u dont need to know
date post
07-Jul-2018Category
Documents
view
222download
0
Embed Size (px)
Transcript of u dont need to know
8/19/2019 u dont need to know
1/1937
Menemukan Titik Keseimbangan:
Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:
Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Penelitian yang dipaparkan sejauh ini menunjukkan bahwa ada kekuatan dan kelemahan yang jelas pada praktikperadilan non-negara saat ini di Indonesia. Beberapa kasus menunjukkan peradilan informal sering gagal untuk
menyatu dengan standar dasar konstitusional. Para perempuan kurang terwakili, kaum minoritas merasakan
didiskriminasi dan norma-norma tidak selalu jelas. Beberapa sanksi sifatnya sangat keras dan pelaksanaannya
menimbulkan masalah .
Bahkan, masyarakat desa tidak hanya lebih sering menggunakan aktor informal daripada yang formal, tapi
mereka juga menyampaikan tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Sebagaimana ditunjukkan di Gambar 6
dihalaman bawah, survei GDS menunjukkan bahwa 69 persen mereka puas dengan para pelaku peradilan
informal dibandingkan dengan 58 persen aktor peradilan formal.49
Untuk mengembangkan sebuah strategi yang melibatkan peradilan non-negara membutuhkan pemahaman
terhadap kekuatan dan kelemahannya. Bagian III ini menganalisa dan membahas hal tersebut secara terperinci.
Bagian ini juga disertai dengan serangkaian “contoh perubahan” dari kondisi lapangan dan negara-negara tetangga. Langkah-langkah kecil ini memberikan beberapa pandangan yang sederhana menjadi langkah-
langkah yang berbeda tentang bagaimana kelemahan dapat diatasi, dan kekuatan dapat dipertahankan.
49 Yang dianggap formal adalah polisi, pengacara dan jaksa. Sisanya dianggap informal. Asia Foundation (2001), diatas n.3 mencatat
bahwa 86 persen orang menunjukkan kepuasannya terhadap peradilan non-negara.
Foto : Taufik Rin
8/19/2019 u dont need to know
2/1938
Menemukan Titik Keseimbangan:
Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:
Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
A. Kekuatan: Mengapa Orang-orang Lebih Memilih
Peradilan Non-negara?
‘Pilihan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa informal bukan hanya disebabkan mekanisme ini
murah, cepat dan mudah. Tetapi aspek yang lebih penting adalah kepatuhan warga terhadap suatu pendekatan
yang memberikan rasa tertib dan tenteram dalam diri dan komunitasnya’
Tokoh Agama dari Ambon, Provinsi Maluku
Temuan utama
• Mudah diakses, cepat dan murah. Peradilan non-negara lebih dapat diakses, cepat dan lebih murah dibandingkan
pengadilan. Ini benar-benar berjalan baik untuk kasus-kasus ringan.
• Menjaga keharmonisan sosial. Menjaga kerukunan sosial sangat dihargai dalam kehidupan pedesaan, dan para
pelaku informal mengutamakan pemulihan hubungan sosial ketika terjadi masalah.
• Fleksibel. Struktur-struktur dan norma-norma bersifat longgar, dalam arti untuk menyesuaikan dengan perubahan
sosial.
• Berdasarkan otoritas dan legitimasi lokal. Masyarakat lebih memilih peradilan non-negara utamanya karena
otoritas para pelakunya di lingkungan pedesaan untuk memecahkan masalah dan melaksanakan putusan.
Mudah Diakses, Cepat dan Murah
Beberapa kekuatan dari peradilan informal sederhana dan ternyata. Kemudahan diakses secara nyata adalah salah
satu keuntungan yang jelas. Ketua rukun warga (ketua RT/RW), kepala desa, pemimpin adat dan tokoh agama
tinggal di desa, dikenal oleh masyarakat dan gampang ditemui. Sebaliknya, polisi dan pengadilan seringkali
berada di ibu kota kabupaten/kota yang terletak jauh.
Kekuatan berikutnya adalah kecepatan. Terutama ketika terkait dengan hak-hak ekonomi, proses penyelesaian
yang lama dapat mempengaruhi kehidupan kaum miskin. Pada saat terjadi kekerasan akan muncul – seperti
pada beberapa kasus di Jawa Timur – tindakan yang cepat sangat diperlukan. Dalam kasus yang berhasil
diselesaikan, prosesnya biasanya berjalan dengan cepat. Kasus pembunuhan di Palangkaraya diselesaikan
dalam tiga minggu, dan perkelahian di Kuala Kapuas dalam dua minggu. Kebanyakan kasus di Jawa Timur dan
Maluku juga ditangani dalam dua-tiga minggu atau kurang.
