i
Dinamika dan Tradisi Etnis Cina Benteng 1966 – 2012
Disusun untuk memenuhi syarat
Memperoleh gelar Sarjana Humaniora
Program Studi Sejarah
Oleh:
Davit Yuliyanto
NIM 164314003
PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
Motto
Anything is possible for those who believe
¬Mark 9:23, This is Anfied-Kopites 13/14
Zhil do kontsa, umer kak geroy
`The International 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk keluarga, terutama kedua Orangtua
yang telah memberikan segalanya, serta mereka yang telah berusaha
tetap mengangkat tentang kebenaran sejarah bagi keadaan bangsa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Davit Yulianto, Dinamika dan Tradisi etnis Cina Benteng 1966-2012. Skripsi.
Yogyakarta: Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
2020.
Skripsi berjudul Dinamika dan Tradisi etnis Cina Benteng 1966-2012
bertujuan untuk meneliti perubahan dan perbedaan kehidupan masyarakat etnis
Cina Benteng dari segi ekonomi, kehidupan sosial, dan tradisi budaya, sejak era
Orde Baru, awal Reformasi, hingga tahun 2012 di wilayah Tangerang. Penelitian
ini menjawab tiga pertanyaan. Pertama, Bagaimana keadaan masyarakat Cina
Benteng dengan adanya kebijakan Asimilasi Orde Baru. Kedua, Bagaimana
keadaan masyarakat Cina Benteng akhir Orde baru dan awal Reformasi. Terakhir,
Apa dampak hadirnya Reformasi bagi masyarakat Cina Benteng.
Penelitian ini disusun berdasarkan metode sejarah, yakni pengumpulan
sumber, kritik sumber, interpretasi dan penulisan atau historiografi. Sumber yang
digunakan adalah buku maupun jurnal yang membahas etnis Tionghoa dan
berkaitan dengan keadaan pada era Orde Baru sampai era Reformasi, serta Koran
yang membahas etnis Cina Benteng di era Reformasi, dan wawancara dengan
berbagai tokoh yang sesuai dengan penelitian ini. Teori Identitas yang dicetuskan
oleh Peter J Burke dan Jan E. Stets, merupakan teori yang terkandung dalam
penelitian ini.
Pada era Orde Baru, seluruh etnis Tionghoa termasuk Cina Benteng
diwajibkan untuk melakukan asimilasi dengan masyarkat setempat, hal itu
dikarnakan terdapat permasalahan status kewarganegaraan, serta stigma buruk
terhadap etnis Tionghoa yang berujung tindakan diskriminasi semenjak Indonesia
sebagai negara yang merdeka hingga era Orde Baru. Tetapi, kebijakan asimilasi era
Orde Baru malah berujung pada kultur genosida terhadap kehidupan etnis Tionghoa
termasuk etnis Cina Benteng. Beruntung, pada era Reformasi kebijakan asimilasi
era Orde Baru berhasil dicabut oleh B.J Habibie dan Abdurrahman Wahid, sehingga
keadaan dan tradisi etnis Cina Benteng membaik, bahkan perayaan tradisi etnis
Cina Benteng di Tangerang menjadi salah satu wisata Nasional dalam
penyelenggaraan setiap tahunnya.
Kata Kunci: Cina Benteng, Orde Baru, Rerformasi, Tradisi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Davit Yulianto, Dinamika dan Tradisi etnis Cina Benteng 1966-2012. An
Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Department of History, Faculty of Letters,
Sanata Dharma University. 2020.
An undergraduate thesis entitled Dinamika dan Tradisi etnis Cina
Benteng 1966-2012 is aimed to investigate the changes and the differences in the
life of Benteng Chinese community in terms of economy, social life, cultural
traditions, since the New Order era, the beginning of the Reformation era, until the
year of 2012, in Tangerang (Indonesia). This research answers three questions.
First, how is the condition of Benteng Chinese community after the imposition of
the Assimilation policy in the New Order Era. Second, how are the condition of
Benteng Chinese community at the end of the New Order era and the beginning of
the Reformation era. Third, what is the impact of the Reformation era for the
Benteng Chinese community.
This work is arranged based on historical methodology, which applies the
method of heuristic (collecting sources), source critics, interpretation, and
historiography (writing). The primary source used for this research is taken from
books or journals that discuss the condition of the Chinese people in the New Order
era until the Reformation era, also the newspaper that discusses Benteng Chinese
ethnic, and interviews with various figures that suitable for this research. This work
conceives the theory of Identity which is popularized by Peter J Burke and Jan E.
Stets.
In the New Order era, all Chinese ethnic, including Benteng Chinese, were
required to do assimilation with the local community, it was because there were
problems with the citizenship status, also a stigma against Chinese that led to
discrimination since Indonesia became independent until the New Order era.
However, the assimilation policy of the New Order era ended in racial-based
genocide on the lives of Chinese ethnic including Benteng Chinese. Luckily, in the
Reformation era, the New Order policies were successfully revoked by B.J Habibie
and Abdurahman Wahid, and improved the condition and tradition of the Benteng
Chinese, even the celebration of the Benteng Chinese tradition in Tangerang
became one of the National Tourism in agenda each year.
Keyword: Cina Benteng, New Order, Reformation, Traditon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Ucapan Syukur dan terima kasih saya haturkan kepada;
1. Kedua Orangtua saya yang selalu dan menanyakan kabar selama merantau
dan memberikan semangat serta doa selama proses perjalanan kuliah, sejak
awal kuliah hingga tahap akhir penelitian ini.
2. Terima kasih kepada seluruh jajaran Dosen yang mengajar di Prodi Sejarah
mendiang Dr. Lucia Juningsih, mendiang Heribertus Hery Santosa,
M.Hum., Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno M.Hum., Dr. Hieronymus
Purwanta M.A., Dr. FX. Baskara Tulus Wardaya, S.J., Heri Setyawan, S.J.
S.S., M.A., Dr. Yerry Wirawan yang sekaligus sebagai dosen pembimbing
skripsi dan Heri Priyatmoko M.A. yang sekaligus menjadi dosen
pembimbing akademik.
3. Mas Doni dan Mba Ninik sebagai Sekretaris Fakultas Sastra yang
membantu saya mempermudah hal-hal yang berurusan dengan Universitas.
4. Teman – teman sejarah angkatan 2016, Jeni, Veren, Fatin, Elma, Dab Alvin
Uchiha, Udin, Bayu, Bang Bogar, Anggi, Azzam, Mima, Nia, Naldo, dan
Yasti Inces.
5. Darren sebagai teman berdiskusi selama mengerjakan skripsi ini, serta
teman sejarah angkatan 2016 yang berasal dari Tangerang.
6. Pondok Nasa, Chamim, Iqbal alias Abeng, Wildan, Kristo, Titto, Yoga, Mas
Awan, Mas Afdal, sebagai teman kost yang mengisi hari-hari saya selama
di Yogyakarta.
7. Teman-teman kepompong, Ratri, Icun, Marfel, Matias, Satria, Memed,
Kwenia, Revo, Langit, Elly, Zenzen less than three, mbah Novan, Diana.
Mengisi hari-hari saya via chat maupun di kampus selama empat tahun.
8. Seluruh teman-teman sejarah angkatan 2013-2018, Bang Kevin, Mas
Berang, Mas Bimo, Bang Hendy, Kak Rosma, Kak Edut, Laili, Nita,
Claudia, Aldy, Eko, Mas Irawan, Suryo, Jelita, Sondang, Itok, Teto, Adrian,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
Alvin, Kevin, Bangkit, Novita, Ziadhine, Aye, Nita, Petrus, Coco, Biagi,
Leo. Serta teman-teman yang tidak bisa saya sebut satu persatu.
9. Lucas Bagas Pangestu yang menemani saya selama mencari data dan arsip
di Perpustakaan Banten maupun Perpustakaan Kabupaten Tangerang.
Seluruh orang yang mendukung, saya haturkan terima kasih. Tanpa
kebaikan dan dukungan mereka saya tidak akan bisa menyelesaikan
penelitian ini. Saya sadar bahwa penelitian ini masih terdapat banyak
kekurangan. Saya harap semoga penelitian ini dapat mendorong penelitian-
penelitian lain yang berhubungan yang akan melengkapi maupun
menyanggah.
Yogyakarta, 16 Juni 2020
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ....................................................... v
Motto ...................................................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................ vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ............................................................................................ x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
BAB I ...................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ......................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 10
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 10
1.5 Kajian Pustaka ............................................................................................. 11
1.6 Landasan Teori ............................................................................................ 14
1.7 Metode Penelitian ........................................................................................ 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
1.8 Sistematika Penelitian ................................................................................. 18
BAB II ................................................................................................................... 18
2.1 Pemerintahan Indonesia 1966...................................................................... 19
2.2 Menjadi bagian Indonesia............................................................................ 23
BAB III.................................................................................................................. 39
3.1 Akhir Orde Baru .......................................................................................... 39
3.2 Reformasi Indonesia .................................................................................... 46
BAB IV ................................................................................................................. 55
4.I Keadaan dan Tradisi ..................................................................................... 55
BAB V ................................................................................................................... 75
5.I Kesimpulan .................................................................................................. 75
5.2 Saran ............................................................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Rumah etnis Cina Benteng di wilayah Mekarsari Tangerang ........................... 7
Gambar 2. Surat penetapan pergantian nama etnis Tionghoa ke nama Indonesia ............ 25
Gambar 3. Foto Gus Dur dengan bayangan sisik naga di Klenteng Boen San Bio ........... 41
Gambar 4. Perayaan Peh Cun di Sungai Cisadane ........................................................... 58
Gambar 5. Pengemis dadakan yang berada di Klenteng Boen Tek Bio ............................ 60
Gambar 6. Etnis Tionghoa yang berdoa di Prasasti Djamban dan membawa sesembahan
......................................................................................................................................... 62
Gambar 7. Kerusuhan saat penggusuran di Tangerang 2010 ............................................ 67
Gambar 8. Gotong Toapekong pada tahun 2012 .............................................................. 71
Gambar 9. Jl. Kisamaun yang menjadi Kawasan Kuliner. ............................................... 73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Masalah
Setelah terbebas dari belenggu penjajahan Belanda dan Jepang, hadirlah sebuah
babak baru bagi seluruh masyarakat Indonesia, yaitu membangun negara merdeka.
Etnis Tionghoa yang menjadi bagian dari Indonesia turut ikut andil dari
perkembangan dalam membangun negara ini. Namun dalam perjalanan sejarahnya,
Indonesia mengalami beragam persoalan yang berkaitan dengan Suku, Agama, Ras,
dan Antar-golongan (SARA).1 Persoalan SARA menimpa etnis Tionghoa yang
berada di Tangerang, seperti yang terjadi pada tahun 19462 saat agresi militer dan
pada tahun 1965-1967 ketika banyak etnis Tionghoa yang dijadikan tawanan akibat
peristiwa G30S 1965 yang dianggap merupakan bagian dari komunis.3
Pada era pemerintahan Orde Baru (1966-1998), merupakan momen banyak
kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah yang dikhususkan terhadap etnis
Tionghoa. Kebijakan ini didasarkan agar terjadi pembauran dengan masyarakat
setempat dapat terjadi dengan lebih efisien dalam meninggalkan tradisi dari negera
leluhurnya yaitu Tiongkok. Karena jika etnis Tionghoa di Indonesia menjalankan
1 Asgart. sofian munawar, Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang: potret
pembauran di tingkat lokal. Kementrian riset dan teknologi, 2006, Hlm 2.
2 Remco Raben, Anti-Chinese Violence in the Indonesian Revolution,
Amsterdam:Netherlands Institute for War Documentation, 2006. Hlm 6.
3 Asgart. sofian munawar, Op Cit, Hlm 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
kegiataan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa dari negeri leluhurnya,
ditakutkan dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moril yang kurang
wajar terhadap warga negara Indonesia.4 Pendapat itu dikarenakan terdapat stigma5
etnis Tionghoa ada hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia dan didukung
dengan Tiongkok sebagai salah satu negara yang menganut paham ideologi
komunis. Selain itu Pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengklaim
bahwa seluruh penduduk keturunan Tiongkok di seluruh dunia (China Overseas)
adalah warga negaranya, dikarnakan Negara Tiongkok menganut ius sanguinis,6
sedangkan negara Indonesia menganut asas Ius Soli.
Sehingga klaim etnis Tionghoa berhubungan dengan Komunis sangatlah
dikhawatirkan, agar dapat mengatasi permasalahan tersebut, sejumlah tokoh
Tionghoa mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia) pada tahun 1954 yang bertujuan memecahkan persoalan status
4 Siew-Min Sai dan Chang-Yau Hoon, Chinese Indonesians Reassessed,
Routledge, 2013, Hlm 212.
5 Stigma masyarakat Indonesia pada etnis Tionghoa faktanya juga sudah hadir dari
zaman Perang Jawa. Peperangan yang dipimpin oleh Diponegoro (1825-1830), salah satu
tokoh islam yang digelari pahlawan Indonesia juga tidak terlalu menyukai kehadiran etnis
Tionghoa. Sikap Diponegoro yang demikian itu berasal dari salah satu episode
peperangannya yang terjadi tepat sebelum kekalahannya yang menyedihkan di Gawok (di
luar Surakarta) pada 15 Oktober 1826. Diponegoro melarang para komandannya untuk
mengadakan hubungan akrab dengan orang-orang Tionghoa. Secara khusus, ia melarang
mereka mengambil penduduk sipil perempuan Tionghoa peranakan untuk dijadikan
gundik. Hal tersebut dikarenakan, menurut Diponegoro, persekutuan-persekutuan yang
demikian itu akan membawa malapetaka (sial) kepada mereka. Lihat, Peter Carey. Orang
Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa, perubahan persepsi tentang cina 1755-1825,
Depok: Komunitas Bambu, 1984. Hlm. 3-4.
6 Hal itu tertuang undang-undang pemerintah Manchu pada dinasti Qing pada
tahun 1909, Lihat, Shintia Astiagyna, “Perjanjian Dwikewarganegaraan:Kehidupan Etnis
Tionghoa di Glodok (1955-1969)”, Skripsi, Yogyakarta, Universitas Negri Yogyarkarta,
2012, Hlm 44.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
kewarganegaraan dan persoalan SARA yang terjadi pada masyarakat Tionghoa di
Indonesia. Baperki diketuai oleh Siauw Giok Tjhan (1914-1981), seorang politisi
Tionghoa senior saat itu. Baperki mengusulkan konsep Integrasi7 yang artinya
kebudayaan Tionghoa adalah salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia.
Karenanaya dalam hal kewarganegaraan, semua orang Tionghoa adalah WNI
kecuali yang bersangkutan menolaknya, dan memilih tetap menjadi seorang Warga
Negara Tiongkok. Lawan dari Baperki adalah LPKB (Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa) yang didirikan pada tahun 1963. Berbalikan dengan Baperki,
LPKB berpendapat bahwa asimilasi8 adalah jalan penyelesaian masalah entis
Tionghoa di Indonesia. Maksud asimliasi di sini adalah agar masyarakat Tionghoa
melepaskan seluruh identitas budayanya di antaranya adalah mengganti nama
7 Mengutip, Hari Poerwanto, Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional,
Universitas Gadjah Mada:Jurnal Humaniora, Vol 11, no. 3 1999, Hlm 31. Menjelaskan
paham Integrasi lewat pemikiran tokoh Robert E Park yang mengatakan Integrasi adalah
proses di mana orang-orang dari beragam ras berasal dan warisan budaya yang berbeda,
menempati wilayah yang sama, dan mencapai budaya yang seimbang demi mencapatai
untuk mempertahankan eksistensi nasional.
8 Mengutip, Hari Poerwanto, Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional,
Universitas Gadjah Mada:Jurnal Humaniora, Vol 11, no. 3 1999, Hlm 31. Yang mengutip
Arnold M. Rose, asimilasi adalah tindakan mengadopsi budaya yang berasal dari kelompok
atau golongan lain, tetapi orang atau kelompok yang ingin mengadopsi budaya baru, tidak
lagi membawa atau memiliki karakterisitik yang mengidentifikasi dirinya dengan budaya
sebelumnya yang dijalankan dan tidak lagi memiliki loyalitas khusus terhadap budaya
sebelumnya, atau dalan kehidupannya terdapat proses yang mengarah pada adopsi budaya
baru. Selain pendapat dari Arnold M. Rose, Hari Poerwatno juga mengutip Lois wirth,
Terkhusus di Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki berbagai suku bangsa,
juga teradapat klasifikasi golongan minoritas seperti Tionghoa, India, dan Arab. Terdapat
kebijakan asimilasi yang diprakarsai oleh Lois Wirth didalam tulisanya The Problem of
Minorty Groups, Kebijakan yang bersifat asimilasionis lebih menekankan agar para
anggota minoritas di suatu negara bergabung kedalam masyarkat lebih luas dengan cara
melarang kebudayaan mereka dan mengharuskannya mengadopsi sistem nilai dan gaya
hidup kelompok mayoritas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Tionghoa ke nama-nama yang tidak berbau Tionghoa9 dan kawin campur dengan
masyarakat non Tionghoa. Dengan demikian, golongan Tionghoa diharapkan tidak
lagi bereksistensi sebagai golongan terpisah dari golongan mayoritas. Dengan
begitu LPKB percaya akan lenyapnya diskriminasi rasial pada golongan
Tionghoa.10 Tentu, kelompok Baperki menentang keras konsep asimilasi LPKB
ini.11
Persoalan stigma yang menimpa masyarakat etnis Tionghoa semakin bertambah
berat seperti penulis singgung di atas yaitu setelah Peristiwa G30S/65, akibat
Peristiwa tersebut terjadi kerusuhan di Makasar, Medan, dan Jakarta pada tahun
1966-1967.12 Baperki sendiri menjadi organisasi terlarang karena dianggap
mendukung kelompok Kiri.
Pemerintahan Orde Baru yang menggantikan pemerintahan Sukarno
menerapkan politik asimilasi LPKB. Dalam kerangka tersebut Pemerintah Orde
Baru menerbitkan berbagai kebijakan asimilasi. Salah satu dari kebijakan yang
mereka keluarkan adalah Inpres No 14 tahun 1967,13 tentang Agama Kepercayaan
9 Pada 1966, terbitlah putusan pemerintah yang mengharuskan seluruh etnis
Tionghoa membuat nama baru, uniknya nama – nama baru tersebut masih mencerminkan
nama mereka. Contoh Kan Liang Lie menjadi (RamLi Sukanta) baca Stuart. W Grief,
WNI; Problematik Orang Indonesia asal Cina, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991. Hlm
xvii. Lihat juga https://ngopijakarta.com/tionghoa-marga-dan-nama-sebagai-identitas/2/
diakses 09 Maret 2020, pukul 14.07 WIB.
10 Siauw Giok Tjhan dan Oey Hay Djoen, Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan
Baperki, Hasta Mitra, 2000, Hlm 23.
11 Ibid., Hlm 35.
12 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta Selatan:
Transmedia Pustaka, 2008. Hlm 978-979.
13Berisi tentang peraturan bagi etnis Tionghoa yang mengikat Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat
menimbulkan pengaruh psikologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
dan Adat Istiadat Cina. Peraturan ini melarang semua bentuk ekspresi keagamaan
dan adat Tionghoa dimuka umum.14 Pemerintah juga menerapkan penggunaan
istilah pribumi dan non pribumi dalam setiap bidang termasuk ekonomi.15 Berbagai
kebijakan asimilasi ini mendapat tentangan keras dengan menyebutnya sebagai
kultur genosida.16
Tentu dampak dari kebijakan yang diterbitkan oleh Orde Baru yang
ditunjukan kepada etnis Tionghoa, juga dirasakan oleh etnis Tionghoa di
Tangerang, padahal menurut Wahyu Wibisana dalam bukunya yang mengutip dari
Kitab Sunda Tina Layang Parahyangan, eksistensi etnis Tionghoa yang berada di
Tangerang sudah menetap di Indonesia sejak pada tahun 1407.17 Melihat
panjangnya usia keberadaan orang Tionghoa di Tangerang maka dapat disimpulkan
warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu
diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar. Dalam aturan itu, Soeharto
menginstruksikan agar etnis Cina yang merayakan perayaan agama atau adat istiadat tidak
mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga saja, sampai
pada akhir kebijakan tersebut dicabut pada era kepemimpinan Abdurrahman Wahid.
Cahyo. N Agus, Salah Apakah Gus Dur, IRCiSoD, Yogyakarta, 2014. Hlm 135.
14 Dalam kebijakan tersebut seluruh upaya cara keagamaan dan adat istiadat
Tionghoa hanya boleh dilaksanakan dalam lingkungan keluarga dan ruangan tertutup, Lihat
Inpres No.14 tahun 1967 pasal 1 dan pasal 2.
15 Kebijakan inilah yang memunculkan lahirnya istilah politik alibaba dalam
bidang ekonomi, yaitu orang keturunan tionghoa yang dilarang menjalankan bisnis ekspor
impor kemudian menempatkan seseorang nama pribumi sebagai pelaku bisnis (meskipun
tidak melakukan apa-apa) agar bisa menjalankan bisnis ekspor impor tersebut. Lihat
MN.Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, Yogyakarta:LKiS, 2012, Hlm 70. Dalam catatan
kaki nomor 22.
