Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and
Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
Alfi Syahriyani*
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Indonesia
Untung Yowono
Universitas Indonesia
Depok, Indonesia
Afdol Tharik Wastono
Universitas Indonesia
Depok, Indonesia
Abstract
Different perspectives on the compatibility between Islam and Democracy are still problematic and
have been widely discussed on the international media, especially after the Arab Spring. This study
aimed to reveal the changes in social beliefs about the relationship between Islam and democracy
within the discourse on Room for Debate rubric, nytimes.com. The data were the written text (verbal)
comprising the introductory segment from the editor, the opinion segment comprising 6 articles, and
the public comment segment. The method used in this study was the qualitative method. This study
employed Fairclough’s Critical Discourse Analysis (CDA) (2013) to reveal the discursive strategy
of the writers in negotiating the democratic and Islamic values, to investigate the production,
distribution, and consumption of the text, and to identify the social context which causes the discourse
of the relationship between Islam and Democracy to appear. The finding showed that there were
some democratic values negotiated within the discourse that showed changes in social beliefs about
the relationship between Islam and democracy in the modern view. The value negotiation showed
the alignment of the writers towards the progressive Muslim actors who supported the modern
democratic government system.
Keywords: critical discourse analysis; democracy; discursive strategy; Islam; modernism
| 17
*Corresponding Author
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
Abstrak
Perbedaan perspektif mengenai kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi masih menjadi
sesuatu yang problematis dan banyak diperbincangkan dalam media internasional, terutama sejak
terjadinya peristiwa the Arab Spring. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan perubahan
keyakinan sosial mengenai kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi dalam wacana pada
rubrik Room for Debate situs nytimes.com. Data yang dianalisis berupa teks tulis (verbal), yang
terdiri dari segmen pengantar dari redaksi, segmen opini yang terdiri atas 6 artikel, dan segmen
komentar publik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang
didasarkan pada teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough (2013). Pendekatan AWK
digunakan untuk mengungkapkan strategi pewacanaan para penulis teks dalam menegosiasikan
nilai-nilai demokratis dengan Islam, menginvestigasi proses produksi, distribusi, dan konsumsi teks,
juga mengidentifikasi konteks sosial yang menyebabkan wacana Islam dan demokrasi dalam rubrik
Room for Debates nytimes.com muncul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat negosiasi
nilai-nilai demokratis yang merefleksikan perubahan keyakinan sosial mengenai hubungan Islam
dengan demokrasi dalam pandangan modern. Negosiasi nilai tersebut mengindikasikan
keberpihakan penulis terhadap kalangan muslim progresif yang mendukung sistem pemerintahan
demokrasi modern.
Kata kunci: analisis wacana kritis; demokrasi; Islam; modernisme; strategi pewacanaan
الملخص
و تهدف هذه الدراسة إلى الكشف عن التغيرات في المعتقدات الاجتماعية فيما يتعلق بتوافق العلاقة بين
و تكون البيانات التي .nytimes.com. الإسلام والديمقراطية في الخطاب في غرفة النقاش على موقع
تم تحليلها في شكل نص مكتوب )شفهي( الذي يتكون من مقطع تمهيدي من المحرر، ومقطع رأي يتكون
مقالات، وقسم التعليق العام. أما الطريقة المستخدمة في هذا البحث فهي طريقة نوعية تعتمد على 6من
للكشف تحليل الخطاب النقدي . و يسُتخدم منهج2013ام لفيرلوغه في ع نظرية تحليل الخطاب النقدي
عن استراتيجيات الخطاب لكتاب النصوص في التفاوض على القيم الديمقراطية مع الإسلام، والتحقيق
في عمليات إنتاج النصوص وتوزيعها واستهلاكها، فضلاً عن تحديد السياق الاجتماعي الذي يتسبب في
و تظهر النتائج أن هناك .nytimes.com. طية في غرفة المناقشات في ظهور خطاب الإسلام والديمقرا
مفاوضات حول القيم الديمقراطية التي تعكس التغيرات في المعتقدات الاجتماعية فيما يتعلق بالعلاقة بين
المسلمين مع الكاتب اصطفاف إلى التفاوض قيمة تشير و حديثة. نظرية من والديمقراطية الإسلام
.الذين يدعمون نظام الحكم الديمقراطي الحديثالتقدميين
nytimes.com الكلمات الرئيسية: الإسلام؛ العلاقة؛ ديمقراطية؛ غرفة للمناقشات
18 |
Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
PENDAHULUAN
Sejarah Islam mencatat bahwa abad ke-18 merupakan “masa kegelapan” bagi umat
Muslim. Kekuasaan sultan di bawah kepemimpinan Turki Ustmani terpecah belah dan
mengalami kemunduruan (Voll, 2019). Ketika memasuki abad ke-19, koloni Barat
melakukan ekspansi dan membuat dunia Islam mengalami benturan dengan nilai-nilai
modern. Setelah menyadari betapa mundurnya umat Islam bila dihadapkan dengan kemajuan
Barat, para pemimpin Muslim mulai memikirkan cara untuk melakukan pembaruan (tajdid),
atau yang dikenal juga dengan “proses modernisasi” (Nasution, 2014).
Dalam bidang politik, banyak ahli yang memperdebatkan apakah Islam sesuai dengan
konsep politik modern atau konsep negara bangsa (nation-state). Beberapa pihak menilai
Islam sebagai suatu “masyarakat sipil,” sebagian lagi menilai sebagai suatu sistem
“peradaban yang menyeluruh,” ada juga yang melihatnya sebagai agama dan negara.
Perbedaan perspektif ini memunculkan berbagai bentuk sistem negara dalam dunia Islam,
dan masih menjadi sesuatu yang problematis hingga saat ini (Darajat, 2019; Effendy, 2001)
Terkait dengan konsep agama dan negara, demokrasi menjadi salah satu tema menarik
yang sering diperbincangkan dalam berbagai media. Banyak ahli telah berupaya untuk
merespons kesesuaian Islam dengan demokrasi dari beragam sudut pandang. Samuel
Huntington menyatakan bahwa negara dengan mayoritas Muslim resisten dengan sistem
politik demokrasi karena dalam pandangannya, agama Islam menolak nilai-nilai kebebasan
dan pluralisme (Hefner, 2010). Berbeda dengan Huntington, observasi Esposito dan Voll
menunjukkan bahwa dunia Muslim di abad 21 justru menunjukkan dukungan yang positif
terhadap sistem pemerintahan demokratis (Esposito et al., 2016). Beberapa intelektual
Muslim bahkan memandang bahwa Islam memiliki kesesuaian dengan demokrasi karena
adanya koherensi nilai yang terkandung di dalamnya, seperti prinsip persamaan (al-
musawah), termasuk di antaranya nilai HAM, keadilan, dan kesetaraan; prinsip kebebasan
(al-huriyah), pertanggungjawaban publik (al-mas’uliyah), dan kedaulatan rakyat atau
musyawarah (syura) (Ar-Rahal, 2000).
Praktik demokrasi di beberapa negara Islam saat ini menunjukkan pertumbuhan yang
berarti, walaupun dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan gejolak. Salah satunya
terjadi di kawasan Timur Tengah. Pada akhir tahun 2010, kebangkitan demokrasi di kawasan
Timur Tengah ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi. Aksi tersebut dipicu oleh situasi
pemerintahan yang status quo dan dianggap otoriter oleh masyarakat. Kondisi yang terjadi
di kawasan Timur Tengah tersebut berlangsung sejak tahun 2010, dimulai dari Tunisia,
kemudian menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, Libya, Bahrain, Suriah, Yaman, dan
negara-negara Timur Tengah lainnya. Aksi tersebut diakui beberapa analis sebagai
gelombang keempat demokrasi dan dikenal dalam media Barat sebagai “The Arab Spring”
(Esposito et al., 2016).
Argumentasi tentang hubungan Islam dengan demokrasi tidak hanya muncul di
kalangan Muslim, tetapi juga di kalangan Barat. Argumentasi tersebut selanjutnya menjadi
wacana dalam media dan ditanggapi secara berbeda-beda. Munculnya pandangan dalam
media tersebut tentu tidak terlepas dari sejarah perubahan sosial-politik yang telah
menciptakan ketegangan antara dunia Muslim dan dunia non-Muslim, seperti Peristiwa
Revolusi Dunia Arab (the Arab Spring), Peristiwa 9/11, serta perang di Afghanistan, Irak,
Palestina dan negara-negara Timur Tengah lainnya (Alatas & The Centre for Research on
Islamic and Malay Affairs (RIMA), 2005).
