The Principles of Media Criticism
-
Upload
arie-adhitya -
Category
Documents
-
view
54 -
download
7
Transcript of The Principles of Media Criticism
The Principles of Media Criticism
This was written some time around 1997. For a more recent (and more detailed) treatment of the
current state of the media, see Big Media & Bad Criticism.
________________________________________________________
Media criticism is in an undeveloped state, today, largely because the mainstream media allows
virtually no open discussion of the subject. Some criticism that does get to the public, of course,
but most of it is corrupted by the same forces that have turned the rest of the media into a source
of manipulation.
The selections below attempt to correct this conspiracy of silence by offering readers an
introduction to the field that will allow them to see the larger trends that define much of the
media. The selections focus on the following characteristics of contemporary culture and society:
* The fact that all centers of power today rely on media and that all use sensory manipulations
and simulations, along with story lines, rhetoric, and performances to sell audiences products,
candidates and ideas.
* The fact that most media, today, from news to advertising, rely on spectacle, simplification and
exaggeration to grab and hold audiences.
* The fact that the news media has become a part of the power and economic system that it is
supposed to report on. Instead of standing at a distance from events and trying to provide an
accurate account, all too often it is just another inside player manipulating information for its
own ends. This not only means that media companies have a conflict of interest but also that
journalists who would prefer to be honest end up subordinating themselves to those in power in
their own organizations and shaping their coverage accordingly. It also means that media
criticism that isn't afraid to report on what is taking place is now essential to the maintenance of
democracy.
* The fact that much of media is beset by idealization and demonization in which media
manipulators depict themselves and their allies as heroes and saints, and their opponents or
targets as villains, fools and disturbed characters, both to create exciting stories and win battles.
* The fact that the media today is pervaded by missing information. What is missing is precisely
the information above, which would discredit the system and result in reforms that would lock
out many of those who now work the system for their own benefit.
* The fact that all media today is a form of action. Stories, rhetoric, sensory images and
manipulated impressions are all efforts to influence people's perceptions and action, evoke fears
and desires, and play to values. The omission of information from the media is a form of action,
as well.
* Finally, the fact that the media today is also full of efforts to get at the truth, which are often
disguised or limited in various ways. Many of these efforts to tell the public the truth can be
found in the fictions of movies and television which openly depict the con artist culture we now
live in and the corruption of the media.
These propositions have to form the core of any theory of media criticism and any theory that
seeks to describe contemporary society. The following selections are intended to provide
overviews that will introduce and expand on these ideas.
Telaah Dasar Teori Kritis Jerman
PENGANTAR
Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Modernitas manusia
sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan modernitas, telah dihantar pada
sebuah situasi yang sedemikian krusial. Modernitas telah membawa manusia pada kemajuan
teknologi yang sedemikian pesat. Teknologi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan
manusia. Manusia semakin dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada.
Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia.
Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia “bisa tidur nyenyak”
dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah menyatakan situasi semacam ini
sebagai ontological security. Modernitas, komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan
kisah kebebasan beragama, kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi,
keterjaminan pangan, penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak lagi.
Teknologi, komunikasi dan modernitas telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan
manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar, lebih bahagia dan sebagainya[i].
Tapi di lain pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi tidak bisa dipisahkan dengan aspek-
aspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang menjanjikan kebahagiaan juga tetap
meninggalkan jejak pengasingan manusia[ii]. Dalam akumulasi kemajuan teknologi yang ada,
tetap dilihat sebuah proses di mana manusia dibuat mabuk kepayang oleh modernitas,
komunikasi dan teknologi modern. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup
modern bisa mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia.
Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia.
Maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk bisa mengkritisi dan melihat
secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah manusia peroleh. Manusia boleh memanfaatkan
kemajuan kehidupan modern, tapi manusia tetap menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan
yang ada.
Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya – mencatat bahwa Teori
Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman telah memberikan kontribusi
yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia.
Kehadiran Max Horkheimer, Theodor. W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan
kawan-kawan telah memberikan angin segar penuh dengan kebijakan yang kritis atas seluruh
fenomena modernitas yang menjanjikan tapi juga kalau tidak hati-hati –menjerumuskan.
Meski sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa
dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan
metodologis.
Untuk memahami secara lebih luas Teori Kritis, penulis mencoba untuk membuat wacana kecil
yang didasarkan dari buku Seyla Benhabib yang berjudul “CRITIQUE, NORM, AND UTOPIA:
A Study of The Foundations of Critical Theory” (selanjutnya akan disebut CNU). Buku Seyla
Benhabib ini dipilih karena dalam buku ini termuat beberapa argumen inti pemahaman Seyla
Benhabib terhadap Teori Kritis. Argumentasi Seyla Benhabib begitu solid dan komprehensif
mengkritisi beberapa kata kunci dalam aliran Teori Kritis.
