7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
1/23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada anestesi umum biasanya diberikan adjunct anesthesia yang akan memperkuat efek
anestesi, sehingga dapat digunakan anestesi umum dosis rendah dengan efek samping yang
sedikit.1 Adjunct anesthesia adalah obat atau teknik yang digunakan untuk menperkuat anestesi
tapi tidak termasuk sebagai anestetik. Adjunct anesthesia digunakan sebelum anestesi sebagai
premedikasi dan selama anestesi untuk memperkuat efek anestetik atau mengurangi efek
samping yang tidak diinginkan.2
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia. Premedikasi diberikan untuk
mengurangi kecemasan, menenangkan pasien, memperlancar induksi anestesia, mengurangi
sekresi oral dan respirasi, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah
pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi refelks
yang membahayakan. Opioid analgesik, benzodiazepine, sedative and hypnotic, phenothiazine,
anticholinergic, and antianxiety adalah obat yangsering digunakan dalam adjunct anesthesia.2,3,4
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menentramkan hati pasien.3
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan referat ini adalah :
1. Memahami tentang adjunct anesthesia dan obat-obat yang biasa digunakan.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di
Bagian Ilmu Anestesi
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada
beberapa literatur.
BAB II
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
2/23
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah salah satu obat yang paling populer yang digunakan dalam
pengobatan preoperatif. Obat ini digunakan untuk menghilangkan rasa cemas, sedasi, dan
membuat amnesia penderita. Efek antikonvulsan dan pelemas otot dari benzodiazepin tidak
begitu penting ketika obat ini diberikan. Hal ini disebabkan tempat kerja dari benzodiazepin
berada pada susunan saraf pusat yang berefek sedikit mendepresi pernafasan atau
kardiovaskular pada dosis premedikasi. Benzodiazepin sedikit mengurangi tonus sfingter
esofagus. Efek sedasi dari benzodiazepin berasal dari penguatan atau penghambatan
neurotransmiter yang dimediasi oleh aminobutyric acid.4
Sebagai adjunct anestgesia, benzodiazepin digunakan untuk ansiolotik, amnesia, dan
sedasi sebelum induksi anestesia atau untuk sedasi selama prosedur yang tidak memerlukan
anestesia umum. Benzodiazepin yang paling sering digunakan pada perioperatif adalah
midazolam, diazepam, dan lorazepam.1
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat,
potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat
dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai
pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam
monitorng anestesi. Dalam masa perioperative, midazolam telah menggantikan penggunaan
diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil.5
Midazolam5
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin imidazole
yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah menggantikan diazepam
selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu affinitas terhadap reseptor
GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat diabanding
efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan
yang terjadi selama beberapa jam.
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak.
Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari
obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik
yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein.
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
3/23
Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi
dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh
diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada
pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan
dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan
lebih pendek dibanding diazepam. Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan
enzim cytochrome P-450 usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif.
Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan penghambat enzim sitokrom P-450
seperti simetidin, eritromisin, calsium channel blocker, obat anti jamur.
Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan
diazepam 0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih
besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak
terjadi sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan
menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid.
Benzodiazepine juga menekan refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian
atas.
Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan
thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi
perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan darah secara
langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.
Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2
mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek
pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya
akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.
Diazepam5
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja
yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik
(propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH
6,6-6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
4/23
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam
(15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam
besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati
plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus.
Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi
desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam
memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam
sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit
ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam
diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat.
Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada
pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat enzim
sitokrom P-450.
Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan
bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan
meningkatkan resiko terjadinya depresi napas.
Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak
menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac outputdan resistensi perifer. Begitu juga
dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan
perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti
dengan injeksi fentanyl 50 g/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan
penurunan tekanan darah sistemik.
Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan
menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila
konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml.
Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam.
Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang
didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang mencegah
kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat aktivitas di
sistem limbik, terutama di hippokampus.
Lorazepam5
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
5/23
Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada adanya
klorida ekstra pada posisi orto 5-phenyl moiety. Lorazepam lebih kuat dalam sedasi dan
amnesia dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya sama.
Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hati menjadi bentuk inaktif yang
diekskresikan di ginjal. Waktu paruhnya lebih lama yaitu 10-20 jam dengan ekskresi urin >
80% dari dosis yang diberikan. Karena metabolismenya tidak dipengaruhi oleh enzim
mikrosom di hati, maka metabolismenya tidak dipengaruhi oleh umur, fungsi hepar dan obat
penghambat enzim P-450 seperti simetidin. Namun onset kerja lorazepam lebih lambat
dibanding midazolam dan diazepam karena kelarutan lemaknya lebih rendah.
