TINGKAT KESESUAIAN PEMERIKSAAN TUBERCULIN SKIN TEST DAN T ...€¦ · PEMERIKSAAN TUBERCULIN SKIN...
Transcript of TINGKAT KESESUAIAN PEMERIKSAAN TUBERCULIN SKIN TEST DAN T ...€¦ · PEMERIKSAAN TUBERCULIN SKIN...
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
TINGKAT KESESUAIAN PEMERIKSAAN TUBERCULIN
SKIN TEST DAN T-SPOT TB DALAM MENDITEKSI INFEKSI
TB LATEN PADA KETERGANTUNGAN NAPZA
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat
Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
Oleh
Satria Maulana Eka Hamdani
S 601402007
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FK UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
iv
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
v
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
vi
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT serta tidak lupa shalawat
dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas penulisan tesis yang berjudul TINGKAT KESESUAIAN
PEMERIKSAAN TUBERCULIN SKIN TEST DAN T-SPOT TB DALAM
MENDITEKSI INFEKSI TB LATEN PADA KETERGANTUNGAN NAPZA.
Tesis ini penulis susun untuk memenuhi salah satu persyaratan akhir menempuh
pendidikan dokter spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS).
Penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs., MS
Selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si
Selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Suharto Wijanarko, dr., Sp.U
Selaku Plt. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta kami
ucapkan terima kasih telah mengizinkan penulis untuk menimba ilmu di rumah
sakit ini.
4. Prof. Dr. Suradi, dr.,Sp. P(K), MARS, FISR
Guru besar program studi pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Penulis
haturkan banyak terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada
beliau atas waktu yang diluangkan untuk memberikan, kritik, masukan atau
sarannya selama ini, dan terima kasih atas ilmu dan pengetahuan yang telah
beliau berikan selama menjalani pendidikan dan penelitian ini.
5. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K), FISR
Selaku Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta dan pembimbing I tesis ini, dan selaku staf pengajar bagian
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
viii
Sebelas Maret. Penulis mengucapakan banyak terima kasih kepada beliau atas
segala bimbingan, ilmu, petunjuk, dan waktu yang telah diluangkan dalam
memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan dan penyusunan
penelitian ini.
6. I Gusti Bagus Indro Nugroho, dr., Sp.KJ
Selaku staf pengajar bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan pembimbing II tesis ini. Penulis
mengucapakan banyak terima kasih kepada beliau atas segala bimbingan, ilmu,
petunjuk, dan waktu yang telah diluangkan dalam memberikan bimbingan
selama menjalani pendidikan dan penyusunan penelitian ini.
7. Dr. Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P(K), FISR
Selaku Kepala Bagian dan Kelompok Staf Medik (KSM) Pulmonologi dan
Respirasi RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dan selaku staf pengajar bagian
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada beliau atas
bimbingan ilmu, dukungan, dan sarannya selama penulis menjalani pendidikan.
8. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P(K), FISR
Selaku Ketua Program Studi (KPS) dan staf pengajar di bagian Pulmonologi
dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Beliau merupakan penguji II tesis ini yang senantiasa membimbing,
mendorong, dan memberi masukan yang baik selama pendidikan. Beliau selalu
memberikan dorongan dan semangat agar dapat menyelesaikan pendidikan
dengan baik dan tepat waktu. Terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan,
saran, dan kritik yang telah diberikan selama menjalani pendidikan di bagian
Pulmonologi.
9. Jatu Aphridasari, dr., Sp.P(K), FISR
Selaku staf pengajar bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan penguji I tesis ini. Penulis ucapkan
terima kasih atas kesabarannya, bimbingan ilmu, dukungan moril, kritik-kritik
yang membangun dan sarannya selama penulis menjalani pendidikan. Penulis
akan selalu ingat pesan-pesan dan ilmu yang telah diberikan selama ini.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ix
10. Dr. Harsini, dr., Sp.P(K), FISR
Selaku staf pengajar bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Terima kasih kepada beliau atas segala
kesabaran, dukungan, dan bimbingan ilmu yang diberikan selama penulis
menjalani pendidikan.
11. Ahmad Farih Raharjo, dr., Sp.P, M.Kes
Selaku staf pengajar bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis mengucapkan terima
kasih atas bimbingannya selama menjalani pendidikan.
12. Dr. Eddy Surjanto, dr., Sp.P(K)
Selaku staf pengajar bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis mengucapkan terima
kasih atas bimbingannya selama menjalani pendidikan.
13. Hadi Subroto, dr., Sp.P(K), MARS
Selaku staf pengajar bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis sangat bersyukur
beliau dapat meluangkan waktu pada awal pendidikan untuk memberikan
kuliah dan terus memberikan semangat agar bisa menjadi ahli paru yang baik.
14. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ
Selaku Kepala KSM Ilmu Kedokteran Jiwa dan konsulen klinik NAPZA dan
Rumatan Metadon RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penulis mengucapakan
banyak terima kasih kepada beliau atas segala bimbingan, ilmu, petunjuk, dan
waktu yang telah diluangkan dalam memberikan bimbingan selama menjalani
pendidikan dan penyusunan penelitian ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih juga kepada:
1. Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta
2. Kepala Bagian Ilmu Bedah RSUD Dr. Moewardi/FK UNS
3. Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi/FK UNS
4. Kepala Bagian Radiologi RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta
5. Kepala Bagian Kardiologi RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
x
6. Kepala Bagian Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta
7. Kepala Bagian Anestesi RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta
8. Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta
9. Direktur Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Ngawen Salatiga
10. Direktur RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri
11. Kepala Balkesmas Semarang
12. Kepala Balkesmas Magelang
13. Kepala Balkesmas Ambarawa
14. Kepala Puskesmas Manahan Surakarta
beserta seluruh staf atas bimbingan dan ilmu pengetahuan yang diberikan selama
penulis mengikuti tugas pendidikan.
Penghargaan, penghormatan, dan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada Mama tercinta R. Ida Hamidah dan Papa tercinta
almarhum Muhammad Djaelani Abbas atas dukungan yang luar biasa dalam doa,
asuhan, didikan, pengorbanan tiada tara dan tak terhingga kepada ananda. Kepada
adik-adikku Muhammad Amrullah Dwi H. dan Annisa Trisna W,dr., atas dukungan
dan doa kepada penulis.
Kepada istri tercinta Rachmi Desriyani, dr., dan anak-anakku Maulana Salman
Farisi dan Maulana Farid Djaelani, terima kasih atas cinta kalian selama ini.
Kepada rekan-rekan residen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNS
angkatan Januari 2014, Siswanto,dr.,sebagai ketua angkatan, Riski Irawan, dr.,
Winny Frida,dr., Marta Ratnawati,dr., Astuti Setyawati,dr., Patoni,dr., dan Riski
Octora,dr., terima kasih atas semua persahabatan, bantuan, dan kerjasamanya
selama ini. Terima kasih kepada residen (rully,dr., Uli,dr., Achmad Chumaidi,dr.,
dan Pramesti,dr.,), perawat klinik NAPZA dan rumatan metadon (pak Agus), kepala
puskesmas Manahan (Suwaji,dr.,), mas Taufan dan Mitra Alama (pak Kevas dan
rekan) atas bantuannya selama penulis menjalani penelitian ini. Kepada semua
teman-teman residen yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
atas semua bantuan, doa, dan kerjasamanya selama ini.
Kepada karyawan SMF Paru (mas Waluyo, mas Arif, mba Yamti, mba Anita,
mba Dea, dan mba Nanda) serta kepada mas Harnoko terima kasih atas bantuan dan
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xi
kerjasamanya selama ini. Kepada semua perawat poliklinik paru (ibu Chrisni, mba
Umi, pak Ranto, mba Arnia, mba Munawwaroh dan mas Sigit) dan perawat bangsal
rawat inap paru di RSUD Dr. Moewardi, serta semua pihak yang tidak kami
sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam proses belajar penulis
selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat
kekurangan, untuk itu penulis mohon maaf dan sangat mengharapkan saran serta
kritik dalam rangka perbaikan penulisan tesis ini. Semoga dengan rahmat dan
anugerah yang diberikan oleh Allah SWT atas ilmu dan pengalaman yang penulis
miliki dapat bermanfaat bagi sesama.
Surakarta, 23 April 2018
Penulis
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xii
Satria Maulana Eka Hamdani, 2018. Tesis. TINGKAT KESESUAIAN
PEMERIKSAAN TUBERCULIN SKIN TEST DAN T-SPOT TB DALAM
MENDITEKSI INFEKSI TB LATEN PADA KETERGANTUNGAN NAPZA.
Supervisor I: Dr. Reviono, dr., Sp.P (K) FISR; Supervisor II: I Gusti Bagus Indro
Nugroho, dr., Sp.KJ. Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
RINGKASAN
TINGKAT KESESUAIAN PEMERIKSAAN TUBERCULIN SKIN TEST
DAN T-SPOT TB DALAM MENDITEKSI INFEKSI TB LATEN PADA
KETERGANTUNGAN NAPZA
Satria Maulana Eka Hamdani, Reviono, I Gusti Bagus Indro Nugroho
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret/ RSUD dr. Moewardi
Surakarta
Latar belakang: World Health Organization melaporkan 1/3 populasi dunia
menderita infeksi tuberkulosis laten (ITBL). Populasi pengguna narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) merupakan kelompok yang berisiko
menderita ITBL dan dapat berkembang menjadi TB aktif. Baku emas diagnosis
ITBL belum ada sehingga untuk mendiagnosis ITBL menggunakan pemeriksaan
T-SPOT.TB dan tuberculin skin test (TST). Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan prevalensi ITBL menggunakan pemeriksaan T-SPOT.TB dan TST dan
mengevaluasi keakurasian pemeriksaan T-SPOT.TB dengan TST pada
ketergantungan NAPZA.
