Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

28
22 Virtual Democracy: Study on Political Communication of Hate speech and Hoax in Presidential Election 2019 Through Social Media Pratiwi Fajriyah 1 1 Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya [email protected] 1 ABSTRACT This journal discusses related to political communication patterns in hate speech and hoaxes through social media. Virtual democracy promises freedom of participation in the political sphere. This is supported by the rapid development of technology so that it is able to present the phenomenon of hate speech and hoaxes. The Ministry of Communication and Information said that as many as 453 hoax news in 2019 were spread on social media. Therefore, this journal will discuss patterns of political communication in the dissemination of hate speech and hoax reporting on social media. The theory used is political communication. Political communication has the power to persuade readers through content and intensity. The method used is qualitative-descriptive. Data collection techniques using the study of literature. Data analysis techniques using social media analysis (Facebook, Instagram, and WhatsApp) and secondary data. Hate speech and hoaxes are present in every process before the 2019 Presidential Election. The pattern of reporting hate speech and hoaxes is carried out as effectively as possible so that it can influence the reader. The effectiveness of hoax and hate speech coverage can be seen from how often the news appears and how much the public responds to the news. In the long run, hate speech and hoaxes will affect readers regarding choices in the 2019 Presidential Election. This phenomenon shows that the use of social media (Facebook, Instagram, WhatsApp) is a tool to spread hoaxes and hate speech. The communication pattern of a hoax spreader account. First, the introduction of mass. Second, the spread of hoaxes and hate speeches always give a repetitive coverage. Third, legitimacy. Legitimacy can be one of the evidences so that news that is not necessarily guaranteed to be trusted by the public. The three stages above are patterns of political communication of hoaxes and hate speeches. Keyword: Hate speech and hoax, political communication, social media ABSTRAK Jurnal ini membahas terkait dengan pola komunikasi politik dalam hate speech dan hoax melalui media sosial. Demokrasi virtual menjanjikan kebebasan berpartisipasi dalam ranah politik. Hal ini didukung oleh perkembangan teknologi yang pesat sehingga mampu menyajikan fenomena hate speech dan hoax. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan sebanyak 453 berita hoax pada tahun 2019 tersebar di media sosial. Oleh karena itu, jurnal ini akan membahas pola komunikasi politik dalam penyebarluasan pemberitaan hate speech dan hoax dalam media sosial. Teori yang digunakan adalah komunikasi politik. Komunikasi politik memiliki power dalam melakukan persuasif terhadap pembaca melalui konten isi serta intensitas. Metode yang digunakan yakni kualitatif-deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan studi literatur. Teknik analisis data menggunakan analisis media sosial (facebook, instagram, dan whatsapp) dan data sekunder. Hate speech dan hoax hadir disetiap proses menjelang Pilpres 2019. Pola pemberitaan hate speech dan hoax dilakukan seefektif mungkin agar dapat memengaruhi pembaca. Tingkat efektivitasan pemberitaan hoax dan hate speech terlihat dari seberapa sering pemberitaan muncul dan seberapa banyak masyarakat merespon pemberitaan tersebut. Jangka panjangnya, hate speech dan hoax akan memengaruhi pembaca terkait pilihan dalam Pilpres 2019. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggunaan media sosial (facebook, instagram, whatsapp) merupakan alat untuk menyebarkan hoax dan hate speech. Pola komunikasi dari akun penyebar hoax. Pertama, pengenalan massa. Kedua, penyebar pemberitaan hoax dan hate speech selalu memberikan pemberitaan yang berulang. Ketiga, legitimasi. Legitimasi bisa menjadi salah satu bukti agar pemberitaan yang belum tentu kebenarannya dipercaya oleh masyarakat. Ketiga tahapan di atas merupakan pola komunikasi politik hoax dan hate speech. Kata Kunci: Komunikasi politik, hate speech dan hoax, media sosial

Transcript of Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

Page 1: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

22

Virtual Democracy: Study on Political Communication of Hate speech and

Hoax in Presidential Election 2019 Through Social Media

Pratiwi Fajriyah 1

1 Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga,

Surabaya

[email protected] 1

ABSTRACT

This journal discusses related to political communication patterns in hate speech and hoaxes

through social media. Virtual democracy promises freedom of participation in the political

sphere. This is supported by the rapid development of technology so that it is able to present

the phenomenon of hate speech and hoaxes. The Ministry of Communication and Information

said that as many as 453 hoax news in 2019 were spread on social media. Therefore, this

journal will discuss patterns of political communication in the dissemination of hate speech

and hoax reporting on social media. The theory used is political communication. Political

communication has the power to persuade readers through content and intensity. The method

used is qualitative-descriptive. Data collection techniques using the study of literature. Data

analysis techniques using social media analysis (Facebook, Instagram, and WhatsApp) and

secondary data. Hate speech and hoaxes are present in every process before the 2019

Presidential Election. The pattern of reporting hate speech and hoaxes is carried out as

effectively as possible so that it can influence the reader. The effectiveness of hoax and hate

speech coverage can be seen from how often the news appears and how much the public

responds to the news. In the long run, hate speech and hoaxes will affect readers regarding

choices in the 2019 Presidential Election. This phenomenon shows that the use of social

media (Facebook, Instagram, WhatsApp) is a tool to spread hoaxes and hate speech. The

communication pattern of a hoax spreader account. First, the introduction of mass. Second,

the spread of hoaxes and hate speeches always give a repetitive coverage. Third, legitimacy.

Legitimacy can be one of the evidences so that news that is not necessarily guaranteed to be

trusted by the public. The three stages above are patterns of political communication of

hoaxes and hate speeches.

Keyword: Hate speech and hoax, political communication, social media

ABSTRAK

Jurnal ini membahas terkait dengan pola komunikasi politik dalam hate speech dan hoax melalui media sosial. Demokrasi virtual menjanjikan kebebasan berpartisipasi dalam ranah politik. Hal ini didukung oleh perkembangan teknologi yang pesat sehingga mampu menyajikan fenomena hate speech dan hoax. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan sebanyak 453 berita hoax pada tahun 2019 tersebar di media sosial. Oleh karena itu, jurnal ini akan membahas pola komunikasi politik dalam penyebarluasan pemberitaan hate speech dan hoax dalam media sosial. Teori yang digunakan adalah komunikasi politik. Komunikasi politik memiliki power dalam melakukan persuasif terhadap pembaca melalui konten isi serta intensitas. Metode yang digunakan yakni kualitatif-deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan studi literatur. Teknik analisis data menggunakan analisis media sosial (facebook, instagram, dan whatsapp) dan data sekunder. Hate speech dan hoax hadir disetiap proses menjelang Pilpres 2019. Pola pemberitaan hate speech dan hoax dilakukan seefektif mungkin agar dapat memengaruhi pembaca. Tingkat efektivitasan pemberitaan hoax dan hate speech terlihat dari seberapa sering pemberitaan muncul dan seberapa banyak masyarakat merespon pemberitaan tersebut. Jangka panjangnya, hate speech dan hoax akan memengaruhi pembaca terkait pilihan dalam Pilpres 2019. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggunaan media sosial (facebook, instagram, whatsapp) merupakan alat untuk menyebarkan hoax dan hate speech. Pola komunikasi dari akun penyebar hoax. Pertama, pengenalan massa. Kedua, penyebar pemberitaan hoax dan hate speech selalu memberikan pemberitaan yang berulang. Ketiga, legitimasi. Legitimasi bisa menjadi salah satu bukti agar pemberitaan yang belum tentu kebenarannya dipercaya oleh masyarakat. Ketiga tahapan di atas merupakan pola komunikasi politik hoax dan hate speech.

