The Way of Shotokan Karate

109
The Way of “SHOTOKAN” K a r a t e – d o Kumpulan Berbagai Artikel Shotokan Karate BONDHAN ADI PRATOMO

Transcript of The Way of Shotokan Karate

Page 1: The Way of Shotokan Karate

The Way of

“SHOTOKAN” K a r a t e – d o

Kumpulan Berbagai Artikel Shotokan Karate

BONDHAN ADI PRATOMO

Page 2: The Way of Shotokan Karate

The Way of “SHOTOKAN” Karate–do

Kumpulan Berbagai Artikel Shotokan Karate

By :

BONDHAN ADI PRATOMO

Page 3: The Way of Shotokan Karate

KATA PENGANTAR

Salam Karate, Osh…

Buku ini berisi kumpulan-kumpulan artikel tentang Shotokan

Karate yang disitir dari berbagai sumber, khusunya website

Fokushotokan.com. Dimana penyusunannya disesuaikan

dengan urutan-urutan yang disesuaikan agar menjadi pro-

duktif dan komunikatif untuk Pembaca sekalian.

Materi dalam buku ini lebih khusus lagi akan mengupas

intisari dari buku paling populer sepanjang sejarah karate

karya Master Gichin Funakosi yaitu : Karate-do Kyohan,

Karate-do Nyumon dan Karate My Way of Life.

Penyusun menyadari sepenuhnya dalam penyusunan ini

banyak mempunyai kekurangan-kekurangan dan bahkan

mungkin kesalahan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca

sekalian sangat penyusun nantikan.

Jakarta, Juli 2010;

Sensei Bondhan Adi Pratomo

Page 4: The Way of Shotokan Karate

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …

Daftar Isi …

BAB I SEJARAH KARATE …

1.1. Apakah Karate Itu ? …

1.2. Sejarah Karate …

1.3. Shoto Niju-Kun (20 Petunjuk Berlatih

Gichin Funakoshi) …

1.4. Kihon - Kumite - Kata …

BAB II TENTANG GICHIN FUNAKOSHI …

BAB III KARATE-DO KYOHAN …

3.1. Kehilangan Seikat Rambut …

3.2. Syarat-Syarat Bagi Yang Berlatih …

3.3. Perjumpaan dengan Ular Berbisa …

BAB IV KARATE-DO NYUMON …

4.1. Kisah Pemabuk dan Pedagang Tua …

4.2. Menyadari Sebuah Omong Kosong …

Page 5: The Way of Shotokan Karate

BAB V KARATE-DO “MY WAY OF LIFE” …

5.1. Kebanggaan yang Membahayakan …

5.2. Seorang Pria Sederhana …

5.3. Berlatih Hidup – Melawan Topan …

BAB VI ANTARA KARATE DAN KOBUDO …

BAB VII MISTERI TORA NO MAKI …

BAB VIII IKKEN HISSATSU …

BAB IX MENGAPA HARUS KIAI …

BAB X EVOLUSI KARATE …

Page 6: The Way of Shotokan Karate

BAB I

SEJARAH KARATE

1.1. APAKAH KARATE ITU ?

Karate berasal dari pengucapan dalam bahasa Okina-

wa “Kara” yang berarti Cina dan “Te” yang bararti

tangan. Selanjutnya arti dari dua pengucapan itu

adalah tangan Cina, teknik Cina, tinju Cina (pada

masa lampau). Selanjutnya sekitar tahun 1931 Gichin

Funakoshi –dikenal sebagai Bapak Karate Moderen–

mengubah istilah karate ke dalam huruf kanji Jepang

yang terdengar lebih baik. Tahun 1936 buku Karate-do

Kyohan Funakoshi diterbitkan dengan

menggunakan istilah karate dalam huruf

kanji Jepang. Dalam pertemuan bersama

para master di Okinawa makna yang

sama diambil. Dan sejak saat itu istilah

“karate” dengan huruf kanji berbeda na-

mun pengucapan dan makna yang sama

digunakan sampai sekarang.

Page 7: The Way of Shotokan Karate

Karate berasal dari dua kata dalam huruf kanji “kara”

yang bermakna kosong dan “te” yang berarti tangan.

Karate berarti sebuah seni bela diri yang memung-

kinkan seseorang mempertahankan diri tanpa senjata.

Menurut Gichin Funakoshi karate mempunyai banyak

arti yang lebih condong kepada hal yang bersifat

filsafat. Istilah “kara” dalam karate bisa pula disama-

kan seperti cermin bersih yang tanpa cela yang

mampu menampilkan bayangan benda yang dipantul-

kannya sebagaimana aslinya. Ini berarti orang yang

belajar karate harus membersihkan dirinya dari

keinginan dan pikiran jahat.

Selanjutnya Gichin Funakoshi menjelaskan makna

kata “kara” pada karate mengarah kepada sifat keju-

juran, rendah hati dari seseorang. Walaupun demikian

sifat kesatria tetap tertanam dalam kerendahan

hatinya, demi keadilan berani maju sekalipun berjuta

lawan tengah menunggu. Demikianlah makna yang

terkandung dalam karate.

Page 8: The Way of Shotokan Karate

Karena itulah seseorang yang belajar karate sepantas-

nya tidak hanya memperhatikan sisi teknik dan fisik,

melainkan juga memperhatikan sisi mental yang sama

pentingnya. Seiring usia yang terus bertambah, kon-

disi fisik akan terus menurun namun kondisi mental

seorang karate-ka yang diperoleh lewat latihan yang

lama akan membentuk kesempurnaan karakter.

Akhiran kata “Do” pada karate-do memiliki makna

jalan atau arah. Suatu filosofi yang diadopsi tidak

hanya oleh karate tapi kebanyakan seni bela diri

Jepang dewasa ini (Kendo, Judo, Kyudo, Aikido, dll).

1.2. SEJARAH KARATE

Menurut sejarah, Okinawa sebelum menjadi bagian

dari Jepang adalah suatu wilayah berbentuk kerajaan

yang bebas merdeka. Pada waktu itu Okinawa

mengadakan hubungan dagang dengan pulau-pulau

tetangga. Dan memang Okinawa mendapatkan penga-

ruh yang kuat akan budaya Cina. Sebagai pengaruh

pertukaran budaya itu banyak orang-orang Cina

Page 9: The Way of Shotokan Karate

dengan latar belakang yang bermacam-macam datang

ke Okinawa mengajarkan bela dirinya pada orang-

orang setempat. Yang di kemudian hari menginspirasi

nama kata seperti Jion yang mengambil nama dari

biksu Budha. Sebaliknya orang-orang Okinawa juga

banyak yang pergi ke Cina lalu kembali ke Okinawa

dan mengajarkan ilmu yang sudah diperoleh di Cina.

Pada tahun 1477 Raja Soshin di Okinawa memberlaku-

kan larangan pemilikan senjata bagi golongan pende-

kar. Tahun 1609 Kelompok Samurai Satsuma di bawah

pimpinan Shimazu Iehisa masuk ke Okinawa dan

tetap meneruskan larangan ini. Bahkan mereka juga

menghukum orang-orang yang melanggar larangan

ini. Sebagai tindak lanjut atas peraturan ini orang-

orang Okinawa berlatih Okinawa-te (begitu mereka

menyebutnya) dan Ryukyu Kobudo (seni senjata) secara

sembunyi-sembunyi. Latihan selalu dilakukan pada

malam hari untuk menghindari intaian. Tiga aliranpun

muncul masing-masing memiliki ciri khas yang nama-

nya sesuai dengan arah asalnya, yaitu : Shuri-te,

Naha-te dan Tomari-te.

Page 10: The Way of Shotokan Karate

Namun demikian pada akhirnya Okinawa-te mulai

diajarkan ke sekolah-sekolah dengan Anko Itosu (juga

mengajari Funakoshi) sebagai instruktur pertama seki-

tar awal tahun. Dan tidak lama setelah itu Okinawa

menjadi bagian dari Jepang, membuka jalan bagi

karate masuk ke Jepang. Gichin Funakoshi ditunjuk

Page 11: The Way of Shotokan Karate

mengadakan demonstrasi karate di luar Okinawa bagi

orang-orang Jepang.

Gichin Funakoshi dilahirkan di Yamakawa Shuri,

Okinawa, pada tahun 1868, Funakoshi belajar karate

pada Azato dan Itosu. Setelah berlatih begitu lama,

pada tahun 1916 (ada yang pula yang mengatakan

1917) Funakoshi diundang ke Jepang untuk mengada-

kan demonstrasi di Nippon Butokukai Kyoto yang meru-

pakan pusat dari seluruh bela diri Jepang saat itu.

Selanjutnya pada tahun 1921, putra mahkota yang

kelak akan menjadi kaisar Jepang datang ke Okinawa

dan meminta Funakoshi untuk demonstrasi. Bagi

Funakoshi undangan ini sangat besar artinya karena

demonstrasi itu dilakukan di arena istana. Tahun 1922

Setelah demonstrasi kedua ini Funakoshi seterusnya

tinggal di Jepang di sebuah asrama untuk pelajar.

Selama di Jepang pula Funakoshi banyak menulis

buku-bukunya yang terkenal hingga sekarang. Seperti

“Ryukyu Kempo : Karate” dan “Karate-do Kyohan”. Buku-

Page 12: The Way of Shotokan Karate

bukunya masih dianggap sebagai salah satu karya

terbaik dalam dunia karate sekaligus pioner buku

karate di masa itu. Dan sejak saat itu klub-klub karate

terus bermunculan baik di sekolah dan universitas.

Gichin Funakoshi selain ahli karate juga pandai dalam

sastra dan kaligrafi. Nama Shotokan diperolehnya

sejak kegemarannya mendaki gunung Torao (yang

dalam kenyataannya berarti ekor harimau). Dimana

dari sana terdapat banyak pohon cemara ditiup angin

yang bergerak seolah gelombang yang memecah di

pantai. Terinspirasi oleh hal itu Funakoshi menulis

sebuah nama “Shoto” sebuah nama yang berarti kum-

pulan cemara yang bergerak seolah gelombang, dan

“Kan” yang berarti ruang atau balai utama tempat

muridnya-muridnya berlatih.

Simbol harimau yang digunakan karate Shotokan yang

dilukis oleh Hoan Kosugi (salah satu murid pertama

Funakoshi), mengarah kepada filosofi tradisional Cina

yang mempunyai makna bahwa ’’harimau tidak

pernah tidur’’. Digunakan dalam karate Shotokan

Page 13: The Way of Shotokan Karate

karena bermakna kewaspadaan dari harimau yang

sedang terjaga dan juga ketenangan dari pikiran yang

damai yang dirasakan Gichin Funakoshi ketika sedang

mendengarkan suara gelombang pohon cemara dari

atas Gunung Torao.

Sekalipun Funakoshi tidak pernah memberi nama

pada aliran karatenya, murid-muridnya mengambil

nama itu untuk dojo yang didirikannya di Tokyo

tahun sekitar tahun 1936 sebagai penghormatan pada

sang guru. Selanjutnya pada tahun 1949 Japan Karate

Association (JKA) berdiri dengan Gichin Funakoshi

sebagai guru besar.

Shotokan adalah karate yang mempunyai ciri khas be-

ragam teknik lompatan (lihat Enpi, Kanku dai, Kanku

sho dan Unsu), gerakan yang ringan dan cepat. Mem-

butuhkan ketepatan waktu dan tenaga untuk

melancarkan suatu teknik. Shotokan juga mengguna-

kan kuda-kuda yang lebih lebar dan pukulan yang

kuat.

Page 14: The Way of Shotokan Karate

Gichin Funakoshi percaya bahwa akan membutuhkan

waktu seumur hidup untuk menguasai manfaat dari

kata. Dia memilih kata yang yang terbaik untuk

penekanan fisik dan bela diri.

1.3. SHOTO NIJU-KUN (20 PETUNJUK BERLATIH

GICHIN FUNAKOSHI)

Sebagai salah satu langkah modernisasi karate yang

dilakukan Funakoshi adalah mengubah karate dari

seni bela diri yang sebelumya murni hanya teknik

(jutsu) menjadi bela diri yang berfilosofi. Langkah ini

juga dilakukan agar karate juga dapat diterima oleh

masyarakat Jepang mengingat kebanyakan bela diri

Jepang telah berubah menjadi bela diri yang dipenga-

ruhi filsafat Budo dan Bushido seperti kenjutsu berubah

menjadi kendo dan jujutsu menjadi judo. Diduga Funa-

koshi menuliskan Shoto Niju Kun ini berdasarkan

Bubishi, sebuah literatur kuno yang menjadi sumber

dari berbagai aliran bela diri termasuk karate.

Page 15: The Way of Shotokan Karate

VERSI ASLI

ARTI

Karate-do wa rei ni hajimari, rei ni owaru koto wo wasuruna

Karate mulai dan berakhir dengan kehormatan

Karate ni sente nashi Tidak ada serangan pertama dalam karate

Karate wa gi no tasuke Karate adalah sebuah pertolongan kepada keadilan

Mazu jiko wo shire, shikoshite tao wo shire

Kenali dirimu sendiri sebelum kau kenali yang lain

Gijutsu yori shinjutsu Semangat sebelum teknik Kokoro wa hanatan koto wo yosu

Bersiaplah untuk membebaskan pikiranmu

Wazawai wa getai ni shozu Musibah datang dari kekurang perhatian

Dojo nomino karate to omou na Latihan karate tidak hanya didalam dojo

Karate no shugyo wa issho de aru

Kau tidak akan pernah berhenti belajar karate

Arai-yuru mono wo karate-ka seyo, soko ni myo-mi ari

Jadikan karate sebagai bagian hidupmu dan akan kau temukan myo (rahasia hidup)

Karate wa yu no goto shi taezu natsudo wo ataezareba moto no mizu ni kaeru

Karate mirip dengan air panas. Jika tidak diberikan panas terus-menerus maka akan dingin kembali

Katsu kangae wa motsu na makenu kangae wa hitsuyo

Jangan berpikir bahwa kau harus menang, tapi pikirkan bagaimana agar

Page 16: The Way of Shotokan Karate

tidak kalah dalam pertarungan

Tekki ni yotte tenka seyo Kemenangan tergantung dari kemampuanmu untuk meraih yang mungkin dari yang tidak mungkin

Tattakai wa kyo-jitsu no soju ikan ni ari

Bergeraklah mengikuti (sesuai dengan) lawanmu

Hito no te ashi wo ken to omoe Pikirkan bahwa kedua tangan dan kakimu adalah pedang

Danshi mon wo izureba hyakuman no tekki ari

Waspadalah terhadap tindakanmu agar tidak mengundang kesulitan

Kamae wa shoshinsha ni ato wa shizentai

Pertama kuasai kuda-kuda merendah, baru posisi badan yang alamiah/wajar

Kata wa tadashiku jissen wa betsu mono

Berlatih kata tidak menggantikan hal yang sesungguhnya

Chikara no kyojaku, karada no shinshuku, waza no kankyu wo wasaruna

Jangan lupa (1) Aplikasi ringan dan berat dari kekuatan (2) meregangkan dan mengerutkan badan (3) Kecepatan dan kelambatan dari teknik

Tsune ni shinen kufu seyo Pikirkan jalan untuk menjalankan ajaran ini setiap hari

Page 17: The Way of Shotokan Karate

1.4. KIHON - KUMITE - KATA

Hampir seluruh aliran karate saat ini memasukkan

tiga materi wajib yaitu kihon, kumite dan kata dalam

latihan. Walaupun sebagian dari aliran juga memasuk-

kan materi lain seperti teknik senjata seperti yang

dilakukan oleh Shito-ryu. Adalah Funakoshi yang

memberikan tiga materi ini sebagai komponen latihan

ketika di Jepang dojo-dojo karate mulai banyak ber-

munculan. Pada perkembangan selanjutnya, JKA yang

berdiri tahun 1949 kembali mempertegas hal ini

dengan menstandarisasikan kihon, kumite dan kata

sebagai materi wajib.

