WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

33
 WRAP UP RONA MERAH DI PIPI Kelompok A-13 Ketua : Izzam Qalbie Hanifa (1102012135) Sekretaris : Intan Dwi Susanti (1102012129) Abd. Halim Gazali H. (1102012001) Abdi Ridha (1102012002) Astuti (1102012031) Chairunnisa (1102012045) Cindy Dwi Primasanti (1102012046) Dian Suciaty Annisa (1102012064) Gisda Azzahra (1102012101)  Nurul Ula (1102012148) Fakultas Kedokteran Universitas YARSI 2012-2013

Transcript of WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

Page 1: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 1/33

 

WRAP UP

“RONA MERAH DI PIPI” 

Kelompok A-13

Ketua : Izzam Qalbie Hanifa (1102012135)

Sekretaris : Intan Dwi Susanti (1102012129)

Abd. Halim Gazali H. (1102012001)

Abdi Ridha (1102012002)

Astuti (1102012031)

Chairunnisa (1102012045)

Cindy Dwi Primasanti (1102012046)

Dian Suciaty Annisa (1102012064)

Gisda Azzahra (1102012101)

 Nurul Ula (1102012148)

Fakultas Kedokteran

Universitas YARSI2012-2013

Page 2: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 2/33

1

SKENARIO 3

RONA MERAH DI PIPI

Seorang perempuan berusia 25 tahun, datang ke Rumah Sakit dengan keluhan demamyang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulutsariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar 

matahari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawandi mulut. Pada wajah terlihat malarrash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan.

Dokter menduga pasien menderita Systemic Lupus Eritematosus.

Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker  

autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dandilakukan  follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam

menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.

Page 3: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 3/33

2

SASARAN BELAJAR 

LI.1. Mampu memahami dan menjelaskan mengenai autoimun

LO.1.1. Memahami dan menjelaskan definisi autoimunLO.1.2. Memahami dan menjelaskan etiologi (faktor) autoimun

LO.1.3. Memahami dan menjelaskan klasifikasi autoimun

LO.1.4. Memahami dan menjelaskan mekanisme autoimun

LO.1.5. Memahami dan menjelaskan mengenai toleransi imunitas

LO.1.6. Memahami dan menjelaskan mengenai penyakit autoimun menurut

antibodi, kompleks imun, humoral dan selular, komplemen, dan melalui

sel T

LI.2. Mampu memahami dan menjelaskan mengenai Systemic Lupus

Eritematosus 

LO.2.1. Memahami dan menjelaskan definisi Systemic Lupus Eritematosus

LO.2.2. Memahami dan menjelaskan etiologi Systemic Lupus Eritematosus

LO.2.3. Memahami dan menjelaskan patogenesis dan patofisiologi Systemic

Lupus Eritematosus

LO.2.4. Memahami dan menjelaskan manifestasi klinis Systemic Lupus

Eritematosus

LO.2.5. Memahami dan menjelaskan diagnosis Systemic Lupus Eritematosus

LO.2.6. Memahami dan menjelaskan diagnosis banding Systemic Lupus

Eritematosus

LO.2.7. Memahami dan menjelaskan komplikasi Systemic Lupus EritematosusLO.2.8. Memahami dan menjelaskan prognosis Systemic Lupus Eritematosus

LO.2.9. Memahami dan menjelaskan epidemiologi Systemic Lupus Eritematosus

LO.2.10 Memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang Systemic Lupus

Eritematosus

LO.2.11 Memahami dan menjelaskan terapi Systemic Lupus Eritematosus

LI.3. Mampu memahami dan menjelaskan mengenai pandangan Islam terhadap

sabar, ikhlas, dan ridho dalam menghadapi cobaan

Page 4: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 4/33

3

LI.1. Mampu memahami dan menjelaskan mengenai autoimun

LO.1.1. Memahami dan menjelaskan definisi autoimun

Autoimun adalah suatu keadaan dimana tubuh membuat antibodi melawan

selnya sendiri. Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiriyang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan

 self-tolerance sel B, sel T atau keduanya.

Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis

yang ditimbulkan oleh respon autoimun.

LO.1.2. Memahami dan menjelaskan etiologi (faktor) autoimun

Faktor Penyebab Penyakit Autoimun

1. Genetik 

Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan

gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan

DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar 

daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan

 bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2

cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang

mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A

dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan

HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

2. Defisiensi komplemen

Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan

atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi

komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan

manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek 

 pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai

 predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3

akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan

 predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun

selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi

komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi

interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperandalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk 

memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks

imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang

terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen,

eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi

 berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. Hormon

Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns

sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita

dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam

Page 5: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 5/33

4

 patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron

mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.

4. Lingkungan pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan

obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun.

Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkanekspresi MHC kelas I atau II.

LO.1.3. Memahami dan menjelaskan klasifikasi autoimun

Menurut organ : spesifik dan non spesifik 

Autoimunitas

Mekanisme : antibodi, komplemen, sel T,

humoral dan selular, kompleks

antigen antibod. (dibahas padaLO. 1.6)

o  Penyakit Autoimun Organ Spesifik 

Contoh alat tubuh yang menjadi sasaran penyakit autoimun adalah kelenjar 

tiroid, kelenjar adrenal, lambung, dan pancreas. Pada penyakit-penyakit tersebut

dibentuk antibodi terhadap jaringan alat tubuh. Hal yang menarik perhatian adalah

adanya antibodi yang tumpang tindih (overlapping ), misalnya antibodi terhadap

kelenjar tiroid dan antibodi terhadap lambung sering ditemukan pada satu

 penderita. Kedua antibodi tersebut jarang ditemukan bersamaan dengan antibody

yang non-organ spesifik seperti antibody terhadap komponen nukleus dan

nukleoprotein.Contoh : Anemia pernisiosa, pemfigoid bulosa (salah satu penyakit kulit melepuh),

tiroiditis hashimoto, miksedem primer, tirotoksikosis, penyakit Addison, dll.

o  Penyakit Autoimun Non-Organ Spesifik 

Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya

antibody terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA.