Lorazepam diserap baik bila diberikan secara oral dan IM dan mencapai konsentrasi
puncak dalam 2-4 jam dan terus bertahan efeknya selama 24-48 jam. Sebagai premedikasi,
digunakan dosis oral 50g/kg (maks 4 mg) yang akan menimbulkan sedasi yang cukup dan
amnesia selama 6 jam. Penambahan dosis akan meningkatkan sedasi tanpa penambahan efek
amnesia. Lorazepam tidak bermanfaat pada operasi singkat karena durasi kerja yang lama.
Onset kerja lambat lorazepam merupakan kekurangan lorazepam bila digunakan
sebagai induksi anestesi, sedasi selama regional anestesi dan sebagai anti kejang. Lorazepam
akan bermanfaat bila digunakan sebagai sedasi pada pasien yang diintubasi.
2.2 Agonist Alpha 2 Adrenergic
Agonis alpha 2 adrenegik dexmedetomidine secara luas digunakan di unit perawatan
intensif sebagai sedasi jangka pendek pada dewasa, dan mulai digunakan sebagai adjunct
anesthetik. Aktivasi reseptor alpha 2 adrenegik oleh dexmedetomidine menghasilkan sedasi dan
anelgesia, tapi tidak secara nyata menghasilkan anestesia umum, bahkan pada dosis maksimal.1
Efek samping yang sering terjadi adalah hipotensi dan bradikardi, yang dikaitkan
dengan penurunan pelepasan mediator katekolamin yang di aktivasi oleh reseptor alpha2. Mual
dan mulut kering adalah efek samping yang lain. Pada konsentrasi tinggi subtype alpha 2B
diaktivasi, menghasilkan hipertensi dan lebih lanjut menurunkan frekuensi jantung dan cardiac
output.1
Dexmedetomidine menghasilkan sedasi dan anelgesia dengan depresi pernapasan yang
minimal. Sedasi yang dihasilkan dexmedetomidine lebih mirip dengan tidur alami, pasien lebih
mudah untuk dibangunkan. Namun, dexmedetomidine tidak menghasilkan amnesia dan obat
tambahan lain diperlukan jika amnesia diinginkan.1
Dosis awal adalah 1 mg/kgBB diberikan selama 10 menit, diikitui infus dengan dosis
0,2-0,7 mg/kgBB/jam. Pemberian per infus lebih dari 24 jam tidak dianjurkan karena
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
6/23
berpotensi untuk menjadi rebound hipertensi. Pengurangan dosis harus dipertimbangkan pada
pasien dengan resiko untuk hipotensi.1
2.3 Analgetik Opioid
Morfin adalah analgesik opioid pertama yang digunakan untuk mengurangi cemas dan
ketegangan pasien menghadapi pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea oada
anestesia dengan trikoletilen, dan membantu agar anestesia berlangsung baik. Kini dikenal
lebih dari 20 jenis opioid yang dapat digunakan untuk tujuan ini.4
Fentanil, sufentanil, alfentanil, remifentanil, meperidin, dan morfin adalah opioid
parenteral utama yang digunakan dalam perioperatif. Aktivitas analgesik utama dari masing-
masing obat ini diproduksi oleh aktivitas agonis pada -opioid reseptor. Urutannya potensi
(relatif terhadap morfin) adalah: sufentanil (1000x)> remifentanil (300x)> fentanil (100x)>
alfentanil (15x)> morfin (1x)> meperidin (0.1x). Pemilihan suatu opioid perioperatif
didasarkan terutama pada durasi kerja, mengingat bahwa pada dosis tepat, semua menghasilkan
analgesia dan efek samping yang sama.1
Morfin6
Morfin adalah bentuk pertama agonis opioid dan pembanding bagi opioid lainnya. Pada
manusia, morfin menghasilkan analgesi, euforia, sedasi, dan mengurangi kemampuan untuk
berkonsentrasi, nausea, rasa hangat pada tubuh, rasa berat pada ekstrimitas, mulut kering, dan
pruritus, terutama di wilayah kulit sekitar hidung. Morfin tidak menghilangkan penyebab nyeri,
tetapi meningkatkan ambang nyeri dan mengubah persepsi berbahaya yang dialami tidak
sebagai nyeri. Efek analgesia akan optimal apabila morfin diberikan sebelum stimulus nyeri
timbul.
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -30 menit
dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin tidak diserap secara
baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV selama masa operasi. Efek
puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid lain seperti
fentanyl, dan alfentanyl, yaitu sekitar 15-30 menit. Pemberian cepat IV tidak memeiliki
pengaruh farmakologis karena lambatnya obat menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF
puncak morfin antara 15-30 menit setelah pemberian IV dan menurun lebih lambat
dibandingkan konsentrasi plasma. Analgesia cukup mungkin membutuhkan rumatan
konsentrasi plasma morfin paling tidak 0,05g/ml. Pada pasien yang dipindahkan biasanya
membutuhkan analgesia post operatif yang cukup, dengan dosis morfin total antara 1,3-2,7
mg/jam.
