tss (2)

download tss (2)

of 10

description

jurnal total solid suspension

Transcript of tss (2)

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    1

    STATUS PENCEMARAN SUNGAI PLUMBON DITINJAU DARI ASPEK

    TOTAL PADATAN TERSUSPENSI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS

    The Status of Plumbon River Pollution Viewed from Total Suspended Solid

    and Macrozoobenthos Community Structure

    Indraswari Putri Khaeksi, Haeruddin*), Max Rudolf Muskananfola

    Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan

    Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

    Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah 50275, Telp/Fax. +6224 7474698 Email : [email protected]

    ABSTRAK

    Sungai Plumbon merupakan salah satu sungai di kota Semarang, yang terletak di Mangunharjo, Mangkang,

    Semarang. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui konsentrasi Total Padatan Tersuspensi, struktur

    komunitas makrozoobentos, hubungan antara TSS dan makrozoobentos dan mengetahui status pencemaran

    sungai Plumbon Semarang. Metode sampling yang digunakan yaitu metode sistematic sampling. Zat Padatan

    Tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat atau partikel-partikel seperti pasir, lumpur dan tanah

    liat yang tersuspensi didalam air dan dapat berupa komponen hidup. Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS)

    yang diperoleh pada 3 kali sampling adalah pada sampling I diperoleh rata - rata sebesar 257,78 mg/l 136,84,

    pada sampling II diperoleh rata - rata sebesar 200 mg/l 118,51 dan pada sampling III diperoleh rata - rata

    sebesar 400 mg/l 146,67. Ditinjau dari kurva ABC maka sungai Plumbon masuk ke dalam kategori sungai yang

    tercemar sedang hingga berat. Uji korelasi yang dilakukan antara TSS dengan Kelimpahan Individu

    menghasilkan korelasi negatif kuat, begitu pula pada uji korelasi TSS dengan keanekaragaman makrozoobentos

    yang menghasilkan korelasi negatif kuat.

    Kata Kunci: TSS; Makrozoobentos; Sungai Plumbon

    ABSTRACT

    Plumbon river is located in Mangunharjo, Mangkang, Semarang. This research was conducted to study the

    concentration of Total Suspended Solid, macrozoobenthos community structure, the relationship between TSS

    and macrozoobenthos and the status of Plumbon river pollution. Sampling method used is systematic sampling

    method. Total Suspended Solid is all solids or other particles like sand, mud, and clay that are suspended in the

    water and can be biotic components. Average of Total Suspended Solid (TSS) concentration obtained from every

    station with 3 times sampling are: station I is 257,78 mg/l 136,84, station II is 200 mg/l 118,51, and station

    III is 400 mg/l 146,67. Based on ABC curve, Plumbon river is categorized as moderately to heavily polluted

    river. Correlation test conducted between TSS and individual abundance shows a strong and negative correlation,

    similarly with the correlation test between TSS and macrozoobenthos diversity that shows a strong and negative

    correlation.

    Keywords: TSS; Macrozoobenthos; Plumbon River

    *) Penulis Penangungjawab

    1. PENDAHULUAN Zat Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat atau partikel-partikel seperti pasir,

    lumpur dan tanah liat yang tersuspensi didalam air dan dapat berupa komponen hidup seperti zooplankton,

    fitoplankton, bakteri, fungi, dan dapat pula berupa komponen mati seperti detritus dan partikel-partikel anorganik

    lainnya. Makrozoobentos merupakan sekelompok hewan yang hidup dan menetap di dasar perairan.

    Makrozoobentos kerap dijadikan sebagai indikator kualitas suatu perairan. Penggunaan bioindikator pada saat ini

    menjadi sangat penting untuk dapat melihat hubungan antara lingkungan biotik dengan non-biotik. Bioindikator

    atau indikator ekologis itu sendiri merupakan kelompok organisme yang dapat dijadikan petunjuk bahwa

    keberadaan mereka dipengaruhi oleh adanya tekanan lingkungan akibat dari kegiatan manusia dan destruksi

    sistem biotik (McGeoch, 1998 dalam Zulkifli et al., 2009). Menurut US Environmental Protection Agency

    (US-EPA) (1973) dalam Tarigan dan Edward (2003), padatan tersuspensi memiliki pengaruh yang beragam, hal

    ini tergantung pada sifat kimia alamiah dari bahan tersuspensi, khususnya bahan toksik. Zat padat tanpa bagian

    toksis yang nyata seperti contohnya tanah liat, pemisahan bahan tersuspensi serta penutupan oleh tanaman bentik

    dan oleh hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi. Tanaman

    menderita abrasi dan kerusakan mekanik, hewan yang tidak bertulang belakang yang lebih kecil mati tercekik,

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    2

    dan hewan tidak bertulang belakang besar yang mempunyai insang akan mengalami penyumbatan pada alat

    penglihatan dan permukaan tubuh lainnya. Pengaruh yang berbahaya lainnya terdapat pada ikan, zooplankton,

    dan makhluk hidup lainnya karena dapat terjadi penyumbatan insang oleh partikel.

    2. MATERI DAN METODE PENELITIAN a. Materi

    Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    Alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengukuran in situ adalah secchi disc, bola arus,

    termometer, pH meter, DO meter, refraktometer, paralon, botol sampel, pipet tetes, saringan bentos, kertas label,

    alat tulis, botol biota, GPS. Sedangkan alat - alat yang digunakan pada analisa laboratorium yaitu gelas ukur 500

    ml, botol sampel, corong, statip, kertas saring, timbangan elektrik, oven, desikator, penjepit, turbidimeter.

    Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu antara lain air sampel, rose bengale, formalin 4%,

    akuades, makrozoobentos.

    b. Metode

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Metode sampling

    Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode survei, dengan cara mengamati kandungan TSS

    (Total Suspended Solid) dan juga komunitas makrozoobentos yang terdapat di sungai Plumbon. Pengambilan

    contoh menggunakan metode sistematik sampling, yaitu sampel yang diambil dari populasi pada jarak interval

    waktu, ruang/urutan seragam. Pengambilan sampel pada sungai Plumbon dilakukan pada 3 stasiun, dan pada

    setiap stasiun terdiri dari 3 titik, pengulangan dilakukan 3 kali dengan jarak waktu 2 minggu. Pengambilan

    makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan paralon dengan volume 0,0034 m. Biota yang didapatkan

    kemudian disortir dengan menggunakan saringan bentos ukuran 2,0 mm, kemudian diletakkan kedalam botol

    biota, setelah itu ditetesi dengan Rose Bengale supaya terdapat perbedaan antara warna biota dengan substrat

    yang ikut terbawa, dan ditetesi formalin 4%. Sampel air diambil dan dimasukkan kedalam botol sampel. Air

    sampel yang dibutuhkan untuk pengukuran Total Padatan Tersuspensi yaitu sebanyak 500 mL, dan sisanya untuk

    pengukuran kekeruhan menggunakan turbidimeter. Pengukuran parameter fisika dan kimia dilakukan in situ

    kecuali untuk pengukuran kekeruhan yang dilakukan di laboratorium.

    2. Metode pengukuran faktor fisika dan faktor kimia

    a. Suhu

    Termometer dimasukkan kedalam perairan, kemudian ditunggu beberapa saat, setelah itu dibaca garis

    menunjuk ke angka berapa.

    b. Kekeruhan

    Pengambilan sampel dilapangan kemudian di cek kekeruhan di laboratorium dengan menggunakan alat

    turbidimeter.

    c. Kecerahan

    Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disc yang dimasukkan ke badan perairan,

    untuk melihat nilai pada saat piringan secchi disc remang-remang dan tepat hilang. Nilai kecerahan dilihat dari

    rata-rata nilai pada saat secchi disc remang-remang dan tepat hilang.

    d. Arus

    Perhitungan arus dilakukan dengan menggunakan bola arus. Bola arus dilepas dan dibiarkan terbawa arus

    perlahan-lahan sejauh 1 meter, lalu mencatat waktu pada saat tali bola arus terenggang sempurna sepanjang 1

    meter menggunakan stopwatch, rumus untuk perhitungan kecepatan arus adalah sebagai berikut :

    =

    Keterangan : V = kecepatan arus ( m/s) t = waktu yang diperlukan (s)

    S = jarak yang ditempuh (m)

    e. pH

    Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter

    f. Salinitas

    Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Air sampel yang akan dilihat nilai

    salinitasnya diambil menggunakan pipet tetes, kemudian diteteskan ke refraktometer, dan dibaca menunjukkan

    ke angka berapa.

    g. Oksigen terlarut

    Pengukuran konsentrasi oksigen terlarut (DO) dilakukan dengan menggunakan DO meter. Alat dimasukkan

    ke dalam perairan yang akan dilihat nilai DO nya, setelah nilai keluar di layar lalu catat

    3. Metode analisa laboratorium

    a. Identifikasi makrozoobentos

    Cara identifikasi makrozoobentos

    Sampel makrozoobentos yang telah didapat kemudian dikelompokkan berdasarkan bentuk yang sama,

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    3

    kemudian diidentifikasi menggunakan buku identifikasi J.M. Poutiers.

    Cara perhitungan biomass

    Pada penelitian ini biomassa yang dihitung adalah bobot basah, pengukuran bobot basah makrozoobentos dilakukan setelah sampling dan sudah dipisahkan dari substrat dan kemudian diukur dengan timbangan elektrik.

    b. Analisa Total Padatan Tersuspensi

    Prosedur uji

    Kertas saring dipotong sesuai dengan corong yang akan digunakan kemudian dicuci dengan akuades, lalu

    dioven dengan suhu 103C-105C selama 1 jam, setelah 1 jam kertas saring dikeluarkan dari oven dan

    dimasukkan ke dalam desikator kira-kira 15 menit. Hitung berat awal dari kertas saring dengan timbangan

    elektrik. Saring air sampel sebanyal 500 mL. Oven kembali dengan suhu 103C-105C selama 1 jam, setelah 1

    jam kertas saring dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator kira-kira 15 menit. Hitung berat

    akhir kertas saring setelah di oven, lalu hitung TSS dengan menggunakan rumus :

    (a b) (gram/liter) c

    Keterangan :

    a = hasil perhitungan kertas saring+endapan setelah di oven

    b = hasil perhitungan kertas saring setelah di oven

    c = volume air sampel yang digunakan

    c. Analisis data

    1. Kelimpahan Individu

    Kelimpahan individu makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu spesies setiap stasiun dalam

    satuan kubik. Kelimpahan individu makrozoobentos dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

    Volume paralon = r t Volume seluruh biota = Volume paralon (m) x n (ulangan)

    Konversi jumlah biota = 1

    Vol. seluruh biota

    Kelimpahan (ind/ m) = konversi jumlah biota x ni (jumlah individu jenis i)

    2. Kelimpahan Relatif (KR)

    Kelimpahan Relatif merupakan perbandingan antara kelimpahan individu tiap jenis dengan keseluruhan

    individu yang terdapat dalam suatu komunitas (Hawkes dalam Setiawan, 2009).