Kihon adalah berlatih teknik-teknik dasar : memukul,

menendang, bertahan dan menangkis. Teknik-teknik

ini adalah awal juga sekaligus akhir dari karate.

Seorang karate-ka bisa saja mempelajarinya dalam

hitungan bulan bahkan tahun. Dari sini teknik-teknik

dasar membutuhkan latihan yang teratur, dikerjakan

dengan penuh konsentrasi dan usaha yang sebaik-

baiknya.

Page 18: The Way of Shotokan Karate

Dalam kumite seseorang melakukan dengan seorang

rekan bertanding. Prinsip-prinsip kihon tetap berlaku

dalam kumite. Seorang karate-ka harus mengerjakan

teknik karate dengan sesuai, kekuatan dan kecepatan

yang benar dan juga kontrol yang baik. Teknik ini

dikenal dengan Sundome yang artinya menghentikan

teknik kira-kira tiga inci sebelum sasaran. Sundome

adalah kebalikan dari Full Contact yang mengizinkan

karate-ka melancarkan teknik sekeras-sekerasnya pada

sasaran. Beberapa aliran karate di dunia masih ada

yang menerapkan metode ini.

Kata, latihan bentuk resmi yang menggabungkan

teknik-teknik dasar dalam karate : pukulan, tendang-

an, bertahan dan menangkis kedalam satu rangkaian

pergerakan yang telah ditentukan.

Kata mengkombinasikan teknik menyerang dan berta-

han, pergerakan badan yang sesuai dan perubahan

arah. Kata mengajarkan seorang karate-ka menghadapi

begitu banyak penyerang dari sedikitnya empat arah.

Kata telah menjadi inti dari latihan karate sejak zaman

Page 19: The Way of Shotokan Karate

dulu. Shotokan mempunyai 26 kata yang terus dilatih

hingga kini walaupun ada yang populer dan ada pula

yang tidak. Inilah 26 kata Shotokan :

Nama

Arti & Uraian Makna

Heian Ada yang mengartikan pikiran yang damai, mencintai keda-maian dan pikiran yang tenang. Walaupun ada pula yang tidak setuju dengan nama ini. Menurut legenda seluruh kata Heian berasal dari kata Kanku-dai

yang disederhanakan oleh Yasu-tsune Itosu. Tujuannya untuk mengajari pemula ketika karate telah diterima secara terbuka di Okinawa. Karena itulah banyak teknik yang berbahaya telah dihilangkan. Nama aslinya Pinan dan kata ini banyak aliran

karate lain yang masih memper-tahankan nama ini kecuali Sho-tokan yang telah menggunakan nama Heian.

Ada lima versi kata Heian yaitu Heian Shodan, Nidan, Sandan, Yondan dan Godan dengan ting-

kat kesulitan yang berbeda.

Page 20: The Way of Shotokan Karate

Tekki Aslinya bernama Naihanchi dan saat ini dalam Shotokan memiliki tiga versi yaitu Tekki Shodan, Nidan dan Sandan. Tekki Shodan dan Nidan menurut legenda ber-asal dari Itosu sementara Tekki Sandan tidak begitu jelas. Tekki

berarti kuda-kuda yang kuat, bertahan dalam posisi menung-gang kuda (kiba dachi) dan ksat-

ria yang kuat. Tidak begitu jelas mengapa dikerjakan dalam ku-da-kuda kiba dachi.

Bassai Aslinya bernama Passai yang

berarti menembus benteng, me-nembus pertahanan lawan de-ngan mencari titik lemahnya, walaupun ada juga tidak setuju dengan arti ini. Bassai adalah

kata yang sangat tua, dan dalam Shotokan saat ini ada dua versi yaitu Bassai-dai dan Bassai-sho.

Kanku Aslinya bernama Kushanku

yang menurut legenda meng-ambil nama dari seorang atase militer Cina yang bertugas di Okinawa. Kushanku berubah na-ma menjadi Kanku-dai yang ber-

arti menatap langit, setelah na-ma ini terinspirasi dari gerakan pembukanya. Kanku adalah kata

yang paling banyak versinya

Page 21: The Way of Shotokan Karate

dan hampir seluruh aliran kara-te memegang kata ini walau dengan nama yang berbeda. Shotokan memiliki dua versi Kanku-dai dan Kanku-sho dimana

keduanya mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi.

Enpi Atau kadang diucapkan Empi

berarti burung layang-layang terbang. Menurut legenda kata ini versi aslinya adalah Wanshu

ahli bela diri Cina yang datang ke Okinawa. Enpi adalah kata Shotokan yang sangat populer

dan sangat sering ditemukan dalam turnamen.

Jion Salah satu Shitei kata (wajib) Sho-tokan selain Kanku-dai. Jion ber-arti kebaikan hati, pengampun-an, kasih sayang. Ada pula yang mengartikan Jion nama biksu

Budha, dan kenyataannya me-mang ada biksu yang bernama Jion. Nama kata ini tidak

berubah dan dipercaya sebagai salah satu kata yang menunjuk-kan karakter dari Shotokan.

Hangetsu Kata yang sangat tua ini bararti

bulan separuh dan sekaligus mengambil dari nama kuda-kudanya yaitu Hangetsu dachi. Nama aslinya adalah Seishan

Page 22: The Way of Shotokan Karate

yang berarti tiga belas. Kata ini

berasal dari Naha dan menam-pilkan teknik-teknik pernafasan.

Gankaku Kata yang juga sangat tua ini

berarti bangau di atas batu. Nama ini tampaknya diambil dari gerakan kuda-kudanya yaitu tsuruashi dachi yang sering

mengangkat sebelah kaki. Nama aslinya adalah Chinto yang berarti pertempuran fajar. Kata

ini termasuk salah satu kata yang sulit.

Jitte Berarti seolah-olah bertarung dengan kekuatan sepuluh orang. Nama kata ini tidak mengalami perubahan. Menurut legenda kata ini boleh dikerja-kan dengan sebuah tongkat sebagai senjata.

Sochin Berarti ketenangan hati, mem-berikan kedamaian bagi orang banyak, penekanan yang besar. Salah satu kata Shotokan yang

sangat populer dan sangat se-ring ditemukan dalam turna-men. Nama Sochin juga diambil

dari kuda-kuda kata ini. Walau-pun gerakannya tidak panjang, Sochin juga termasuk kata Shoto-kan dengan tingkat kesulitan

tinggi.

Page 23: The Way of Shotokan Karate

Nijushiho Berarti 24 langkah. Nama asli-nya adalah Niseishi dan milik Shotokan saat ini hampir mirip dengan milik Shito-ryu. Meng-

gambarkan kekuatan air yang kadang kuat kadang lemah.

Unsu Berarti tangan bagai menyibak awan diangkasa. Nama aslinya adalah Hakko dan kata ini juga sangat tua. Versi Shotokan lebih pendek daripada Shito-ryu yang memegang versi asli kata ini. Unsu adalah salah satu kata Shotokan dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi.

Meikyo Berarti cermin yang jernih atau cermin yang terang. Nama ini diambil dari gerakan awalnya. Nama aslinya adalah Rohai

yang diduga berasal dari salah satu Rohai Itosu. Kata ini sangat

jarang muncul di turnamen. Wankan Artinya mahkota raja. Tidak

jelas mengapa diberikan nama ini. Wankan adalah kata Shoto-kan yang paling pendek.

Jiin Berarti halaman kuil pengam-punan, kebaikan hati. Sama seperti Jion dan Jitte, kata ini

mempunyai gerakan awal yang sama. Tampak pengaruh Bud-hisme yang kuat dalam kata ini.

Page 24: The Way of Shotokan Karate

Sama seperti Meikyo dan Wan-kan, kata ini juga sudah sangat

jarang yang melatihnya. Chinte Berarti tangan-tangan yang luar

biasa. Mengandung teknik-tek-nik Cina yang membedakan dengan seluruh kata Shotokan

yang lain. Gojushiho Berarti 54 langkah. Nama asli-

nya adalah Useishi yang dalam

bahasa Okinawa juga berarti 54. Kata ini sangat panjang dan bersama-sama Unsu dikelom-pokkan sebagai kata dengan

kesulitan yang tinggi. Kata ini juga mempunyai dua versi; Gojushiho-sho dan Gojushiho-dai dimana dua gerakan dan embu-sen kata ini nyaris tidak ada

perbedaan.

Page 25: The Way of Shotokan Karate

BAB II

TENTANG GICHIN FUNAKOSHI

Jika ada laki-laki yang dipercaya menempatkan karate

sampai dapat diterima di Jepang, dan pada posisi yang

dapat dinikmati oleh orang-orang Jepang, dialah Gichin

Funakoshi. Dilahirkan di Yamakawa Prefektur Shuri

Okinawa tanggal 10 November 1868, Funakoshi masih

memiliki garis darah keturunan keluarga samurai salah satu

bangsawan di Okinawa. Funakoshi terlahir bukan sebagai

anak yang sehat karena seringnya sakit-sakitan. Namun dari

ketekunannya mampu menjadikannya Shotokan sebagai

salah satu aliran karate yang tidak hanya empat besar di

Jepang namun terbesar di dunia.

Akibat kondisi fisiknya yang kurang baik, orang tuanya

membawanya pada Azato dan Itosu untuk belajar karate.

Selain dari mereka Funakoshi juga menerima pelajaran dari

Arakaki Seisho (yang dipercaya menemukan kata unsu) dan

Sokon Matsumura yang merupakan tokoh sentral dari tidak

Page 26: The Way of Shotokan Karate

hanya 4 besar aliran karate di Jepang namun juga aliran

karate lain.

Funakoshi diberikan kepercayaan oleh para tokoh bela diri

di Okinawa membawa karate ke Jepang. Sekitar tahun 1916

demonstrasi pertama karate di luar Okinawa dilangsung-

kan. Butokuden yang saat itu adalah pusat seni bela diri dan

olahraga Jepang masa itu dipilih sebagai tempat untuk

melakukan demonstrasi. Namun sayang sekali demonstrasi

itu tidak berlangsung sukses, hal itu karena kebanyakan

orang Jepang tidak tertarik dengan bela diri tangan kosong.

Page 27: The Way of Shotokan Karate

Karena saat itu sudah ada Naginata (bela diri bersenjata

tongkat dengan pisau tajam diujungnya) dan kendo yang

merupakan penerus dari teknik samurai.

Walau demikian tawaran demonstrasi berikutnya datang

dari calon putra mahkota negeri Jepang yang berkunjung ke

Okinawa. Dan sekitar tahun 1922 awal musim panas

Funakoshi kembali melakukan demonstrasi di Tokyo atas

prakarsa Menteri Pendidikan Jepang. Demonstrasi ini ber-

jalan sukses, Jigaro Kano (salah satu pendiri Judo) sangat

terkesan dengan demonstrasi itu dan meminta Funakoshi

tinggal di Jepang. Sejak saat itu Funakoshi tinggal di Jepang.

Selama di Jepang Funakoshi tinggal di Suidobata, sebuah

asrama kecil di Tokyo. Siang hari Funakoshi bekerja sebagai

tukang kebun dan penjaga asrama. Untuk membayar

makanannya, Funakoshi membujuk koki di asrama itu dan

sebagai ganti diajarinya karate. Dan sejak saat itu banyak

bermunculan klub karate baik di sekolah maupun

universitas. Begitu antusiasnya orang-orang Jepang berlatih

karate, sampai-sampai sulit ditemukan tempat kosong

Page 28: The Way of Shotokan Karate

untuk berlatih. Tiap hari diisi dengan latihan karate di

hampir seluruh pelosok Jepang.

Di Jepang langkah modernisasi karate yang dilakukan

Gichin Funakoshi diantaranya tahun 1931 pengubahan

huruf kanji karate yang sebelumnya lebih bermakna Cina

kini dengan dialek Jepang berikut huruf kanjinya namun

dengan pengucapan yang sama. Untuk penegasan

pengubahan dialek dan penulisannya, dalam bukunya

Karate-do Kyohan yang terbit tahun 1936 Funakoshi

menggunakan perubahan ini. Selain itu juga pengubahan

dan penulisan nama-nama kata yang sebelumnya masih

menggunakan dialek Okinawa. Hal itu penting dilakukan

agar karate dapat diterima oleh budaya Jepang. Selama di

Jepang pula Funakoshi menulis buku-buku yang terkenal

sampai sekarang. Setelah Karate-do Kyohan adalah buku

Karate-do Nyumon yang diterbitkan tahun 1943.

Sekitar tahun 1936 (ada yang mengatakan tahun 1937, ada

pula yang 1939) dojo yang pertama berdiri di Meishojuku.

Murid-murid Funakoshi menganugerahkan nama Shotokan

pada papan nama perguruan sebagai penghormatan dan

Page 29: The Way of Shotokan Karate

penghargaan pada Funakoshi. Walau demikian, sebenarnya

Funakoshi tidak pernah memberikan nama apapun pada

alirannya. Namun sayangnya dojo ini hancur karena saat itu

Jepang dilanda serangan akibat Perang Dunia II. Setelah

perang tahun 1949 pengikut Funakoshi kembali bersatu, dan

mendirikan sebuah wadah yang bernama Asosiasi Karate

Jepang (Japan Karate Association) dengan Gichin Funakoshi

sebagai instruktur kepala.

Funakoshi sangat menekankan murid-muridnya agar

menguasai teknik-teknik dasar sebelum belajar tingkat

lanjut. Adalah keyakinan Funakoshi bahwa karate adalah

seni bela diri daripada olah raga. Bagi Funakoshi kata

adalah karate. Dalam bukunya Karate-do Kyohan Funakoshi

menyatakan, ’’Beberapa anak muda antusias pada karate percaya

bahwa karate hanya bisa dipelajari lewat instruktur di dojo.

Walaupun kebanyakan dari mereka adalah orang yang mahir

teknik, tetapi bukanlah karateka sejati. Sebuah nasihat bijak

berkata bahwa semua tempat dapat menjadi dojo, dan itu berarti

setiap orang yang ingin mengikuti jalan karate tidak boleh lupa

hal ini. Karate-do tidak hanya berlatih cara membela diri tapi juga

Page 30: The Way of Shotokan Karate

menguasai seni untuk menjadi bagian anggota masyarakat yang

baik dan jujur.’’