16 Asgart. sofian munawar, Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang: potret
pembauran di tingkat lokal. Kementrian riset dan teknologi, 2006, Hlm 27.
17 Wibisana Wahyu, Cinbeng; Eksistensi Peranakan Tionghoa Peranakan,
Tangerang:Pustaka Klasik, 2006. Hlm 52. Selain dari buku Wibisana, penulis juga
menemukan penggunaan sumber dari kitab Sunda Tina Layang Parahyangan di Majalah,
Suarababa, Exploring the roots of Peranakan, November 2018, Hlm 41 dan juga di
Museum Benteng Heritage, Tangerang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
pembauran dan pembaharuan dengan masyarakat setempat sudah dipastikan
terjadi.18 Pembaharuan dan pembauran etnis Cina Benteng dengan masyarakat
setempat terjadi terutama dengan etnis Sunda (Jawa Barat) dan Betawi (Jakarta).
Hal ini dapat dilihat dari modifikasi tradisi mereka, salah satunya dalam pernikahan
tradisional etnis Cina Benteng, pengantin pria mengenakan khas pakaian Cina
sementara pengantin perempuan mengenakan pakaian dari etnis Betawi. Musik
yang dimainkan di pesta pernikahan, yang disebut Gambang Kromong, berasal dari
perpaduan antrara Jawa, Tionghoa, dan Sunda. Segi bahasa dalam berkomunikasi
tidak lagi menggunakan bahasa Tionghoa, Mereka memiliki dialek atau
pengucapan yang merupakan gabungan dari bahasa Tionghoa, Indonesia, Betawi
dan Sunda. Tetapi mereka tetap memiliki karakteristik sendiri dalam tradisi
Tionghoa, seperti upacara pernikahan, pemakaman, merayakan hari besar etnis
Tionghoa pada umumnya, seperti Imlek - Tahun Baru Cina, Cap Go Meh, dan Peh
Cun yang menampilkan festival seperti lomba perahu yang berada di Sungai
Cisadane.19
Etnis Tionghoa bukanlah satu masyarakat etnis yang homogen. Anggapan yang
melihat masyarakat etnis Tionghoa sebagai kelompok orang kaya, sombong, putih,
dan eksklusif20 tidak terlihat pada masyarakat Cina Benteng. Etnis Cina Benteng
yang bermukim di wilayah Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang justru hidup
18 Sholahudin Al Ayubi, “Pembauran Dalam Masyarakat Majemuk di Banten”,
Jurnal IAIN Sultan Maulana Hassanuddin Banten, Volume 10, No. 2, Desember 2016,
Hlm, 316.
19, Billy Nathan Setiawan, “Cina Benteng: The Latest Generations And
Acculturation”, Jurnal Lingua Cultura, Volume 09, No. 1 Me 2015, Hlm 37.
20 Asgart. sofian munawar, Op Cit Hlm 2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
dengan penuh kesederhanaan yang pada umumnya hampir sama dengan masyarakat
non Tionghoa setempat. Kesamaan tersebut juga terlihat dari segi mata
pencaharian, kondisi rumah, status sosial. Bahkan dapat dibilang etnis Cina
Benteng adalah salah satu etnis Tionghoa yang memiliki karakteristik yang sama
dengan masyarakat setempat.21 Karena mereka memang sudah berbaur dengan
masyarakat setempat, sehingga tidak ada pembatas yang memisahkan antar etnis
Cina Benteng dengan masyarakat non Tionghoa lainnya, bahkan warna kulit dari
etnis Cina Bentengpun juga sama dengan masyarakat setempat yang mayoritas
kulitnya berwarna coklat kehitaman.22
Gambar 1. Rumah etnis Cina Benteng di wilayah Mekarsari Tangerang
Sumber : http://abouttng.com/begini-kisah-asal-muasal-warga-china-benteng/
21 Euis Thresnawaty S , Sejarah Sosial-Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang, Jurnal,Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Patanjala Vol. 7 No. 1 Maret
2015, Hlm 49 – 64.
22 Wawancara dengan Udaya Halim, Tangerang, 26 Januari 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Pemukiman Tionghoa di Tangerang disebut juga Benteng.23 Karenanya etnis
Tionghoa yang menetap di Tangerang disebut dengan panggilan Cina Benteng. Dari
nama ini kemudian disingkat, seperti yang disebutkan Wahyu Wibisana, yaitu
panggilan Cinbeng24 dan Sofian Asgart menyebutnya dengan panggilan Cibet.25
Namun dari berbagai informasi yang penulis dapat, sebagai penduduk dari Warga
Kota Tangerang, etnis Tionghoa di Tangerang lebih dikenal sebagai Cina Benteng
(Ciben).
Setelah runtuhnya era Orde Baru dan dilanjutkan era Reformasi, berbagai
kegiatan etnis Tionghoa dalam kegiatan keagamaan maupun tradisi dapat dilakukan
dengan lebih leluasa. Bahkan kegiatan tradisi etnis Cina Benteng di Tangerang
sudah dinikmati dan diterima oleh masyarakat setempat, yang setiap kali dirayakan,
menjadi salah satu destinasi wisata pilihan setiap tahunnya bagi daerah Kota
Tangerang. Maka pengakuan kehadiran kebudayaan etnis Cina Benteng, sesuai
dengan salah satu konsep Integrasi milik BAPERKI.26
23 Hal ini dikarnakan pada masa pemerintahan Belanda, di kota Tangerang tepatnya
berada di pinggir sungai Cisadane. Terdapat Benteng Belanda yang dibangun sebagai pos
pengamanan guna mencegah serangan yang datang dari Kesultanan Banten, Benteng
tersebut merupakan pos terdepan bagi pertahanan Belanda di pulau Jawa di bagian sisi
Barat. Lihat, Muhamad Arif, Model Kerukunan Sosial pada Masyarakat Multikultural
Cina Benteng, Jurnal, Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014. Hlm 58.
24 Wahyu Wibisana dalam tulisannya, Lihat Wibisana Wahyu. 2016. CINBENG,
Eksistensi Peranakan Tionghoa Peranakan. Pustaka Klasik. Tangerang.
25 Asgart. sofian munawar. 2006. Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang:
potret pembauran di tingkat lokal. Kementrian riset dan teknologi, 2006.
26 Sholahudin Al Ayubi, “Pembauran Dalam Masyarakat Majemuk di Banten”,
Jurnal, IAIN Sultan Maulana Hassanuddin Banten, Volume 10, No. 2, Desember 2016,
Hlm, 339. Baca juga Budi Sulistyo, Marsela Fitri Anisa, Pengembangan Sejarah dan
Budaya Kawasan Cina Benteng Kota Lama, Tangerang, Jurnal Planesa Volume 3, Nomor
2 November 2012, Hlm 98.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Penelitian ini terfokus pada dampak yang terjadi terhadap kehidupan etnis
Tionghoa dengan hadirnya kebijakan asimilasi oleh pemerintah Orde Baru. Penulis
juga akan memperhatikan fakta yang terjadi sebaliknya seperti budaya tindakan
diskriminasi.
1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
Pembatasan periode diawali dari tahun 1966 hingga 2012. Periode ini
menggambarkan tentang perubahan dinamika dan tradisi etnis Cina Benteng
semenjak pelarangan hadir dimuka umum oleh kebijakan era Orde Baru hingga
pada akhirnya diperbolehkan atas dukungan Presiden ketiga Bacharuddin Jusuf
Habibie (1936-2019) dan Prsiden keempat K.H Abdurrahman Wahid (1940-2009)
disertai berbagai kebijakan yang mendukung kehadiran etnis Tionghoa di Indonesia
sebagai bagian Warga Negara Indonesia.
Sedangkan batasan wilayah penelitian ini adalah etnis Cina Benteng di Kota
Tangerang dan sekitarnya. Khususnya beberapa tempat yang sebagian besar
penduduknya merupakan etnis Cina Benteng seperti di daerah Neglasari, Pasar
Baru, Pasar Lama, Karawaci, Kampung Melayu, dan Teluk Naga yang merupakan
pusat tempat tinggal dan aktivitas etnis Cina Benteng.
Sehingga dari latarbelakang dan ruang lingkup penelitian tersebut
memunculkan tiga pertanyaan penelitian, yaitu;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
1. Bagaimana keadaan etnis Cina Benteng dengan adanya kebijakan Asimilasi
Orde Baru?
2. Bagaimana keadaan masyarakat Cina Benteng akhir Orde baru dan awal
Reformasi?
3. Apa dampak hadirnya Reformasi bagi etnis Cina Benteng?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara garis besar, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
perubahan dan perkembangan kehidupan masyarakat etnis Cina Benteng dari segi
kultur, ekonomi, kehidupan sosial, dan tradisi budaya, pada era Orde Baru, awal
Reformasi, hingga tahun 2012 di wilayah Tangerang.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberi informasi
dan pemahaman bagaimana perubahan kehidupan etnis Cina Benteng dari segi
ekonomi, kehidupan sosial, dan tradisi budaya. Penelitian ini bermanfaat untuk
memberikan edukasi atau pengetahuan bagi seluruh masayarakat Indonesia secara
mendalam mengenai etnis Cina benteng yang selama ini terkenal sebagai etnis
Tionghoa yang terpinggirkan. Dengan begitu berharap penelitian ini dapat
melengkapi kajian sejarah etnis Tionghoa sebelumnya.
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah, menjelaskan bagaimana
pembauran secara sempurna antara etnis Tionghoa dengan masyarakat setempat.
Sehingga, secara langsung, meningkatkan toleransi dan memperluas informasi
kegiatan budaya Tionghoa kepada masyarakat umum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
1.5 Kajian Pustaka
Telah banyak penelitian yang membahas tentang keadaan etnis Tionghoa di
Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru serta saat berakhirnya Orde Baru serta
di awal era Reformasi ketika kebebasan mulai dapat dirasakan oleh etnis Tionghoa.
Singkatnya skripsi ini ditulis sebagai usaha untuk melengkapi kajian tentang
kehidupan etnis Cina Benteng, dengan sudut pandang tentang keadaan mereka
semenjak era Orde Baru sampai era Reformasi.
Ada beberapa kajian yang membahas tentang Cina Benteng sebagai salah
satu etnis Tionghoa di Indonesia yang sarat akan sejarah pada jaman transisi Orde
Baru menuju Reformasi. Pertama, buku karya Wahyu Wibisana, yang berjudul
Cinbeng: Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang, Penerbit Pustaka Klasik,
Kota Tangerang, 2016. Buku ini membahas bagaimana perkembangan Etnis “Cina
Benteng” telah ada sejak 300 tahun lebih dengan interaksi sosial serta adaptasi
dengan keadaan masyarakat setempat. Dari penulisan tersebut tidak hanya dibahas
bagaimana Etnis Tionghoa yang ada di Kota Tangerang berkembang, tetapi juga
tentang permasalahan yang ada antara lain pembantaian oleh kolonial Belanda pada
tahun 1740 dan kerusuhan penggusuran 2010.
Buku ini membahas kehadiran etnis Cina Benteng di Tangerang dengan
pembahasan secara umum tradisi etnis Tionghoa. Dalam buku tersebut tidak
dijelaskan secara terperinci bagaimana dampak dari keadaan tradisi etnis Cina
Benteng terhadap hadirnya berbagai kebijakan era Orde Baru pada era Reformasi
kasus masyarakat Cina Benteng. Padahal perubahan dari era Orde Baru menuju era
Reformasi terlihat sangat berbeda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Buku selanjutnya adalah karya MN. Ibad dan Akhmad Fikri Af berjudul
Bapak Tionghoa Indonesia, LKIS, Yogyakarta, 2012. Buku ini membahas
bagaimana peran K.H Abdurrahman Wahid yang memiliki pandangan universal
dan pluralisme, yang dinilai sebagai payung semua bangsa dan salah satunya bagi
etnis Tionghoa melalui Keputusan Presiden No.6 tahun 2000. Serta menjelaskan
asal muasal tokoh-tokoh islam yang ternyata juga ada garis keturunan Tionghoa,
termasuk dirinya sebagai seorang kiyai haji dan tokoh panutan di Indonesia.
Sayangnya dalam tulisan ini, tidak dibahas bagaiamana keadaan sebelum
etnis Tionghoa dalam kehidupan sosial di era Orde Baru. Buku ini hanya
menjelaskan secara singkat tentang era Orde Baru dengan sistem pemerintahan
yang bersifat otoriter.
Buku selanjutnya yang membahas mengenai Cina Benteng adalah, karya
Sholahudin Al Ayubi dan Ade Fakih Kurniawan Cina Benteng Antara Pluralitas,
Kesukubangsaan, dan Kepercayaan, FUD Press, Serang, 2009. Buku ini
menjelaskan secara terperinci mengenai keadaan etnis Cina Benteng. Termasuk
bagian kebijakan pemerintah terhadap kehadiran etnis Tionghoa baik pada era
pemerintahan Belanda maupun pada era Orde Baru dengan membahas pembauran
etnis Tiongho dalam hal ini penggunaan bahasa. Meskipun buku ini membahas
pembauran etnis Tionghoa dengan masyarakat setempat, sayangnya pembahasan
perkembangan tradisi pada era Reformasi masih sangat sedikit. Padahal perayaan
Peh Cun sebagai salah satu tradisi etnis Cina Benteng sudah masuk sebagai dari
destinasi wisata dan tempat terjadinya pembauran dengan masyarakat setempat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Buku selanjutnya yang membahas mengenai etnis Tionghoa di Banten
adalah buku karya dari H.S. Suhaendi, dkk, Etnis Cina di Banten, LP2M IAIN
SMH, Banten, 2015. Buku ini membahas mengenai kehadiran etnis Tionghoa di
Banten dan kehidupan sosial, budaya seperti acara pernikahan, dan kepercayaan
orang Cina Benteng. Buku ini juga membahas adanya beberapa kebijakan era Orde
Baru dengan menjelaskan tentang masing-masing kebijakan tersebut.
Kekurangan dalam buku ini adalah tidak membahas secara terperinci apa
saja dampak dari masing-masing kebijakan yang diputuskan oleh era Orde Baru.
Hal tersebut sangat disayangkan mengingat kebijakan yang diterbitkan era Orde
Baru merupakan peraturan yang menutup kehidupan etnis Tionghoa dengan hanya
mengizinkan kegiatan perekonomian dibawah kontrol pemerintah dan kepercayaan
saja diharapkan agar bisa memilih agama diluar kepercayaan yang bersal dari
leluhur.
Karya penelitian lainya yang membahas mengenai kehidupan sosial etnis
Cina Benteng adalah artikel jurnal yang berjudul, Sofian Munawar Asgart,
Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang: potret pembauran di tingkat lokal,
Kementrian riset dan teknologi, 2006. Penelitian ini membahas mengenai keadaan
etnis Tionghoa seperti pembantaian 1740, kemiskinan etnis Cina Benteng,
permasalahan SBKRI yang diterbitkan pada era Orde Baru, keadaan reformasi yang
mencemaskan seperti kejanggalan pada saat mengurus catatan sipil. Selain itu pada
jurnal ini juga dibahas tentang warisan era kolonial yang selalu memihak etnis
Tionghoa, sehingga berdampak pada tahun 1946 dengan terjadinya kerusuhan di
Tangerang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Namun pembahasan mengenai etnis Cina Benteng dalam perayaan
tradisinya tidak dibahas secara maksimal. Jurnal ini membahas Festival Cisadane
sebagai pembauran secara luas antara etnis Tionghoa dengan masyarakat di
Tangerang. Namun pembahasanya mengenai tradisi dari etnis Cina Benteng hanya
digambarkan secara umum saja.
1.6 Landasan Teori
Teori Identitas merupakan teori yang mendasarkan bagaimana sebuah
kumpulan etnis atau kelompok yang bertempat tinggal di suatu lingkungan,
bagaimana mereka mengenyam pendidikan, mencari ekonomi bagi keluarga,
berkeluarga dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dengan kultur yang
terdapat di diri mereka masing-masing.
Teori yang digunakan untuk menjelaskan mengenai situasi masyarakat etnis
Cina Benteng adalah Identitas Sosial oleh Peter J. Burke dan Jan E. Stets. Pada
tulisan yang berjudul “Identity Theory”, kedua tokoh ini mengatakan bahwa Teori
Identitas berusaha menjelaskan secara spesifik, makna yang dimiliki individu atas
berbagi identitas atau tradisi yang melekat dikehidupan mereka, diakui serta
dijalankan, dan bagaimana identitas atau tradisi ini bisa berhubungan dengan
masyarakat lainya, serta mempengaruhi, perilaku, pikiran, perasaan atau emosi
mereka, dan bagaimana identitas atau tradisi tersebut mengikat ke masyarakat yang
lebih luas.27
27 Peter J Burke dan Jan E. Stets, Identity Theory, New York:Oxford University
Press, 2009, Hlm 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Dalam buku yang dituliskan oleh Peter J. Burke dan Jan E. Stets
menjelaskan bagaimana masyarakat merespon dalam mempertahankan dan
memverifikasi kehadiran meraka agar dapat dianggap oleh masyarakat luas.28
Landasan teori ini digunakan untuk melihat identitas dari masyarakat etnis Cina
Benteng di Tangerang. Mereka memiliki perbedaan dengan masyarakat asli
Tangerang yang mayoritas beretnis Sunda dan Jawa. Etnis “Cina Benteng”
memiliki identitas tersendiri dalam ruang lingkup sosial masyarakat yang luas,
terkhususnya Kota Tangerang yang diapit oleh dua etnis mayoritas lain, yaitu Jawa
dan Sunda. Di sini etnis Cina Benteng juga menunjukan ciri khas mereka sebagai
masyarakat di Kota Tangerang.
Pada masyarakat Indonesia masih terdapat berbagai macam tradisi yang
masih dilaksanakan dengan baik maupun yang sudah hilang, misalnya tradisi tolak
bala, upacara perkawinan, lebaran dan masih banyak tradisi-tradisi yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu. Tradisi-tradisi tersebut mengandung nilai-nilai budaya dan
moral yang memiliki tujuan baik untuk menciptakan masyarakat yang berakhlak
baik dan berperadaban.
Tradisi adalah nama yang diberikan kepada ciri-ciri budaya yang harus
diteruskan, dipikirkan, dilestarikan, agar tidak hilang.29 Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Badudu, yang menyatakan bahwa tradisi adalah adat kebiasaan
28 Ibid., Hlm 5.
29 Nelson Graburn, What is Tradition?. University of California Berkeley: Museum
Antropology, Artikel, May, 2008, Hlm 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
yang dilakukan secara turun temurun dan masih dilaksanakan pada masyarakat
yang ada.30
Salah satu dari sekian banyak tradisi tersebut adalah tradisi Imlek. Tradisi
Imlek ini adalah kegiatan yang dilakukan etnis Tionghoa diseluruh belahan Dunia
dalam merayakan Tahun Baru atau sin tjia. Seperti acara tahun baru pada umumnya,
keramaian menjelang tahun baru Imlek sangatlah terasa, ornamen dan pernak-
pernik khas mulai menghiasi pusat-pusat keramaian. Imlek sebagai sebuah tradisi
“Tahun Baru” yang dimakanai dengan memulai segalanya dari awal dengan
resolusi yang baru untuk tahun yang akan dijalani. Tradisi Imlek sebagai identitas
budaya Tionghoa disokong oleh ajaran Khonghucu (Konfusius). Dalam salah satu
ajaran Khonghucu terdapat istilah “Zhi Ren” yang artinya mengerti orang lain. Jika
dikaitkan dengan kemajemukan di Indonesia, nilai-nilai tersebut berkaitan dengan
sikap saling menghormati perbedaan seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika.31
Dalam kegiatanya Imlek, masyarakat Tionghoa memohon rahmat kepada
para leluhur dan berdoa kepada Tuhan serta para dewa dengan rasa hormat. Teori
Identitas ini menggambarkan bagaimana Imlek merupakan salah satu identitas dari
etnis Tionghoa dan tidak akan pernah lepas. Tradisi yang juga dapat dirayakan
dengan masyarakat sekitar.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tema Sejarah Sosial Model
Sistematis yang menelusuri dari perubahan sosial yang terjadi dari keadaan dan
30 J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing, Jakarta: Kompas, 2003, Hlm
349.
31 Thoriq Tri Prabowo, Imlek dan Kebinekaan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
Artikel, Januari, 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
tradisi atas kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintahan Orde Baru dan era
Reformasi sehingga dapat menganalisa perubahan yang terjadi yang difokuskan
dalam dinamika dan tradisi etnis Cina Benteng.32
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan kaidah metode sejarah yakni dengan memilih
topik, heuristic (pengumpulan sumber), kritik sumber, interprestasi sumber, dan
historiografi atau penulisan sejarah.33 Penyajian data berdasarkan hasil dari
penelitian lapangan, beberapa studi pustaka dan arsip untuk menggali lebih jauh
proses perubahan sosial dan budaya masyarakat yang didasari oleh sumber-sumber
yang ada.