Menanggapi peristiwa the Arab Spring dan persoalan mengenai demokrasi, rubrik Room
for Debat, nytimes.com mempublikasikan beberapa pandangan ahli tentang konsep Islam
| 19
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
dan demokrasi yang dilatarbelakangi oleh tulisan Tariq Ramadhan berjudul “Waiting for the
Arab Spring Ideas”. Rubrik Room for Debate dalam nytimes.com menarik untuk dikaji
karena nytimes.com adalah media daring (online) di bawah The Times yang merupakan
instusi penting dalam sejarah demokrasi Amerika. The New York Times adalah media yang
paling banyak menerima Pulitzer Prizes, yaitu penghargaan paling bergengsi dalam
jurnalisme Amerika Serikat (Usher, 2014). Selain itu, nytimes.com memegang nilai
jurnalisme daring, yaitu interactivity (interaktivitas), yang sangat mungkin memunculkan
keterlibatan warganet (netizens) dalam proses konsumsi teksnya, sehingga dapat terlihat
bagaimana teks diterima oleh pembaca. Dalam hal ini, para penulis opini memiliki strategi
pewacanaan tersendiri dalam membangun opini publik. Namun, ada indikasi bahwa
pendapat-pendapat tersebut mengarah pada satu pemahaman mengenai kesesuaian
hubungan Islam dengan demokrasi, atau dengan kata lain, ada indikasi upaya para penulis
untuk mengkonstruksi opini publik.
Studi tentang Islam dalam media Barat dengan pendekatan analisis wacana kritis
sebetulnya telah banyak dilakukan, tetapi hanya fokus pada bagaimana Islam dan Muslim
direpresentasikan. Penelitian-penelitian yang ada cenderung berkesimpulan bahwa Muslim
dicitrakan secara negatif yang diasosiasikan dengan kekerasan, konflik, dan radikalisasi
(Törnberg & Törnberg, 2016; Topkev, 2016; Samaie & Malmir, 2017). Berbeda dengan
penelitian sebelumnya, penelitian ini melihat bagaimana para penulis opini dalam rubrik
Room for Debate menegosiasikan kesesuaian nilai-nilai demokrasi modern dengan nilai-
nilai Islam. Pandangan yang dikemukakan dalam rubrik tersebut diasumsikan mengarah
pada konstruksi identitas, representasi individu dan kelompok, serta refleksi perubahan
sosial yang terjadi antara dunia Barat dan Islam. Wacana yang disusun oleh penulis dan
redaksi Room for Debate juga mengindikasikan adanya gambaran orientasi nytimes.com
dalam mengangkat isu mengenai nilai-nilai modern, seperti demokrasi, HAM, persamaan,
kebebasan, pluralisme, kesetaraan gender, dan sebagainya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis (AWK) Fairclough
karena lebih berfokus pada pembentukan wacana akibat adanya perubahan sosial (social
change) (Fairclough, 2013; Flowerdew & Richardson, 2017). Representasi dalam
pandangan Fairclough (2003) sejalan dengan apa yang disebut Halliday sebagai fungsi
ideasional (ideational function). Sedangkan, relasi sosial (social relation) berhubungan
dengan bagaimana para aktor wacana saling terhubung satu sama lain, yang dapat dilihat
dari fungsi tekstual (textual function). Terakhir, identitas atau identifikasi (identification)
yang berkaitan dengan bagaimana partisipan wacana mengidentifikasikan dirinya. Identitas
merupakan unsur yang bertalian dengan fungsi interpersonal (interpersonal function)
(Fairclough, 2003; Flowerdew, 2012; Halliday, 2014)
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
menggunakan pendekatan AWK, yaitu suatu pendekatan secara eksplanatoris yang
dikembangkan oleh Fairclough (Fairclough, 2013). Metode kualitatif pada dasarnya
memberikan pemahaman mendalam atas fenomena sosial yang terjadi. Beberapa
karakteristik penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu fleksibel, lunak,
subjektif, politis, berdasarkan studi kasus, spekulatif, dan mengakar (Silverman, 2004).
Sumber data dalam penelitian ini adalah situs nytimes.com. Data yang dianalisis adalah
rubrik Room for Debate edisi 4 Oktober 2012 yang merupakan bagian dari rubrik opini
dalam situs nytimes.com. Dalam rubrik ini, peneliti menganalisis segmen pengantar dari
redaksi, segmen opini yang merupakan respons atas pernyataan dari redaksi, serta komentar
publik terkait segmen pengantar dari redaksi dan segmen opini. Khusus dalam segmen opini,
20 |
Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
terdapat enam judul artikel yang dianalisis, yaitu “Islam Can Lead in Either Direction,” “A
Hurdle That Can Be Overcome,” “The Prophet’s Plurality,” “Rejected by Religions, but
Not by Believers,” “Muslims Have Pushed for Democracy,” dan “What Islam Says, and
Doesn’t Say.”
Adapun tahapan yang dilakukan dalam pengumpulan dan pengolahan data adalah,
pertama, tahap identifikasi, yaitu dengan melakukan penelusuran terlebih dahulu pada situs
nytimes.com, kemudian memilih rubrik Room for Debate yang terdiri dari beberapa opini.
Kedua, tahap klasifikasi. Data yang dianalisis hanya berupa teks tulis (verbal), yang terdiri
dari segmen pengantar dari redaksi, segmen opini yang terdiri dari enam artikel, dan segmen
komentar publik. Dalam rubrik tersebut, terdapat beberapa topik yang dipublikasikan dalam
waktu yang berbeda-beda. Penulis memilih topik “Is Islam an Obstacle to Democracy?”
yang dipublikasikan pada 4 Oktober 2012. Ketiga, tahap justifikasi, yaitu menentukan
bagian-bagian dalam rubrik Room for Debate yang dapat dijadikan data. Dalam tahap ini,
data yang dipilih hanya berupa teks tulis (verbal). Keempat, tahap kodifikasi, yaitu dengan
memberi nama atau nomor untuk tiap segmen atau korpus data. Kode B.3.2 berarti Teks B,
paragraf ke-3, kalimat ke-2. Tahap terakhir adalah tahap reduksi, yaitu menyeleksi
komentar-komentar publik. Komentar publik yang diolah hanya yang mengacu pada teks,
sedangkan komentar yang tidak mengacu pada teks akan diabaikan.
Adapun teknik analisis data yang dilakukan adalah tahap deskripsi, tahap interpretasi,
dan tahap eksplanasi. Tahap deskripsi memfokuskan penelitian pada bahasa. AWK dalam
hal ini mengadopsi teori gramatika fungsional (functional grammar) Halliday (2014).
Khusus untuk pilihan diksi dan frasa digunakan pendekatan analisis komponen makna dari
Nida (2015), serta elemen argumen disusun menggunakan analisis argumen dari Toulmin
(2003). Setelah tahap deskripsi, dilanjutkan dengan tahap interpretasi, yaitu melihat
bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi. Konsumsi teks dianalisis dengan mengamati
komentar publik yang mengacu pada teks. Terakhir, tahap eksplanasi, yaitu dengan
menganalisis praktik sosial-budaya yang tercermin dalam teks, dan terakhir adalah
kesimpulan.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Dari proses analisis yang telah dilakukan, tampak bahwa tujuan dimuatnya rubrik Room
for Debate adalah mengangkat isu terkini dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya
kepada publik untuk memberikan pendapatnya secara kritis. Rubrik Room for Debate terdiri
atas tiga segmen, yaitu segmen pengantar, segmen opini, dan segmen komentar publik.
Segmen pengantar merupakan pernyataan dari redaksi yang berfungsi untuk membuka
perdebatan dan memberikan umpan, baik bagi penulis opini, maupun publik atau pembaca.
Segmen opini berfungsi untuk mengelaborasi atau menjawab permasalahan yang diangkat
redaksi secara lebih mengakar.
Hasil analisis menunjukkan bahwa para kontributor terpilih sama sekali tidak
menanggapi satu sama lain. Pada kenyataannya, kontributor yang disebut sebagai debater
memiliki pandangan yang beririsan, yaitu kesepakatan mengenai kesesuaian hubungan Islam
dengan demokrasi. Sebaliknya, pada tataran praktik wacana, publik memberikan respon,
baik terhadap umpan dari redaksi, maupun opini para kontributor secara pro dan kontra. Dari
penelitian yang dilakukan, terdapat sejumlah temuan sebagai berikut.
Analisis Representasi dalam Klausa
Pilihan Diksi dan Frasa
Ditinjau dari komponen maknanya, pilihan diksi dan frasa yang ada dalam segmen
pengantar, yaitu kalimat pembuka dari redaksi, cenderung memiliki daya yang dapat
| 21
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
memancing publik untuk kritis dan merespon umpan dari redaksi secara pro dan kontra.
Sementara itu, dalam teks opini, yaitu teks yang menanggapi segmen pengantar dari redaksi,
pilihan diksi atau frasa yang digunakan cenderung lugas, kritis, apresiatif, dan memihak.
