebutuhan manusia. Para filosof ingin membuktikan secara logis bahwa
Tuhan dapat diselaraskan dengan landasan rasional mereka. Mereka tidak
bermaksud menegaskan peran agama dalam mencitrakan Tuhan, tapi
mereka hanya ingin melakukan purifikasi terhadap suatu pandangan yang
disisipi elemen-elemen primitif dan picik. Disini lalu muncul persoalan
bahwa Tuhan para filosof berbeda dengan Tuhan biblical. Tuhan para
filosuf dianggap banyak mengasikan keyakinan-keyakinan agama
(monoteis).11
10
Hans Kung, Does God.……hal. 171-176. 11
Karen Amstrong, A History……, hal. 171-173.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
8
Para filosuf menempatkan rasio pada posisi yang sangat tinggi
dalam mencari objektifitas dan realitas yang tidak mengenal batas waktu.
Mereka mengidealkan sebuah agama universal yang tidak terbatas pada
pewahyuan tertentu. Tuhan bukan hanya berlaku dalam kurun waktu serta
bangsa tertentu saja. Sekalipun Tuhan dipandang sebagai sebuah misteri,
mereka yakin bahwa mereka adalah Akal itu sendiri. Sabda alam tentang
Tuhan adalah dunia itu sendiri: sebagai sebuah kreasi Tuhan dan sebuah
bentuk ekspresi intelejensi Tuhan yang tak terlampaui menjadikan diriNya
dikenal melalui perbuatan-perbuatanNya yang konstan dalam setiap
kehadirannya di muka bumi.
Sementara Tuhan para mistikus adalah Tuhan yang selalu menyapa
dengan cinta. Para mistikus memilih jalan masuk kepada Tuhan melalui
pintu kasih,s ehingga Tuhan para mistikus adalah Tuhan Sang Kekasih.
Berbeda dengan filsafat, pengalaman mistikal akan Tuhan memiliki
karakteristik-karakteristik tertentu yang hampir sama dalam semua agama,
yaitu mengandalkan pengalaman subjektif dengan melakukan sebuah
kelana interior, perjalanan kedalam diri, dan bukan suatu persepsi
terhadap fakta objektif yang berjarak, berada di luar diri, yang diserap
melalui alam bayangan sebagai hasil kerja pikiran yang disebut imajinasi
,tidak melalui akal serebral, fakultas akal logis. Pengalaman tersebut hadir
dalam diri para mistikus setelah mereka melakukan dan melewati tahapan-
tahapan “perjuangan” yang berupa latihan-latihan fisik atau mental
tertentu yang akhirnya mengantarkan mereka pada pengalaman puncak
yang selalu mempresentasikan kehadiranNya.
Tujuan utama mistis adalah penyatuan dengan objek yang
dicintainya yaitu Tuhan. Ibn A’rabi selalu menganjurkan pentingnya fana
dan baqa sebagai dua tahapan yang dilalui dengan cara pemusnahan diri
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
9
untuk mencapai titik kulminasi dan penyerahan diri pada Tuhan.12
Selain
itu bahwa pengalaman yang kita peroleh ketika melakukan ritual
keagamaan tidak memiliki keterkaitan apapun dengan ide-ide, konsep-
konsep, dan gambaran-gambaran tentangNya. Ritual keagamaan, seperti
sembahyang, seharusnya mampu mengatasi seluruh hiruk-pikuk Tuhan.