Untuk mendapatkan sumber tersebut, peneliti langsung mencari sesuai topik
yang dicari, seperti membahas keadaan Tangerang semasa kolonial hingga
merdeka. Untuk mendapatkan sumber tersebut, penulis berkunjung ke
Perpustakaan Kabupaten Tangerang, Perpustakaan Kota Tangerang, dan juga
Perpustakaan Provinsi Banten. Untuk sumber dari etnis Cina Benteng serta tokoh
Bacharduddin Jusuf Habibie dan Abdurrahman Wahid penulis mendapatkannya
dari Perpustakaan Nasional, Museum Cina Benteng dan Perpustakaan Sanata
Dharma.
Penulis juga mengumpulkan sumber lisan dengan melakukan wawancara
tokoh etnis “Cina Benteng” yaitu pengurus Klenteng Boen Tek Bio dan Klenteng
32 Kuntowijoyo, Metodeologi Sejarah, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2003,
Hlm 57.
33 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yayasan bentang Budaya : Yogyakarta,
1995, Hlm 89.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Boen San Bio, serta pemilik museum Benteng Heritage. Untuk menambahkan
pemahaman wawasan sejarah, wawancara juga dilakukan terhadap ahli Sejarah
yang kebetulan juga memahami etnis Cina Benteng dan Kota Tangerang.
Sedangkan informasi tentang Abdurrahman Wahid, penulis melakukan wawancara
dengan pengurus dari Komunitas Gusdurian Tangerang dan Yogyakarta serta warga
Cina Benteng.
1.8 Sistematika Penelitian
Penulisan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika penulisan sebagai
berikut:
Bab I yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori,
tunjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II membahas pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru, pada bab ini
akan memuat berbagai kebijakan yang muncul dalam rentang tahun 1966-1988
yang berdampak bagi etnis Cina Benteng.
Bab III, membahas bagaimana keadaan pada akhir era Orde Baru serta
masa transisi menuju era Reformasi
Bab IV berisi pembahasan dampak perubahan sosial budaya dari
masyarakat etnis Cina Benteng dalam pengakuan dan penerimaan etnis mereka di
era Reformasi.
Bab V akan menguraikan kesimpulan dari pembahasan pada bab – bab
sebelumn
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
BAB II
PERATURAN DEMI PERSATUAN
2.1 Pemerintahan Indonesia 1966
Sebelum mengulas minoritas etnis Tionghoa di Indonesia, paling awal kita
harus memahami dan mengingat bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan
kumpulan masyarakat yang majemuk dan memiliki semboyan Bhinneka Tunggal
Ika, yaitu sebuah negara yang terdiri atas masyarakat dengan beragamnya suku
bangsa, yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari negara tersebut.1
Kebijakan-kebijakan dan undang-undang terkait etnis Tionghoa di
Indonesia, sudah hadir sejak era penjajahan Belanda sampai Indonesia pada era
Orde Baru. Sebagai contoh, pada era kolonial di tahun 1854, Belanda menyusun
tiga kelompok etnik sosial yang memiliki peraturan berbeda satu sama lainnya,
yaitu: bangsa Eropa, bangsa Timur Jauh (atau bangsa Asia yang terdiri dari
masyarakat Arab, Tionghoa dan India), dan bangsa Pribumi.2 Hal ini menyebabkan
timbulnya batasan-batasan yang memisahkan masyarakat Tionghoa dengan
masyarakat lainnya di tanah jajahan.
Pada masa Orde Baru, perlakuan diskriminatif terhadap golongan etnis
Tionghoa terjadi secara masif melalui berbagai kebijakan. Meskipun secara resmi
1 Sholahudin Al Ayubi dan Ade Fakih Kurniawan, Cina Benteng Antara Pluralitas,
Kesukubangsaan, dan Kepercayaan, Serang: FUD Press, 2009, Hlm 52.
2 Gouwgioksong. “The Marriage Laws of Indonesia with Special Reference to
Mixed Marriages”. Dalam The Rabel Journal of Comparative and International Private
Law, 28. Jahrg., H. 4 (1964), Hlm 712, catatan no. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
pemerintah Orde Baru menyebutkan tujuan kebijakan tersebut dengan asas
pembaharuan dan pembauran masyarakat. Pada kenyataannya, proses pembaharuan
dan pembauran yang diimplementasikan oleh pemerintah tidak menuju hidup
kerukunan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya yang berkaitan
dengan etnis Tionghoa. Kenyataan yang terjadi berbeda dari yang diharapkan.
Selama pemerintahan Orde Baru, politik yang diterapkan kepada etnis Tionghoa
justru menimbulkan kekerasan seperti yang terjadi pada akhir kekuasaan Soeharto
di tahun 1998.3
Pemerintahan Orde Baru berdiri secara resmi pada 22 Februari 1967 saat
Soeharto menjadi presiden sesuai TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967, yang
mencabut kekuasaan Presiden Sukarno.4 Dalam pemerintahannya, Soeharto
menyatakan secara jelas bahwa warga negara Indonesia keturunan Tionghoa harus
segera berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli (Dwipayana
dan Hadimaja 1989:279). Dalam praktik tersebut Leo Suryadinata berpendapat
sebagai berikut;
Seringkali Asmilasi berjalan dengan kabur dan bertentangan dan bahkan dalam
beberapa kebijakan Soeharto cenderung anti asimilasi karena kepentingan
politis. Sebagai contoh toleransi terhadap agama minoritas dan pembedaan
antara pribumi dan non pribumi justru cenderung memisahkan, dan bukannya
mempersatukan etnis Tionghoa dan orang Indonesia asli. Dengan kata lain,
etnis Tionghoa tetap terpisah dari komunitas “tuan rumah”5
3 Mely. G Tan, Golongan etnis Tionghoa di Indonesia, suatu masalah pembinaan
kesatuan bangsa, Jakarta: Gramedia, 1979. Hlm 206.
4 Pengangkatan ini berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikeluarkan
oleh Sukarno untuk Soeharto. Dengan Surat Perintah tersebut, Soeharto mendapat mandat
dari Sukarno untuk mengamankan keadaan revolusi yang harus dilaporkan kepada
Presiden. Namun prakteknya Soeharto menerapkan politik keamanan melampaui isi surat
perintah tersebut.
5 Leo Suryadinata, “Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia”, Jakarta:
Kompas, 2010. Hlm 218.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Meskipun orang Tionghoa sudah menerapkan pembauran dengan
masyarakat setempat secara alamiah, Soeharto menyebutkan bahwa manifestasi
agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa dari negeri leluhurnya dapat
menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moril yang kurang wajar terhadap
warga negara Indonesia.6
Etnis Tionghoa peranakan yang menjadi bagian dari Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa (LPKB) salah satunya Ong Tjong Hay, rupanya benar-benar ingin
menjadi “orang Indonesia sejati”, sesuai dengan gambaran pemerintahan Soeharto.
Maka, LPKB menegaskan perlunya penggantian nama bagi warga keturunan
Tionghoa yang masih ingin tinggal dan hidup di Indonesia. Langkah ini dilakukan
Ong Tjong Hay yang kemudian berganti nama menjadi Kristoforus Sindhunatha.
Tokoh Tionghoa ini merupakan pemimpin LPKB, yang dibentuk melalui
Keputusan Presiden tanggal 18 Juli 1963 pada era kepemimpinan Sukarno.7
Sindhunatha mengaku bahwa dia yang mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar
seluruh tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, dan agama etnis Tionghoa dilarang di
bumi Indonesia.8 Di periode sebelumnya Sindhunatha sebenarnya sudah
6 Siew-Min Sai dan Chang-Yau Hoon, Chinese Indonesians Reassessed,
Routledge, 2013, Hlm 212
7 Ong Tjong Hay, lahir di Jakarta pada 20 Maret 1933, merupakan mahasiswa
FHUI yang aktif di kegiatan PMKRI. Dia lulus kuliah pada tahun 1961 dan di tahun yang
sama aktif di Angkatan Laut. Pada tahun 1963 dia menjadi ketua LPKB.Pada masa Orde
Baru, dia menjadi ketua Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa)
sejak tahun 1977. Dia meninggal pada tahun 2005 dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan. Lihat Leo Suryadinata, Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches.
Singapore: ISEAS, 2015, hlm. 256-7.
8 Mengutip dari, Benny G Setiono,. Ibid. Hlm 1008, Ini merupakan pengakuan
Sindhunatha dalam diskusi di kantor majalah GAMMA pada September 1999. Lihat juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
menawarkan gagasan tersebut kepada Presiden Sukarno namun ditolak. Penolakan
tersebut karena Sukarno membangun hubungan diplomatik dengan Beijing
(Peking) tahun 1956, Sikap Soekarno didasarkan pada pikiran bahwa konflik antara
Tionghoa dan non-Tionghoa akan melemahkan posisinya di dalam negeri. Maka
mulai saat itu, Sukarno merangkul etnis Tionghoa dan gagasan dari LPKB tidak
diakomidir oleh Sukarno selama dirinya masih berkuasa.9
Bagi Sindhunatha, permasalahan Tionghoa di Indonesia memang rumit.
Sebelum Perang Dunia II, berkaitan dengan identitas politik, identitas bangsa,
masyarakat Tionghoa perantauan terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka
yang ingin memelihara ikatan politik dan budaya, Kedua, mereka yang hanya
memelihara ikatan budaya, dan bukan politik, Ketiga, mereka yang memutus ikatan
budaya maupun politik.10 Menurut Sindhunatha meninggalkan seluruh lapisan
Tiongkok adalah pilihan yang terbaik untuk seluruh etnis Tionghoa di Indonesia.
Hingga akhirnya berbagai undang-undang dan kebijakan asimilasi
dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto yang bertujuan pembauran etnis
Tionghoa. Penerapan kebijakan ini berdampak besar kepada kalangan masyarkat
Cina Benteng.
https://tirto.id/intrik-politik-soeharto-yang-melarang-dan-membelokkan-makna-imlek-
cENG ,diakses pada tanggal 19 Februari 2020 pada pukul 10.55 Wib.
9 Leo Suryadinata, “Chinese Politics In Post-Suharto’s Indonesia. Beyond the ethic
Approach?”, Jurnal, Asian Survey, Vol. 41, No. 3, May/June, 2001, hlm.505.
10 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa 1900-2002, Jakarta: LP3ES,
2005. Hlm 15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
2.2 Menjadi bagian Indonesia
Setiap masyarakat suku bangsa secara turun temurun menempati wilayah
yang tentu terdapat sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satunya
adalah etnis Cina Benteng yang menetap di daerah pinggiran utara Kabupaten
Tangerang maupun Kota Tangerang. Mereka memanfaatkan daerah tempat tinggal
mereka semaksimal mungkin untuk memenuhi kehidupan.
Selama Orde Baru berjaya banyak etnis Tionghoa mengalami
diskriminasi.11 Tetapi menurut Sindhunatha, Soeharto masih bersikap baik karena
mengizinkan etnis Tionghoa merayakan berbagai tradisi di lingkungan keluarga dan
di dalam ruangan tertutup (Indoor) seperti rumah mereka masing-masing, meski
sebenarnya usulannya adalah melarang secara total.
Akhir tahun 1966 merupakan awal dari lahirnya keputusan yang mengatur
warga etnis Tionghoa yang berada di Indonesia. Keputusan Presidium Kabinet
No.127/U/Kep/1966, 26 Desember 1966 ini ditandatangani oleh Soeharto.
Peraturan ini berbicara mengenai himbauan pergantian nama untuk warga Negara
Indonesia keturunan Tionghoa untuk membantu pembauran lebih cepat.
Himbauan ini tidaklah wajib namun diikuti oleh banyak masyarakat
Tionghoa untuk menghindari kesulitan lebih lanjut. Mereka khawatir keturunan
mereka mengalami kesulitan birokratis jika melawan kebijakan pembauran yang
ditetapkan pemerintah.12 Anak-anak keturunan etnis Tionghoa yang masih duduk
11 Daud Ade Nurcahyo, “Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa”, Skripsi,
Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, 2016, Hlm 1.
12 H.S. Suhaendi, dkk. “Etnis Cina di Banten”, Banten: LP2M IAIN SMH, 2015.
Hlm 74.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
di bangku sekolah dasarpun juga tak luput untuk mengganti nama agar selamat dari
ancaman.13
Di Tangerang, masyarakat Cina Benteng juga mengganti namanya
meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap memakai nama panggilan
Tionghoa.14 Nama Indonesia mereka gunakan untuk mengurus kepentingan yang
berurusan dengan pemerintah.15
Dalam salah satu dokumen penetapan pergantian nama, atas nama Sian
Lioe, memperlihatkan dengan jelas bahwa etnis Tionghoa masih dianggap
“keturunan asing” di Indonesia:
“Menimbang, bahwa untuk lebih dapat menyesuaikan diri serta mempercepat
proses asimilasi antara warga Negara Indonesia turunan asing dengan warga
Negara Indonesia asli, demikian juga sudah sepantasnya untuk dapat segera
menghilangkan segala ingatan terhadap negara leluhur pemohon”.16
13 Wawancara dengan Udaya Halim, Tangerang, 26 Januari 2020.
14 Terutama karena etnis Cina Benteng yang berada di Kabupaten Tangerang, jauh
dari pusat pemerintah (daerah kampung Melayu, Sewan).
15 Stuart. W Grief, WNI; Problematik Orang Indonesia asal Cina, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1991. Hlm xvii.
16 Kebijakan ini didasarkan akibat klaim sepihak dari Pemerintah RRT yang
menganggap bahwa warga Tiongkok di luar negeri dan keturunannya merupakan warga
RRT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Gambar 2. Surat penetapan pergantian nama etnis Tionghoa ke nama Indonesia
Sumber : https://ngopijakarta.com/tionghoa-marga-dan-nama-sebagai-identitas/2/
Saat itu umumnya Masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia adalah
Tionghoa Peranakan yang tidak semuanya pernah ke RRT. Untuk menghindari hal-
hal yang tidak diinginkan, serta untuk mentaati anjuran tersebut dan tidak pula
menghilangkan identitas leluhur melalui marga yang disandang. Maka cara
mengindonesiakan marga adalah dengan mencarikan nama-nama yang bunyinya
mirip dengan marga yang dipakai. Sebagai contoh: marga Tan (Chen)
menggunakan nama Tanusudibyo, Tanujaya, Tanuwijaya, Tanusubrata, Tanudirjo.
Marga Lim/Liem (Lin) menggunakan nama Salim, Halim, Liman. Marga Oey
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
(Huang) dibaca Ui atau Wi menggunakan nama Wijaya, Wibowo, Winata, Winarto.
Marga Zhang (Thio/Theo/Tio) menggunakan nama Setio, Sutiono, Sulistio dan
masih banyak marga lainnya yang sudah diindonesiakan.17 Steven Wijaya, Kenny
Lim, dan Udaya Halim merupakan nama-nama yang penulis temui dari etnis Cina
Benteng. Faktanya, meskipun mereka mengganti nama Tionghoa mereka dengan
nama Indonesia, masyarakat setempat tetap memanggil mereka dengan panggilan
penghormatan pada yang dituakan khas Tionghoa yaitu Engkoh atau Enci.
Mengganti nama Tionghoa menjadi Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu
yang sengaja dilakukan peranakan Tionghoa untuk mendapatkan pekerjaan atau
membaur agar terkesan sebagai “pribumi asli” Indonesia. Bukan pula demi menjadi
pasukan mata-mata negara asal Tiongkok. Tetapi karena sikap diskriminasi yang
dilakukan oleh pemerintah setempat maupun masyarakat, karena sering dihubung-
hubungkan sebagai mata-mata dari PKI, setelah terjadinya Tragedi G30S.
Dalam bukunya, Setiono mengungkapkan bahwa pasca Tragedi G30S,
tepatnya pada tahun 1967, intensitas kerusuhan anti Tionghoa makin menjadi-jadi.
Penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah
dan mobil-mobil milik etnis Tionghoa terjadi di mana-mana. Ditambah tindakan
represif penguasa militer meningkatkan trauma berkepanjangan dan menjadi salah
satu sebab etnis Tionghoa selama 32 tahun enggan memasuki ranah politik dan
memusatkan perhatian kegiatan di bidang ekonomi.18
17https://ngopijakarta.com/tionghoa-marga-dan-nama-sebagai-identitas/2/ ,diakses
09 Maret 2020, pukul 14.07 WIB.
18 Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta Selatan: Transmedia
Pustaka, 2008. Hlm 976.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Saat itu terjadi kerusuhan berupa penjarahan, perusakan, dan pembakaran
rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah dan mobil-mobil milik etnis Tionghoa.
Kedubes Tiongkok tidak luput dari sasaran penyerbuan organisasi-organisasi massa
(ormas) dengan dukungan tentara yang anti komunis. Ormas dan tentara yang
dipelopori Angkatan Darat menuding etnis Tionghoa sebagai aktor intelektual atas
pembantaian para jenderal dan perwira militer Indonesia yang anti komunis.19
Kerusuhan diawali di Makasar dengan sasaran Konsulat Cina yang berada
di kota tersebut. Kerusuhan berlanjut di Jakarta dan Medan atas sejumlah fasilitas
milik pemerintah Tiongkok. Puncak serangan terjadi pada hari Minggu 1 Oktober
1967. Bertepatan dengan Hari Nasional RRT, ribuan demonstran dari berbagai
kesatuan ormas menggunakan sebuah truk untuk mendobrak pintu gerbang
Kedutaan Besar RRT dan menyerbu kedalam bangunan. Mereka menjarah barang-
barang yang terdapat di dalam kedutaan dan membakar mobil-mobil, perabotan
serta alat-alat kantor.
Terjadi perkelahian antara para demonstran dan staf kedutaan. Beberapa
orang staf kedutaan menderita luka-luka karena terjangan peluru dan terpaksa
menginap di rumah sakit militer. Demikian juga beberapa orang demonstran
menderita luka-luka, bahkan salah seorang demonstran kemudian meninggal dunia.
Bendera RRT diturunkan dan diganti dengan bendera merah putih. Gedung
19 Wawancara Vivanews dengan Setiono G. Benny dikediamannya Bekasi, 2008.
Lihat juga https://www.viva.co.id/arsip/1302-kedutaan-rrc-dan-orang-tionghoa-jadi-
sasaran ,diakses pada 17 Maret 2020, 11.02 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
kedutaan kemudian diserahkan kepada pihak militer yang segera menutup pintu
gerbangnya.20
Hadirnya stigma PKI kepada etnis Tionghoa juga dialami etnis Cina
Benteng di Tangerang. Hampir seluruh etnis Cina Benteng yang menjalankan
pendidikan dicap PKI.21 Di saat yang sama, Tangerang memiliki penjara khusus
untuk menampung tahanan PKI yang merupakan penjara bekas peninggalan
Belanda. Pihak militer juga merampas tanah di sekitar tahanan milik keluarga
Tionghoa yang dituduh bagian komunis. Tanah tersebut digunakan memperluas
penjara tersebut. 22
Pada bulan Desember 1967, Soeharto mengeluarkan dua kebijakan yang
ditunjukan kepada etnis Tionghoa. Pertama adalah Keppres 240/1967 tentang
kebijakan pokok menyangkut WNI keturunan Asing tertanggal 6 Desember 1967.23
Selain mengatur perubahan nama bagi etis Tionghoa (pasal 5), penulis ingin
memfokuskan pada pasal 6 dari Keppres tersebut tentang upaya pemerintah
melakukan pembauran etnis Tionghoa dengan masyarakat setempat agar memiliki
kedudukan di dalam hukum pemerintahan yang setara, sehingga hak dan
kewajibannya juga sama. Pada pasal 6, tertulis;
20 Benny G Setiono, Op Cit, Hlm. 978-979.
21 Wawancara dengan Udaya Halim, Tangerang, 26 Januari 2020.
22http://ypkp1965.org/blog/2019/09/05/napak-tilas-penjara-tapol-orba-di-
tangerang/ ,diakes 02-04-2020, pukul 12.28 WIB.
23 Stuart. W Grief, WNI; Problematik Orang Indonesia asal Cina, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1991. Hlm xx.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
“Warga Negara Indonesia keturunan asing diberi kesempatan yang sama dengan
Warga Negara Indonesia asli dalam mengerahkan daya dan dananya disegala
bidang untuk mempercepat pembangunan serta meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa dan Negara”.