Hal ini juga yang mempertegas keyakinannya untuk

mencari kesempurnaan karakter dari berlatih karate

daripada sekedar memecahkan rekor atau prestasi. Gichin

Funakoshi meninggal pada tanggal 26 April 1957.

Page 31: The Way of Shotokan Karate

BAB III

KARATE-DO KYOHAN

3.1. KEHILANGAN SEIKAT RAMBUT

Kelahiranku dan Restorasi Meiji

terjadi pada tahun yang sama,

1868. Para pendahulu telah

melihat hari yang “bercahaya”

di Edo, ibukota Shogun yang

sebelumnya, yang di kemu-

dian hari dikenal dengan

Tokyo. Aku dilahirkan di dis-

trik Yamakawa-cho, di ibukota kerajaan di Shuri. Jika

orang-orang kesulitan dengan catatan resminya, dia

pastilah mengira aku dilahirkan di tahun ketiga Meiji

(1870), namun kenyataan sebenarnya kelahiran-ku

terjadi di tahun pertama pemerintahan Meiji, dan aku

harus memalsukan catatan resmi kelahiranku agar

diloloskan duduk mengikuti ujian sebuah sekolah

kedokteran di Tokyo.

Page 32: The Way of Shotokan Karate

Di masa itu ada sebuah peraturan hanya bagi mereka

yang lahir di tahun 1870 atau sesudahnya yang

diperbolehkan untuk mengikuti ujian. Karena itu aku

tidak memiliki pilihan lain kecuali memalsukan

catatan resmi, karena lebih mudah dilakukan. Aneh,

tidak pernah pendaftaran sampai seketat seperti hari

ini.

Setelah mengubah tanggal kelahiranku, aku memba-

yangkan duduk melakukan ujian dan selanjutnya

lulus, namun (tentu saja) aku masih belum masuk ke

sekolah kedokteran Tokyo.

Diantara berbagai perubahan yang dilakukan oleh

Pemerintahan Meiji yang baru selama 20 tahun

pertamanya adalah penghapusan rambut ikat, sebuah

gaya rambut kaum laki-laki yang sudah menjadi

bagian dari kehidupan tradisional Jepang yang bahkan

lebih lama dari ingatan siapapun. Di Okinawa, rambut

ikat tidak hanya simbol dari kedewasaan dan

kejantanan tapi juga keberanian itu sendiri. Sejak

adanya pengumuman resmi pelarangan rambut ikat di

Page 33: The Way of Shotokan Karate

seluruh negeri, protespun bermunculan dari seluruh

pelosok negeri tanpa kecuali. Aku merasa ada sebuah

garis sejarah yang begitu kuat seperti halnya di

Okinawa.

Disinilah mereka yang percaya bahwa takdir masa

depan Jepang dibutuhkan untuk mengadopsi nilai-

nilai barat, dengan mereka yang percaya pada pihak

yang sebaliknya selalu berselisih dalam segala

perubahan yang sudah ditetapkan pemerintah. Tidak

(terasa langsung di Okinawa), namun tampaknya hal

“gila” penghapusan rambut ikat itu menimbulkan

kegemparan orang-orang Okinawa. Umumnya, orang-

orang golongan shizoku (yang mempunyai hak khusus)

pasti dengan keras menentang, sementara penghapus-

an rambut ikat yang disebut sebagai penghapusan

pajak mendapat dukungan datang dari mereka yang

termasuk golongan heimin (orang biasa). Di kemudian

hari kelompok ini dikenal dengan Kaika-to (kelompok

pencerahan) yang menjadi pendahulu Ganko-to (baca:

“Kelompok Keras”).

Page 34: The Way of Shotokan Karate

Keluargaku selama generasinya turun temurun telah

bekerja pada seorang pejabat golongan bawah, dan

seluruh klan tanpa ragu dan sudah jelas menentang

penghapusan rambut ikat. Seperti sebuah tindakan

sangat dibenci oleh setiap anggota keluargaku,

sekalipun demikian aku tidak merasakan suatu

perubahan atau suatu hal yang lain. Akibat tradisi

seperti keluargaku, sekolah menolak murid-murid

yang masih bergaya tradisional. Dan demikianlah,

masa depan hidupku begitu dipengaruhi oleh sebuah

rambut ikat yang begitu merepotkan.

Umumnya, tentu saja, seperti halnya yang lain, aku

harus menyesuaikan, tapi sebelum kuceritakan

bagaimana kisahnya, aku harus kembali ke beberapa

tahun sebelumnya. Ayahku Gisu adalah pejabat kecil,

dan aku hanyalah satu-satunya anaknya. Lahir

prematur, aku hanyalah bayi yang sakit-sakitan, dan

karena itu baik ayah dan keluarga orang tuaku sadar

aku tidak akan berumur panjang. Mereka memberikan

perhatian lebih padaku. Kenyataannya aku dimanja-

kan dan disayangi oleh kakek dan nenekku. Benar,

Page 35: The Way of Shotokan Karate

tidak lama setelah kelahiranku aku kemudian tinggal

bersama orang tua ibu, dan disana kakekku mengajar-

kan empat dan lima ajaran klasik tradisi Konfusianis –

pelajaran penting bagi anak dari golongan Shizoku.

Selama tinggal di rumah kakekku, aku mulai masuk

sekolah dasar, dan setelah suatu waktu aku menjadi

teman dekat salah seorang teman sekelasku. Dan akan

menjadi suatu takdir yang akan mempengaruhi

seluruh hidupku (dan jauh lebih mendasar daripada

rambut ikat) dimana teman sekelasku adalah anak

dari Yasutsune Azato, seorang laki-laki yang paling

menakjubkan di Okinawa sebagai ahli seni karate

terbesar.

Master Azato termasuk salah satu dari dua golongan

atas keluarga Shizoku Okinawa : Udon, yang meru-

pakan golongan tertinggi dan sama dengan daimyo

(gubernur) jika di luar Okinawa; Tonochi yang

merupakan keturunan dari pemimpin suatu kota atau

desa. Azato termasuk golongan ini, keluarganya

menempati posisi yang dihormati di desanya yang

Page 36: The Way of Shotokan Karate

terletak antara Naha dan Shuri. Begitu besar pengaruh

mereka hingga bahkan gubernur Okinawa tidak

menganggap mereka sebagai pengikutnya melainkan

sebagai teman dekat yang mempunyai derajat yang

sama.

Master Azato tidak hanya menguasai seluruh seni

karate seluruh Okinawa tapi juga mahir menunggang

kuda, seni pedang Jepang (kendo) dan juga memanah.

Lebih dari itu dia juga seorang terpelajar yang pandai.

Adalah keberuntunganku berhadapan dengannya dan

kemudian menerima pelajaran karateku yang pertama

lewat tangannya yang luar biasa.

Pada masa itu berlatih karate dilarang oleh peme-

rintah, karena itu latihan dilakukan di tempat yang

rahasia, dan murid-murid dilarang keras oleh gurunya

untuk berkata-kata pada siapapun bahwa mereka

sedang berlatih karate. Aku akan membahas ini lebih

lanjut berikutnya; untuk sekarang cukup diketahui

bahwa latihan karate hanya bisa dilakukan malam hari

dan rahasia.

Page 37: The Way of Shotokan Karate

Rumah Azato jaraknya cukup jauh dari rumah

kakekku, tempat dimana aku tinggal. Namun sejak

antusiasku pada seni ini, tidak pernah kurasakan

berjalan di malam hari terasa begitu lama. Setelah

beberapa tahun berlatih kurasakan kesehatanku

meningkat dengan pesat, dan sejak itu aku tidak lagi

menjadi anak yang sakit-sakitan seperti sebelumnya.

Aku menikmati karate, namun –lebih dari itu– aku

merasa berhutang budi pada seni bela diri ini karena

meningkatkan kesehatanku, dan sejak saat itu aku

memutuskan untuk lebih sungguh-sungguh menjadi-

kan karate-do sebagai sebuah jalan hidup.

Namun demikian, tidak terlintas pikiran dalam

benakku bahwa karate mungkin akan menjadi sebuah

pekerjaan, dan sejak kontroversi pelarangan rambut

ikat telah menjadikan pekerjaan di bidang kedokteran

menjadi pilihan yang mustahil bagiku. Sekarang aku

mulai memutuskan jalan yang lain. Sejak kupelajari

ajaran klasik Cina dari kakekku ketika masih kecil,

kuputuskan menggunakan pengetahuan itu untuk

menjadi seorang guru. Selanjutnya, Aku mengikuti

Page 38: The Way of Shotokan Karate

ujian dan diberikan posisi sebagai asisten guru di

sebuah sekolah dasar. Pengalaman pertamaku menga-

jar di kelas terjadi tahun 1888, ketika aku berumur 21

tahun.

Tapi rambut ikat masih saja dipermasalahkan,

sebelum aku dijinkan menjalankan tugasku sebagai

guru aku sudah harus keluar meninggalkannya. Hal

ini bagiku sebenarnya masuk akal. Jepang saat itu

masih menjadi negara yang penuh gejolak; perubahan

besar terjadi dimana-mana dalam berbagai segi

kehidupan. Aku merasa sebagai seorang guru

berkewajiban untuk menolong generasi yang lebih

muda, yang suatu hari akan menentukan takdir

negara kita, untuk menjembatani jarak yang lebar

yang memisahkan antara Jepang yang lama dan yang

baru. Aku harus bisa menjadi orang yang “mengu-

mumkan” rambut ikat tradisional kita sudah menjadi

bagian dari masa lalu. Namun demikian, aku tergetar

saat berpikir tentang apa yang akan dikatakan anggota

keluargaku yang lebih tua.

Page 39: The Way of Shotokan Karate

Pada masa itu, para guru mengenakan seragam resmi

(bukan seperti yang dipakai oleh murid-murid

sebelum akhir masa perang), sebuah jaket berwarna

gelap yang dikancingkan sampai dengan leher,

kancing diberi hiasan timbul sebuah bunga ceri mekar.

Tidak lama setelah memakai seragam ini, aku

memotong rambut ikatku, selanjutnya aku mengun-

jungi orang tuaku untuk memberitahukan bahwa aku

sudah dipekerjakan sebagai asisten guru di sebuah

sekolah dasar.

Ayahku benar-benar tidak dapat mempercayai penge-

lihatannya,” Apa yang telah kau lakukan pada dirimu

?” dia benar-benar marah. “Kau anak seorang samurai

!”. Ibuku bahkan lebih marah daripada ayah, menolak

untuk bicara denganku. Dia pergi meninggalkan

rumah lewat pintu belakang, dan pergi menuju rumah

orang tuanya. Aku membayangkan semua keributan

ini pasti menimpa anak-anak muda saat ini sebagai

sebuah tindakan yang paling konyol.

Page 40: The Way of Shotokan Karate

Dalam beberapa hal, walaupun orang tuaku sangat

keberatan, aku memasuki pekerjaan yang telah kuikuti

untuk tiga puluh tahun berikutnya. Tapi aku tidak

ingin melupakan cinta sejatiku. Aku mengajar di

sekolah selama siang hari, kemudian sejak karate

masih dilarang, dengan sembunyi-sembunyi di malam

hari menuju ke rumah Master Azato dengan mem-

bawa sebuah lentera yang redup dimana saat itu tidak

ada bulan. Setiap malam aku akan berada kembali di

rumah sebelum fajar. Para tetangga mengira-ngira

darimana saja aku dan apa saja yang telah kulakukan.

Banyak yang mengira jawaban yang mungkin dari

pertanyaan itu adalah rumah bordil.

Kenyataannya tentu saja berbeda. Setiap malam di

belakang rumah Azato sambil sang guru mengamati,

aku berlatih sebuah kata (bentuk resmi) berulang kali,

berminggu-minggu, kadang kala sampai berbulan-

bulan sampai aku berhasil menguasainya sampai

memuaskan guruku. Mengulang satu kata dengan

berulang kali sangatlah melelahkan, bahkan kerap kali

menjengkelkan dan kadang kala terkesan merendah-

Page 41: The Way of Shotokan Karate

kan. Berulang kali aku harus menjilat debu di lantai

dojo atau di belakang rumah Azato. Namun latihan

begitu ketat, dan tidak pernah aku dijinkan untuk

berpindah ke kata yang lain hingga Azato percaya aku

sudah benar-benar paham dengan apa yang telah

kukerjakan.

Meskipun sudah tergolong berumur, dia selalu duduk

tegak kokoh di beranda ketika kami sedang berlatih,

mengenakan sebuah hakama, dengan sebuah lentera

redup di sampingnya. Sangat sering, aku tidak mampu

melanjutkan (latihan) bahkan sampai lentera itu mati.

Sesudah mengerjakan suatu kata, aku akan menunggu

keputusan langsungnya. Keputusannya selalu saja

singkat. Jika dia masih tidak puas dengan teknikku,

dia akan berkata,”kerjakan lagi”, atau ,”sedikit lagi!”.

Sedikit lagi, sedikit lagi, begitu seringnya sedikit lagi,

sampai keringatku bercucuran dan aku hampir roboh;

Mengerjakan kata berulang kali adalah cara Azato

untuk memberitahuku bahwa masih ada yang harus

dipelajari, untuk dikuasai. Kemudian jika dia menge-

Page 42: The Way of Shotokan Karate

tahui apa yang aku kerjakan sudah memuaskan,

keputusannya hanya ditunjukkan dengan satu kata,

“bagus !”. Satu kata itu adalah pujian yang paling

tinggi darinya. Sampai aku bisa mendengar kata-kata

itu terucap darinya berulang kali, namun begitu aku

tidak pernah berani memintanya untuk mulai meng-

ajariku kata yang baru.

Namun setelah waktu latihan selesai, biasanya

beberapa saat sebelum fajar, dia akan menjadi seorang

guru yang berbeda. Dia akan menjelaskan esensi dari

karate, atau mirip dengan orang tua yang ramah,

bertanya tentang hidupku sebagai seorang guru di

sekolah. Ketika malam hampir berakhir, aku akan

mengambil lenteraku dan pulang ke rumah, per-

jalananku berakhir bersamaan dengan pandangan

curiga dari para tetangga.

Tidak bisa kuabaikan keadaanku saat ini sebagai

teman baik dari Azato, seorang laki-laki yang juga

dilahirkan dalam sebuah keluarga shizoku di Okinawa

dan juga dikenal pandai dalam karate itu sendiri.

Page 43: The Way of Shotokan Karate

Kadang-kadang aku berlatih di bawah pengawasan

dua master, Azato dan Itosu pada waktu yang

bersamaan. Dalam keadaan ini, aku akan lebih

mendengarkan pada diskusi keduanya, dengan begitu

akan kupelajari hal yang besar tentang seni ini dalam

aspek spiritual yang sama dengan aspek fisiknya.

Jika bukan karena dua master besar ini, aku akan

menjadi orang sangat berbeda hari ini. Sangat tidak

mungkin bagiku untuk menunjukkan rasa pengharga-

anku untuk mereka yang telah mengarahkanku pada

jalan yang menjadi sumber kebahagiaanku sepanjang

hidup selama delapan dekade.