Disini nyali di tuntut untuk menelanjangi jiwa dengan cara-cara yang
immateri juga. Ini adalah suatu pemahaman tentang Tuhan yang lebih
intuitif, sehingga hasilnya adalah sebuah rasa kesatuan dengan segala
sesutau dan terbebas dari kebingungan dan multi bentuk Tuhan.13
Anggapan diatas sekaligus sebagai ungkapan rasa tidak puas
terhadap Tuhan-Tuhan personal yang dilahirkan para agamawan (baca:
Abrahamic religions). Karena itu Eckhart kemudian menyatakan bahwa
Tuhan adalah Nothing ( Bukan Sesuatu Apapun). Semua ide yang
cenderung memperbudak dan membatasi Tuhan harus ditolak. Tuhan
adalah dasar wujud dari segala yang ada sehingga tidak perlu mencariNya
“di luar sana” atau berusaha payah melakukan pengembaraan menuju
“sesuatu” diseberang dunia yang kita kenal.14
Pendapat God is Nothing menafikan hampir seluruh atribusi dan
biografi Tuhan. Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha
Mendengar, dan seluruh atribusi yang akrab dikenal dalam kitab-kitab suci
justru sering menjadi legitimasi pengambil-alihan otoritas Tuhan. Kitab
suci seakan menjadi “surat mandat” kaum agamawan (rabhi, pendeta,
ulama, dan lainnya) untuk suatu proses transisi otoritatatif kuasa Tuhan di
tangan mereka. Kaum agamawan lalu mengklaim bahwa merekalah yang
12
Ian Richard Netton, Allah Transendent: Studies in the Structure and
Semiotics of Islamic Philosophy,Theology and Cosmology ,(New York: Routledge,
1989),hal. 284-285. 13
Karen Amstrong, A History…….,hal. 221. 14
Ibid, hal. 253.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
10
berhak dan paling mengerti keinginan Tuhan, di luar itu adalah bid’ah dan
pendurhakaan terhadap Tuhan.
Tuhan agamawan adalah Tuhan kekuasaan: suatu simpul yang
dalam sejarah panjang ide tentamg Tuhan mencoba digugat dan dilawan
oleh para filosuf, mistikus, bahkan para ilmuwan. Mereka mengkonstruk
Tuhan dalam satu konsepsi yang restriktif (restrictive conception) yang
selanjutnya mengurung agama dalam satu sistem kepercayaan politik
tertentu. Agama ideologis muncul dari kenyataan Tuhan tersebut dimana
saah satu karakter utamanya penuh dengan penjelasan-penjelasan moral
perspektif. Dalam implementasi aktualnya, agama ideologis akan
mempengaruhi struktur formal sitem kepercayaan,bahkan cenderung
memperalat Tuhan dalam menjustifikasi dan mengartikulasikan
kepentingannya.15
Dalam konteks ini Marx lalu berpendapat bahwa
gagasan tentang Tuhan merupakan suatu proyeksi mistis dari pengasingan
fundamental. Gagasan tersebut, selain mewujudkan kesengsaraan kelas
yang tertindas juga merupakan alat kelas yang berkuasa untuk
melangsungkan dominasinya.16
Karen menyebutkan bahwa dalam
sejarahnya Tuhan pernah menjadi Tuan Feodal dari para anggota Pasukan
Salib. ”Tentara-tentara suci” itu menggambarkan Tuhan tidak jauh berbeda
dengan dewa-dewa pangan, sambil mengelu-elukan Tuhan mereka
membantai komunitas Yahudi di sepanjang lembah Rhine.17
Manusia
terlanjur memahami Tuhan sebagai”Yang Yaha Haus” (darah) sehingga
15
Untuk lebih jelasnya bagaimana uraian rinci tentang ideologi yang menjadi
sistem kepercayaan, lihat John B.Thompson, Studies in the Theory of Ideology, (Berkeley
& Los Angeles: University of California Press, 1984), hal. 76-79. 16
Karl Marx,”Religions as Alienation”, dalam Daniel L. Pals, “Seven Theories
of Religion”, (New York & Oxford: Oxford University Press, 1996), hal. 138-143. 17
Karen Amstrong, A History….., hal. 221.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
11
harus muncul penggolongan ras manusia kepada kelompok kafir dan
bid’ah.
Tuhan Biblical yang berhenti pada simbol realitas transenden yang
begitu kejam dan tiranik, Tuhan yang demikian menyusahkan, tanpa
kebahagiaan dan kasih sayang, telah membuat daratan Eropa telah menjadi
dua kelompok agama: Katholik dan Protestan. Keduanya senantiasa
terjebak dalam rasa kebencian dan saling curiga sama lain. Sementara pada
saat yang sama, Islam tiba-tiba menawarkan Tuhan Qur’anik yang sangat
eksklusif dengan diserukannya “pintu ijtihad telah tertutup”. Sejak itu
umat Islam dikebiri untuk menciptakan kreasi Tuhan yang inovatif,
sebaliknya mereka hanya diperkenankan memotret lukisan-lukisan Tuhan
yang dihasilkan para ulama.