Artinya pemerintah Orde Baru menginginkan pembauran antar sesama
masyarakat yang tinggal di Indonesia terjadi dalam berbagai hal, seperti dalam
bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Aspek politik dan sosial mengingatkan pada kesimpulan Onghokham yang
menyebutkan bahwa label orang Tionghoa sebagai “manusia ekonomi”,
sesungguhnya adalah bentukan zaman. Sejak masa kolonial, orang Tionghoa
mengalami peminggiran hak-hak bernegara dan berpolitik. Di era Orde Baru,
masyarakat Tionghoa hanya berpeluang bergerak di sektor ekonomi, dan jika anda
sudah memiliki ekonomi yang tinggi, urusan dengan pemerintahan akan lebih
mudah.24
Terutama di Tangerang, toko-toko kecil milik etnis Cina Benteng
mendukung kehidupan perekonomian bisa dibilang sangatlah berkembang dengan
hadirnya di wilayah petak Sembilan, atau pasar lama hingga berkembang, serta
yang memang dihuni oleh Cina Benteng serta rencana pembangunan industri di
Tangerang yang diharapkan menopang Jakarta.
Namun dalam praktiknya, Keppres 240/1967 pasal 6, kenyataannya justru
bertentangan dari tujuannya.25 Hal ini adalah salah satu alasan utama yang
24 Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina; Sejarah Etnis
Cina di Indonesia, Depok:Komunitas Bambu, 2008, Hlm 44.
25 Leo Suryadinata, Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China, Kuala
Lumpur: Heinemann Educational Books, 1978, Hlm 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
menjelaskan kegagalan undang-undang tersebut mencapai pembauran menyeluruh.
Contoh paling jelas adalah keputusan dari Seminar angkatan darat untuk jenderal-
jenderal pada tahun 1966 bahwa adanya “penutupan” akses etnis Tionghoa.26
Keputusan ini menyebabkan pembatasan tidak hanya dalam bidang politik, tetapi
juga dalam bidang ekonomi bagi masyarakat keturunan Tionghoa.27 Menurut
Udaya Halim, selain dalam bidang ekonomi dan budaya, bagi etnis Tionghoa yang
berkarir di pemerintahan maupun militer juga dibatasi:
“Karna dalam 32 tahun, bukan hanya budaya saja yang ditahan. Bahkan untuk
jabatan, kalau ada orang Tionghoa atau Cina yang menjabat sebagai Mayor atau
Copral di TNI, yas udah mentok di sana saja mereka tidak akan bisa nambah”28
Untuk menghindari kesulitan birokrasi dan untuk pengamanan, pengusaha
etnis Tionghoa seringkali berkolaborasi dengan elit pejabat Indonesia atau militer.
Kolaborasi tidak resmi yang sangat umum pada waktu itu adalah pengusaha etnis
Tionghoa mengelola usaha sedangkan elit pejabat Indonesia memberikan lisensi,
konsensi monopoli, dan keamanan bagi usaha etnis Tionghoa. Keduanya sangat
diuntungkan atas kerja sama itu sehingga istilah “cukongisme” merebak.29 Keadaan
inilah yang sebenarnya para elit pemerintah inginkan. Dengan menggunakan
kekuasaan, perekonomian bagi bangsa dan negara terus berjalan sesuai Rencana
26 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, Jakarta:Pustaka LP3ES, 1991,
Hlm 92.
27 Al Ayubi dan Ade Fakih Kurniawan, Cina Benteng Antara Pluralitas,
Kesukubangsaan, dan Kepercayaan, Serang: FUD Press, 2009, Hlm 83.
28 Wawancara dengan Udaya Halim, Tangerang, 26 Januari 2020.
29 Cukongisme berasal dari istilah Hokkian yang artinya majkian, Lihat
I Wibowo, Retropeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1999, Hlm 59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), dan dalam waktu bersamaan elit
pemerintahan juga mendapatkan keuntungan.
Kebijakan kedua yang diumumkan oleh pemerintahan Soeharto pada bulan
Desember 1967 adalah Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina 9 Desember. Dalam Intruksi tersebut,
ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa
hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.30
Instruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi kebudayaan Tionghoa termasuk
kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya untuk mencapai asimilasi total
yang dicita-citakan LPKB.31
Pelarangan ini menimbulkan keraguan pada WNI keturunan Tionghoa
untuk berpegang pada agama tradisional mereka. Karena secara tersirat
menggambarkan adanya stigma pemerintah maupun masyarakat setempat yang
menganggap agama Konghucu identik dengan komunisme. Dengan dikeluarkannya
Inpres No.14/1967 seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa
termasuk Imlek, Capgomeh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara
terbuka. Demikian juga tarian-tarian barongsai (tarian singa) dan Liong (tarian
naga) dilarang dipertunjukan dimuka umum.32
30 Keadaan tersebut bahkan masih terasa hingga saat ini, jika menuju pemukiman
yang ditinggali mayoritas oleh etnis Tionghoa, memang pada faktanya pada saat imlek
tidak dirayakan terbuka atau istilahnya “welcome house”. Justru pagar-pagar rumah-rumah
tertutup dan masing – masing keluarga memang merayakan Imlek hanya didalam rumah.
31 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta Selatan:
Transmedia Pustaka, 2008. Hlm 1008.
32 Ibid,.Hlm 1008.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Menurut Hermanto (50 tahun) pengurus Klenteng Boen Tek Bio,
sebenarnya pada perayaan Imlek jika masyarakat Cina Benteng ingin berdoa di
Klenteng, mereka tetap bisa melakukannya. Masyarakat Cina Benteng di
Tangerang tetap bisa datang untuk berdoa kepada para leluhur dan dewa di masing-
masing Klenteng, karena menurut perjanjian antara pemerintah setempat dan
masyarakat Cina Benteng, untuk urusan agama tetap boleh dilanjutkan.33
Dalam urusan hak catatan sipil, masyarakat etnis Tionghoa yang menganut
kepercayaan Konghucu juga dihadapkan pada permasalahan sulitnya mendapatkan
pengakuan saat menikah maupun saat mendapatkan KTP. Karenanya dalam
pencatatan KTP, umat Konghucu diwajibkan untuk memilih salah satu dari 5 agama
yang ada. Tanpa status agama, masyarakat Tionghoa kesulitan mendapatkan hak-
haknya sebagai warga negara. Kondisi tersebut membuat mayoritas etnis Cina
Benteng di Tangerang memilih memeluk agama Kristen Pantekosta dan agama
Buddha Tridharma.34 Ada juga yang memeluk agama Islam karena pernikahan
dengan masyarakat setempat, dengan memeluk agama yang resmi, pemerintah
mengharapkan dapat mempererat kekerabatan mereka dengan sanak suadara
33 Wawancara dengan bapak Hermanto (50) pengurus Klenteng Boen Tek Bio, 25
Januari 2020.
34 Dengan memeluk agama Kristen, Etnis Tionghoa juga melakukan pemilihan
nama yang terdengar barat seperti Alfons, Theodorus. Nama tersebut dirasa tidak terlalu
mencolok, karena masyarakat setempat terbiasa dengan mendengar nama Barat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
maupun masyarakat setempat serta dapat membuat kehidupan ke arah yang lebih
baik.35
Pada tahun kedua sebagai Presiden, Soeharto mengumumkan Peraturan
Menteri Perumahan No.455.2-360/1968. Peraturan ini melarang penggunaan lahan
untuk mendidirkan, memperluas, atau memperbarui Klenteng.36 Melihat berbagai
fungsinya, klenteng merupakan pusat kegiatan masyarakat etnis Tionghoa dalam
beribadah. Akan tetapi pemerintahan Orde Baru melakukan berbagai perubahan.
Istilah klenteng yang menunjukan tempat ibadah etnis Tionghoa tidak lagi
digunakan dan digantikan menjadi Vihara (tempat ibadah umat Buddha), serta
memunculkan tempat ibadah bagi 3 aliran kepercayaan, yaitu Buddha, Taoisme,
dan Konfusianisme atau biasa disebut kepercayaan Tridharma. Tujuanya adalah
menghilangkan agama tradisional etnis Tionghoa beserta tempat ibadahnya.
Bahkan patung-patung dewa yang berada di Klenteng dirubah atau ditambahkan
dengan patung-patung dari agama Budha.37
Masyarakat Tionghoa dalam keyakinannya masih tetap bisa menghargai
leluhur, tapi secara terbuka mereka tidak bisa melakukan kegiatan ritual. Nama dari
Klentengpun juga turut diubah menjadi nama Vihara, seperti Klenteng Boen San
35 Muhammad Reza Zaini, “Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas
Etnis di Desa Situgadung”, Jurnal sosiologi masyarakat, Vol. 19, No. 1, Januari 2014, Hlm.
115.
36 https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/95469/setelah-enam-belas-abad
diakes pada tanggal 2 Februari 2020 Pukul 14.54 Wib.
37 Asgart. Sofian Munawar, Komunitas Cina Banteng (cibet) di Tangerang: Potret
Pembauran di Tingkat Lokal. Kementerian Riset dan Teknologi, 2006, Hlm 21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Bio diubah menjadi Vihara Nimmala dan Klenteng Boen Tek Bio menjadi Vihara
Padamuttara.38
Setelah berbagai kebijakan pembatasan, Soeharto kemudian fokus kepada
pembangunan Indonesia. Setidaknya terdapat 9 pabrik baru yang dibangun di
Tangerang pada tahun 1976.39
Namun pada tahun 1978, Orde Baru menerbitkan peraturan bagi etnis
Tionghoa yang dilandaskan pada kewarganegaraan antara Tiongkok atau Indonesia.
Jika seorang Tionghoa memilih kewarganegaraan Indonesia, dia diwajibkan
memiliki dan menunjukan melalui Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia (SBKRI). SBKRI diatur dalam peraturan Menteri Kehakiman No
J.B.3/4/12 tahun 1978. Kebijakan ini diterapkan karena pertimbangan klaim
Republik Rakyat Tiongkok bahwa seluruh penduduk keturunan Tiongkok di
seluruh dunia (China Overseas) adalah warga negaranya.40 Padahal ditilik dari
sejarah, seharusnya etnis Cina Benteng tak diwajibkan untuk memiliki SBKRI
mengingat mereka dipercaya sudah menetap di Tangerang sejak tahun 1407, yang
dapat dilihat dari kitab sejarah Sunda ‘Tina Layang Parahyang’.41
Banyaknya kalangan masyarakat yang berasal dari ekonomi rendah serta
tidak berpendidikan, menyebabkan adanya beberapa anggota masyarakat Cina
38 Wibisana Wahyu, Cinbeng; Eksistensi Peranakan Tionghoa Peranakan,
Tangerang:Pustaka Klasik, 2006. Hlm 168.
39 Team Dokumentasi Presiden RI, Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23
Maret 1978, Jakarta:PT. Citra Kharisma Bunda, 2003, hlm 383
40 Wibisana Wahyu, Op. Cit,. Hlm 172.
41 Ibid., Hlm 52.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Benteng tidak mampu memenuhi persyaratan untuk mendapatkan SBKRI.
Akibatnya mereka kehilangan status kewarganegaraan (State Less). Selain SBKRI,
terdapat beberapa kelompok masyarakat etnis Cina Benteng yang juga tidak bisa
memiliki Kartu Tanda Pendududk (KTP), Akta Kelahiran, Akta Perkawinan karena
berasal dari golongan ekonomi yang rendah. Hal tersebut berdampak pada
ketakutan mereka untuk keluar daerah saat mencari pekerjaan karena khawatir
adanya razia.42 Sehingga etnis Cina Benteng lebih memilih untuk melanjutkan
pekerjaan yang sudah dilakukan sejak nenek moyang mereka, yaitu bertani atau
melaut, bagi mereka yang tidak memiliki lahan garapan biasanya menjadi tukang
becak, kuli panggul di pasar, pengepul barang bekas, atau calo karna tidak adanya
pilihan lain.43
Pada akhir tahun 1985 Soeharto meresmikan Bandara Internasional
Seokarno-Hatta yang menjadi salah satu bandara terbesar di Indonesia.
Pembangunan yang dimulai sejak 1975 membawa kisah pilu bagi para etnis Cina
Benteng. Menurut pengakuan Untung (53 tahun), daerah yang merupakan rawa
tersebut disiasati oleh pemerintahan dengan menimbun tanah yang diambil dari
wilayah yang sekarang dinamai Periuk pada saat pembangunan Terminal 1 (1975)
dan Terminal 2 (1985).
42 Ibid., Hlm 173. 43 Ibid, Hlm 163-164.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Dulu emang ngambilnya dari sono (periuk), makanya dinamaiin periuk, soalnya
kaya ada jogangan, kaya nama tempat masak nasi. Makanyakan kalau sekarang
hujan dikit, sana kan pasti banjir terus masuk berita. Orang dulu bangun Bandara
ngerukinnya dari daerah sana44
Sedangkan untuk mereka yang tinggal di daerah Neglasari dan Rawa
Burung harus tergusur dari lokasi bercocok tanam dan tempat tinggal mereka pada
saat itu. Tidak sedikit masyarakat mendapatkan perlakuan buruk dari oknum
pemerintahan.
Kami yang menentang kerap mendapat intimidasi dan perlakuan kurang
menyenangkan dari oknum tertentu. Kami dipaksa setuju dengan pembangunan
bandara, walau dalam hati kami menolak45
Bahkan dalam pembangunan terminal 2 yang diawal pada tahun 1985,
Pemerintahan Soeharto menerbitkan kebijakan Kepres No.64 1986, tentang
Pengendalian Penggunaan Tanah dan Ruang di Sekitar Bandara Udara
Internasional Jakarta Soekarno – Hatta. Isi dari keputusan tersebut mengatur
tentang luas tanah dan ruangan dari sekitar Bandara Soekarno-Hatta yang luas.
Sayangnya datanya tidak bisa ditemukan penulis. Kebijakan tersebut pada akhirnya
dicabut oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010.
Pasca penggusuran masyarakat sekitar Bandara Soekarno-Hatta,
pemasungan terhadap kelompok etnis Tionghoa kemudian dilanjutkan dengan
instruksi Surat Edaran Menteri Penerangan Nomor 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988
44 Wawancara dengan Untung (53), warga taman Cibodas, Periuk, Tangerang, 19
Januari 2020.
45 Mengutip wawancara yang ditulis di buku Wibisana Wahyu, CINBENG;
Eksistensi Peranakan Tionghoa Peranakan, Tangerang:Pustaka Klasik, 2006. Hlm 168.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
tentang Surat edaran Ini melarang penerbitan dan percetakan tulisan atau iklan
beraksasra Tionghoa di depan umum pada tahun 198846, kebijakan ini tentu
dilaksanakan dengan tujuan untuk menghapus warisan dari leluhur-leluhur yang
ada.
Menurut Leo Suryadinata, kebijakan ini diterbitkan dikarnakan adanya rasa takut,
jika para masyarakat Tionghoa di Indonesia melakukan sebuah pemberontakan lagi
dengan rencana yang disusun dengan bahasa Tionghoa yang tidak dipahami oleh
semua orang.47
Kebijakan ini sangat berdampak pada pemahaman berbahasa Tionghoa bagi
etnis Cina Benteng yang tidak dapat mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari,
sehingga membuat mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Tionghoa. Logat
mereka bahkan sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi.48 Menurut pengakuan
Udaya Halim dirinya pun juga tidak bisa berbahasa Mandarin, dan malah lebih
sering berbahasa Indonesia berlogat sunda campuran betawi. Setiap kali dirinya
menuju Tiongkok dan ditanyakan tentang kewarganegaraannya oleh masyarakat
Tiongkok, dirinya mengaku berasal dari Korea.49
“Kalo Cina Benteng, itu sebenernya yang khas itu mereka tuh udah ga bisa bahasa
Cina. Bisanya bahasa Sunda bahasa Indonesia, kalo orang Ciben bisa bahasa Cina,
itu bukan Ciben aslilah.”50
46 https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/95469/setelah-enam-belas-abad
diunduh pada tanggal 2 Februari 2020 Pukul 14.54 Wib.
47 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT. Grafiti Press, 1982,
Hlm 564.
48 H.S. Suhaendi, dkk. “Etnis Cina di Banten”, LP2M IAIN SMH, Banten, 2015.
Hlm 78-79.
49 Wawancara dengan Udaya Halim, Tangerang, 26 Januari 2020.
50 Wawancara dengan Daniel, Sewan, 7 Januari 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Kebijakan pembauran yang diterbitkan oleh Orde Baru bertujuan agar bisa
terjadinya pembauran dengan cepat dari etnis Tionghoa dengan masyarakat
setempat. Namun kenyataannya hal ini malah menghentikan kegiatan mereka
sebagai bagian Warga Negara Indonesia, seperti kegiatan beribadah, merayakan
hari raya, dan menggunakan bahasa yang semuanya berasal dari tanah leluhur.
Dampak lainnya adalah pelarangan sekolah-sekolah menengah Tionghoa. Karena
tidak adanya ijin dari pemerintah sehingga etnis Tionghoa harus bersekolah di
sekolah-sekolah nasional yang didirikan pemerintah. Hal ini tentu melanggar
konstitusi tentang kebebasan sebagai warga Negara.51
51 I Wibowo dan Thung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering, Masyarakt Tionghoa
pasca-persitiwa Mei 1998, Jakarta:Kompas, 2010, Hlm 34.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
BAB III
AWAL KETERBUKAAN
3.1 Akhir Orde Baru
Memasuki tahun 1989 pemerintah Orde Baru sudah tidak menerbitkan
berbagai kebijakan yang mengatur etnis Tionghoa. Tetapi praktik dari berbagai
kebijakan diskriminasi yang telah di bahas di bab sebelumnya tetap berjalan setiap
tahun, dan etnis Cina Benteng sudah mulai membiasakan dengan kebijakan
diskriminasi teresebut karna sudah terbiasa hidup berdampingan dan berinteraksi
dengan baik dengan masyarakat setempat, karna mereka juga menjunjung tinggi
pepatah lama Tiongkok, yang berbunyai “kalau minum air jangan lupa
sumbernya”.1
Memasuki awal tahun 1993, tepatnya 23 Januari, adalah hari raya Imlek
bagi etnis Tionghoa diseluruh Indonesia. Klenteng Boen San Bio2, salah satu
klenteng di Tangerang juga menyambut perayaan tersebut yang pada tahun-tahun
sebelumnya hanya pengurus dan beberapa warga sekitar yang dapat berdoa di
1 Wibisana Wahyu, Cinbeng: Eksistensi Peranakan Tionghoa Peranakan,
Tangerang:Pustaka Klasik, 2006. Hlm 142. 2 Klenteng Boen San Bio terletak di Jalan. Ks. Tubun No 4, Pasar baru, Tangerang,
dibangun pada tahun 1689, 5 tahun setelah Klenteng Boen Tek Bio dibangun, Boen San
Bio dibangun oleh seorang pedagang yang berasal dari negri Tiongkok bernama Lin Tau
Koen, Klenteng Boen San Bio mengalami beberapa renovasi terutama terjadi kebakaran
pada 1998. Tidak hanya umat klenteng yang bersembayang di tempat ini, tetapi banyak
umat muslim sering datang untuk berziarah dikarnakan adanya tempat petilasan seorang
tokoh penyebar islam di Jawa Barat, Raden Surya Kencana beserta rombongannya,
awalnya petilasan berada di bagian depan, tetapi karena adanya pelebaran jalan petilasan
dipindakan menuju bagian dalam. Lihat, Rini intama, Sejarah dan Budaya Tangerang
dalam puisi, Kidung Cisadane, Jakarta: Kosa kata kita, 2016, Hlm 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
klenteng. Tetapi pada hari itu Abdurrahman Wahid datang untuk bersilahturahmi.3
Pak bebeng (67 tahun) pengurus Klenteng Boen San Bio menyambut Gus Dur
dengan mengitari klenteng. Momen tersebut diabadikan oleh fotografer, yang pada
hasil fotonya terdapat sebuah bayangan dari sisik Liong berwarna oranye mengitari
Gus Dur. Arfan (29 tahun) Koordinator Gusdurian Tangerang menjelaskan arti
gambar tersebut dengan perspektif yang dipercayai etnis Cina Benteng:
Kita tahu Naga itu Hewan suci bagi orang Tionghoa, karena bisa hidup di tiga alam
air, udara, sama darat. Pas ada naga di foto Gus Dur, pengurus dan umat Boen San
Bio paham bahwa Gus Dur bukan sembarang tokoh karena dilindungin sama
hewan suci.4
Menurut pengakuan Pak Bebeng, pada hari tersebut keadaan klenteng
sangat ramai dengan rombongan Gus Dur dan beberapa masyarakat Cina Benteng
setempat atau umat muslim yang ingin melihat kehadiran Gus Dur. Kedatangan Gus
Dur sebagai tokoh besar agama Islam dinilai sebagai tanda toleransi terhadap
kepercayaan etnis Tionghoa yang pada saat itu masih dilarang.5
3 Selanjutnya penulis akan memanggil K.H. Abdurrahman Wahid dengan Gus Dur,
Gus merupakan panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai yang berarti mas
atau abang. 4 Wawancara dengan Arfan (29), Koordinator Gus Durian tangerang, 26 januari
2020, Klenteng Boen San Bio, Tangerang. 5 Pada tahun 1993, Gus Dur adalah salah satu tokoh muslim yang dihormati,
menjabat sebagai ketua Nadlathul Ulama. Abdurrahman adalah salah satu tokoh yang
mengecam dan mengawasi pemerintahan Orde Baru yang dianggap merusak Nasionalisme
bangsa, Lihat. Anom Whani Wicaksana, Gus Dur: Jejak Bijak Sang Guru Bangsa,
Yogyakarta: C-Klick Media, 2018, Hlm 58.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Gambar 3. Foto Gus Dur dengan bayangan sisik naga di Klenteng Boen San Bio
Sumber: Dokumen penulis Januari 2020
Mendekati akhir abad ke-20, tekanan pada etnis Tionghoa sudah sedikit
berkurang. Hal ini terlihat pada kebijakan Keppres No. 56/1996 yang dikeluarkan
pada 28 juli 1996. Melalui Keppres tersebut, Soeharto mengumumkan tidak
diberlakukannya lagi Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Karenanya seorang anak atau istri yang belum berusia 18 tahun tidak perlu
membuat SBKRI tapi mengikuti kewarganegaraan ayah atau suaminya.