Page 44: The Way of Shotokan Karate

3.2. SYARAT-SYARAT BAGI YANG BERLATIH

Kata "bu" dari budo (seni bela diri) ditulis dengan

huruf Cina bermakna "menghentikan" dalam sebuah

huruf yang menyerupai dua kapak menyilang yang

berarti untuk menghentikan pertentangan. Sejak

karate sebagai suatu budo, arti ini harus dipertimbang-

kan dalam-dalam, dan tinju seharusnya tidak boleh

dipakai sembarangan.

Masa muda adalah kekuatan dan keadilan. Kekuatan

dirangsang oleh bu (seni bela diri) dan itu bisa menjadi

hal yang baik atau kadang-kadang perbuatan jahat.

Dengan demikian jika karate-do diikuti dengan benar,

maka akan membentuk watak seseorang dan dia akan

membela keadilan. Tetapi jika digunakan untuk tujuan

jahat, maka hal itu akan merugikan masyarakat dan

akan bertentangan dengan kemanusiaan.

Kekerasan digunakan sebagai sebuah pilihan akhir

dimana rasa kemanusiaan dan keadilan sudah tidak

mampu mengatasi, tetapi jika tinju digunakan samba-

rangan tanpa pertimbangan, maka yang orang yang

Page 45: The Way of Shotokan Karate

menggunakannya akan kehilangan rasa hormat dari

orang lain dan memberikan keburukan baginya, ketika

dia melakukan tindakan seperti orang barbar.

Kebanyakan pemuda yang bersemangat tinggi pada

umumnya cenderung berbicara dan bertindak dengan

tergesa-gesa, karena itu kehati-hatian sangatlah

penting.

Seseorang harus memiliki kehormatan tanpa kekejam-

an. Seni bela diri harus memberikan seseorang akan

hal ini. Seni bela diri akan mencegah seseorang untuk

bertindak ceroboh yang tidak ada gunanya dan mem-

beri kesulitan bagi orang lain. Ahli bela diri dan orang

suci bisa kelihatan seperti orang dungu, jika mereka

dengan congkaknya menyatakan kepada dunia bahwa

mereka adalah murid pemula atau ahli bela diri.

Bertahan pada hal ini berarti kemunduran; mereka

yang berpikir telah mempelajari segalanya dan

menjadi pembual yang sombong memamerkan jasa

mereka setelah belajar gerakan beberapa kata dan

Page 46: The Way of Shotokan Karate

mendapatkan ketangkasan pada gerakan fisik mereka,

adalah tidak pantas untuk disebut sebagai orang yang

serius berlatih dalam seni bela diri.

Dikatakan bahwa seekor cacingpun setiap inci panjang

tubuhnya mempunyai nyawa yang hampir satu inci

pula. Dengan demikian seseorang yang terus berlatih

untuk mendapatkan kemampuan dalam karate, harus

lebih berhati-hati dengan tiap perkataannya. Sekali

lagi, dikatakan bahwa semakin tinggi pohon, semakin

kuat anginnya. Tapi apakah setiap pohon mampu

bertahan melawan angin? sama dengan orang yang

berlatih karate-do, harus menimbang sikap yang baik

dan penuh kerendahan sebagai kebajikan yang

tertinggi.

Mencius berkata, “Ketika langit (baca : Tuhan) ingin

memberikan hal yang baik kepada seseorang, per-

tama-tama dia akan memberi sakit kepada hati orang

itu; menyebabkan dia menggunakan tulang dan

ototnya; membuat badannya menderita kelaparan;

memberi kemiskinan dan mempermalukan dia. Dalam

Page 47: The Way of Shotokan Karate

hal ini akan membangkitkan kemauannya, memper-

kuat sikapnya dan selanjutnya dia mampu menyele-

saikan apa yang sebelumnya dia tidak sanggup

menyelesaikannya”.

Seorang laki-laki harus kesatria dan tidak pernah

mengancam; mengalahkan tapi tidak pernah meren-

dahkan; tidak ada tanda-tanda ketidakpantasan di

tempat tinggalnya; tidak pernah ada keterpaksaan

dalam kebiasaanya; sekalipun satu kesalahan kecil saja

ditegur, tidak akan menuduh siapapun. Demikianlah

kekuatan kemauannya.

Seorang laki-laki harus berpikiran luas dan berke-

inginan kuat. Tanggung-jawabnya akan berat, dan

jalan yang ditempuhnya amatlah panjang. Jadikan

kebajikan sebagai tugas sepanjang hidup. Ini benar-

benar sebuah tugas yang sangat penting. Ini adalah

usaha sepanjang hidup, benar-benar perjalanan yang

sangat panjang.

Page 48: The Way of Shotokan Karate

Orang biasa akan menarik pedangnya ketika situasi

yang menggelikan dan akan bertarung dengan mem-

pertaruhkan hidupnya. Seorang yang luar biasa tidak

akan terganggu sekalipun tiba-tiba berhadapan

dengan kejadian genting yang tidak terduga, juga

tidak akan marah ketika menemukan dirinya dalam

situasi yang tidak dikehendakinya, dan ini karena dia

mempunyai kebesaran hati dan cita-citanya yang

tinggi.

Delapan pokok yang penting dalam karate :

- Pikiran sama dengan bumi dan langit.

- Irama peredaran tubuh adalah mirip dengan bulan

dan matahari.

- Aturan termasuk kekerasan dan kelembutan.

- Bertindak sesuai dengan perubahan dan waktu.

- Teknik akan keluar ketika masalah sudah

ditemukan.

- “Ma” membutuhkan, memajukan dan memundur-

kan, mempertemukan dan memisahkan.

- Mata tetap waspada sekalipun pandangan berubah.

- Telinga mendengarkan dengan baik ke semua arah.

Page 49: The Way of Shotokan Karate

Karena itu Aku berkata : “Kenali dirimu dan lawanmu;

dalam seratus pertarungan kau tidak akan dalam bahaya.

Ketika kau abaikan lawanmu tapi kau kenali dirimu,

kesempatanmu untuk menang atau kalah adalah sama saja.

Jika kau abaikan baik dirimu dan lawanmu, maka kau

membahayakan dirimu dalam setiap pertarungan. Untuk

mendapat seratus kemenangan dalam seratus pertarungan

bukanlah kemampuan yang tertinggi. Untuk menaklukkan

lawan tanpa bertarung adalah kemampuan yang tertinggi”.

Ketika burung pemangsa akan menyerang, mereka

terbang rendah tanpa melebarkan sayapnya. Ketika

hewan buas hendak menyerang, mereka merunduk

rendah dengan telinganya dekat kekepalanya. Serupa,

dengan orang bijak ketika akan bertindak, dia selalu

terlihat lemah.

Lin Hung Nien berkata, sebuah batu tanpa air di

dalamnya adalah keras. Sebuah batu tanpa air di

dalamnya adalah padat. Jika sebuah tubuh keras

dalamnya (hatinya) dan padat (kaku) luarnya, bagai-

mana bisa ditembus ? Jika sesuatu telah membuka,

Page 50: The Way of Shotokan Karate

selanjutnya sesuatu itu akan diisi. Jika sesuatu memi-

liki setitik rongga, maka setitik air akan mengisinya.

3.3. PERJUMPAAN DENGAN ULAR BERBISA

Di Okinawa, ada seekor ular ganas yang sangat

beracun yang bernama habu. Syukurlah, gigitannya

tidak lagi menjadi hal yang menakutkan daripada

ketika masa mudaku, jika seseorang sampai digigit

pada tangan atau kakinya, satu-satunya jalan untuk

menyelamatkan hidupnya adalah segera memotong-

nya. Sekarang sebuah obat penawarnya yang mujarab

tengah dikembangkan, tetapi harus langsung disuntik-

kan sesegera mungkin setelah gigitan. Habu dari

Okinawa, yang panjangnya enam sampai tujuh kaki

tetaplah seekor binatang buas yang harus dihindari.

Kembali ke masa lampau sebelum dikembangkannya

obat penawar, pada suatu malam aku pergi ke rumah

Master Azato untuk waktunya berlatih karate. Ini

terjadi beberapa tahun sesudah pernikahanku, dan

aku meminta anakku yang tertua yang masih di

Page 51: The Way of Shotokan Karate

sekolah dasar menemaniku dengan membawa lentera

kecil yang akan menerangi jalan yang akan kami lalui

di pulau ini pada malam hari.

Ketika kami berjalan melewati Sakashita, antara Naha

dan Shuri, kami melewati sebuah kuil tua yang

dibangun untuk menghormati dewa kuno dan untuk

menyembah Dewi Pengampun, yang dalam Jepang

moderen disebut Kannon. Baru saja kami melewati

kuil, aku melihat samar-samar di tengah jalan sebuah

benda yang pada mulanya aku kira kotoran kuda.

Tetapi seiring kami berjalan semakin dekat aku sadar

bahwa apa yang telah kulihat dalah sesuatu yang

hidup, dan tidak sekedar hidup melainkan juga

bersiap menyerang, menatap marah pada dua

pengganggu.

Ketika anakku melihat dua mata yang tajam berkilau

dimalam hari, dan lalu diterangi cahaya lentera, lidah

merah yang tajam menjulur keluar, dia menjerit

ketakutan dan melompat kearahku sambil memegang

kakiku dalam ketakutannya. Dengan cepat kusembu-

Page 52: The Way of Shotokan Karate

nyikan dia di belakangku, kuambil lentera darinya

dan mulai mengayunkannya pelan-pelan dari kanan

ke kiri, menerangi mataku untuk mengawasi ular itu.

Aku tidak mampu, tentu saja, mengatakan berapa

lama kejadian ini berlangsung, tetapi akhirnya ular itu

tetap menatapku, berjalan menyusur ke kegelapan

kebun kentang terdekat. Itulah saat satu-satunya aku

dapat melihat betapa besar dan panjangnya habu itu.

Sebelumnya aku sudah sering melihat habu, tapi tidak

hingga malam itu kulihat satu ekor yang bersiap

menyerang. Sebagaimana yang diketahui orang-orang

Okinawa tentang sifat ular yang berbahaya ini, aku

sangat ragu jika ular ini akan menyingkir dengan

begitu tenang, begitu tunduk tanpa membuat suatu

serangan. Dengan sangat takut kupegang lentera di

depanku saat aku berjalan mengendap-endap ke

kebun mencari ular tadi.

Kemudian aku menemukan dua mata yang bersinar

terkena cahaya lentera dan aku sadar ternyata habu

Page 53: The Way of Shotokan Karate

tadi memang benar sedang menungguku. Dia sudah

menyiapkan jebakannya dan sekarang menungguku

untuk memasukinya. Untunglah begitu melihatku

dengan lentera yang mengayun ini, ular itu

membatalkan serangannya dan saat ini menyingkir

demi kebaikannya ke dalam kegelapan kebun itu.

Tampaknya aku telah mendapat pelajaran yang

penting dari ular itu. Ketika kami melanjutkan

perjalanan menuju rumah Master Azato, aku berkata

pada anakku, “Kita semua tahu bahayanya habu.

Tetapi saat ini hal itu tidak membahayakan. Habu yang

telah kita jumpai tampaknya memahami taktik dari

karate, dan ketika dia menyusur ke dalam kebun itu

bukanlah melarikan diri dari kita. Dia sedang mem-

persiapkan sebuah serangan. Habu itu mengerti dengan

sangat baik semangat karate”.

Page 54: The Way of Shotokan Karate

BAB IV

KARATE-DO NYUMON

4.1. KISAH PEMABUK DAN PEDAGANG TUA

Di masa lalu adalah wajar jika

sejarah dihiasi dengan kisah

tentang bela diri, meskipun

akhirnya cerita-cerita itu ha-

nya berakhir menjadi sebuah

mitos belaka. Sebagai contoh-

nya, sebuah kejadian yang ter-

jadi di Cina di masa lampau.

Di sebuah festival yang dipadati banyak pengunjung,

saat itu orang-orang sibuk memadati tenda-tenda

pedagang yang berwarna-warni. Mereka asyik melihat

barang-barang yang tengah dijajakan pedagang seperti

makanan, pakaian, mainan, perhiasan dan kembang

api. Tiba-tiba sebuah teriakan memecah di tengah

keramaian.

Page 55: The Way of Shotokan Karate

“Perkelahian! Ada orang akan berkelahi!”

“Tidak! pasti pertarungan antara orang-orang kenpo

itu lagi.”

Orang-orang segera berkumpul demi menyaksikan

perkelahian itu. Anak-anak muda yang penasaran

menerobos kerumunan agar bisa melihat keributan itu

dari dekat. Sebaliknya, wanita dan anak-anak yang

menangis ketakutan berusaha menjauh dari tempat

itu.

Di tengah kerumunan berdiri satu sosok menakutkan,

jenggotnya yang tebal dan hitam berkilauan diterpa

sinar matahari. Wajahnya memancarkan amarah

karena pengaruh minuman arak. Master Yang yang

terkenal rupanya sedang mabuk dan membuat ma-

salah lagi. Dengan amarah yang mendidih, dia tengah

mendorong dan menyudutkan seorang pedagang tua

berambut putih yang sedang menjual bawang.

Khawatir dengan nyawa orang tua itu, orang-orang

menunggu dan berharap agar ada seseorang untuk

Page 56: The Way of Shotokan Karate

maju dan menyelamatkannya. Namun semua orang

sudah tahu jika Master Yang adalah pemarah yang

menutup telinga untuk alasan apapun. Karena itulah

tidak ada seorangpun yang berani maju mendekat.

Sambil menonton mereka hanya bisa berbisik-bisik

satu sama lain. Sebagian dari mereka merasa kasihan

dengan orang tua itu, sementara yang lain penasaran

apa yang bakal terjadi pada pria tua malang itu.

Namun anehnya pedagang tua itu tampak benar-

benar tenang.

Dengan sedikit terhuyung-huyung dan terbatuk-batuk

karena sakit asmanya, dia menyeringai dan berkata,

”jika kau merobohkanku sekarang, hal itu tak akan

menyelesaikan apapun. Jika bertarung adalah yang

kau inginkan, aku juga tak keberatan. Kau benar-benar

bermulut besar, namun kalau banyak omong saja

siapapun juga pandai. Nah, bisakah kita mulai?”.

Pria tua itu terbatuk-batuk sambil meregangkan

badannya, menunjukkan kesiapannya menghadapi

Page 57: The Way of Shotokan Karate

lawan yang bertubuh jauh lebih besar. Para penonton

hanya terpaku menyaksikannya.

Mereka berbisik-bisik,

“orang tua itu pasti sudah tidak waras! Tidakkah dia

tahu tengah menghadapi Master Yang?”.

“Kelihatannya tidak begitu, apalagi dia sudah dengan

jelas mengatakan apa yang akan dilakukannya.”

“Orang tua itu pastilah orang asing dari sekitar sini,

setidaknya aku belum pernah melihatnya sebelum

ini.”