Pada perkembangannya manusia merindukan Tuhan yang lebih
efektif dalam memberikan semangat untuk dapat survive menghadapi
tragedi dan kesusahan dari pada konsepsi dan interpretasi Tuhan imajinatif
yang didasarkan pada mitologi dan mistisme. Keinginan ini didasarkan
pada kenyataan mengerikan yang ada dalam realitas agama ketika terjadi
aksi saling membunuh antar pemeluk agama. Agama tak ubahnya arena
gladiator yang mempertaruhkan para predator untuk berperang di bawah
bendera Tuhan masing-masing. Tak terhitung jumlah orang meninggal
sebagai “syahid” demi mempertahankan pandangan-pandangan golongan,
kelompok, dan person tertentu yang dari perspektif manapun tidak dapat
dibenarkan. Dan berapa orang yang telah dibunuh hanya untuk
mempertahankan dan membela keyakinan pengalaman tentang Tuhan.
Dari uraian di atas, munculnya nalar atheis dapat dipahami, bahwa
theologi atheis didasarkan sepenuhnya pada paham-paham theologi
liberasi dan usaha-usaha membebaskan manusia dari kuasa kuasa agama
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
12
yang menikam. Oposisi biner atheis-atheis tak lebih sebagai reaksi atas
penolakan kaum atheis terhadap pandangan Tuhan yang mereka (theis)
tawarkan dan sama sekali tidak didasarkan atas penolakan kaum atheis
terhadap eksistensi Tuhan. Serta sebagai upaya provokasi kaum “theis”
atas ketidakmampuannya memahami dan menandingi Tuhan-Tuhan
alternatif yang ditawarkan oleh suatu kaum yang terlanjur di klaim kafir
itu (atheis). Menurut Karen, sebutan atheis yang dicapkan kepada musuh-
musuhnya identik dengan sebutan yang diberikan orang-orang sebagai
anarkhis dan komunis pada akhir abad XIX dan awal abad XX
M.18
Sebagaimana hal yang sama juga pernah terjadi dalam stigma politik
Orde Baru di Indonesia yang mencoba mengganjal lawan-lawan politiknya
dengan stigma PKI. Term ini (atheis-atheis) merupakan wujud nyata
konspirasi kaum agamawan dalam melakukan pembiusan-pembiusan
intelektual Tuhan yang secara imanen bersemayam dalam nalar setiap
manusia. Teologi yang ditawarkan Nietzche misalnya, dengan demikian,
merupakan paradigma penolakan Tuhan atas Tuhan.
The Death of God Theology merupakan sikap yang menyiratkan
sesuatu dalam bentuk lain yang mendasari hidup manusia. Zaman
pencerahan yang menjadi background pemunculannya memberikan
optimisme untuk meneliti secara kritis sesuai dengan kaidah akal terhadap
segala sesuatu yang berhubungan langsung dengan hajat hidup manusia,
termasuk agama. Era Akal Budi (Age of Reason) adalah semangat
didesaknya tuntutan otonomi manusia atas dirinya dan bebas dari kekuatan
tuhan. Ide tentang Tuhan yang telah hidup dan berkembang berabad-abad
lamanya dalam dunia Barat didekonstruksi dan digeser oleh semangat
“Akal Budi”.