Penulis akan membagi tulisan dalam makalah ini dalam tiga bagian inti. Bagian pertama penulis
akan lebih banyak menulis tentang Teori Kritis dari tinjauan historis dan beberapa istilah dan
pemahaman kunci dalam Teori Kritis. Bagian kedua, penulis mencoba untuk melihat secara
ringkas pandangan Seyla Benhabib beberapa aspek teknis dan metodologis penulisan buku.
Bagian ketiga, meski dalam bentuk yang sangat sederhana, penulis mencoba merekonstruksi
bangun argumentasi Seyla Benhabib mengenai dasar-dasar Teori Kritis dalam buku tersebut.
Pada bagian ini juga, penulis memberikan beberapa konsiderasi kritis atas bangun argumentasi
yang dibangun oleh Seyla Benhabib[iii].
ALIRAN FRANKFURT, Teori Kritis (critical theory):
Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci
Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule)
merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung
Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai
masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan
mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada
tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh
Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus,
sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm
(psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya[iv].
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische
Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi
teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx,
meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan
aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu[v].
Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran
sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil
semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran
kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya
Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah
Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant.
Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal
rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan
barang-barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya,
ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan
pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan
hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi
marxisme).
Lalu, bagaimana empat inspirasi intelektualisme memberikan pendasaran asumtif di atas dengan
pemikiran Teori Kritis ? Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi
sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl
Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud.
Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas
otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat
dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan
tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak
perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan,
yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia.
Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang
bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan
bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan
kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu
diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat
bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat
kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan
bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi
aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok
pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi
kelemahan epistemologi kritisisme Kant.
Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia.
Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru
menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus
semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis
lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah.
Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar
pemikirannya. Keempat unsur itu adalah proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas
dilihat sebagai prinsip working reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif
empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan teoritis. Ada sebagian
pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri
abad XX (Martin Jay, pp. 42).
Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak
begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa
merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas – kesadaran, tapi
asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel
ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum
dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori
Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel,
penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi
ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal,
problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak
bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba
mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan
sosial dan sejarah manusia.
Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab
utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi
pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk
membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi
kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das Kapital”, Teori Kritis menurunkan
makna kritik dalam pengertian emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx
lebih ingin menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme
ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan
penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis.
Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari
Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik
yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori
Kritis lebih merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang
kehidupan manusia atas praksis kapitalistis.
Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi
kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era
kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang
menyatakan bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru
dengan sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi
modern.
Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial
tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi
dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu.
Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik.
Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori
Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi
instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling
dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan
dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena
kapitalisme modern yang semakin kompleks.
Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk
memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia.
Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga
menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam.
Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir
manusia[vi]. Namun kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa
kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang
hilang” pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis
dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh Marcuse sebagai “kesadaran
palsu”.
Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam
melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat
integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha
rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual – dalam
tataran mikro – dan masyarakat – dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran
Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis “ Studien über
Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983).
Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa
sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya.
Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca
industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam
kebudayaan. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertola dari pemahaman
rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi
masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.
Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa
pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia
dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang
melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan
manusia atas perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya
sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika.
Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak berhasil menghilangkan mitos. Pada
titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional.
Mitos mengandung representasi dari yang Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon
tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya
diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya
sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu
pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku
Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE).
Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah
kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa
masyarakat mengalami satu dimensi[vii] (Marcuse, One Dimensional Man, 1964 selanjutnya
buku Marcuse akan disebut ODM). Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan,
seni, filsafat, sistem politik dan lainya.
Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang
sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep
kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan
formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik.
RANCANG BANGUN Seyla Benhabib DALAM BUKU
CRITIQUE, NORM AND UTOPIA
Seyla Benhabib (seorang perempuan) adalah seorang pemikir teori kritis. Dia merupakan
intelektual sistematik yang mempelajari seluk beluk Teori Kritis. Dia adalah penerima bea siswa
Alexander von Humboldt dari juni 1979 sampai Desember 1981 pada Max Planck Institutes fur
Erforschung der Leben. Seyla Benhabib belajar langsung di bawah bimbingan Jurgen Habermas
dan C.F. von Weizsacker.
Seyla Benhabib menulis buku ini dengan membagi dua bagian besar buku yang mempunyai isi
yang berbeda. Meski berbeda tapi dua bagian besar itu tetap memperlihatkan hubungan yang
sangat erat.
Bagian pertama buku ini lebih banyak berisi pandangan dan perspektif Seyla Benhabib atas
konsep kritik dalam karya Hegel berikut transformasi pengertian kritik dalam pandangan Karl
Marx.