Metode: Uji diagnostik dengan rancangan cross sectional di poliklinik NAPZA,
pogram terapi rumatan metadon (PTRM) RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dan
PTRM Puskesmas Manahan Surakarta bulan Februari-Maret 2018.
Hasil: Total subyek penelitian adalah 24 responden (25%) responden, dengan TST
(+) 5 (20,8%) dan T-SPOT.TB (+) 4 (16,7%). Tingkat kesesuaian TST dan T-
SPOT.TB adalah moderate (κ 0,591, p= 0,003). Sensitivitas dan spesifitas T-
SPOT.TB dengan TST adalah 60,00% dan 94,74%. Hubungan jumlah sel CD4+
dengan millimeter (mm) indurasi TST (r=0,077, p=0,719). Hubungan jumlah sel
CD4+ dengan T-SPOT.TB ESAT-6 spot-forming units (SFUs) (r=-0,238, p=0,262),
CFP-10 SFUs (r=-0,117, p=0,585), dan nilai tertinggi ESAT-6/CFP-10 SFUs (r=-
0,033, p=0,879).
Kesimpulan: Tuberculin skin test dan T-SPOT.TB memiliki kelebihan dan
kekurangan tersendiri, tetapi pada penelitian ini TST sedikit lebih unggul dibanding
T-SPOT.TB dengan tingkat kesesuaian moderate. Saran Tidak adanya baku emas
meyebabkan kesulitan dalam menentukan keakurasian uji diagnostik, sehingga
diperlukan kesepakatan dan pendekatan tertentu untuk dipakai sebagai baku emas.
Kata kunci: ITBL, TST, T-SPOT.TB, NAPZA
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xiii
Satria Maulana Eka Hamdani, 2018. Thesis. THE LEVEL OF AGREEMENT
AN EXAMINATION OF THE TUBERCULIN SKIN TEST AND T-SPOT.TB
IN DETECT LATENT TUBERCULOSIS INFECTION ON ILLICIT DRUG
USERS. Supervisor I: Dr. Reviono, dr., Sp.P (K) FISR; Supervisor II: I Gusti Bagus
Indro Nugroho, dr., Sp.KJ. Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
ABSTRACT
THE LEVEL OF AGREEMENT AN EXAMINATION OF THE
TUBERCULIN SKIN TEST AND T-SPOT.TB IN DETECT LATENT
TUBERCULOSIS INFECTION ON ILLICIT DRUG USERS
Satria Maulana Eka Hamdani, Reviono, I Gusti Bagus Indro Nugroho
Department of Pulmonology and Respiratory Medicine
Medical Faculty of Sebelas Maret University / Dr. Moewardi General Hospital
Surakarta
Background: World Health Organization reports 1/3 of the world's population
suffers from latent tuberculosis infection (LTBI). The population of illicit drug
users are at risk of suffering LTBI and can develop into active TB. The gold
standard of ITBL diagnosis is not available so to diagnose LTBI using T-SPOT.TB
and tuberculin skin test (TST). This study aimed to determine the prevalence of
LTBI using T-SPOT.TB and TST and evaluate the accuracy of T-SPOT.TB with
TST on illicit drug users.
Methods: Diagnostic Test with cross sectional study in illicit drug clinic, pogram
methadone maintenance therapy (PTRM) Hospital Dr. Moewardi Surakarta, and
PTRM Puskesmas Manahan Surakarta, between February and March 2018.
Results: The total subjects of the study were 24 respondents and LTBI was detected
in 6 (25%) respondents, with TST (+) 5 (20,8%) and T-SPOT.TB (+) 4 (16,7% ).
The agreement level of kappa test of TST and T-SPOT.TB is moderate (κ 0,591, p
= 0,003). The sensitivity and specificity of T-SPOT.TB with TST is 60.00% and
94.74%. The correlation of CD4 + cell count with millimeter (mm) induration of
TST (r = -0.077, p = 0.719). The correlation of CD4 + cell counts with T-SPOT.
ESAT-6 spot-forming units (SFUs) (r = -0.238, p = 0.262), CFP-10 SFUs (r = -
0.117, p = 0,585), and the highest value ESAT -6 / CFP-10 SFUs (r = -0.033, p =
0.879).
Conclusions: Tuberculin skin test and T-SPOT.TB has its own advantages and
disadvantages, but in this study TST slightly superior to the T-SPOT.TB with
moderate concordance rate. Suggestion The absence of gold standard causes
difficulties in determining the accuracy of the diagnostic test, so that certain
agreements and approaches are required to be used as gold standard.
Keywords: LTBI, TST, T-SPOT.TB, illicit drug
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………… .................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN TESIS…………………………… ......................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI .............. iv
KATA PENGANTAR…………………………… ................................................ v
RINGKASAN…………………………… ............................................................. x
ABSTRACT…………………………… .............................................................. xi
DAFTAR ISI…………………………… ............................................................ xii
DAFTAR TABEL............................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… . xvii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xviii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………… xix
BAB I. PENDAHULUAN ………………………… ............................................. 1
A. Latar belakang masalah…………………………………………………....1
B. Rumusan masalah ……………………………………………………….... 3
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………… .... 3
1. Tujuan umum ……………………………………………………… .... 3
2. Tujuan khusus ……………………………………………………… ... 3
D. Manfaat penelitian …………………………………………………… ....... 4
1. Manfaat keilmuan …………………………………………………….. 4
2. Manfaat praktis ……………………………………………………….. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5
A. INFEKSI TUBERKULOSIS LATEN….……………........................ .. ......5
1. Definisi.....................................………………………………...... ... .....5
2. Spektrum infeksi dan siklus hidup Mtb......................................... .... ....5
3. Patogenesis ITBL ................................................................................... 5
4. Imunopatogenesis ITBL ......................................................................... 6
a. Respon imun bawaan pada infeksi tuberculosis....………………...7
b. Respon imun adaptif pada infeksi tuberkulosis…………… .......... .8
5. Diagnosis ITBL ...................................................................................... 9
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xv
6. Pemeriksaan Imunologi ........................................................................ 10
a. Tuberculin skin test……………………………………… .... ……11
b. Fenomena Booster………………………………………………..14
c. Interferon-gamma release assays…………………………. . ……15
1. QuantiFERON-TB qold in tube……………………… ….16
2. T.SPOT.TB…………………………………………… …17
7. Tatalaksana ITBL ................................................................................. 18
B. NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF (NAPZA) ........ 19
1. Patogenesis TB pada pengguna NAPZA ............................................. 20
2. Imunosupresi penggunaan NAPZA ..................................................... 21
a. Opioid ............................................................................................. 21
b. Kokain ............................................................................................ 26
c. Heroin ............................................................................................. 26
d. Metadon…………………………………………………………..26
e. Methylenedioxymethamphetamine (MDMA)/ Ekstasi…...………26
f. Alkohol…………………………………………………………...27
g. Cannabis sativa (Marijuana/ Ganja)……………………………...28
3. Infeksi tuberculosis laten pada pengguna NAPZA…………………..28
C. PERAN SEL T CD4 PADA TB DAN PENGGUNA NAPZA.................. 30
1. Sel T CD4 pada TB .............................................................................. 31
2. Sel T CD4 pada pengguna NAPZA ..................................................... 32
D. KERANGKA TEORI................................................................................. 33
E. KERANGKA KONSEP PENELITIAN .................................................... 34
F. HIPOTESIS PENELITIAN ....................................................................... 37
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……………… ................................ 38
A. Rancangan penelitian …………………………………………………… 38
B. Tempat dan waktu penelitian ………………………………………… .... 38
C. Populasi penelitian …………………………………………………… .... 38
D. Pemilihan sampel ……………………………………………………… .. 38
E. Besar sampel …………………………………………………………… .39
F. Kriteria inklusi, eksklusi, dan diskontinyu ……………… ........................ 39
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xvi
1. Kriteria inklusi ……………………………………………………… 39
2. Kriteria eksklusi ……………………………………………………. .40
3. Kriteria diskontinyu ………………………………………………… 40
G. Variable penelitian……………………………………………………… . 40
1. Variable terikat………………………………………………… ......... 40
2. Variabel bebas ……………………………………………………… . 40
H. Definisi operasional …………………………………………………… . 40
1. Kesesuaian………………………………………................................ 40
2. Ketergantungan NAPZA……………………………………… .......... 41
3. Infeksi TB laten (ITBL) ....................................................................... 41
4. Pemeriksaan TST ................................................................................. 41
5. Pemeriksaan T-SPOT.TB ..................................................................... 42
6. Sel T CD4 ............................................................................................. 42
7. Riwayat kontak TB .............................................................................. 42
8. Scar BCG ............................................................................................. 43
9. Usia ...................................................................................................... 43
10. Lama NAPZA ...................................................................................... 43
11. Jenis NAPZA ....................................................................................... 43
12. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF .............................................................. 44
I. Instrumen penelitian…………………………………………………… ... 44
1. Pemeriksaan TST ......................................... …………………………44
2. Pemeriksaan T-SPOT.TB……………………………………….. ....... 44
3. Pemeriksaan sel T CD4 ........................................................................ 45
4. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF .............................................................. 45
J. Prosedur pengumpulan data…………………………………………… ... 45
K. Teknik pemeriksaan ................................................................................... 45
L. Etika penelitian........................................................................................... 46
M. Analisis data ............................................................................................... 47
N. Alur penelitian ............................................................................................ 49