Pada penyakit autoimun non-organ spesifik, sering juga dibentuk kompleks imun

yang dapat diendapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi, dan ginjal, serta

menimbulkan kerusakan pada alat tersebut.

Contoh : Artritis rheumatoid, SLE, LE discoid, scleroderma, Dermatomiositis, dll.

LO.1.4. Memahami dan menjelaskan mekanisme autoimun

Ada beberapa mekanisme mengenai induksi autoimunitas

1. pelepasan antigen sekuester 

2. kemiripan molekular 

3. ekspresi MHC-II yang tidak sesuai

1. Sequestered Antigen

Adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel

 b/ sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan

tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun.

Page 6: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 6/33

5

Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi,

kerusakan iskemia/ trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem

imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein lensa intraokular,

sperma, dan MBP.

2. Gangguan Presentasi (kemiripan molekular)

Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan

respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-B) dan gangguan respons

terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel

Ts/ Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts/ Tr, maka terjadi rengsangan ke sel Th yang

akhirnya menimbulkan autoimuntas

3. Ekspresi MHC-II yang Tidak Sesuai

Pada orang sehat, sel B mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali. Namun pada penderita dengan IDDM

ekspresi MHC-I dan MHC-II denga kadar tinggi. Contoh lain pada penderita Grave

yang mengekspresikan MHC-II pada membran.

Ekspresi MHC-II Yng tidak pada tempatnya itu yang biasanya diekspreskan

 pada APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B/

tiroid dan mengaktifkan sel B/Tc/Th1 terhadap self antigen.s

Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibodi (tipe II dan III),

tipe IV yang mengaktifkan sel CD4+ /sel CD8+ kerusakan organ dapat juga terajdi

melalui autoantibodi yang mengikat tempat fungsional self antigen seperti reseptor 

hormon, reseptor neurotransmitor, dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat

menyerupai /menghambat efek ligan endogen untuk self protein yang menibulkan

gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/ kerusakan jaringan fenomena ini

Page 7: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 7/33

6

terliha pada penyakit autoimunitas endokrin dengan autoantibodi yang

menyerupai/ menghambat efek hoormon seperti TSH, yang menimbulkan aktifitas

 berlebihan/ kurang dari tiroid.

LO.1.5. Memahami dan menjelaskan mengenai toleransi imunitas

Toleransi imun merupakan sistem imun yang tidak atau kurang dapat

mengekspresikan imunitas humoral atau seluler terhadap satu atau lebih antigen

spesifik. Beberapa faktor eksogen dapat merusak toleransi. Akibatnya dapat

 berbahaya; bergantung pada derajat kerusakan toleransi.

Toleransi Sel T 

a.  Toleransi sentral

Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam

 perkembangannya di timus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan limfosit yang

self-reaktif. Melalui proses yang disebut seleksi positif, sel hidup melalui ikatandengan kompleks MHC. Sel T dengan TCR yang gagal berikatan dengan self-MHC

dalam timus akan mati dengan apoptosis.

Page 8: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 8/33

7

 b.  Toleransi perifer 

Toleransi perifer merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan

toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau

terjadi bila ada klon sel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer.

Terdapat mekanisme yang dapat mencegah terjadinya toleransi perifer, seperti

ignorance, anergi dan kostimulasi dan mekanisme regulasi oleh sel Treg.

Toleransi Sel B

a.  Toleransi sentral

Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self reaktif pada toleransi sel T juga berlaku

 pada sel B. sel B yang self reaktif dihancurkan dalam sumsum tulang. Toleransi

sentral sel B terjadi bila sel B imatur terpajan dengan self-antigen yang multivalent

Page 9: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 9/33

8

dalam sumsum tulang. Hal tersebut menimbulkan apoptosis atau spesifisitas baru

yang disebut receptor editing.

 b.  Toleransi perifer 

Setelah meninggalkan sumsum tulang, sel B yang relative imatur bermigrasi ke

zona sel T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa,diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi ke sel folikel sel B dan apoptosis

ditingkatkan. Siklus hidup sel B self-reaktif dalam limpa adalah 1-3 hari. Namun

 beberapa sel B anergik self-reaktif masih dapat mengikat antigen dengan afinitas

tinggi, berperan dalam respon terhadap antigen asing.

Proses hipermutasi somatik gen immunoglobulin pada sel B matang di sentrum

germinativum kelenjar limfoid juga mempunyai potensi untuk membentuk 

autoantibodi. Produksi antibodi self-reaktif adalah terbatas. Sel B yang mengenal

antigen, tetapi tidak menerima bantuan dari sel T akan menjadi anergik atau apoptosis

dan tidak dapat berfungsi. Bila sel T dan sel B keduanya mengenal antigen asal

 pathogen pada waktu dan lokasi yang sama, sel T akan memberikan bantuan untuk sel

B dan memacunya untuk memproduksi dan melepas antibodi. Seperti halnya dengansel T stimulasi kronis kadar rendah antigen lebih cenderung menimbulkan anergi,

sedang stimulasi yang meningkat dengan cepat cenderung menimbulkan aktivasi.