Penghapusan tersebut setidaknya memiliki makna bahwa etnis Tionghoa
dipermudah statusnya sebagai Warga Negara Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Minimnya penerbitan peraturan baru di periode ini bukan berarti etnis
Tionghoa terbebas dari belenggu peraturan yang telah dibahas di bab sebelumnya.
Semua kebijakan asimilasi tersebut dikeluarkan dengan tujuan pembauran etnis
Tionghoa. Kebijakan yang membatasi ruang gerak bagi etnis Tionghoa untuk
berperan di masyarakat dan hanya sektor ekonomi yang dibiarkan terbuka,
bukanlah hal yang diharapkan. Belum lagi kehidupan di dalam bayang-bayang
pemerintah dan militer.6 Dengan demikian, kondisi ini secara tidak langsung malah
menambah kekuatan ekonomi etnis Tionghoa termasuk Cina Benteng terutama
yang berada di Pasar Baru dan Pasar Lama Kota Tangerang. Mereka rata-rata
bekerja sebagai pedagang kebutuhan pokok, sedangkan masyarakat non Tionghoa
biasanya berjualan sayur yang didapat dari daerah Neglasari dan sekitarnya.7
Sejak tahun 1966-1988, pemerintahan Soeharto telah menerbitkan berbagai
kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa demi terjadinya pembauran dengan
masyarakat setempat. Namun sejatinya justru yang terjadi adalah kultural genosida
seperti telah dijabarkan dibab sebelumnya. Kondisi ini dikarenakan kebijakan yang
diterbitkan tidak hanya terbatas status kewarganegaraan dan kebebasan ekspresi
ritualitas agama saja. Lebih jauh, terjadi juga peristiwa penutupan sekolah
Tionghoa, larangan memakai aksara atau bahasa Tionghoa, pelarangan
6 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas,
2010. Hlm 221. 7 Neglasari adalah daerah etnis Cina Benteng yang perekenomiannya lebih sulit
ketimbang Pasar Lama atau Pasar Baru lihat Wibisana Wahyu, Op. Cit., Hlm 164.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
menggunakan nama Tionghoa, dan penghapusan mata pelajaran agama Kong Hu
Cu di sekolah.8
Kerusuhan 13 Mei-21 Mei 1998 merupakan klimaks atas krisis ekonomi di
Indonesia, dengan terjadi banyaknya korupsi serta kegagalan pemerintah dalam
politik di Indonesia. Kondisi itu memicu gerakan protes dari mahasiswa dan
masyarakat, terutama di kota Jakarta dan sekitarnya sebagai pusat pemerintahan.
Pada tanggal 13 Mei 1998 merupakan awal dari kerusuhan, penjarahan,
pembakaran, pengerusakan dan tindakan kekerasan yang kebanyakan diderita etnis
Tionghoa, kekerasan tersebut antara lain berupa pemerkosaan kepada kaum
perempuan Tionghoa. Penyebabnya diduga rasa iri atas ketimpangan ekonomi etnis
Tionghoa yang sangat berbeda serta stigma bahwa pemerintah lebih membantu
etnis Tionghoa.
Kerusuhan tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga kawasan toko maupun
pembelanjaan di kota Tangerang menjadi sasaran amuk massa. Sebut saja
Supermall Karawaci, pusat perbelanjaan yang baru saja dibangun pada tahun 1992
dan menjadi tempat perdagangan terbesar di Tangerang, ludes karena penjarahan
massa. Lebih parahnya lagi, terjadi pembakaran di dalam pusat perbelanjaan
tersebut yang merenggut banyak korban jiwa. Pasca kejadian pembakaran dan
kerusuhan, perekonomian di Tangerang sangat memprihatinkan.9
8 Asgart. sofian munawar, Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang: potret
pembauran di tingkat lokal. Kementrian riset dan teknologi, 2006, Hlm 27. 9https://www.bacatangerang.com/potret-kerusuhan-98-di-tangerang-hingga-
upaya-penindasan-etnis-tionghoa/ di akses 02-04-2020 pukul 16.30 WIB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Di lokasi lain seperti contohnya jalan Kisamaun nampak aman
dibandingkan jalan di Tangerang yang penuh akan kerusuhan, seperti daerah Pasar
Baru, Karawaci dan Gatot Subroto.10 Hal ini dikarenakan jalan Kisamaun dijaga
oleh aparat pemerintahan yang dekat dengan wilayah pusat Pemerintahan
Tangerang dan perbelanjaan kebutuhan pokok. Untuk menghindari kerusuhan di
lokasi tersebut, para pemilik toko menyiasati tokonya dengan menuliskan “Milik
Pribumi dan Pro Reformasi”. Tulisan ini sendiri untuk menunjukkan kepada massa
bahwa pemilik toko bukanlah etnis Tionghoa dan agar tokonya tak diserbu.
Walaupun sebenarnya sebagian toko dimiliki oleh orang Tionghoa.
Cara ini kemudian diperkuat dengan penjagaan oleh akamsi (Anak
Kampung Sini).11 Strategi untuk mengurangi adanya penjarahan dan kekerasan,
juga dilakukan oleh Nia (22), salah satu etnis Cina Benteng yang bersama kedua
orang tuanya menyewa beberapa preman untuk melindungi rumah serta sanak
keluarganya yang tinggal di tempat yang sama di daerah Karawaci.12
Sedangkan untuk daerah pedalaman seperti Kedung Wetan, Neglasari
keadaannya cenderung aman. Kondisi ini disebabkan oleh warga Tionghoa dan
pribumi sudah bersatu padu. Mereka merasa senasib sepenanggungan, yaitu sama-
sama menderita karena kesulitan ekonomi dan sesama muslim. Persamaan juga
10 Wawancara dengan Suparman, 58, Warga Kampung Gebang, 23 Januari 2020 11 https://www.bacatangerang.com/potret-kerusuhan-98-di-tangerang-hingga-
upaya-penindasan-etnis-tionghoa/ di akes 02-04-2020 pukul 16.30 WIB 12 Nathania Nirvana (22) yang menceritakan bagaimana keadaan keluarganya pada
kerusuhan Mei 1998. Dirinya diceritakan oleh kedua orang tuanya dan pamanya, tentang
kekejaman pada saat itu. Beruntung tidak ada korban Jiwa, Wawancara, 19 Januari 2020,
Tangerang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dirasakan di bidang budaya, perkawinan dan aktivitas sosial lainnya. Oleh
karenanya pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998, di daerah pedalaman komunitas
Cina Benteng tidak terjadi konflik kerusuhan etnis yang berbeda dengan daerah
kota.13
Peristiwa Mei 1998 membawa dampak yang signifikan bukan saja terhadap
orang Tionghoa di Indonesia akan tetapi juga terhadap pembangunan Bangsa.
Sesudah kerusuhan, banyak etnis Tionghoa Indonesia yang melarikan diri ke luar
negeri. Menurut angka versi Pemerintah Indonesia, sekitar 80 ribu warga etnis
Tionghoa Peranakan meninggalkan Indonesia. Mereka berasal dari kalangan
menengah atas, sehingga secara finansial mampu pergi ke luar negeri.14 Mereka
menuju Australia, Singapura, Malaysia, dan negara-negara tetangga lainya.
Sebaliknya mereka yang tidak cukup memiliki kemampuan finansial terpaksa tetap
tinggal di Indonesia dengan cara bertahan secara semaksimal mungkin agar tidak
dijadikan sasaran kerusuhan.
Meskipun sebagian etnis Tionghoa Peranakan meninggalkan Indonesia,
mereka akan kembali ketika keadaan Indonesia sudah normal. Udaya Halim sebagai
salah satu bagian dari kelompok intelektual Tionghoa yang mengungsi ke luar
negeri yang mengatakan akan kembali ke Indonesia.15 Karena mereka percaya
bahwa suatu saat Indonesia akan menjadi bangsa dan negara yang benar-benar
13 Asgart. Sofian Munawar, Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang: potret
pembauran di tingkat lokal. Kementrian riset dan teknologi, 2006, Hlm 39. 14 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas,
2010. Hlm 236. 15 Pada Saat kerusuhan Mei 1998, Udaya Halim pergi menuju Australia dan
menetap di sana. Hingga saat ini, dirinya masih menyempatkan untuk pulang pergi dari
Indonesia-Australia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
menerima kemajemukan. Selain itu mereka juga merasa bahwa Indonesia adalah
rumah mereka tempat mereka lahir (prinsip ius soli).16
Pada 21 Mei 1998, setelah lebih dari 32 tahun berkuasa, Soeharto
mengundurkan diri sebagai Presiden Indonesia. Wakil Presidennya saat itu, B.J.
Habibie menggantikan kepemimpinannya. Saat itu Habibie tidak terlalu dihormati.
Sebelumnya ada ketakutan dari para pemimpin dalam negeri dan internasional,
bahwa dia akan terikat pada kepentingan militer dan kroni bisnis Suharto. Sehingga
memberikan kekawatiran bahwa Habibie dapat mengubah perekonomian Indonesia
menjadi lebih buruk dengan uang bantuan yang didapat dari IMF.17 Kenyataannya
justru B.J Habibie berhasil membuat rupiah menguat dari angka Rp.16.650 pada
bulan Mei 1998 menjadi Rp.8.000 pada awal Mei 1999.18
3.2 Reformasi Indonesia
Berakhirnya era Orde Baru merupakan awal bagi Indonesia untuk menatap
masa yang lebih baik. Era Reformasi memberikan harapan bagi etnis Tionghoa agar
penghapusan peraturan di Indonesia yang bersikap diskriminatif dapat dihapus dan
mencapai kebebasan sebagai bagian warga Negara Indonesia. Setelah 4 bulan
menjabat (16 September 1998), Habibie mengakui keberadaan etnis Tionghoa
melalui kebijakan Instruksi Presiden No.26/1998 tentang menghentikan
penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan serta
16 Wawancara dengan Udaya Halim, 26 Januari 2020, Tangerang. 17 Amy Freedman, “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia”,
Jurnal¸ Asian Ethnicity, Volume 4, Number 3, October 2003. Hlm 439.
18 Lepi T Tarmidi, Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan
Saran, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret, 1999, Hlm 3. Lihat juga
https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/ekonomi/krisis-keuangan-
asia/item246? Diakses pada tanggal 05 Juni 2020, Pukul 12.59 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, atau pelaksanaan kegiatan
penyelengaraan pemerintahan.
Meskipun dirinya sempat dianggap sebagai permasalahan karena menjadi
bagian Orde Baru, Habibie kembali mengejutkan banyak orang dengan membuat
perubahan sistem politik, melalui Tap MPR No. XIV/MPR/1998 yang disahkan 13
November 1998. Habibie membawa Indonesia menuju kebebasan politik yang lebih
besar. Habibie menyatakan bahwa dia tidak akan mencoba untuk menyelesaikan
masa jabatan Soeharto (sampai 2001) tetapi akan mengajukan pemilihan parlemen
dengan langsung, bebas, jujur, dan rahasia, yang diadakan di tahun 1999.19
Hal ini disambut baik oleh etnis Tionghoa karena dengan kebijakan tersebut,
dapat mendukung kehadiran partai politik dan Organisasi yang hadir sebelum
maupun setelah keputusan tersebut dikeluarkan. Seperti PARPINDO (10 juni 1998)
, Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI, 11 Juni 1998), Perhimpunan Indonesia Tionghoa
(INTI, 5 Februari 1999), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI, 28
September 1998).20 Dengan ini, harapan agar suara mereka dapat didengar oleh
Pemerintahan lebih praktis untuk memperjuangkan penghapusan/pencabutan
produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi.21
Ruang gerak etnis Tionghoa lebih terbuka dan tidak seburuk pada saat
zaman Soeharto. Pada tanggal 5 Mei 1999, Habibie kembali mendukung kehadiran
etnis Tionghoa di Indonesia melalui Instruksi Presiden no.4/1999 yang menegaskan
19 Amy Freedman, Op. Cit., Hlm 440. 20 I Wibowo dan Thung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering, Masyarakt Tionghoa
pasca-persitiwa Mei 1998, Jakarta:Kompas, 2010, Hlm 39. 21 Ibid,. Hlm 34.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
pelaksanaan Keppres no.56/1996 tentang tidak berlakunya SBKRI, Keppres
tersebut dalam pelaksanaannya tidak berjalan dengan lancar dikarenakan
kurangnya sosialisasi dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Begitu
juga Instruksi Presiden no.26/1998 tentang menghapus penggunaan istilah pribumi
dan non pribumi. Sayangnya dalam perjalanannya, penghapusan SBKRI tetap tidak
berjalan sesuai dengan apa yang pemerintahan Habibie harapkan. Dalam
kenyataannya masih banyak penyalahgunaan wewenang oleh pemerintahan
setempat dengan memaksa etnis Cina Benteng menunjukan SBKRI dalam
pengurusan surat-surat resmi sebagai WNI.22
Bagian kedua dari Instruksi Presiden no.4/1999 ini adalah peninjauan ulang
perizinan mempelajari bahasa Tionghoa. Keputusan ini disambut baik oleh seluruh
etnis Tionghoa, dengan kembali beredarnya surat kabar serta pengajaran bahasa
Tionghoa. Kondisi ini juga dimanfaatkan dengan baik oleh tokoh-tokoh etnis
Tionghoa untuk menulis tentang peran etnis Tionghoa yang berjasa kepada
Indonesia sebelum era Orde Baru, seperti tokoh militer sepanjang perang
kemerdekaan (John Lie), tokoh Baperki (Siauw Giok Tjhan), ahli budaya Jawa yang
diakui keraton Surakarta (Go Tik Swan).23. Penulisan biografi tokoh-tokoh tersebut
menunjukkan bahwa sebenarnya golongan Tionghoa adalah salah satu etnis yang
ikut andil dalam pembangunan bangsa.24
22 Asgart. sofian munawar, Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang: potret
pembauran di tingkat lokal. Kementrian riset dan teknologi, 2006, Hlm 25. 23 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan, Jakarta:Hasta Mitra, 1999; M. Nursam,
Biografi Laksamana Muda John Lie, Jakarta:yayasan nabil, 2008; Rustopo, Jawa Sejati:
Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, Yogyakarta: Ombak, 2008. 24 I Wibowo dan Thung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering, Masyarakat Tionghoa
pasca-persitiwa Mei 1998, Jakarta:Kompas, 2010, Hlm 31.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Dengan hadirnya berbagai partai menyertai pergantian dari era Orde Baru
menuju era Reformasi. Pemilu pertama setelah reformasi diadakan pada tanggal 7
Juni 1999 sesuai peraturan Tap MPR No. XIV/MPR/1998 tentang Pemilihan
Umum. Penyelenggaraan pemilu ini dianggap paling demokratis bila dibandingkan
dengan pemilu-pemilu sebelumnya.25 Sayangnya tidak ada perwakilan partai
Tionghoa untuk DPRD diwilayah Banten. Dari 48 partai peserta, hanya 13 partai
politik yang memperoleh kursi di DPRD Banten. Dari 13 partai, 9 di antaranya
adalah partai berbasis muslim, sedangkan 4 di antaranya adalah Golkar, PDI-P,
PAN, PDI.26 Dengan ini tidak ada perwakilan dari etnis Cina Benteng dari wilayah
Tangerang di DPRD Banten.
Setelah berhasil mengadakan pemilihan umum yang demokrasi untuk
pertama kalinya serta hadir sebagai tokoh yang membuka kebebasan bagi etnis dan
kelompok minoritas di Indonesia, kiprah Bacharudin Jusuf Habibie sebagai
Presiden ke-3 hanya bertahan 517 hari.27 Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak
pidato pertangung jawaban Presiden Habibie yang dilakukan pada 14 Oktober,
25 Indarja, Perkembangan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Di Indonesia,
Masalah - Masalah Hukum, Jurnal, Jilid 47 No. 1, Januari 2018, Hlm 67. 26 Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai,
Jakarta:Gramedia Pustaka, 2005, Hlm 118. 27 Habibie terkenal atas kejeniusan dirinya, namun Habibie tidak luput dari rasa
kemanusiaan dan keadilan. Kebijakan atas kebebasan dan keadailan bagi suatu kelompok
atau golongan masyarkat, tidak saja dilakukan Habibie terhadap golongan etnis Tionghoa,
Pada tanggal 30 Agustus 1999, Timor-timur akhirnya dapat melakukan Referendum antara
memilih menjadi bagian Indonesia atau memisahkan diri dengan mandiri. Hasilnya 78,5%
suara memilih untuk merdeka. Pada tanggal 20 Oktober 1999, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia. Dengan
keputusan MPR Indonesia yang mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan
Indonesia, Timor Timur secara resmi berpisah dari Indonesia, Lihat Ardli Johan Kusuma,
Pengaruh Norma HAM Terhadap Proses Kemerdekaa Timor Leste dari Indonesia, Jurnal
Ilmu Pemerintahan, 7 (1), April, 2017, Hlm 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
dikarenakan dianggap tidak becus sebagai Presiden Indonesia dalam memimpin
negeri ini terutama pada kasus pengadilan Soeharto dan lepasnya Timor-timur dari
Indonesia.28
Pada Sidang Umum MPR yang diadakan 20 Oktober 1999, K.H.
Abdurrahman Wahid secara demokratis terpilih sebagai Presiden RI keempat
dengan perolehan suara 373, unggul atas megawati dengan perolehan suara 313.29
Ada beberapa hal yang menjadi kekuatan dan latar belakang kemenangan dan
pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Gus Dur dikenal sebagai
seorang yang toleran dengan sangat memperhatikan bangsa Indonesia yang
majemuk terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama. Oleh karena itu dirinya diyakini
sebagai sosok yang dapat diterima oleh semua golongan. Khususnya dalam hal
toleransi keberagaman, Gus Dur tahu benar bahwa ancaman paling berbahaya
terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah berupa konflik agama dan
etnis.30
Komitmen K.H. Abdurrahman memperjuangkan pluralisme melewati
banyak ujian. Jauh sebelum dirinya menjabat sebagai Presiden, pada tahun 1995-
1997 terjadi kerusuhan SARA di Jawa Timur dan Jawa Barat. Gereja dan beberapa
toko milik orang Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Kerusuhan ini tujuannya
untuk mendiskreditkan K.H. Abdurrahman bahwa visi Islam toleran yang
28 Lihat, https://majalah.tempo.co/read/97121/pertanggungjawaban-habibie-
diterima-tapi , diakses 21-04-2020, pukul 22.51 WIB. 29 M.Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, Yogyakarta:Pustaka
Marwa, 2010, Hlm 53. 30 Tuk Setyohadi, Sejarah perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa,
Jakarta: CV Rajawali, 2002, Hlm 189
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
diusungnya telah gagal. Merespon kekerasan yang terjadi saat itu (1997-1998),
K.H. Abdurrahman mengerahkan para pemuda NU di setiap daerah untuk
mencegah teror lebih lanjut dengan melakukan patrol keamanan di Gereja dan toko
Tionghoa.31
Saat menjabat sebagai Presiden, tindakan pertama Gus Dur untuk
menyatukan persatuan terutama bagi etnis Tionghoa adalah dengan menunjuk Kwik
Kian Gie sebagai Menteri Koordinator Keuangan dan Industri. Kwik Kian Gie
adalah seorang Tionghoa kelahiran Jawa Tengah tahun 1935 yang juga menjadi ahli
ekonomi dari PDI-P. Pilihan Gus Dur ini sangat menggemparkan, karena jabatan
ini adalah posisi kabinet tertinggi yang pernah diperoleh etnis Tionghoa dalam
sejarah Republik Indonesia, meskipun penunjukkan Kwik mewakili PDI-P dan
bukan komunitas Tionghoa. Etnis Tionghoa lainnya yang diangkat dalam posisi
tinggi kenegaraan adalah Sofjan Wanandi (Liem Bian Khoon) seorang Tionghoa
kelahiran Sumatera Barat tahun 1941, mantan rekan dekat Soeharto yang menjadi
lawan politik pada hari-hari terakhir rezim Orde Baru. Sofjan Wanandi diangkat
sebagai ketua Komite Ekonomi Nasional. Wanandi mewakili pengusaha sementara
Kwik mewakili nasionalis Indonesia. Meskipun pada akhirnya karir Kwik Kian Gie
sebagai Menteri Koordinator Keuangan dan Industri hanya bertahan kurang lebih 1
tahun, yang kemudian digantikan oleh Rizal Ramli.32
Gus Dur menyatakan bahwa etnis Tionghoa adalah warga Negara Indonesia
dan bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia sebagaimana mereka sudah hadir
31 Rumadi, Damai Bersama Gusdur, Jakarta:Kompas, 2010. Hlm 69-70. 32 Leo Suryadinata, “Chinese Politics In Post-Suharto’s Indonesia. Beyond the
ethic Approach?”, Jurnal, Asian Survey, Vol. 41, No. 3, May/June, 2001, hlm.521
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
di negeri ini lebih dari 500 tahun lamanya. Gus Dur juga menerima budaya etnis
Tionghoa termasuk agama dan kepercayaan mereka.33
Dalam konsep kewarganegaraan, semua warga negara Indonesia sama di
mata hukum, tetapi dalam praktiknya warga negara Indonesia dari kelompok atau
kategori tertentu lebih diutamakan haknya dibanding warga negara dari kelompok
lainya. Inilah yang terjadi sebelum maupun selama pemerintah Orde Baru berkuasa
terhadap etnis Tionghoa, ada pembatasan didalam kuota perguruan tinggi, selain
itu, mereka juga dibatasi dalam menjalankan kegiatan kebudayaan dan keagamaan,
dan kegiatan lainya yang telah dibahas di bab sebelumnya. Baru setelah masa pasca-
Soeharto, beberapa peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif
dicabut.