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
7/23
Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin
dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra hepatik lebih banyak
terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan akan menjadi morfin 3 glukoronat
dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio 9:1). Sekitar 5% morfin akan mengalami
demetilasi menjadi normomorfin dan sebagian kecil diproses menjadi kodein. Metabolit morfin
akan dieliminasi melalui urin, sekitar 7-10% diekskresikan melalui empedu. Morfin 3
glukoronat dapat dideteksi dalam urin setelah 72 jam pemberian. Sejumlah kecil morfin (1-2%)
ditemukan dalam urine tanpa perubahan.
Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal ini
menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien cirrhosis
hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini dimungkinkan karena
terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada pasien dengan gangguan hati.
Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan terganggu dan
menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak terduga pada dosis
opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh monoamin oksidase inhibitor
yang akan menyebabkan efek morfin yang berlebihan bila kedua obat diberikan bersamaan.
Morfin menunjukkan potensi analgesik yang lebih tinggi dan durasi lebih lama pada
wanita dibandingkan pada laki-laki. Konsumsi morfin post operasi pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan. Sebaliknya, morfin menurunkan renspon ventilasi terhadap karbon
dioksida pada perempuan sedangkan efek yang sama tidak ada pada laki-laki. Morfin tidak
mengganggu ambang batas apneu dan menurunkan kepekaan akan hipoksia pada perempuan
sedangkan pada laki-laki sebaliknya.
Efek samping morfin juga terdapat pada agonis opioid lain, walaupun insiden dan
besarnya tidak sama. Efek samping morfin dijelaskan berdasarkan sistem dan gejala yang
ditimbulkannya.
a. Sistem kardiovaskuler
Efek samping pada sistem kardiovaskuler dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme
berbeda. Kelainan pada penggunaan morfin dapat terjadi karena respon dari sistem simpatik.
Morfin akan menurunkan pengaruh sistem simpatik pada jaringan perifer sehingga terjadi
penurunan venous return, cardiac outputdan tekanan darah. Morfin juga dapat menyebabkan
bradikardi akibat peningkatan aktivitas vagal sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Morfin
menimbulkan efek depresi langsung pada SA node dan memperlambat konduksi impuls
jantung melalui AV node. Penggunaan opioid (morfin) sebagai premedikasi dan sebelum
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
8/23
induksi (fentanyl) bertujuan menurunkan denyut jantung selama penggunaan gas anestesi
inhalasi.
Penurunan tekanan darah dan pelepasan histamin karena opioid sangat bervariasi
kejadian dan derajatnya. Untuk meminimalisir beratnya pelepasan histamin karena morfin dan
penurunan tekanan darah dapat dilakukan, (a) pembatasan kecepatan infus morfin menjadi 5
mg/menit, (b) pesien diposisikan dalam keadaan supine atau kepala lebih rendah, dan (c)
optimisasi cairan intravasculer. Sedangkan pada penggunaan fentanyl dan sufentanyl tidak
terjadi pelepasan histamin.
b. Pernapasan
Semua agonis opioid akan menimbulkan depresi pernapasan dengan semakin besarnya
dosisnya dan jenis kelamin dari pasien. Agonis opioid bekerja pada reseptor 2 yang menekan
pusat pernapasan di batang otak. Tingkat depresi napas yang ditimbulkan seiring dengan
analgesik yang didapatkan dan pengurangan terhadap depresi napas juga akan mengurangi
analgesik yang didapatkan.
Opioid mendepresi pernapasan dengan mengurangi reaksi pusat pernapasan terhadap
karbon dioksida dan pergeseran kurva respon karbon dioksida ke kanan. Opioid juga
mengganggu pusat pernapasan di pons dan medula sehingga menyebabkan pernapasan yang
pendek dan dalam. Opioid juga menekan aktivitas silia dari jalan napas sesuai dengan dosis
yang diberikan. Resistensi jalan napas meningkat baik karena efek langsung morfin pada otot
polos bronkus juga karena pelepasan histamin.
c. Penekanan batuk
Opioid menekan batuk melalui gangguan pada pusat batuk yang berbeda dengan pusat
pernapasan. Penekanan batuk terberat terjadi pada opioid yang mengalami subsitusi besar pada
posisi karbon nomor 3 (kodien). Penekanan batuk dihasilkan juga oleh isomer opioid
dektrotatory (dekstromethorphan) yang tidak memiliki efek analgesia.
d. Sistem saraf
Opioid harus digunakan secara hati-hati pada pasien trauma kepala karena (a)
hubungannya dengan kesulitan sadar, (b) miosis yang ditimbulkan, dan (c) penekanan
pernapasan yang akan meningkatkan tekanan intra kranial jika PaCO2 meningkat. Cedera
kepala juga dapat merusak sawar darah otak sehingga meningkatkan sensitivitas otak terhadap
opioid.
Pemberian dosis besar dan cepat opioid secara intravena menyebabkan kekakuan otot
dada dan perut. Hal ini dapat mengganggu ventilasi paru dan penekanan jalan napas yang
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
9/23
mengganggu venous return. Penghambatan pelepasan stria gamma aminobutyric acid dan
peningkatan produksi dopamin merupakan penyebab peningkatan tonus otot skeletal.