LO.1.6. Memahami dan menjelaskan mengenai penyakit autoimun menurut

antibodi, kompleks imun, humoral dan selular, komplemen, dan melalui

sel T

o  Penyakit autoimun melalui antibodi

Penyakit autoimun melalu i antibodi Keterangan 

Anemia Hemolitik autoimun (AHA)

  AHA dengan Ab panas   Menunjukkan reaktivitas optimum

 pada suhu 37oC

  Terutama terdiri dari IgG

  Dapat ditemukan pada sel darahmerah

  Fagositosis sel darah merah yang

dilapisi Ab/opsonisasi

  Terutama terjadi di limpa

  AHA dengan antibody dingin   Hemolise biasanya ringan dan

gejala terjadinya pajanan

ekstremitas dengan dingin

  Antibody dingin hanya diikat

 pada suhu di bawah 37oC

  Yang berperan terutama adalah

IgM

  Hemoglobinuria dingin paroksima (HDP)

  Antibody jenis bersifat bifasik (biasanya di bawah 15oC) dan

menghancurkannya bila suhumeningkat sampai 37oC

Page 10: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 10/33

9

  Gejalanya dapat berupa panas,

sakit di ekstremitas, ikterik,

hemaglobinuria setelah terpajan

dengan dingin

  Myasthenia Gravis   Merupakan penyakit kronis akibatadanya gangguan dalam transmisi

neuromuskuler 

  Sekitar 60-80% pasien

menunjukkan antibody terhadap

reseptor asetilkolin

  Penyakit Grave, hipertiroidism   Ditimbulkan oleh produksi

hormone tiroid (tiroxin)

  Gejalanya dapat berupa panas,

sakit di ekstremitas, ikterik,

hemaglobinuria setelah terpajandengan dingin.

o  Penyakit autoimun melalui komplemen

Defisiensi komplemen dapat menimbulkan penyakit autoimun seperti LES,

namun sebabnya belum diketahui.

o  Penyakit autoimun melalui kompleks imun

a.  Lupus Erimatosus Sistemik (LES)

 b.  Artritis rheumatoidc.  Sicca complex

d.  Sindrom Goodpasture

e.  Anemia pernisiosa

f.  Rheumatic fever atau demam reuma

g.  Sindrom paska perikardiotomi dan sindrom paska infark miokard

h.  Sklerodema

i.  ITP (trombositopenia idiopatik)

 j.  Penyakit bulosa

o  Penyakit autoimun melalui sel T

Penyakit autoimun melalu i sel T  Keterangan 

Sclerosis multiple Penyakit neuromuskuler yang sering

menunjukkan relaps dengan periode

eksaserbasi dan remisi yang terjadi

lebih sering pada wanita dibandingkan

 pada pria.

Ensefalopati diseminasi akut (EMDA)   Dapat terjadi setelah pemberian

vaksin yang dilemahkan

  Gejalanya berupa sakit kepala,

Page 11: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 11/33

10

demam, leher kaku, dan lemas

Sindrom Gullian-Bare   Terjadi setelah infeksi (campak,influenza, vaksinasi influenza)

  Dapat mengenai semua golongan

umur 

Goiter    Merupakan penyakit pada kelenjar 

tiroid yang dapat ditemukan pada

wanita dewasa tua

  Terjadi pembesaran kelenjar tiroid

sehingga dapat menimbulkan

kerusakan

o  Penyakit autoimun melalui factor humoral dan seluler 

Penyakit autoimun melalui factor 

humoral dan selu ler 

Keterangan 

Diabetes Melitus Tipe I (Insulin

Dependent DM / DDM)  Terjadi akibat destruksi

imunologik sel beta dari sel

Langerhans pancreas yang

memproduksi insulin

  Gambaran klinis dan patologismemperlihatkan adanya

ketidakmampuan tubuh

memproduksi insulin sehingga

 pasien rentan terhadap fluktuasikadar gula darah

Tiroiditis kronis (tiroiditis Hashimoto)   Penyakit tiroid yang terutama

mengenai wanita antara usia 30-5-

tahun

  Gambaran klinis dan patologis

menunjukkan kelenjar tiroid yang

dapat membesar (goiter) dengan

konsistensi yang kenyal atau keras

Polimiositis-dermatomiositis Merupakan penyakit inflamasi akutdan kronis dari otot-otot (polimiositis)

yang sering mengenai kulit

(dermatomiositis)

LI.2. Mampu memahami dan menjelaskan mengenai Systemic Lupus

Eritematosus 

LO.2.1. Memahami dan menjelaskan definisi Systemic Lupus Eritematosus

Penyakit Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit sistemik evolutif yang mengenai satu atau beberapa organ tubuh, seperti ginjal, kulit, sel darah dan

Page 12: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 12/33

11

sistem saraf, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat,

 bersifat episodik diselingi oleh periode remisi, dan karakteristik adanya autoantibodi,

khusus-nya antibodi antinuklear dan aktivasi komplemen.

LO.2.2. Memahami dan menjelaskan etiologi Systemic Lupus Eritematosus

1.  Genetik:

a.  Sering pada anggota keluarga dan saudara kembar monozigot (25%) dibanding

kembar dizigotik (3%), berkaitan dengan HLA seperti DR2, DR3 dari MHC

kelas II.

 b.  Individu dengan HLA DR2 dan DR3 risiko 2-3 kali dibanding dengan HLA

DR4 dan HLA DR5.

c.  Gen HLA diperlukan untuk proses pengikatan dan presentasi antigen, serta

aktivasi sel T.

d.  Haploptip (pasangan gen yang terletak dalam sepasang kromosom yang

menetukan ciri seseorang), HLA menggangu fungsi sistem imun yang

menyebabkan peningkatan autoimunitas.

Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari

 penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah

maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak 

dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.

2.  Defisiensi komplemen

a.  Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP.

 b.  Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik.

c.  80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES.

d.  Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang akan

menyebabkan predisposisi penyakit kompleks imun.

e.  Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat,

menaikkan jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih lama, lalu

mengendap di jaringan yang menyebabkan berbagai macam manifestasi LES.

3.  Hormon

a.  Estrogen : imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral yang akan

menekan fungsi sel Ts dengan mengikat reseptor menyebabkan peningkatan

 produksi antibodi.

 b. Androgen akan induksi sel Ts dan menekan diferensiasi sel B (imunosupresor).c.  Imunomodulator adalah zat yang berpengaruh terhadap keseimbangan sistem

imun.

d.  3 jenis imunomodulator :

  Imunorestorasi

  Imunostimulasi

  Imunosupresi

4.  Autoantibodi

Tabel Autoantibodi Patogenik pada SLE

Antigen Spesifik Prevelensi (%) Efek Klinik Utama

Page 13: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 13/33

12

Anti-dsDNA 70-80 Gangguan ginjal, kulit

 Nukleosom 60-90 Gangguan ginjal, kulit

Ro 30-40 Gangguan kulit, ginjal, gangguan

 jantung fetus

La 15-20 Gangguan jantung fetus

Sm 10-30 Gangguan ginjal

Reseptor NMDA 33-50 Gangguan otak 

Fosfolipid 20-30 Trombosis, abortus

-Actinin 20 Gangguan ginjal

C1q 40-50 Gangguan ginjal

 NMDA = N-methyl-D-aspartate

5.  Lingkungan

a.  Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen.

 b.  Sinar UV akan meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA kemudian

terjadi reaksi epidermal lalu terjadi kompleks imun yang akan berdifusi keluar 

endotel setelah itu terjadi inflamasi.

 Faktor lingkungan yang mungkin berhubungan dengan pathogenesis SLE 

 Faktor fisik/kimia

  Amin aromatic

  Hydrazine

  Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,

 penisilamin

  Merokok 

  Pewarna rambut

  Sinar ultraviolet (UV)

 Faktor makanan

  Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan

  L-canavanine (kuncup dari alfalfa)

 Agen Infeksi

  Retrovirus

  DNA bakteri/endotoksin

 Hormon dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen)

Page 14: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 14/33

13

  Terapi sulih hormone (HRT), pil kontrasepsi oral

  Paparan estrogen parental 

LO.2.3. Memahami dan menjelaskan patogenesis dan patofisiologi Systemic

Lupus Eritematosus

 Patogenesis

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali

dengan faktor pencetus yang ada di lingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet

atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam

tubuh yaitu:

1.  Sel T dan B menjadi otoreaktif 

2.  Pembentukan sitokin yang berlebihan

3. 

Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain:  Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun

sitokin di dalam tubuh

  Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

  Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen

karena adanya mimikri molekul

Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh

yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang membentuk 

kompleks imun, kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang

akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Antibodi-antibodi yang terbentuk pada SLE sangat banyak, antara lain

Antinuclear antibodi (ANA), anti double staranded DNA (ds DNA), anti-ss A (Ro),anti-ss B (La), antiribosomal P antibody, anti Sm, sd-70.

Page 15: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 15/33

14

Selain itu hilangnya kontrol sistem imun pada patogenesis lupus juga diduga

 berperan pada timbulnya gejala klinis pada SLE.

 Patofisiologi

Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadi akibatterganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang

 berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-

faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya

terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).

Obat-obat tertentu seperti hidralasin [Apresoline, prokainamid(Pronestyl)], isoniazid,

klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan kecambah

alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi autoantibodi

diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul

 penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi

antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan, dan siklus tersebut berulangkembali.

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai predisposisi genetik 

akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan

hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T

autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang

memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih

 belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar 

ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama

terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan

non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk 

agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel

ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-

spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan

antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam

sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan

akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan

aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.

Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme

regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individuyang resisten.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak 

dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa,

 penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai

gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang,

 berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-

kadang disertai menggigil.

Gejala yang paling sering pada SLE pada sistem muskuloskeletal, berupa arthritis

atau artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling

sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan

tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaputfemoris.

Page 16: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 16/33

15

LO.2.4. Memahami dan menjelaskan manifestasi klinis Systemic Lupus

Eritematosus

Manifestasi klinis lupus eritematosus bervariasi, penyebabnya kurang jelas, dan

gambaran klinisnya tidak khas. Penyakit ini dapat mulai dengan satu organ dan

selanjutnya muncul juga gambaran klinis organ lain sejalan dengan berkembangnya

 penyakit. Manifestasi klinis yang berat adalah gangguan fungsi organ yang multipel.

Secara umum, manifestasi klinisnya adalah badan panas disertai lelah, pembengkakan

 persendian, ruam kulit, sensitif terhadap sinar, anemia, dan penurunan fungsi

kesadaran.