Gus Dur kemudian menghapus peraturan Orde Baru, seperti Inpres
no.14/1967 melalui Keppres No 6/2000 pada tanggal 12 Juli 2000. Gus Dur
memberikan kebebasan bagi etnis Tionghoa untuk merayakan kegiatan beragama,
serta berbudaya. Maka tidak heran bila Gus Dur dianugerahi gelar Bapak Tionghoa
Indonesia. Keputusan politik Gus Dur tersebut juga membuka ruang dan inisiatif
pembauran dengan mencabut berbagai peraturan yang diskriminatif dalam bidang
kewarganegaraan, catatan sipil, dan anti diskriminatif.34
33 Ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, ia mencabut peraturan No 14/1967
yang membatasi praktik adat istiadat dan agama Tionghoa pada tingkat pribadi. Dirinya
juga merayakan tahun baru Cina secara terbuka dengan masyarakat Tionghoa yang
disponsori oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin). Lihat Leo
Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010. Hlm
231. 34 Tidak hanya itu, berbagai ekspresi kebudayaan dan tradisi, tidak saja dalam
konteks Tionghoa yang dapat diselenggarakan secara merdeka. Salah satunya adalah
perayaan budaya “Seren Tahun”34 yang diperingati masyarakat Karuhun Sunda di Cigugur,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Salah satu contoh kebebasan mempraktekan kebudayaan, adalah kebebasan
mempertunjukan atraksi Liong-Barongsai dan sebagianya di muka umum.35
Kemudian pencabutan pelarangan barang-barang cetakan dalam berbahasa
Tionghoa. Karenanya, berbagai koran dan majalah berbahasa Tionghoa
bermunculan di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Bahkan media televisi
Indonesia Metro TV, setiap Senin - Jumat pukul 10.00 WIB menyediakan acara
dengan nama Metro Xin Wen dengan bahasa pengantar Tionghoa. Acara ini
disiarkan sampai keberbagai negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.36 Di
tingkat lokal, paska pengakuan tersebut Vihara Padamuttara kembali menggunakan
nama Klenteng Boen Tek Bio, sedangkan untuk Vihara Nimmala namanya tetap
digunakan dan dijadikan satu dengan Klenteng Boen San Bio.
Semasa hidupnya, Gus Dur memberikan banyak sumbasih bagi Indonesia.
Yang terbesar adalah perjuangan Gus Dur yang gigih dalam mengusung pluralisme.
Sebelum meninggal, Gus Dur berpesan: “Saya ingin di kuburan saya ada tulisan:
Di sinilah dikubur seorang pluralis”.37
Semasa menjabat sebagai Presiden, Gus Dur mengusahakan solusi damai
lewat perundingan dibandingkan operasi militer dalam mengatasi gerakan
pemisahan diri seperti di Irian Jaya dan Aceh. Bagi Gus Dur, solusi bagi daerah-
daerah tersebut bukanlah referendum mengenai kemerdekaan, melainkan suatu
Kuningan, akhirnya juga dapat terselenggara setelah berdasawarsa mengalami pelarangan.
Lihat, Cahyo. N Agus, Salah Apakah Gus Dur, IRCiSoD, Yogyakarta, 2014. Hlm 136. 35 Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta Selatan: Transmedia
Pustaka, 2008. Hlm 1091. 36 https://www.metrotvnews.com/program/metro-xinwen di akes pada tanggal 19-
02-2020 pukul 12. 06 Wib 37 Rumadi, Damai Bersama Gusdur, Jakarta: Kompas, 2010. Hlm 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
bentuk otonomi daerah yang membuat pemerintahan daerah dapat menentukan
kebijakan-kebijakan tertentu sesuai kebutuhan daerah.38
Sesudah pengakuan agama Konghucu di Indonesia, pada 19 Januari 2001,
Menteri Agama RI mengeluarkan keputusan No.13/2001 yang menetapkan Imlek
sebagai hari libur fakultatif, meskipun belum ditetapkan sebagai hari libur nasional
seperti hari-hari raya agama-agama lainya di Indonesia.39
Perjuangan Gus Dur juga tak selalu mulus tanpa hambatan, Meskipun
menilai Gus Dur sebagai tokoh kontroversial, mantan ketua MPR (1999-2004)
Amien Rais sangat setuju apabila Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan nasional
sebagai tokoh pluralisme. Dia berpendapat, Gus Dur merupakan tokoh yang
diterima segenap bangsa Indonesia. “Saat menjadi Presiden Gus Dur melakukan
desakralisasi kekuasaan dengan menjadikan Istana sebagai rumah rakyat, tidak ada
lagi keangkeran kekuasaan”, kata Amien Rais.40
Sejak pemerintahan Habibie dan Gus Dur, kegiatan perkumpulan Tionghoa,
kegamaan, perayaan budaya kembali semarak. Etnis Tionghoa pun tak lagi takut
untuk menampilkan jati dirinya. Tak heran menjelang perayaan keagamaan
Konghucu itu suasana di kota-kota yang memiliki warga mayoritas orang-orang
Tionghoa semarak dengan hiasan-hiasan yang didominasi warna merah. Tidak
ketinggalan pusat-pusat perbelanjaan melakukan hal serupa. Bahkan media
elektronik pun tak mau kalah dengan menayangkan hal-hal yang berbau Imlek.
38 Barton Greg, Biografi Gus Dur: the authorized biography of Abdurrahman
Wahid, LKiS, Yogyakarta, 2003, Hlm 385. 39 MN.Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, Yogyakarta:LKiS, 2012, Hlm 89. 40 Rumadi, Op Cit, Hlm 73.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
BAB IV
AKHIRNYA DIAKUI
4.I Keadaan dan Tradisi
Menurut Wahyu Wibisana, dalam bukunya yang berjudul Cinbeng
Eksistenti Peranakan Tionghoa Tangerang yang mengutip dari Kitab Sunda Tina
Layang Parahyangan, kedatangan pertamanya etnis Cina Benteng terjadi pada
tahun 1407 di Teluk Naga.1 Karenanya pembauran dan pembaharuan dengan
masyarakat setempat menjadi suatu yang lumrah. Meskipun pada
perkembangannya terdapat banyak tantangan seperti kebijakan diskriminasi dari
pemerintahan dan beberapa kerusuhan yang terjadi seperti tahun 1946 dan 1998,
faktanya pembauran tetap berjalan. Apalagi setelah diterbitkanya Kepres No.
6/2000 yang membebaskan kegiatan beragama, serta berbudaya etnis Tionghoa.
Kini masyarakat luas lebih terbuka kepada budaya Tionghoa sehingga pembauran
antara masyarakat setempat dan etnis Cina Benteng lebih terasa.2
Segala kegiatan etnis Tionghoa sudah kembali dijalankan semenjak era Gus
Dur. Salah satu tradisi dari etnis Cina Benteng yang paling bisa dirasakan
1 Wibisana Wahyu, CINBENG; Eksistensi Peranakan Tionghoa Peranakan,
Tangerang:Pustaka Klasik, 2006. Hlm 52. Selain dari buku Wibisana, penulis juga
menemukan penggunaan sumber dari kitab Sunda Tina Layang Parahyangan di Majalah,
Suarababa, Exploring the roots of Peranakan, November 2018, Hlm 41 dan juga di
Museum Benteng Heritage, Tangerang.
2 Sholahudin Al Ayubi, “Pembauran Dalam Masyarakat Majemuk di Banten”,
Jurnal, IAIN Sultan Maulana Hassanuddin Banten, Volume 10, No. 2, Desember 2016,
Hlm, 339.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
kehadirannya di era Reformasi adalah perayaan Peh Cun.3 Perayaan ini merupakan
agenda rutin setiap tahun yang dilaksanakan setiap bulan ke-5 menurut kalender
Tionghoa atau di pertengahan tahun antara bulan Mei, Juni atau Juli kalender
masehi. Sejak diselenggarakannya kembali pada tahun 2000, meskipun perayaan
Peh Cun adalah perayaan tradisi etnis Tionghoa, perayaan ini terbuka bagi
masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam kegiatannya seperti mendirikan telur
saat tengah hari, memakan bacang, perlombaan balap perahu naga dan juga
menangkap bebek. Dengan ramainya masyarakat yang mengikuti kegiatan tersebut,
pemerintahan kota Tangerang berinisiatif mendukung kegiatan Peh Cun untuk
masuk ke dalam rangkaian acara yang digelar oleh pemerintah kota yaitu Festival
Cisadane.4 Karenanya setiap kali Festival Cisadane akan diselenggarakan,
pembukaannnya adalah ritual tradisi Peh Cun yang diselenggarakan Sungai
Cisdane, pinggiran jalan Kali Pasir.
Dalam perayaan Festival Cisadane, bukan hanya perayaan Peh Cun saja,
tetapi juga diisi dengan berbagai penampilan kebudayaan lainya seperti tarian
cokek yang diiringi dengan musik gambang kromong dan berbagai budaya dari luar
3 Perayaan Peh Cun atau Festival perahu naga di Tangerang sudah sangat terkenal,
bahkan Liliis Suryani pun menyanyikan lagu yang berjudul Nonton Peh Cun di Kali
Tangerang yang dirilis pada tahun 1970. Lihat, Majalah, Suarababa, Exploring the roots
of Peranakan, November 2018, Hlm 50.
4 Terdapat filosofi dalam pelepasan bebek-bebek dalam perayaan Peh Cun,
diharapkan dapat membuat hidup orang yang melepasnya dapat lebih berkah, karna selain
membuang ‘kesialan’, dengan melepaskan bebek bisa memberikan keuntungan bagi yang
berhasil mendapatkannya. Baca, Makalah non Seminar, Rahmat Kahfi, Festival Pe’Cun
Dalam Komunitas Cina Benteng Tangerang, Depok, Universitas Indonesia, 2014, Hlm 11-
13.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Tangerang.5 Tentu saja kegiatan tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat
Tangerang maupun luar Tangerang seperti dikatakan oleh Wahidin Halim sebagai
Wali Kota Tangerang periode 2003-2008 dan 2008-2013.
Kita ingin menampilkan bahwa perayaan di sungai itu bisa sangat unik seperti
dalam Festival Cisadane ini. Festival ini akan kita gelar terus setiap tahun,
Masyarakat Kota Tangerang terdiri dari berbagai macam budaya. Seperti Jawa,
Sunda, Padang, Batak, Tionghoa dan masih banyak lagi. Jadi Festival ini untuk
mengapresiasi berbagai budaya masyarakat di Kota Tangerang supaya semua
orang mengetahuinya.6
Selain memberikan hiburan bagi masyarakat kota Tangerang yang hadir
pada perayaan tersebut, Festival Cisadane tentu juga ada manfaat lainya. Selain
memelihara budaya leluhur, di acara ini juga mendukung pembauran budaya baik
dari etnis Tionghoa, etnis Jawa, maupun etnis Betawi dan etnis lainya. Kegiatan ini
berhasil menambahkan penghasilan dari sisi ekonomi bagi masyarakat setempat
yang berprofesi sebagai pedagang karena dapat menjajakan dagangannya di
sepanjang pinggiran Sungai Cisadane dan Pasar Lama.7 Selain itu Pemerintah kota
Tangerang juga mendukung dengan menghadirkan stand pameran dari berbagai
5 Tari Cokek adalah sebuah tari yang lahir dari perpaduan antara Betawi dan
Tionghoa, tarian cokek berfungsi untuk tarian hiburan yang ditampilkan ketika ada acara-
acara besar, seperti pernikahan dan menyambut tamu atau pembukaan suatu acara, Lihat
Makalah, Clarissa Amelinda, Eksistentsi Tari Cokek Sebagai Hasil Akulturasi Budaya
Tionghoa Dengan Budaya Betawi, Depok, Universitasi Indonesia, 2014, Hlm 3.
6 Baca, http://tangerangnews.com/kota-tangerang/read/7325/Festival-Cisadane-
Dibuka-Harap-Tarik-Wisatawan-Internasional , diakses pada tanggal 04 Mei 2020, Pukul
22.08 WIB.
7 Rahmat Kahfi, Festival Pe’Cun Dalam Komunitas Cina Benteng Tangerang,
Makalah non Seminar, Depok, Universitas Indonesia, 2014, Hlm 14.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
lembaga pemerintahan, pendidikan, unit kegiatan masyarakat, dengan berjualan
produk yang berasal dari Tangerang.8
Gambar 4. Perayaan Peh Cun di Sungai Cisadane
Sumber : http://tangerangnews.com/kota-tangerang/read/2783/Festival-Cisadane-
Ke-13-Digelar-Sepekan
Selain kegiatan Peh Cun, masyarakat Tionghoa juga kembali dapat merayakan
Imlek sebagai tahun baru Tionghoa yang diselenggarakan dengan ramai. Pada
peringatan Imlek yang ke-8 tahun 2007, Presiden ke-4 Susilo Bambang Yudhoyono
menyatakan pidato tentang keberagaman Indonesia.
Tidak boleh lagi ada perlakuan yang tidak adil di negeri ini. Tidak boleh ada saling
curiga diantara anak bangsa. Marilah kita bangun dan masuki era baru kehidupan
berbangsa dan bernegara yang penuh harmoni dengan semangat dan keikhlasan
yang tinggi.9
8http://tangerangnews.com/kota-tangerang/read/7325/Festival-Cisadane-Dibuka-
Harap-Tarik-Wisatawan-Internasional, diakses pada tanggal 04 Mei 2020, Pukul 22.14
WIB.
9 Baca, https://setneg.go.id/baca/index/presiden_pada_perayaan_imlek_2558,di
akses pada 28-04-2020, Pukul 21.19 Wib.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Dukungan dari pemerintah tersebut sangat disambut baik bagi masyarakat etnis
Tionghoa untuk kembali berkumpul bersama dan beribadah di Klenteng di masing-
masing daerah, termasuk seluruh klenteng di daerah Tangerang. Situasi ini juga
dimanfaatkan oleh pengemis dadakan yang mendatangi Klenteng Boen Tek Bio
maupun Klenteng Boen San Bio hal ini disebabkan oleh penggambaran etnis
Tionghoa sebagai orang kaya dan eksklusif.10 Masyarakat yang berasal dari
golongan rendah memanfaatkan situasi tersebut agar mendapatkan angpao yang
hampir dilakukan setiap tahunya dengan intesitas yang semakin melonjak.
Menanggapi hal tersebut Hermanto sebagai pengurus klenteng Boen Tek Bio
mengatakan;
Udah biasa kaya begitu, dari tahun ketahun selalu ada. Biasanya datangnya itu
sebelum hari ini (imlek) sampai besok, trus mereka tidur di pinggiran toko. Kalau
daerahnya beda-beda ya, ada yang mauk, pamulang, atau ya sekitaran-sekitaran
sini juga ada.11
10 Asgart. sofian munawar, Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang: potret
pembauran di tingkat lokal. Kementrian riset dan teknologi, 2006, Hlm 2.
11 Wawancara dengan Hermanto (50), Tangerang, 26 Januari 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Gambar 5. Pengemis dadakan yang berada di Klenteng Boen Tek Bio
Sumber: Dokumen penulis, Januari 2020
Hadirnya Imlek juga dimanfaatkan beberapa pasar swalayan untuk menarik
perhatian masyarakat. Biasanya jika suasana mendekati Imlek atau saat hari raya
Imlek, pusat perbelanjaan yang berada di Tangerang selalu mengadakan acara
Barongsai atau kembang api, serta mengadakan diskon yang menarik pengunjung.12
Mungkin dulu agak tertutup eksklusif dan hanya untuk Tionghoa aja, dan hari ini
kita bersyukurkan artinya Imlek juga ada diskon ada kasih angpao. Makanya kan
kalau sekarang ke mall kan rame, diskon-diskon trus kan juga ada barongsai juga
apalagi kalau hari libur begini kan orang-orang pada keliling, trus kalau lihat
barongsai kan juga jadinya lumayan lah buat hiburan. Jadi bentuk silahturahmi
antar lintas iman dan lintas golongan karna jadi tau gitu, owh budayanya etnis
Tionghoa tuh begini.13
12 Baca, https://travel.tempo.co/read/378786/ada-naga-80-meter-di-summarecon-
mal-serpong , diakses pada tanggal 11 Mei 2020, 13.50 WIB
13 Wawancara dengan Arfan(29), Tangerang, 26 Januari 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Perihal kerukunan antara etnis Cina Benteng dengan masyarakat setempat
juga terjadi disekitaran prasasti Djamban, seperti diungkapkan oleh Kong Lim Edi
(61 tahun).14 Setiap kali perayaan Imlek dapat dilihat banyak masyarakat setempat
datang menghampiri prasasti Djamban untuk menunggu etnis Cina Benteng yang
berdoa serta memberikan persembahan saat mereka selesai berdoa.
Biasanya yang berdoa kesini tuh punya harapan, nah harapannya tuh dibantu
dengan bawa sesembahan, misalnya mereka doa untuk perusahaan biar jalan
berjalan dengan lancar, itu sesembahannya belut, karna kan belut tuh licin. Trus
kalau mau panjang umur itu kura-kura, tahan lama. Kalau mau usahanya dikenal
banyak orang sampai keluar-keluar daerah itu burung, karna mereka kesana
kemari.15
14 Prasasti tangga djamban dibuat pada tahun 1873, Prasasti ini terletak persis di
pinggir Sungai Cisadane, Prasasti ini dibuat untuk menghormati 81 orang Tionghoa, yang
berperan dalam pengumpulan uang sebesar 18.156 ton (ringgit belanda). Uang itu
digunakan untuk membuat 30 jalan, perahu, dan lainya di Tangerang. Oleh karena itu,
masyarakat Cina Benteng turut berperan dalam pembangunan khususnya di Tangerang.
Lihat, Roddasih Ekaputri Juliana, “Fungsi dan Makna Museum Benteng Heritage dalam
Pelestarian Budaya Cina di Kota Tangerang”, Skripsi, Sumatra, Universitas Sumatra Utara,
2017, Hlm 7.
15 Wawancara dengan Kong Lim Edi, Penjaga Prasasti Djamban, Tangeang, 25
Januari 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Gambar 6. Etnis Tionghoa yang berdoa di Prasasti Djamban dan membawa
sesembahan
Sumber: Dokumen penulis, Januari 2020
Kegiatan berdoa di Prasasti Djamban tidak hanya dilakukan oleh etnis Cina
Benteng saja, tetapi juga mereka yang datang dari luar daerah. Mereka memiliki
kepercayaan bahwa dengan berdoa di sini harapan mereka dapat terwujud. Disaat
yang bersamaan, mereka melepaskan hewan seperti ikan lele, ikan emas maupun
belut di Sungai Cisadane. Banyak masyarakat setempat memanfaatkan situasi
tersebut dengan, menangkap hewan-hewan yang dilepaskan di Sungai. Bagi Kong
Lim Edi, kegiatan ini merupakan hal yang sudah biasa terjadi setiap tahun dan dapat
membantu satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan antar sesama dengan
mengikhlaskannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Selain Klenteng Boen Tek Bio, Klenteng Boen San Bio juga memberikan
contoh pembauran. Contohnya saat Klenteng Boen San Bio (biasa disebut Vihara
Nimmala) memberi nama salah satu ruangannya dengan nama Ruang Embah Raden
Surya Kencana Mangkubumi. Tokoh yang merupakan bangsawan Banten di masa
lalu ini dipercaya merupakan pendukung pendirian klenteng Boen San Bio
sehingga tempat ibadah ini dapat dibangun meskipun berada di tengah-tengah
perkampungan warga pribumi yang beragama Islam. Ruang tersebut disediakan
secara khusus sebagai tempat persinggahan Raden Surya Kencana ketika melawat
di Tangerang. Karenanya warga setempat yang beragama Islam biasa datang untuk
melakukan petilasan di Klenteng Boen San Bio16 Selain itu, luasnya lahan kosong
Klenteng Boen San Bio juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk
mengadakan kegiatan seperti puskesmas ataupun senam sehat yang juga diadakan
oleh pengurus klenteng.