Miosis disebabkan oleh eksitasi pada sistem saraf otonom pada komponen nukleus
Edinger-Westphal pada saraf occulomotor. Efek ini dapat dilawan dengan pemberian atropin
dan keadaan hipoksemia arterial yang besar.
e. Sedasi
Pemberian dosis kecil morfin menyebabkan sedasi sebelum onset analgesia terjadi.
Karenanya, tidur tidak dapat menjadi patokan kecukupan dosis analgesia yang diberikan.
f. Sistem biliar
Opioid menyebabkan spasme otot polos biliaris dan menyebabkan peningkatan
tekanan intabiliar yang dihubungkan dengan stress epigastrik atau kolik biliar. Nyeri ini
sangat mirip dengan iskemik miokard. Naloxone dapat mengurangi nyeri akibat spasme biliar
tapi tidak pada iskemik miokard, sedangkan nitrogliserin akan menghilangkan nyeri akibat
keduanya. Glucagon 2 mg IV dapat mengurangi spasme biliar namun tidak mengurangi efek
analgesik dari opioid seperti pada pemberian naloxone. Pada dosis analgesik, fentanyl,
morfin, meperidine dan pentazocine meningkatkan tekanan intra biliar sebanyak 99%, 53%,
61% dan 15%.
g. Traktus gastrointestinal
Pemberian morfin, meperidine dan fentanyl akan menyebabkan spasme otot polos
saluran pencernaan yang dapat menyebabkan konstipasi, kolik biliar dan perlambatan
pengosongan lambung.
h. Nausea dan vomitting
Opioid akan menimbulkan mual dan muntah karena stimulasi langsung pada wilayah
pemicu kemoreseptor di dasar ventrikel keempat. Efek mual muntah juga dapat ditimbulkan
oleh stimulasi reseptor dopamin karena peningkatan sekresi dan perlambatan pengosongan isi
saluran cerna.
i. Sistem genitourinarius
Morfin meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik ureter. Hal ini menyebabkan
terjadinya keadaan urinary urgency pada pasien. Namun pada keadaan yang sama tonus
spingter vesika meningkat sehingga terjadi kesulitan pengosongan urin. Efek morfin dapat
diatasi dengan pemberian anti kolinergik.
j. Perubahan kulit
Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Kulit wajah, leher dan dada
biasanya menjadi merah dan panas. Hal ini disebabkan oleh pelepasan histamin.
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
10/23
k. Plasenta
Morfin dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam aliran darah neonatus. Karenanya
depresi pada neonatus dapat terjadi pada pemberian opioid selama persalinan. Pemberian
morfin memiliki efek yang lebih besar daripada pemberian meperidine. Pada pemberian yang
lama dapat terjadi adiksi intrauterin pada bayi.
Meperidine6
Meperidine adalah agonis opioid sintetik pada reseptor mu dan kappa yang diturunkan
dari fenilpiperidine. Ada beberapa analog dari meperidine termasuk fentanyl, sufentanyl,
alfentanyl dan remifentanyl. Secara struktur, meperidine mirip dengan atropin dan memiliki
efek anti spasmodik yang ringan. Namun, secara farmakalogi efek meperidine sama dengan
morfin.
Potensi meperidine sekitar sepersepuluh dari morfin, dimana dosis 80-100 mg IM
meperidine sama dengan 10 mg morfin. Durasi kerja meperidine sekitar 2-4 jam, lebih pendek
daripada morfin. Pada dosis analgesik yang sama, meperidine memiliki efek samping yang
sama dengan morfin. Meperidin diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan morfin,
walaupun hanya setengahnya yang efektif dibandingkan dengan pemberian IM.
Metabolisme di hati memegang peranan besar, 90% obat akan mengalami demetilasi
menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi asam meperidinic. Ekskresi melalui urin
tergantung pada pH, pada pH yang asam meperidine akan lebih banyak diekskresikan secara
utuh.
Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam (35 jam pada gagal ginjal) dan dapat
dideteksi pada urin hingga 3 hari setelah pemberian. Metabolit ini memiliki efek analgesia
separuh daripada meperidine namun menimbulkan stimulasi pada CNS. Toksisitas
normeperidine berupa myoklonus dan kejang timbul pada pasien dengan pemberian lama obat
dan pada pasien gagal ginjal.
Waktu paruh meperidine berkisar 3-5 jam bergantung kepada metabolisme di hepar.
Gangguan di hepar akan menyebabkan waktu paruh yang lebih lama daripada meperidine.
Sekitar 60% meperidine terikat pada protein plasma sehingga pada pasien tua akan terjadi
penurunan ikatan protein plasma dan meningkatkan efek kerja meperidine.
Meperidine digunakan sebagai analgesik selama proses persalinan dan post operasi.