    KR = ni x 100%

    N

    Keterangan =

    KR = Kelimpahan Relatif N = Jumlah individu total

    Ni = Jumlah individu dari jenis ke-i

    3. Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos

    Untuk melihat keanekaragaman jenis makrozoobentos, maka dapat ditentukan dengan rumus sebagai

    berikut :

    H' = - pi ln pi pi = ni N

    Keterangan =

    H = Indeks Keanekaragaman jenis N = Jumlah total individu Pi = ni/N ln = Logaritma Nature

    ni = Jumlah individu ke-i

    4. Indeks Keseragaman (E)

    Keseragaman adalah komposisi jumlah individu dalam setiap genus yang terdapat dalam komunitas. Indeks

    keseragaman (Evenness index) yang digunakan berdasarkan fungsi Shannon-Wiener untuk mengetahui sebaran

    tiap jenis makrozoobentos dalam luasan area pengamatan (Fachrul, 2007).

    E = H = H H maks ln (S)

    Keterangan =

    E = Indeks Keseragaman S = Banyaknya spesies

    H = Indeks Keanekaragaman Shanon-Wiener ln = Logaritma Nature H max = Keanekaragaman spesies maksimum

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    4

    Nilai keseragaman suatu populasi akan berkisar antara 0 - 1 dengan kreteria : E > 0,6 keseragaman tinggi;

    0,4 < E < 0,6 keseragaman sedang; E < 0,4 keseragaman rendah (Brower et al, 1990 dalam Agustinus, et al.,

    2013).

    5. Indeks Dominansi Makrozoobenthos

    Indeks dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai famili yang mendominansi dalam

    suatu komunitas. Menghitung indeks dominansi digunakan rumus Simpson dalam Agustinus, et al. (2013)

    sebagai berikut :

    C = (Pi) C = (ni/N)

    Keterangan =

    C = Indeks dominansi

    Pi = ni/N

    ni = Jumlah individu ke-i

    N = Jumlah total individu

    Dengan kriteria :

    Apabila nilai C mendekati 0 (nol) = Tidak ada jenis yang mendominansi

    Apabila nilai C mendekati 1 (nol) = Ada jenis yang mendominansi

    6. Kurva ABC (Abundance and Biomass Comparison) Makrozoobentos

    Metode kurva ABC (Abundance and Biomass Comparison) digunakan untuk mengetahui kondisi

    lingkungan dengan menganalisis jumlah total individu persatuan luas (kepadatan) dan berat persatuan luas dari

    komunitas makrozoobentos (Warwick, 1986 dalam Hedianto dan Purnamaningtyas, 2011). Adapun tahapan

    analisa kurva ABC adalah sebagai berikut :

    a. Membuat daftar presentase relatif jumlah total individu per m dan berat total per m dari masing-masing jenis

    makrozoobentos;

    b. Membuat rangking masing-masing jenis berdasarkan presentase relatif jumlah total individu per m dan berat

    total per m dari masing-masing jenis makrozoobentos, dan membuat kumulatif dari presentase relatif jumlah

    total individu per m dan berat total per m, sehingga terbentuk persen kumulatif dominan; dan

    c. Data rangking jumlah total individu per m2 dan berat total per m diplotkan pada sumbu x dalam bentuk

    logaritma, sedangkan pada sumbu y diplotkan data presentase kumulatif dominan dari kepadatan dan

    biomassa.

    Gambar 1. Hipotesis kurva K-dominansi sebagai pendekatan pada kurva ABC antara kelimpahan spesies ( )

    dan biomassa (------), dimana (a) kondisi ekosistem tidak terganggu, (b) terganggu intensitas sedang

    (moderat), dan (c) kondisi terjadi adanya gangguan dan tekanan ekologi (Warwick, 1986 dalam

    Hedianto dan Purnamaningtyas, 2011).

    Berdasarkan bentuk kurva ABC yang diperoleh, status atau kualitas makrozoobentos dapat diklasifikasikan

    menjadi tiga kategori, yaitu:

    1. Baik, jika kurva biomassa per satuan luas berada di atas kurva jumlah individu per satuan luas.

    2. Sedang, jika kurva biomassa per satuan luas dan kurva jumlah individu per satuan luas saling tumpang tindih.

    3. Buruk, jika kurva biomassa per satuan luas berada di bawah kurva jumlah individu per satuan luas.

    Analisis regresi dan korelasi dengan menggunakan SPSS versi 16.00 digunakan untuk menentukan

    hubungan antara konsentrasi total padatan tersuspensi (TSS) dengan Kelimpahan dan keanekaragaman

    makrozoobentos.