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………….................................... 50
A. HASIL ........................................................................................................ 50
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xvii
1. Karakteristik subjek penelitian ............................................................. 51
2. Tingkat kesesuaian antara pemeriksaan T-SPOT.TB dengan TST
dalam menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA ................................ 53
3. Sensivitas dan spesifitas pemeriksaan T-SPOT.TB terhadap TST
dalam menditeksi ITBL pada ketergantungan NAPZA ....................... 53
4. Kurva ROC (receiver operator curve) pemeriksaan TST dan T-
SPOT.TB .............................................................................................. 54
5. Hubungan antara CD4 absolut dengan pemeriksaan TST dan T-
SPOT.TB .............................................................................................. 55
B. PEMBAHASAN ........................................................................................ 57
1. Tingkat kesesuaian antara pemeriksaan TST dengan T-SPOT.TB
dalam menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA ................................ 60
2. Sensivitas dan spesifitas pemeriksaan T-SPOT.TB dengan TST dalam
menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA. .......................................... 61
3. Hubungan antara CD4 absolut dengan pemeriksaan TST dan T-
SPOT.TB .............................................................................................. 63
4. Analisis Komprehensif ......................................................................... 64
C. KETERBATASAN PENELITIAN ............................................................ 64
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ……………… ........................................... 65
D. Simpulan .................................................................................................... 65
E. Saran ........................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… .. 66
LAMPIRAN ………………………………………………………………… ..... 73
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xviii
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1 : Perbandingan ITBL dan TB aktif ……….… ................................. 9
Tabel 2 : Perbandingan pemeriksaan TST dan IGRA didaerah endemis
TB ................................................................................................... 11
Tabel 3 : Kondisi yang menyebabkan hasil positif palsu dan negatif palsu 13
Tabel 4 : Intepretasi pemeriksaan TST ........................................................ 14
Tabel 5 : Kelebihan dan keterbatasan IGRA ............................................... 16
Tabel 6 : Perbedaan QFT–GIT dan T-SPOT ............................................... 16
Tabel 7 : Interpretasi kriteria QFT-GIT ....................................................... 17
Tabel 8 : Interpretasi kriteria T-SPOT.TB. .................................................. 18
Tabel 9 : Dosis obat untuk ITBL yang direkomendasikan .......................... 18
Tabel 10 : Peran reseptor sentral opioid memodulasi respon imun ............... 22
Tabel 11 : Efek opioid pada sel imun manusia .............................................. 25
Tabel 12 : Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai
p, dan arah korelasi ......................................................................... 48
Tabel 13 : Karaktersitik responden ketergantungan NAPZA ........................ 51
Tabel 14 : Karaktersitik jenis NAPZA .......................................................... 52
Tabel 15 : Kesesuaian TST dengan T–SPOT.TB dalam mendeteksi ITBL
pada pengguna NAPZA… .............................................................. 53
Tabel 16 : Hasil uji sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, RKP, RKN, dan
akurasi pemeriksaan T-SPOT.TB terhadap TST ............................ 54
Tabel 17 : Hasil analisis ROC pada pemeriksaan T-SPOT.TB .................... 55
Tabel 18 : Hasil uji korelasi antara CD4 absolut dengan TST\ ..................... 56
Tabel 19 : Hasil uji korelasi antara CD4 absolut dengan T-SPOT.TB ESAT-
6, T-SPOT.TB CFP-10, dan T-SPOT.TB nilai tertinggi diantara
ESAT-6/CFP-10 ............................................................................. 57
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1 : Spektrum infeksi dan siklus hidup Mtb. …….… ........................... 5
Gambar 2 : Patogenesis ITBL dan TB aktif...………………. .......................... 6
Gambar 3 : Imun bawaan pada infeksi TB ........................................................ 7
Gambar 4 : Respons imun adaptif infeksi TB ................................................... 8
Gambar 5 : Alur diagnosis ITBL ..................................................................... 10
Gambar 6 : Tatacara pemeriksaan mantoux TST ............................................ 12
Gambar 7 : Alur metode dua langkah TST ..................................................... 15
Gambar 8 : Jumlah kasus NAPZA di Indonesia tahun 2008-2012 ................ 20
Gambar 9 : Morfin penghambatan ekspresi IL-2 ............................................ 23
Gambar 10 : Skema yang menggambarkan morfin memodulasi imunitas bawaan
dan adaptif ...................................................................................... 24
Gambar 11 : Efek in vivo MDMA pada aspek imunitas bawaan dan adaptif. .. 27
Gambar 12 : Ringkasan dari 4 subset sel T CD4 helper: fungsi, produk,
karakteristik faktor transkripsi, dan sitokin .................................... 30
Gambar 13 : Kerangka teori .............................................................................. 33
Gambar 14 : Kerangka konsep .......................................................................... 36
Gambar 15 : Alur penelitian .............................................................................. 49
Gambar 16 : Kurva ROC sensitivitas dan spesitifitas pemeriksaan T-
SPOT.TB ........................................................................................ 55
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1 : Lembar penjelasan kepada penderita...........................................73
Lampiran 2 : Lembar persetujuan mengikuti penelitian ...................................76
Lampiran 3 : Lembar data penderita .................................................................77
Lampiran 4 : Lembar WHO – ASSIST V3.1…….............................................78
Lampiran 5 : Lembar teknik pemeriksaan …………………………………….84
Lampiran 6 : Lembar Kelaikan etik …………………………………… ……86
Lampiran 7 : Lembar ethical clearance …….………………………………...89
Lampiran 8 : Lembar izin penelitian RSUD Dr. Moewardi…………………...90
Lampiran 9 : Lembar izin penelitian Kesbangpol dan BAPPPEDA Surakarta..91
Lampiran 10 : Lembar rekapitulasi data penelitian……………………………..92
Lampiran 11 : Lembar hasil pengolahan data dengan SPSS 21…………………96
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xxi
DAFTAR SINGKATAN
AP-1 : Activator protein 1
APC : Antigen presenting cell
ASSIST : Alcohol, Smoking and Substance Involvement Screening Test
ASAM : American Society of Addiction Medicine
BCG : Bacille Calmette-Guérin
BTA : Basil tahan asam
cAMP : Cyclic adenosine monophosphate
CD4 : Cluster of differentiation 4
CD8 : Cluster of differentiation 8
CFP-10 : culture filtrate protein 10 ConA : Concanavalin A
CR3 : Complement receptor 3
CREB : cAMP response element-binding protein
CREM : cAMP-responsive element modulator
CSF : Colony stimulating factor
DC-SIGN : Dendritic cell- specific intercellular adhesion molecule-3
grabbing non integrin
DOR : Delta opioid receptor
DTH : Delayed-type hypersensitivity
ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assays
ELISPOT : Enzyme-linked immunospot
ESAT-6 : early secretory antigen target 6 GM-CSF : Granulocyte /macrophage-colony stimulating factor
HIV : Human immunodeficiency virus
ICER : Inducible cAMP early repressor
IDU : Injecting drug user
IFN-γ : Interferon gamma
IGRA : Interferon-gamma release assays
IL : Interleukin
INH : Isoniazid
iNOS : Inducible nitric oxide synthase
ITBL : Infeksi tuberkulosis laten
IUATLD : International Union Against Tuberculosis and Lung Disease KOR : kappa opioid receptor
LTα : Limfotoksin α
MCP-1 : Monocyte chemoatttractant protein-1
MDMA : Methylenedioxymethamphetamine
MDR : Multidrug resistan
MHC : Major histocompatibility complex
MOR : mu opioid receptor
Mtb : Mycobacterium tuberculosis
Ml : Mililiter
Mm : Milimeter
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xxii
MMR : Macrophage mannose receptor
MOTT : Mycobacterium other than tuberculosis
MS : Morfin sulfate
NAPZA : Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
NF-κB : Nuclear factor kappa B
NFAT : Nuclear factor of activated T-cells
NK : Natural killer
NOD2 : Nucleotide-binding oligomerization domain-containing protein 2
PAMPs : Pathogen associated molecular patterns
PDPI : Persatuan dokter paru Indonesia
PGE2 : Prostaglandin E2
PHA : Phytohemagglutinin
PMN : Polymorphonuclear neutrofils
PPD : Purified protein derivative
PRRs : Pathogen recognition receptors
PTRM : Program terapi rumatan metadon
PWM : Pokeweed mitogen
QFT-G : QuantiFERON-TB Gold
QFT-GIT : QuantiFERON-TB gold in tube
RSDM : Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi
RPT : Rifapentine
SDGs : Sustained development goals
Sel Th : Sel limfosit T helper
SFUs : Spot-forming units SSP : Sistem saraf pusat
Tγδ : Sel T sitotoksik nonspesifik
TB : Tuberkulosis
TGF -β1 : Transforming growth factor beta 1
TLR : Toll-like receptors
TNF-α : Tumor necrosing factor alpha
Treg : Regulatory T
TST : Tuberculin skin test
TU : tuberkulin unit VDR : Vitamin D reseptor
WHO : World health organization
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian kesembilan di dunia.1
Tuberkulosis merupakan penyakit menular dan diprediksi dapat menyebabkan
tingginya angka infeksi TB laten (ITBL). Penderita ITBL tidak memiliki tanda atau
gejala penyakit TB dan tidak menular namun berisiko menjadi TB aktif.2 Sepertiga
penduduk dunia menderita ITBL dan sebanyak dua sampai dengan 15% penderita
menjadi TB aktif. Infeksi TB dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya yang
paling utama adalah status imun penderita. Manajemen ITBL memerlukan
intervensi komprehensif yang mencakup identifikasi kelompok yang berisiko.