Kata Kunci: Komunikasi politik, hate speech dan hoax, media sosial

Page 2: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

23

PENDAHULUAN

Jurnal Virtual Democracy : Study on Political Communication of Hate speech and Hoax in

Presidential Election 2019 Through Social Media akan menjelaskan tentang pola

penyebarluasan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial melalui pendekatan komunikasi

politik pada pemilihan presiden 2019. Fenomena yang terjadi menjelang Pilpres 2019 selalu

menunjukkan kebaruan. Misalnya ujaran kebencian yang tengah terjadi menuju Pilpres 2019.

Ujaran kebencian saat ini paling banyak dilakukan melalui media sosial. Karena dalam media

sosial, setiap orang memiliki hak untuk menulis opini, tanggapan, bahkan kritik yang bermuatan

SARA. Sehingga jurnal ini akan lebih mengeksplorasi pola dari ujaran kebencian di media

sosial yang tengah berkembang menjelang Pilpres 2019.

Fenomena ujaran kebencian di media sosial tidak akan pernah lepas dari pengaruh

globalisasi. Tujuan utama dari globalisasi pada awalnya adalah penerapan semangat prinsip

integrasi ekonomi lintas negara. Namun masuknya globalisasi bukan hanya memberikan

semangat dalam ranah ekonomi melainkan semangat dalam perbaikan ranah politik. Globalisasi

mendorong setiap warga negara untuk melakukan dua prinsip ini yakni partisipasi dan

demokrasi. Konsep partisipasi dan demokrasi ini dipercaya mampu memberikan perbaikan

pada ranah politik. Karena dengan adanya partisipasi dari masyarakat yang tinggi, maka

masyarakat dapat menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Masyarakat yang kuat akan

mendorong peningkatan kadar demokrasi dalam suatu negara. Sehingga globalisasi pun

memotivasi perbaikan ranah politik untuk meningkatkan kadar demokrasi di setiap negara.

Pengaruh globaliasi yang kuat ternyata diiringi oleh perkembangan teknologi yang pesat

pula. Teknologi seperti internet yang semakin canggih membuat arus masuknya globalisasi

semakin deras. Di abad 21 ini globalisasi telah memudarkan batas-batas antarnegara dengan

didukung oleh kemajuan teknologi yang mutakhir yakni internet. Internet telah lama menjadi

Page 3: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

24

primadona di kalangan masyarakat. Tidak ada satupun masyarakat terutama yang menduduki

kota metropolitan mampu bertahan hidup tanpa internet. Internet mempermudah masyarakat

dalam mengakses segala informasi yang dibutuhkan. Sehingga masyarakat seringkali terlena

dengan informasi yang internet sajikan. Hal ini semakin diperkuat dengan terbukanya ruang

opini publik yang sedikit banyak memberikan pengaruh secara psikologis terhadap pembaca.

Melihat fenomena di atas, maka saat ini masyarakat dapat dikatakan tengah menghadapi era

baru dalam berdemokrasi yakni “demokrasi era digital”.

Seringkali topik yang membahas terkait media sosial tidak menjadi suatu kemenarikan

tersediri. Karena media sosial sudah menjadi hal yang biasa dalam bermasyarakat sehingga

bukan tidak mungkin akan memberikan dampak pada pola pikir masyarakatnya. Namun

penggunaan media sosial bukan hanya telah memberikan terbukanya informasi terhadap publik,

akan tetapi juga mampu menggiring opini masyarakat terhadap suatu rezim politik yang tengah

berjalan.

Gambar 1. Data pengguna internet di Indonesia

Sumber : kompasiana.com diakses pada 08 Agustus 2019

Berdasarkan data melalui track record serta analisis penggunaan media sosial dari Hootsuite

yang meneliti statistik digital memperoleh sebanyak 138,7 juta pengguna internet di Indonesia

dengan jumlah 130 juta pengguna media sosial. Angka tersebut terbilang fantastis jika dilihat

dari jumlah keseluruhan total penduduk Negara Indonesia menurut data Perserikatan Bangsa

Page 4: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

25

Bangsa (PBB) mencapai 266,79 juta jiwa. Hampir 50% penduduk Indoensia merupakan

pengguna internet dan media sosial. Angka tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat

yang melek internet dapat dikatakan cukup tinggi dengan persebaran informasi melalui media

sosial cukup sering. Sehingga keberlangsungan demokrasi era digital pun juga semakin kuat.

Demokrasi digital merupakan penerapan konsep demokrasi tanpa dibatasi oleh waktu, ruang,

dan kondisi fisik lainnya (Hacker dan Dijk, 2000). Tingginya partisipasi masyarakat melalui

internet dan media sosial, mampu memberikan dampak yang signifikan pada ranah politik.

Misalnya fenomena yang tengah berkembang saat ini yakni hoax dan ujaran kebencian

menjelang Pilpres 2019.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 pasal 275 poin e tentang

pemilihan umum menyebutkan bahwa salah satu metode kampanye adalah media sosial.

Sehingga secara resmi pemerintah memberikan izin bagi calon untuk kampanye menggunakan

media sosial. Akan tetapi media sosial bukan hanya memberikan dampak positif terhadap

kampanye namun juga dampak negatif. Terutama maraknya hoax dan hate speech.

Media sosial telah memiliki daya tarik tersendiri bagi dunia politik. Politik yang selalu

diartikan dengan proses memengaruhi dan dipengaruhi menjadikan media sosial sebagai wadah

dunia maya untuk memengaruhi suara masyarakat. Kebebasan penggunaan internet melahirkan

oknum-oknum yang memanfaatkan kondisi politik yang ada dengan memberikan statement

atau menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Hal ini dapat dikatakan sebagai

Hoax dan Hate speech.

Efektivitas dalam penggunaan media sosial sebagai kampanye. Salah satu contoh pada

fenomena Pilkada DKI 2017. Selama proses pencalonan hingga pemungutan suara, Pilkada

DKI Jakarta diselimuti oleh hoax dan hate speech di media sosial dan ruang publik seperti

fasilitas umum keagamaan (masjid). Hoax dan hate speech paling banyak ditujukan kepada

Page 5: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

26

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Karena Ahok dituduh telah melakukan penistaan agama Islam

dalam menyebut surat Al-Maidah. Hoax dan hate speech paling banyak berkembang di media

sosial, karena dalam menggiring opini masyarakat sangat mudah melalui media sosial. Bahkan

melalui media sosial tersebut mampu mengumpulkan massa untuk melakukan aksi 212 dan 411

merespon penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Aksi tersebut pada awalnya digiring

melalui pemberitaan di media sosial yang menyebutkan bahwa Ahok telah melakukan penistaan

agama. Sehingga umat Islam berbondong-bondong melakukan aksi untuk merespon hal

tersebut. Mulai dari sinilah hoax dan hate speech berkembang pesat di media sosial.

Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan untuk pemilihan

umum gubernur DKI Jakarta, terdapat 53 pemberitaan hoax dan 324 pemberitaan hate speech.

Jumlah pemberitaan hoax dan hate speech yang banyak terdapat di media sosial berpengaruh

terhadap jelang pemilihan umum presiden tahun 2019 (Erdianto, 2016).

Meskipun Pilkada DKI Jakarta telah usai dan penistaan agama oleh Ahok telah ditangani

oleh pihak yang berwajib. Namun hoax dan hate speech masih terus tersebar di media sosial.

Terutama pada saat menuju tahun politik yakni pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Isu yang

sebelumnya menargetkan pada Ahok sekarang berbalik arah menargetkan pada Jokowi serta

jajaran pemerintahannya.

Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa sebanyak 800.000 akun di

media sosial penyebar hoax. Akun di atas belum termasuk dalam akun pribadi atau akun palsu.

Selain itu, 458 pemberitaan hoax teridentifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika

sepanjang bulan Maret 2019. Sehingga permasalahan hoax terutama berkaitan dengan

kampanye politik merupakan permasalahan yang serius untuk ditangani oleh pemerintah

(Yuliani, 2017).

Page 6: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

27

Gambar 2. Temuan isu hoax dari tahun 2018-2019

Sumber : kominfo.go.id diakses pada tanggal 08 Agustus 2019

Data di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2018 hingga 2019, penyebaran isu hoax dan

hate speech sangat berkembang di media sosial. Menurut data dari Kementerian Komunikasi

dan Informatika menyebutkan bahwa pada tahun 2019 pemberitaan hoax berkembang hingga

mencapai angka 453 berita. Hal ini menunjukkan bahwa pemberitaan hoax semakin

berkembang seiring berjalannya proses pemilu presiden 2019.

Beberapa fenomena yang telah disajikan tersebut menunjukkan bahwa media sosial

memiliki kekuatan dalam menggiring opini publik serta memengaruhi pilihan masyarakat.

Melalui hoax dan hate speech, media sosial mampu menggambarkan citra dari salah satu aktor

politik dan menggiring opini publik. Sehingga penelitian terkait hoax dan hate speech sangat

diperlukan untuk mengetahui pola hoax dan hate speech untuk memengaruhi opini publik serta

pilihan masyarakat terutama pada Pilpres 2019.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan metode yang dilakukan dalam penelitian. Metode penelitian

ini terdiri dari penjelasan teori yang dipakai, proses pengumpulan data terkait hate speech dan

hoax menjelang Pilpres 2019.

Page 7: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

28

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam jurnal ini adalah kualitatif deskriptif. Maksud dari

kualitatif deskriptif adalah peneliti mampu menggambarkan fenomena yang terjadi serta

melakukan pendalaman fenomena. Karena salah satu tujuan dari penelitian kualitatif adalah

menjelaskan fenomena hingga sampai pada akar permasalahannya. Jika dikorelasikan dengan

fenomena hate speech dan hoax yang diangkat pada topik pembahasan dalam jurnal ini. Maka

penelitian ini akan mengarah pada pola pemberitaan hate speech dan hoax dalam media sosial

serta menjelaskan efektivitas hate speech dan hoax dalam memengaruhi pola pikir masyarakat.

b. Fokus Penelitian

Penelitian dalam jurnal ini berfokus pada hate speech dan hoax yang terjadi dalam media

sosial. Hoax dan hate speech memang seringkali mewarnai pemilihan umum akhir-akhir ini.

Namun fenomena menjelang pilpres 2019 diwarnai oleh maraknya hate speech dan hoax di

media sosial. Media sosial dianggap sebagai wadah dalam menyebarkan isu atau informasi

terkait dengan pilpres 2019. Sehingga fokus penelitian ini menuju pada hoax dan hate speech

pada media sosial.

c. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan untuk mengumpulkan informasi terkait dengan hate speech dan hoax

adalah menggunakan data sekunder. Penelitian ini menggunakan studi literatur dan analisis

media sosial (instagram, facebook, whatsapp) dalam teknik pengumpulan data. Sehingga data

yang digunakan untuk dianalisis merupakan data sekunder. Selain itu, dokumentasi foto atau

video juga dapat mendukung analisis fenomena hate speech dan hoax dalam media sosial.

d. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan digolongkan sesuai dengan klasifikasi peneliti untuk

mempermudah dalam analisis. Setelah digolongkan sesuai dengan klasifikasi, peneliti

Page 8: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

29

menggunakan teori komunikasi politik dalam analisis data untuk menghasilkan kesimpulan di

bagian akhirnya.

HASIL DAN DISKUSI

a. Demokrasi Digital

Konsepsi demokrasi era digital lahir dengan penguatan teknologi serta minat masyarakat

terhadap teknologi itu sendiri. Masyarakat mulai terlena dengan teknologi sehingga

memanfaatkan teknologi sebagai wadah dalam menuangkan aspirasi mereka. Demokrasi era

digital merupakan kolaborasi antara teknologi digital dengan demokrasi yang mana kedua

konsep tersebut saling memengaruhi satu sama lainnya. Jika demokrasi menawarkan masa

depan yang lebih baik, salah satu tujuan demokrasi digital adalah menjunjung tinggi keabsahan

dalam mendapatkan komunikasi. Sehingga teknologi hadir dengan menjamin efektivitas,

efisiensi, transparansi (keterbukaan), dan akuntabilitas kepada demokrasi. Nikos Farangkis

(2007) berpendapat bahwa :

Digital democracy could be defined as any electronic exchange in the democratic process,

both from the citizens’ perspective and from the one of the pliticians’and the political system’s.

It reflects, in this particular ambit, the tendency toward substituing physical participation to

politically significant events with using electronic communication means.

Menurut Frangkis, bahwa demokrasi digital menggabungkan antara konsep demokrasi

perwakilan dan demokrasi partisipatif. Sehingga penekanannya pada perangkat teknologi

digital. Demokrasi digital telah menjanjikan apa yang tidak dijanjikan oleh demokrasi

sebelumnya. Jaminan atas kemudahan dalam mendapatkan informasi dan juga penyebarannya,

demokrasi digital banyak diminati oleh masyarakat. Tujuan dari demokrasi era digital adalah

jaringan komunikasi yang luas pada tataran global dan mampu melintasi batas ruang dan waktu.

Page 9: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

30

Masyarakat pengguna internet aktif menurut data dari We Are Social (2018) sebanyak 130

juta orang. Dari data ini terlihat bahwa peluang masuknya demokrasi digital sangat tinggi.

Namun dalam suksesi demokrasi tidak bisa hanya dilakukan dalam dunia maya. Demokrasi

konvensional pun juga tetap dianggap penting untuk dijalankan. Sehingga integrasi antara

demokrasi era digital dengan demokrasi konvensional harus tetap berjalan beriringan dalam

suksesi demokrasi itu sendiri.

b. Hate Speech

Hate speech (ujaran kebencian) merupakan komunikasi dalam bentuk hasutan atau hinaan

terhadap individu atau kolompok dan menyangkut tentang SARA. Ujaran kebencian dapat

memicu timbulnya konflik kepada masyarakat. Salah satu fenomena yang sedang marak yakni

ujaran kebencian dalam media sosial. Media sosial yang memiliki tingkat penyebaran informasi

cukup tinggi membuat ujaran kebencian pun intensitasnya semakin tinggi pula.

Setiap negara memiliki payung hukum dalam meminimalisir ujaran kebencian, begitu pula

Negara Indonesia. Negara indonesia mengatur hukum ujaran kebencian dalam UU ITE dan

KUHP. KUHP pasal 310 ayat 1,2, dan 3 menyatakan bahwa “(1) Barang siapa sengaja

menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang

maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana

penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah.”

“(2) Jika hal itu dilakukan melalui tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertujukan atau

ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana

paling lama satu tahun empat bulan dengan denda pidana sebanyak empat ribu lima

ratus rupiah.”

Page 10: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

31

“(3) Tidak dikatakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan

demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.”