Dalam segmen pengantar misalnya, pandangan penulis mengenai realitas dapat terlihat
dari pemilihan judul. Judul yang dimuat oleh penulis—dalam hal ini adalah redaksi—adalah
“Is Islam an Obstacle to Democracy?”. Ditinjau dari aspek tekstual, struktur tematik dalam
judul ini disusun atas Is dan Islam sebagai tema, yaitu unsur yang menjadi titik tolak ujaran,
atau unsur yang mengarahkan klausa sesuai dengan konteksnya. Sementara itu, an obstacle
to democracy merupakan rema yang merupakan unsur yang menyusul atau yang berkaitan
dengan tema. Secara interpersonal, klausa tersebut terdiri atas finite verbal operator yaitu is
yang diletakkan di posisi pertama sebelum Islam yang berperan sebagai subjek. Dengan
demikian, modus gramatikal (grammatical mood) kalimat tersebut adalah kalimat
interogatif. Fungsi tuturan (speech function) kalimat interogatif adalah mengharapkan
jawaban positif (yes, it is) atau negatif (no, it is not) (Fairclough, 2003; Halliday, 2014)
Kemudian, secara experiential atau ideational, kalimat ini memiliki hubungan
signifikasi, atau memunculkan adanya proses pemaknaan (representasi). Dengan kata lain,
maksud tuturan penulis adalah mempertanyakan apakah Islam direpresentasikan atau
diidentifikasi sebagai penghalang bagi demokrasi. Tabel 1. menguraikan klausa dengan tiga
lini makna metafungsional menurut Halliday, yaitu textual, interpersonal, dan ideational.
Tabel 1. Pemerian Judul Teks A (Segmen Pengantar) Metafunctional
Meaning Is Islam
an Obstacle to
Democracy?
Textual Theme (1) Theme (2) Rheme
Interpersonal Finite Subject Residue Mood
Ideational Process: Verb Identified/Token Identifier/Value
Selanjutnya, komponen makna diperikan bergantung pada tujuan penelitian. Ditinjau
dari pilihan diksi, pada judul “Is Islam an Obstacle to Democracy?”, penulis teks memilih
kata obstacle dalam topik perdebatan untuk membuka permasalahan. Alasan penulis teks
memilih kata obstacle dapat dijelaskan dengan melihat komponen makna obstacle yang
mengacu pada cara penyajian komponen makna (Nida, 2015).
Komponen makna obstacle:
[DIFFICULTY], [OBSTRUCTION], [BARRIER], [BLOCK], [HINDRANCE],
[IMPEDIMENT], [IMPOSSIBILITY TO ACHIEVE SOMETHING]
Kata obstacle memiliki komponen makna sebagai satu penghalang yang membuat
sesuatu sulit tercapai, sehingga membutuhkan teknik-teknik tertentu serta memakan waktu
yang lama untuk dapat diatasi. Dari analisis komponen makna dan struktur kalimat yang
dimuat, dapat disimpulkan bahwa judul dalam segmen pengantar mengindikasikan
pandangan penulis teks yang menyiratkan bahwa ada hubungan yang tidak harmonis antara
Islam dengan demokrasi. Hubungan yang tidak harmonis ini diwakili dengan kata obstacle yang dimuat dalam judul, dan struktur kalimat interogatif yang memunculkan representasi
terhadap Islam. Dengan kata lain, Islam diandaikan sebagai penghalang yang membuat
demokrasi sulit tercapai.
Lebih lanjut, pilihan diksi dan frasa yang dimuat juga merefleksikan adanya perubahan
sosial di dunia Muslim dan dialektika antara hubungan Islam dengan Barat. Tabel 1
menunjukkan bagaimana pilihan diksi dan frasa yang digunakan oleh penulis cenderung
menunjukkan keberpihakan terhadap individu atau kelompok. Strategi pilihan diksi oleh
22 |
Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
penulis teks dapat dilihat dari kalimat pertama dalam segmen pengantar, yang berfungsi
untuk membuka wacana atau mengajukan pertanyaan sebelum enam penulis menanggapinya
melalui opini masing-masing. Kata scholar yang terdapat dalam pernyataan berikut ini
mengindikasikan maksud penulis:
As Arab populations “pursue values like freedom, justice, equality, autonomy and
pluralism, and new models of democracy and of international relations,” the scholar
Tariq Ramadan wrote in The New York Times this week, “they need to draw on Islamic
traditions.” (A.1.1)
Kata scholar pada klausa di atas memiliki komponen makna [HUMAN], [ADULT],
[INTELLECTUAL], [ACADEMICIAN], [STUDENT], [A LEARNED PERSON], [A
KNOWLEDGABLE PERSON]. Dengan demikian, penulis teks memuat kata scholar yang
menunjukkan bahwa pihak yang dikutip oleh penulis berasal dari kalangan intelektual yang
memiliki pengetahuan. Dimuatnya kata tersebut mengindikasikan bahwa penulis teks
hendak mengemukakan tesisnya secara terbuka dengan dimediasi oleh seorang ahli.
Selanjutnya, dari pilihan diksi yang dimuat dalam segmen opini, ada indikasi bahwa
para penulis memberikan dukungan terhadap demokrasi dan sekulerisme. Hal ini dapat
dilihat dari cara penulis mengidentifikasi beberapa partisipan wacana, seperti Rachid al-
Ghannouchi, dan Recep Tayyip Erdogan secara apresiatif.
Fast forward to our times: Leading Islamist reformers like Rachid al-Ghannouchi in
Tunisia draw on those teachings to argue that democracy best serves these principles.
(B.3.8)
In Turkey, the prime minister, Recep Tayyip Erdogan, has gone one step further and
lectured the Muslim Brotherhood of Egypt on the importance of secularism in
maintaining democracy and guaranteeing religious freedom for all (B.3.9)
Just as these relatively progressive voices draw on Islam to shape their societies in the
direction of democracy, religious conservatives argue that Islam forbids democracy.
(B.4.10)
Only this week in Tunisia I was told by young Salafists that democracy means rule of
the people, and that Islam believes in government for God alone. (B.4.11)
Dalam klausa-klausa di atas, penulis memberikan apresiasi terhadap mereka yang
mendasari tindakannya sesuai dengan tindakan Muhammad dan perintah Al Qur’an, dan
mengkontekstualisasikannya dengan tokoh-tokoh muslim masa kini, seperti Recep Tayyip
Erdogan dan Rachid al-Ghannouchi. Oleh karena itu, mereka disebut oleh penulis sebagai
suara progresif (progressive voices), yaitu orang atau sekelompok orang yang berupaya
untuk mereformasi gagasan atau kondisi tertentu dengan ide-ide baru demi kehidupan yang
lebih maju.
Kata progressive memiliki komponen makna [HUMAN], [ADULT], [FAVOR A
POLITICAL PHILOSOPHY], [REFORMER], [STRIVE FOR BETTER
CONDITION], [MODERN], [TOLERANT], [PROMOTE NEW IDEAS], [LIBERAL]
| 23
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
Berbeda ketika penulis menceritakan pertemuannya dengan young Salafists. Penulis
tidak menamakan (naming) partisipan wacana tersebut secara apresiatif seperti halnya
Leading Islamist Reformer atau the Prime Minister. Sebaliknya, penamaan young salafists
mengindikasikan adanya penghilangan informasi sehingga menimbulkan pertanyaan siapa
sebenarnya young salafists tersebut? Mengapa penulis menggunakan kata-kata young yang
merepresentasikan satu kelompok pemuda? Selain itu, dengan menggunakan kalimat tidak
langsung, ada indikasi bahwa penulis memformulasi percakapannya dengan para salafi muda
tersebut. Young salafists direpresentasikan oleh penulis sebagai para pemuda yang menolak
kedaulatan rakyat dan menolak demokrasi karena mendasarkan pendapatnya pada ulama di
masa lalu, yaitu Ibn Baz dan Ibn Uthaymeen. Oleh karena itu, penulis menyebutnya sebagai
kalangan religius konservatif. Kata ini memiliki makna yang berlawanan dengan kata
progressive, yaitu orang atau sekelompok orang yang menolak perubahan dan ide-ide baru.
Kata conservative memiliki komponen makna [HUMAN], [ADULT],
[TRADITIONAL VIEWS], [RELUCTANT TO ACCEPT CHANGES],
[SCEPTICAL], [OLD VIEW]
Pada bagian ini, penulis tampak menggunakan strategi pewacaaan dengan memuat
dikotomi antara dua kutub (different). Dari cara penulis menamakan (naming) seseorang atau
kelompok, dapat dilihat keberpihakan penulis terhadap salah satu pihak. Dengan melakukan
strategi penamaan (naming), umumnya penulis cenderung berpihak terhadap kalangan
Muslim yang dianggap menerima ide-ide baru sebagai akibat dari adanya modernisasi.