Disamping reputasi Master Yang memang buruk, dia

sudah terkenal sebagai ahli kenpo yang juga mahir

senjata tongkat dan tombak. Dia mempunyai lebih

dari seratus murid, dan menjadi tokoh utama dalam

banyak kisah yang menceritakan kekuatannya. Be-

berapa diantaranya mengisahkan bahwa Master Yang

pernah merobohkan seekor kuda yang tengah berlari

kencang dengan memberikan pukulan pada hidung-

nya.

Page 58: The Way of Shotokan Karate

Sementara yang lain menceritakan Master Yang mam-

pu menebas dan mengayunkan sebilah pedang besar

yang beratnya tidak kurang dari 20 kilogram seolah

tidak memegang apapun. Dia juga mampu meremuk-

kan 10 tumpuk genting dengan tangan kosong.

Kesombongan dan kegemarannya minum-minum

membuat namanya menjadi buruk, namun kekuatan-

nya yang besar serta kemahirannya dalam pertarung-

an membuatnya ditakuti sekaligus dihormati di

seluruh kota.

Orang-orang yang memadati tempat itu benar-benar

terkesan dengan reaksi berani dari pedagang bawang

yang sudah tua itu. Master Yang sendiri merasa

terkejut, namun sesaat kemudian kemarahan sudah

menguasainya lagi.

“Dasar orang tua bodoh! sebelumnya aku berpikir

akan mengampuni nyawamu, namun pikiranku telah

berubah. Persiapkan dirimu. Aku, Master Yang akan

mengirimkan mayatmu ke kuburan!”.

Page 59: The Way of Shotokan Karate

Dengan sebuah kiai (teriakan) yang sangat keras, dia

segera melayangkan tinjunya ke kepala orang tua itu.

Tenaga dan kemarahan serangannya mirip dengan

amukan Raja Deva yang bertubuh raksasa. Orang-

orang yang berkerumun hanya bisa menahan napas,

menunggu hancurnya tulang kepala orang tua itu.

Dengan gerakan yang perlahan, orang tua itu meng-

hindar ke kiri, berdiri dengan tenang dan sedikit

menyeringai seolah tidak terjadi apa-apa.

Master Yang kehilangan keseimbangan karena serang-

annya sendiri dan jatuh terjerembab dengan wajahnya

mendarat lebih dulu di tanah. Dia segera bangkit

dengan kebingungan dan wajah yang menakutkan.

Dia kembali melayangkan tinju yang mampu meng-

hancurkan rumah dengan perut lawan sebagai sasa-

rannya.

Beberapa penonton menutupi matanya, hingga tidak

mampu melihat pemandangan di depannya. Namun

wajah pria tua itu seakan tak peduli seiring diterima-

Page 60: The Way of Shotokan Karate

nya pukulan yang penuh tenaga itu. Ini terlihat dari

mimik mukanya yang sama sekali tidak berubah

walaupun sejenak. Dia tetap berdiri di tempatnya,

tetap menyeringai dan tersenyum lebar di mulutnya.

Master Yang ketakutan melihat tinjunya masih

tertahan di perut lawannya. Akibat tidak mampu

memukul lebih dalam atau menarik kembali tinjunya,

dia terlihat mirip dengan seekor lalat yang terperang-

kap di perekat. Mengepakkan sayapnya demi ber-

usaha melepaskan diri. Penonton yang menyaksikan

hal itu hanya memandang dengan kagum. Mereka

tidak pernah melihat kejadian seperti ini sebelumnya.

Jika dilihat lebih dekat, terlihatlah tinju Master Yang

yang besar itu dijepit dalam lipatan perut orang tua

itu. Master Yang dengan kekuatan yang tidak terka-

lahkan, berdiri dengan keringat bercucuran. Tinjunya

ditangkap, wajahnya berubah merah dibakar amarah,

dia berusaha melawan dan meronta-ronta demi

mencari kesempatan. Sampai akhirnya, Master Yang si

pemabuk yang terkenal angkuh berhasil ditundukkan

Page 61: The Way of Shotokan Karate

dalam rasa malunya. Terjatuh pada kedua lututnya,

dia bersujud berkali-kali sambil berkata, ”Master! aku

telah gagal menyadari ada seorang ahli seperti Anda,

hingga aku bertindak begitu bodoh. Mulai sekarang

aku akan lebih berhati-hati dan menghormati orang

lain. Aku sungguh-sungguh memohon ampun

padamu”.

Melihat lawannya penuh penyesalan, orang tua itu

berkata, ”baiklah jika kau sudah benar-benar menger-

ti. Kau sudah terkenal sebagai seorang yang sombong

dan pembual. Jangan lupa dunia ini begitu luas.

Berhati-hatilah dengan dirimu, berhati-hati dalam

ucapan dan tindakanmu”.

Orang tua itu meregangkan kembali otot-otot perut-

nya dan Master Yang terduduk di tanah dengan

beratnya. Orang tua itu lalu melangkah dan mengam-

bil karungnya yang berisi bawah putih. Sambil

terbatuk-batuk diapun pergi meninggalkan lingkaran

penonton yang mengerumuninya.

Page 62: The Way of Shotokan Karate

4.2. MENYADARI SEBUAH OMONG KOSONG

Aku merasa perlu disini sejak awal, untuk memberi-

kan sebuah ulasan singkat tentang apakah sesuatu itu

adalah karate atau bukan, sejak begitu banyaknya

tulisan omong kosong tentang hal ini sekarang.

Kemudian, bersamaan ketika kesempatan itu datang

aku bermaksud memperjelas apakah karate itu pada

kenyataannya. Namun sebelum menjelaskan lebih

jauh, aku hanya dibenarkan untuk menyingkirkan

beberapa konsep keliru yang terus mengaburkan

esensi dari seni ini.

Suatu ketika, sebagai contoh, aku mendengar seseo-

rang yang berprofesi sebagai seorang ahli (bela diri)

bercerita pada pendengarnya yang terkesima, ”Dalam

karate kita memiliki kata yang disebut nukite. Hanya

menggunakan lima jari dari satu tangan, seseorang

dapat menembus ke dalam tulang rusuk lawannya,

memegang tulang-tulangnya dan menarik keluar dari

tubuhnya. Ini, tentu saja, ”orang yang disebut sang

ahli melanjutkan”, sebuah kata yang amat sulit untuk

dikuasai. Seseorang harus berlatih untuk itu dengan

Page 63: The Way of Shotokan Karate

menusukkan jari-jari ke dalam satu bejana penuh

berisi kacang setiap hari selama berjam-jam, hingga

ratusan kali. Awalnya jari-jari akan terluka karena

latihan, dan tangan akan berdarah. Kemudian, lama-

lama darah membeku, bentuk jari-jari akan berubah

aneh.”

“Umumnya rasa sakit akan menghilang. Kemudian

kacang di dalam bejana harus diganti dengan pasir.

Untuk pasir tentu saja lebih keras dan jari-jari akan

menghadapi tantangan yang lebih keras. Meski begitu,

sejalan dengan proses latihan, jari-jari biasanya

menembus pasir dan mencapai dasar bejana. Setelah

berlatih dengan pasir, latihan dilanjutkan dengan batu

kerikil. Sampai disini setelah latihan yang lama baru-

lah keberhasilan dicapai. Akhirnya berlatih dengan

butir logam. Pada akhirnya dengan latihan yang lama

dan keras, jari-jari akan menjadi cukup kuat tidak

hanya untuk menghancurkan papan kayu yang tebal

namun juga menghancurkan sebuah batu keras atau

meremukkan tubuh seekor kuda”.

Page 64: The Way of Shotokan Karate

Tidak diragukan lagi kebanyakan dari mereka men-

dengar akan hal ini menjadi percaya begitu saja.

Banyak dari mereka yang berlatih karate masih saja

memilih, untuk satu atau alasan yang lain, percaya

pada mitos semacam itu. Sebagai contoh, seseorang

yang tidak begitu paham dengan seni karate berkata

pada seorang yang mahir, ”aku tahu kau berlatih

karate. Tunjukkan padaku, apakah kau benar-benar

bisa menghancurkan sebuah batu besar dengan jari-

jarimu? Bisakah kau benar-benar melubangi perut

orang dengan tanganmu ?”.

Haruskah sang ahli menjawab apakah salah satu atau

kedua-duanya dari aksi itu benar-benar mungkin, dia

akan mengatakan tidak lebih dari kebenaran yang

sesungguhnya. Namun ada beberapa ahli atau orang

yang menganggap dirinya ahli mengangkat bahu

dengan entengnya dan berkata, ”Yah, kadang-kadang

aku bisa melakukannya”. Hasilnya, orang awam akan

salah paham dan benar-benar terpengaruh tentang

seni karate. Mereka akan penasaran antara takut dan

Page 65: The Way of Shotokan Karate

takjub, mungkinkah si ahli telah mendapatkan keku-

atan diluar batas manusia biasa.

Kenyataannya para antusias karate yang begitu berle-

bihan dan benar-benar menyesatkan tentang seni bela

diri ini adalah orang yang pandai bicara, cukup benar,

dan dia akan benar-benar berhasil memberi takjub

pendengarnya dan meyakinkan mereka bahwa karate

adalah sesuatu yang menakutkan. Namun apa yang

dikatakannya adalah benar-benar keliru, dan lebih

jauh dia mengetahuinya. Sebagaimana mengapa dia

melakukannya –terdengar menarik.

Barangkali, jauh di masa lampau, ada seorang ahli

karate yang mampu melakukan aksi menakjubkan

seperti itu. Tentang hal itu aku tidak mampu

membuktikan, namun aku dapat meyakinkan para

pembaca sejauh pengetahuanku. Tidak ada manusia

yang pernah hidup dimana, sekalipun dia mungkin

saja telah berlatih dan terlatih, mampu melampaui

kekuatan manusia secara alami.

Page 66: The Way of Shotokan Karate

Ada juga ahli yang selalu mengatakan, ”Dalam

karate,” mereka berkata, “Sebuah pegangan yang kuat

adalah penting. Untuk mencapainya seseorang harus

berlatih selama berjam-jam. Cara terbaiknya adalah

menggunakan ujung-ujung jari dan kedua tangan,

untuk mengangkat dua ember timba yang berat, lebih

baik jika berisi penuh dengan sesuatu seperti pasir,

dan mengayunkan memutar berulangkali. Seseorang

yang yang telah memperkuat pegangannya sekuat

mungkin dengan cara ini mampu menarik daging

lawan keluar dengan mudah dari tulangnya”.

Benar-benar omong kosong! suatu hari orang seperti

ini datang ke dojoku dan menawarkan untuk mengaja-

riku bagaimana menarik daging keluar dari tulangnya.

Aku memohon padanya untuk menunjukkannya

padaku, akan tetapi meledaklah tawaku ketika dia

setidaknya berhasil mencubit sedikit kulitku bahkan

tanpa meninggalkan bekas biru atau kehitaman.

Sekarang, sudah tidak diragukan lagi bahwa pegang-

an yang kuat adalah keuntungan besar bagi para

Page 67: The Way of Shotokan Karate

praktisi karate. Aku ingat dengan seorang laki-laki

yang sanggup memutari rumahnya di Okinawa

dengan bergantung di sepanjang atap. Tidak bermak-

sud melebih-lebihkan, sejak orang-orang menyadari

bagaimana bentuk rumah-rumah di Okinawa.

Aku telah melihat sendiri bagaimana Master Itosu

meremukkan batang bambu tebal dengan tangan

kosongnya. Ini mungkin saja tampak sebagai atraksi

yang luar biasa, tapi adalah keyakinanku jika pegang-

annya yang luar biasa kuat adalah anugerah yang

sudah alami, tidak hanya diperoleh lewat latihan,

untuk memperoleh kekuatan yang luar biasa, dia

hanya dapat sekuat itu dan tidak akan lebih jauh lagi.

Ada batas kekuatan fisik manusia yang tidak seorang-

pun mampu melampauinya.

Sementara benar bahwa ada seorang ahli karate yang

mempunyai tenaga untuk memecahkan sebuah papan

yang tebal, atau beberapa lapis genteng dengan sekali

serangan tangannya, Aku menjamin pada para pemba-

caku bahwa setiap orang mampu melakukan hal yang

Page 68: The Way of Shotokan Karate

sama setelah melalui latihan yang cukup. Tidak ada

yang luar biasa dari hal semacam itu.

Sesuatu yang juga tidak menunjukkan dari semangat

karate sejati; adalah sekedar demonstrasi dari kekuat-

an seseorang yang didapat melalui berlatih. Tidak ada

yang misterius tentang itu. Sering aku ditanya oleh

orang-orang yang tidak tahu dengan karate, apakah

peringkat yang didapat orang yang berlatih bergan-

tung dari jumlah genteng atau papan yang berhasil

dihancurkannya dalam sekali serangan tangannya.

Tentu saja, dalam hal ini tidak ada hubungan antara

keduanya. Sejak karate sebagai salah satu seni bela diri

yang telah diperbaiki.

Beberapa orang yang berlatih karate yang bermulut

besar tentang berapa banyak papan atau genteng yang

bisa dipecahkannya dengan tangan kosong, atau me-

nyatakan mampu menarik daging dari tulangnya atau

menarik tulang dari tubuh, adalah orang yang tahu

sedikit saja tentang apakah karate itu sesungguhnya.

Page 69: The Way of Shotokan Karate

BAB V

KARATE-DO “MY WAY OF LIFE”

5.1. KEBANGGAAN YANG MEMBAHAYAKAN

Suatu sore, saat baru saja kulewati

usiaku yang ketiga puluh, aku ber-

jalan pulang dari Naha ke Shuri.

Jalan yang kulalui begitu sepi dan

semakin sepi setelah melewati Kuil

Sogenji. Sepanjang jalan di sebelah

kiri terbentang sebuah pemakam-

an, dan di dekatnya terdapat sebuah kolam besar yang

jauh di masa lalu digunakan para pendekar untuk

memberi minum kudanya.

Di samping kolam ada sebidang tanah kosong dengan

sebuah panggung dari batu di tengah-tengahnya;

disinilah anak-anak muda Okinawa datang untuk

menguji kekuatannya dalam pertarungan gulat. Tidak

seperti biasanya, saat aku lewat beberapa anak muda

tengah melakukan pertarungan gulat.

Page 70: The Way of Shotokan Karate

Seperti yang telah kutulis sebelumnya, gulat Okinawa

sangatlah berbeda dengan apa yang dikerjakan di

Jepang. Aku sangat gemar dengan olah raga itu dan

(harus kuakui) mempunyai cukup rasa percaya diri.

Aku berdiri dan mengamati untuk sejenak.

Kemudian tiba-tiba salah satu dari mereka berteriak

padaku,

“Hei kau! Kemari dan cobalah! Kecuali tentu saja kau

takut”.

“Benar!” teriak yang lain. “Jangan hanya berdiri dan

melihat saja. Itu sangat tidak sopan!”.

Aku benar-benar tidak ingin mencari masalah, karena

itu aku berkata,

“maafkan aku, tapi aku harus pergi sekarang,” dan

mulai melangkah pergi.