UU ITE nomor 19 Tahun 2016 pasal 28 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa :

“(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan

menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”

“(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan

untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok

masyarakat tertentu berdasar atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Poin di atas merupakan hukum yang berlaku di Negara Indonesia dalam memberikan sanksi

pada ujaran kebencian. Memang, untuk ujaran kebencian dalam media sosial sangat sulit untuk

dilacak terlebih jika akun yang digunakan adalah fake account (akun palsu). Sehingga ujaran

kebencian menjadi semakin marak di media sosial karena masih longgarnya hukum yang

berlaku dalam menindak ujaran kebencian tersebut.

c. Hoax

Jika kita menelusuri sejarah hoax, konsepsi ini mulai digunakan pada abad pertengahan

hingga akhir abad ke 18. Konsep hoax mencirikan sebagai penipuan publik. Berbeda dengan

ujaran kebencian yang lebih pada pencemaran nama baik dengan memanfaatkan informasi yang

ada di setiap individu. Namun hoax lebih pada penipuan publik yakni membenarkan hal yang

tidak benar. Jika dilihat dari pembeda hoax dan penipuan lainnya adalah pada karakteristiknya

yang menjangkau masyarakat luas dan masif.

Hoax memang sedang tren di kalangan pengguna media sosial. Hoax yang menerapkan

jejaring di media sosial mampu membangun informasi yang tidak benar dengan waktu yang

cukup singkat. Penyebarluasan hoax di media sosial sama dengan teknik bekerjanya

propaganda. Informasi yang belum tentu benar diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan

Page 11: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

32

sehingga media sosial mampu memberikan informasi yang kabur dan tidak jelas (Heryanto,

2018).

Pada dasarnya, konflik yang terjadi termasuk hoax, tidak bisa dipandang dari sisi negatif,

akan tetapi membaca konflik harus dari dua sisi yakni negatif dan positif. Coser dikutip dalam

Heryanto (2018) membedakan tipe konflik. Pertama yakni konflik realistis yang memiliki

sumber konkret atau bersifat material. Kedua, konflik nonrealistis yang didorong karena adanya

keinginan yang tidak rasional biasanya bersifat ideologis (Heryanto, 2018).

Upaya meminimalisir hoax dapat ditempuh dengan cara seluruh jajaran pemerintah dan

instansi terkait harus bersama-sama menyuarakan hoax secara konsisten dan berkala. Selain itu,

membuat sistem keamanan internet dengan cara verifikasi data melalui email atau dengan akun

yang jelas. Dukungan dari pihak penindak hoax juga sangat penting misalkan membuat stempel

hoax pada akun yang telah terbukti dalam menyebarkan isu hoax. Selain itu, jika jajaran

pemerintah telah bersinergi dalam memerangi hoax, maka harus ada hoax buster yakni narasi

meng-counter hoax dengan data realistis. Sangat sulit memblokir akun yang menyebarkan hoax

karena seringkali akun hoax tidak menyebutkan identitasnya. Akan tetapi upaya yang

dikemukakan di atas bisa menjadi referensi upaya memerangi hoax.

d. Media sosial

Media sosial merupakan wadah baru yang muncul di kalangan masyarakat serta mampu

mengajak masyarakat dalam ikut berpartisipasi politik. Media sosial merupakan fasilitas publik

dalam mendialogkan isu-isu publik dan memberikan kecenderungan pilihan mereka terhadap

aktor politik. Media sosial memiliki kebebasan untuk berbagi informasi, berdiskusi, serta

memberikan pandangan terkait alasan rasional dalam memilih salah satu aktor politik. Diskusi-

diskusi inilah yang mampu menghasilkan perubahan pada pilihan politik.

Page 12: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

33

Pippa Noris dikutip dalam Andriadi (2017), media sosial digunakan sebagai fasilitas untuk

melakukan partisipasi politik warga negara. Karena Norris menyatakan bahwa media sosial

memiliki tiga sifat yakni informatif, interaktif, dan partisipatoris. Media sosial yang memiliki

sifat partisipatoris merupakan sifat yang digunakan untuk memungkinkan individu menjadi

masyarakat yang terlibat dalam ranah politik (Andriadi, 2017).

Namun, penggunaan media sosial memiliki sisi negatif yakni lemahnya aspek

pertanggungjawaban demokrasi di setiap individu. Media sosial telah mewadahi partisipasi

politik sehingga bisa melakukan aktivitas apapun seperti kampanye hitam di media sosial serta

penggunaan identitas palsu (anonimitas). Kelemahan lainnya yakni media sosial mampu

membuat citra palsu melalui informasi yang disebarkan melalui media sosial.

Terdapat empat manfaat media sosial dalam praktik demokrasi (Andriadi, 2017), pertama

sebagai akses informasi. Media sosial menjadi sumber akses informasi yang menampung

aspirasi masyarakat dan notabene masyarakat mampu mengedepankan kepentingan umum.

Kedua, interaksi. Tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia menyebabkan terjadinya

interaksi walaupun hanya sebatas di dunia maya. Namun, dari interaksi inilah yang menjadi

ajang memperkuat demokrasi. Ketiga, partisipasi. Bagi demokrasi media sosial menjadi wadah

baru untuk mendorong masyarakat ikut berpartisipasi di semua aspek kehidupan. Keempat,

desentralisasi infromasi. Media sosial bermanfaat dalam membawa pemerintah lebih dekat

dengan warga negaranya sehingga memudahkan masyarakat terlibat dalam praktik demokrasi.

Selain empat kebermanfaatan media sosial dalam demokrasi menurut Andriadi (2017),

penelitian oleh Wright dan Hinson (2009). Pertama, menyatakan dampak kehadiran media baru

yakni media sosial. Menyediakan wadah untuk mengekspresikan ide lebih banyak, serta

memberikan wadah untuk mengekspresikan ide, informasi, dan opini. Kedua, membuka

kesempatan baru untuk berkomunikasi secara langsung dengan khalayak, walaupun dapat

Page 13: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

34

menimbulkan risiko seperti berkembangnya informasi negatif. Ketiga, meningkatkan

komunikasi dan informasi secara cepat untuk berbagai isu. Keempat, membuka kesempatan

untuk meraih khalayak dengan efektif dan efisien. Kelima, membuka kesempatan untuk meraih

khalayak baru dari kelompok para muda atau usia yang tidak tersentuh oleh media mainstream

yang biasa digunakan oleh organisasi. Keenam, blog dan media sosial membuka komunikasi

secara global. Ketujuh, media baru memungkinkan organisasi utuk memperoleh data atau

informasi dengan cepat tentang bagaimana pendapat publik terhadap organisasi tersebut

(Heryanto, 2018).

e. Teori Komunikasi Politik

Melihat dari awal mula kemunculan hate speech dan hoax tidak lepas adanya resistensi dari

kelompok-kelompok tertentu. Resistensi yang ditujukan untuk melawan pemerintahan karena

tidak pro terhadap rakyat kecil ataupun salah satu kelompok tertentu merupakan cikal bakal

terjadinya hate speech dan hoax di media sosial. Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena

populisme yang tengah berkembang berskala internasional serta memberikan dampak pada

perkembangan populisme di Indonesia. Definisi populisme sendiri menurut KBBI yakni sebuah

paham yang menganut, mengakui, serta menjunjung tinggi hak, kearifan, dan kepentingan dari

masyarakat kecil. Di Indonesia, populisme lebih mengarah pada kelompok agama.

Dikutip dari laporan hasil penelitian Center for Security and Welfare Studies pada tahun

2017, populisme memiliki empat ciri utama yakni pertama, gerakan tersebut mewakili

kepentingan dari keompok yang termarjinalkan. Kedua, menyuarakan anti terhadap sistem dan

sub-sistem yang menjadi penyebab terjadinya marjinalisasi. Sehingga populisme menolak

pengaturan dari pemerintah maupun kalangan elit politik. Ketiga, gerakan populisme akan

menyebarkan diskursus krisis ekonomi, politik, moral, dan sebagainya yang mengikis eksistensi

bangsa dan negara. Keempat, gerakan populisme juga menampilkan figur agama yang mampu

Page 14: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

35

memberikan solusi bagi permasalahan negara. Sehingga figur tersebut menjadi panutan setiap

masyarakat yang mengikutinya.