World health organization merekomendasikan pemeriksaan dan pengobatan ITBL
pada kelompok pengguna obat terlarang atau lebih dikenal dengan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA).1,3,4
Beban global penggunaan NAPZA diperkirakan mencapai 185 juta
pengguna. Kasus kejadian luar biasa TB dilaporkan terjadi pada fasilitas
pengobatan metadon di Amerika Serikat.5 Hasil survei yang dilakukan oleh Badan
Narkotika Nasional (BNN) dan Pusat Penelitian Kesehatan (Puslitkes) UI tahun
2008 diperoleh angka prevalensi mencapai 1,9% dan pada tahun 2011 meningkat
hingga 2,2% atau lebih kurang 4 juta penduduk Indonesia usia 10 sampai dengan
60 tahun sebagai penyalahguna NAPZA.6 Penggunaan dan peredaran NAPZA
diatur oleh Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2009 tentang
narkotika, nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, dan peraturan menteri
kesehatan nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan penggolongan narkotika.7–9.
Angka kejadian TB pada pengguna opioid adalah 100 kali lipat lebih berisiko
dibandingkan dengan populasi umum.10 Pravalensi ITBL pada pengguna narkotika
sebesar 10-59%. Perbandingan ITBL di antara injecting drug user (IDU) dengan
non IDU memiliki hasil yang beragam dan dikhawatirkan semakin tinggi pengguna
NAPZA akan meningkatkan angka ITBL dan TB aktif. Penggunaan NAPZA dapat
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2
terjadi gangguan respon inflamasi yang terlibat dalam imunopatogenesis TB.10
Beberapa penelitian in vivo dan in vitro mengenai NAPZA memiliki efek buruk
pada sistem imun tubuh dan bukti biologis menunjukan terjadi penurunan respon
imun sel /imunosupresi.11
Standar baku diagnosis ITBL masih belum ada sampai saat ini dan dalam
mendiagnosis ITBL digunakan pemeriksaan imunodiagnostik seperti pemeriksaan
in vivo seperti tuberculin skin test (TST) atau pemeriksaan in vitro seperti
interferon-gamma release assays (IGRA) seperti QuantiFERON-TB gold in tube
(QFT-GIT) dan T-SPOT TB (Oxford Immunotec). Mekanisme kerja TST adalah
mengukur imunitas seluler delayed-type hypersensitivity (DTH) terhadap purified
protein derivative (PPD) tuberculin.1 Interpretasi TST pada pengguna NAPZA jika
didapatkan indurasi > 10 milimeter (mm). Pemeriksaan IGRA digunakan untuk
mendiagnosis ITBL dengan mengukur respons imun terhadap protein TB dalam
darah. Pemeriksaan QFT-GIT adalah tes enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) yang mengukur konsentrasi dari IFN-γ yang dihasilkan sebagai respons
terhadap tiga antigen MTB yaitu early secretory antigen target 6 (ESAT-6), culture
filtrate protein 10 (CFP-10), dan TB7.7. Pemeriksaan T-SPOT.TB adalah tes
Enzyme-linked immunospot (ELISPOT) yang mengukur jumlah sel mononuklear
perifer yang menghasilkan INF-γ setelah stimulasi dengan ESAT-6 dan CFP-10.12
Penelitian ini untuk mengevaluasi pravalensi ITBL pada populasi berisiko
tinggi (pengguna NAPZA), alat diagnostik ideal untuk mengisi kekosangan baku
emas dalam diteksi ITBL, dan pengaruh NAPZA terhadap imun tubuh. Peningkatan
pemberantasan peredaran NAPZA yang merupakan salah satu faktor resiko
terhadap berbagai infeksi, khususnya TB. Kedepannya diharapkan dengan banyak
data-data penelitian mengenai ITBL, maka terbentuknya program untuk
mengelimasi ITBL sedini mungkin pada populasi berisiko, untuk mengurangi
beban TB dan ITBL di Indonesia dalam mencapai target sustained development
goals (SDGs).
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat kesesuaian antara pemeriksaan TST dengan T-SPOT.TB
dalam menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA?
2. Sensivitas dan spesifitas pemeriksaan T-SPOT.TB dengan TST dalam
menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA?
3. Apakah terdapat hubungan antara CD4 absolut dengan TST dalam
menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA?
4. Apakah terdapat hubungan antara CD4 absolut dengan T-SPOT.TB dalam
menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan umum
Mengevaluasi pravalensi ITBL pada populasi berisiko tinggi (pengguna
NAPZA), alat diagnostik ideal untuk mengisi kekosangan baku emas dalam
diteksi ITBL, dan pengaruh NAPZA terhadap imun tubuh.
2. Tujuan khusus
a. Menganalisa kesesuaian antara pemeriksaan TST dengan T-SPOT.TB
dalam menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA.
b. Menganalisis Sensivitas dan spesifitas pemeriksaan T-SPOT.TB. dengan
TST dalam menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA.
c. Menganalisis hubungan antara CD4 absolut dengan TST dalam menditeksi
ITBL pada pengguna NAPZA.
d. Menganalisis hubungan antara CD4 absolut dengan T-SPOT.TB dalam
menditeksi ITBL pada pengguna NAPZA.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat keilmuan
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai mengenai pravalensi ITBL pada populasi berisiko tinggi
(pengguna NAPZA), alat diagnostik ideal untuk mengisi kekosangan
baku emas dalam diteksi ITBL, dan pengaruh NAPZA terhadap imun
tubuh.
b. Data dasar untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat praktis
Mengetahui pemeriksaan penunjang terbaik dalam mendiagnosis ITBL
pada pengguna NAPZA.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. INFEKSI TUBERKULOSIS LATEN
1. Definisi
Definisi ITBL menurut WHO adalah keadaan respons imun
persisten terhadap stimulasi antigen Mtb tanpa adanya bukti gejala klinis TB
aktif.3 Infeksi TB laten menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
adalah seseorang yang terinfeksi bakteri Mtb tetapi tidak menimbulkan
tanda dan gejala klinik serta gambaran foto toraks normal dengan hasil
pemeriksaan imunodiagnostik seperti pemeriksaan TST atau IGRA positif.1
Infeksi TB laten apabila pemeriksaan TST didapatkan hasil reaktif yang
terjadi karena respons DTH terhadap injeksi intradermal protein Mtb yang
dimurnikan atau respons sel T terhadap antigen spesifik Mtb dengan tidak
adanya gejala klinis dan radiologis.13
2. Spektrum infeksi dan siklus hidup Mtb
Lima puluh sampai dengan 70% individu yang terpajan Mtb meski
belum terbukti sangat mungkin dapat melawan infeksi sehingga tidak
menjadi TB aktif atau ITBL. Tiga puluh sampai dengan 50% akan menjadi
TB aktif dan ITBL dengan proporsi TB aktif sebesar 5% dan ITBL 95%.
Individu dengan respon imun yang baik dapat melawan Mtb dan apabila
terinfeksi ulang pada kondisi imun turun dapat menjadi TB aktif. Gangguan
keseimbangan imunologis dapat menyebabkan transisi dari ITBL menjadi
TB aktif. Saat ini belum ada standar diagnostik baku sehingga dalam
mendiagnosis ITBL digunakan pemeriksaan imunodiagnostik sel T seperti
TST atau IGRA.1,14,15 Spektrum infeksi dan siklus hidup Mtb dapat dilihat
pada gambar satu.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6
Gambar 1. Spektrum infeksi dan siklus hidup Mtb. Keterangan: LTBI= latent tuberkulosis infection; IGRA= interferon-γ release assay; TST=
tuberculin skin test.
Dikutip dari (15)
3. Patogenesis ITBL
Patogenesis infeksi TB dimulai saat droplet nuclei yang
mengandung Mtb terhirup dan mencapai alveoli paru. Ukuran droplet nuclei
dengan diameter sebesar 1-5 mikron (μm) dapat melewati dan menembus
sistem mukosilier. Ukuran droplet nuclei dengan diameter lebih dari 10 μm
akan ditahan oleh mukosa saluran napas atas dan dikeluarkan sehingga tidak
terjadi infeksi. Makrofag alveolar kemudian akan memfagosit Mtb.