    3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil

    Hasil pengukuran parameter kualitas air pada stasiun I, stasiun II, dan stasiun III dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air Stasiun I - III pada Masing-Masing Sampling

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    5

    No Parameter Sampling I Sampling II Sampling III

    St. 1 St. 2 St. 3 St. 1 St. 2 St. 3 St. 1 St. 2 St. 3

    1. Kedalaman (cm) 20 41 52 12 45 58 32 48 47

    2. Kecerahan (cm) ~ 30,67 20 ~ 31,5 16,5 24,16 19,67 18,33

    3. Kekeruhan (NTU) 12,05 16,28 17,22 3,34 7,27 9,26 47,23 34,67 74,76 4. Arus (m/s) 0,09 0,04 0,06 0,07 0,04 0,06 0,09 0,06 0,05

    5. Suhu (C) 28 29 30 32 31 31 29 29 29

    6. pH 8,02 7,83 7,88 7,45 7,36 7,68 7,59 7,38 7,30

    7. Salinitas () 0 13 23,67 0 12,67 27,33 0 17 26,33 8. DO (mg/l) 5,54 4,12 2,15 5,60 4,86 3,26 5,55 4,1 2,22

    9. TSS (mg/l) 106,67 293,33 373,33 106,67 160 333,33 253,33 400 546,67

    Tabel 2. Hasil Perhitungan Rata-rata dan Standar Deviasi Parameter Kualitas Air

    No Parameter Sampling I Sampling II Sampling III

    Rata-rata Stdev Rata-rata Stdev Rata-rata Stdev

    1 Kedalaman (cm) 37,67 16,26 38,33 23,71 42,33 8,96

    2 Kecerahan (cm) 25,34 7,54 24,00 10,61 20,72 3,05

    3 Kekeruhan (NTU) 15,18 2,75 6,62 3,01 52,22 20,51

    4 Arus (m/s) 0,06 0,03 0,06 0,02 0,07 0,02

    5 Suhu (C) 29,00 1,00 31,33 0,58 29,00 0,00

    6 pH 7,91 0,10 7,50 0,17 7,42 0,15

    7 Salinitas () 12,22 11,85 13,33 13,68 14,44 13,35 8 DO (mg/l) 3,94 1,70 4,57 1,20 3,96 1,67

    9 TSS (mg/l) 257,78 136,84 200,00 118,51 400,00 146,67

    Makrozoobentos yang telah didapatkan pada saat sampling lalu dilakukan perhitungan meliputi kelimpahan

    individu (KI), kelimpahan relatif (KR), indeks keanekaragaman (H'), indeks keseragaman (E), serta indeks

    dominasi (C), sebagaimana disajikan pada Tabel 3, 4 dan 5

    Tabel 3. Identifikasi Genus Makrozoobentos Stasiun 1

    Sampling Jenis Jumlah C E H KI(ind/ m3) KR (%)

    1 Physa 14 0,25 0,29 1,47 1372.56 35

    Lymnaea 2 196.08 5

    Achatina 6 588.24 15

    Elimia 10 980.4 25

    Melanoides 8 784.32 20

    2 Melanoides 6 0,31 0,32 1,28 588.24 18,75

    Elimia 4 392.16 12,5

    Lymnaea 14 1372.56 43,75

    Achatina 8 784.32 25

    3 Achatina 8 0,31 0,36 1,09 784.32 30,76

    Physa 9 882.36 34,61

    Elimia 8 784.32 30,67

    Tabel 4. Identifikasi Genus Makrozoobentos Stasiun II

    Sampling Jenis Jumlah C E H KI (ind/ m3) KR (%)

    1 Physa 15 0,34 0,26 1,31 1470,6 51,72

    Elimia 6 588,24 20,68

    Melanoides 4 392,16 13,79

    Achatina 2 196,08 6,89

    Brotia 2 196,08 6,89

    2 Melanoides 6 0,30 0,27 1,35 588,24 17,14

    Elimia 10 980,4 28,57

    Lymnaea 2 196,08 5,71

    Turricula 2 196,08 5,71

    Brotia 15 1470,6 42,85

    3 Melanoides 7 0,33 0,36 1,09 686,28 30,43

    Physa 9 882,36 39,13

    Elimia 7 686,28 30,43

    Tabel 5. Identifikasi Genus Makrozoobentos Stasiun III

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    6

    Perhitungan Kurva ABC yang dilakukan pada stasiun 1, stasiun 2 dan stasiun 3 dengan 3 kali sampling

    disajikan dalam gambar sebagai berikut.

    Gambar 2. Kurva ABC pada stasiun 1, 2 dan 3 dengan 3 kali sampling

    Analisis data dengan menggunakan regresi dan korelasi mendapatkan hasil sebagai berikut :

    Gambar 3. Kurva Hubungan TSS (Total Suspended Solid) dengan Kelimpahan Individu (KI); TSS (Total

    Suspended Solid) dengan Keanekaragaman Makrozoobentos

    Sampling Jenis Jumlah C E H KI( ind/ m3) KR (%)

    1 Melanoides 12 1,98 0,21 0,86 1176,48 54,54

    Brotia 2 196,08 9,09

    Turricula 6 588,24 27,27

    Lymnaea 2 196,08 9,09

    2 Melanoides 16 0,51 0,27 0.82 1586.64 66.67

    Turricula 2 196.08 8.33

    Turritella 6 588.24 25

    3 Physa 2 0,34 0,29 1,17 196,08 13,33

    Achatina 6 588,24 40

    Elimia 6 588,24 40

    Turricula 1 98,04 6,66

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    7

    Gambar 4. Korelasi TSS dengan KI dan TSS dengan Keanekaragaman Makrozoobentos

    Analisa data regresi dan korelasi dengan menggunakan metode komputerisasi SPSS versi 16,00

    menunjukkan hasil R sebesar 0,5893, yang berarti konsentrasi TSS berpengaruh sebesar 58,93% terhadap

    kelimpahan individu. Nilai R sebesar 0,4586 yang berarti konsentrasi TSS berpengaruh sebesar 45,86%

    terhadap keanekaragaman makrozoobentos. Dari tabel korelasi diatas dapat diketahui bahwa konsentrasi TSS

    memiliki korelasi negatif sebesar -0,768 terhadap Kelimpahan Individu dan konsentrasi TSS memiliki korelasi

    negatif sebesar -0,677 terhadap keanekaragaman makrozooobentos.