Pada era kini masyarakat luas lebih terbuka kepada budaya Tionghoa. Kita
bisa melihat pusat-pusat perbelanjaan yang penuh dengan dekorasi Imlek,
pertunjukan barongsai, dan ramainya pemberitaan media massa. Kondisi ini hanya
bisa terjadi setelah turunnya rezim Orde Baru.17 Pengalaman etnis Tionghoa semasa
Orde Baru adalah salah satu hal yang tidak bisa dilupakan etnis Tionghoa, termasuk
Cina Benteng.
16 Asgart. sofian munawar, Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang: potret
pembauran di tingkat lokal. Kementrian riset dan teknologi, 2006, Hlm 36.
17 Sholahudin Al Ayubi, “Pembauran Dalam Masyarakat Majemuk di Banten”,
Jurnal, IAIN Sultan Maulana Hassanuddin Banten, Volume 10, No. 2, Desember 2016,
Hlm, 340.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Semasa Orde Baru, saya untuk ambil passport saja harus baca Pancasila sama
petugasnya, atau dipanggil ex-PKI, tapi bully-bully itu, buat saya tidak menaruh
sakit hati sama sekali. Saya tahu ada yang salah sama ini (negara,pemerintah)
makanya saya riset semua untuk menemukan titik terang untuk etnis Tionghoa dan
bisa diketahui oleh masyarakat luas18
Situasi itulah yang menjadi alasan Udaya Halim membangun Museum Cina
Benteng yang dimulai sejak 2009. Pembangunan ini dimulai dengan memilih salah
satu bangunan tua berasitektur tradisional tionghoa bersejarah dan terletak di
tengah-tengah Pasar Lama, tepatnya di jalan Cilame No.20.19 Tempat ini juga
dikenal sebagai Zero Point kota Tangerang. Bangunan tersebut diyakini memiliki
nilai historis yang tinggi berkaitan dengan etnis Tionghoa. Di dalam bangunan
ditemukan adanya relief perjalanan jenderal Kwan Seng Tek.20 Udaya Halim
berharap dengan dibangunnya museum tersebut, etnis Tionghoa termasuk Cina
Benteng dan masyarakat setempat dapat merasakan sebagai bagian dari bangsa
Indonesia.
18 Wawancara dengan Udaya Halim, Tangerang 26 Januari 2020.
19 Pecinan pasar lama, salah satu pusat sejarah kota tangerang yang masih
menampakan sisa-sisa masa lampau adalah kawasan ini. Letaknya tidak jauh dari Sungai
Cisadane, Pasar Lama Tangerang merupakan pasar tradisional tertua yang pernah ada dan
merupakan cikal bakal Kota Tangerang. Memasuki kawasan pasar lama, nuansa
keberadaan etnis tionghoa sangat terasa. Mulai dari bangunan rumah penduduk yang
beberapa masih mempertahankan bentuk aslinya, sampai pada makanan yang dijual
disepanjang jalan. Sebagai tempat bernaung etnis Tionghoa, di kawasan ini terdapat
Klenteng Boen Tek Bio, juga museum heritage yang juga merupakan sumber sejarah etnis
Tionghoa di Tangerang. Baca, Rini intama, Sejarah dan Budaya Tangerang dalam puisi,
Kidung Cisadane, Jakarta: Kosa kata kita, 2016, Hlm 12
20 Udaya Halim, Benteng Heritage, Tangerang: MBH, Hlm 2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Dengan didirikannya museum ini, saya ingin mengimplementasikan bahwa
yang hanya bisa mempersatukan itu adalah kebangsaaan. Dengan hal itu,
setiap orang akan merasakan ini home. Serta, memberikan ruang untuk
orang Tionghoa supaya mereka merasakan this is my home.21
Selain bisa membaca atau melihat berbagai peninggalan etnis Tionghoa
Indonesia, Museum Benteng memiliki kegiatan Heritage Walk. Kegiatan ini
merupakan ajakan bagi mereka yang ingin mengenal sejarah Pasar lama sebagai
cikal bakal kota Tangerang, sejarah kehadiran Cina Benteng di Tangerang dan
peran etnis Tionghoa di Indonesia. Kegiatan ini tentu saja tidak dilakukan secara
eksklusif bagi etnis Tionghoa saja, tetapi bagi seluruh masyarakat mana saja yang
memang tertarik terhadap perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia terutama
Cina Benteng, Pasar Lama, serta Kota Tangerang. Kegiatan ini bisa diikuti yang
berasal dari berbagai lapisan seperti pemerhati budaya, guru, mahasiswa atau
masyarakat umum.22 Gambaran keterbukaan ini diungkapkan oleh Ratna Lestrari,
pemudi berasal dari Depok, Jawa Barat yang mengikuti kegiatan Heritage Walk
bekerja sama dengan Komunitas Historia Indonesia (KHI).
Sebenernya aku suka sama sejarah juga, ikut ini juga karna KHI karena dulu sering,
terus ngeliat ada postingan soal acara temanya Cina Benteng. Gapernah denger
sebelumnya jadinya pengen ikutan aja.23
21Lihat,
https://yogyakarta.kompas.com/read/2016/02/05/143400627/Jelang.Imlek.Yuk.Berkunjun
g.ke.Museum.Benteng.Heritage , diakses 02 Mei 2020, Pukul 23.56 WIB
22 Wawanca dengan Utami, Humas Benteng Heritage, 26 januari 2020.
23 Wawancara dengan Ratna Lestari(20) , dalam kegiatan yang diselenggarakan
oleh Komunitas Historia Indonesia “Jejak sejarah Cina Benteng”, 26 Januari 2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Meskipun sudah memasuki era Reformasi dan sudah mendapatkan
pengakuan dari pemerintahan Indonesia, situasi tersebut tidak berarti memberikan
jaminan etnis Tionghoa untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dan aman.
Faktanya pada tahun 2010 terjadi penggusuran terhadap 350 kepala keluarga yang
mayoritasnya adalah etnis Cina Benteng di bantaran kali Cisadane, Kecamatan
Neglasari, Kota Tangerang.24 Mengenai hal tersebut Udaya Halim memberikan
pendapat:
Hal itu sangat menyakitkan bagi saya ketika pejabat setempat mengatakan kalian
sudah tinggal disini turun temurun masih mau ganti keuntungan padahal mereka
itu bagian sejarah awal hadirnya Ciben disini, padahal kalau dilihat wajahnya
sudah tidak cina lagi, yang mereka butuhkan hanya tempat tinggal, mereka jadi
kuli pasar, tukang becak, wajah-wajah nya sudah kusam hitam, karena memang
sudah menjadi satu bagian dengan warga setempat.25
Penggusuran yang dilakukan oleh pemerintahan Kota Tangerang dilakukan
dengan alasan masyarakat Cina Benteng melanggar Perda No 18 tahun 2000
tentang Keindahan, Ketertiban, dan Keamanan (K3). Kebijakan ini digunakan oleh
pemerintahan Kota Tangerang karena akan dilakukannya pelebaran sungai
Cisadane.26 Beruntung penggusuran tersebut ditunda karena instruksi langsung dari
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kami menganggapi serius ada imbauan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
agar penggusuran rumah penduduk di bantaran kali ditunda sementara27
24 Wibisana Wahyu, Op Cit, Hlm 168.
25 Wawancara dengan Udaya Halim, Tangerang, 26 Januari 2020.
26 Wibisana Wahyu, Op Cit. Hlm 169.
27 Tanggapan dari Wahidin Halim setelah penggusuran tersebut harus dihentikan
Baca,https://nasional.kompas.com/read/2010/05/14/18222691/Walikota.Hentikan.Penggu
suran.Neglasari-3 , diakses pada tanggal 03 Mei 2020, Pukul 22.18 WIB..
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Bahkan kasus penggusuran tersebut juga mendapat perhatian Dewan
Perwakilan Rakyat yang memberikan surat panggilan kepada Wali Kota Tangerang
Wahidin Halim untuk melakukan konfrontasi dengan pihak warga Cina Benteng. 28
Tujuan DPR adalah mencegah agar tidak adanya kejadian yang tidak diinginkan,
Rencana penggusuran pada 27 april 2010, harus dihentikan karna kekhawatiran
kasus kerusuhan Tanjung Priok akan terulang di Tangerang.29
Gambar 7. Kerusuhan saat penggusuran di Tangerang 2010
Sumber : https://metro.tempo.co/read/240203/warga-cina-benteng-masih-
bertahan
28 Komisi II (Dalam Negeri, Sekretariat Negara, Pemilu) dan Komisi III (Hukum,
HAM, dan keamanan)
29 Kata wakil ketua komisi III Fahri Hamsyah, Baca,
https://nasional.kompas.com/read/2010/04/21/13281616/DPR.Hentikan.Pembongkaran.C
ina.Benteng. Di akses pada tanggal 03 Mei, pukul 22.30 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Dengan himbauan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR,
akhirnya penggusuran tersebut ditunda, meskipun beberapa bangunan seperti
pabrik kecap yang menjadi tempat mencari nafkah sudah tergusur.30
Pada saat penggusuran tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan Keppres No.12/2010 di bulan Juni 2010 tentang mencabut
Keputusan Presiden No.64/1986 yang mengatur Pengendalian Penggunaan Tanah
dan Ruang Udara di Sekitar Bandar Udara Internasional Soekarno – Hatta.31
Dengan dikeluarkan kebijakan tersebut, secara tidak langsung pemerintah
mendukung kehadiran masyarakat setempat.
Meskipun penggusuran telah ditunda, kondisi ini tetap membuat masyarakat
setempat khawatir. Tepat pada perayaan Imlek 6 Februari 2011, etnis Cina Benteng
di kawasan Neglasari merayakan dengan menggelar aksi 1000 lilin dengan harapan
ada titik temu dan keadilan dari rencana penggusuran tersebut.32
Selain terjadi penggusuran etnis Cina Benteng, pesatnya perkembangan
kawasan industri di daerah Tangerang dan sekitarnya lambat laun berimbas kepada
tempat tinggal kelompok Cina Benteng. Jika dulu pada masa Orde Baru mereka
digilas oleh penguasa, pada era Reformasi mereka kembali digilas oleh para
30 Wibisana Wahyu, CINBENG; Eksistensi Peranakan Tionghoa Peranakan,
Tangerang:Pustaka Klasik, 2006. Hlm 170.
31 Keppres No.64 1986 sudah dibahas di Bab 2.
32 Baca, http://tangerangnews.com/kota-tangerang/read/4249/a , diakses pada
tanggal 04 Mei 2020, Pukul 00.33 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
pengusaha atau pemilik modal.33 Hal tersebut dapat dilihat dalam perkembangan
daerah Neglasari dengan hadirnya Bandara Soekarno-Hatta, kawasan yang
sebelumnya adalah tempat tinggal dan lahan pertanian, kini telah berubah menjadi
kawasan perumahan, tempat kantor perwakilan dari berbagai maskapai Bandara
Soekarno-Hatta.34
Bandara Soekarno Hatta menjadi salah satu dari sembilan bandara tersibuk
di dunia pada periode tahun 2011-2012.35 Tapi hal tersebut tidak berarti bagi
masyarakat Neglasarai, dikarenakan tetap tingginya tingkat kemiskinan.36
Menanggapi kondisi kemiskinan di daerah Neglasari, Wali Kota Tangerang,
Wahidin Halim merasa kehadiran Bandara tersebut belum memberikan dampak
besar bagi masyarakat sekitar karena faktanya belum berhasil membebaskan warga
setempat dari jurang kemiskinan:
Saya secara pribadi melihat, belum banyak yang dilakukan BSH (Bandara
Soekarno Hatta) untuk warga saya yang ada di Neglasari dan Benda,
pemberdayaan ekonominya yang kurang, Jangan sampai, keberadaan BSH ini
tidak punya nilai ekonomis bagi warga Kota Tangerang, dan juga warga sekitar
bandara.37
33 Wibisana Wahyu, CINBENG; Eksistensi Peranakan Tionghoa Peranakan,
Tangerang:Pustaka Klasik, 2006, Hlm 170.
34 http://www.bumn.go.id/angkasapura2/berita/303 diakses 20 Mei 2020, Pukul
15.34 WIB.
35 https://bandarasoekarnohatta.com/bandara-soekarno-hatta-cengkareng , diakses
10 Mei 2020, Pukul 00.05 WIB.
36 https://tangerangnews.com/kota-tangerang/read/5978/DPRD-Tuding-AP-II-
Tak-Perhatikan-Warga-Sekitar-Bandara diakses 20 Mei 2020, Pukul 15.47 WIB.
37 https://economy.okezone.com/read/2012/02/29/452/584933/bandara-soekarno-
hatta-belum-bernilai-ekonomis , diakses 10 Mei 2020, Pukul 00.07 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Pada tanggal 25 Agustus 2011 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Serang (BP3S) menetapkan cagar budaya yang berada di blok kota lama Tangerang
yang usianya sudah lebih dari 50 tahun, diantaranya: Klenteng Boen Tek Bio,
Rumah Arsitektur Cina (Museum Benteng Heritage), Masjid Jami dan Makam Kali
Pasir. Ini merupakan sebuah tanda pengakuan dari pemerintahan Banten terhadap
bangunan yang memiliki ciri etnis Tionghoa,38 selain itu pembangunan dari Masjid
Jami dan Makam Kali Pasir sendiri merupakan pemberian dari etnis Tionghoa yang
beragama muslim sebagai dukungan bagi masyarakat setempat yang beragama
muslim. Hal tersebutlah yang membuat letak ibadah dari dari Masjid Jami dan
Makam Kali Pasir tidak terlalu jauh dari letak Klenteng Boen Tek Bio.39
Setelah penetapan Klenteng Boen Tek Bio sebagai cagar budaya kota
Tangerang, tepat satu tahun kemudian yaitu pada tanggal 6 Oktober 2012, Klenteng
Boen Tek Bio mengadakan tradisi yang telah berlangsung lebih dari seratus tahun.40
Tradisi ini dikenal dengan nama Gotong Toapekong, yaitu tradisi perarakan dengan
membawa patung dewa-dewa keluar dari klenteng. Kegiatan ini diadakan setiap 12
38 Andhi Seto Prasetyo, Titin Fatimah, Rita Padawangi, PERKEMBANGAN KOTA
LAMA TANGERANG DAN POTENSINYA SEBAGAI DESTINASI WISATA PUSAKA,
Jurnal, Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan, Vol.7 No.1, Oktober 2017, Hlm 19
39 Wawancara dengan Asep Kambali, Tangerang, 26 Januari 2020.
40 Perayaan Gotong Toa Pekong pertama kali dilakukan pada tahun 1844, pada
tahun tersebut Klenteng Boen Tek Bio melakukan pemugaran untuk pertama kalinya.
Untuk mempermudah renovasi Klenteng Boen Tek Bio sejumlah patung dewa-dewi seperti
Kwan Im dipindahkan menuju Klenteng Boen San Bio. Seteleh renovasi selesai, patung
dewa-dewi dipindahkan dari Klenteng Boen San Bio ke Boen Tek Bio dengan dilakukan
sebuah prosesi acara perarakan yang sekarang dikenal dengan gotong Toapekong. Perayaan
ini bertepatan dengan tahun Naga, sehingga perayaan Gotong Toa Pekong dilaksanakan
setiap 12 tahun kali, Baca Wibisana Wahyu, Cinbeng; Eksistensi Peranakan Tionghoa
Peranakan, Tangerang:Pustaka Klasik, 2006. Hlm 124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
tahun sekali yaitu bertepatan dengan tahun Shio Naga. Menurut kepercayaan
Tionghoa, Gotong Toapekong sendiri merupakan tradisi etnis Cina Benteng yang
mengarak patung Kha Lam Ya, patung Kwan Seng Tek Kun, dan terakhir patung
Ema Kwa Im.41 Upacara ini memiliki makna agar Tangerang terhindar dari
bencana.42
Gambar 8. Gotong Toapekong pada tahun 2012
Sumber: https://m.merdeka.com/foto/peristiwa/99241/20121006131613-dua-
naga-berjalan-di-arak-arakan-taopekong-001-mudasirdjoko-poerwanto.html
41 Wahidin Halim, Ziarah Budaya Kota Tangerang; Menuju Masyarakat
Berperadaban Akhlakul Karimah, Jakarta: Pendulum, 2005, Hlm 21
42 Gotong Toapekong tidak hanya diselenggarakan di Klenteng Boen Tek Bio saja,
tetapi juga dirayakan oleh berbagai Klenteng lain, seperti di Klenteng Tek Hay Kiong,
Tegal, Jawa Tengah dan Klenteng Toa Sai Bio, Jakarta. Tetapi ada perbedaan dari perayaan
Gotong Toa Pekong yang dirayakan di Klenteng Boen Tek Bio dengan Klenteng Tek Hay
Kiong dan Klenteng Toa Sai Bio. Jika Klenteng Klenteng Toa Sai Bio dam Klenteng Tek
Hay Kiong dirayakan setiap tahun di hari Cap Gomeh, Gotong Toa Pekong di Klenteng
Boen Tek Bio hanya dirayakan setiap 12 tahun sekali. Lihat,
https://nasional.kompas.com/read/2010/03/02/1539073/Gotong.Toa.Pekong..Wisata.Buda
ya.di.Pecinan dan https://www.negeripesona.com/2015/06/kirab-gotong-toa-pe-kong-
perayaan-cap.html , diakses pada tanggal 20-05-2020, Pukul 22.05 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Pada upacara Gotong Toapekong, tidak hanya budaya Tionghoa seperti
tarian Liong yang dilakukan oleh 20 orang atau tarian barongsai pada saat
perarakannya, tetapi lebih meriah dengan merangkul semua elemen masyarakat
sekaligus memberikan berkat. Seperti misalnya pada acara tersebut juga
menampilkan beberapa pertunjukan budaya yang berasal dari masyarakat setempat
dan etnis Jawa seperti penampilan tarian cokek yang diiringi musik Gambang
Kromong, tarian Barong, dan tarian Reog Ponorogo.43 Pertunjukan ini menandakan
pembauran sempurna antara etnis Tionghoa dan tidak ada sebuah batas pemisah
dengan masyarakat setempat meskipun perayaan tersebut adalah acara khusus dari
etnis Tionghoa. Pada acara besar ini juga dihadiri oleh para tamu undangan seperti
tokoh masyarakat kota Tangerang, perwakilan dari seluruh klenteng di Indonesia
dan para pejabat negara seperti menteri pariwisata ekonomi kreatif dan menteri
BUMN.44
Selain itu, berkembangnya wilayah Tangerang yang bisa dilihat di daerah
Pasar Lama terutama di jalan Kisamaun. Jika siang hari lokasi ini menjadi tempat
bisnis dari berbagai keperluan harian seperti barang elektronik, perbankan,
kebutuhan rumah tangga. Pada malam hari lokasi ini menjadi salah satu pusat
kuliner yang cukup ramai dikunjungi masyarakat Kota Tangerang dan sekitarnya.
Pada malam hari, kawasan ini didirikan warung dan tenda yang menyajikan sajian
43 Lihat, Majalah, Suarababa, Exploring the roots of Peranakan, November 2018,
Hlm 79-80.
44 Lihat, http://www.kemenparekraf.go.id/index.php/post/arak-arakan-gotong-
toapekong-di-kota-tangerang , di akses 02 Mei 2020, Pukul 20.23 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
yang berlabel Halal maupun non Halal yang hampir berasal dari seluruh daerah di
Indonesia maupun luar negeri. Dengan memanfaatkan suasana kota lama yang
sebagian masih berasitektur Tionghoa serta akses yang mudah, kondisi tersebutlah
yang merupakan cikal bakal festival Culinary Night di kota Tangerang.45
Gambar 9. Jl. Kisamaun yang menjadi Kawasan Kuliner.
