VI. ELIMINASI TeMV PENYEBAB PENYAKIT MOSAIK...

13
*) Telah dipublikasikan di Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 18 Nomor 1, 2012. ISSN: 0853-8212. VI. ELIMINASI TeMV PENYEBAB PENYAKIT MOSAIK PADA TANAMAN NILAM DENGAN KULTUR MERISTEM APIKAL DAN PERLAKUAN AIR PANAS *) (Elimination of TeMVCausing Mosaic Diseases in Patchouli Plants Using Apical Meristem Culture and Hot Water Treatment) Abstrak Minyak nilam merupakan salah satu bahan baku parfum multifungsi yang bernilai tinggi. Budidaya dan pengembangan tanaman nilam terkendala oleh infeksi Potyvirus (TeMV) yang menyebabkan penyakit mosaik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bibit nilam bebas virus dengan metode kultur meristem apikal dan perlakuan perendaman air panas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman nilam yang diperbanyak dari kultur meristem apikal (berukuran 0.51 mm) menghasilkan 33.390.9% tanaman bebas virus. Namun, perendaman setek batang nilam didalam air panas bersuhu 5060C selama1030 menit tidak dapat mengeliminasi TeMV yang menginfeksi tiga varietas nilam yang diuji. Berdasarkan daya tumbuh setek batang, nilam varietas Tapak Tuan dan Lhokseumawe lebih toleran terhadap perlakuan air panas dibandingkan Sidikalang, tetapi toleransinya semakin menurun seiring semakin lama waktu perendaman. Berdasarkan hasil penelitian ini, teknik kultur meristem apikal berpotensi untuk menghasilkan tanaman nilam bebas virus. Kata kunci: Nilam, Potyvirus, kultur meristem apikal, perlakuan air panas. Abstract Patchouli oil is one of high value multifunction perfume‟s raw materials. One important constraint during patchouli plant cultivation is infection of Potyvirus (TeMV) causing serious mosaic disease. This study was conducted to develop a technique for producing virus-free plants using apical meristem tissue culture and hot water treatment. The results showed that patchouli plants propagated from apical meristem (0.5 to 1.0 mm in size) culture were 33.3 to 90.9% virus-free. However, hot water treatment of stem cutting at 50-60C for 10- 30 minutes were not able to eliminate TeMV from three patchouli varieties tested. Based on plant growth performance, Lhokseumawe and Tapak Tuan varieties were more tolerant to hot water treatment than Sidikalang, but its growing ability was decrease along with the increasing subimmersion time. Based on this research result, apical meristem culture technique had a good potential to produce virus- free patchouli plants. Key words: Patchouli, Potyvirus, apical meristem culture, hot water treatment.

Transcript of VI. ELIMINASI TeMV PENYEBAB PENYAKIT MOSAIK...

53

*) Telah dipublikasikan di Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 18 Nomor 1, 2012. ISSN: 0853-8212.

VI. ELIMINASI TeMV PENYEBAB PENYAKIT MOSAIK PADA

TANAMAN NILAM DENGAN KULTUR MERISTEM APIKAL DAN

PERLAKUAN AIR PANAS*)

(Elimination of TeMVCausing Mosaic Diseases in Patchouli Plants Using

Apical Meristem Culture and Hot Water Treatment)

Abstrak

Minyak nilam merupakan salah satu bahan baku parfum multifungsi yang

bernilai tinggi. Budidaya dan pengembangan tanaman nilam terkendala oleh

infeksi Potyvirus (TeMV) yang menyebabkan penyakit mosaik. Penelitian ini

bertujuan untuk mendapatkan bibit nilam bebas virus dengan metode kultur

meristem apikal dan perlakuan perendaman air panas. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tanaman nilam yang diperbanyak dari kultur meristem apikal

(berukuran 0.5–1 mm) menghasilkan 33.3–90.9% tanaman bebas virus. Namun,

perendaman setek batang nilam didalam air panas bersuhu 50–60⁰C selama10–30

menit tidak dapat mengeliminasi TeMV yang menginfeksi tiga varietas nilam

yang diuji. Berdasarkan daya tumbuh setek batang, nilam varietas Tapak Tuan

dan Lhokseumawe lebih toleran terhadap perlakuan air panas dibandingkan

Sidikalang, tetapi toleransinya semakin menurun seiring semakin lama waktu

perendaman. Berdasarkan hasil penelitian ini, teknik kultur meristem apikal

berpotensi untuk menghasilkan tanaman nilam bebas virus.

Kata kunci: Nilam, Potyvirus, kultur meristem apikal, perlakuan air panas.

Abstract

Patchouli oil is one of high value multifunction perfume‟s raw materials.

One important constraint during patchouli plant cultivation is infection of

Potyvirus (TeMV) causing serious mosaic disease. This study was conducted to

develop a technique for producing virus-free plants using apical meristem tissue

culture and hot water treatment. The results showed that patchouli plants

propagated from apical meristem (0.5 to 1.0 mm in size) culture were 33.3 to

90.9% virus-free. However, hot water treatment of stem cutting at 50-60⁰C for 10-

30 minutes were not able to eliminate TeMV from three patchouli varieties tested.

Based on plant growth performance, Lhokseumawe and Tapak Tuan varieties

were more tolerant to hot water treatment than Sidikalang, but its growing ability

was decrease along with the increasing subimmersion time. Based on this research

result, apical meristem culture technique had a good potential to produce virus-

free patchouli plants.