“Oh tidak, kau tidak bisa pergi begitu saja!” Bersamaan

dengan itu sepasang anak muda berlari mengejarku.

“Melarikan diri?” ejek salah satu dari mereka.

Page 71: The Way of Shotokan Karate

“Apa kau tidak punya sopan santun?” yang lain

bertanya.

Bersama-sama keduanya meraih bajuku dan menye-

retku ke panggung batu itu. Disana tengah duduk

seorang laki-laki yang tampak lebih tua yang kupikir

bertindak sebagai wasit –dan mungkin pegulat yang

terkuat di kelompok ini. Tentu saja aku bisa meng-

gunakan kemampuan yang kumiliki dan melarikan

diri tanpa perlu kesakitan, namun kuputuskan untuk

bergabung dalam olah raga itu. Pertarungan pertama-

ku, dengan yang terlihat paling lemah dari semuanya.

Aku menang mudah. Anak muda yang kedua juga

menjadi korban yang mudah. Dan begitu pula yang

ketiga, keempat dan kelima.

Sekarang hanya tersisa dua laki-laki, salah satunya

adalah wasit, dan keduanya terlihat seperti lawan

yang tangguh.

Page 72: The Way of Shotokan Karate

“Baiklah,” kata si wasit dengan sebuah anggukan

pada yang lain, “sekarang tiba giliranmu. Apa kau

siap bertarung dengan orang asing ini?”.

“Aku takut tidak dapat bertarung lagi,” aku menja-

wab. “aku rasa sudah cukup, dan aku juga yakin tidak

akan menang. Permisi”.

Namun mereka mendesakku. Lawanku yang berikut-

nya dengan pandangan marah, mencengkram tangan-

ku hingga aku tidak punya pilihan untuk bertarung.

Pertarungan ini juga menjadi milikku, dan dalam

waktu yang cepat.

”Sekarang aku benar-benar harus pergi,” aku berkata.

“Terima kasih. Permisi”.

Kali ini, tampaknya alasanku diterima. Namun saat

aku mulai beranjak pergi menuju ke arah Shuri, aku

mempunyai sebuah firasat akan terjadi sesuatu di

tengah perjalanan. Dan ternyata aku benar, belum

seberapa jauh kudengar suara di belakangku.

Page 73: The Way of Shotokan Karate

Beruntung bagiku, sebelumnya saat meninggalkan

Naha, aku sudah menyiapkan sebuah payung yang

membantuku saat hujan.

Sekarang hujan telah berhenti, aku menggunakan

payung itu sebagai tongkat untuk berjalan; ternyata

payung itu juga berguna. Selanjutnya kuputuskan

menggunakan payung itu sebagai senjata untuk mem-

bela diri, karena itu aku membukanya dengan cepat

dan mengarahkannya kebelakang kepalaku untuk

menghindari sebuah serangan dari belakang.

Baiklah, aku tidak akan membuat panjang cerita ini.

Sekalipun ada tujuh atau delapan orang dalam

kelompok itu, aku berhasil menghindari seluruh

serangan yang ditujukan padaku, sampai akhirnya

kudengar suara dari laki-laki yang lebih tua berkata,

“Siapa laki-laki ini? Tampaknya dia tahu karate”.

Seranganpun dihentikan. Mereka berdiri mengelilingi-

ku sambil menatap dengan marah, namun tidak ada

serangan lagi begitu juga usaha untuk menghentikan-

Page 74: The Way of Shotokan Karate

ku untuk meneruskan perjalanan lagi. Saat berjalan

kembali kubaca sebuah sajak kesukaanku sambil

mendengarkan suara gerakan yang mencurigakan,

namun tak ada siapapun.

Saat aku tiba di Shuri, aku dipenuhi dengan penyesal-

an yang dalam. Kenapa aku harus terlibat dengan

pertarungan gulat itu? Aku bertanya pada diriku,

apakah hal itu hanya rasa ingin tahu belaka? Namun

jawaban yang sebenarnya memasuki pikiranku : hal

itu terjadi karena aku begitu percaya diri dengan

kekuatanku. Pendeknya, hal itu adalah kebanggaan

semata. Hal itu sebuah ejekan pada semangat karate-

do, dan aku merasa sangat malu. Sekalipun kucerita-

kan kisah itu sekarang, setelah bertahun-tahun kemu-

dian, aku masih merasa sangat malu.

Page 75: The Way of Shotokan Karate

5.2. SEORANG PRIA SEDERHANA

Saat aku masih bekerja sebagai seorang asisten guru di

sebuah sekolah di Naha, dalam sehari aku harus

berjalan kaki dua setengah mil sebanyak dua kali,

karena aku dan istriku tinggal di rumah orang tuanya

di Shuri. Suatu hari ada pertemuan guru yang berlang-

sung cukup lama, karena itulah aku terlambat saat

kembali pulang, dan tidak berapa lama hujanpun

turun. Akupun memutuskan untuk “menghambur-

kan” uangku dengan menyewa sebuah jinriksha (sema-

cam becak seperti di Cina yang ditarik menggunakan

tenaga manusia).

Untuk menghabiskan waktu, kubuka sebuah perca-

kapan dengan penarik jinriksha itu. Dan kutemukan

hal yang cukup mengejutkan, bahwa ternyata dia

memberikan jawaban yang sangat singkat dari semua

pertanyaanku. Biasanya penarik jinriksha sangat suka

diajak bicara seperti layaknya tukang cukur. Lebih

jauh, nada bicara dan suara penarik jinriksha ini

terdengar sangat sopan, dan bahasanyapun menun-

jukkan orang yang cukup berpendidikan.

Page 76: The Way of Shotokan Karate

Saat itu di Okinawa saat itu ada dua macam jinriksha,

yaitu hiruguruma (jinriksha yang berjalan di siang hari)

dan yoruguruma (jinriksha yang berjalan di malam

hari). Aku cukup mengetahui bahwa beberapa penarik

jinriksha di malam hari adalah orang baik-baik.

Aku penasaran, mungkinkah laki-laki yang tengah

menarikku malam ini menuju ke Shuri adalah sese-

orang yang kukenal? Jika benar demikian, tentu

uangku akan ditolaknya. Namun demikian, masih ada

pertanyaan yang ingin kucari jawabannya. Namun itu

tidaklah mudah, karena pria itu mengenakan topi

yang tepinya cukup lebar, yang membuat wajahnya

selalu tersembunyi dariku.

Karena itulah, kubuat rencana dengan berpura-pura

yang memungkinkanku dapat mengetahui siapa orang

ini. Aku memintanya menghentikan jinriksha sebentar

dengan begitu aku mungkin mendapatkan jawaban-

nya. Ketika dia menurunkan penarik roda ke tanah,

aku mendapatkan kesan yang jelas bahwa dia bukan-

lah penarik jinriksha biasa. Namun saat aku turun dan

Page 77: The Way of Shotokan Karate

mencoba mengintip wajahnya, dengan cepat dia

memutar kepalanya. Namun masih ada hal lain yang

mengganjal, aku serasa begitu kenal dengan tinggi

badan dan tubuhnya yang ramping.

Tidak berapa lama hujan berhenti, dan bulan yang

berwarna pucatpun muncul dari balik awan. Setelah

rasa lelah kupulihkan, akupun kembali ke jinriksha

sambil mencoba melihat lagi melihat ke wajah laki-laki

itu, yang ternyata ditutupinya lagi.

Sedikit kesal dengan kegagalanku, aku mencoba ren-

cana lain yang kuyakini akan berhasil. “Kita sudah

menempuh jarak yang cukup jauh, mengapa kita tidak

berjalan saja sebentar?”.

Pria itu setuju, namun aku kembali tidak berhasil,

karena dia menolak berjalan di sampingku. Dia selalu

berjalan tertinggal satu atau dua langkah di bela-

kangku. Tiba-tiba di sebuah persimpangan jalan aku

berbalik arah sambil meraih gagang penarik dari

jinriksha itu, dan dalam waktu yang bersamaan kucoba

Page 78: The Way of Shotokan Karate

melihat wajahnya. Namun demikian, secepat apapun

aku, pria itu ternyata masih lebih cepat saat dia

menarik topinya dalam-dalam.

Benar, begitu cepat, reaksinya membuatku sekarang

benar-benar yakin bahwa dia bukanlah penarik

jinriksha biasa. Kenyataannya, aku sangat yakin meng-

enalnya. Kulepas topiku sambil berkata, “Maafkan jika

aku bertanya, tapi bukankah Anda Tuan Sueyoshi?”.

Dia tampak terkejut, namun menjawab dengan jelas,

“Bukan”.

Kamipun berdiri selama beberapa saat dalam sebuah

kebisuan. Aku meraih jinriksha itu, dia menundukkan

pandangannya ke tanah. Wajahnya tersebunyi di balik

topinya yang lebar dan turun hingga kelututnya.

Aku tahu ternyata tidak salah mengenalinya. Dia

benar-benar Sueyoshi. Kuraih tangannya sambil mem-

bantu menegakkan tubuhnya. Akupun lalu berlutut

sambil menyebutkan namaku, dan aku juga memohon

maaf padanya atas penasaran dan ketidaksopananku.

Page 79: The Way of Shotokan Karate

Aku sangat mengetahui bahwa dia berasal dari sebuah

keluarga golongan atas yang juga merupakan penerus

dari pendekar, dan dia juga seniorku dalam karate-do.

Lebih jauh, diapun tercatat sebagai ahli seni tongkat

dan dikemudian hari mendirikan perguruan bojitsu-

nya sendiri.

Namun sekarang ini, tentu saja, dia tengah menarik

jinriksha yang tengah kutumpangi. Berjalan sedikit

demi sedikit ke Shuri, kami bercakap-cakap dengan

akrab tentang karate dan seni tongkat.

Kemudian, karena sungguh merasa malu akibat telah

kuketahui jati dirinya, dia memintaku untuk tidak

mengatakan pada siapapun bahwa dia sedang bekerja

sebagai penarik jinriksha. Dia juga berkata padaku

bahwa istrinya tengah sakit dan terbaring di tempat

tidur. Dan untuk menghidupi istri, diri sendiri, dan

membeli obat yang dibutuhkannya, dia bekerja seba-

gai petani di siang hari dan malamnya menarik

jinriksha.

Page 80: The Way of Shotokan Karate

Bicara masalah nama besar dan keberuntungan,

sesungguhnya dia telah memilikinya. Tapi mungkin

demi uang dia harus bekerja yang dirasakannya akan

merendahkan martabatnya. Apa yang dilakukannya

dalam hal ini serupa dengan ungkapan “setiap inci

dari seorang samurai”. Dan caranya yang tangkas

dalam menarik jinriksha menunjukkan keahliannya

dalam seni bela diri. Meskipun dia meninggal tidak

lama setelah aku pindah ke Tokyo, aku tidak pernah

lupa menghabiskan sore itu bersamanya. Bagiku dia

telah menunjukkan perwujudan dari semangat samu-

rai yang sempurna.

5.3. BERLATIH HIDUP – MELAWAN TOPAN

Barangkali akan lebih rendah hati jika membiarkan

orang lainlah yang menceritakan perbuatan kepah-

lawanan seorang anak muda ini daripada aku lakukan

sendiri. Tetapi hasilnya aku menelan rasa malu, aku

disini untuk menjelaskan kalimat dari Yukio Togawa,

pengarang, yang tidak bertanggung-jawab dengan

menjamin kepada para pembaca bahwa kejadian yang

Page 81: The Way of Shotokan Karate

diceritakannya memang benar-benar terjadi. Para

pembaca dapat merasakan suatu hal yang gila, tetapi

aku tidak menyesal.

“Langit yang di atas” tulis Tuan Togawa, “berwarna

hitam, dan dari sana muncul angin melolong yang

menyapu bersih apapun yang berdiri dijalannya.

Gudang yang besar bagaikan ranting pohon yang

ditarik, debu dan batu kerikil beterbangan ke udara,

menyengat wajah seorang pemuda”.

“Okinawa dikenal sebagai pulaunya angin topan, dan

kekejaman badai tropis ini sulit untuk dijelaskan.

Untuk melawan serangan angin ganas yang melanda

pulau ini setiap tahunnya, selama musim badai

rumah-rumah di Okinawa dibangun merendah dan

sekuat mungkin. Rumah-rumah itu selain dikelilingi

tembok batu yang tinggi, pada genting di atapnya juga

masih dilindungi dengan batu. Tetapi angin yang

berhembus memang sungguh luar biasa (kadang-

kadang kecepatannya bisa mencapai seratus mil

perjam) yang masih saja menggetarkan rumah-rumah,

Page 82: The Way of Shotokan Karate

walaupun sudah ada tindakan pencegahan sebelum-

nya”.

“Pada suatu angin topan aku ingat, semua orang di

Shuri berkumpul bersama-sama di rumah mereka

masing-masing. Berdoa agar angin topan itu segera

lewat tanpa meninggalkan kerusakan yang besar.

Tidak, ternyata aku salah ketika berkata semua orang-

orang Shuri berkumpul di rumah : ternyata ada seo-

rang anak muda, di atas atap rumahnya di Yamakawa-

cho, yang bermaksud melawan angin topan itu”.

“Setiap orang yang melihat anak muda yang sendirian

ini pastilah akan menyimpulkan bahwa dia sudah ke-

hilangan akal sehatnya. Hanya memakai pakaian

hingga sebatas pinggangnya, dia berdiri di atas gen-

ting atap rumahnya yang licin dan dipegang oleh

kedua tangannya, sebuah tatami (tikar jepang dari

jerami) untuk melindungi tubuhnya dari angin yang

melolong. Pasti dia telah jatuh ketanah berkali-kali,

hampir disekujur tubuhnya yang telanjang telah

berlumuran lumpur”.

Page 83: The Way of Shotokan Karate

“Anak muda itu tampaknya berumur sekitar dua

puluh tahun, atau bahkan mungkin lebih muda.

Ukuran tubuhnya kecil, tidak sampai lima kaki, tetapi

bahunya besar dan otot-ototnya terlihat kekar. Ram-

butnya disisir seperti gaya seorang pegulat sumo,

dengan sebuah jambul dan sebuah peniti perak,

menandakan bahwa dia termasuk golongan shizoku”.

“Tetapi ini bukanlah hal yang penting. Yang menarik

adalah ekspresi di wajahnya ; mata yang terbuka lebar,

berkilau dengan sorot yang aneh, keningnya melebar,

kulit yang memerah seperti tembaga. Dia mengatup-

kan giginya ketika angin itu bertiup ke arahnya, dia

mengeluarkan sebuah aura yang berkekuatan luar

biasa. Ada yang bilang anak muda ini adalah salah

satu pengawalnya raja-raja Deva”. “Sekarang anak

muda di atas atap itu menurunkan posisi badannya,

mengangkat tikar jerami itu melawan angin yang

mengamuk.