Beberapa penulis secara eksplisit menyebutkan Muslim progressives, Muslim modernists,
Muslim thinkers, scholar, progressives, dan reformer yang menyepakati praktik pelaksanaan
sistem demokrasi di negara Muslim. Dalam merepresentasikan Islam, umumnya penulis
cenderung memandang Islam sebagai agama yang diinterpretasikan beragam oleh para
penganutnya, terutama dalam kaitannya dengan isu pemerintahan demokrasi. Menurut
mereka, penafsiran mengenai sesuai atau tidaknya pemerintahan demokrasi dalam Islam,
dan nilai-nilai demokrasi modern yang terkandung di dalamnya, tidak terlepas dari aktor
atau agen dalam internal Islam sendiri. Namun pada akhirnya, pembaca secara implisit
diarahkan untuk menyepakati ide yang berasal dari kalangan progresif, yang dianggap
memiliki gagasan baik dan sesuai dengan zaman modern. Tabel 2 menunjukkan pilihan diksi
dan frasa yang mengindikasikan adanya representasi terhadap individu dan kelompok.
Tabel 2. Pilihan Diksi dan Frasa yang Mengindikasikan
Representasi terhadap Individu atau Kelompok
Akan tetapi, terlepas dari apresiasi mereka terhadap ide dari kalangan Muslim modern,
umumnya penulis juga memberikan kritik atau evaluasi terhadap pelaksanaan demokrasi
yang tengah berlangsung di negara Muslim. Pilihan diksi dan frasa yang dimuat oleh penulis
mengindikasikan upaya mereka dalam mengevaluasi, mengapresiasi, hingga mengkritik
tindakan yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Pada beberapa bagian, misalnya,
No. Diksi dan Frasa
1 Scholar
2 Prophet
3 Progressive
4 Conservative
5 Leading Islamist Reformer
6 Young salafists
7 Muslim modernists
8 Muslim thinkers
24 |
Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
sebagian penulis mengapresiasi pelaksanaan demokrasi di negara-negara Islam, seperti
Turki, Tunisia, Indonesia, Bangladesh, atau India dengan menyatakan bahwa negara tersebut
berhasil menjalankan demokrasi dan dapat dijadikan role model. Akan tetapi, pada negara-
negara Timur Tengah, seperti Iran, Yordania, Maroko, dan Pakistan, beberapa penulis
cenderung memberikan kritikan yang tajam sehingga menyebut negara tersebut sebagai
negara dengan pemimpin yang diktator atau gagal dalam menerapkan demokrasi, sehingga
disebut failed model.
Kemudian, dalam meyakinkan pendapatnya, beberapa penulis menunjukkan tingkat
kepercayaan diri yang tinggi dalam mengemukakan argumentasinya, sehingga
mengindikasikan adanya klaim kebenaran universal atau adanya upaya legitimasi. Pendapat
para penulis dianggap sebagai satu kebenaran umum, sehingga ada indikasi upaya untuk
mempengaruhi pembaca dan membangun kesamaan paham, contohnya yaitu frasa the truth,
unavoidable truth, dan in fact.
The truth is no religion either encourages or discourages democracy (D.3.3)
Here is the simple, unavoidable truth: there is no such thing as Christianity, Judaism,
Islam (D.5.12)
Penggunaan definite article ‘the’ pada frasa the truth menunjukkan hal yang spesifik,
hal yang sudah diketahui sebelumnya, dan hal yang hanya ada satu-satunya di dunia
(Halliday, 2014). Sementara itu, kata unavoidable mempraanggapkan sesuatu yang tidak
bisa lagi dibantah. Dengan demikian, frasa the truth dan unavoidable truth mengindikasikan
upaya penulis dalam membangun klaim kebenaran universal. Klausa di bawah ini
mengindikasikan upaya penulis untuk menggiring pembaca terhadap kebenaran tersebut
karena dari pilihan diksi yang digunakan menunjukkan komitmen yang kuat terhadap
kebenaran.
Selanjutnya, pilihan diksi dan frasa dalam teks mencerminkan nilai-nilai modern yang
dinegosiasikan dengan nilai-nilai Islam serta kondisi dunia Islam saat ini, misalnya dalam
beberapa pernyataan berikut:
The values in play in this one example — an example that is essential to Islamic self-
understanding — demonstrate significant overlap with the democratic values of
participation, freedom, human rights and pluralism (E.4.10)
No more than does any other religious tradition. 18. But individual Muslim leaders do
find in their faith the resources to sustain a commitment to elections and pluralism.
(F.8.17)
All of us, Muslim and non-Muslim, are now citizens of pluralistic societies where we
live together as neighbours. (G.3.11)
The prophet Muhammad bequeathed to us no fixed system of government, but taught
Muslims the importance of justice and equality, and of eliminating corruption and
bringing rulers to account (B.3.5)
Negosiasi nilai-nilai tersebut memperlihatkan bahwa para aktor dalam dunia Islam, yang
dikategorikan sebagai kalangan modernis, saat ini berupaya untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan yang sedang terjadi, atau dengan kata lain, berusaha menjembatani gap antara
tradisi dan modernisasi dengan menawarkan pemikiran Islam mengenai perubahan dalam
sistem politik. Beberapa pinsip demokrasi dinegosiasikan dengan prinsip-prinsip di dalam
Islam, yaitu dengan cara memuat wacana sejarah nabi, sejarah cendekiawan masa lalu,
| 25
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
kiprah para pemimpin Muslim saat ini, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam kitab suci.
Strategi tersebut menjadi upaya para penulis dalam meyakinkan publik bahwa dunia Islam
terbuka terhadap sistem pemerintahan apapun, termasuk demokrasi, selama sesuai dengan
prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam. Adapun nilai-nilai yang dinegosiasikan dalam
wacana, yaitu nilai keadilan (justice), kesetaraan gender (gender equality), kesukarelaan atau
tanpa paksaan (non-compulsion), kesetaraan individu (individual equality), kedaulatan
(sovereignity), keikutsertaan (participation), kebebasan (freedom), HAM (human rights),
pluralisme (pluralism), penghargaan terhadap perbedaan (respect for diversity), otonomi
(autonomy), perwakilan (representation).
Terakhir, modalitas (modality) atau kata kerja bantu yang dipilih cenderung berfungsi
untuk memprediksi dan memberikan masukan. Walaupun dari analisis terlihat bahwa para
penulis cenderung berpihak terhadap kalangan modernis, para penulis secara kritis
memberikan saran dan kritik bagi pelaksanaan demokrasi di negara-negara Muslim.
Umumnya penulis menggunakan pilihan modalitas dalam tingkatan menengah (median),
seperti would, will, dan can untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika
negara-negara Muslim menerapkan demokrasi, misalnya pada judul teks B dan teks F.1.1.
“Islam Can Lead in Either Direction” (Judul Teks B)
If democracy is to be born in the Muslim world, religious political parties will be the
midwives (F.1.1).
Namun, di sisi lain sebagian penulis memberikan kritik untuk redaksi atau memberikan
masukan bagi pelaksanaannya dengan menggunakan modalitas dalam tingkatan tinggi
(high) misalnya pada teks G.6.17.
.....and today, must be — a democracy of Muslims who live side by side in a commitment
to a “greater we” alongside our neighbors. (G.6.17)
Gramatika
Pada tingkatan gramatika, struktur kalimat memuat tiga fungsi, yaitu secara tekstual
yang meliputi tema dan rema; secara interpersonal yang meliputi pola kalimat dan modus
gramatikal (grammatical mood), dan secara ideasional yang meliputi proses representasi
atau identifikasi (Halliday, 2014). Pada bagian ini, ada perbedaan antara tindakan (action)
dan peristiwa (event). Penulis dapat menampilkan aktor sebagai penyebab (tindakan) atau
tanpa aktor sebagai penyebab (peristiwa). Pada tingkatan gramatika, maksud penulis dapat
dilihat dari makna metafungsional bahasa. Pada aspek tekstual, klausa yang digunakan
penulis terdiri dari tema dan rema, kecuali untuk kalimat pertanyaan yang hanya terdiri dari
tema I dan tema II. Tema dalam hal ini berfungsi sebagai titik tolak ujaran, dan rema
berfungsi sebagai penjelas tema.
Dilihat dari aspek interpersonal, khususnya modus gramatikal, penulis banyak memuat
kalimat deklaratif. Modus gramatikal deklaratif berfungsi untuk memberikan ekspresi
pernyataan (Halliday, 2014). Ciri kalimat ini adalah cenderung tegas dan lugas. Misalnya
pada beberapa klausa di bawah ini:
Islam is not incompatible with democracy (C.1.1)
Islam is what Muslims make it (B.5.13)
Islam as such does not proscribe any one particular system of government (G.1.3)
Muslim thinkers have long argued that fundamental Islamic texts dealing with
consultation and representation support both constitutional government and elections
(E.7.1)
26 |
Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
Tabel 3 menunjukkan contoh kalimat deklaratif yang diperikan berdasarkan aspek
textual, interpersonal, dan ideational.