Sistem Organ Manif estasi Kl in is 

Manifestasi umum Badan panas, berat badan turun, cepat lelah

Klinis otot dan tulang Pembengkakakn persendian disertai rasa sakit

Otot mengalami kelemahan sampai tidak berfungsi

Hematologis Anemia, hematolisis, leukopenia

Trombositopenia dijumpai, antikoagulan

Manifestasi kulit Gambaran ruam pada molar seperti kupu-kupu

Terdapat ulkus, alopesia, sensitif terhadap sinar matahari

Ruam kulit bahkan dapat disertai bentuk diskoid

Klinis neurologis Kesadaran menurun, terdapat gangguan organik otak,

 psikosis dan disertai serangan mendadak 

Jantung, paru, ginjal,

gastrointestinal

Perikarditis dan pleuritis

Sindrom nefritis, proteinuria

Tidak ada nafsu makan, diare, mual/muntah

Perut sakit (mulas)

Gambaran trombosis Pada vena sekitar 10%, sedangkan arteri sekitar 5%

Mata Konjungtivitis

Gangguan pada janin Abortus berulang, kematian intrauterin

LO.2.5. Memahami dan menjelaskan diagnosis Systemic Lupus Eritematosus

Page 17: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 17/33

16

Klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American College of 

Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997. Kriteria

diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut mempunyai sensitivitas 96% dan

spesifisitas 100%. Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11

kriteria ACR tersebut.

 Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumathology)

Kriteria Definisi 

Bercak malar (Butterfly rash) Eritema datar atau menimbul yang menetap

didaerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan

nasolabial

Bercak discoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent

keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi

lama dapat terjadi parut atrofi

Fotosensitif Bercak dikulit yang timbul akibat paparan sinar 

matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik 

Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri

Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih persendian

 perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau

efusi

Serositis a.  Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar 

 pleural friction rub atau terdapat efusi pleura

 pada pemeriksaan fisik atau

 b.  Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau

terdengar pericardial friction rub atau terdapat

efusi pericardial pada pemeriksaan fisik 

Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan

+3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat

dilakukan atau

 b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau

campuran

Gangguan saraf a. Kejang

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik 

(uremia, ketoasidosis atau ketidak seimbangan

elektrolit) atau

 b. Psikosis

Page 18: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 18/33

17

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik 

(uremia, ketoasidosis atau ketidak seimbangan

elektrolit)

Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah :

Anemia hemolitik → dengan retikulositosis

Lekopenia → < 4000/mm3 pada ≥ 1 pemeriksaan

Limfopenia → < 1500/mm3 pada ≥ 2 pemeriksaan

Trombositopenia → < 100.000/mm3 tanpa adanya

intervensi obat

Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan :

Anti ds-DNA di atas titer normal

Anti Sm (Smith) (+)

Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum

IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal

Anti koagulan lupus (+) dengan menggunakan tes

standar 

Tes sifilis (+) positif palsu, paling sedikit selama 6

 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya

Treponema palidum atau antibodi treponema

Antibodi antinuklear (ANA) Test ANA (+)

LO.2.6. Memahami dan menjelaskan diagnosis banding Systemic Lupus

Eritematosus

Diagnosis banding yang dapat terjadi pada Systemic Lupus Eritematosus:

- Artritis rheumatoid dan penyakit jaringan ikat lainnya.  

- Endokarditis bacterial subakut  

- Septikimia disebabkan gonokokus/meningokokus yang disertai arthritis danlesi kulit.  

- Reaksi terhadap obat  

- Limfoma  

- Leukemia  

- Trombotik trombositopenik purpura  

- Sarkoidosis  

- Lues II  

- Sepsis bacterial

LO.2.7. Memahami dan menjelaskan komplikasi Systemic Lupus Eritematosus

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada Systemic Lupus Eritematosus:

Page 19: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 19/33

18

  Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES. Gagal

ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus

disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel.

  Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi jantung).

  Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru-paru dapat membatasi pernafasan. Sering terjadi bronchitis.

  Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.

  Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahankepribadian, termasuk psikosis dan depresi, dapat terjadi. Perubahan kepribadian

mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya.

LO.2.8. Memahami dan menjelaskan prognosis Systemic Lupus Eritematosus

Angka harapan hidup :

 5 tahun : 85-88%

  10 tahun : 76-87%

Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :

  Infeksi penyakit

   Nefritis lupus

  Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)

  Penyakit kardiovaskular 

  Lupus sistem saraf pusat

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan

indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat

DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. 

LO.2.9. Memahami dan menjelaskan epidemiologi Systemic Lupus Eritematosus

Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3  –  400 orang

 per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras

tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di

Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1

kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1

:1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika

mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang

ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai

 prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000

 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada  Polynesian sebanyak 50

kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang

kulit putih (Bartels, 2006).

Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi

diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang

(Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil  survey, data morbiditas penderita SLE

di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi

 penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan

Page 20: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 20/33

19

low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari

sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia. LO.2.10 Memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang Systemic Lupus

Eritematosus

 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah leukosit, trombosit, limfosit dan

kadar Hb dan LED. LED yang meningkat menandakan aktifnya penyakit.

Pemeriksaan CRP sangat membantu untuk membedakan lupus aktif dengan

infeksi. Pada lupus yang aktif kadar CRP norma atau meningkat tidak bermakna,

sedangkan pada infeksi terdapat peningkatan CRP yang sangat tinggi. Pemeriksaan

komplemen C3 dan C4 membantu untuk menilai aktivitas penyakit. Pada keadaan

aktif kadar kedua komplemen ini rendah.

 Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan Lab yang dilakukan terhadap pasien SLE:

-  Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)

Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifitas yang rendah

-  Tes Anti dsDNA (double stranded)

Tes ini sangat spesifik untuk SLE, biasanya titernya akan meningkat sebelum SLEkambuh.

-  Tes Antibodi anti-S (Smith)

Antibodi spesifik terdapat 20-30% pasien

-  Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus

anti SSB, dan antibodi antikardiolipin).