Kuda-kuda yang dilakukannya sangat mengesankan,

dia berdiri mengangkang seolah-olah sedang menung-

gang kuda. Benar, setiap orang yang tahu karate dapat

Page 84: The Way of Shotokan Karate

dengan cepat mengetahui anak muda itu sedang

melakukan kuda-kuda menunggang kuda, kuda-kuda

yang paling stabil diantara semua kuda-kuda karate.

Dan dia menggunakan angin topan itu untuk mem-

perbaiki tekniknya, dan lebih jauh lagi untuk memper-

kuat tubuh dan pikirannya. Angin menabrak tikar dan

anak muda itu dengan kekuatan penuh, tetapi dia

berdiri di atas pijakannya dan tidak menghindarinya”.

Page 85: The Way of Shotokan Karate

BAB VI

ANTARA KARATE DAN KOBUDO

Harus diakui bahwa Okinawa (Ryukyu) mempunyai kein-

dahan baik alam dan budaya. Tidak mengherankan jika

Okinawa menjadi aset unggulan Jepang yang terus dipeli-

hara. Jika ingin berkunjung ke Jepang tidak salah jika

Okinawa dijadikan prioritas. Sebagai tempat asal karate,

Okinawa ternyata juga mempunyai sisi lain dalam dunia

bela diri. Dari pulau kecil itu ternyata ada bela diri lain

disamping karate yaitu kobudo (atau sebelumnya kobutsu).

Kobudo berlawanan dengan karate karena menggunakan

beragam senjata.

Istilah “kobu” dapat ditafsirkan kuno atau lama. Tidak

mengherankan karena kobudo memang mempunyai sejarah

yang justru lebih tua daripada karate. Meskipun menyan-

dang makna “kuno” bukan berarti kobudo ketinggalan

jaman. Sebaliknya, kobudo tetap dipertahankan hingga kini

sebagai warisan leluhur. Sayangnya sejarah pasti kobudo

sulit diungkap karena banyak fakta yang hilang. Apalagi

Page 86: The Way of Shotokan Karate

banyak dokumen yang berhubungan telah hancur dalam

Perang Dunia II. Meskipun dari arti namanya saling ber-

tolak belakang, antara kobudo dan karate ternyata masih

berhubungan erat.

Sekitar abad ke-12 penguasa lokal yang disebut Aji men-

jalankan kekuasaannya dari benteng yang berdiri di atas

tanah kekuasaan mereka (gusuku). Di kemudian hari

pemerintahannya ternyata mengalami perpecahan hingga

Ryukyu terbagi menjadi tiga kerajaan yang independen.

Ketiganya ingin menunjukkan dominasinya dengan saling

menyerang dan berusaha menaklukkan satu sama lain. Saat

itu mereka menggunakan senjata dan bela diri meski

dengan gaya teknik yang tidak sekompleks sekarang. Dalam

persenjataan mereka telah menggunakan senjata tradisional

seperti bo (tongkat) dan alat pertanian dari logam yang telah

dimodifikasi.

Tahun 1429 Ryukyu memasuki pemerintahan Raja Sho

Hashi dan mengalami perubahan besar. Raja Sho merasa

bahwa perang lagi tidak berguna dan hanya berakibat

perpecahan. Selanjutnya muncul inisiatif darinya untuk

Page 87: The Way of Shotokan Karate

menyatukan ketiga kerajaan itu dalam satu pemerintahan

yang independen (unifikasi). Tentu saja upaya itu tidak

mudah karena Raja Sho harus memerangi kedua penguasa

lainnya yang jelas-jelas menolak. Setelah berhasil mengalah-

kan kedua pesaingnya, Raja Sho akhirnya berhasil menyatu-

kan seluruh wilayah Ryukyu. Setelah kekuasaan Raja Sho

Hashi berakhir, cita-cita itu diteruskan oleh keturunannya

yaitu Sho Shin. Sebagai dukungan unifikasi dibuatlah kebi-

jakan anti perang berupa undang-undang. Pada pokoknya

kebijakan itu melarang penduduk untuk menyimpan dan

menggunakan senjata untuk perang. Sebagai realisasinya

seluruh senjata kemudian disita dari penduduk setempat

dan dikumpulkan di satu gudang yang konon bersebelahan

dengan istana Shuri.

Berakhirnya perang dan adanya undang-undang membuat

Ryukyu memasuki masa damai. Banyak penduduk yang

kemudian beralih pekerjaan menjadi pedagang karena

Dinasti Sho membuka pintu lebar-lebar untuk pendatang

dari luar. Hasilnya terjadilah pertukaran kebudayaan yang

dipercaya mempengaruhi cikal bakal kemunculan karate

dan kobudo dengan teknik yang lebih sistematis. Karena

Page 88: The Way of Shotokan Karate

menggunakan kapal sebagai media transportasi, penduduk

Ryukyu harus mempersenjatai diri dari serangan perompak

Jepang. Meski dilarang Dinasti Sho, banyak yang percaya

bahwa kobudo sebenarnya masih dilatih meski tidak dalam

dojo resmi. Pendapat itu berasal dari teknik dan senjata

tradisional Cina yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat

setempat.

Sejarah mencatat perubahan besar dalam kobudo dan karate

terjadi setelah Ryukyu dijajah oleh kelompok Satsuma tahun

1609. Akibat tidak mempunyai senjata yang memadai lagi,

penduduk Ryukyu hanya mengandalkan peralatan seada-

nya yaitu alat pertanian dan tempurung kura-kura sebagai

perisai. Tentu saja benda-benda itu tidak cukup melawan

pasukan samurai berkuda yang dipersenjatai pedang.

Akhirnya Ryukyu berhasil dikuasai samurai penjajah itu

dan aturan larangan menggunakan senjata kembali dilanjut-

kan. Penduduk setempat kemudian mulai mengembangkan

bela diri tangan kosong yang berguna sebagai upaya per-

tahanan diri. Sejak saat itulah awal karate sebagai bela diri

alternatif mulai dikembangkan. Meski demikian seluruh

latihan bela diri baik tangan kosong atau senjata sebenarnya

Page 89: The Way of Shotokan Karate

masih dilatih meski rahasia. Selama 300 tahun penduduk

Ryukyu masih mewariskan ke generasi berikutnya meski

tanpa ada dokumen atau keterangan yang menjelaskannya.

Karate dan kobudo akhirnya berhasil muncul ke permukaan

setelah Jepang memasuki Restorasi Meiji. Kedua bela diri itu

akhirnya dimasukkan dalam salah satu pelajaran di sekolah.

Pemerintah Ryukyu menganggapnya sebagai aset penting

yang harus dipertahankan. Melalui latihan yang melelah-

kan, ternyata kedua bela diri tradisional itu mampu mem-

berikan kontribusi besar baik fisik dan mental seseorang.

Lebih jauh pemerintah Ryukyu yakin bahwa bela diri dapat

membentuk karakter seseorang hingga mereka dapat mem-

berikan tanggung-jawab sosial yang baik. Tidak heran jika

karate dan kobudo dianggap memberikan inspirasi besar ke

seluruh dunia hingga kini.

Setelah Ryukyu menjadi bagian Jepang dan berganti nama

menjadi Prefektur Okinawa, makin membuka jalan untuk

karate dan kobudo memasuki Jepang. Hal itu baru terjadi

setelah tahun 1917 pemerintah Jepang mengundang wakil

Okinawa untuk memberikan sumbangan demonstrasi bela

Page 90: The Way of Shotokan Karate

diri di Kyoto. Pemerintah Okinawa menanggapi hal itu

dengan positif dan mencari orang terbaik untuk pantas

sebagai wakilnya. Setelah melalui berbagai pertimbangan,

ditunjuk dua orang dari disiplin bela diri yang berbeda,

yaitu Gichin Funakoshi (karate) dan Shinko Matayoshi

(kobudo). Funakoshi dipilih sebagai wakil karena selain

mahir karate juga terpelajar. Sedangkan Matayoshi dipilih

karena menguasai banyak teknik senjata hasil berlatih di

Cina. Keduanya dianggap sebagai dua nama terbaik dalam

bela diri Okinawa era modern.

Shinko Matayoshi (1888-1947) diang-

gap sebagai salah satu nama terbaik

dalam dunia kobudo Okinawa mo-

deren. Matayoshi lahir di Naha

dalam keluarga yang terpandang dan

telah berlatih kobujutsu sejak usia

remaja. Saat usianya menginjak 22 tahun, dirinya pergi ke

Manchuria melalui utara Jepang dan bergabung dengan

gerombolan penjahat berkuda hanya untuk belajar teknik

senjata mereka. Hasilnya teknik berkuda dan memanah

Matayoshi berbeda dengan gaya Okinawa umumnya.

Page 91: The Way of Shotokan Karate

Setelah itu Matayoshi melanjutkan perjalanannya ke

Fuchow dan Shanghai untuk belajar tinju Shaolin, aku-

puntur dan pengobatan herbal. Setelah belajar pada banyak

ahli, Matayoshi kemudian menggabungkan seluruh teknik

dan pengalamannya dalam satu silabus. Adalah Shinpo

Matayoshi (1922-1997) yang kemudian mendirikan Zen

Okinawa Kobudo Renmei tahun 1970. Organisasi ini

dianggap sebagai salah satu organisasi pioner dalam

kobudo Okinawa, karena bermaksud menyatukan seluruh

praktisi kobudo dan menjaga tradisi di dalamnya.

Kobudo moderen menggunakan kuda-kuda dan pergerakan

yang mirip dengan karate. Selain itu beberapa teknik

kobudo juga ada dalam karate seperti tai sabaki (pergeseran

badan), gerak tipu diikuti serangan dan gerakan menyerang

bertahan yang bergantian. Kobudo juga menggunakan

metode latihan satu macam senjata hingga berulang kali

(bahkan ratusan hingga ribuan) sehingga mirip dengan lati-

han kihon atau kata dalam karate. Sebelum masuk ke Jepang

kobudo hanya menggunakan senjata tradisional Okinawa

dan beberapa diantaranya juga adaptasi dari Cina. Setelah

kobudo diperkenalkan di Jepang beberapa senjata tradisi-

Page 92: The Way of Shotokan Karate

onal samurai seperti katana, naginata, yari (tombak), yumi dan

ya (busur dan panah) juga dimasukkan. Agar tidak membi-

ngungkan, sistemnya kemudian disebut dengan Ryukyu

Kobudo atau Okinawa Kobudo.

Saat ini kebanyakan aliran karate di Okinawa masih mem-

pertahankan kobudo disamping latihan kihon, kumite dan

kata. Diantaranya adalah Shorin-ryu yang menjadi salah

satu gaya karate yang dipelajari Funakoshi. Sebaliknya, 4

besar karate Jepang (kecuali Shito-ryu) tampaknya sudah

banyak yang meninggalkannya. Meski demikian, ada juga

praktisi karate Jepang moderen yang berlatih kobudo meski

hanya pilihan yang tidak wajib. Contohnya adalah Hirokazu

Kanazawa (pendiri SKIF) yang mengajari senjata (semisal

nunchaku) pada beberapa muridnya yang senior.

Page 93: The Way of Shotokan Karate

BAB VII

MISTERI TORA NO MAKI

Selain berlatih karate pada

Azato dan Itosu, Funakoshi juga

belajar seni sastra pada gurunya

ini. Tampaknya hal ini berpe-

ngaruh besar pada munculnya

simbol harimau yang kemudian

lazim dikenal dengan Tora no

Maki yang digunakan oleh Shotokan dan Shotokai saat ini.

Ketika Funakoshi masih muda, dia gemar berjalan-jalan

dalam kesunyian diantara pohon-pohon cemara yang

mengelilingi rumahnya di Shuri, Okinawa. Setelah sehari

yang berat diisi dengan mengajar di beberapa sekolah di

daerahnya ditambah beberapa jam lebih diisi dengan latihan

karate yang giat, dia kerap kali akan mendaki Gunung

Torao dan kemudian bermeditasi diantara pepohonan

cemara di bawah bintang-bintang dan bulan yang terang.

Gunung Torao amatlah dekat, gunung ini ditumbuhi pepo-

Page 94: The Way of Shotokan Karate

honan hingga begitu lebatnya yang apabila diamati dari

kejauhan menyerupai ekor seekor harimau. Dalam kenyata-

annya nama Torao memang berarti ekor harimau.

Pada waktu-waktu berikutnya, Funakoshi menerangkan

bahwa angin dingin yang berdesir diantara pepohonan

cemara di Gunung Torao membuat pohon-pohon tersebut

bergerak seperti layaknya gelombang yang memecah di

pantai. Demikianlah, sejak didapatkannya inspirasi itu dia

memilih nama Shoto yang selalu dibubuhkannya sebagai

tanda tangan di akhir karya tulisnya.

“Shoto” sebagai nama yang ditulis oleh Funa-

koshi memiliki arti pohon cemara yang bergerak

laksana gelombang. Sedangkan “kan” berarti

ruang atau balai utama (yang kemungkinan

besar tempat murid-muridnya berlatih. Nama

ini kemudian dianugerahkan oleh murid-

muridnya sebagai penghormatan pada Funako-

shi dengan ditulis pada papan nama dojo yang dibangun di

Tokyo tahun 1936.

Page 95: The Way of Shotokan Karate

Munculnya simbol harimau yang dikerjakan oleh Hoan

Kosugi ini tidak begitu jelas. Sumber pertama menyebutkan

ketika Funakoshi berniat kembali ke Okinawa dirinya

didatangi oleh Hoan Kosugi. Seorang pelukis ternama saat

itu yang meminta pelajaran karate bagi dirinya dan teman-

temannya di Kelompok Tabata. Perkumpulan ini adalah

wadah berkumpulnya para seniman yang terbaik di masa

itu. Kosugi meminta pelajaran dari Funakoshi karena saat

itu dia tidak menemukan guru karate yang lebih pantas dari

Funakoshi.

Ketika itu Funakoshi berniat menulis buku Ryukyu Kempo

Karate, Kosugi mengatakan pada Funakoshi kalau dirinya

bersedia melukis sampul depannya. Kosugi kemudian

melukis gambar harimau yang disebutnya Tora no Maki. Di

Jepang istilah Tora no Maki merupakan istilah resmi bagi

karya tulis untuk suatu seni atau suatu sistem. Kosugi

menjelaskan pada Funakoshi bahwa buku yang akan ditulis-

nya akan menjadi “Tora no Maki” nya karate. Dan sejak kata

“tora” berarti harimau, Kosugi melukis gambar harimau

sebagai simbolnya.

Page 96: The Way of Shotokan Karate

Sumber lain mengatakan kalau Kosugi sangat terkesan

dengan latihan karate yang diterimanya dari Funakoshi.

Kemudian ketika didengarnya Funakoshi akan menulis

buku dengan segera dia mengusulkan diri untuk melukis

sampulnya. Dikatakan bahwa Kosugi mengambil ide

harimau karena menurut kepada filosofi tradisional Cina

yang mempunyai makna bahwa ’’harimau tidak pernah

tidur’’. Harimau mempunyai sifat yang tenang namun tetap

waspada. Perasaan ini dirasakan oleh Kosugi ketika berlatih

di bawah Funakoshi. Tampaknya makna ini dikemudian

hari menjadi sangat populer.