Sebagian besar Mtb mati dan sisanya akan menggandakan diri di alveoli dan
akan lepas ketika makrofag mati. Proses ITBL terjadi apabila makrofag
memfagosit Mtb dan mengelilingi tuberkel yang membuat Mtb terlokalisir
dan terkendali membentuk granuloma, proses ini berlangsung dalam waktu
2-8 minggu. Pemeriksaan TST atau IGRA dapat menditeksi ITBL dalam 2-
8 minggu setelah terinfeksi Mtb. Sistem imun tubuh yang tidak adekuat
dapat menyebabkan Mtb didalam granuloma berkembangbiak dengan cepat
sehingga dapat menjadi TB aktif dan proses ini dapat terjadi di berbagai
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7
bagian tubuh seperti paru, ginjal, otak, atau tulang yang akan mengaktifkan
respons imun lokal dan sistemik. Mycobacterium TB berada dalam
makrofag alveoli atau menyebar melalui saluran getah bening atau melalui
aliran darah dipengaruhi oleh daya tahan atau imunitas seseorang.1,14,16–18
Patogenesis ITBL dan TB aktif dapat dilihat pada gambar dua.
Gambar 2. Patogenesis ITBL dan TB aktif.
Dikutip dari (17)
4. Imunopatogenesis ITBL
Infeksi TB dimulai saat droplet nuclei mengendap di rongga alveolar
dimana Mtb difagositosis oleh makrofag alveolar, sel epitel, sel dendritik
dan neutrofil. Pusat inisiasi dan koordinasi respons imun bawaan dimulai
saat teridentifikasinya pathogen-associated molecular patterns (PAMP)
oleh spesifik pathogen recognition receptors (PRRs). Makrofag alveolar
menghasilkan sitokin inflamasi dan kemokin yang berfungsi sebagai sinyal
untuk infeksi TB. Kondisi tersebut telah memberikan pelajaran penting
mengenai imun terhadap perlindungan terhadap Mtb. Respon protektif Th1
seperti IFN-γ dan TNF-α dapat dilemahkan secara in vivo oleh mekanisme
imunosupresi. Peran respon proteksi imun pada persisten ITBL adalah
menekan perkembangan dari Mtb. Proses imunopatogenesis TB dibagi 2
tahap yaitu respons imun bawaan dan respons imun adaptif.14,19
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8
a. Respon Imun Bawaan Pada Infeksi Tuberkulosis
Mycobacterium TB akan difagositosis oleh makrofag dan sel
dendritik melalui reseptor membran seperti Complement Receptor 3 (CR3),
reseptor scavenger, Macrophage Mannose Receptor (MMR), Toll Like
Receptors (TLR), Nucleotide-binding Oligomerization Domain-containing
protein 2 (NOD2), dan Dendritic Cell- Specific Intercellular adhesion
molecule-3 Grabbing Non integrin (DC-SIGN). Makrofag selanjutnya akan
mengaktivasi signaling pathway (nuclear factor-kappa B / NF-κB)
menyebabkan sekresi proinflamasi sitokin, kemokin dan molekul
antimikroba, dan mengaktivasi vitamin D receptor (VDR) yang meliputi
induksi ekspresi cathelicidin, peptide, dan antimikroba untuk membunuh
Mtb. Sel natural killer (NK), sel T γδ (fosfoligan), dan sel T CD1-restricted
akan diaktivasi oleh sitokin dan ligand spesifik sedangkan pengeluaran
faktor sitotoksik dan IFN-γ akan mengaktivasi makrofag.1,14,19,20 Imun
bawaan pada infeksi TB dapat dilihat pada gambar tiga.
Gambar 3.Imun bawaan pada infeksi TB. Keterangan: CR3: complement receptor 3; DC-SIGN: dendritic cell-specific intercellular-
adhesion-molecule-3-grabbing non-integrin; INF: interferon; MMR:
macrophage mannose receptor; NK: natural killer; PMN: polymorphonuclear
neutrofils; TLR: toll-like receptors; TNF: tumour necrosis factor; VDR:
vitamin D receptor.
Dikutip dari (14)
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9
b. Respon Imun Adaptif Pada Infeksi Tuberkulosis
Makrofag dan sel dendritik yang terinfeksi mensekresi sitokin
meliputi IL-12, IL-23, IL-7, IL-15, dan TNF-α. Presentasi antigen ke sel T
meliputi sel T CD4 memalui jalur Major Histocompatibility Complex
(MHC) kelas II, sel T CD-restricted melalui jalur antigen glikolipid, dan sel
T γδ. Sel T memproduksi sitokin efektor IFN-γ yang mengaktifkan
makrofag dan TNF-α membunuh mikobakteria intrasel melalui granulisin
dan perforin mediated pathway. Sel CD+Th2 memproduksi sitokin
imunosupresan seperti IL-4, sel Treg yang memproduksi IL-10 dan TGF-β
yang dapat menekan mekanisme efek mikobaktericidal.2,14,20 Respons imun
adaptif infeksi TB dapat dilihat pada gambar empat.
Gambar 4. Respons imun adaptif infeksi TB. Keterangan: GM-CSF= granulocyte-macrophage colony-stimulating factor; IFN=
interferon; TGF= transforming growth factor; TNF= tumour necrosis factor.
Dikutip dari (14)
Subset sel T helper baru disebut Th17 yang diproduksi bila ada IL23
kemudian memproduksi IL17 yang merupakan modulator inflamasi dan
respons memori yang penting. Sel Th17 menarik (recuit) neutrofil dan
monosit, dan sel T CD4 memproduksi IFN-γ, dan menstimulasi ekspesi
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10
kemokin. Interferon gamma dapat menekan IL-17 untuk memproduksi sel
Th17. Proses ini menjadi regulasi silang Th1, Th2, Th17 dan sel Treg yang
semakin kompleks dan menjadi respons individu dalam imunitas TB
menjadi kontroversi dibanding proses imun TB yang diketahui
sebelumnya.2,14,20
5. Diagnosis
Diagnosis ITBL harus disingkirkan dahulu kemungkinan adanya TB
aktif melalui anamnesis, riwayat pengobatan, pemeriksan fisik, radiologis,
dan jika memungkinkan sputum mikrobiologi. Pemeriksaan radiologis
dapat dilakukan untuk mengetahui adanya gambaran TB. Individu dengan
gejala TB atau kelainan radiologis harus diteliti lebih lanjut apakah suatu
TB aktif atau penyakit respirasi lainnya. Diagnosis ITBL dapat dilakukan
dengan pemeriksaan TST atau IGRA.1,3,21,22 Perbandingan ITBL dan TB
aktif dapat dilihat pada tabel satu.
Tabel 1. Perbandingan ITBL dan TB aktif
ITBL TB aktif
Tidak ada gejala Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih, hemoptisis,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari, demam
Pemeriksaan TST atau
IGRA positif
Pemeriksaan TST atau IGRA positif
Rontgen toraks normal Rontgen toraks abnormal tetapi biasa normal pada orang
dengan imunokompromis atau TB ekstraparu
Hasil pemeriksaan
mikrobiologi negatif
(BTA, kultur, dan Gene
Xpert)
Hasil pemeriksaan mikrobiologi dapat positif ataupun
negaif, termasuk pada TB ekstraparu
Tidak menular Dapat menular
Perlu terapi pencegahan
pada kondisi tertentu
Perlu pengobatan sesuai standar terapi TB
Dikutip dari (3)
Diagnosis ITBL tidak dilakukan secara rutin kecuali pada kelompok
yang berisiko (pada pengguna NAPZA) atau pada kondisi tertentu
(keperluan sekolah atau pekerjaan). Alur prosedur diagnosis ITBL adalah
pertama pada setiap individu berisiko ITBL dilakukan evaluasi gejala dan
tanda TB. Kedua bila didapatkan gejala atau tanda TB maka harus
dievaluasi TB aktif atau penyakit respirasi lainnya. Ketiga bila tidak
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11
didapatkan gejala dan tanda TB maka dilakukan pemeriksaan TST atau
IGRA untuk ITBL. Keempat bila hasil pemeriksaan pemeriksaan TST atau
IGRA positif maka disingkirkan kemungkinan TB aktif dengan rontgen
toraks bila terdapat abnormal lakukan pemeriksaan TB lanjutan dan bila
hasil rontgen toraks normal maka didiagnosis ITBL apabila termasuk
kelompok risiko yang sesuai maka dapat diberikan pengobatan.1 Alur
diagnosis ITBL dapat dilihat pada gambar lima.
Catatan:
* Berbagai gejala TB meliputi: batuk, hemoptysis, demam, keringat malam, berat
badan menurun, nyeri dada, napas pendek, kelelahan, HIV harus diperiksa. Foto
toraks harus dilakukan untuk memastikan penemuan kasus TB
** Individul yang mendapatkan pengobatan ITBL harus mendapatkan informasi
tentang TB termasuk pentingnya mencari pelayanan kesehatan bila mengalami
gejala TB
*** Panduan ITBL harus menyebutkan perlunya investigasi TB. Individu yang telah
disingkirkan kemungkinan TB aktif perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan
pengobatan untuk pencegahan
Gambar 5. Alur diagnosis ITBL
Dikutip dari (1)
6. Pemeriksaan Imunologi
Pemeriksaan imunologi pada individu ITBL bertujuan untuk
mengetahuinya induksi respons imun selular Th1 dan merupakan penanda
yang sensitif terhadap bakteri TB yang laten. Pemeriksaan imunologi ITBL
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12
dengan 2 metode yaitu pemeriksaan in vivo adalah TST dan pemeriksaan in
vitro adalah IGRA.23 Pemeriksaan TST dan IGRA belum dapat
membedakan antara infeksi laten atau aktif maupun bekas TB.1 Pemeriksaan
TST atau IGRA dapat digunakan untuk pemeriksaan ITBL di negara
berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas dengan perkiraan kejadian TB
kurang dari 100 per 100.000. Pemeriksaan IGRA seharusnya tidak
menggantikan TST di negara berpenghasilan rendah dan negara
berpenghasilan menengah lainnya.4,24,25 Penelitian menunjukkan bahwa
pemeriksaan QFT-GIT sedikit lebih unggul daripada TST dalam diagnosis
ITBL.26 Perbandingan pemeriksaan TST dan IGRA didaerah endemis TB
dapat dilihat pada tabel dua.