Key words: Patchouli, Potyvirus, apical meristem culture, hot water treatment.

54

Pendahuluan

Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) telah dilaporkan dapat

terinfeksi oleh beberapa jenis virus yaitu Patchouli mosaic virus (PaMV),

Tobacco necrosis virus (TNV), Patchouli mild mosaic virus (PaMMV), Patchouli

mottle virus (PaMoV), Patchouli virus X (PatVX) dan Peanut stripe virus (PStV)

(Natsuaki et al. 1994, Meissner Filho et al. 2002, Hartono 2008, Singh et al.

2009). Di India, kejadian penyakit pada tanaman nilam mencapai 76% (Sastry

dan Vasanthakumar 1981). Tiga varietas nilam yaitu Sidikalang, Lhokseumawe,

dan Tapak Tuan dilaporkan juga telah terinfeksi oleh Potyvirus yang menginduksi

gejala mosaik yaitu TeMV (Noveriza et al. 2012a).

Potyvirus adalah kelompok virus yang secara alami dapat ditularkan dan

disebarkan oleh kutudaun (Irwin 1999). Namun demikian, cara penyebaran utama

yang terjadi di lapangan adalah melalui bahan tanaman yang terinfeksi. Hal ini

menyebabkan tingginya kejadian penyakit mosaik pada tanaman nilam di daerah-

daerah sentra produksi nilam di Indonesia (Hartono dan Subandiyah 2006,

Noveriza et al. 2012a). Oleh sebab itu, penggunaan bibit yang sehat menjadi

sangat penting dalam pengendalian virus pada tanaman nilam. Bila menggunakan

bahan tanaman yang bebas dari infeksi virus sebagai sumber bibit, maka tanaman

yang dibudidayakan diharapkan dapat berproduksi sesuai potensi genetiknya.

Untuk mendapatkan tanaman bibit bebas virus maka perlu dilakukan usaha

eliminasi virus dari tanaman terinfeksi. Pada berbagai jenis tanaman dilaporkan

telah berhasil dilakukan eliminasi virus melalui beberapa metode, di antaranya

kultur meristem (Golino et al. 1998), terapi pemanasan (Leonhardt et al. 1998),

dan penggunaan antiviral sintetik (Budiarto et al. 2008).

Pada metode kultur meristem dipilih bagian jaringan yang belum terinvasi

patogen, yaitu bagian apikal dan ditumbuhkan menjadi tanaman lengkap yang

sehat dalam media buatan. Teknik tersebut sudah berhasil diterapkan pada

tanaman kentang untuk mengeliminasi virus (Quak 1972). Selain untuk

mengeliminasi virus, metode tersebut juga dipakai dalam perbanyakan tanaman

secara cepat (Goodwin et al. 1980). Meristem apikal yang masih bebas patogen

umumnya berukuran sangat kecil untuk beberapa jenis tanaman sehingga teknik

kultur meristem merupakan teknik yang relatif sulit dilakukan (Brown et al.1988).

Upaya mengatasi hal tersebut dilakukan oleh Gunaeni dan Karjadi (2008) dengan

menggabungkan teknik kultur meristem apikal dan penambahan bahan antivirus

yaitu ribavirin (5 mg/liter) dan berhasil mengeliminasi Potato leaf roll virus

(PLRV), Potato virus X (PVX), Potato virus Y (PVY) dan Potato virus S (PVS)

dari tanaman kentang terinfeksi.

Teknik eliminasi virus lain yang relatif lebih mudah dan murah dilakukan

dibandingkan dengan teknik kultur meristem apikal adalah dengan perlakuan

pemanasan. Metode pemanasan untuk tujuan eliminasi virus dapat diterapkan

berdasarkan fakta bahwa multiplikasi virus sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan terutama suhu yang tinggi. Beberapa hasil penelitian menemukan

bahwa laju multiplikasi virus mengalami penurunan pada kisaran suhu 35⁰-43⁰C

(Converse dan Tanne 1984). Namun demikian, toleransi jaringan tanaman

terhadap suhu tinggi akan menjadi faktor pembatas dalam aplikasi metode ini.

Persentase tanaman hidup pasca terapi umumnya semakin kecil seiring dengan

meningkatnya suhu pemanasan (Lozoya-Saldana dan Merlin-Lara 1984). Namun,

55

optimalisasi waktu, suhu atau perendaman, bisa membuat perlakuan air panas

berguna untuk menghilangkan virus terutama untuk tanaman tahunan atau

tanaman dengan perbanyakan vegetatif seperti tebu dan krisan (Damayanti et al.

2010). Hasil pengujian pendahuluan menggunakan tanaman nilam varietas

Sidikalang menunjukkan bahwa setek batang nilam masih dapat tumbuh setelah

direndam dalam suhu diatas 50⁰C tetapi tidak untuk setek pucuk (data tidak

ditampilkan).

Penelitian dilakukan untuk mendapat bibit nilam bebas virus dengan

metode kultur meristem apikal dan perendaman air panas.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan mulai Januari sampai Desember 2010 di

Laboratorium Virologi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca,

Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat di Bogor. Penelitian terdiri atas dua kegiatan yaitu : (1) Eliminasi TeMV

pada setek nilam dengan kultur meristem apikal, dan (2) Eliminasi TeMV pada

setek batang nilam dengan perendaman air panas.

Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Kultur Meristem Apikal

Eksplan yang digunakan adalah pucuk tanaman nilam varietas Sidikalang,

Lhokseumawe, dan Tapak Tuan yang terinfeksi TeMV berdasarkan adanya gejala

mosaik pada daun nilam. Potongan pucuk meristem apikal nilam berukuran 3-5

mm dibersihkan berturut-turut dengan air mengalir (30 menit), air sabun (10

menit), larutan fungisida (30 menit), dan beberapa kali dengan akuades. Sterilisasi

permukaan dilakukan dengan merendam pucuk apikal tersebut berturut-turut

dalam larutan 70% etanol selama 3 menit, 0.2% HgCl selama 1 menit, 1%

sodium hipoklorida selama 1 menit, dan dibilas dengan akuades steril.

Kultur Meristem Apikal Secara In Vitro

Meristem apikal dikulturkan berdasarkan metode Sugimura et al. (1995).

Isolasi meristem dilakukan secara aseptik di bawah mikroskop untuk memotong

eksplan dengan ukuran 0.5-1 mm. Regenerasi plantlet dari meristem apikal secara

in vitro dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama inisiasi pucuk dengan

menginkubasi eksplan pada media MS yang ditambahkan 0.5 mg/l 6-

benzylaminopurine (BAP) selama 4 minggu (Hadipoentyanti et al. 2007).

Tahapan proliferasi pucuk dilakukan dengan memindahkan kultur pada media MS

yang ditambahkan 0.5 mg/l BAP, kemudian diinkubasi pada suhu 28ºC selama 8-

10 minggu di bawah cahaya (1 000-1 500 lux) secara terus-menerus. Bahan yang

digunakan dalam perlakuan adalah 3 varietas nilam (Sidikalang, Lhokseumawe

dan Tapak Tuan) dan 2 tipe eksplan (meristem apikal dan batang terminal).

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 6 perlakuan

dan masing-masing perlakuan diulang 10 kali. Parameter yang diamati adalah

persentase pertumbuhan tunas, waktu inisiasi tunas, tinggi tunas, warna tunas dan

persentase tanaman yang terinfeksi Potyvirus. Untuk pertumbuhan akar, kultur

dipindahkan pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh dan diinkubasi selama 3

minggu di bawah cahaya (1 000-1 500 lux) terus-menerus. Plantlet yang

dihasilkan diaklimatisasi dalam pot yang berisi campuran sekam dan kompos [1:1

56

(v/v)] yang sudah disterilkan dan diinkubasi pada ruangan dengan kelembaban

tinggi selama 3 minggu, kemudian dipindahkan ke polibeg selama 2 bulan.

Tanaman nilam hasil kultur jaringan dikonfirmasi bebas Potyvirus dengan uji

serologi enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

Verifikasi Infeksi TeMV pada Tanaman Nilam Hasil Kultur Jaringan

Deteksi TeMV pada sampel daun dari tanaman nilam hasil kultur jaringan

dilakukan dengan Indirect-ELISA menggunakan antiserum Potyvirus mengikuti

metode DSMZ (Clark dan Adams 1977). Pertama-tama disiapkan cairan ekstrak

tanaman sakit dengan menggerus daun nilam (0.2 g) dalam 1 ml bufer coating

yang mengandung 0.05 M DIECA. Sebanyak 100 µl cairan ekstrak diisikan pada

lubang plat mikrotiter dan diinkubasi pada suhu 4°C selama semalam. Setelah

dicuci dengan PBS-T (bufer fosfat ditambah Tween-20) sebanyak 5 kali, lubang

plat selanjutnya diisi dengan 100 µl larutan 2% skim milk dalam PBS-T dan

diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Selanjutnya lubang plat mikrotiter

diisi 100 µl antiserum Potyvirus (DSMZ), dengan pengenceran 1/1 000 dalam

bufer konjugat dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 2-4 jam. Setelah dicuci

dengan PBS-T, lubang plat diisi dengan 100 µl konjugat RaM-AP, yang

diencerkan 1/1 000 dalam bufer konjugat, dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu

37⁰C. Setelah dicuci dengan PBS-T, lubang plat diisi dengan substrat p-

nitrophenyl fosfat dan diinkubasi selama 30-60 menit pada suhu ruang.

Selanjutnya hasil ELISA diukur nilai absorbansinya menggunakan microplate

reader pada panjang gelombang 405 nm.

Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Perlakuan Perendaman Air

Panas

Bahan tanaman adalah tanaman nilam (varietas Sidikalang, Lhokseumawe,

dan Tapak Tuan) yang terinfeksi TeMV (diverifikasi dengan ELISA) yang

diambil dari Kebun Cimanggu-Bogor. Sebagai bahan pengujian digunakan setek

batang nilam berukuran ± 10 cm ( 1 buku) dan diameter batang ± 0.4 cm.

Perlakuan air panas diuji dengan merendam setek nilam di dalam air

panaspada 3 tingkat suhu (50ºC, 55ºC dan 60ºC) dan 3 tingkat waktu perendaman

(10, 20, dan 30 menit). Sebagai pembanding adalah setek batang tanaman sakit

tanpa perlakuan air panas.