Funakoshi sangat terkesan ketika diterimanya hasil karya

Kosugi ini. Mengingatkannya akan kenangan masa muda-

nya ketika masih mendaki gunung Torao. Funakoshi berniat

membayar hasil karya ini, namun Kosugi menolaknya.

Kosugi hanya meminta Funakoshi mengajarinya karate

berikut filosofi besar yang terkandung di dalamnya. Terharu

mendengar jawaban ini, Funakoshi menerima tawaran itu

dan merekapun terus menjalin persahabatan baik.

Page 97: The Way of Shotokan Karate

Ada juga sumber yang mengatakan bahwa Funakoshi

sendiri yang meminta pada Kosugi untuk melukis simbol

harimau itu baginya. Setelah diketahuinya Kosugi adalah

seorang pelukis yang pandai.

Tidak dapat dipastikan mana yang pasti dari kisah-kisah itu.

Barangkali diantara kisah-kisah itu ada yang benar. Namun

yang pasti Funakoshi kemudian menggunakan lukisan

harimau itu sebagai sampul depan bukunya Ryukyu Kempo

Karate yang terbit tahun 1922.

Page 98: The Way of Shotokan Karate

BAB VIII

IKKEN HISSATSU

Anda pernah mendengar istilah “ikken hissatsu” ? Bagi

praktisi Shotokan tentu tidak asing dengan istilah ini. Ikken

Hissatsu adalah salah satu dari sekian banyak filosofi Shoto-

kan yang berkaitan dengan pertarungan (combat oriented).

“Ikken” berarti tunggal, sedang “hissatsu” berarti serangan.

Ikken Hissatsu berarti bertujuan membunuh dengan satu

serangan. Dalam literatur lain istilah ini ada yang menyebut

dengan “ippon ieatsu”. Banyak yang salah kaprah dengan

dengan istilah ikken hissatsu ini. Sebagian praktisi karate

menganggap bahwa membunuh lawan diperbolehkan. Ten-

tu saja ini salah besar.

Meski terdengar seram, makna hakiki dari ikken hissatsu

tidak sesimpel itu. Untuk memahami istilah ini Anda cukup

membayangkan sedang dikepung oleh lawan lebih dari

satu. Masing-masing dari lawan memegang senjata yang

siap memotong leher Anda kapan saja. Masing-masing

mempunyai teknik yang Anda sendiri tidak mengetahui.

Page 99: The Way of Shotokan Karate

Singkatnya, Anda dalam posisi yang terjepit. Bagaimana

Anda akan menghadapi situasi yang serba sulit ini ?. Dalam

kondisi seperti inilah konsep ikken hissatsu benar-benar

diperlukan.

Filosofi ini mengisyaratkan penggunaan teknik yang efektif

(waza-ari) dalam mengatasi lawan terutama dalam jumlah

besar. Dengan demikian teknik yang dilancarkan hanya

membutuhkan usaha atau gerakan minimal namun meng-

hasilkan kerusakan besar pada lawan. Sehingga tidak ada

tenaga sia-sia yang dikeluarkan. Hasilnya akan membuat si

penyerang berpikir dua kali untuk menyerang lagi. Teknik

kihon umunya sangat efektif mengatasi lawan yang banyak.

Prinsip ikken hissatsu sangat sederhana : satu serangan dan

selesai. Mengapa hanya satu serangan ? karena dengan satu

teknik yang Anda lancarkan, ada cukup waktu untuk me-

ngatasi penyerang yang lain. Lawan yang lain tentu tidak

akan menunggu, bukan ?.

Konsep ikken hissatsu sebenarnya telah ada sejak karate

belum masuk ke Jepang. Bahkan diduga sebelum berkem-

bangnya karate di Okinawa konsep ini telah ada. Tentu saja

Page 100: The Way of Shotokan Karate

dengan penyebutan yang berbeda. Terbukti ketika karate

masih dirahasiakan di Okinawa, duel antar ahli bela diri

sudah biasa terjadi. Di akhir duel tentu ada yang hidup dan

ada yang mati, hal ini sudah lazim terjadi. Ketika samurai

sedang berjaya di Jepang, filosofi ikken hissatsu benar-benar

dilakukan. Sejak pertarungan hidup mati demi kehormatan

seakan sudah menjadi hal biasa. Uniknya, mereka tidak

dendam dengan lawannya. Bagi golongan samurai perta-

rungan pedang lebih dari sekedar kehormatan namun

keyakinan. Setelah Restorasi Meiji budaya ini telah

ditinggalkan.

Diduga Shotokan mendapat pengaruh konsep ikken hissatsu

ini dari guru Funakoshi yaitu Anko Azato dan Itosu. Sudah

menjadi legenda bahwa keduanya tidak pernah terkalahkan

dalam pertarungan apapun. Entah melawan orang dalam

jumlah besar atau bahkan lembu jantan liar seperti yang

dihadapi Itosu. Umumnya mereka tidak butuh serangan

kedua untuk menyelesaikan duel. Namun yang lebih men-

akjubkan, mereka tidak sampai membunuh lawannya. Ini

mengisyaratkan bahwa karate bukan ilmu pembunuh yang

bisa digunakan sesuka hati.

Page 101: The Way of Shotokan Karate

Shotokan saat ini masih mempertahankan konsep ikken

hissatsu ini. Di beberapa organisasi besar Shotokan mereka

masih mempertahankan latihan kata dasar seperti Heian dan

Tekki. Pemandangan ini sering ditemui pada mereka yang

telah sabuk hitam. Tentu saja ini kontras dengan kenyataan

bahwa seharusnya untuk tingkat sabuk hitam mereka telah

berlatih kata tingkat lanjut. Umumnya mereka dituntut

berlatih kihon berulang-ulang disamping kata dasar. Bagi

mereka dasar diperlukan untuk meraih hasil yang lebih

baik. Hasilnya, dalam turnamen meski teknik yang dilan-

carkan terkesan “miskin” (sebatas oi tsuki atau chudan geri)

mereka tidak terkalahkan.

Kesimpulannya, ikken hissatsu mensyaratkan kita mengalah-

kan lawan dengan teknik yang efektif. Untuk melancar-

kannya butuh tenaga yang umumnya besar. Tenaga yang

besar adalah hasil dari berlatih. Ketika lawan telah roboh,

Anda tidak dibenarkan mengakhiri hidupnya. Hargai hidup

lawan seperti Anda menghargai nyawa Anda sendiri.

Page 102: The Way of Shotokan Karate

BAB IX

MENGAPA HARUS KIAI

“Kiai”, yang berarti teriakan semangat merupakan salah satu

komponen penting dalam berlatih karate. Bukan sekedar

mengeluarkan udara dan suara sekeras-kerasnya, namun

lebih dari itu. Kiai yang salah hanya akan membahayakan

karate-ka itu sendiri, karena dalam kondisi itu akan mudah

diserang. Bahkan dalam serangan yang lemah sekalipun.

Hal ini sering terjadi dalam turnamen. Mungkin karena

terlambat kiai akhirnya serangan lawan masuk. Dan bisa

ditebak, sakitnya jangan ditanya lagi. Belajar dari penga-

laman, ternyata kiai ketika kita dipukul lebih sakit daripada

kita dalam latihan biasa (yang tidak ada lawannya tentu

saja!).

Nah, kembali ke masalah kiai tadi. Secara teori sebenarnya

ada tiga manfaat poin penting dalam kiai. Yang pertama

tentu saja menunjukkan semangat bertarung (fighting spirit)

kita. Jelas kita tidak mungkin bertanding tanpa mengeluar-

kan suara. Coba bayangkan sendiri jika Anda kumite

Page 103: The Way of Shotokan Karate

dengan lawan yang seperti itu. Dalam sesi latihan biasanya

kiai pada gerakan ke-lima atau ke-sepuluh, jika berlatih

dasar (kihon). Atau pada teknik yang terakhir. Umumnya

senior/ pelatih akan memberikan aba-aba untuk berteriak.

Jangan dikira kiai adalah pekerjaan mudah. Umumnya

sering saya melihat junior-junior sangat sulit kalau disuruh

kiai setiap akhir suatu teknik. Kalau murid pemula seha-

rusnya tidak masalah, tapi kalau murid tingkat lanjut ?

Tentu ini jadi masalah kalau harus turun dalam turnamen

resmi. Karena fungsi kiai disini juga untuk mengantisipasi

cedera dalam kumite. Kedua, mempengaruhi lawan. Bagai-

mana bisa dengan hanya berteriak lawan akan terpengaruh

bahkan sampai ketakutan. Ada istilah kiai jutsu dalam dunia

bela diri, dimana dengan hanya berteriak maka lawan akan

mengurungkan serangan.

Rahasianya ternyata cukup sederhana, dimana saat kita

berteriak harus dilandasi dengan semangat berperang yang

sungguh-sungguh tanpa keraguan dan ketakutan. Yang

pasti saya tidak mengatakan ini mudah, karena saat kita

maju menghadapi lawan ketakutan pasti ada. Dan rasanya

Page 104: The Way of Shotokan Karate

itu hal yang manusiawi. Sedangkan yang terakhir, kiai bisa

juga berfungsi sebagai elemen yang meningkatkan tenaga

dengan memberi penekanan pada otot.

Dalam suatu acara demonstrasi, umumnya acara puncaknya

adalah tameshi-wari (pemecahan). Kalau Anda perhatikan, si

peraga tentu kiai saat memecahkan batu, kayu, es atau

apapun yang menjadi bahan tameswari-nya. Tidak masalah

dengan menggunakan bagian tubuhnya yang mana untuk

memecahkan. Tentu saja dengan memecahkan harus didu-

kung dengan pernafasan dan kime (fokus/ konsentrasi) yang

benar. Nah, itulah rahasianya kiai.

Page 105: The Way of Shotokan Karate

BAB X

EVOLUSI KARATE

Karate sebagai seni bela diri adalah ungkapan klise yang

telah kita ketahui. Namun seiring jaman yang berubah,

karate juga berevolusi dalam fungsinya. Ketika diperkenal-

kan pertama kali di Okinawa fungsinya semula bela diri

yang murni. Karena murni bela diri, maka membunuh dan

terbunuh adalah lumrah. Pada masa itu karate sangat

dirahasiakan, bahkan untuk membicarakan saja orang tidak

berani. Walau Jepang sudah masuk masa Restorasi Meiji,

budaya merahasiakan ini baru benar-benar berakhir tahun

1901. Ketika itu Itosu berhasil mengangkat karate ke

permukaan dengan menunjukkan manfaat fisik dan mental

dalam karate.

Evolusi berikutnya ketika karate masuk ke Jepang berubah

menjadi seni bela diri dengan filsafat “jalan”. Konsep yang

dipopulerkan oleh Funakoshi ini tidak hanya merubah

ideogram karate, namun juga filosofinya. Karate berubah

istilah menjadi karate-do bukan lagi karate jutsu. Hingga saat

Page 106: The Way of Shotokan Karate

ini ada yang tetap memegang fungsi karate sebagai filosofi

seperti Shotokai. Mereka dengan tegas menarik diri meng-

gunakan karate untuk hal-hal yang berbau kompetisi.

Evolusi ketiga dari karate adalah pada era perang. Dimana

saat Jepang menginvasi negara-negara Asia tahun (1930-

1936) dan Perang Dunia II (1945-1949) karate digunakan

sebagai materi wajib bagi prajurit. Karena digunakan untuk

perang tentu ada perbedaan dengan latihan karate yang

biasa. Seorang praktisi karate dibolehkan menyerang lawan

sekuat-kuatnya. Alhasil, banyak prajurit yang cedera selama

masa latihan itu. Barangkali ini adalah evolusi terburuk

dalam sejarah karate.

Evolusi terakhir karate terjadi di masa moderen ini. Saat ini

karate telah dipergunakan sebagai media kompetisi. Disini

setiap aliran karate diizinkan mengikuti dua jenis turnamen

yaitu kumite dan kata. Evolusi yang terakhir ini dipop-

ulerkan pertama kali tahun 1957 dengan turnamen yang

digelar oleh JKA (Japan Karate Association). Masatoshi

Nakayama disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung-

jawab (atau berjasa ?) memperkenalkan konsep ini. Anda

Page 107: The Way of Shotokan Karate

juga bisa menengok pasal-pasal dalam WKF, disitu akan

tertulis dengan jelas aturan pertandingan kata dan kumite.

Mengisyaratkan bahwa induk organisasi karate dunia ini

mendukung kompetisi dalam karate.

Bagaimana dengan image masyarakat Indonesia pada

karate? Ternyata mereka memandang karate sebagai “olah

raga keras” bukan “seni bela diri keras”. Agaknya maraknya

kompetisi karate yang sering digelar telah mengubah cara

pandang masyarakat kita. Apalagi fakta di dunia saat ini

hampir seluruh organisasi (dari berbagai aliran) karate

dengan terang-terangan menyatakan bahwa mereka men-

dukung karate sebagai olah raga yang bersifat kompetisi.

Setiap tahun di tanah air bila digelar even pertandingan

pasti akan banyak sekali peserta baik dari anak-anak atau

dewasa (jika umurnya masih memenuhi syarat), baik laki-

laki atau perempuan. Apakah ini menyedihkan ? tentu saja

tidak. Minimal yang menggembirakan, ternyata minat mas-

yarakat kepada karate yang telah diklaim sebagai “olah

raga” keras ini masih besar. Tidak peduli mereka yang

Page 108: The Way of Shotokan Karate

terjun di pertandingan itu menampilkan kualitas teknik

yang baik atau buruk.

Bisa juga dibilang menyedihkan (Anda boleh tidak setuju),

karena karate hanya akan menjadi milik mereka yang kuat,

lincah, cepat dan berstamina prima. Funakoshi secara tegas

melarang berbagai turnamen dan kompetisi. Dirinya sadar

bahwa teknik karate sangat berbahaya walaupun digunakan

dengan serangan yang lemah sekalipun. Funakoshi lebih

memilih kata sebagai latihan inti dalam karate, karena

baginya dalam kata tersembunyi rahasia karate. Anda

mungkin tidak tahu kalau Funakoshi tidak pernah kalah

dengan lawannya meskipun usianya telah lanjut. Funakoshi

memiliki pertahanan yang kuat, dan ini hanya diketahui

dari mereka yang pernah bertanding dengannya.

Tulisan ini tidak dibuat untuk memperdebatkan pendapat

Funakoshi, apalagi sudah jelas Funakoshi memang orang

yang tidak mendukung apapun yang berbau kompetisi

karate. Juga tidak bermaksud menyalahkan praktisi karate

yang berlatih hanya untuk motif kompetisi. Meski harus

diakui karate telah berevolusi fungsinya, jangan lupa bahwa

Page 109: The Way of Shotokan Karate

karate adalah seni bela diri yang terhormat. Apapun motif

Anda ketika memilih karate, ada rahasia yang tersembunyi

di dalamnya. Rahasia yang mustahil dicapai mereka yang

hanya berpikir menang atau kalah. Rahasia yang hingga

saat ini hanya sedikit saja orang yang berhasil mencapainya.