Tabel 3. Pemerian Klausa Teks B.5.13
Pada kalimat dalam Tabel 3, modus gramatikal yang digunakan adalah modus deklaratif
karena penulis menempatkan Islam sebagai subjek, is sebagai predikat, dan what Muslims
make it sebagai objek. Kedudukan rema dan tema pada kalimat ini adalah setara (tema =
rema), sehingga tidak ada posisi yang lebih dipentingkan. Islam merupakan tema, sedangkan
is what Muslims make it merupakan rema yang mengalami proses nominalisasi. Fungsi
tuturan kalimat dengan tema dan rema setara (equal) adalah mengidentifikasi sesuatu.
Dengan demikian, maksud penulis dalam kalimat ini adalah mengidentifikasi atau
merepresentasikan Islam sebagai agama yang multitafsir atau tidak bisa terlepas dari
interpretasi banyak pihak. Dengan demikian, susunan kalimat yang ada dalam opini ini
memberi anggapan (presupposition) bahwa Islam tidak bisa terlepas dari perubahan sosial,
dan perubahan tersebut dilakukan oleh agen, yaitu orang Islam sendiri.
Selanjutnya, pada tingkatan ideasional, penulis juga cenderung merepresentasikan
partisipan atau aktor-aktor wacana, baik secara apresiatif maupun secara kritis. Dengan
menggunakan wacana perbedaan (difference) yang disertai dengan alasan, dukungan para
penulis dalam rubrik Room for Debate mengarah kepada agen yang menyepakati adanya
kesesuaian nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai demokratis (tokoh yang disebut sebagai
muslim progressive atau muslim modernist). Pada bagian ini juga penulis menggunakan tipe
proses material, yaitu proses yang menitikberatkan pada tindakan. Contohnya pada klausa
di bawah ini:
Leading Islamist reformers like Rachid al-Ghannouchi in Tunisia draw on those
teachings to argue that democracy best serves these principles (B.3.8)
The prophet Muhammad bequeathed to us no fixed system of government, but taught
Muslims the importance of justice and equality, and of eliminating corruption and
bringing rulers to account (B.3.5)
Tabel 4 menunjukkan pemerian klausa yang cenderung merepresentasikan aktor dan
tindakan yang dilakukan.
Tabel 4. Pemerian Klausa Teks B.3.5
Klausa pada Tabel 4 menunjukkan bahwa penulis memuat aktor Nabi Muhammad (the
prophet Muhammad) sebagai utusan Tuhan yang mewariskan (bequeathed) sistem
pemerintahan demokrastis. Hal ini mengindikasikan bahwa penulis hendak melegitimasi
Metafunctional
Meaning Islam Is what Muslims make it
Textual Theme Rheme (Nominalization)
Interpersonal Subject Verb (Finite) Object
Mood Residue
Ideational Identified/Token Relational Process Identifier/Value
The prophet Muhammad bequeathed to us no fixed system of government, but
taught Muslims the importance of justice
and equality, and of eliminating corruption and bringing rulers to account (B.3.5)
Subject Predicator (past) Complement
Actor Process: material Goal
| 27
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
tesisnya. Dengan kata lain, sistem pemerintahan demokratis dalam pandangan penulis sesuai
juga dengan ajaran Tuhan.
Terakhir, ditinjau dari penggunaan tenses, klausa yang dimuat menunjukkan konstruksi
waktu dalam wacana. Dimuatnya sejarah politik Islam menunjukkan adanya wacana
perubahan sosial yang berlangsung sejak dulu hingga saat ini dalam dunia Islam, misalnya
dalam teks C.3.11 dan teks C.3.12.
Yet, this situation has been changing before our eyes (C.3.11)
It started when Muslim modernists in Egypt in the 19th century sought ways for Islam
to rise to the challenge posed by the West, and it has accelerated because of
urbanization and technology (C.3.12)
Wacana perubahan dalam teks dapat dilihat dari tenses yang digunakan oleh penulis
(Halliday, 2014). Perubahan tenses pada kalimat 11 dan 12 di paragraf ke-3 memberikan
gambaran mengenai perubahan sosial di Mesir. Pada kalimat 11, penulis menggunakan
present perfect progressive tense yang ditandai dengan has been verb+ing yang
menunjukkan bahwa perubahan tersebut dimulai sejak dulu dan masih berlangsung hingga
sekarang. Tenses pada kalimat 12 selanjutnya diubah menjadi simple past tense yang
ditandai dengan Verb 2 started untuk memberikan gambaran Mesir di masa lalu, yaitu pada
saat demokrasi mulai mendapat tempat, dan present perfect tense yang ditandai dengan pola
has + Verb 3.
Analisis Representasi dalam Kombinasi Klausa
Dalam tingkatan kombinasi klausa, penulis memuat beberapa konjungsi dan pronomina
atau kata ganti yang memiliki tujuan tertentu. Dalam meyakinkan pendapatnya, sebagian
penulis memuat pronomina we, our, atau us yang bersifat inklusif. Hal ini bertujuan untuk
melibatkan pembaca dan membangun kesamaan paham, seperti pada teks B.2.5
The prophet Muhammad bequeathed to us no fixed system of government, but taught
Muslims the importance of justice and equality, and of eliminating corruption and
bringing rulers to account (B.2.5)
Konjungsi berupa hubungan pertentangan, yaitu but, however, dan rather dimuat untuk
memaparkan wacana perbedaan yang menciptakan polemik di dalam wacana. Pada
akhirnya, penulis berakhir pada keberpihakannya terhadap satu kondisi, misalnya pada teks
E.4.6 dan E.6.9, yang menyimpulkan bahwa Iran adalah contoh negara Islam yang gagal.
The question in both the Western and the Muslim world, however, is whether a Muslim
party, once elected, would inevitably make a mockery of that process by creating a
religious dictatorship (E.4.6)
Iran is a failed model, however. (E.6.9)
Wacana perbedaan selanjutnya juga dimuat untuk mengajak pembaca dalam
membandingkan dan mengkritisi dua keadaan, misalnya dalam teks C.2.6.
But there is a difference between these Greater Indian Ocean societies and those in the
desert Middle East (C.2.6).
Dalam kalimat tersebut penulis memuat demonstrativa (lihat Halliday, 2004: 552—
553), yaitu these dan those. Kata these dan those termasuk endophoric reference yang
berfungsi untuk mengacu hal yang sudah disebutkan sebelumnya, sehingga membentuk
pemaknaan terhadap dua keadaan. Corak masyarakat Muslim di negara Asia Tenggara-Asia
Selatan dan Timur Tengah diidentifikasi berbeda.
28 |
Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
Kemudian, hubungan penjelasan berupa konjungsi that juga dimuat untuk memperjelas
satu hal atau kondisi, sedangkan hubungan sebab akibat (causal condition), yaitu berupa as,
because, if, dan so that dimuat untuk memaparkan alasan yang dapat memperkuat
argumennya, misalnya dalam teks bawah ini:
The question of whether Islam is compatible with democracy is nonsensical at its core,
first because it ignores basic empirical evidence (the five most populous Muslim
countries in the world are all democracies) and second because it presumes that Islam
is somehow different, unique or special -- that unlike every other religion in the history
of the world, Islam alone is unaffected by history, culture or context. (D.1.1)
In South and Southeast Asia, Islam was spread gradually over the course of centuries
by cosmopolitan merchants, so that it was layered atop Sanskrit, Javan and Malayan
civilizations (C.2.7)
Because this belief system was complete and admitted no error, it was difficult for a
system like democracy – which is all about compromises, half-measures and fallibility
– to gain a foothold (C.2.10)
Dengan menambahkan konjungsi so that dan because yang menunjukkan hubungan
sebab akibat (causal conditional) penulis hendak mengatakan bahwa kondisi Islam yang ada
saat ini tidak terlepas dari faktor sejarah dan interpretasi masyarakat setempat. Hubungan
sebab-akibat tersebut memberikan praanggapan bahwa negara Asia dan Asia Selatan mudah
menerima demokrasi karena masyarakatnya menegosiasikan nilai Islam dengan budaya
lokal, sedangkan negara Mesir sulit menerimanya karena masyarakatnya telah menjadikan
Islam sebagai sistem kepercayaan yang dianggap sempurna dan tanpa cacat. Dimuatnya
hubungan sebab-akibat ini mengindikasikan maksud penulis yang ingin mengatakan bahwa
demokrasi akan sulit dipraktikkan jika Islam dijadikan sebagai sistem kehidupan yang
menyeluruh.
Analisis Genre
Dilihat dari penggunaan genre, argumentasi penulis disusun dengan elemen-elemen
argumen yang terdiri atas claim, stated reason, ground, qualifier, serta rebuttal. Elemen
argumen ini menciptakan rantai genre yang menggabungkan berbagai macam tindakan, yang
pada akhirnya bertujuan memberikan masukan, dan menggiring pembaca agar yakin
terhadap pendapatnya, atau dengan kata lain memiliki “pragmatic purpose of persuasion”
(Resigl, 2014; Toulmin, 2012). Dari analisis yang telah dilakukan, semua teks disusun atas
claim (C) dan stated reason yang terpisah, yang secara implisit mengindikasikan adanya
hubungan sebab akibat.