Titernya tidak terkait dengan kambuhnya SLE

-  Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)

-  Tes sel LE

Kurang spesifik dan juga positif pada arthritis rheumatoid, syndrome sjogren,

scleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain

-  Tes anti ssDNA (single stranded)

Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis

 Pemeriksaan serologi

Tes ANA merupakan pemeriksaan serologi awal. ANA tes juga di pakai untuk menilai aktivitas penyakit. Antibodi antibodi lainnya mempunyai sensitivitas dan

spesivitas yang berbeda beda.

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk 

membuat diagnosa SLE, antara lain :

1.  Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)

yaitu: pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti sel sering

muncul di dalam darah.

2.  Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).

yaitu: untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik 

di dalam sel.3.  Pemeriksaan anti-Sm antibodi

Page 21: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 21/33

20

yaitu: untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang

ditemukan dalam sel protein inti).

4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) di

dalam darah

5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok 

 protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilaitingkat spesifik dari C3 dan C4 – dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.

6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)

yaitu: pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang

dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain – pemeriksaan ini

 jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena

 pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan

dengan LE cell prep.

7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit

8. Urine Rutin

9. Antibodi Antiphospholipid

10. Biopsy Kulit11. Biopsy Ginjal

o  Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupus

dan ini merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untuk 

mengenali sistemik lupus.

o  Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah

 penyebab sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE

muncul tanpa ditemukannya ANA.

Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat

seiring dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat

membantu dalam menentukan jenis penyakit auto imun yang muncul dan menentukan

 program pengobatan seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil

 pemeriksaan ANA bisa positif pada banyak keadaan, oleh karena itu dalam

 pemeriksaan ANA harus di dukung dengan catatan kesehatan pasien serta gejala-

gejala klinis lainnya. Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya

ANA saja) tidak cukup untuk mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif 

merupakan bantahan terhadap lupus akan tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan

adanya penyakit tersebut.

Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan ANA positif, bukanlah bukti

keberadaan Lupus, karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap:  Orang-orang dengan penyakit jaringan connective lainnya.

  Pasien yang sedang diobati dengan obat-obatan tertentu, misal menggunakan

obat prokrainamid, hidralazin, isoniazidklorpromazin, dan;

  Orang-orang dengan kondisi selain dari lupusseperti skeloderma, sjogren’ssyndrome,rematik arthritis, penyakit kelenjar gondok (thyroid), penyakit hati

(liver)

LO.2.11 Memahami dan menjelaskan terapi Systemic Lupus Eritematosus

 Penatalaksanaan

Penyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus Eritematosus

Page 22: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 22/33

21

merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi. Penatalaksanaan

ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun ini dan pada strategi-

strategi pencegahan seperti :

  Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas)

  Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif)

  Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderitamendapat terapi antimalaria atau siklifosfamid)

  Evaluasi serta terapi terhadap infeksi

Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit secara

rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan imunosupresi,

terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat. Penderita SLE

mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami:

Terapi konservatif 

Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan

dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat

diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.

o  Arthritis, arthralgia, myalgia

Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan

ringan seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi

nonsteroid, tetapi pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping

yang memperberat keadaan umum penderita, seperti pada sistem

gastrointestinal, hepar, dan ginjal sehingga diperlukan pemantauan kreatinin

serum berkala. Bila pemberian analgetik dan OAINS tidak berespon baik,

 pertimbangkan pemberian obat antimalaria :

Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon

 baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian)dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena

 beresiko toksik terhadap retina.

Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian

kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15

mg/minggu) dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis.

Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang “menetap” dan bukanmerupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan

 penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada penderita terapi

kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran

 bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan

 pemeriksaan MRI.

o  Lupus kutaneus

Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE timbul bila

 penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan

 sunscreen berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA (ρ-

aminobenzoit acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang

kesemuanya dapat menyerap sinar UV α dan β (pemakaian diulang setelahmandi dan berkeringat).

Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat dipertimbangkan

 pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat

diflorinasi (atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid untuk kulit :

Page 23: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 23/33

22

  Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi

(hidrokortison)]

  Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang (betametason valerat

dan triamsinolon asetonid)]

  Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik (glukokortikoid

 berkekuatan tinggi contohnya betametason dipropionat, penggunaancream dibatasi selama 2 minggu dan diganti dengan yang berkekuatan

rendah)

OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun

diskoid. OAM mempunyai efek :

  Sunblocking 

Mengikat melanin

  Antiinflamasi

  Imunosupresan

Berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehinggga

mengganggu metabolisme rantai α dan β HLA II.   Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF-α oleh makrofag, IL-2 dan IFN-γoleh sel T.

Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian

glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya.

Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,

vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek sampingnya seperti :

  Methemoglobinemia

  Sulfhemoglobinemia

  Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)

o  Fatigue dan keluhan sistemik 

Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan

 berat badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,

sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian

quinakrin. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan

menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat

dapat menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid

sistemik dapat dipertimbangkan.

o  Serositis (radang membran serosa)

 Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapatdiatasi dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15

mg/hari). Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.

Terapi agresif 

Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi

serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya :

  Vaskulitis

  Lupus kutaneus berat

  Poliartritis

  Poliserositis  Miokarditis pneumonitis lupus

Page 24: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 24/33

23

  Glomerulonefritis (bentuk proliferatif)

  Anemia hemolitik 

  Trombositopenia

  Sindrom otak organik 

  Defek kognitif berat

  Mielopati

   Neuropati perifer 

  Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan

 jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena

 berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk 

mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi

hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari.