Gerakan kelompok populisme di Indonesia bergerak melalui media sosial yang

dimanfaatkan untuk persebaran hate speech maupun hoax. Media sosial yang memiliki akses

kemudahan dalam menyebarluaskan informasi disalahgunakan dalam menyebarkan isu yang

belum tentu kebenarannya. Selain itu, media sosial dinilai sangat efektif dalam memengaruhi

pembaca melalui intensitas tayangan serta isu yang provokatif mampu memantik persepsi buruk

masyarakat terhadap target.

Efektivitas dari persebaran hate speech maupun hoax tergantung dari komunikasi politik

yang dibangun oleh akun-akun tersebut. Menurut Nimmo dan Keith dikutip dalam Surbakto

(2012) menjelaskan bahwa komunkasi politik memiliki bahasan yang sangat penting yakni

komunikasi persuasif. Karena inti dari komunikasi politik adalah persuasi atau memengaruhi

orang lain melalui teknik komunikasi (Surbakto, 2012).

Berikut merupakan berbagai macam metode komunikasi politik. Pertama, Studi agregat.

Studi ini merupakan cara paling konvensional dalam melihat penilaian individual atau

kelompok terhadap karakteristik sosial tertentu. Jika dilihat dari sudut pandang politik, maka

studi ini lebih mengarah pada perilaku politik dalam memilih. Kedua, Studi kritis. Studi ini

berusaha memahami ideologi dalam sistem komunikasi. Studi ini memiliki kepercayaan bahwa

budaya memiliki kesinambungan terhadap kegiatan sosial serta politik. Studi ini melihat

fenomena sebagai realitas semu. Karena studi ini percaya bahwa ada peristiwa yang terjadi

dibalik sesuatu yang nampak. Ketiga, studi analisis isi. Studi ini lebih berfokus pada analisis isi

komunikasi dalam waktu dan ruang tertentu. Hal ini ditujukan untuk mengetahui inti dari pesan-

pesan yang akan disampaikan. Metode ini digunakan dalam meneliti aspek pesan komunikasi

politik. Keempat, studi eksperimental. Studi ini lebih berfokus pada hubungan sebab-akibat

Page 15: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

36

antara tiap variabel. Studi ini membandingkan antara satu variabel dengan variabel yang lain

sehingga membentuk pola sebab-akibat. Kelima, studi ex post facto yakni hampir sama dengan

studi eksperimental, namun letak perbedaannya pada jika ada pola sebab-akibat maka sebab

dari fenomena ini terjadi dijelaskan secara rasionalitas mengapa fenomena ini dapat terjadi.

Keenam, studi survei. Studi ini lebih menekankan pada mencari data melalui sampel dan

populasi. Komunikasi politik digunakan dalam studi opini publik terkait pengaruh media

terhadap masyarakat.

Komunikasi politik memiliki peran yang sangat penting dalam suatu proses politik. Para

penguasa berusaha mengendalikan komunikasi politik dengan tujuan mampu mendapatkan

dukungan dari masyarakat untuk berkuasa. Oleh karena itu, dukungan dari media sangatlah

penting. Karena media berfungsi sebagai penyaluran isu dan informasi yang dibawa kepada

masyarakat.

Komunikasi politik memang merupakan proses tertentu yang mana setiap penguasa politik

harus memahami serta memiliki tipe komunikasi politik yang disegani oleh masyarakat.

Terbukti melalui beberapa fenomena pemilihan umum di Indonesia peran komunikasi poltik

sangat terlihat. Bagaimana setiap kandidat membangun citra melalui media terutama media

sosial. Sehingga budaya kampanye tidak dipandang sebagai teknik paling efektif dalam

menghimpun massa. Membangun citra dalam media sosial lah yang mampu mengumpulkan

massa tanpa harus mengelurkan anggaran yang berlebih.

Namun fenomena akhir-akhir ini media sosial bukan hanya dijadikan ajang untuk

membangun citra kandidat dalam pemilu. Media sosial juga dijadikan sebagai wadah dalam

menghancurkan citra dari seseorang. Sehingga membangun citra saat ini bukan hanya

digerakkan oleh kandidat pemilu saja, melainkan media sosial sudah berada dalam tangan

Page 16: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

37

kelompok-kelompok strategis untuk menghancurkan citra yang telah dibangun melalui media

sosial.

Upaya kelompok-kelompok tertentu dalam menghancurkan citra salah satu kandidat dalam

pemilu bisa menjadi strategi kandidat lawannya. Kandidat lawannya mencoba menggiring opini

publik terkait dengan citra yang sudah dibangun oleh salah satu kandidat pemilu. Hal ini yang

menjadi cikal bakal dari kemunculan hate speech dan hoax. Hate speech dan hoax bukan hanya

sekedar merepresentasikan resistensi, namun bisa juga dijadikan strategi politik salah satu

kandidat dalam menggiring opini publik terkait dengan kandidat lawannya.

Mengacu pada pola pikir di atas, maka hate speech dan hoax bisa dijadikan sebagai

marketing politik salah satu kandidat untuk menghancurkan citra kandidat lawan. Marketing

politik menjadi salah satu bagian yang tidak kalah penting dalam proses politik. Karena

marketing politik bertujuan untuk memperkenalkan kandidat terhadap masyarakat. Salah satu

strategi yang dapat digunakan ialah melalui pembuatan citra politik yang dipandang baik oleh

masyarakat.

f. Pola Komunikasi Politik

Fenomena hate speech dan hoax semakin marak dalam Pilpres 2019. Setiap proses menuju

Pilpres 2019 selalu diselingi oleh hate speech dan hoax di media sosial. Media sosial yang

sering digunakan dalam melontarkan hate speech dan hoax adalah facebook, instagram, dan

whatsapp. Pada dasarnya setiap media sosial memiliki peranan masing-masing dalam

menyebarkan pemberitaan hoax dan hate speech.

Pertama, facebook. Facebook seringkali memberikan fasilitas seperti grup atau fanpage

untuk berkomunikasi dengan anggotanya. Sehingga ruang publik seperti grup maupun fanpage

merupakan media yang efektif dalam berkomunikasi antara anggota. Seperti halnya MCA

(Muslim Cyber Army) yang seringkali melontarkan hate speech dan hoax melalui grup dan

Page 17: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

38

fanpage facebook. Sistem kerja grup dan fanpage facebook adalah setiap anggota dari grup

maupun fanpage memiliki kebebasan dalam melakukan posting. Sehingga facebook lebih ramai

akan informasi hoax dan hate speech karena setiap anggota dapat mengutarakan pendapat

mereka secara bebas. Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup sebanyak 551 akun

facebook yang terindikasi hoax (Haryanto, 2019).

Kedua, instagram. Instagram yang hanya memiliki fitur upload foto atau video juga sangat

efektif dalam menyebarluaskan berita hoax dan hate speech. Namun instagram tidak dapat

membuka ruang komunikasi publik layaknya facebook. Instagram hanya bisa memengaruhi

pembaca melalui postingan yang diunggah. Sehingga instagram lebih memaksimalkan

terhadap intensitas pemberitaan serta isu yang dibawa. Selain itu fitur tanda tagar (#)

dimaksimalkan untuk menyebarluaskan pemberitaan. Semakin banyak tagar yang dipakai,

maka semakin luas pula penyebaran pemberitaannya. Tanda tagar (#2019gantipresiden) dalam

instagram mencapai 1,7 juta foto dan video. Sehingga instagram merupakan media yang efektif

dalam menyebarkan pemberitaan. Sehingga Kementrian Komunikasi dan Informasi juga

menutup sebanyak 848 akun instagram dan twitter (Haryanto, 2019).