18
Ibid, hal. 287-288.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
13
Dengan demikian, penolakan terhadap eksistensi Tuhan harus
dilihat dalam pemahaman makna Tuhan kontekstuakisasinya dengan
otonomi manusia yang bebas. Sehingga “Tuhan mati”, pada gilirannya,
dapat dimengerti sebagai satu artikulasi keputusan teologis, dalam arti
bahwa penyangkalan itu lebih dialamatkan kepada Tuhan- Tuhan yang
diwarisi oleh iman dan kepercayaan ortodoks sebelumnya. Dalam jalur
pemikiran ini, yang di tolak adalah Tuhan yang merampas dan
melemahkan manusia, Tuhan yang mengalami mistifikasi oleh agama,19
Tuhan yang semakin jauh menggiring mereka keluar dari cita-cita dan
idealism kebermaknaan hidup yang pernah mereka kenal dalam ajaran
agama. Tuhan yang nantinya tidak akan menghantarkan mereka menjadi
pengungsi, menderita kelaparan, bahkan harus mati.
C. The Coming God
Memasuki Millennium ketiga, di tengah kemampuan dan
kecerdasan otak manusia yang semakin canggih mengelola kreasi dan daya
ciptanya, mereka justru dibenturkan pada realitas-realitas kontra-produktif
yang ditandai dengan munculnya kondisi multi-krisis yang mengancam
kelangsungan hidupnya. Bahaya dan bencana ekologis, lapisan ozon yang
kian menipis, hingga virus HIV/AIDS yang terus mengancam manusia
dengan membawa malapetaka dengan proporsi yang tak terkendali.
Populasi makhluk manusia yang semakin membengkak, planet bumi
dengan kekayaannya yang semakin tak tercukupi, sementara ribuan
lainnya mati kelaparan, karena tertembak, atau tertimbun di balik
reruntuhan gedung-gedung.
19
Rr.Siti Murtiningsih,”Teologi Tuhan Mati: Tinjauan tentang Eksistensi
Tuhan dan Otonomi Manusia dalam Perspektif Atheisme”’Jurnal Filsafat, Juni 1997, hal.
65.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
14
Manusia semakin kesulitan bagaimana merumuskan dan
memprediksikan masa depannya. Bahkan sebagian berkeyakinan bahwa
kiamat benar-benar tinggal sesaat. Pada suasana yang “chaos” ini, lalu
bagaimana masa depan Tuhan? Apakah ide tentang Tuhan sebagai gagasan
yang meaningless, sebagai warisan ide masa lalu yang tidak lagi relevan?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sebagai luapan pesimisme ditengah
kurungan realitas agama yang semakin jauh dari perasaan batin manusia.
Agama semakin kompleks menjadi bagian dari persoalan hidup manusia,
dan bukan menjadi pandangan yang memberikan solusi-solusi. Apa yang
tersisa dari agama saat ini? Cinta kasih, perdamaian, atau sekedar sistem
kepercayaan tentang Tuhan?
Albert Camus tetap menyerukan bahwa manusia tetap harus
menolak keberadaan Tuhan, agar manusia lebih berkonsentrasi dengan
persoalan-persoalan kemanusiaan.20
Berita kematian Tuhan merupakan
kabar gembira pertanda dikembalikannya kebebasan manusia dari
belenggu perbudakan Tuhan tiran yang transenden, yang terasing dan
hampa. Segala konsepsi masa lalu tentang Tuhan harus mati dan manusia
sedang menunggu “suatu saat” yang memungkinkan Tuhan kembali dari
persembunyiannya: menyerang keutuhan yang gelap dan menjadikanNya
menyatakan diri.
Tuhan historis harus segera ditinggalkan dan berkat kemajuan
ilmu dan teknologi tidak mungkin menghadirkan Tuhan Biblical dengan
cara-cara lama. Manusia harus menemukan Tuhan di atas Tuhan yang
disebut Tuhan oleh kaum theis. Di tengah kehidupan krisis dunia modern,
Tuhan harus hadir sebagai teman sejati yang mulia, kawan orang yang
20
Karen Amstrong, A History……, hal. 378.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
15
menderita, dan penuh pengertian. Selain itu kehidupan modern adalah
ruang-waktu yang sarat dehumanisasi dan eksploitasi, bahkan Tuhan pun
dieliminir, dimanipulasi dan dipaksa untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan manusia, sehingga makna agamapun mengalami pendangkalan-
pendangkalan dan reduksi-reduksi. Pada sudut ini agama menjadi bagian
dari persoalan hidup manusia: agama adalah persoalan itu sendiri.