Meperidine akan bekerja secara baik apabila diberikan secara intra tekal. Konsentrasi analgesik
palsma meperidine sangat bervariasi diantara pasien. Konsetrasi plasma meperidine sekitar 0,7
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
11/23
g/mL akan memberikan analgesia yang cukup pada post operasi. Dosis total yang diberikan
antara 12-36 mg/jam.
Meperidine juga efektif mencegah menggigil akibat penggunaan oksigen yang
berlebihan. Efek ini karena stimulasi reseptor kappa dan agonis reseptor alpha2 yang
membantu efek anti menggigil. Keuntungan lain meperidine adalah pemberian oral. Namun
meperidine tidak memiliki efek anti diare dan antitussif seperti morfin. Sehingga penggunaan
meperidine pada bronkoskopi kurang baik. Meperidine tidak boleh diberikan dalam dosis besar
karena efek inotropic negatif pada jantung dan pelepasan histamin.
Efek samping yang timbul antara lain hipotensi ortostatic akibat kompensasi reflek saraf
simpatik. Meperidin lebih sering meningkatkan denyut jantung daripada bradikardi. Delirium
dan kejang juga terjadi akibat akumulasi normeperidine di dalam CNS. Serotonin sindrom
(hipertensi tidak stabil, takikardi, diaforesis, hipertermi, confusion, delirium dan hiperreflek)
dapat terjadi bila meperidine diberikan pada pasien yang mendapat obat-obatan antidepressant
(MAO inhibitor, fluoxetine).
Efek depresi napas dan tranport melewati plasenta meperidine lebih berat dibandingkan
morfin. Namun efek konstipasi dan retensi urin lebih rendah dibanding morfin. Meperidine
lebih memiliki efek seperti atropin dibandingkan morfin. Midriasis, mulut kering, peningkatan
denyut jantung lebih banyak terjadi pada meperidine. Efek otonom karena ketergantungan
meperidine lebih rendah dibandingkan morfin. Namun waktu toleransinya lebih pendek
dibandingkan morfin.
Fentanyl6
Fentanyl adalah opioid sintetik turunan fenilpiperidine yang secara struktur mirip
dengan meperidine. Sebagai analgesik, fentanyl lebih kuat 75-125 kali morfin.
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
12/23
Gambar 2. Struktur Kimia Fentanil
Dosis tunggal fentanyl secara IV memiliki onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih
pendek daripada morfin. Onset fentanyl yang cepat menunjukkan kelarutan lemak yang lebih
tinggi dan durasi yang pendek menunjukkan distribusi yang cepat ke jaringan yang tidak aktifdibandingkan dengan morfin.
Fentanyl dimetabolisme oleh N-demethylation menjadi norfentanyl, hydroxyproprionil-
fentanyl dan hidroxyproprionyl-fentanyl. Norfentanyl mirip dengan normeperidine dan
merupakan metabolit utama pada tubuh. Metabolit ini diekskresikan melaui ginjal dan dapat
dideteksi dalam urin hingga 72 jam pemberian. Aktivitas farmakologis metabolit fentanyl
sangat minimal.
Walaupun secara klinis fentanyl memiliki durasi yang pendek, namun waktu paruhnya
lebih panjang dibandingkan morfin. Hal ini disebabkan volume distribusi fentanyl lebih besar
daripada morfin. Setelah pemberian IV, fentanyl tersebar secara cepat ke jaringan. Lebih dari
80% obat akan hilang dari plasma dalam waktu
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
13/23
dapat digunakan sebagai obat tunggal anestesi. Keuntungan penggunaan fentanil sebagai obat
tunggal yaitu, (a) kurangnya efek depresi miokard, (b) tidak terjadinya pelepasan histamin, (c)
tidak ada stress terhadap pembedahan. Kerugian yang didapat yaitu, (a) tidak dapat mencegah
respon simpatis terhadap nyeri, (b) kemungkinan pasien sadar, (c) depresi napas post operasi.
Fentanyl juga diberikan secara transmukosal dengan dosis 5-20 g/kg. Tujuannya untuk
mengurangi kecemasan preoperasi dan membantu induksi anestesi teutama pada anak-anak.
Sebagai premedikasi, fentanyl juga dapat diberikan secara transdermal sebelum operasi dan
dibiarkan hingga 24 jam post operasi untuk mengurangi dosis opioid yang digunakan sebagai
analgesia. Pemberian secara transdermal dengan dosis 75-100 g/jam akan mencapai
konsentrasi puncak setelah 18 jam.
Efek samping
a. Kardiovaskuler
Fentanyl dalam dosis besar tidak mendorong terjadinya pelepasan histamin sehingga
tidak menimbulkan terjadinya hipotensi. Namun efek bradikardi lebih tinggi dibanding morfin
yang dapat menurunkan cardiac outputdan mengganggu tekanan darah.
b. Kejang
Kejang dapat timbul pada pemberian cepat IV fentanil, sufentanil dan alfentanil.