Setelah perlakuan, setek ditanam di dalam polibeg yang berisi campuran

media tanah dan pupuk kandang [2:1 (v/v)]. Tanaman nilam dipelihara selama 8

minggu, dan pengamatan dilakukan setiap minggu terhadap pertumbuhan tinggi

setek dan daun yang bergejala mosaik. Keberadaan TeMV dalam tanaman yang

tidak bergejala mosaik dikonfirmasi dengan uji serologi menggunakan teknik

Indirect ELISA seperti diuraikan sebelumnya.

57

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Kultur Jaringan Meristem

Apikal

Kultur jaringan meristem apikal tanaman nilam varietas Sidikalang,

Lhokseumawe dan Tapak Tuan berhasil dilakukan pada media MS yang ditambah

BAP 0.5 mg/l. Dengan media ini, dalam waktu 21 hari, dapat terinduksi sekitar 40

tunas berwarna hijau. Keberhasilan pertumbuhan tunas kultur meristem apikal

yang tertinggi terjadi pada varietas Tapak Tuan (90%), diikuti berturut-turut oleh

varietas Sidikalang (71.43%) dan varietas Lhokseumawe (69.23%). Demikian

pula, periode inisiasi tunas tercepat terjadi pada varietas Tapak Tuan (14 hari),

diikuti berturut-turut oleh varietas Lhokseumawe (17 hari) dan Sidikalang (21

hari). Berdasarkan pengukuran tinggi tunas, terjadi perbedaan yang nyata antara

varietas Tapak Tuan dengan kedua varietas lainnya (Tabel 6.1).

Hasil yang berbeda diperoleh bila jenis eksplan yang digunakan berasal

dari batang terminal (bukan meristem apikal). Pertumbuhan tunas hanya terjadi

pada varietas Sidikalang sedangkan kedua varietas lainnya tidak tumbuh sama

sekali (Tabel 6.1). Secara visual terlihat bahwa awalnya jaringan eksplan menjadi

berwarna coklat, kemudian lama kelamaan membusuk dan akhirnya mati. Hal ini

mengindikasikan bahwa kultur jaringan yang berasal dari batang terminal varietas

Sidikalang lebih mudah tumbuh jika dibandingkan dengan kedua varietas lainnya,

oleh karena itu perlu pengembangan teknik kultur jaringan menggunakan eksplan

batang terminal agar dapat diterapkan untuk berbagai varietas tanaman nilam.

Tabel 6.1 Kondisi pertumbuhan kultur jaringan nilam (varietas Sidikalang,

Lhokseumawe, dan Tapak Tuan) asal meristem apikal dan batang

terminal pada media MS yang ditambah BAP 0,5 mg/l.

Jenis Eksplan Varietas

Persentase

Pertumbuhan

Tunas

Periode

Inisiasi

Tunas

(hari)

Tinggi

Tunas

(cm)

Warna

Tunas

Meristem Sidikalang 71.43 (10/14)* 21 0.52 c** Hijau

Apikal Lhokseumawe 69.23 (9/13) 17 0.91 c Hijau

Tapak Tuan 90.00 (18/20) 14 1.81 b Hijau

Batang Sidikalang 15.38 (2/13) 21 2.90 a Hijau

Terminal Lhokseumawe 0.00 (0/10) 0 0 d

Tapak Tuan 0.00 (0/10) 0 0 d *) Rasio antara jumlah eksplan bertunas dan jumlah eksplan yang ditumbuhkan.

**) Angka yang dikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada

DNMRT 5%.

Secara visual, pertumbuhan tunas dari eksplan meristem apikal pada

varietas Tapak Tuan terlihat lebih cepat dan lebih baik dibandingkan kedua

varietas lainnya (Gambar 6.1).

58

Gambar 6.1 Pertumbuhan tunas meristem apikal dan batang terminal nilam (9

minggu setelah transplan) pada media MS yang ditambah BAP 0.5

mg/l: A. varietas Sidikalang, B. varietas Lhokseumawe, C. varietas

Tapak Tuan. Sebagai pembanding adalah varietas Sidikalang yang

berasal dari eksplan batang terminal (D).

Tanaman nilam hasil kultur jaringan dari eksplan meristem apikal yang

berukuran 0.5-1 mm, masih terinfeksi TeMV berkisar antara 9.0% sampai 66.7%

(Tabel 6.2).

Tabel 6.2 Persentase tanaman nilam hasil kultur jaringan meristem apikal yang

bebas TeMV berdasarkan uji ELISA.

Jenis Eksplan Varietas Persentase tanaman yang

bereaksi negatif

Meristem Apikal Sidikalang 66.7 (8/12)*

Lhokseumawe 90.9 (10/11)

Tapak Tuan 33.3 (9/27)

Batang Terminal (Kontrol) Sidikalang 0.0 (0/7) *) Rasio antara jumlah sampel yang negatif dan jumlah sampel tanaman yang diuji.

Plantlet yang diperoleh dari eksplan batang terminal (bukan meristem

apikal) menunjukkan gejala mosaik dan berdasarkan hasil ELISA terbukti bahwa

tanaman tersebut 100% terinfeksi TeMV. Hasil tersebut membuktikan bahwa

infeksi TeMV pada tanaman nilam bersifat sistemik.

Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Perlakuan Air Panas

Pengujian pendahuluan menggunakan setek batang dan pucuk varietas

Sidikalang yang diberi perlakuan air panas menunjukkan bahwa setek batang

tersebut masih dapat tumbuh setelah direndam pada suhu diatas 50⁰C tetapi setek

pucuk tidak dapat tumbuh (data tidak dipublikasikan). Pada penelitian ini

digunakan setek batang nilam yang memperlihatkan gejala mosaik yang

59

disebabkan oleh TeMV. Setelah perlakuan air panas pada tiga tingkat suhu dan

tiga tingkat waktu perendaman disimpulkan bahwa setek batang nilam varietas

Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan yang terinfeksi oleh TeMV dapat

bertahan hidup setelah direndam dalam air panas pada suhu 50⁰C, namun tidak

mampu bertahan pada suhu yang lebih tinggi. Varietas Sidikalang tidak dapat

tumbuh jika waktu perendaman di atas 10 menit, sedangkan kedua varietas

lainnya masih dapat tumbuh setelah dilakukan perendaman pada suhu 50⁰C

selama 20 menit dan 30 menit. Daya tumbuh setek nilam semakin menurun

seiring semakin lamanya waktu perendaman (Gambar 6.2). Hal ini menunjukkan

perbedaan tingkat toleransi tanaman terhadap suhu tinggi. Dari ketiga varietas

nilam yang diuji, Sidikalang mempunyai tingkat toleransi yang lebih rendah.

Gambar 6.2 Daya tumbuh dan tinggi setek batang nilam varietas Sidikalang,

Lhokseumawe dan Tapak Tuan setelah perlakuan perendaman air panas

pada tiga tingkat suhu (A= 50⁰C, B= 55⁰C, C= 60⁰C) dan tiga tingkat

waktu perendaman (1= 10 menit, 2= 20 menit, 3= 30 menit). Sebagai

pembanding adalah setek batang nilam tanpa perlakuan air panas

(K).Pengukuran dilakukan 2 bulan setelah perlakuan air panas.

10090.9

0 0 0 0 0 0 0 0

24.75 24.75

0 0 0 0 0 0 0 0

K A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3

Varietas Sidikalang

Daya tumbuh setek (%) Tinggi Setek (cm)

78.963.6

3010

0 0 0 0 0 011.8 7.5 6.6 5.8 0 0 0 0 0 0

K A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3

Varietas Lhokseumawe

100

14.342.9

12.5

0 0 0 0 0 019 16.5 8.5 14.2

0 0 0 0 0 0

K A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3

Perlakuan air panas

Varietas Tapak Tuan

60

Perlakuan perendaman setek batang nilam varietas Sidikalang,

Lhokseumawe dan Tapak Tuan yang terinfeksi oleh TeMV pada suhu 50⁰C

selama 10 menit belum mampu mengeliminasi virus, tetapi dapat

mempertahankan daya tumbuh (viabilitas) setek nilam 63.6-90.9% dan

memperlambat munculnya gejala. Hal tersebut ditunjukkan dengan munculnya

gejala mosaik pada daun dari setek batang nilam sampai tanaman berumur 2 bulan

setelah persemaian, tetapi munculnya gejala mosaik lebih lama dibandingkan

setek batang pada tanpa perlakuam air panas. Hal ini menunjukkan bahwa

perlakuan air panas mampu memperlambat munculnya gejala mosaik pada

tanaman nilam. Jadi mungkin titik inaktivasi TeMV nilam lebih tinggi dari suhu

50⁰C.

Pembahasan

Hadipoentyanti et al. (2008) melaporkan bahwa media MS dengan

penambahan BAP 0.5 mg/l merupakan media terbaik untuk induksi tunas nilam.

BAP merupakan zat pengatur tumbuh sitokinin yang berpengaruh pada proses

proliferasi tunas, pemecah dormansi, dapat meningkatkan pembelahan sel, tetapi

menghambat terbentuknya akar (Tjandra 2000).

Secara visual, pertumbuhan tunas dari eksplan meristem apikal pada

varietas Tapak Tuan terlihat lebih cepat dan lebih baik dibandingkan kedua

varietas lainnya (Gambar 6.1). Nuryani et al. (2003) dan Nuryani (2005)

melaporkan bahwa pertumbuhan dan produktivitas tanaman nilam varietas Tapak

Tuan di lapangan lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas Lhokseumawe

dan Sidikalang. Selain itu, ketiga varietas tersebut mempunyai keunggulan yang

berbeda-beda yaitu varietas Tapak Tuan unggul dalam hal produksi dan kadar

patchouli alkohol, varietas Lhokseumawe mengandung kadar minyak tinggi, dan

varietas Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda.

Tanaman nilam hasil kultur jaringan dari eksplan meristem apikal yang

berukuran 0.5-1 mm, masih terinfeksi TeMV berkisar antara 9.0% sampai 66.7%.