Ernst Bloch melihat bahwa, manusia akan tetap mengidolakan
Tuhan. Secara psikologis, manusia akan selalu menyimpan perasaan
sebagai makhluk “yang kurang sempurna” dimana dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya akan selalu melewati tahapan proses-proses. Dalam
proses yang dijalani manusia selanjutnya mengimpikan nilai lebih yang
diharapkan diperolehnya dari sang idola: Tuhan. Karena itu Marx
Horkheimer mamandang bahwa, bagaimanapun Tuhan penting bagi
eksistensi manusia, terlepas apakah Tuhan ada atau tidak, apakah kita
percaya atau tidak, adalah tidak penting. Baginya, tanpa adanya ide
tentang Tuhan, tidak aka nada yang absolut hubungannya dengan
kebenaran dan moralitas: etika tidak lebih hanya persoalan rasa, selera dan
tingkah laku.21
Agama mendasari kehadiran Tuhan di dalam kesadaran manusia
sebagai hasrat yang mengimpikan keadilan. Seandainya tidak ada ide-ide
tentang Tuhan maka tidak ada alasan untuk membenci permusuhan,dan
perang tidak lebih baik dari perdamaian. Agama dengan sosok Tuhan yang
dihadirkannya, mencoba merekam, menyimpan aspirasi dan berbagai
tuduhan manusia terhadapnya, tak lebih karena didasarkan pada
penderitaan dan kesusahan hidup yang mereka alami. Kenyataan ini
21
Ibid, hal. 389.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
16
membawa manusia kian sadar akan keterbatasan dirinya. Untuk itu,
kemudian mereka banyak berharap datangnya Tuhan yang berdiri
memihak nasib mereka: mengimpikan ketidakadilan sebagai kata penutup
nasib dan derita panjang umat manusia, untuk selanjutnya manusia dapat
betul-betul menikmati gaya-gaya hidup surgawi dimana sebelumnya
mereka hanya bisa nikmati melalui tayangan imajinasi Tuhan-Tuhan
Biblical: Tuhan yang tidak melanggar HAM tapi memberikan “apapun”
yang diminta manusia.
Logika-logika dan pembuktian-pembuktian tradisional tentang
eksistensi Tuhan mulai ditinggalkan. Dengan berbagai alasan, baik moral,
intelektual, ilmiah, dan spiritual, ide tentang Tuhan-Tuhan lama ditolak.
Misalnya ide Tuhan personal semakin sulit diterima saat ini. Kaum
feminis akan menolak Tuhan personal yang ditampilkan secara
maskulin.22
Teori matafisika kuno tentang Tuhan sebagai yang absolut
dirasa tidak lagi memuaskan. Sementara Tuhan kaum filosuf adalah
produk rasionalisme usang yang tidak membumi. Kini dicari Tuhan dalam
pengertian yang simplistic dan riil: kata Tuhan yang tidak semata simbol
realitas yang tak terkatakan,tapi suatu artikulasi spiritual yang terjelaskan.
Pemahaman Tuhan yang bukan secondhand, tapi pengertian yang dapat
membentuk manusia menghindarkan diri dan berkelit dari kompleksitas
persoalan yang didasarkan pada isu-isu dogmatis (postdogmatic
religiousity).
Saat ini, keputusan, keterasingan, anomi, dan kekerasan telah
menjadi sebagian besar kehidupan modern. Tiba-tiba manusia ingin hidup
serba praktis dan mulai enggan melakukan upaya-upaya imajinatif. Karena
22
Roger Trigg, Rationality and Religion: Does Faith Ned Reason, (Oxford:
Blackwell Publishers. Ltd, 1998), hal. 162-166.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
17
itu, de-ide agama yang kehilangan validitasnya dan “khutbah-khutbah”
agama yang membujuk akan dengan begitu saja dibuang: jika ide manusia
tentang Tuhan tak dapat memberi arti di dalam kehidupan yang serba
empiris, ia (agama) akan segera dicemooh dan ditinggalkan. Namun
begitu, manusia modern sebenarnya tidak dapat bertahan hidup dalam
kehampaan dan kegersangan, dan senantiasa berusaha memperoleh makna
dalam hidup. Namun ketika agama adalah kegersangan itu sendiri, mereka
lalu memburu Tuhan di alam maya (mayantara), heroin, sabu-sabu, dan
lekukan indah botol vodka dan mandson.