Ketiga, whatsapp. Whatsapp merupakan media yang sering digunakan untuk berkomunikasi

dan bertukar informasi. Whatsapp bukan hanya memberikan fitur untuk berkomunikasi

antarindividu melainkan komunikasi kelompok (grup). Salah satu fasilitas untuk menyebarkan

pemberitaan secara luas dan cepat adalah melalui grup. Seperti yang terjadi pada kasus hoax

dalam Pilpres 2019. Banyak pemberitaan hoax tersebar dalam grup whatsapp. Salah satu pola

pemberitaan dalam whatsapp yakni salah satu akun melakukan copy-paste berita hoax dalam

grup. Hal ini bertujuan untuk semua anggota grup membaca berita yang disebarkan. Whatsapp

merupakan salah satu media sosial terbesar melakukan penyebaran hoax. Karena setiap akun

dapat melakukan copy-paste berita tanpa ada filter terlebih dahulu, sehingga berbeda dengan

Page 18: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

39

Instagram, facebook, dan twitter, media sosial whatsapp berperan sebagai penyaluran

pemberitaan hoax dan hate speech. Pada tahun 2019 sekitar 61.000 akun whatsapp telah ditutup

oleh kementrian komunikasi dan informasi karena telah teridentifikasi penyebar hoax (Wadani,

2019).

Gambar 3. Media untuk menyebar hoax dan hate speech

Sumber : Survei MASTEL 2017 dalam kompasiana.com diakses pada 08 Agustus 2019

Melihat data di atas, penyebaran hoax paling besar yakni melalui media sosial. Penyebaran

hoax terbesar kedua yakni melalui chat. Sehingga dari data di atas dapat terlihat bahwa

intensitas penyebaran hoax melalui media sosial dan chat sangat besar. Selain itu, penyebaran

hoax melalui media sosial dan chat sangat efektif untuk memengaruhi pembaca.

“Terdapat empat manfaat media sosial dalam praktik demokrasi (Andriadi, 2017), pertama

sebagai akses informasi. Media sosial (medsos) menjadi sumber akses informasi yang

menampung aspirasi masyarakat dan notabene masyarakat mampu mengedepankan

kepentingan umum. Kedua, interaksi. Tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia

menyebabkan terjadinya interaksi walaupun hanya sebatas di dunia maya. Namun, dari

interaksi inilah yang menjadi ajang memperkuat demokrasi. Ketiga, partisipasi. Bagi

demokrasi media sosial menjadi wadah baru untuk mendorong masyarakat ikut berpartisipasi

Page 19: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

40

disemua aspek kehidupan. Keempat, desentralisasi infromasi. Media sosial bermanfaat dalam

membawa pemerintah lebih dekat dengan warga negaranya sehingga memudahkan

masyarakat terlibat dalam praktik demokrasi.”

Media sosial memiliki beberapa keunggulan untuk memperkuat demokrasi. Akan tetapi di

lain sisi media sosial juga menunjukkan terbangunnya interaksi negatif untuk memengaruhi

masyarakat. Pertama yakni akses informasi. Saat ini media sosial banyak diminati oleh

masyarakat untuk sumber informasi. Bukan hanya sumber informasi keilmuan, namun juga

terkait dengan pemberitaan yang ter-up to date. Kedua, interaksi. Seperti yang dikatakan

sebelumnya bahwa memang interaksi sangat tinggi dalam penggunaan media sosial. Terutama

jika menggunakan media sosial facebook. Facebook dapat membuka ruang publik yang mampu

mendorong masyarakat berpartispasi aktif dalam ranah politik. Ketiga, partisipasi. Media sosial

bukan hanya dipandang sebagai fasilitas mendekatkan informasi kepada masyarakat. Namun,

media sosial juga memotivasi masyarakat dalam berpartisipasi di ranah politik. Keempat,

desentralisasi informasi. Hal sudah sangat sering digunakan oleh pemerintah bahwa media

sosial merupakan sumber transparansi pemerintahan. Sehingga masyarakat dapat memantau

kinerja dari pemerintahan (Andriadi, 2017).

Keempat faktor di atas merupakan keunggulan dari media sosial, namun ternyata di sisi lain

media sosial juga memiliki sisi negatif. Salah satu fenomena yang terbentuk dari media sosial

adalah hate speech dan hoax. Sejauh ini menurut informasi dari kominfo.com terdapat 800.000

situs yang terindikasi melakukan penyebarluasan informasi palsu. Angka tersebut sangat

fantastis jika dibanding dengan 132,7 juta orang pengguna media sosial di Indonesia.

Akun-akun yang menyebarluaskan hatespeech dan hoax dalam Pilpres 2019 tidak lepas dari

pemberitaan yang bermuatan propaganda seperti yang dinyatakan oleh Goebbles dalam buku

Soemarno:

Page 20: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

41

“The Pew researchers note that "while mainstream news sources still the online news and

information gathering by campaign internet users, a of them now get political material from

blogs, comedy sites, government sites, candidate sites or alternative sites." Moreover, the

survey data show younger people are more heavily represented among new media users, ing

that the trend will accelerate”(Gurevitch, 2018).

“Goebbles yang mengemukakan sangat ekstrem. Propaganda pada hakikatnya tidak

memiliki metode yang fundamental, propaganda hanya memiliki tujuan saja yaitu menguasai

massa” (Sumarno, 1989).

Seperti yang dinyatakan oleh Goebbles yakni bahwa pemberitaan propaganda hanya

memiliki tujuan memenangkan hati massa. Seperti yang dilakukan oleh akun-akun penyebar

hate speech dan hoax yakni mereka menginginkan dukungan dari massa dan melakukan

pemberitaan yang provokatif.

“One can argue whether democratic processes or politics should really be as easy and

entertaining as popular culture, but few would disagree with Jenkins in his call for more

deliberative and participatory democracy. However, highlighting the utopian dimensions of

converging media culture discounts those traditions, institutions, structures and practices that

tend to maintain continuities in media culture and politics.”(Herkman, 2012).

Saluran-saluran penyampaian informasi bukan hanya dilakukan melalui akun pribadi atau

grup saja melainkan fasilitas tagar (#) dalam media sosial instagram, facebook, dan twitter pun

menjadi salah satu saluran dalam menyebarluaskan infromasi yang provokatif.

Hate speech dan hoax sedikit banyak mempraktikkan teori komunikasi politik yang mana

melalui media sosial mereka dapat memengaruhi pembaca melalui konten yang disebarkan.

Selain itu, intensitas dan banyaknya akun dalam penyebaran hoax dan hate speech juga sangat

memengaruhi pembaca dalam keberpihakan. Penyebarluasan hoax dan hate speech juga

Page 21: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

42

dilakukan dengan cara melegitimasi informasi melalui tokoh-tokoh masyarakat. Sehingga

informasi tersebut bagi pembaca adalah informasi yang benar kenyataannya.