Tabel 2. Perbandingan pemeriksaan TST dan IGRA didaerah endemis TB Karakteristik Pemeriksaan TST IGRA
Sensitivitas 72%-100% Tes QFT-GIT 69%
Tes T-SPOT.TB 72%-90%
Spesifisitas 41%-97% 50%-99%
Kuantitas bukti Melimpah Lebih sedikit
Biaya Murah Mahal
Pelaporan Pasien perlu kembali setelah 2
hari
Kunjungan tunggal
Interpretasi Subjektif terhadap teknik dan
bias pengamat
Hasil ya atau tidak (dapat juga
indeterminate)
Nilai prediktif untuk
TB reaktivasi
Kurang Kurang
Sumber daya Peralatan laboratorium
minimal, tenaga kerja dan
penyimpanan pendingin
Membutuhkan keahlian
laboratorium, mahal
peralatan, dan fasilitas
phlebotomy
Pada HIV Sensitivitas secara
keseluruhan berkurang pada
imunokompeten
Sensitivitas berkurang seiring
dengan perburukan penyakit;
kinerja keseluruhan sama
dengan TST
Pada anak Lebih sensitif, lebih disukai Hasil yang kurang sensitif dan
hasil lebih sering
indeterminate
Dikutip dari (27)
a. Tuberculin skin test
Pemeriksaan TST telah dikenal dan digunakan selama lebih dari 100
tahun, dikembangkan oleh Robert Koch pada tahun 1890 dari ekstrak
gliserin basil tuberkul (Old Tuberculin) namun teknik penyuntikan
intradermal yang saat ini digunakan diperkenalkan oleh Charles Mantoux
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13
pada tahun 1912. Tuberkulin PPD adalah larutan steril dari fraksi protein
yang dimurnikan yang diendapkan dari filtrat kultur basil tuberkulosis yang
ditanam pada medium khusus.28 International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease (IUATLD) dan WHO merekomendasikan PPD-RT23 2
TU dengan Tween 80 untuk digunakan untuk diteksi TB dan beberapa
penelitian melaporkan bahwa PPD-RT23 2,5 TU yang mengandung Tween
80 memiliki potensi yang sama dengan PPD-S 5 TU.29 Pemeriksaan TST
dengan cara menyuntikan intradermal 0,1 ml PPD 5 TU / PPD-RT23 2 TU
ke permukaan volar lengan bawah.30,31 Injeksi harus dilakukan dengan
jarum suntik tuberkulin 27 gauge sekali pakai secara intradermal (tepat di
bawah permukaan kulit) dengan bevel jarum menghadap ke atas. Suntikan
sampai timbul benjolan berdiameter 6-10 mm.17 Tatacara pemeriksaan
mantoux TST dapat dilihat pada gambar enam.
Gambar 6. Tatacara pemeriksaan mantoux TST.
Dikutip dari (17)
Mekanisme kerja TST adalah mengukur imunitas seluler DTH
terhadap PPD tuberculin yang merupakan antigen berbagai mikobakteria,
termasuk Mtb, BCG Mtb, dan BCG Mycobacterium bovis. Spesifitas TST
lebih rendah pada daerah BCG dan infeksi Mycobacterium selain Mtb yang
tinggi. Reaksi DTH terjadi 2-8 minggu setelah seseorang terinfeksi Mtb.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14
Pemeriksaan TST pada kondisi tertentu didapatkan hasil positif palsu dan
negatif palsu yang dapat membiaskan diagnosis ITBL.1,32 kondisi yang
menyebabkan hasil positif palsu dan negatif palsu dapat dilihat pada tabel
tiga.
Tabel 3. Kondisi yang menyebabkan hasil positif palsu dan negatif palsu.
Positif palsu Negatif palsu
Terinfeksi dengan MOTT Alergi kulit (anergi adalah
ketidakmampuan bereaksi terhadap tes
kulit karena sistem kekebalan tubuh yang
lemah)
Vaksinasi BCG sebelumnya Infeksi TB baru (terpapar dalam 8-10
minggu)
Salah teknik penyuntikan TST Infeksi TB yang sangat lama (bertahun-
tahun)
Interpretasi reaksi yang salah Usia sangat muda (kurang dari enam bulan)
Botol antigen yang digunakan salah Vaksinasi virus hidup dalam jarak dekat
dengan tes TST (misalnya campak dan
cacar)
Penyakit TB yang berat
Beberapa penyakit virus (misalnya campak
dan cacar air)
Salah teknik penyuntikan TST
Interpretasi reaksi yang salah, dosis yang
tidak mencukupi dan injeksi subkutan yang
tidak disengaja
Dikutip dari (28)
Reaksi TST berupa hipersentivitas tipe I sampai III dimulai sejak
beberapa jam setelah penyuntikan dan puncaknya DTH 48-72 jam yang
bertahan hingga 1 bulan. Histopatologi TST pada awal reaksi 4-6 jam
pertama terjadi infiltrasi utama berupa neutrofil sehingga tidak spesifik.
Setelah 12 jam sel T berada disekitar kapiler kulit. Puncak infiltrasi
makrofag teraktivasi terjadi pada 24 jam. Mayoritas infiltrasi sel T
terakumulasi perivaskular terjadi pada 48 jam. Mekanisme infiltrasi sel
imun seluler belum jelas. Awal penyuntikan TST sitokin proinflamasi
seperti IFN-γ, TNF-α dan TNF-β menstimulus ekspresi adhesi molekul pada
endothelium (E-selectin) dan meningkatan permeabilitas pembuluh darah
lokal. Ukuran indurasi dipengaruhi oleh frekuensi sirkulasi
CD4+CD25+FoxP3+ sel regulatory T.1,32 Inteprestasi pemeriksaan TST
dapat lihat pada tabel empat.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15
Tabel 4. Intepretasi pemeriksaan TST
Hasil
pemeriksaan
TST positif
Kelompok pasien
Indurasi >5 mm Pasien HIV
Kontak dengan TB aktif (BTA+) dalam waktu dekat
Pasien dengan rontgen toraks fibrosis disertai riwayat TB
sebelumnya
Pasien yang menjalani transplantasi organ
Pasien imunokompromis (termasuk terapi kortikosteroid jangka
panjang, prednisone 15mg/ hari atau prednisone selama lebih dari
1 bulan atau antagonis TNF-α)
Indurasi >10 mm Pasien dari Negara endemic TB dalam 5 tahun terakhir
Pengguna narkotika suntik
Individu atau pekerja di tempat dengan kepadatan tinggi (rumah
sakit, penjara, rumah singgah, panti)
Pekerja lab mikrobiologi
Pasien dengan risiko tinggi menjadi TB aktif (DM, malnutrisi)
Anak < 5 tahun
Anak yang kontak dengan individu beresiko TB
Indurasi >15 mm Indivdu dengan risiko rendah terinfeksi TB (biasanya dilakukan
pemeriksaan TST pada skrining atau syarat masuk sekolah atau
bekerja)
Dikutip dari (1,32)
b. Fenomena Booster
Fenomena booster adalah ketidaksesuaian hasil interpretasi dari
konversi tes kulit (berubah dari negatif menjadi positif). Individu yang
terinfeksi Mtb mungkin memiliki reaksi TST negatif jika sudah bertahun-
tahun lamanya sejak pertama terinfeksi. Reaksi TST positif selanjutnya
mungkin karena tes awal merangsang kemampuan untuk bereaksi terhadap
tes tersebut. Metode dua langkah TST direkomendasikan pada
pemeriksanan awal individu yang dapat diperiksa secara berkala, contohnya
petugas layanan kesehatan. Individu dengan metode dua langkah TST
apabila hasil TST pertamanya positif pertimbangkan sebagai terinfeksi dan
evaluasi untuk pengobatan. Individu dengan metode dua langkah TST hasil
TST pertamanya negatif maka TST harus diulang dalam 1-3 minggu
kedepan. Hasil tes TST kedua positif maka pertimbangkan sebagai
terinfeksi dan jika hasil TST kedua negatif pertimbangkan sebagai tidak
terinfeksi. Metode dua langkah tidak digunakan pada IGRA.32 Alur metode
dua langkah TST dapat dilihat pada gambar tujuh.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16
Gambar 7. Alur metode dua langkah TST.
Dikutip dari (32)
c. Interferon-gamma release assays
Pemeriksaan IGRA digunakan untuk menentukan ITBL dengan
mengukur respons imun terhadap protein TB dalam darah. Sampel dicampur
dengan peptide untuk menstimulasi antigen dari Mtb dibandingkan kontrol.