Dalam situasi yang sudah berubah, God is voluntary, demikian
Cupitt berpendapat. Bersama semangat postmodernism kita hijrah dari
kepercayaan-kepercayaan tradisional menuju keimanan after gods. Karena
itu kita harus membuat kamus dan istilah-istilah agama yang betul-betul
baru. Menurutnya, definisi agama yang benar adalah agama yang membuat
kita lebih pintar dari Tuhan kita. Percaya bahwa Tuhan ada bukanlah
keimanan yang menuntut pengorbanan dan keselamatan, tapi keyakinan
yang mensyaratkan kepedulian pada penderitaan.23
D. Penutup
Antropik-spiritualisme, itulah mungkin salah satu kata yang tepat
untuk menggambarkan era ide Tuhan yang akan datang, yaitu kredo
filsafat agama yang mencoba memposisikan manusia pada pusat edar
subjektifitas jagad raya yang ditransendensikan sepenuhnya pada
kesadaran spiritual Ilahia. Tuhan masa depan adalah ide yang menekankan
dan menghargai nilai-nilai luhur humanism-universal yang lebih konsen
23
Cupitt, After God….., hal. 84.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
18
pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan
kemanusiaan, dengan mengandalkan pada ilmu pengetahuan empiris.
Selain itu Tuhan masa depan adalah Tuhan yang menghargai
persamaan keunikan masing-masing agama (deabsolutizing truth)
sehingga tercipta pluralism yang memiliki klaim dan keyakinan yang
relative (relatively absolute). Kenyataan ini akan diikuti penolakan
terhadap teologi tradisional yang sangat menekankan sabda Tuhan yang
diwakili oleh lembaga agama dengan para tokohnya yang dinilai doktriner.
Daftar Pustaka
Anthony Kenny, The God of Philosopher “, Oxford: Clarendon
Press, 1998
Don Cupitt,” After God: The Future of Religion”, New
York:Basic Books, 1997
Emmanuel Levinas,”Of God Who Comes to Mind”,trans Edward
Quinn, New York: The Croosroad Publishing Campany,1980
Hans Kung,” Does God Exsist? An Answer for Today”, New
York: The Croosroad Publishing Company, 1994
Ian Richard Netton,”Allah Transendent: Studies in the Structure
and Semiotics of Islamic Philosophy,Theology and Cosmology”, New
York:Routledge,1989
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
19
John Hick,”God has Many Names”, Philadelphia: The
Westminster Press,1982
Jack Miles, ”God:A Biography”, New York: Vintage Books,1995
John B. Thompson, Studies “in the Theory of Ideology”,
Berkeley & Los Angeles: University of California Press, 1984
Karen Amstrong,”A History of God, The 4000-Year Quest of
Judism,Chritianity,and Islam”,New York: Ballantine Books, 1994
Komaruddin Hidayat & M.Wahyuni Nafis,”Agama Masa
Depan,Perspektif Filsafat Perennial”, Jakarta:Paramadina,1995
Loszek Kolawski, ”God Owes Us Nothing: A Brief Remark on
Pascal’s Religion and on the Spirit of Jansenism”, Chicago &
London:The University of Chicago Press,1995
Paul Davies, The Mind of God :The scientific Basis for a
Rational World, New York: Touhstone, 1993
Richard Harries, The Real God: A Response to Anthony
Freeman’s God in Us, New York: Mowbary, 1994
Rudolf Otto,”The Idea of The Holy, trans. John W.Harvey,
Oxford: Oxford University Press,1958
Rr.Siti Murtiningsih,”Teologi Tuhan Mati: Tinjauan tentang
Eksistensi Tuhan dan Otonomi Manusia dalam Perspektif Atheisme”
Jurnal Filsafat, Juni 1997
Top Related