Sebaliknya, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menunggu antara proses pengarsipan dan pembacaan
kasus berkisar antara 4-6 bulan di Pengadilan Negeri, 12 bulan di Pengadilan Tinggi dan 2-3 tahun di Mahkamah
Agung.50 Data terbaru menunjukan rata-rata waktu yang diperlukan untuk penyelesaian kasus hukum dari
kejadian awal sampai kasasi yaitu 7-12 tahun.51
50 Bappenas/World Bank (1996) Law Reform in Indonesia, Cyber Consult: Jakarta, hal. 130.
51 Mahkamah Agung RI (2003), Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung: Jakarta, hal 161.
8/19/2019 u dont need to know
3/1939
Menemukan Titik Keseimbangan:
Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:
Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Biaya merupakan pertimbangan penting lainnya. Sengketa kecil pada umumnya diselesaikan tanpa biaya bagi
pihak yang bertikai.52 Pada sebagian besar kasus yang diteliti tidak ada biaya untuk proses pengarsipan atau
pembacaan kasus (sidang).53
Gambar 6: Kepuasan dengan pelaku formal dan informal
0 10 20 30 40 50 60 70 80
LSM
Pemerintah Kabupaten
Pemerintah Kecamatan
Polisi
Jaksa
Pengacara
Pemerintah Desa
Keluarga/Teman
Paralegal
Tokoh Adat/ Masyarakat
Formal
Informal
Sumber: Survei GDS
Data pada Gambar 6, menggambarkan para responden menyatakan kepuasannya yang sangat besar terhadap
pihak-pihak yang sudah mereka kenal – tokoh masyarakat dan tokoh adat, pendamping hukum (paralegal),
anggota keluarga dan teman, dan pemerintah desa. Temuan ini menunjukkan dua implikasi. Pertama, strategi
untuk memperbaiki penyelesaian sengketa sebaiknya berfokus pada tingkat desa dan komunitas, tidak hanya
institusi-institusi negara. Kedua, hal itu juga mendukung usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
dengan para pelaku dari tingkat kecamatan dan kabupaten (LSM, para jaksa, pejabat pemerintah, dll), dapat
membantu meningkatkan tingkat kepuasaan dan kepercayaan pada mereka juga.
Kasus Ringan Diselesaikan Secara Cepat dan Damai
Sebagian besar sengketa yang muncul di tingkat desa biasanya ringan – perkelahian antar tetangga atau anak-
anak muda, pencurian kecil dan hujatan atau fitnah. Dimana resikonya kecil, mekanisme peradilan non-negara
biasanya berjalan efektif. Karena kasus-kasus semacam ini adalah yang paling umum terjadi, kepuasan yang
tinggi sangat diharapkan.
52 Sehubungan dengan keuntungan ekonomis atas peradilan non-negara, penelitian di Colombia menyimpulkan bahwa dengan
menggunakan sistem peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa tanah dan warisan, pendapatan yang didapatkan lebih besar
dari pada menggunakan pengadilan (formal): lihat Edgardo Buscaglia (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution
Mechanisms’ Makalah dipaparkan di Empowerment, Opportunity and Security through Law and Justice Conference , St. Petersburg, July
2001, hal. 9 & 10.
53 Penyelesaian sengketa adat di Kalimantan Tengah adalah pengecualian. Biaya pencatatan kasus dalam kasus pekelahian pasar adalah
Rp 600,000. Dalam kasus pembunuhan (tidak terencana), Dewan Adat membebankan biaya Rp 6 juta.
8/19/2019 u dont need to know
4/190
Menemukan Titik Keseimbangan:
Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:
Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Studi kasus 10 : Perkelahian (baku hantam) diselesaikan dengan cepat54
Pak Nuri adalah seorang petani dari sebuah desa di provinsi Lampung. Suatu hari, anaknya terlibat perkelahian dengan
teman sekolahnya. Ayah anak (laki-laki) itu ikut campur dan memukul anak laki-lakinya.
Bukannya melaporkan kasus tersebut ke polisi, Pak Nuri mendekati Pak Parmin dan Pak Bejo, kepala dusunnya dan seorang pendamping hukum (paralegal) dibawah program yang dijalankan oleh LSM bantuan hukum setempat. Seperti
yang Pak Nuri katakan, mereka dikenal sebagai orang-orang, ’Yang dapat memecahkan masalah.’
Parmin dan Bejo bersama memanggil pihak-pihak yang bertikai ke rumah Parmin, membicarakan masalah tersebut
dan mampu memecahkan masalah tersebut dengan cepat dan damai. Pak Nuri berkata blak-blakan bahwa masalah-
masalah yang dibawa ke polisi tidak akan berhasil diselesaikan dengan baik . ‘Jika dibawa ke polisi,’ kata dia, ‘mereka suka
memukulmu dan mengurungmu. Tidak ada yang mengontrol.’
Kewenangan dan Legitimasi Lokal
Faktor penting dan terkait lainnya adalah kemampuan peradilan non-negara untuk menjaga keselarasan
hubungan. Menurut survei Asia Foundation tahun 2001, kebanyakan responden yang memilih peradilaninformal menyatakan bawa motivasi utama mereka adalah harapan mempertahankan kerukunan bersama.55
Para pelaku peradilan informal mampu mencapai hal ini dengan kearifan kewenangan lokal mereka. Warga
mencari bantuan dari kepala desa, pemimpin keagamaan dan tradisional karena mereka memiliki legitimasi
sosial di lingkungan desa. Mereka bukanlah pelaku yang netral dan independen (sebagaimana yang diharapkan
dari para hakim). Mereka secara langsung terlibat dengan perkembangan desa da