Pola komunikasi dari akun penyebar hoax pada dasarnya dapat diidentifikasi. Karena akun

penyebar hoax selalu memiliki pola penyebarluasan berita yang sama. Pertama, pengenalan

massa. Akun pemberitaan hoax sangat mengenali pengguna media sosial aktif yaitu mayoritas

anak muda atau sekitar 15-60 tahun. Kedua, penyebar pemberitaan hoax dan hate speech selalu

memberikan pemberitaan yang berulang. Sehingga satu topik bisa menjadi beberapa bagian

pemberitaan dengan tujuan mengingatkan kembali kepada masyarakat akan kelemahan

seseorang. Ketiga, legitimasi. Legitimasi bisa menjadi salah satu bukti agar pemberitaan yang

belum tentu kebenarannya dipercaya oleh masyarakat. Legitimasi dapat berupa bukti foto atau

video (Postil, 2018).

Jika melihat pola di atas, maka pola pemberitaan hoax dan hate speech seringkali

mempraktikkan ketiga tahapan di atas. Misalkan Jokowi adalah PKI. Pertama, akun penyebar

hoax dan hate speech mengetahui sejarah Indonesia dan PKI. Sejarah buruk antara Indonesia

dan PKI dimanfaatkan untuk memengaruhi massa Jokowi agar tidak memilih Jokowi. Kedua,

intensitas pemberitaan. Pemberitaan bahwa Jokowi dalah PKI tersebar hampir di seluruh media

sosial dan pemberitaan online. Menurut pernyataan Jokowi yang dikutip oleh cnn.com

menyebutkan sebanyak 9 juta masyarakat terpengaruh bahwa Jokowi adalah PKI. Ketiga,

legitimasi. Gambar di bawah ini merupakan salah satu legitimasi untuk membuat seolah-olah

pemberitaan adalah benar.

Page 22: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

43

Gambar 4. Pemberitaan Jokowi, PDIP, dan Ahok adalah PKI

Sumber :voa-islam.com diakses pada 07 Agustus 2019

Gambar 5. Skema pola pemberitaan dan jaringan Hate speech dan hoax melalui media sosial

(instagram, facebook, twitter, dan whatsapp)

Sumber : Ishadi (2014). Media dan Kekuasaan : Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden

Soeharto. Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara

Melalui skema di atas terbukti bahwa modal awal penyebaran hate speech dan hoax melalui

jaringan akun-akun penyebar hoax dan hate speech. Selain itu, pembaca yang mulai terbawa

arus terus dibina oleh akun tersebut melalui ruang publik seperti grup dengan tujuan

memperkuat jaringan akun penyebar pemberitaan.

Menjelang Pilpres 2019 yang paling banyak ditimpa hate speech dan hoax adalah pasangan

calon nomor urut 1 yakni Jokowi dan Ma’ruf. Perkembangan dari masa sebelum pencalonan

hingga kampanye, pola hate speech dan hoax beragam tergantung kondisi yang ada. Di bawah

Jaringan akun-akun

dalam media sosial

Intensitas kemunculan pemberitaan

legitimasi pemberitaan oleh tokoh masyarakat atau tokoh

agama

Melakukan pemeliharaan followers

melalui ruang publik

(grup)

Followers membuat jaringan

akun semakin

kuat

Page 23: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

44

ini akan digambarkan perkembangan hate speech dan hoax pada saat sebelum pencalonan

hingga masa kampanye.

Gambar 6. Skema pola hate speech dan hoax dari sebelum pencalonan Pilpres 2019 sampai

masa kampanye

Sumber : Ishadi Sk. (2014). Media dan Kekuasaan : Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden

Soeharto. Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara

Melalui skema di atas menjelaskan bahwa hate speech sudah terbentuk bahkan sebelum

dibukanya pencalonan Pilpres 2019. Hate speech dan hoax mayoritas mengarah pada Presiden

Jokowi atau bahkan partai yang mengusungnya yakni PDIP. Salah satu tujuan Jokowi menggaet

Ma’ruf Amin adalah meredam hate speech serta hoax yang beredar, terutama jika

mengatasnamakan agama islam. Kyai Ma’ruf Amin juga merupakan salah satu tokoh NU yang

sangat disegani sehingga Jokowi mampu memenangkan hati kelompok Islam.

Namun realitanya tidak demikian. Karena hadirnya Kyai Ma’ruf Amin tidak begitu

berdampak pada hate speech dan hoax. Karena kelompok Islam yang terindikasi dalam

penyebaran hoax dan hate speech merupakan kelompok Islam yang tidak sevisi dengan NU

maupun Muhammadiyah. Selain itu, penyebar hoax dan hate speech bukan hanya dari kalangan

kelompok Islam saja, melainkan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan keberpihakan

terhadap rakyat.

Berbicara tentang efektivitas, Nimmo dan Keith dalam buku Surbakto menyatakan sebagai

berikut:

Sebelum pencalonan Presiden :

Jokowi antek PKI

Jokowi tidak sesuai janji kampanye

Masa pencalonan (Jokowi dan Ma'ruf):

Isu hate speech sedikit reda karena sosok Ma'ruf amin

Peralihan isu pada saat Jokowi memilih Ma'ruf Amin:

Peralihan isu dilakukan melalui pemberitaan Nilai tukar dolar meningkat menjadi 15.000. hate speech beralih pada Sri Mulyani selaku mentri keuangan

Masa kampanye:

Peran dari Ma'ruf tidak begitu terlihat dalam mengelola hate speech yang berkedok kelompok islam radikal.

Ma'ruf amin ikut terseret arus hate speech dan hoax.

Page 24: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

45

Efektivitas dari persebaran hate speech maupun hoax tergantung dari komunikasi politik

yang dibangun oleh akun-akun tersebut. Menurut Nimmo dan Keith bahwa komunikasi politik

memiliki bahasan yang sangat penting yakni komunikasi persuasif. Karena inti dari komunikasi

politik adalah persuasi atau memengaruhi orang lain melalui teknik komunikasi. Political

communication setting atau penyususnan komunikasi politik juga merupakan sub bahasan yang

dikeluarkan oleh Nimmo dan Keith (Surbakto, 2012).

Efektivitas dari penyebaran hoax dan hate speech dapat terlihat dari seberapa banyak orang

yang terpengaruh. Pemberitaan seringkali menggunakan kalimat persuasif dan bertujuan

memengaruhi. Seperti pernyataan berikut: "Ayah Bimo Putranto (Slamet Suryanto/mantan

Walikota Solo, dan tentu saja Jokowi PKI diketahui 200.000 PKI Jawa Tengah (Solo, Boyolali,

dll).” (“JK Utus Purnawirawan Jenderal Selidiki Hubungan Jokowi Dengan PKI. Hasilnya

Confirmed!”, 2014).

Kalimat di atas merupakan salah satu contoh kalimat persuasif untuk memengaruhi

masyarakat agar tidak memilih Jokowi atau partai PDIP. Salah satu pemberitaan hoax yang

sangat viral yaitu PKI. Pemberitaan PKI tersebar di seluruh media sosial. Setiap masyarakat

yang memiliki media sosial pasti mengetahui pemberitaan bahwa PDIP adalah PKI.

Kenyataannya pemberitaan tersebut merupakan hoax.

SIMPULAN

Hate speech dan hoax merupakan fenomena yang mewarnai Pilpres 2019. Setiap proses

dalam Pilpres 2019 selalu diselimuti oleh ujaran kebencian maupun informasi yang belum tentu

kebenarannya. Setiap proses dari Pilpres 2019 selalu dihadiri oleh hate speech dan hoax.

Sehingga Presiden Jokowi yang memutuskan mencalonkan kembali menjadi Presiden memilih

wakil Kyai Ma’ruf Amin dengan tujuan meredam aksi hate speech dan hoax dari kelompok

Islam. Karena Kyai Ma’ruf merupakan tokoh agama yang dihormati oleh kelompok Islam.