Walaupun dalam pemeriksaan EEG tidak ditemukan adanya aktivitas kejang.
c. Tekanan Intracranial
Pemberian fentanil dan sufentanil pada pasien cedera kepala akan menaikkan sedikit
ICP (6-9 mmHg) dan juga diikuti penurunan tekanan arteri rata-rata dan tekanan perfusi otak.
Tramadol6
Tramadol merupakan analgesik yang bekerja secara sentral dengan berikatan pada
reseptor mu dan berikatan lemah pada reseptor kappa dan delta. Potensi analgesik tramadol 5-
10 kali lebih lemah daripada morfin.
Tramadol dengan dosis 3 mg/kg dapat diberikan secara oral, IM atau IV untuk
mengatasi nyeri sedang hingga berat. Keuntungan pemberian tramadol adalah tidak adanya
depresi napas, dan tidak menyebabkan ketergantungan pada obat serta memiliki toksisitas
organ yang rendah. Selain itu, efek perlambatan pengosongan lambung juga lebih rendah
dibanding opioid lain dan efek sedasi yang minimal.
Kerugian penggunaan tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan koumadin
dan kemungkinan terjadinya kejang pada pasien epilepsi. Tramadol juga mendorong timbulnya
mual dan muntah pada pemberian perioperatif.
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
14/23
2.4 Antikolinergik
Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi diproduksi secret yang
berlebihan oleh saluran nafas dan pada bahaya bradikardi intraoperatif. Indikasi khusus
antikolinergik sebelum operasi adalahsebagai (1) antisialogogue dan (2) sedasi dan amnesia.
Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan mengurangi sekresi cairan lamung, namun
tidak disetujui penggunaannya pada preoeratif.
Antisialogogue. Antikolinergik telah digunakan secara selektif mengeringkan saluran nafas
atas bila diinginkan. Sebagai contoh, saat intubasi endotrakeal. Antisialogogue sangan penting
pada operasi intraoral dan pada pemeriksaan jalan nafas seperti bronkoskopi.
Perbandingan Beberapa Obat Antikolinergik
Atropin Glycopirolate Scopolamine
Increased heart rate
Antisialogogue
Sedation
+++
+
+
++
++
0
+
+++
+++
0=no effect; + = small effect; ++ = moderate effect; +++ = large effect.
Karena glykopirolate tidak mudah menembus sawar darah otak, maka tidak dapat bekerja
sebagai sedasi.
Sedatif dan amnesia. Kedua scopolamine dan atropine dapat menembuas sawar darah otak
namun scopolamine adalah yang selalu dipakai sebagai sedatif terutama bila dikombinasi
dengan morfin. Tidak seperti lorazepam atau diazepam, tidak semua pasien dapat berefek
amnesia oleh pemberian scopolamine.
Aksi vagolitik. Aksi vagolitik dari antikolinergik diperoleh melalui blokade efek asetylkolin
pada SA node. Atropin lebih potensial disbanding glykopirolat dan scopolamine. Aksi
vagolitik ini berguna mencegah refleks bradikardi selama operasi. Bradikardi bias terjadi
akibat traksi otot ekstraorbital, otot abdomen, stimulasi sinus carotis, atau setelah
pemberian berulang suksinylkolin. Atropine dan glykopirolat diberikan intravena.
Elevasi kadar pH cairan gaster. Dosis tinggi antikolinergik sering diperlukan untuk
mengubah kadar pH. Namun demikian, saat preoperative antikolinergik tidak dibenarkan untuk
menurunkan sekresi H+ lambung.
2.5 pH dan Volume Cairan Lambung
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
15/23
Banyak pasien yang datang ke kamar operasi dengan resiko aspirasi pneumonitis.
Contoh klasik adalah pasien dengan nyeri akut dan perut penuh yang harus menjalani
pembedahan emergensi. Pasien dengan kehamilan, kegemukan, diabetes dan hiatus hernia atau
efflux gastroesofageal memiliki resiko untuk terjadinya aspirasi isi gaster dan subsequent
chemical pneumonitis. Aspirasi pulmonal dari isi gaster yang signifikan secara klinik sangat
jarang pada pasien yang sehat yang menjalani pembedahan elektif.