Selanjutnya, penulis berupaya untuk memaparkan ground (G) atau bukti yang berfungsi
untuk memperkuat claim dan menunjukkan posisi keberpihakan penulis. Bukti yang dimuat
di antaranya berupa uraian sejarah Islam dan kondisi negara-negara Muslim saat ini.
Kalimat-kalimat dalam Tabel 5 menunjukkan upaya penulis yang secara implisit menyusun
kalimatnya dengan hubungan sebab akibat dan memperkuat pendapatnya dengan fakta atau
bukti-bukti terkait.
| 29
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
Tabel 5. Contoh Elemen Argumen dalam Teks B dan Teks C
Dari analisis yang telah dilakukan, hanya 2 teks yang memuat warrant (W) dan backing
(B) secara eksplisit. Warrant yang eksplisit berupa pernyataan yang memuat pendapat aktor
untuk memperkuat claim dan menghubungkannya ke ground. Selanjutnya, sebanyak 4 teks
memuat qualifier (Q) yang berupa persyaratan. Qualifier mencerminkan tindakan berupa
masukan agar hubungan Islam dengan pemerintahan demokratis dapat tercapai. Kemudian,
semua opini, atau sebanyak 5 teks memuat Rebuttal (R) yang mencerminkan tindakan, yaitu
membantah umpan dari redaksi di segmen pengantar, mengkritik, dan mengemukakan
kondisi yang bertentangan.
Analisis Praktik Wacana
Menurut Fairclough, praktik wacana berfokus pada bagaimana teks diproduksi dan
dikonsumsi. Praktik wacana dalam media melibatkan pihak media dan kontributor sebagai
produsen dan distributor teks, dan pihak publik sebagai konsumen teks.
Produksi dan Distribusi Teks
Teks dihasilkan melalui proses produksi yang berbeda, seperti pola kerja, bagan kerja,
dan rutinitas dalam menghasilkan teks tersebut (Eriyanto, 2015). Proses produksi teks
berhubungan erat dengan ideologi redaksi atau penulis teks, dan surat kabar yang
menaunginya. Dalam laman Room for Debate, tampak bahwa media memuat teks opini
dengan mengundang beberapa kontributor di luar redaksi, yang disebut editor sebagai
‘knowledgeable contributors’ untuk mendiskusikan isu-isu terkini. Penyebutan
‘knowledgeable contributors’ mengindikasikan bahwa nytimes.com ingin membangun citra
bahwa penulis opini adalah ahli di bidangnya dan memiliki reputasi tersendiri. Dalam laman
tersebut juga terdapat tautan“who’s who at Room for Debate”. Redaksi secara terbuka
Teks Elemen Argumen
Teks B Claim
Essentialy, Islam is what Muslims make it (5.1)
Stated Reason
(because) Religions are replete with multiple narratives and several interpretations of almost every facet of a faith (1.3)
Ground
1. Fast forward to our times: Leading Islamist reformers like Rachid al-Ghannouchi in Tunisia draw
on those teachings to argue that democracy best serves these principles. (2.8)2. In Turkey, the prime minister, Recep Tayyip Erdogan, has gone one step further and lectured the
Muslim Brotherhood of Egypt on the importance of secularism in maintaining democracy and
guaranteeing religious freedom for all. (2.9)
Teks C Claim
Islam is not incompatible with democracy (1.1)
Stated Reason
(because) Throughout South and Southeast Asia, Islamic and largely Islamic societies have experimented admirably with democracy. (1.2)
Ground
1. In Indonesia, an overwhelmingly Muslim state, democracy has provided stability and development,
proving pessimists wrong. (1.3)2. Bangladesh and Malaysia, in both of which Islam is the dominant religion, are also in the process
of successful democratic transitions. (1.4)
3. India, another successful democracy, has one of the highest populations of Muslims in the world.
(1.5)4. It started when Muslim modernists in Egypt in the 19th century sought ways for Islam to rise to the
challenge posed by the West, and it has accelerated because of urbanization and technology. (2.3)
5. Early phases of the democratic experiment will be tumultuous, with Islamic parties playing a major
role. (2.4)
30 |
Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
memberikan keterangan profil para editor, baik yang memiliki latar belakang sebagai
jurnalis, editor, dan profesor atau peneliti. Dalam laman tampak pernyataan di bawah ini.
“In Room for Debate, The Times invites knowledgeable outside contributors to discuss
news events and other timely issues. Reader comments are moderated Monday through
Friday”. Who's Who at Room for Debate.
Media dalam penyebaran teks yang diteliti adalah media daring yang memiliki
kekekalan waktu yang lebih baik dibandingkan media cetak atau televisi, sehingga
memberikan dampak yang berbeda pada efek wacana itu sendiri. Prinsip jurnalisme daring
juga melibatkan nilai interaktivitas atau melibatkan warganet. Redaksi membuka
kesempatan pada publik untuk memberikan pertanyaan atau merekomendasikan kontributor
yang kemudian dibahas dalam meja redaksi. Dengan demikian, kontributor dalam laman
Room for Debate tersebut merupakan kontributor yang diajukan oleh pembaca dan dipilih
oleh para editor nytimes.com. Publik diberikan akses yang luas oleh redaksi dan dibiarkan
untuk menjadi pengguna (user). Publik juga diajak untuk berlangganan (subscribe) dan
memilih topik yang sesuai dengan minat atau kebutuhan. Namun demikian, topik dan
kontributor final yang dimunculkan pada akhirnya tetap sepenuhnya di tangan redaksi.
Komentar publik juga dimoderasi oleh redaksi sesuai dengan pernyataan di atas. Dengan
kata lain, dalam proses produksi dan distribusi teks, redaksi nytimes.com memiliki
kekuasaan atau kontrol dalam menyebarkan opini atau materi perdebatan kepada para
pembaca.
Konsumsi Teks
Pembaca nytimes.com adalah warganet (netizens) yang terhubung melalui jaringan
komputer global. Dunia virtual yang tidak memandang sekat-sekat geografis
mengindikasikan bahwa pembaca nytimes.com adalah warganet yang bukan hanya
penduduk Amerika, tetapi juga berasal dari berbagai belahan dunia, dan ada kemungkinan
berasal dari kalangan yang berbeda. Pada level ini, tampak bahwa teks dikonsumsi oleh
pembaca dengan cara menanggapi pandangan penulis secara pro dan kontra. Pada segmen
pengantar, dari 11 komentar publik, 7 di antaranya mendebat pernyataan dari redaksi.
Mereka menyatakan bahwa seharusnya pertanyaan dari redaksi adalah apakah semua agama
di dunia ini adalah penghalang bagi demokrasi. Sebagian lagi menjawab umpan dari redaksi
dengan menyatakan bahwa memang Islam adalah penghalang, dan syariat Islam tidak bisa
disamakan dengan demokrasi. Sementara itu, pada segmen opini, sebanyak 3 opini lebih
banyak didebat oleh pembaca, 1 opini lebih banyak didukung, dan 2 opini lainnya seimbang
antara yang mendebat dan yang mendukung (ambigu). Dengan demikian, strategi yang
dilakukan oleh para penulis dalam rubrik Room for Debate untuk meyakinkan pembaca
bahwa Islam bukan merupakan penghalang bagi demokrasi ditanggapi secara kritis dan
skeptis. Semua kontributor, yang disebut nytimes.com sebagai debaters dalam laman,
memiliki pandangan yang beririsan mengenai kesesuaian Islam dan demokrasi, tetapi
temuan menunjukkan bahwa teks dikonsumsi secara skeptis oleh pembaca.
Analisis Praktik Sosial
Analisis praktik wacana mencakup analisis dalam level situasional, level institusional,
dan level sosial. Akan tetapi, level institusional tidak disertakan dalam penelitian ini karena
membutuhkan keterlibatan dari redaksi.
| 31
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
Level situasional
Analisis level situasional menunjukkan bahwa teks diproduksi dalam suatu kondisi yang
khas sehingga teks tersebut berbeda dengan teks yang lain. Wacana dianggap sebagai suatu
tindakan untuk merespons kondisi sosial tertentu. Dilihat dari level situasional, wacana yang
terdapat dalam rubrik Room for Debate edisi 4 Oktober 2012 muncul karena banyaknya
pemberitaan mengenai peristiwa The Arab Spring atau dalam bahasa Arab disebut al-
Thawrat al-`Arabiyyah, yang berarti Revolusi Dunia Arab.