Page 25: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

46

Pemberitaan hoax dan hate speech meningkat pesat dari tahun 2018 hingga 2019 menjelang

pemilu presiden 2019. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan sebanyak 453

terjadi pemberitaan hoax dan hate speech melalui media sosial. Hal ini menunjukkan

pentingnya masyarakat mengenali pola pemberitaan hoax dan hate speech agar tidak mudah

terpengaruh dengan pemberitaan yang belum tentu kebenarannya.

Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Data yang digunakan untuk

mengumpulkan informasi terkait dengan hate speech dan hoax adalah menggunakan data

sekunder. Penelitian ini menggunakan studi literatur dan analisis media sosial (facebook,

instagram, whatsapp) dalam teknik pengumpulan data.

Hate speech dan hoax sedikit banyak mempraktikkan teori komunikasi politik dalam

penyebarluasannya. Penyebaran menggunakan jaringan akun-akun yang telah terintegrasi

sehingga memiiki pola pemberitaan yang sama. Selain itu, dilakukan pemberitaan yang intens

serta memiliki legitimasi oleh tokoh agama atau tokoh masyarakat. Sehingga pembaca berpikir

bahwa pemberitaan ini telah diuji kebenarannya oleh tokoh masyarakat tersebut.

Pola komunikasi dari akun penyebar hoax pada dasarnya dapat diidentifikasi. Karena akun

penyebar hoax selalu memiliki pola penyebarluasan berita yang sama. Pertama, pengenalan

massa. Akun pemberitaan hoax sangat mengenali pengguna media sosial aktif yaitu mayoritas

anak muda atau sekitar 15-60 tahun. Kedua, penyebar pemberitaan hoax dan hate speech selalu

memberikan pemberitaan yang berulang. Sehingga satu topik bisa menjadi beberapa bagian

pemberitaan dengan tujuan mengingatkan kembali kepada masyarakat akan kelemahan

seseorang. Ketiga, legitimasi. Legitimasi bisa menjadi salah satu bukti agar pemberitaan yang

belum tentu kebenarannya dipercaya oleh masyarakat. Legitimasi dapat berupa bukti foto atau

video (Postil, 2018).

Page 26: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

47

Jika melihat pola di atas, maka pola pemberitaan hoax dan hate speech seringkali

mempraktikkan ketiga tahapan di atas. Misalkan Jokowi adalah PKI. Pertama, akun penyebar

hoax dan hate speech mengetahui sejarah Indonesia dan PKI. Sejarah buruk antara Indonesia

dan PKI dimanfaatkan untuk memengaruhi massa Jokowi agar tidak memilih Jokowi. Kedua,

intensitas pemberitaan. Pemberitaan bahwa Jokowi dalah PKI tersebar hampir di seluruh media

sosial dan pemberitaan online. Menurut pernyataan Jokowi yang dikutip oleh cnn.com

menyebutkan sebanyak 9 juta masyarakat terpengaruh bahwa Jokowi adalah PKI. Ketiga,

legitimasi.

Fenomena hate speech dan hoax semakin marak menjelang Pilpres 2019. Fenomena ini

dapat melunturkan tingkat demokrasi di Negara Indonesia. Media sosial sebagai wadah dalam

penyebaran informasi pun memiliki tingkat fleksibilitas dalam penyebaran informasi. Sehingga

peluang tersebut dimanafaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menyebarkan

pemberitaan palsu.

Mengacu pada fenomena diatas, maka pentingnya dalam penanganan hoax dan hate speech

oleh pihak pemerintah. Selain itu, sebagai masyarakat yang aktif dalam media sosial diharapkan

dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosialnya. Selain itu ada beberapa saran dan

rekomendasi bagi pemerintah untuk menanggulangi hoax dan hate speech sejak dini sebagai

berikut:

1. Penguatan hukum UU ITE dan UU Pers. Penguatan hukum ini akan memberikan

keleluasaan bagi pihak yang berwajib dalam menindaklanjuti ujaran kebencian dimedia

sosial.

2. Pendidikan sejak dini konsep multikulturalisme yang membuka kesadaran masyarakat

terkait dengan kebhinekaan suku, ras, dan agama.

Page 27: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

48

3. Memberikan program “melek media”. Program ini ditujukan untuk memberikan

pengertian bahwa informasi yang didapatkan melalui media sosial harus diuji

kebenarannya. Selain itu, program ini juga memberikan pemahaman akan konten media

yang bersifat provokasi agar pembaca tidak ikut arus pemberitaan

4. Bagi pembaca, alangkah lebih baiknya jika menguji kebenaran informasi yang

didapatkan melalui media sosial terutama jika akun yang menyebarkan tidak jelas

identitasnya. Sehingga perlu adanya tindak lanjut dari informasi yang didapatkan

5. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan lebih banyak membahas terkait fenomena haox

dan hate speech terutama dalam pemilu. Karena hoax dan hate speech dapat

mengancam demokrasi Indonesia.

DAFTAR REFERENSI

Andriadi, F. (2017). Partisipasi Politik Virtual: Demokrasi Netizen di Indonesia. Jakarta:

RMBOOKS.

Buchari, S. A. (2014). Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.

Erdianto, K. (2016, November 30). Menkominfo Sebut "Hate Speech" dan Berita "Hoax"

Menurun Jelang 2 Desember. Kompas.com. Diakses dari

https://nasional.kompas.com/read/2016/11/30/13383311/menkominfo.sebut.hate.speech.da

n.berita.hoax.menurun.jelang.2.desember

Firmazah. (2017). Marketing Politik (antara pemahaman dan realitas). Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Haryanto, A. T. (2019, Mei 27). Kominfo Blokir 2 Ribuan Akun Medsos Isi Hoax & Konten

Negatif. Detik.com. Diakses dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4566915/kominfo-

blokir-2-ribuan-akun-medsos-isi-hoax--konten-negatif

Haynes, J. (2005). Democracy and Political Change in The Third World. Routledge

Heryanto, G. G. (2018). Media Komunikasi Politik: Relasi Kuasa Media di Panggung Politik.

Yogyakarta: IRCiSoD.

Ishadi, SK. (2014). Media dan Kekuasaan : Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto.

Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Page 28: Virtual Democracy: Study on Political Communication of ...

49

JK Utus Purnawirawan Jenderal Selidiki Hubungan Jokowi Dengan PKI. Hasilnya Confirmed!,

(2014, Juli 12). Voa-islam.com. Diakses dari http://www.voa-islam.com/read/citizens-

jurnalism/2014/07/08/31466/jk-utus-purnawirawan-jenderal-selidiki-hubungan-jokowi-

dengan-pki-hasilnya-confirmed/#sthash.uNEHp3XP.dpbs

Postill, J. (2018). Populism and social media: a global perspective. Media, Culture & Society,

40(5), 754-765. Diakses dari https://doi.org/10.1177/0163443718772186

Simarmata, S. (2014). Media & Politik: Sikap Pers terhadap Pemerintahan Koalisi di

Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Subiakto, H. dkk. (2014). Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi. Jakarta: Prenada Media

Group.

Suharko. (2005). Merajut Demokrasi: Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata

Pemerintah Demokratis. Yogyakarta: Tiara Wacana

Wadani. A. (2019, Mei 28), Basmi Peredaran Hoaks, Kemkominfo Tutup 61.000 Akun

WhatsApp. Liputan6.com. Diakses dari

https://www.liputan6.com/tekno/read/3977770/basmi-peredaran-hoaks-kemkominfo-tutup-

61000-akun-whatsapp

Yuliani. A. (2017, Desember 13). Ada 800.000 Situs Penyebar Hoax di Indonesia. Diakses dari

https://kominfo.go.id/content/detail/12008/ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-

indonesia/0/sorotan_media