Dalam bagian kedua, Seyla lebih banyak menyatakan transformasi konsep kritik dalam
pengertian Hegel dan Marx diradikalisasikan oleh Sekolah Frankfurt, khususnya dalam
pandangan Horkheimer dan Adorno. Pada bagian ini, Seyla Benhabib juga menambahkan
refleksi kritik akal budi fungsionalis dalam masyarakat pasca-kapitalis yang dikembangkan oleh
Jurgen Habermas.
Seyla Benhabib dalam buku ini lebih kuat dalam penalaran penelusuran tematik yang
dibicarakannya dengan menyertakan konteks sosial, historis, konseptual dari ragam teori yang
dibicarakan.
Seyla Benhabib berkata:
…in general, to understand a philosophical argument and to evaluate its cogency, it is necessary
to know the questions and puzxles which such an argument proposes to answer. To understand
these questions and puzzles, in turn, it is necessary to reconstruct those social, historical dan
conceptual contexts which form the horizon of inquiry of different theories. (CNU, hal. x)
Tujuan utama penulisan buku ini adalah pengembalian dan penyusunan kembali “ketidakjelasan-
ketidakjelasan” dalam proyek-proyek Teori Kritis terutama dalam konteks perkembangan teoritis
yang ada[viii].
Seyla Benhabib memulai diskusi proyek Teori Kritis dengan mencoba untuk menarik kilas dasar
metode kritik imanen Hegelian. Dalam wacana filsafat modern, metode imanen sering disebut
dengan metode penelitian filsafat non kriteriologis. Metode non kriteriologis ini menarik untuk
dibahas karena peneliti diperkenankan untuk mengkritisi argumen kontra dengan
memperlihatkan inkonsistensi internal atau kontradiksi internal yang ada dalam setiap teks
proposisi filosofis yang dikritisi. Hegel mengkritisi teori hak kodrat dengan mengkritisi aspek
internalnya. Sedemikian juga halnya, Marx mengkritisi teori hak kodrat modern John Locke dan
Kant sebagai hal yang preskriptif dan ideologis.
Bab kedua memperlihatkan dasar temuan Hegelian atas makna kerja dan prinsip emansipasi.
Seyla Benhabib lebih condong memprioritaskan tulisannya pada tulisan Hegel yang berjudul
“The phenomenology of Spirit”. Secara umum, tulisan pada bab II ini lebih banyak
mendiskusikan filsafat subjek. Filsafat subjek tidak ditolak tapi justru dipertegas melalui tulisan
Marx dalam Manuscripts 1844.
Model tindakan sosial manusia dan dasar rasionalitas kritik sangat diperlukan dalam seluruh
pemahaman Teori Kritis. Model kerja tersebut sebetulnya telah diperkenalkan oleh Hegel dalam
proses eksternalisasi manusia, tapi hal itu diubah oleh Karl Marx sebagai produksi[ix]. Tindakan
kerja manusia ini juga akan menjadi tema utama dalam Teori Kritis. Pengembangan lebih lanjut
filsafat subjek yang akhirnya menempatkan kerja sebagai unsur vital dalam Teori Kritis selain
dalam pemikiran Marxisme Ortodox.
Bab keempat buku Seyla Benhabib lebih banyak berisi argumentasi Seyla Benhabib melawan
makna tindakan dan filsafat subjek. Dalam argumentasinya, Seyla Benhabib mencoba membagi
dua dimensi inti argumennya, yaitu dimensi klarifikasi filosofis atas konsep tindakan, interpretasi
dan otonomi. Dimensi lainnya adalah dimensi kritik Seyla Benhabib atas model kerja dari
tindakan dan filsafat subjek berikut implikasinya terhadap teori sosial yang ada. Kritik Seyla
Benhabib ini terpecah dalam soal analisis Marx atas kapitalisme, diagnose Aliran Frankfurt atas
masyarakat state-capitalist dan teori Habermas atas masyarakat kapitalisme lanjut.
Tataran wacana terakhir akan menyatakan pandangan Seyla Benhabib tentang pertanyaan: apa
yang bisa dipelajari dari kritik Hegel atas teori Kant dalam konteks pengembangan program etika
komunikatif dan otonomi ? Keberatan Hegel atas prinsip universalibitas Kant menjadi pegangan
teks terakhir ini. Dalam kaitan ini, prinsip kritik Hegel ini akan dielaborasikan dengan prinsip
keadilan prosedural John Rawls sebagai penganut neo-kantisme (Rawls, 1974)[x].
Konsep norma dan utopia selalu mengandaikan politik pemenuhan dan politik transfigurasi.
Dalam hal ini, Seyla Benhabib melihat bahwa politik pemenuhan dan politik transfigurasi juga
mempengaruhi pola pandangan Teori Kritis dalam seluruh perkembangannya.