Hal ini menunjukkan bahwa teknik ini masih perlu ditingkatkan, antara lain

dengan memperkecil ukuran eksplan meristem apikal untuk mendapatkan

tanaman nilam hasil kultur meristem apikal yang 100% bebas virus. Visessuwan

et al. (1988) menyatakan bahwa dengan ukuran meristem apikal tebu 0.2–0.5 mm

diperoleh 88% tanaman bebas virus. Langhans et al. (1977) menyarankan bahwa

ukuran eksplan meristem apikal 0.3–0.5 mm merupakan paling optimal dalam

menghasilkan eskplan bebas virus pada tanaman krisan. Sugimura et al. (1995)

mengemukakan bahwa untuk mendapatkan nilam bebas PaMMV adalah dengan

ukuran meristem apikal yang optimum yaitu 0.5–1 mm, sedangkan menurut

Singh et al. (2009), jaringan meristem berukuran 0.2–0.5 mm yang paling baik

untuk menghasilkan tanaman nilam bebas PStV. Walaupun begitu, teknik ini

sudah dapat digunakan untuk mengembangkan tanaman nilam yang bebas virus

dengan memanfaatkan tanaman nilam dari hasil kultur meristem apikal (terbukti

bebas virus) sebagai tanaman induk atau sebagai tanaman sumber benih dan

kemudian dapat diperbanyak. Tanaman nilam bebas virus yang sudah diperbanyak

harusnya disimpan pada rumah kawat kedap serangga, karena berdasarkan hasil

penelitian Noveriza et al. (2012b) bahwa Aphis gossypii terbukti efisien

menularkan TeMV pada tanaman nilam secara non-persisten.

61

Virus menyebar di dalam tanaman dari sel ke sel melalui plasmodesmata

(jarak pendek) dan melalui jaringan pembuluh floem (jarak panjang). Pada

tanaman yang rentan, virus akan sangat cepat menyebar dari jaringan yang

terinfeksi ke seluruh bagian tanaman melalui floem. Penggunaan metode kultur

meristem apikal sangat potensial sebagai upaya untuk eliminasi virus yang

menginfeksi secara sitemik karena proliferasi sel-sel meristem apikal lebih cepat

dibandingkan penyebaran virus. Selain itu, pada sel-sel meristem apikal belum

ada plasmodesmata (Nurhajati Matjjik, komunikasi pribadi). Menurut Barahima

(2003) regenerasi tunas meristem apikal menghasilkan plantlet bebas virus dapat

terjadi karena proliferasi sel-sel meristem tunas apikal lebih cepat dibandingkan

dengan penyebaran partikel virus, sehingga setiap saat terdapat sel-sel yang belum

terinvasi virus. Plantlet yang dihasilkan dari sel-sel yang tidak terinvasi virus

menghasilkan planlet bebas virus.

Sastry dan Vasanthakumar (1981) menyatakan bahwa setek berakar

(rooted cutting) nilam (P. patchouli Pellet) kultivar Malaysia masih dapat

bertahan hidup pada perlakuan air panas dengan suhu berkisar antara 40⁰-45⁰C,

serta pada perlakuan udara panas 50⁰C. Menurut Lozoya-Saldana dan Merlin-

Lara (1984), derajat toleransi tanaman terhadap suhu tinggi merupakan faktor

pembatas dalam aplikasi metode perlakuan air panas.

Meskipun demikian, perlakuan air panas sudah lama digunakan untuk

mengendalikan penyakit tanaman. Perlakuan air panas (HWT) efektif

menghilangkan patogen dari umbi, dan penyakit sereh dari tebu (Minket al.1998).

Menurut Copes dan Blythe (2009), perendaman setek batang azalea

(Rhododendron) pada air panas suhu 50⁰C selama 21 menit efektif untuk

mengeliminasi Rhizoctonia AG P (anastomosis group P). Selain itu, perlakuan air

panas pada suhu 50⁰C selama 30 menit efektif mengeliminasi cendawan patogen

dan endofit pada jaringan setek anggur (Crous et al. 2001). Setelah buah anggur

dicuci dengan larutan klorin dan direndam dalam air panas suhu 45⁰C selama 8

menit dapat mempertahankan kualitas anggur selama 4 minggu (Kou et al. 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Sutrawati (2009), perlakuan perendaman air panas

pada suhu 58⁰C selama 40 menit dapat menginaktifkan Pineapple mealybug wilt-

associated virus yang menginfeksi tanaman nanas dan daya tumbuh setek daun

serta batang nanas masih dapat tetap dipertahankan (60%).

Hal ini sesuai dengan penelitian Damayanti et al. (2010), titik inaktivasi

suhu untuk Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) adalah antara 55ºC sampai

60ºC, dan lebih tinggi dari titik suhu kematian tanaman tebu. Semua perlakuan

panas tidak sepenuhnya menghilangkan SCSMV, namun HWT pada suhu 53ºC

selama 10 menit secara drastis mengurangi keparahan penyakit dan tetap menjaga

viabilitas tanaman 100%. Menurut Balamuralikrishnan et al. (2003), panas juga

bisa menyebabkan inaktivasi virus pada awal fase yang mengakibatkan penurunan

titer Sugarcane mosaic virus (SCMV). Mungkin hal ini yang bisa menjelaskan

kenapa HWT dapat memperlambat munculnya gejala mosaik pada nilam.