    b. Pembahasan

    Pengukuran TSS (Total Suspended Solid) dilakukan pada stasiun I, stasiun II dan stasiun III dengan 3 kali

    sampling. Hasil yang diperoleh dari 3 kali sampling pada stasiun I yaitu 106,67 pada sampling 1, 106,67 pada

    sampling 2, dan 253,33 pada sampling 3. Hasil yang diperoleh dari 3 kali sampling pada stasiun II yaitu 293,33

    pada samping 1, 160 pada sampling 2 dan 400 pada sampling 3. Sedangkan hasil yang diperoleh dari 3 kali

    sampling pada stasiun III yaitu 373,33 pada sampling 1, 333,33 pada sampling 2 dan 546,67 pada sampling ke 3.

    Status kualitas lingkungan berdasarkan nilai padatan tersuspensi (TSS) menurut keputusan Menteri Lingkungan

    Hidup No. 2/1988 bahwa kategori TSS dengan nilai 0 100 masuk dalam kategori baik, 100 250 sedang, 250 500 jelek dan > 500 sangat jelek (Kelompok Kerja Erosi dan Sedimentasi, 2002 dalam Haeruddin et al., 2014).

    Pengukuran kedalaman pada setiap stasiun dengan 3 kali sampling diperoleh data pada stasiun I kedalaman

    berkisar antara 12 32 cm, stasiun II berkisar antara 41 48 cm, dan pada stasiun III berkisar antara 47 58 cm. dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa kedalaman terendah ada pada stasiun 1 yaitu 12 cm yang berada

    dekat dengan rumah penduduk dan kedalaman tertinggi ada pada stasiun III yaitu 58 cm, dikarenakan stasiun III

    sudah dekat dengan laut, sehingga lebih dalam dari stasiun stasiun lainnya. Kecerahan pada stasiun I dengan 3 kali sampling berkisar antara ~ (tak terhingga) 24,16 cm, pada stasiun II berkisar antara 19,67 30,67, dan pada stasiun III berkisar antara 16,5 20 cm. Menurut pernyataan Hawkes (1978) dalam Ruswahyuni (2010), yang menyatakan bahwa kecerahan merupakan parameter yang digunakan

    untuk menyatakan sebagian dari cahaya matahari yang menembus ke dalam air. Kecerahan suatu perairan dapat

    dipengaruhi oleh kekeruhan. Secara langsung, kekeruhan akan mempengaruhi komunitas hewan benthos pada

    perairan tersebut.

    Nilai kekeruhan yang diperoleh pada setiap stasiun dengan 3 kali sampling adalah pada stasiun I nilai

    kekeruhan berkisar antara 3,34 47,23 NTU, pada stasiun II berkisar antara 7,27 34,67 NTU dan stasiun III berkisar antara 9,26 74,76 NTU. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka nilai padatan tersuspensi untuk perikanan

    termasuk kedalam kelas II, yaitu dengan standar nilai 50. Nilai kekeruhan yang didapatkan pada stasiun 1 dan II

    berada di bawah nilai 50, hal ini dapat disebabkan oleh partikel yang berada di dalam sungai mengendap di dasar

    perairan, sehingga perairan tidak begitu keruh. Pada stasiun III terdapat nilai kekeruhan yang melewati batas

    standar yaitu 74,76 NTU, hal ini dapat disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar, yang

    berupa lapisan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan

    terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik. Menurut Irawan dan

    Sari (2013), kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya bahan bahan anorganik baik terlarut maupun tersuspensi seperti pasir, lumpur, dan bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya. Kekeruhan dapat

    menggambarkan sifat optik air yang ditentukan dari banyaknya cahaya yang dapat diserap dan dipancarkan oleh

    bahan bahan yang terdapat di dalam air. Effendi (2003), menambahkan bahwa padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi.

    Pengukuran kecepatan arus pada setiap stasiun dengan 3 kali sampling diperoleh data pada stasiun I

    kecepatan arus berkisar antara 0,07 0,09 m/s. Pada stasiun II kecepatan arus berkisar antara 0,04 0,06 m/s dan pada stasiun III kecepatan arus berkisar antara 0,05 0,06 m/s. Menurut Davis (1972) dalam Rampengan (2009), yang menyatakan bahwa arus atau pergerakan massa air merupakan suatu fenomena yang sangat

    kompleks. Hal ini berkaitan dengan besarnya variasi dari faktor faktor pengontrol terjadinya arus di suatu perairan.