Pada orang yang terinfeksi TB sel darah putih mengenali antigen yang
terstimulasi sehingga mengeluarkan IFN-γ. Pemeriksaan IGRA berdasarkan
laporan beberapa penelitian lebih unggul untuk mendiagnosis ITBL tetapi
TST masih menjadi pilihan pada Negara dengan pendapatan menengah ke
bawah.24 Kelebihan dan keterbatasan IGRA dapat dilihat pada tabel lima.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17
Tabel 5. Kelebihan dan keterbatasan IGRA
Kelebihan Kekurangan
Alat diagnosis ITBL
Pemeriksaan spesifik terhadap
MTB reactive t-cells
Keterbatasannya darah harus diproses dalam 8-30 jam
setelah diambil
Tidak dipengaruhi vaksin BCG Mahal
Lebih jarang dipengaruhi oleh
infeksi non tuberkulosis
mycobacterium (NTM)
Kesalahan dalam pengambilan atau pengiriman
spesimen darah akan mempengaruhi keakuratan
IGRA.
Hanya membutuhkan 1 kali
kunjungan
Belum banyak data tentang IGRA pada anak dibawah
5 tahun, pasien bekas TB, orang yang pernah
dilakukan pemeriksaan IGRA
Tidak menyebabkan fenomena
booster
Hasil intepretasi tidak
dipengaruhi persepsi petugas
kesehatan
Hasil didapatkan dalam 24 jam
Dikutip dari (1,12)
Pemeriksaan IGRA menggunakan purified antigens Mtb untuk
menstimulasi limfosit darah perifer memproduksi IFN-γ. Hasil pemeriksaan
IGRA adalah berdasarkan jumlah dan konsentrasi IFN-γ yang dihasilkan.
Saat ini terdapat 2 jenis pemeriksaan IGRA yaitu QFT-GIT dan T-SPOT TB
(Oxford Immunotec).33 Perbedaan QFT–GIT dan T-SPOT dapat dilihat
pada tabel enam.
Tabel 6. Perbedaan QFT–GIT dan T-SPOT
QFT–GIT T-SPOT
Proses awal Proses dari darah utuh
memakan waktu 16 jam
Proses peripheral blood mononuclear
cells (PBMCs) memakan waktu 8 jam,
atau jika menggunakan T-Cell Xtend®
memakan waktu 30 jam
Antigen M.
tuberculosis
Campuran tunggal peptida
sintetis yang mewakili
ESAT-6, CFP-10, dan
TB7.7
Campuran terpisah dari peptida sintetis
yang mewakili ESAT-6 dan CFP-10
Pengukuran Konsentrasi IFN-γ Jumlah sel penghasil IFN-γ (spot)
Kemungkinan
Hasil
Positif, negatif,
indeterminate
Positif, negatif, indeterminate,
Borderline
Dikutip dari (12)
1. QuantiFERON-TB gold in tube
Pemeriksaan QuantiFERON-TB Gold (QFT-G, Cellestis, Australia)
dan generasi terbaru QFT-GIT (Cellestis, Australia) adalah tes ELISA yang
mengukur konsentrasi IFN-γ yang dihasilkan sebagai respons terhadap tiga
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18
antigen MTB yaitu ESAT-6, CFP-10, dan TB7.7. Perbedaan utama dari
QFT-G dan QFT-GIT adalah penambahan tabung baru yang mengandung
peptida pendek yang menstimulasi sel T CD8.34 Inteprestasi hasil
pemeriksaan QFT-GIT berdasarkan konsentrasi IFN-γ yang dikeluarkan
menggunakan ELISA. Interpretasi kriteria QFT-GIT dapat dilihat pada tabel
tujuh.
Tabel 7. Interpretasi kriteria QFT-GIT
Hasil Konsentrasi IFN-γ (International Units per ml, IU/ml)
Antigen Mtb Nil PHA Nil
Positif ≥0,35 IU/ml dan ≥25% over nil ≤8,0 IU/ml Any
Negatif <0,35 IU/ml atau <25% over nil ≤8,0 IU/ml ≥0,5 IU/ml
Indeterminate < 0,35 IU/ml atau < 25% over nil ≤8,0 IU/ml <0,5 IU/ml
Any >8,0 IU/ml Any
Keterangan: Nil= Kontrol negatif; PHA= kontrol positif phytohemagglutinin A.
Dikutip dari (33)
2. T-SPOT.TB
Pemeriksaan T-SPOT.TB (Oxford Immunotec, Inggris) adalah tes
ELISPOT yang mengukur jumlah sel mononuklear perifer yang
menghasilkan INF-γ setelah stimulasi dengan ESAT-6 dan CFP-10.
Laboratorium harus melaporkan kedua data kuantitatif dan kualitatif.
Inteprestasi kualitatif dilaporkan berupa positif, negatif, dan indeterminate
atau borderline. Hasil kuantitatif dilaporkan berupa angka meliputi respons
terhadap antigen, nil, dan mitogen. Laboratorium melaporkan hasil secara
kualitatif kecuali untuk penelitian.24,27 Pemeriksaan TSPOT.TB dapat
dibaca dengan beberapa metodologi diantaranya pembacaan elispot atau
secara manual oleh teknisi. Hasil perbandingan pembacaan elispot dan
pembacaan manual tidak banyak perbedaan.34 Interpretasi kriteria T-
SPOT.TB dapat dilihat pada tabel delapan.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19
Tabel 8. Interpretasi kriteria T-SPOT.TB
Hasil Jumlah Spot
Antigen Mtb Nil PHA
ESAT-6 CFP-10
Positif ≥6 over nil dan/atau ≥6 over nil ≤10 Any
Negatif ≤5 over nil dan/atau ≤5 over nil ≤10 ≥ 20
Borderline* Apabila antigen lebih dari 5-7 over nil <10 ≥ 20
Indeterminate Dan ≤6 over nil ≤10 < 20
Any Any >10 Any
Keterangan: *Direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang.
Dikutip dari(33)
7. Tatalaksana ITBL
Tatalaksana ITBL bertujuan untuk mencegah progresifitas menjadi
TB aktif. Isoniazid (INH) merupakan salah satu obat andalan dalam
mengobati ITBL. Isoniazid diberikan setiap hari selama enam sampai
sembilan bulan memiliki angka kesembuhan antara 60- 90%.16 Dosis obat
untuk ITBL yang direkomendasikan dapat dilihat pada tabel sembilan.
Tabel 9. Dosis obat untuk ITBL yang direkomendasikan
Rejimen obat Dosis per berat badan Dosis maksimal
Isoniazid tunggal setiap
hari selama 6 atau 9
bulan
Dewasa = 5 mg / kg
Anak = 10 mg / kg
300 mg
Rifampisin tunggal
setiap hari selama 3-4
bulan
Dewasa = 10 mg / kg
Anak = 10 mg / kg
600 mg
Isoniazid dan rifampisin
setiap hari selama 3-4
bulan
Isoniazid
Dewasa = 5 mg / kg
Anak = 10 mg / kg
Rifampisin
Dewasa dan anak = 10 mg / kg
Isoniazid = 300 mg
Rifampisin= 600 mg
Rifapentine dan
isoniazid seminggu
sekali selama 3 bulan
(12 dosis)
Dewasa dan anak
Isoniazid: 15 mg / kg
Rifapentin (dengan berat badan):
10,0-14,0 kg = 300 mg
14,1-25,0 kg = 450 mg
25,1-32,0 kg = 600 mg
32,1-49,9 kg = 750 mg
≥50,0 kg = 900 mg
Isoniazid = 900 mg
Rifapentine = 900
mg
Dikutip dari (3)
Regimen lain yang efektif adalah rifampisin setiap hari selama 3
atau 4 bulan, INH dan rifampisin setiap hari selama 3 bulan, dan INH dan
rifapentine (RPT) seminggu sekali selama 12 minggu.35 Rejimen obat ITBL
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20
yang direkomendasikan di Indonesia adalah INH selama 6 bulan.
Rifapentine saat ini belum tersedia di Indonesia.1,3
B. NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF (NAPZA)
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.36
Narkotika yang sering dijumpai dalam peredarannya di kalangan pengguna
antara lain opioid, morfin, heroin, kokain, cannabis sativa / ganja, dan
lainnya.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan prilaku.8 Psikotropika yang sering dijumpai dalam peredarannya
di kalangan pengguna antara lain methylenedioxymeth amphetamine
(MDMA)/ ekstasi, amfetamin, methamphetamine/ sabu, dan lainnya. Zat
adiktif lainya antara lain alkohol dan lainnya.
Penggunaan NAPZA dapat menyebabkan ketergantungan.
Ketergantungan NAPZA adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan NAPZA secara terus-menerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik
dan psikis yang khas.9 Ketergantungan NAPZA mempengaruhi bio-psiko-
sosial-spiritual yang serius.7 World Health Organization mengembangkan
alat untuk menilai ketergantungan NAPZA yang di kenal dengan Alcohol,
Smoking and Substance Involvement Screening Test (ASSIST).37 Alcohol,
Smoking and Substance Involvement Screening Test versi 3.1 dapat dilihat
pada lampiran empat.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21
Hasil survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)
dan Pusat Penelitian Kesehatan (Puslitkes) UI tahun 2008 diperoleh angka
prevalensi mencapai 1,9% dan pada tahun 2011 meningkat hingga 2,2%
atau lebih kurang 4 juta penduduk Indonesia usia 10 sampai dengan 60 tahun
sebagai penyalah gunaan narkotika. Setiap tahunnya terjadi peningkatan
jumlah pengguna NAPZA di Indonesia. Jumlah kasus NAPZA menurut
BNN dan POLRI di Indonesia tahun 2008-2012 dapat dilhat pada gambar
delapan.6
Gambar 8. Jumlah kasus NAPZA di Indonesia tahun 2008-2012.