Peristiwa The Arab Spring merupakan gelombang revolusi yang terjadi di dunia Arab
sejak 18 Desember 2010. Pemicu utama terjadinya revolusi ini berasal dari tindakan Sidi
Bouzid dan Mohammed Bouzizi yang melakukan pembakaran diri sebagai bentuk protes
terhadap kekuasaan diktator di Tunisia. Situasi pemerintahan yang status quo dan dianggap
otoriter oleh masyarakat membuat protes tersebut menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir,
Libya, Bahrain, Suriah, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Negara-negara
tersebut memiliki bentuk pemerintahan yang sama, yaitu pemerintahan otoriter, sehingga
protes tersebut menyebar luas dan pada akhirnya menjadi pemberontakan sipil terhadap
pemerintah. Dalam aksinya, masyarakat memanfaatkan serangan, pawai, unjuk rasa, bahkan
pemanfaatan media sosial sebagai bentuk protes terhadap pelarangan internet oleh
pemerintah.
Protes ini telah mengakibatkan penggulingan kekuasaan terhadap beberapa kepala
negara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak,
Presiden Libya Muammar Kaddafi, dan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh. Di bawah
kepemimpinan yang diktator, berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan
fisik, pengangguran, kemiskinan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan politik terjadi. Hal
inilah yang membuat masyarakat melakukan demonstrasi dalam skala besar untuk
menggulingkan pemerintahan. Fenomena The Arab Spring tersebut telah mengubah sistem
pemerintahan beberapa wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi sistem kekuasaan
rakyat (demokrasi) (Esposito et al., 2016).
Menanggapi peristiwa tersebut, Tariq Ramadhan menulis gagasannya berjudul Waiting
for the Arab Sping di The New York Times versi cetak yang selanjutnya diunggah ke dalam
versi online nytimes.com. Ramadhan menulis bahwa masyarakat Arab harus tetap
menerapkan tradisi Islam agar dapat mencapai nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, keadilan,
otonomi, pluralisme, serta model demokrasi dan hubungan internasional yang baru. Islam
menurutnya bukan suatu penghalang untuk maju, seperti yang selama ini dikatakan oleh para
orientalis. Islam menurut Ramadhan dapat menjadi lahan subur bagi kreativitas politik.
Masyarakat Arab tidak boleh terlalu cepat berbahagia dengan revolusi yang tengah terjadi
karena bisa saja mereka tidak menyadari bahwa apa yang menggantikan masa lalu mungkin
saja menyebabkan regresi dalam hak-hak sosial dan manusia, juga bisa saja menciptakan
bentuk baru dari ketergantungan terhadap dunia internasional. Itulah sebabnya, Ramadhan
bersepakat bahwa masyarakat Arab perlu tetap mempertahankan identitasnya, walau pada
saat yang bersamaan harus juga menghadapi tekanan asing terkait dengan proses demokrasi,
kebijakan ekonomi, dan hubungan mereka dengan Israel (Ramadhan, 2012).
Topik perdebatan yang diangkat dalam rubrik Room for Debate menggarisbawahi
pernyataan Ramadhan yang meyakini bahwa demokrasi yang diperjuangkan dalam
masyarakat Arab tidak harus mengabaikan tradisi Islam yang telah menjadi identitas bagi
mereka. Namun demikian, pernyataan ini dikritisi oleh redaksi nytimes.com untuk dikemas
menjadi perdebatan yang mengundang pro dan kontra. Hubungan Islam dengan demokrasi
menjadi bahasan yang luas, yang tidak hanya terbatas pada konteks dalam masyarakat Arab,
tetapi juga masyarakat Islam di seluruh dunia, terutama mereka yang hidup di negara-negara
mayoritas Muslim. Wacana tersebut menjadi lahan terbuka bagi publik untuk memberikan
32 |
Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
komentar, tidak hanya bagi warga Muslim, tetapi juga warga non-Muslim, terutama publik
yang hidup di Amerika Serikat.
Level sosial
Analisis level sosial melihat bagaimana aspek makro seperti sistem politik, ekonomi,
dan budaya masyarakat memengaruhi pembentukan wacana dalam media. Level sosial juga
berarti melihat bagaimana wacana dilahirkan karena ditentukan oleh perubahan masyarakat.
Setidaknya, ada tiga faktor yang mempengaruhi munculnya wacana hubungan Islam dengan
demokrasi dalam situs nytimes.com, yaitu adanya kebebasan pers dan sorotan media
terhadap dunia Islam, sikap pemerintahan Amerika yang kontradiktif terhadap demokrasi,
serta perubahan pandangan Muslim terhadap sistem pemerintahan seiring munculnya
kalangan Muslim intelektual dengan semangat modernisasi politik.
Pertama, lahirnya rubrik Room for Debates merupakan konsekuensi dari adanya
kebebasan pers di Amerika Serikat. Kebebasan Pers di Amerika Serikat (AS) dilindungi
dalam First Amendment dalam konstitusi Amerika Serikat. Isi dari amandemen tersebut
adalah tidak diperbolehkannya Pemerintah AS ikut campur dalam publikasi, penyebaran
informasi, dan opini. Hanya individu, bisnis, dan organisasi yang memiliki media yang dapat
mempublikasikan informasi atau opini tanpa campur tangan pemerintah. Dengan demikian,
pers Amerika Serikat diberikan kebebasan dalam mengangkat isu apa pun di era
keterbukaan.
Selain itu, kondisi politik yang terjadi di Amerika Serikat juga memengaruhi
pembentukan wacana. Iklim yang bebas di Amerika tentu tidak terlepas dari kondisi politik
AS yang liberal. Dalam website pemerintah Amerika Serikat secara lugas pemerintahan AS
mencantumkan agenda politiknya dalam konstitusi, yaitu; (1) menyebarluaskan demokrasi
sebagai alat untuk mencapai keamanan, stabilitas, dan kesejahteraan bagi seluruh dunia; (2)
membantu negara dengan sistem demokrasi yang baru terbentuk agar dapat
mengimplementasikan prinsip-prinsip demokratis; (3) membantu sistem demokrasi di
seluruh dunia agar dirasakan manfaatnya di negara-negara yang bersangkutan; (4)
mengidentifikasi dan menghambat rezim yang menghalangi warganya agar berhak memilih
pemimpin dalam pemilihan umum yang bebas, adil, dan transparan (U.S Department of
State, 2014)
Namun demikian, saat Amerika Serikat dipimpin George W. Bush, kebijakan Amerika
terhadap dunia Muslim mendapat tantangan keras dari dunia internasional. Tragedi 9/11
membawa dampak sangat besar bagi hubungan AS dengan dunia Islam. Di satu sisi, dengan
alasan memerangi terorisme internasional, Bush melancarkan invasi dan kemudian
menduduki serta menghancurkan negara-negara Muslim lemah, yaitu Afghanistan dan Irak
(Sihbudi, 2004). Kebijakan Bush tersebut dianggap telah melanggar prinsip-prinsip
demokrasi. Konsekuensi yang timbul adalah adanya protes masyarakat Amerika serta
hubungan yang semakin renggang dengan dunia Muslim, khususnya Timur Tengah.
Demikian pula saat pemerintahan Obama—saat wacana Islam, demokrasi, dan revolusi
dunia Arab muncul— menggantikan pemerintahan Bush. Sekalipun Obama memilih cara
yang lebih lunak dalam melakukan pendekatan terhadap dunia Muslim, kepercayaan
masyarakat Muslim terhadap kebijakan pemerintah Amerika belum sesuai dengan harapan.
Intervensi Amerika terhadap kebijakan dalam negeri di negara-negara Timur Tengah masih
menjadi isu yang hangat diperbincangkan dalam media.
Faktor lain yang memengaruhi pembentukan wacana hubungan Islam dengan
demokrasi dalam media adalah munculnya pandangan di kalangan Muslim mengenai sistem
pemerintahan modern. Pada awal abad ke-19, Islam memasuki periode Modern yang
ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Kontak dengan dunia Barat pada akhirnya
| 33
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
membawa konsekuensi pada timbulnya ide-ide baru, seperti rasionalisme, nasionalisme,
demokrasi, dan sebagainya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang berasal
dari Barat telah menimbulkan persoalan-persoalan baru, sehingga para pemimpin Islam
mulai memikirkan cara bagaimana mengatasi persoalan tersebut.
Selama abad ke-19 dan 20, modernisasi diperkenalkan di berbagai belahan dunia
Muslim, baik di bidang militer, birokrasi, politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan.
Lembaga-lembaga tradisional dalam negara Islam pelan-pelan dimatikan melalui proses
sekularisasi bertahap, yaitu dengan memisahkan agama dari lembaga-lembaga dan fungsi-
fungsi kenegaraan. Para pembaharu sekuler cenderung mendukung pemisahan agama dan
politik karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada masalah moral dan pribadi. Proses
modernisasi mendorong kaum Muslimin untuk mencurahkan perhatiannya pada masalah
reorganisasi politik yang efektif, termasuk di antaranya penerapan sistem demokrasi.