    Pengukuran suhu dilakukan pada setiap stasiun dengan 3 kali sampling. Suhu pada stasiun I berkisar antara

    28 32 C, pada stasiun II berkisar antara 29 31 C, dan pada stasiun III berkisar antara 29 31 C. Suhu yang didapatkan masih bisa ditolerir untuk kehidupan makrozoobentos. Menurut Sukarno (1981), menyatakan bahwa

    suhu dapat membatasi sebaran hewan makrobentos secara geografik dan suhu yang baik untuk pertumbuhan

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    8

    makrobentos berkisar antara 25 31 C. Pengukuran derajat keasaman (pH) yang dilakukan pada setiap stasiun dengan 3 kali pengulangan

    diperoleh hasil pada stasiun I pH berkisar antara 7,45 8,02, pada stasiun II berkisar antara 7,36 7,83, dan pada stasiun III berkisar antara 7,30 7,88. Menurut Effendi (2000) dalam Taqwa (2010), menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 8,5. Sedangkan berdasarkan baku mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 nilai pH air adalah berkisar

    6 9. Hal ini terbukti pada data yang didapatkan masih dalam kisaran pH yang disukai oleh biota akuatik. Salinitas dihitung pada setiap stasiun dengan 3 kali sampling. Pada stasiun I salinitas 0 , pada stasiun II salinitas berkisar antara 12,67 17 dan pada stasiun III salinitas berkisar antara 23,67 27,33 . Pada data yang didapat salinitas semakin meningkat antar stasiun, hal ini karena stasiun 3 sudah dekat dengan laut, dan

    staiun 1 paling jauh dengan laut. Menurut Adriman (1995) dalam Purba dan Khan (2010), menyatakan bahwa

    salinitas relatif rendah terdapat pada stasiun yang berdekatan dengan sungai atau muara sungai dan salinitas akan

    relatif meningkat dengan bertambah jauhnya dari muara sungai.

    Kandungan oksigen terlarut (DO) diperairan yang didapatkan pada setiap stasiun dengan 3 kali sampling

    adalah, pada stasiun I DO berkisar antara 5,54 5,60 mg/l, pada stasiun II DO berkisar antara 4,1 4,86 mg/l, dan pada stasiun III DO berkisar antara 2,15 3,26 mg/l. Menurut Manik (2003) dalam Suparjo (2009), menyatakan bahwa kehidupan air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal 5 mg/l, selebihnya

    tergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan pencemar dan fluktuasi suhu. Jika

    mengacu pada referensi tersebut maka yang memenuhi baku mutu hanyalah pada stasiun III, karena pada stasiun

    I dan stasiun II perairan berada pada sekitar rumah penduduk dan terlihat kotor dan dipenuhi sampah, serta

    banyak limbah rumah tangga yang dibuang ke perairan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi adanya oksigen

    terlarut dalam perairan. Effendi (2003), menambahkan bahwa kadar oksigen terlarut yang berfluktuasi secara

    harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air,

    aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air.

    Jumlah jenis makrozoobentos yang diperoleh pada stasiun I, stasiun II, dan stasiun III dengan 3 kali

    sampling yang terbanyak adalah dari genera Melanoides sebanyak 16 ind/ m pada stasiun III sampling ke 2.

    Kelimpahan organisme pada stasiun muara sungai dapat disebabkan oleh adanya aliran sungai yang masuk

    kedalam vegetasi mangrove yang berada pada sekitar stasiun III, yang berupa lumpur dan pasir yang banyak

    mengandung bahan organik. Menurut Brower et al. (1990), jenis substrat sangat menentukan kepadatan dan

    komposisi hewan bentos. Sedangkan Odum (1971), menyatakan bahwa substrat tanah dasar ataupun jenis tekstur

    tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Selanjutnya Welch (1952),

    menjelaskan bahwa substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan

    bentos.

    Pada setiap sampling Melanoides selalu ditemukan pada setiap stasiun, kemunculannya sangat sering,

    dikarenakan genera Melanoides hidup pada substrat lumpur dan pasir. Kepadatan atau kelimpahan individu daam

    suatu lingkungan adalah berbeda beda. Apabila keadaan lingkungan berubah, ada kemungkinan terjadi pengurangan jumlah individu sehingga genera yang paling jarang muncul kemungkinan akan terhapus.

    Selanjutnya dari penelitian Affandi (1990) dalam Sastrawijaya (2000), menjelaskan bahwa hewan makrobentos

    dari spesies Tubifex sp dan Melanoides tuberculate merupakan spesies indikator adanya oksigen terlarut (DO)

    rendah dan partikel tersuspensi tinggi pada ekosistem perairan sungai.

    Indeks keanekaragaman (H) pada stasiun I sampling 1 yaitu 1,47 sampling 2 menurun menjadi 1,28 dan sampling 3 menurun menjadi 1,09. Nilai H pada stasiun II sampling 1 yaitu 1,31, sampling 2 naik menjadi 1,35 dan sampling 3 menurun menjadi 1,09. Nilai indeks keanekaragaman (H) pada stasiun III sampling 1 yaitu 0,86, sampling 2 menurun menjadi 0,82 dan sampling 3 naik menjadi 1,17. Indek Keseragaman (E) yang diperoleh pada stasiun I sampling 1 yaitu 0,25 sampling 2 yaitu 0,32 dan sampling 3 yaitu 0,31. Dari data yang diperoleh

    dapat diektahui bahwa pada stasiun I nilai keseragamannya rendah karena < 0,4. Indeks Keseragaman (E) yang

    diperoleh pada staisun II sampling 1 yaitu 0,26, sampling 2 yaitu 0,27 dan sampling 3 yaitu 0,36. Dari data yang

    diperoleh pada stasiun II dapat diketahui bahwa pada stasiun II nilai keseragamannya rendah, sama dengan

    stasiun I. Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh pada stasiun III sampling 1 yiatu 0,21, sampling 2 yaitu 0,27

    dan sampling 3 yaitu 0,29. Dari data yang diperoleh pada stasiun III dapat diketahui bahwa pada stasiun III nilai

    keseragamannya rendah karena < 0,4. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brower et al. (1990) dalam Agustinus et

    al. (2013), yang menyatakan bahwa nilai keseragaman suatu populasi akan berkisar antara 0 1 dengan kriteria : E > 0,6 keseragaman tinggi; 0,4 < E < 0,6 keseragaman sedang; E < 0,4 keseragaan rendah.