Pentingnya untuk dilakukan puasa sebelum dilakukan induksi anestesi untuk
pembedahan elektif saat ini dipertentangkan. Beberapa institusi memperbolehkan minum 3 jam
bahkan 2 jam sebelum operasi pada pasien tertentu. Volume isi gaster,setelah induksi anestesi
tidak meningkat dengan pemberian 150 ml air, kopi atau jus jeruk 2-3 jam sebelumnya. Studi
yang sama yang dilakukan oleh Shevde dan Trivedi menggambarkan pemberian 240 ml air,
kopi, jus jeruk pada relawan yang sehat, semuanya memiliki volume gaster kurang dari 25 ml
dengan sedikit peningkatan pH dalam 2 jam setelah minum satu atau tiga jenis minuman.Hal
yang dipertimbangkan dari puasa adalah kenyamanan, hipovolemi dan hipoglikemi pada pasein
anak-anak perioperatif. Investigasi oleh Splinter dkk, menyimpulkan bahwa minum air putih 3
jam sebelum operasi, tidak terlalu memiliki efek pada volume gaster dan pH pada anak-anak
yang sehat dengan usia 2-12 tahun. Studi lain pada bayi, anak-anak dan orang dewasa yang
dijadwalkan untuk operasi elektif memiliki hasil yang sama. Namun harus diingat bahwa data
tersebut didapatkan dari pasien yang tidak memiliki resiko terhadap aspirasi dan hanya
meminum air putih. The American Society of Anesthesiologists menyimpulkan pedoman untuk
praktek puasa peroperatif yang diadaptasi pada tahun 1998 (lihat table 21.5)
Tabel 21.5
REKOMENDASI PUASA UNTUK MENGURANGI RESIKO ASPIRASI
PULONAL
Jenis minuman
Air putih*
ASI
Makanan bayi
Susu formula
Makanan berat
Waktu puasa minimal (untuk semua umur)
2 jam4 jam
6 jam
6 jam
6 jam
Dilakukan pada pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif dan tidak dianjurkan
untuk wanita bersalin. Mengikuti pedoman tadak menjamin pengosongan gaster secara
komplit. * Termasuk air putih, jus buah, bahan-bahan berkarbonasi, teh dan kopi hitam.
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
16/23
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
17/23
Cimetidin biasanya diberikan dengan dosis150-300 mg baik oral maupun parenteral.
Penggunaan 300 mg cimetidin oral, 1-1,5 jam sebelum operasi, menunjukkan peningkatan
pH cairan gaster diatas 2,5 pada 80% pasien. Tidak ada efek pada volume cairan gaster.
Namun, sebuah studi oleh Maliniak dkk melaporkan bahwa cimetidin (300 mg) yang
diberikan IV 2 jam sebelum operasi meningkatkan pH cairan gaster dan menurunkan
volume gaster. Cimetidine IV dapat diberkan pada pasien yang tidak dapat menggunakan
cimetidin secara oral. Untuk pasien yang sangat obesitas, dosis cimetidin perlu
ditingkatkan. Cimetidin dapat menembus plasenta, namun efek samping terhadap janin
belum terbukti. Pada satu pusat investigasi, 126 pasien yang akan menjalani operasi sectio
cesarean elektif diteliti. Para pasien menerima 30 ml antacid 1-3 jam sebelum operasi atau
300 mg cimetidine oral pada saat tidur dan juga IM 1-3 jam sebelum operasi. Terdapat
peningkatan pada pH cairan gaster dan penurunan volume cairan gaster pada grup yang
diberikan cimetidine.Yang terpenting dari diskusi ini adalah, tidak terdapat perbedaan pada
kerja saraf dari neonatus diantara kedua grup. Efek gaster dari cimetidine berlangsung
sepanjang 3 atau 4 jam, dan oleh karena itu obat ini dapat digunakan pada operasi dengan
durasi waktu tersebut.
Cimetidin memiliki beberapa efek samping,namun ada beberapa catatan. Cimetidine
dapat menghambat berbagai fungsi system enzim oksidase hepar sehingga dapat
memperpanjang waktu paruh dari berbagai obat, termasuk diazepam, chlordiazepoxide,
theophylline, propanolol dan lidokain. Hal yang juga menjadi pertanyaan adalah penurunan
aliran darah hepar oleh cimetidin dan perpanjangan efek obat pada pasien gagal ginjal.
Disritmia jantung, hipotensi, cardiac arrest, dan depresi system saraf pusat pernah terjadi
setelah pemberian cimetidin. Efek samping ini mungkin terjadi pada pasien dengan
penyakit berat setelah pemberian cimetidin IV yang cepat. Diduga, resistensi jalan nafas
mungkin meningkat pada pasien asma karena cimetidin dapat menghasilkan unopposed
reseptor H2 yang dapat menyebabkan bronko konstriksi.
Ranitidin
Ranitidin lebih poten,spesifik, dan kerja lebih lama dibanding cimetidin. Dosis oaral
biasanya 50-200 mg. Ranitidin 50-100 mg yang diberikan parenteral,akan menurunkan pH
cairan gaster dalam 1 jam. Sama efektifnya dengan cimetidin dalam mengurangi jumlah
pasien yang memiliki resiko aspirasi gaster dan memiliki sedikit efek samping terhadap
kardiovaskular dan SSP. Efek dari ranitidine berlangsung sampai 9 jam. Oleh karena itu,
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
18/23
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
19/23
Metoklopramid
Metoclopramide adalah antagonis dopamine yang menstimulasi motilitas
gastrointestinal bagian atas, meningkatkan tonus spingter gastroesofagus, dan relaksasi pylorus
dan duodenum. Selain itu, juga sebagai antiemetik. Metoklopramide mempercepat
pengosongan lambung tapi belum diketahui efeknya pada sekresi asam dan pH cairan lambung.