Dikutip dari (6)
1. Patogenesis TB Pada Penguna NAPZA
Penggunaan opioid dikaitkan dengan TB berdasarkan data yang
telah dibuktikan dengan penelitian yang menggambarkan angka kejadian
TB 100 kali lipat lebih berisiko pada pengguna opioid dibandingkan dengan
populasi umum. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa opioid
menekan beragam fungsi sel imun tubuh termasuk fagositosis, kemotaksis
dan ekspresi sitokin yang sangat penting dalam mengeliminasi TB.10
Pengguna narkotika non IDU dan IDU berisiko tinggi tertular TB dengan
atau tanpa human immunodeficiency virus (HIV).25 Pengguna narkotika non
IDU memilki risiko tinggi terpapar TB, hal ini terutama disebabkan oleh
penggunaan bersama peralatan narkotika seperti pipa (bong) ganja atau
sabu, dan biasanya pengguna NAPZA tinggal dalam ruangan sempit atau
dengan ventilasi yang buruk. Penggunaan NAPZA sering dikaitkan dengan
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22
alkoholisme, yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi TB dan
berkembang menjadi TB aktif.38
Pengguna narkotika sering menunda memeriksakan kesehatannya
bahkan ketika sedang sakit, hal ini memunculkan hipotesis mengenai ITBL
pada pengguna narkotika bahwa beberapa golongan narkotika menekan
refleks batuk sehingga droplet nuclei TB dapat mencapai alveoli paru.5
Penggunaan morfin menyebabkan penurunan fagositosis makrofag dan
kemotaksis. Terhambatnya fagositosis maka bakteri tidak dapat
dimusnahkan secara maksimal menyebabkan terjadinya peningkatan
bakteriemia dan terlepasnya bakteri dari fase laten.39
2. IMUNOSUPRESI PENGGUNAAN NAPZA
Penggunaan NAPZA memperparah pandemik TB dan mempersulit
penanganannya. Sitokin memainkan peran penting dalam infeksi TB oleh
karena itu pentingnya memahami imunologi TB dan respon imun pada
pengguna NAPZA. Penggunaan NAPZA mendorong gangguan dalam
respon inflamasi yang terlibat dalam imunopatogenesis TB.10
a. Opioid
Opioid dapat menyebabkan efek imunomodulator dan
imunosupresi. Opioid dapat memodulasi sistem imun tubuh pada tingkat
seluler in vitro dan secara tidak langsung in vivo.40,41 Opioid menekan
produksi IFN-γ dan TNF-α yang terlibat dalam perekrutan monosit dan
granulosit selama infeksi TB aktif, selain itu opioid juga menurunkan
produksi IL-8 yang diperlukan untuk menarik neutrofil dan sel T. Morfin
telah terbukti memiliki efek langsung pada semua aspek utama respons
imun adaptif, termasuk presentasi antigen, aktivasi atau diferensiasi sel T
dan resirkulasi sel limfosit pada kedua kondisi akut dan kronis.42
Interleukin-10 dapat menekan pematangan dan aktivasi pengembangan sel
Th1. Penelitian dengan pengamatan splenocytes tikus yang menerima
morfin jangka panjang secara signifikan meningkatkan produksi IL-10.41
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23
Aktivasi kappa opioid receptor (KOR) dan delta opioid receptor
(DOR) dapat mengaktifkan respon imun seluler sementara efek mu opioid
receptor (MOR) terkait dengan aktivitas sel NK, sekresi sitokin, dan
fagositosis makrofag.43 Morfin melalui MOR, DOR dan KOR memodulasi
banyak aspek fungsi sel imun tubuh, termasuk efek imunosupresi pelepasan
sitokin sel imun, aktivasi reseptor kemokin dan migrasi sel.42 Efek
imunosupresi opioid melalui MOR pada sel imun atau melalui regulasi pada
sel sistem saraf pusat (SSP), pada percobaan model tikus yang diberikan
morfin akan mengaktifkan MOR pada SSP yang menekan NK yang
selanjutnya menghambat produksi IFN-γ pada TB. Pola ekspresi sitokin dan
kemokin mungkin berbeda pada jenis opioid yang digunakan.10 Peran
reseptor sentral opioid memodulasi respon imun dapat dilihat tabel 10.
Tabel 10. Peran reseptor sentral opioid memodulasi respon imun
Reseptor Efek
MOR Menurunkan aktivitas sel NK (sentral)
Menurunkan fagositosis makrofag (sentral)
Menghambat proliferasi sel T (sentral)
Pelepasan nitric oxide (perifer)
DOR Meningkatkan aktivitas sel NK (sentral)
meningkatkan respon imun humoral ( MOR dependen)
Menurunkan respons PFC
DOR
antagonis
Pada dosis rendah menghambat DHR
KOR Menekan imunitas humoral
KOR
antagonis
Meningkatkan PFC
Menekan respon imun humoral (MOR dependen)
Keterangan: KOR= kappa opioid receptor; DOR= delta opioid receptor; MOR= mu opioid
receptor; PFC= plaque forming cells; DHR= delayed hypersensitivity reaction;
NK= natural killer.
Dikutip dari (43)
Morfin merupakan penghambat imun adaptif yang kuat dengan
menurunkan aktivitas IL-2 dan IFN-γ yang menyebabkan penurunan
respons imun seluler dan fungsi Th1. Penelitian dengan model tikus
menunjukkan bahwa salah satu mekanisme opioid (heroin dan metadon)
menyebabkan imunosupresi adalah dengan menghambatan transkripsi IL-2
pada limfosit T teraktivasi dan faktor transkripsi Activator Protein (AP)-1,
Nuclear Factor of Activated T-cells (NFAT), dan NF-kB yang
mentransaktivasi IL-2. Mekanisme lainnya adalah morfin menghambat
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24
mediasi dari c-fos mRNA dan opiod menginduksi mediasi respons cyclic
Adenosine Monophosphate (cAMP) yang mengikat transkripsi cAMP
Response Element-Binding protein (CREB) / cAMP-Responsive Element
Modulator (CREM) / Inducible cAMP Early Repressor (ICER) yang terlibat
dalam penghambat IL-2.44 Ikatan morfin pada MOR menghasilkan
superaktivasi adenenil siklase yang dimediasi oleh subunit βγ dari kompleks
protein G heterotrimerik. Aktivasi adenenil siklase meningkatkan cAMP
intraselular menyebabkan aktivasi selektif dari ICER yang bersaing dengan
CREB dari elemen responsif CD-28 pada promotor IL-2 yang menyebabkan
blokade transkripsi IL-2.42 Morfin penghambatan ekspresi IL-2 dapat dilihat
pada gambar sembilan.
Gambar 9. Morfin penghambatan ekspresi IL-2.
Dikutip dari (42)
Morfin dan opioid jenis lainnya dapat mengganggu pertahanan
tubuh melawan bakteri. Opioid terutama morfin memodulasi sel fagosit
(makrofag, neutrofil) dan sel T sitotoksik nonspesifik (Tγδ ), NK, dan sel
dendritik yang secara fungsional penting pada kekebalan terhadap
patogen.45 Morfin memodulasi kedua cabang sistem imun yang
menghambat imun inang dan pembersihan patogen dengan mengikat MOR.
Morfin menghambat imun bawaan dengan menghambat fungsi makrofag
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25
dan neutrofil fagositik, bakterisida, kemotaktik dan migrasi, selain itu
morfin menghambat presentasi antigen oleh sel dendritik dan mengurangi
sitotoksisitas NK. Morfin memediasi modulasi fungsi imun adaptif belum
dieksplorasi. Penggunaan morfin jangka lama menyebabkan produksi
sitokin Th1 dan aktivasi sel T menurun selain itu juga dapat mempercepat
kematian sel Th1 dan diferensiasi Th2. Efek morfin terhadap sel B dikaitkan
pada menurunnya produksi antibodi, ekspresi dan proliferasi MHC II.
Kesimpulannya morfin menghambat faktor-faktor penting pada kedua
cabang sistem imun yang berperan terhadap pembersihan patogen dan
meningkatkan penyebaran bakteri.42 Skema yang menggambarkan morfin
memodulasi imunitas bawaan dan adaptif dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 10. Skema yang menggambarkan morfin memodulasi imunitas
bawaan dan adaptif.
Dikutip dari (42)
Penelitian in vitro sel imun bawaan pada hewan percobaan dan
manusia serta penelitian in vivo pada hewan menunjukkan bahwa
penyalahgunaan opiod merusak imun bawaan dan bertanggung jawab pada
peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri.45 Penelitian selanjutnya
berusaha untuk mengetahui apakah pengaruh opioid pada sistem imun tubuh
cukup untuk menyebabkan kelainan pada fungsi sel imun tubuh. Penelitian