Untuk melakukan teknik kultur jaringan meristem apikal tanaman nilam

dengan ukuran yang lebih kecil dari 0.5 mm cukup sulit, oleh sebab itu pada

penelitian selanjutnya mungkin dapat disarankan untuk menggabungkan teknik

kultur jaringan dan perlakuan air panas pada suhu yang toleran untuk jaringan

nilam. Bahan eksplan yang digunakan adalah batang terminal (bukan meristem

apikal) dari tanaman sakit yang sudah disterilisasi dan diberi perlakuan

62

perendaman air panas dahulu pada 50⁰C selama 10 menit sebelum ditumbuhkan

pada media MS yang telah ditambah BAP 0.5 mg/l. Menurut Balamuralikrishnan

et al. (2003) bahwa HWT pada suhu 55ºC dengan lama waktu perendaman antara

20 sampai 30 menit mungkin perlakuan yang terbaik untuk mendapatkan sumber

kultur meristem dengan keparahan terendah. El-Nasr et al. (1989) melaporkan

bahwa SCMV bisa dihilangkan (dieliminasi) dengan HWT pada suhu 55ºC dan

57ºC yang kemudian diikuti dengan melakukan kultur meristem, sehingga seri

HWT adalah efektif dalam eliminasi virus (Benda et al., 1989). Jadi penurunan

awal dari titer virus dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan tanaman bebas virus

dengan kultur meristem.

Selain itu, HWT juga telah lama digunakan untuk mendapatkan tanaman

hasil propagasi yang bebas patogen. Dengan menggunakan kombinasi antara

teknik kultur jaringan dan kemoterafi dengan HWT efektif mengeliminasi hampir

semua patogen (Mink et al. 1998). Kim et al. (2003) melaporkan bahwa HWT

pada 75⁰C selama 72 jam dan pada 85⁰C selama 24 jam mampu mengnonaktifkan

Cucumber green mottle mosaic virus (CGMMV) pada biji mentimun. Begitu juga

dengan bawang putih yang ditumbuhkan pada suhu 36⁰C selama 30 dan 40 hari

menghasilkan 51% dan 50% plantlet yang bebas Garlic yellow streak virus

(GYSV), dan hampir semua plantlet tanaman bebas virus jika waktu pemanasan

ditingkatkan menjadi 60 hari (Conci dan Nome, 1991).

Simpulan

Kultur jaringan meristem apikal berhasil digunakan untuk mengeliminasi

TeMV pada tanaman nilam (varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak

Tuan).Tanaman nilam yang diperbanyak dari kultur meristem apikal berukuran

0.5–1 mm menghasilkan 33.3–90.9% tanaman bebas virus. Perendaman setek

batang nilam didalam air panas pada suhu 50–60⁰C dan lama waktu perendaman

10–30 menit tidak dapat mengeliminasi TeMV yang menginfeksi ketiga varietas

nilam yang diuji, tetapi dapat memperlambat munculnya gejala. Hasil ini

mengindikasikan bahwa teknik kultur meristem apikal berpotensi untuk

menghasilkan setek nilam yang bebas virus.

Daftar Pustaka

Balamuralikhrishnan M, Doraisamy S, Ganapathy T, Viswanathan R. 2003.

Impact of serial thermotherapy on Sugarcane mosaic virus titre and

regeneration in sugarcane. Arch Phytopathol.and Plant Protect. 36:173-

178.

Barahima WP. 2003. Eliminasi Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV)

pada empat kultivar Ubijalar unggul local asal Papua melalui teknik

kultur meristem. Bul. Agron. 31(3):81-88.

Benda GTA, Mock RG, Gillaspie AG. 1989. Control of sugarcane mosaic by

serial heat treatment II. The pattern of cure at high temperature. Sugar

Cane 2:6-10

63

Brown CR, Kwiatkowski S, MartinMV, Thomas PE. 1988. Eradication of PVS

from Potato Clones Through Excisions of Meristems from In Vitro, Heat

Treated Shoot Tips. Am. Potato J. 65:633-638.

Budiarto K, Sulyo Y, Rahardjo IB, Pramanik S. 2008. Pengaruh Durasi

Pemanasan terhadap Keberadaan Chrysanthemum Virus-B pada Tiga

Varietas Hrisan Terinfeksi. J. Hort. 18(2):185-192.

Clark MF, Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate method of enzyme-

linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. Journal

of General Virology 34:475-483.

Conci V, Nome SF. 1991.Virus free garlic (Allium sativum L) plants obtained by

thermotherapy and meristem tip culture. J. Phytopathology 132:186-192.

Converse RH, Tanne E. 1984. Heat Therapy and Stolon Apex Culture to

Eliminate Mild Yellow-edge Virus from Hood Strawberry. Phytopathol.

74:1315-1316.

Copes WE, Blythe EK. 2009. Chemical and hot water treatments to control

Rhizoctonia AG P infesting stem cuttings of azalea. Hort. Science

44(5):1370-1376.

Crous PW, Swart L, Coertze S. 2001. The effect of hot water treatment on fungi

occurring in apparently healthy grapevine cuttings. Phytopathol.

Mediterr. 40(S):464-466.

Damayanti TA, Putra LK, Giyanto. 2010. Hot water treatment of cutting cane

infected with Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV). J. ISSAAS

16(2):17-25.

El-Nasr AMA, Fahmy FG, Fushdi MA. 1989. Elimination of sugarcane mosaic

disease by tissue culture and hot water treatment. Asian J. Agric. Sci.

20:277-292.

Golino DA, Sim ST, Grzegorezyk W, Rowhani A. 1998. Optimizing tissue culture

protocols used for virus elimination in grapevines. American Journal of

Ecology and Viticulture 49(4):451-452.

Goodwin PB, Kim YC, Adisarwanto T. 1980. Propagation of shoot tip culture and

shoot multiplication. Potato Res. 23:45-49.