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari

selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosistinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi

dapat terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas SLE

merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE.

Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus

dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul

ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis

dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari,

 penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis

hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali.

Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan

yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapiagresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2 

dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3

liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada:

  Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi ( steroid sparing agent )

  Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi

  Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka panjang lama

atau berulang

  Glomerulonefritis difus awal

  SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid

 Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.

  SLE dengan manifestasi SSP

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid

diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau

 jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya

diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan

dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian

 berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan,

kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan,

dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya.Toksisitas siklofosfamid meliputi :

Page 25: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 25/33

24

   Nausea

  Vomitus alopesia

  Sistitis hemoragika

  Keganasan kulit

  Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari

siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan

sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat

diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol

dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan

dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi :

  Penekanan sistem hemopoetik 

  Peningkatan enzim hati

  Mencetuskan keganasan

Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6

mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE

 baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama

 pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar 

kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka dosis

harus diturunkan.

Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :

  Terapi hormonal

  Imunoglobulin

  Afaresiso  Plasmafaresis

o  Leukofaresis

o  Kriofaresis

Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat

mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti.

Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400

mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan

untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita

defisiensi IgA pada penderita SLE.

 Penatalaksanaan SLE keadaan khusus

Trombosis

Merupakan manifesatasi SLE dan berhubungan dengan adanya antibodi

antifosfolipid. Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya (warfarin)

dan mempertahankan nilai INR (international normalization ratio) 3 – 3,5, terutama

 pada trombosis arteri karotis interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap

glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibodi antikardiolipin sangat

resisten terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lainnya.

 Abortus berulang pada SLE 

Page 26: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 26/33

25

Disebabkan oleh aktivitas SLE atau adanya antibodi antifosfolipid, untuk 

menekan aktivitas SLE, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin

kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk 

aktif. Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan

untuk tidak diberikan terapi apapun. Makin sering terjadi abortus, kemungkinan

mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi perlu diberikan. Pilihanterapi:

  Aspirin dosis rendah

  Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang

  Glukokortikoid dosis tinggi

  Glukokortikoid dosis tinggi dengan aspirin

  Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I)

Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan kehamilan secara bermakna,

 pemantauan pada ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

 Lupus neonatal 

Merupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita SLE.

Gejala paling sering adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat. Lesi ini

 berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan

yang serius seperti blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada wanita hamil

 perlu diperiksa kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.

Trombositopenia

Pertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia :

  Efek samping obat

  Purpura trombositopenia trombotik 

  Infeksi virus (HIV, HBV, CMV)  Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)

Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit

< 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini trombosit >

50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800 mg/hari, Ig

atau splenektomi.

Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor 

dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.

SLE pada susunan saraf pusat 

Penderita SLE pada susunan saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu :  Penderita dengan strok 

Pemberian antikoagulan lebih berguna dibandingkan pemberian

imunosupresan

  Penderita dengan kelainan SSP yang lebih luas

Apabila disertai vaskulitis perifer, maka imunosupresan menjadi pilihan

utama.

Pada penderita SLE dengan kejang-kejang tanpa aktivitas pada organ lain, dapat

diberikan antikonvulsan tanpa imunosupresan. Pada penderita psikotik tanpa

manifestasi SLE lain cukup diberikan obat psikoaktif. Kelainan kognitif ringan dapatdiberikan prednison 30mg/hari selama beberapa minggu lalu dosis diturunkan secara

Page 27: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 27/33

26

 bertahap. Pada sindrom otak organik berat, koma, mielopati diberikan terapi agresif 

dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

 Nefritis lupus

Penatalaksanaan umum :

1.  Penderita yang diduga menderita nefritis lupus, harus dilakukan biopsi ginjal(bila tidak ada kontraindikasi) guna menentukan strategi penatalaksanaan lebih

lanjut.

2.  Kurangi asupan :

a.  Garam (bila ada hipertensi)

 b.  Lemak (bila ada dislipidemia)

c.  Protein (bila fungsi ginjal mulai terganggu)

3.  Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid

4.  Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema

5.  Hindari penggunaan salisilat dan OAINS

6.  Terapi agresif terhadap hipertensi

7.  Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan ginjal8.  Penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE kulit, dapat diberikan OAM

9.  Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal meliputi :

a.  Tekanan darah

 b.  Sedimen urin

c.  Kreatinin serum

d.  Albumin serum

e.  Protein urin 24 jam

f.  Komplemen C3 

g.  Anti DNA

Tambahan:

  Obat anti-inflamasi termasuk aspirin atau obat anti-inflamasi non-steroid lainnya

digunakan untuk mengobati demam dan arthritis.

  Kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengobati atau mencegah patologi ginjal dan

susunan saraf pusat.

  Obat anti-inflamasi, seperti metotreksat, dan obat sitotoksik (azatioprin) digunakan jika

steroid tidak efektif atau gejala berat.

  Obat antimalaria digunakan untuk mengobati ruam kulit, arthritis, dan gejala lain.

LI.3. Mampu memahami dan menjelaskan mengenai pandangan Islam terhadap

sabar, ikhlas, dan ridho dalam menghadapi cobaan

1.  SABAR 

 Definisi sabar Secara etimologi, sabar  (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff  (menahan),

Allah berfirman:

واصز فسك ع الذ دىن ربم بلغداة والشي“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang -orang yang menyeru Rabbnya di

 pagi dan senja hari.” (Al-Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama

mereka.

Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatuatau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:

Page 28: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 28/33

27

والذ صزوا ابتغء وجه ربم“Dan orang -orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d:22).