    Indekas Dominasi (C) yang diperleh pada stasiun I sampling 1 yaitu 0,25, sampling 2 yaitu 0,31, sampling

    3 yaitu 0,31. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa pada stasiun I tidak ada jenis yang mendominasi

    karena nilai C mendekati 0 (nol). Indeks Dominasi (C) yang diperoleh pada stasiun II sampling 1 yaitu 0,34,

    sampling 2 yaitu 0,30 dan sampling 3 yaitu 0,33. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa pada stasiun II

    tidak ada jenis yang mendominasi karena nilai C mendekati 0 (nol). Indeks Dominasi (C) yang diperoleh pada

    stasiun III sampling 1 yaitu 1,98, sampling 2 yaitu 0,51 dan sampling 3 yaitu 0,34. Dari data yang diperoleh

    dapat dilihat bahwa pada stasiun III sampling 1 dan 2 mendekati 1 bahwa berarti ada jenis yang mendominasi,

    dan pada sampling 3 nilai mendekati 0 (nol) berarti tidah ada jenis yang mendominasi. Menurut Agustinus et al.

    (2013), yang menyatakan bahwa Indeks Dominasi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai family

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    9

    yang mendominasi dalam suatu komunitas dengan kriteria, apabila C mendekati 0 (nol) tidak ada jenis yang

    mendominasi, dan apabila C mendekati 1(nol), maka ada jenis yang mendominasi.

    Pada sampling 1 stasiun 1 dan stasiun 2 dapat dilihat bahwa pada kurva biomassa berhimpitan dengan

    kurva kelimpahan yang berarti perairan tersebut tercemar sedang. Sedangkan pada sampling 1 stasiun 3 bahwa

    perairan tersebut tercemar berat dikarenakan kurva kelimpahan berada di atas kurva biomassa. Pada sampling 2

    stasiun 1 dan stasiun 2 kurva menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar sedang, sedangkan stasiun 3 kurva

    menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar berat. Pada sampling 3 stasiun 1 dan stasiun 2 kurva

    menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar berat sedangkan stasiun 3 kurva menunjukkan bahwa perairan

    tersebut tercemar sedang. Dari kurva ABC dapat diketahui bahwa perairan pada stasiun 1 tergolong terguncang

    atau tidak stabil, hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh dari kualitas air yang berada pada stasiun 1

    sehingga berakibat pada makrozoobentos. Pada stasiun 2 perairan tergolong tercemar, hal ini dapat disebabkan

    oleh adanya limbah rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai Plumbon pada stasiun 2, sehingga dapat

    mempengaruhi dari kualitas air dan juga makrozoobentos yang hidup pada perairan tersebut. Sedangkan pada

    stasiun 3 perairan tergolong stabil dikarenakan lokasi stasiun 3 yang berada di muara sungai dan juga mungkin

    sedikit mendapatkan pengaruh dari laut, sehingga berpengaruh pada biomassa dan juga kelimpahan

    makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan pernyataan Warwick dan Clarke (1994), yang menyatakan bahwa data

    kelimpahan dan biomassa spesies yang terdiri dari komunitas bentik lautan dapat dieksploitasi secara luas, yang

    mana bertujuan untuk menaksir tingkatan kondisi perairan yang dianggap terganggu. Kurva ABC atau k-

    dominance curves yang mengindikasikan perairan tersebut dalam kondisi masih baik dan layak untuk kehidupan

    hewan makrozoobentos dimana kurva biomassa yang terletak diatas kurva kelimpahan individu. Sedangkan

    apabila perairan tersebut terindikasi tercemar ditunjukkan dengan kurva kelimpahan individu diatas kurva

    biomassa, biasanya sebagian besar komunitas terganggu dihuni oleh sejumlah besar individu kecil. Yang terakhir

    adalah untuk perairan terganggu dimana kedua kurva ini bersinggungan atau saling memotong.

    Pada analisa data regresi nilai parameter TSS dengan Kelimpahan Individu dan TSS dengan

    keanekaragaman makrozoobentos dengan menggunakan software SPSS versi 16.00, hasil yang diperoleh yaitu

    nilai R dalam analisis regresi TSS dengan KI adalah 0,5893, yang berarti konsentrasi TSS berpengaruh sebesar

    58,93% terhadap Kelimpahan Individu. Hasil R dalam analisis regresi TSS dengan keanekaragaman

    makrozoobentos sebesar 0,4586, yang berarti konsentrasi TSS berpengaruh sebesar 45,86%, terhadap

    keanekaragaman makrozoobentos.

    Pada analisa korelasi dengan menggunakan SPSS versi 16,00 didapatkan hasil bahwa TSS memiliki

    hubungan dengan struktur komunitas makrozoobentos. Menurut Sugiyono (2007), pedoman untuk memberikan

    interpretasi koefisien korelasi sebagai berikut: 0,00 0,199 = sangat rendah, 0,20 0,399 = rendah, 0,40 0,599 = sedang, 0,60 0,799 = kuat, 0,80 1,000 = sangat kuat. Koefisien korelasi TSS dengan Kelimpahan Individu yaitu sebesar -0,768, yang berarti TSS memiliki korelasi sebesar -0,768 terhadap Kelimpahan Individu. Hal

    tersebut berarti TSS memiliki hubungan negatif kuat. Meningkatnya kadar TSS dapat menyebabkan turunnya

    Kelimpahan Individu pada suatu perairan. Sedangkan TSS memiliki korelasi sebesar -0,677 terhadap

    keanekaragaman makrozoobentos. Hal tersebut berarti TSS memiliki hubungan negatif kuat. Hal ini berarti

    meningkatnya kadar TSS dapat menyebabkan menurunnya keanekaragaman makrozoobentos pada suatu

    perairan.