Dapat diberikan secara oral atau parenteral. Dosis parenteral 5-20 mg biasanya diberikan 15-30
menit sebelum induksi. Dosis per oral 10 mg memiloki onset 30-60 menit. T1/2 metoklopramid
kira-kira 2-4 jam.
Penggunaan sebagai obat gastrokinetik adalah pada pasien-pasien yang jumlah cairan
gasternya besar seperti pasien persalinan, pasien yang dijadwalkan operasi emergensi dan baru
saja makan, obesitas, pasien trauma, rawat jalan, dan pasien DM yang akan dilakukan
gastroparesis sekunder.
Bagaimanapun, metoklopramide tidak menjamin pengosongan lambung. Sejumlah
cairan lambung yang bermagna masih mungkin ada meskipun itu diberikan. Efek
metoklopramide pada saluran cerna bagian atas bisa dihalangi oleh pemberian atropin atau
sebelumnya disuntikkan opioid. Mungkin juga tidak efektif setelah pemberian natrium sitrat.
Yang jalas, metoklopramide terutama akan efektif mengurangi resiko terjadinya a
antisialogogue spirasi paru bila dikombinasi dengan H2 reseptor antagonis (seperti, ranitidine)
sebelum pembedahan elektif.
2.6 Antiemetik
Ada berbagai kelompok pasien yang berespon terhadap obat-obat yang membantu
mengurangi mual dan muntah. Termasuk disini adalah pasien yang dijadwalkan untuk operasi
mata, pasien yang sebelumnya ada riwayat mual muntah, atau motion sickness, pasien yang
akan dilakukan operasi laparoskopi atau ginekologi, dan pasien obesitas. Ada 4 faktor resiko
yang diprediksi mengalami mual muntah postoperasi: perempuan, riwayat motion sickness
atau mual post operasi, tidak merokok, dan menggunakan opioid postoperasi. Bila didapatkan 2
atau lebih para peneliti mengusulkan pemberian antiemetik pofilaktik saat menggunakan
anestesi volatile. Banyakan ahli anestesi tidak suka memberikan antiemetikk sebagai bagian
dari regimen preopertif, tetapi sebaiknya diberikan intravena pada sesaat sebelum
operasi.selesai.
Droperiol
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
20/23
Diberikan intravena dosis rendah untuk mencegah mual muntah postperasi. Kortilla
dkk, meneliti bahwa dosis 1,25 mg 5 menit sebelum operasi berakhir mengurangi kejadian
mual mintah setelah operasi. Merekaa menemukan efek antiemetik droperidol lebih baik dari
pada metoklopramide atau domperidone. Studi lain oleh Santos dan Datta bahwa droperidol
efektif sebagai antiemetik untuk pasien seksio Caesarean dengan anestesi spinal. Namun, dosis
rendah droperidol tidak selalu efektif mencegah mual dan muntah. Pada dosis tinggi dapat
menyebabkan sedasi berlebih sampai di ruang pemulihan.
Metoklopramide
Seperti telah disebutkan, dapat digunakan sebagai antiemetik preoperative. Namun
masih controversial dan tidak konsisten.
Ondansetron
Adalah antagonis seseptor serotonin type-3. pemberian dosis 4-8 mg i.v pada dewasa
sebelum induksi, ondansetron menunjukkan efektivitas iang tinng mencegah mual dan muntah
postoperasi. Penggunaannya preoperative tidak dibenarkan pada banyak populasi tapi harus
melalui situasi terseleksi.
Antiemetik lain
Seperti fenotiazin, terutama prokloperazine memiliki efek antiemetik. Hidroksizin dan
difenidol adalah dua obat lain yang juga bernilai antiemetik. Walaupun domperidon memiliki
efek antiemetik, namun tidak terbukti mengurangi mual dan muntah postoperasi.
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
21/23
BAB III
KESIMPULAN
Pada anestesi umum biasanya diberikan adjunct anesthesia yang akan memperkuat efek
anestesi, sehingga dapat digunakan anestesi umum dosis rendah dengan efek samping yang
sedikit. Adjunct anesthesia dapat berupa premedikasi yang diberikan untuk mengurangi
kecemasan, menenangkan pasien, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi oral dan
respirasi, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah,
menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi refelks yang
membahayakan. Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menentramkan hati pasien.
Obat premedikasi yang sering diberikan adalah benzodiazepine contohnya midazolam
yang dapat memberikan efek sedasi dan amnesia, Agonis alpha 2 adrenegik dexmedetomidine
yang menghasilkan efek sedasi dan anelgesia, Analgetik opioid seperti morfin, meperidine dan
fentanyl yang memberikan efek analgetik sehingga dapat mengurangi nyeri akibat penyakit
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
22/23
7/31/2019 ADJUNCT ANESTHESIA (Rachmadina, WItri Amerta, Sri Rahayu)
23/23
Top Related