 Macam – macam sabar Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu:

1. sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah

2. sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah

3. sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.

Ayat-Ayat Al-Quran

 Al-Baqarah 152-156 

152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,

sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

154. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan

Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu

tidak menyadarinya.

155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,

kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira

kepada orang-orang yang sabar.

156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna

lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".

Page 29: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 29/33

28

Mengenai sabar, Allah SWT berfirman, “wahai sekalian orang-orang yang

 beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah

 bersiap siaga” (QS.Ali imran : 200) Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan ketika

mengalami musibah, menahan diri dari maksiat dengan jalan beribadah dan berjuang

melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk berjihad di jalan Allah SWT.Tentang ayat ini, Sahl bin Sa’ad meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah SAW

 bahwa, “Satu hari berjihad di jalan Allah itu lebih baik ketimbang dunia dengansegala isinya” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi).

2.  IKHLAS

 Definisi ikhlas

Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan

hal-hal yang bisa mencampurinya.

Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik 

menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari

definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”,yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan

kepada Allah bukan kepada manusia.

Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dar ikomentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentumaka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui

apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja

yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam

amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap

muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia

sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia

menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah

keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ayat – ayat Al-Quran tentang ikhlas:

"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan

(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan

kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)."

(QS. Az-Zumar: 2-3).

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allahdengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-

Zumar: 2-3).

3.  RIDHO

 Definisi ridho

Ridho ( ) berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha

dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa

apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut

Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan

 berdampak baik pula bagi hamba-Nya.

 Macam – macam ridho

Page 30: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 30/33

29

Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah

terbagi menjadi tiga macam: 

1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam

dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak 

dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan

 bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kitasebagai umat-Nya. 

2. Disunnahkan untuk direlakan,  yaitu musibah berupa bencana. Para ulama

mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan

namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang

hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja

tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak 

menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta

adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat. 

3. Haram direlakan,  yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atasqodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk 

dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan

dan kemungkaran di muka bumi.

Ayat al-quran tentang ridho            

“Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah

hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19) 

                 

        

                              

“Se sungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah  shollallahu ’alaih wa sallam itu

 suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah

dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al -Ahzab ayat 

21) 

Page 31: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 31/33

30

ANALISA TERHADAP SKENARIO

1. Faktor apa saja yang mempengaruhi autoimunitas?

2. Patofisiologi autoimun!

3. Bagaimana mekanisme antibodi yang membentuk kompleks imun?

4. Faktor yang mempengaruhi risiko SLE?

5. Klasifikasi autoimun!

6. Dalam skenario ini, apa yang menyebabkan suhu menjadi subfebris?

7. Patogenesis SLE!

8. Patofisiologi SLE!

9. Apakah umur mempengaruhi autoimun? Jelaskan!

10.  Apakah SLE menimbulkan komplikasi? Sebutkan!

11.  Pemeriksaan penunjang SLE selain marker autoimun adalah?

12.  Bagaimana pandangan Islam terhadap sabar dalam menghadapi cobaan?

13.  Diagnosis SLE!

14.  Apa efek sinar UV pada SLE?

15.  Diagnosis banding SLE!

Page 32: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 32/33

31

HIPOTESIS 

Autoimun SLE Sabar 

Faktor 

Mekanisme

Klasifikasi

Faktor 

Patofisiologi

Patogenesis

Diagnosis

PemeriksaanPenunjang

Komplikasi

Diagnosis

Banding

Menurut

Pandangan

Islam

Page 33: WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

7/27/2019 WRAP UP SKENARIO 3, BLOK MPT.docx

http://slidepdf.com/reader/full/wrap-up-skenario-3-blok-mptdocx 33/33

DAFTAR PUSTAKA

ads.machbudin.com

Akib,Arwin,dkk.2010. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua. Jakarta: IDAI.

Al-Quran Tafsir Per Kata, Tajwid Kode Angka, Alhidayah. Karim.

Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2010).  Imunologi Dasar . Jakarta : Balai Penerbit

FKUI.

Bertsias, George, ell.2012.Systemic Lupus Erythematosus : Pathogenesis and Clinical 

 Features. Diakses tanggal Minggu, 27 Mei 2012 pada pukul 20.15 WIB.

Corwin, J. Elizabeth. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta. EGC.

Davey, Patrick.2003. At Glance Medicine.Jakarta: Erlangga Medical Series.

Diminati, dr alifa dkk. (2010). Kamus Kedokteran Dorlan. Edisi 31, Jakarta : EGC.

eramuslim ( media islam rujukan )

http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/13-6-7.pdf , diakses 27 Mei 2012

“Gambaran Klinis dan Kelainan Imunologis pada Anak dengan Lupus Eritematosus

Sistemik di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik Medan”, Sari Pediatri, Vol. 13,

 No. 6, April 2012.

http://susenbopeas.blogspot.com/2009/08/lupus-eritematosus-sistemik.html, diakses

27 Mei 2012.

http://mandumna.webuda.com/1_30_8-Pemeriksaan-Laboratorium.htm, diakses 27

Mei 2012.

Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006).  Ilmu Penyakit Dalam. Edisi

V, vol III Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.

Manuaba, I.A.C, dr, SpOG, dkk (2006). “Buku Ajar Patologi Obstetri”, Jakarta, EGC:74.

Price and Wilson.2005. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit Vol. 2.

Jakarta: EGC.

Watson, R. (1997). “Anatomi & Fisiologi”, ed: 10, Jakarta, EGC.

h h i d