Gunaeni N, Karjadi AK. 2008. Kultur meristem dan antiviral ribavirin pada

tanaman kentang. J. Agrivigor 7(2):105-112.

Hadipoentyanti E, Amalia, Nursalam. 2007. Effect of growth regulator 2,4 D and

BAP to in vitro Callus and Shoots induce on Patchouli (Pogostemon

cablin Benth) var. Sidikalang. Proceeding International Seminar on

Essential Oil 2007. ISMECRI. Jakarta. hlm 78-86.

Hadipoentyanti E, Amalia, Sirait N, Hartati SY, Suhesti S. 2008. Perakitan

Varietas Tahan Nilam terhadap Penyakit Layu Bakteri.Prosiding

Konferensi Minyak Atsiri. Surabaya. hlm 17-29.

Hartono S, Subandiyah S. 2006. Pemurnian dan deteksi serologi Patchouli mottle

virus pada tanaman nilam. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia

12(2):74-82.

HartonoS. 2008. Karakterisasi virus mottle pada tanaman nilam di Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme

Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Bogor-4 Nopember 2008. Balai

Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Tidak dipublikasi.

64

Irwin ME.1999. Implication of movement in developing and deploying integrated

pest management strategies. Agricultural and Forest Meteorology

97:235-248

Kim SM, Nam SH, Lee JM, Yim KO, Kim KH. 2003. Destruction of Cucumber

green mottle mosaic virus by heat treatment and rapid detection of virus

inactivation by RT-PCR. Molecules and cells 16:338-342.

Kou L, Luo Y, Ding W, Liu X, Conway W. 2009. Hot water treatment in

combination with rachis removal and modified atmosphere packaging

maintains quality of table grapes. HortScience 44(7):1947-1952.

Langhans RW, Horst RK, Earle ED. 1977. Diseases-free plants via tissue culture

propogation. HortScince. 12:149-150.

Leonhardt W, Wawrosch Ch, AuerA, Kopp B. 1998. Monitoring of virus diseases

in Austrian grapevine varieties and virus elimination using in vitro

thermotherapy. Plant Cell Tissue and Organ Culture 52:71-74.

Lozoya-Saldana H, Merlin-Lara O. 1984. Thermotherapy and Tissue Culture for

Elimination of Potato Virus X (PVX) in Mexican Potato Cultivars

Resistant to Late Blight. Am. Potato J. 61:735-739.

Meissner Filho PE, Resende R de O, Lima MI, Kitajima EW. 2002. Patchouli

virus X, a new potexvirus from Pogostemon cablin. Ann. Appl. Biol.

141:267-274.

Mink GI, Wample R, Howell WE. 1998. Heat treatment of perennial plants to

eliminate phytoplasmas, viruses, and viroids while maintaining plant

survival. In Plant Virus disease control, edited by Hadidi A, Khetarpal

RK, Koganezawa H. 1998. St.Paul (US): American Phytopatology

Society Press

Natsuaki KT, Tomaru K, Ushiku S, Ichikawa Y, Sugimura Y, Natsuaki T, Okuda

S, Teranaka M. 1994. Characteristic of two viruses isolated from

patchouli in Japan. Plant Dis. 78:1094-1097.

Noveriza R, Suastika G, Hidayat SH, Kartosuwondo U. 2012a. Identification of a

Potyvirus associated with mosaic disease on patchouli plants in

Indonesia. J. ISSAAS 18(1):131-146.

Noveriza R, Suastika G, Hidayat SH, Kartosuwondo U. 2012b. Penularan

Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam melalui vektor

Aphis gossypii. Jurnal Fitopatologi Indonesia 8(3):65-72.

Nuryani Y, Hobir, Syukur C. 2003. Status pemuliaan tanaman nilam (Pogostemon

cablin Benth.). Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat

XV(2):57-67.

Nuryani Y. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri 11 (1):1-3.

Quak F. 1972. The treatment and substances inhibity, virus multiplication in

meristem culture to obtain virus free plant. Ad. Hort. Sci. :141-144.

Sastry KS, Vasanthakumar T. 1981. Yellow mosaic of patchouli (Pogostemon

patchouli) in India. Current Science 50(17):767-768.

Singh MK, Chandel V, Hallan V, Ram R, Zaid AA. 2009. Occurrence of Peanut

stripe virus on patchouli and raising of virus-free patchouli plants by

meristem tip culture. Journal of Plant Diseases and Protection

116(1):2–6,

65

Sugimura Y, Padayhag BF, Ceniza MS, Kamata N, Eguchi S, Natsuaki T, Okuda

S. 1995. Essential oil production increased by using virus free patchouli

plants derived from meristem-tip culture. Plant Pathology 44:510-515.

Sutrawati M. 2009. Eliminasi PMWaV (Pineapple mealybug wilt-associated

virus) dari jaringan tanaman nanas melalui perlakuan air panas dan

ribavirin. [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tjandra A. 2000. Pengaruh konsentrasi BAP dan Calsium pathothenate terhadap

Calla lily (Zantedeschia rehmanii) secara in vitro dan presentase tumbuh

planlet di lapangan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Visessuwan R, Korpraditskul W, Attathom S, Klinkong S. 1988. Production of

Virus-Free Sugarcane by Tissue Culture. Kasetsart J. (Nat. Sci. Suppl.)

22:30-60.