    4. KESIMPULAN

    Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

    1. Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) yang diperoleh pada 3 kali sampling adalah pada sampling I

    diperoleh rata - rata sebesar 257,78 mg/l 136,84, pada sampling II diperoleh rata - rata sebesar 200 mg/l 118,51 dan pada sampling III diperoleh rata - rata sebesar 400 mg/l 146,67.

    2. Ditinjau dari kurva ABC maka sungai Plumbon masuk ke dalam kategori sungai yang tercemar sedang hingga berat.

    3. Uji korelasi yang dilakukan antara TSS dengan Kelimpahan Individu menghasilkan korelasi negatif kuat, begitu pula pada uji korelasi TSS dengan keanekaragaman makrozoobentos yang menghasilkan korelasi

    negatif kuat.

    Ucapan Terimakasih

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Supriharyono, MS, Dr. Ir Djoko Suprapto, Drs. Ign.

    Boedi Hendrarto, M.Sc, P.hD, Dr. Ir. Pujiono Wahyu Purnomo, M.S, dan Churun Ain, S.Pi, M.Si yang telah

    memberi saran, petunjuk untuk perbaikan jurnal ini.

    DAFTAR PUSTAKA

    Agustinus, Y., A. Pratomo dan D. Apdillah. 2013. Struktur Komunitas Makrozoobentos sebagai Indikator

    Kualitas Perairan di Pulau Lengkang Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau.

    Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) : Kepulauan Riau.

    Brower, J.E., J.H. Zar dan C.N. Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Dubuque.

  • DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES Volume 4 , Nomor 3 , Tahun 2015, Halaman 1-10 MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES

    http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares

    10

    WBC Publisher.

    Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang Undangan. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001.

    Edward. M.S., Tarigan. 2003. Kandungan Total Zat Padatan Tersuspensi (TSS) di Perairan Raha, Sulawesi

    Tenggara. Makara Sains. 7(3): 109 - 119.

    Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius, Yogyakarta, 257 hlm.

    Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara : Jakarta.

    Haeruddin, M.R. Muskananfola dan S.W. Saputra. 2014. Kajian Mengenai Dampak Erosi/Abrasi dan

    Sedimentasi terhadap Aktivitas Perikanan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Wakak Plumbon, Semarang, Jawa Tengah. Laporan Penelitian. Universitas Diponegoro, Semarang.

    Hedianto, D.A dan S.E. Purnamaningtyas. 2011. Penerapan Kurva ABC (Rasio Kelimpahan/Biomassa) untuk

    Mengevaluasi Dampak Introduksi terhadap Komunitas Ikan di Waduk Ir. H. Djuanda. Balai Penelitian

    Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan

    Irawan, A. dan L.I. Sari. 2013. Karakteristik Distribusi Horizontal Parameter Fisika-Kimia Perairan Permukaan

    di Pesisir Bagian Timur Balikpapan. Jurnal Ilmu Perairan Tropis. 18(2).

    Odum. 1971. Fundamenthals of Ecology. Sounders. Toronto.

    Purba, N.P. dan A.M.A. Khan. 2010. Karakteristik Fisika-Kimia Perairan Pantai Dumai pada Musim Peralihan.

    Jurnal Akuatika. 1(1): 38 - 45.

    Rampengan, R.M. 2009. Pengaruh Pasang Surut pada Pergerakan Arus Permukaan di Teluk Manado. Jurnal

    Perikanan dan Kelautan. 5(3): 15 - 19.

    Ruswahyuni. 2010. Populasi dan Keanekaragaman Hewan Makrobenthos pada Perairan Tertutup dan Terbuka di

    Teluk Awur, Jepara. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 2(1): 11 20. Sastrawijaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta : Jakarta.

    Setiawan, D. 2009. Studi Komunitas Makrozoobentos di Perairan Hilir Sungai Lematang sekitar Daerah Pasar

    Bawah Kabupaten Lehat. Jurnal Penelitian Sains. 9:12 - 14.

    Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

    Sukarno. 1981. Terumbu Karang di Indonesia Permasalahan dan Pengelolaannya. LON-LIPI : Jakarta.

    Suparjo, M.N. 2009. Kondisi Pencemaran Perairan Sungai Babon Semarang. Jurnal Saintek Perikanan. 4(2):

    38-45.

    Taqwa, A. 2010. Analisis Produktifitas Primer Fitoplankton dan Struktur Komunitas Fauna Makrobenthos

    Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan,

    Kalimantan Timur. [Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 109 hlm.

    Warwick, R.M. 1986. A New Method for Detecting Pollution Effect on Marine Macrobenthic Communities. Mar.

    Biol. 92.

    Welch, D.S. 1952. Lymnology. Mc Graw Hill Book Co. Inc. New York. Zulkifli, H., Z. Hanafiah dan D.A. Puspitawati. 2009. Struktur dan Fungsi Komunitas Makrozoobenthos di

    Perairan Sungai Musi Kota Palembang : Telaah Indikator Pencemaran Air. Jurusan Biologi FMIPA

    Universitas Sriwijaya.