Namun demikian, menurut Esposito dan Voll, era 1980-an dan era 1990-an merupakan
era perubahan bagi sistem pmemerintahan di negara-negara Muslim. Gempuran globalisasi
membuat identitas komunal menguat, sehingga banyak negara Muslim di seluruh dunia
memilih jalan demokrasi (Esposito & Voll, 1996). Beberapa pemikir Muslim tampil dan
mengambil jalan tengah, yaitu antara kecenderungan penolakan yang dipegang oleh banyak
pemimpin agama, dan kecenderungan akomodatif terlalu besar yang ditunjukkan elite
Muslim westernis-sekuler (Azra, 1996).
Berdasarkan wacana yang telah diteliti, tampak bahwa para penulis memuat aktor Islam
modernis yang melakukan proses reinterpretasi atau reformulasi warisan tradisi Islam dalam
konteks dunia kontemporer. Penulis juga berupaya untuk menegosiasikan nilai-nilai modern
dengan nilai-nilai Islam, seperti HAM, pluralisme, kedaulatan rakyat, persamaan,
kebebasan, keadilan, dan lain sebagainya. Upaya untuk menegosiasikan nilai-nilai modern
ini dilakukan dengan cara memuat wacana sejarah nabi, sejarah para cendekiawan di masa
lalu, dan kiprah para pemimpin di negara-negara mayoritas Muslim.
Menurut para penulis, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang ideal bagi
masyarakat Muslim saat ini. Namun demikian, dalam perjalanannya, di beberapa negara
Timur Tengah, bentuk pemerintahan perwakilan diterjemahkan dalam beragam konteks,
sehingga pada titik tertentu sistem tersebut dimanfaatkan oleh rezim-rezim diktator dan
menuai kritik. Akibatnya, pemilihan umum yang dilakukan di negara-negara Muslim
dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Pada fase inilah Revolusi Dunia Arab pecah.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa pada dasarnya para penulis
memiliki pandangan yang positif terhadap kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi.
Strategi pewacanaan yang dilakukan oleh para penulis dalam rubrik Room for Debate
cenderung bersifat persuasif atau memengaruhi pembaca. Pembaca secara implisit diarahkan
untuk memilih satu di antara perbedaan-perbedaan tersebut, atau dengan kata lain, meyakini
kebenaran pandangan penulis teks yang memandang bahwa Islam memang sesuai dengan
demokrasi modern. Akan tetapi, pandangan penulis opini tidak secara menyeluruh diyakini
kebenarannya oleh pembaca. Teks dikonsumsi secara pro dan kontra dan umumnya pembaca
tidak setuju atau menanggapinya secara skeptis.
Lebih lanjut, wacana hubungan Islam dengan demokrasi dalam nytimes.com tidak
dihadirkan dalam ruang yang hampa, melainkan sebagai akibat dari munculnya peristiwa
Revolusi atau Kebangkitan Dunia Arab yang telah mengubah pandangan masyarakat untuk
membenahi sistem pemerintahan dengan sistem kepemimpinan yang lebih demokratis.
Keberpihakan penulis terhadap kalangan modernis yang terungkap dalam media Barat
nytimes.com mencerminkan dialektika antara hubungan Islam dengan Barat. Dengan
34 |
Buletin Al-Turas Vol. 27 No. 1 January 2021, pp. 17-36
demikian, pembentukan wacana tidak terlepas dari perubahan-perubahan sosial yang terjadi,
termasuk perubahan ide atau nilai-nilai dominan yang berkembang dan diterima oleh
masyarakat.
Studi ini masih terbuka untuk diteliti lebih jauh, terutama dalam kaitannya dengan
praktik institusi media, yaitu bagaimana kuasa, control, atau kepentingan media nytimes.com
memengaruhi produksi, distribusi, dan konsumsi teks tersebut. Selain itu, keterbatasan data
berupa opini mengenai hubungan Islam dengan demokrasi belum bisa menggeneralisasi
pandangan-pandangan dalam masyarakat Barat mengenai sesuai atau tidaknya hubungan
Islam dengan demokrasi, khususnya di kalangan intelektual. Oleh karena itu, penelitian
mengenai wacana hubungan Islam dengan demokrasi dalam media-media Barat masih
sangat mungkin untuk dikaji lebih dalam.
REFERENSI
Alatas, S. F., & The Centre for Research on Islamic and Malay Affairs (RIMA). (2005).
Covering Islam : Challenges & Opportunities for Media in the Global Village. In
Islam Zeitschrift Für Geschichte Und Kultur Des Islamischen Orients.
Azra, A. (1996). Pergolakan Politik Islam. Paramadina.
Darajat, Z. (2019). Relasi Agama dan Negara: Perspektif Sejarah. Buletin Al-Turas, XXV,
75. https://doi.org/10.15408/bat.v25i1.8682
Effendy, B. (2001). Teologi Baru Politik Islam. Galang Printika.
Eriyanto. (2015). Analisis Wacana Kritis: Pengantar Analisis Teks Media. LKiS Group.
Esposito, J. L., Sonn, T., Voll, J. O., & Öterbülbül, S. (2016). Islam and democracy after
the Arab Spring. In Uluslararasi Iliskiler.
https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195147988.001.0001
Esposito, J. L., & Voll, J. O. (1996). Islam and Democracy: Heritage and Global Context.
In Islam and Democracy.
Fairclough, N. (2003). Analysing Discourse. Textual Analysis for Social Research.
Routlegde.
Fairclough, N. (2013). Critical discourse analysis the critical study of language, second
edition. In Critical Discourse Analysis The Critical Study of Language, Second
Edition. https://doi.org/10.4324/9781315834368
Flowerdew, J. (2012). Critical Discourse Analysis in Historiography. In Critical Discourse
Analysis in Historiography. https://doi.org/10.1057/9780230336841
Flowerdew, J., & Richardson, J. E. (2017). The routledge handbook of critical discourse
studies. In The Routledge Handbook of Critical Discourse Studies.
https://doi.org/10.4324/9781315739342
Halliday, M. A. K. (2014). An Introduction to Functional Grammar. In An Introduction to
Functional Grammar. https://doi.org/10.4324/9780203783771
Hefner, R. W. (2010). The Islamic World in the Age of Western Dominance. In F.
Robinsin (Ed.), The New Cambridge History of Islam (p. 604). Cambridge University
Press.
Nasution, H. (2014). Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. PT. Bulan
| 35
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono,Discursive Strategy of the Relationship Between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com
Bintang.
Nida, E. A. (2015). A Componential Analysis of Meaning. In A Componential Analysis of
Meaning. https://doi.org/10.1515/9783110828696
Pierre, A. J., & Huntington, S. P. (1992). The Third Wave: Democratization in the Late
Twentieth Century. Foreign Affairs. https://doi.org/10.2307/20045138
Ramadhan, T. (2012). Waiting for an Arab Spring Ideas.
https://www.nytimes.com/2012/10/01/opinion/waiting-for-an-arab-spring-of-
ideas.html
Resigl, M. (2014). Argumentation Analysis and the Discourse-Historical Approach A
Methodological Framework. In C. Hart (Ed.), Contemporary Critical Discourse
Studies (1st ed., pp. 67–96). Bloomsbury Publishing Plc.
Samaie, M., & Malmir, B. (2017). US news media portrayal of Islam and Muslims: a
corpus-assisted Critical Discourse Analysis. Educational Philosophy and Theory.
https://doi.org/10.1080/00131857.2017.1281789
Sihbudi, R. (2004). Islam, Radikalisme, dan Demokrasi. In Terorisme, Perang Global, dan
Masa Depan Demokrasi. (pp. 73–81). Matapena.
Silverman, D. (2004). Qualitative Research: Theory, Method and Practice. In Qualitative
Research.
Topkev, A. (2016). Discourse analysis and media attitudes: the representation of Islam in
the British press. Journal of Multilingual and Multicultural Development, 37(2), 216–
218. https://doi.org/10.1080/01434632.2014.973654
Törnberg, A., & Törnberg, P. (2016). Muslims in social media discourse: Combining topic
modeling and critical discourse analysis. Discourse, Context and Media.
https://doi.org/10.1016/j.dcm.2016.04.003
Toulmin, S. E. (2003). The uses of argument: Updated edition. In The Uses of Argument:
Updated Edition. https://doi.org/10.1017/CBO9780511840005
Toulmin, S. E. (2012). The Layout of Arguments. In The Uses of Argument.
https://doi.org/10.1017/cbo9780511840005.007
U.S Department of State. (2014). Democracy. https://www.state.gov/
Usher, N. (2014). Making news at the New York times. In Making News at the New York
Times. https://doi.org/10.5860/choice.186140
Voll, J. O. (2019). Islam: Continuity and change in the modern world. In Islam: Continuity
and change in the modern world. https://doi.org/10.4324/9780429052132
© 2021 by Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono This work is an open access article distributed under the terms and conditions of the
Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International License (CC BY SA)
36 |
Top Related