Sumber:
https://www.kompasiana.com/sipanji/54f94064a3331176038b492a/pasar-lama-
culinary-night-tujuan-wisata-baru-kota-tangerang
Setelah memasuki era Reformasi, etnis Cina Benteng telah berhasil
berintegrasi dengan masyarakat setempat dengan harmonis dan tanpa adanya
paksaan. Keadaan tersebut sesuai dengan cita-cita dari BAPERKI yang berpendapat
45 Budi Sulistyo, Marsela Fitri Anisa, Pengembangan Sejarah dan Budaya
Kawasan Cina Benteng Kota Lama, Tangerang, Jurnal, Planesa Volume 3, Nomor 2
November, 2012, Hlm 98.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
bahwa etnis Tionghoa harus segera berintegrasi dengan masyarakat setempat dalam
membangun Indonesia.46
Meskipun sempat terjadi penggusuran dan berakibat pada kerusuhan,
percampuran budaya yang telah terjadi diharapkan tetap berjalan dengan lancar dan
terus menerus dijaga, seperti halnya Festival Cisadane yang selalu diselenggarakan
dari tahun ke tahun dengan menampilkan semua budaya yang berada di wilayah
Tangerang seperti Sunda, Jawa, Betawi, terutama tradisi Tionghoa sebagai cikal
bakal dari Festival ini, bahkan dengan penuhnya keberagaman di festival tersebut,
membuat berhasilnya masuk menjadi 100 Calender of Event Wonderful Indonesia,
karena tidak hanya menarik perhatian masyarakat setempat atau luar daerah tetapi
berhasil menarik perhatian Warga Negara Asing, seperti negara Malaysia dan
Singapura. Hal tersebut menjadi suatu kebanggaan bagi Wali Kota Tangerang Arief
R Wismansyah.47
46 Siauw Giok Tjhan dan Oey Hay Djoen, Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan
Baperki, Hasta Mitra, 2000, Hlm 23.
47 https://dispar.bantenprov.go.id/Destinasi/topic/10 , di akses pada tanggal 01 Mei
2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
BAB V
KESIMPULAN
5.I Kesimpulan
Pada era Orde Baru, etnis Tionghoa diwajibkan untuk segera berbaur
dengan masyarakat setempat dan meninggalkan berbagai kegiatan
ketionghoaannya. Untuk mempermudah hal tersebut, pemerintah Orde Baru
mengeluarkan berbagai kebijakan yang melarang atau mengurangi aktifitas etnis
Tionghoa yang masih ada hubungannya dengan negara asalnya. Seperti
kepercayaan yang harus diganti, pelarangan penggunaan bahasa leluhur dan diganti
menjadi bahasa Indonesia, pembatasan kegiatan tradisi leluhur, dan bahkan nama
yang masih menggunakan nama Tionghoa juga harus diganti dengan nama yang
lebih terdengar familiar oleh masyarakat maupun pemerintah. Hal itu bertujuan agar
pembauran dengan masyarakat setempat dapat terjadi lebih efisienn.
Tentu, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto
terhadap etnis Tionghoa sangat bertentangan dengan hak kebebasan sebagai bagian
dari Warga Negara Indonesia, namun pemerintah Orde Baru beralasan, kebijakan
tersebut diterbitkan demi melancarkan agar adanya pembauran dari etnis Tionghoa
dengan masyarakat setempat bisa terjadi lebih efisien. Sayangnya kebijakan
tersebut malah berdampak terhadap permasalahan kehidupan mereka sebagai
bagian masyarakat Indonesia serta terjadinya kultur genosida. Namun, penderitaan
etnis Tionghoa tidak hanya terhenti dari lahirnya dari kebijakan saja, lebih dari itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
penderitaan tersebut juga ditambah dengan kerusuhan pada tahun 1998 yang
bersamaan dengan berakhirnya era Orde Baru dan awal dari era Reformasi, dalam
kerusuhan tersebut, banyak yang menjadi korban termasuk golongan etnis
Tionghoa yang dinilai, ikut andil dalam merugikan keadaan negara dari sisi
ekonomi.
Awal dari era Reformasi menjadi pintu pembuka kebebasan bagi etnis
Tionghoa dalam menjalankan kegiatan sebagai anggota masyarakat Indonesia,
seperti menjadi bagian dari dinamika politik, kegiatan keagamaan maupun tradisi,
dan hal tersebut tidak bisa di lepaskan atas jasa Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie
dan Presiden K.H Abdurrahman Wahid. Kedua tokoh inilah yang melepaskan
belenggu kebijakan diskiriminasi era Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, sehingga
keadaan dan kegiatan dari etnis Tionghoa bisa berjalan dengan lebih leluasa dan
berdampingan dengan masyarakat luas.
Melihat sesuai dengan fakta yang terjadi, suasana kegiatan dari tradisi
masyarakat Cina Benteng di Tangerang, terasa berbeda dibandingkan dengan era
Orde Baru. Kegiatan dari tradisi etnis Tionghoa di era Reformasi, sudah dianggap
menjadi bagian dari masyarakat Kota Tangerang. Meski begitu, penidasan juga
sempat terjadi pada era ini, yaitu peristiwa penggusuran hunian etnis Cina Benteng
dipinggiran Kali Cisadane, Kecamatan Neglasari pada tahun 2010 yang bahkan
menarik perhatian kalangan DPR dan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.
Terlepas dari peristiwa penggusuran tersebut, kegiatan dari tradisi etnis
Cina Benteng memang lebih terbuka ketimbang pada era Orde Baru yang tertutup
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
dan lebih kaku, sehingga tak heran jika perayaan tradisi Cina Benteng dirayakan
dengan sangat meriah seperti perayaan Imlek, Peh Cun, dan Gotong Toa Pekong
yang dirayakan 12 tahun sekali, dan tentu perayaan ini terbuka bagi masyarakat
luas, serta tidak eksklusif bagi etnis Tionghoa saja. Sehingga fakta pembauran dan
pembaharuan antar etnis Tionghoa dengan etnis lainya seperti Jawa, Sunda,
maupun Betawi yang merupakan mayoritas di Tangerang, bisa terjadi dengan lebih
baik dan tanpa adanya paksaan seperti apa yang terjadi di era Orde baru seperti apa
yang BAPERKI harapkan dengan semangat Integrasi. Bahkan perayaan Festival
Cisadane yang merupakan perayaan tahunan Kota Tangerang, merupakan perayaan
yang cikal bakalnya berasal dari perayaan Peh Cun, dan perayaan ini dirayakan
hingga tahun 2019, bahkan lebih meriah karna dihadiri berbagai kalangan sampai
turis luar negeri, hal tersebut merupakan fakta, bagaimana tradisi etnis Cina
Benteng sudah diterima oleh masyarakat luas di era Reformasi ini.
Harapannya, keadaan dimana saling terbukanya antar masing – masing etnis
dan golongan, terus dijaga dari tahun ke tahun. Sehingga nilai positif dan saling
menghomati antara satu sama lain bisa lebih terasa.
5.2 Saran
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Orde Baru demi terwujudnya asimilasi
total antara etnis Tionghoa dengan masyarakat setempat, tidak hanya terjadi di
wilayah Tangerang saja, namun diyakini terjadi juga di wilayah kota – kota lainya.
Sayangnya penelitian mengenai bagaimana perubahan keadaan dan tradisi
etnis Tionghoa di setiap daerah, dari era Orde Baru hingga era Reformasi masih
sedikit, sehingga penelitian ini diharapkan memicu penelitian-penelitian lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
tentang keadaan dan tradisi etnis Tionghoa dari era Orde Baru hingga era Reformasi
dari seluruh daerah, terutama daerah yang dihuni oleh banyaknya etnis Tionghoa.
Dengan mengangkat permasalahan dengan sudut pandang yang sama,
diharapkan dapat menunjukan apa saja dampak yang diberikan oleh pemerintah
kepada kelompok masyarakat tertentu dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan,
sehingga dapat dijadikan evaluasi untuk kebijakan yang selanjutnya. Di samping
itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu memenuhi berbagai fakta yang
terjadi tentang bagaimana perkembangan etnis Tionghoa, terkhususnya di wilayah
Tangerang, Banten.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agus N Cahyo, Salah Apakah Gus Dur, IRCiSoD, Yogyakarta, 2014.
Burke, Peter J dan Stets, Jan E, Identity Theory. Oxford University Press. New
York. 2009
Carey, Peter. Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa, perubahan
persepsi tentang cina 1755-182. Komunitas Bambu. Depok. 1984.
Greg, Barton, Biografi Gus Dur: the authorized biography of Abdurrahman Wahid,
LKiS, Yogyakarta, 2003.
Grief ,Stuart. W, WNI; Problematik Orang Indonesia asal Cina, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1991.
Wibowo, I., Retropeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina, Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama, 1999.
Wibowo, I., dan Lan, Thung Ju, Setelah Air Mata Kering, Masyarakt Tionghoa
pasca-peristiwa Mei 1998, Jakarta:Kompas, 2010.
H.S, Suhaendi., dkk. “Etnis Cina di Banten”, LP2M IAIN SMH, Banten, 2015
J.S. Badudu. Kamus Kata-Kata Serapan Asing. Jakarta: Kompas. 2003.
Kuntowijoyo, Metodeologi Sejarah, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2003.
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Kompas,
2010.
--------------------, Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches.
Singapore: ISEAS, 2015
--------------------, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa 1900-2002, Jakarta: LP3ES,
2005.
---------------------, Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China, Kuala
Lumpur: Heinemann Educational Books, 1978
---------------------, Negara dan Etnis Tionghoa, Jakarta:Pustaka LP3ES, 1991
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
----------------------, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT. Grafiti Press, 1982
M. Hamid. Gus Ger, Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa. Galang Press.
Yogyakarta. 2010.
MN Ibad dan Fikri Af. Akhmad. Bapak Tionghoa Indonesia. LKIS. Yogyakarta.
2012
Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina; Sejarah Etnis Cina
di Indonesia, Depok:Komunitas Bambu, 2008.
Rini Intama, Sejarah dan Budaya Tangerang dalam puisi, Kidung Cisadane,
Jakarta: Kosa kata kita, 2016.
Rumadi, Damai Bersama Gusdur, Jakarta:Kompas, 2010.
Setiono G. Benny, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Transmedia Pustaka, Jakarta
Selatan, 2008.
Soerjono Soekanto. Sosiologi: Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta. 1969.
Sholahudin Al Ayubi dan Ade Fakih Kurniawan, Cina Benteng Antara Pluralitas,
Kesukubangsaan, dan Kepercayaan, Serang: FUD Press, 2009.
Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Jakarta:Gramedia
Pustaka, 2005.
Tan, Mely G. Golongan Etnis Tionghoa Di Indonesia; suatu masalah pembinaan
kesatuan bangsa. Gramedia. 1979.
Team Dokumentasi Presiden RI, Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23
Maret 1978, Jakarta:PT. Citra Kharisma Bunda, 2003.
Tjhan, Siauw Giok dan Djoen , Oey Hay, Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan
Baperki, Hasta Mitra, 2000.
Tuk Setyohadi, Sejarah perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa, Jakarta:
CV Rajawali, 2002.
Wahidin Halim, Ziarah Budaya Kota Tangerang; Menuju Masyarakat
Berperadaban Akhlakul Karimah, Jakarta: Pendulum, 2005.
Wahyu Wibisana .CINBENG, Eksistensi Peranakan Tionghoa Peranakan. Pustaka
Klasik. Tangerang. 2016
Wicaksana, Anom Whani, Gus Dur: Jejak Bijak Sang Guru Bangsa, Yogyakarta:
C-Klick Media, 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Jurnal, Artikel, Majalah
Ardli Johan Kusuma, “Pengaruh Norma HAM Terhadap Proses Kemerdekaa Timor
Leste dari Indonesia”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, 7 (1), April, 2017.
Budi Sulistyo, Marsela Fitri Anisa, “Pengembangan Sejarah dan Budaya Kawasan
Cina Benteng Kota Lama, Tangerang”, Jurnal Planesa Volume 3, No. 2,
November, 2012.
Billy Nathan Setiawan, “Cina Benteng: The Latest Generations And Acculturation”
Jurnal Lingua Cultura, Volume 09, No. 1, Mei, 2015.
Euis Thresnawaty S, “Sejarah Sosial-Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Patanjala Vol. 7,
No. 1, Maret, 2015.
Freedman, Amy, “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia”,
Asian Ethnicity, Volume 4, No 3, October 2003.
Gouwgioksong. “The Marriage Laws of Indonesia with Special Reference to Mixed
Marriages”. The Rabel Journal of Comparative and International Private
Law, 28. Jahrg, 1964.
Graburn, Nelson, “What is Tradition?”. University of California Berkeley:Museum
Antropology, May, 2008.
Hari Poerwanto, “Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional”, Universitas
Gadjah Mada:Jurnal Humaniora, Vol 11, No. 3, 1999.
Indarja, “Perkembangan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Di Indonesia”,
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 1, Januari 2018.
Leo Suryadinata , “Chinese Politics In Post-Suharto’s Indonesia. Beyond the ethic
Approach?”, Asian Survey, Vol. 41, No. 3, May/June, 2001.
Lepi T Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan
Saran”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret, 1999.
Muhamad Arif, “Model Kerukunan Sosial pada Masyarakat Multikultural Cina
Benteng”, Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1, Mei, 2014.
Muhammad Reza Zaini, “Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis
di Desa Situgadung”, jurnal sosiologi masyarakat, Vol. 19, No. 1, Januari,
2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Thoriq Tri Prabowo, “Imlek dan Kebinekaan”, Artikel Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, Januari, 2017.
Prasetyo, Andhi Seto, Titin Fatimah, Rita Padawangi, “Perkembangan Kota Lama
Tangerang dan Potensinya Sebagai Destinasi Wisata”, Jurnal Arsitektur,
Bangunan, & Lingkungan, Vol.7 No.1, Oktober 2017.
Raben, Remco, “Anti-Chinese Violence in the Indonesian Revolution”,
Amsterdam:Netherlands Institute for War Documentation, 2006.
Sai, Siew-Min dan Hoon, Chang-Yau, “Chinese Indonesians Reassessed”,
Routledge, 2013
Sholahuddi Al-Ayubi, “Cina Benteng:Pembauran Dalam Masyarakat Majemuk di
Banten”. Jurnal. IAIN Sultan Maulana Hassanuddin Banten”. KALAM,
Volume 10, No. 2, Desember 2016.
Suarababa, 2018. Exploring the roots of PERANAKAN.
Penelitian, Skripsi, Makalah
Sofian Munawar Asgart, “Komunitas cina banteng (cibet) di tangerang: potret
pembauran di tingkat local”, Riset Penelitian, Kementrian Riset dan
Teknologi, 2006.
Clarissa Amelinda, “Eksistentsi Tari Cokek Sebagai Hasil Akulturasi Budaya
Tionghoa Dengan Budaya Betawi”, Makalah Seminar, Depok,
Universitasi Indonesia, 2014.
Daud Ade Nurcahyo, “Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa”, Skripsi,
Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, 2016.
Rahmat Kahfi, “Festival Pe’Cun Dalam Komunitas Cina Benteng Tangerang”,
Depok, Makalah Seminar, Universitas Indonesia, 2014.
Roddasih Ekaputri Juliana, “Fungsi dan Makna Museum Benteng Heritage dalam
Pelestarian Budaya Cina di Kota Tangerang”, Skripsi, Sumatra,
Universitas Sumatra Utara, 2017.
Shintia Astiagyna, “Perjanjian Dwikewarganegaraan:Kehidupan Etnis Tionghoa di
Glodok (1955-1969)”, Skripsi, Yogyakarta, Universitas Negri Yogyakarta,
2012.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Web
https://tirto.id/13-hari-pembantaian-orang-cina-di-jakarta-cx2Y Diakses pada
tanggal 18 September 2019 pukul 10.26 WIB.
https://www.kompasiana.com/hariadideutsch/550e069e813311be2cbc614b/apa-
itu-imlek-hasil-observasi?page=all Diakses pada tanggal 24 September 19
pukul 13.18 WIB
https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/95469/setelah-enam-belas-abad
diakes pada tanggal 2 Februari 2020 Pukul 14.54 Wib.
https://web.archive.org/web/20150704215956/http://www.library.ohiou.edu/indop
ubs/1998/05/31/0029.html Diakses pada tanggal 10 Februari 2020 pada
pukul 10.33 WIB
http://edition.cnn.com/WORLD/asiapcf/9805/16/indonesia.update/ Diakses pada
tanggal 10 Februari 2020 pada pukul 10.44 WIB
https://web.archive.org/web/20100904160043/http://www.thejakartaglobe.com/na
tional/still-no-answers-or-peace-for-many-rape-victims/374845 Diakses
pada tanggal 10 Februari 2020 pada pukul 11.02 WIB
https://www.metrotvnews.com/program/metro-xinwen di akes pada tanggal 19
Februari 2020 pukul 12. 06 Wib
https://ngopijakarta.com/tionghoa-marga-dan-nama-sebagai-identitas/2/ diakses 09
Maret 2020, pukul 14.07 WIB.
https://www.viva.co.id/arsip/1302-kedutaan-rrc-dan-orang-tionghoa-jadi-sasaran
,diakses pada 17 Maret 2020, 11.02 WIB.
http://ypkp1965.org/blog/2019/09/05/napak-tilas-penjara-tapol-orba-di-tangerang/
,diakes 02 April 2020, pukul 12.28 WIB.
https://www.bacatangerang.com/potret-kerusuhan-98-di-tangerang-hingga-upaya-
penindasan-etnis-tionghoa/ di akes 02 April 2020 pukul 16.30 WIB
https://majalah.tempo.co/read/97121/pertanggungjawaban-habibie-diterima-tapi ,
diakses 21 April 2020, pukul 22.51 WIB.
https://setneg.go.id/baca/index/presiden_pada_perayaan_imlek_2558 ,di akses
pada 28 April 2020, Pukul 21.19 Wib.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
http://www.kemenparekraf.go.id/index.php/post/arak-arakan-gotong-toapekong-
di-kota-tangerang , di akses 02 Mei 2020, Pukul 20.23 WIB.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2016/02/05/143400627/Jelang.Imlek.Yuk.Be
rkunjung.ke.Museum.Benteng.Heritage , diakses 02 Mei 2020, Pukul 23.56
WIB
https://nasional.kompas.com/read/2010/05/14/18222691/Walikota.Hentikan.Peng
gusuran.Neglasari-3 , diakses pada tanggal 03 Mei 2020, Pukul 22.18 WIB
https://nasional.kompas.com/read/2010/04/21/13281616/DPR.Hentikan.Pembong
karan.Cina.Benteng. Di akses pada tanggal 03 Mei, pukul 22.30 WIB.
http://tangerangnews.com/kota-tangerang/read/4249/a , diakses pada tanggal 04
Mei 2020, Pukul 00.33 WIB.
http://tangerangnews.com/kota-tangerang/read/7325/Festival-Cisadane-Dibuka-
Harap-Tarik-Wisatawan-Internasional , diakses pada tanggal 04 Mei 2020,
Pukul 22.08 WIB.
http://tangerangnews.com/kota-tangerang/read/7325/Festival-Cisadane-Dibuka-
Harap-Tarik-Wisatawan-Internasional , diakses pada tanggal 04 Mei 2020,
Pukul 22.14 WIB.
https://bandarasoekarnohatta.com/bandara-soekarno-hatta-cengkareng , diakses 10
Mei 2020, Pukul 00.05 WIB.
https://economy.okezone.com/read/2012/02/29/452/584933/bandara-soekarno-
hatta-belum-bernilai-ekonomis , diakses 10 Mei 2020, Pukul 00.07 WIB.
https://travel.tempo.co/read/378786/ada-naga-80-meter-di-summarecon-mal-
serpong , diakses pada tanggal 11 Mei 2020, 13.50 WIB
http://www.bumn.go.id/angkasapura2/berita/303 diakses 20 Mei 2020, Pukul 15.34
WIB.
https://tangerangnews.com/kota-tangerang/read/5978/DPRD-Tuding-AP-II-Tak-
Perhatikan-Warga-Sekitar-Bandara diakses 20 Mei 2020, Pukul 15.47 WIB.
https://nasional.kompas.com/read/2010/03/02/1539073/Gotong.Toa.Pekong..Wisa
ta.Budaya.di.Pecinan diakses pada tanggal 20 Mei 2020, Pukul 22.05 WIB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
https://www.negeripesona.com/2015/06/kirab-gotong-toa-pe-kong-perayaan-
cap.html diakses pada tanggal 20 Mei 2020, Pukul 22.05 WIB
https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/ekonomi/krisis-keuangan-
asia/item246 Diakses pada tanggal 05 Juni 2020, Pukul 12.59 WIB.
http://abouttng.com/begini-kisah-asal-muasal-warga-china-benteng/ Diakses pada
tanggal 30 Juni 2020, Pukul 15.35 WIB.
Narasumber
No Nama Usia Pekerjaan Alamat
1. Udaya halim 57 Ketua Museum
Benteng
jalan Cilame
No.20
2. Asep Kambali 40 Sejarawan jalan Cilame
No.20
3. Nathania Nirvana 22 Mahasiswa Jl. Raya
Merdeka
4. Hermanto 50 Pengurus Klenteng Jl. Bakti No
14, Sukasari
5. Untung 53 - Jl.Teratai
Raya.
6. Daniel 29 Karyawanswasta Kampung
Melayu
7. Arfan 29 Ketua Gusdurian
Tangerang
Jalan. Ks.
Tubun No 4,
Pasar baru
8. Suparman 58 - Jl. H Aning,
Periuk
9. Ratna Lestari 20 Peserta KHI Jl. Kisamaun
10. Kong Lim Edi 61 Penjaga Prasasti
Djamban
Jl. Kali Pasir
11. Pak Bebeng 67 Pengurus Klenteng Jalan. Ks.
Tubun No 4,
Pasar baru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Top Related