Hal-hal di atas merupakan beberapa hal pokok terutama ketika kita melihat beberapa konsep
kunci yang diperlihatkan oleh Seyla Benhabib. Seyla Benhabib sebagai seorang penulis tidak
hanya sekedar menulis mengenai apa saja dasar-dasar Teori Kritis tapi secara jeli juga
memberikan penilaian kritis terhadap Teori Kritis itu sendiri. Itulah sifat kritik imanen yang
dikembangkan terus oleh Seyla Benhabib dalam bukunya.
BEBERAPA WACANA KUNCI ARGUMENTASI Seyla Benhabib:
Kritik, Norma Etis dan Utopia
Setelah kita melihat rancang bangun buku yang ditulis oleh Seyla Benhabib, maka penulis akan
mencoba untuk mendalami beberapa argumentasi yang dia bangun secara sistematis. Dalam
bukunya ini, Seyla Benhabib banyak mengandaikan kemampuan pembaca untuk berdialog
dengan para pemikir Jerman baik dalam era Aufklarung maupun era Modern.
Wacana Pratama: KRITIK
Berbicara tentang Teori Kritis tidak bisa dipisahkan dengan wacana kritik. Kekuatan Teori Kritis
terletak pada kemampuan elaborasi kritik dalam situasi dan kondisi tertentu. Sudah sejak awal
Teori Kritis mengambil sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan dalam hal ini teori tradisional dan
masyarakat. Teori Kritis secara lengkap memberikan pendasaran kritik pada krisis teori
tradisional yang melulu mempertahankan status quo yang ada, teori yang memisahkan teori dan
praksis – tidak berkecimpung dalam penerapan praktis sistem teoritis konseptualnya. Oleh sebab
itu, penolakan Teori Kritis terhadap preskriptivisme dan filsafat sosial tradisional merupakan
warisan Hegel.
Kritik imanen menjadi sangat krusial dalam seluruh pembangunan sebuah teori yang akhirnya
memerdekakan manusia. Kritik imanen adalah kritik yang pertama dan utama atas dogmatisme
dan formalisme pengetahuan yang ada. Kritik imanen yang dikembangkan oleh Teori Kritis
adalah kritik dogmatisme positivisme yang mendasarkan pada pemikiran August Comte dan
Francis Bacon, juga kritik atas formalisme deduktif Aristotelianisme yang kaku. Kritik imanen
mau mengatakan bahwa isi dan bentuk, yang apa adanya dan seharusnya, harus direfleksikan
pada dasar kesadaran yang terikat pada bentuk kehidupan.
Seyla Benhabib mengatakan bahwa Hegel mengkritisi bifurkasi (entzweiung) masyarakat
modern yang tercermin melalui teori hak kodrati dari titik pijak utopia yang retrospektif.
Menurut Marx, bifurkasi lebih bersifat prospektif: penyatuan yang universal dengan yang
partikular. Dalam dua kasus tersebut, masyarakat modern dan teori hak kodrati dikritik dalam
dalih atas nama idea kebersatuan. Kritik dalam pengertian Hegel dipengaruhi oleh keberadaan
polis. Sementara itu, kritik Marx dilihat dalam kondisi medan sosial yang antagonistik. Seyla
Benhabib melihat bahwa proses berpikir bifurkasi – de-diferensiasi Hegel dan Marx untuk
konteks di atas tetap tidak dapat dipisahkan dari pandangan kehidupan etis dan politis yang de
fakto antagonistik dalam masyarakat modern.
Seyla Benhabib berpendapat bahwa pemahaman yang luas warisan Hegel dan ajaran Marx di
atas harus dipahami dalam kritik yang lebih konkret. Maka Seyla Benhabib memberikan
beberapa tesis pelengkap atas kritik yang ada. Pertama adalah fakta kritik Hegelian atas teori
preskripsi normatif yang ada dan memang terjadi perubahan mendasar dari pemikiran praktis
Aristotelian menuju filsafat praksis. Maka, Seyla Benhabib menambahkan konsep
intersubjektivitas dan transubjektivitas[xi] dalam wacana subjek Hegelian. Tidak berhenti di situ
saja, Seyla Benhabib juga memberikan kritik tajam atas pandangan Marx tentang emansipasi.
Menurutnya, emansipasi harus dibagi dalam dua pengertian yang jelas: pemenuhan dan
transfigurasi.
Terminologi pemenuhan (fulfillment) dan transfigurasi adalah konsep yang berbeda dengan
emansipasi. Terminologi pemenuhan dan transfigurasi lebih bersifat substantif dan normatif.
Sifat yang sama juga dialami oleh term intersubjektivitas dan transubjektivitas. Terminologi
pemenuhan lebih mengacu pada nilai Marxian sementara transfigurasi lebih mengacu pada ide
Hegel. Intersubjektivitas dan transubjektivitas lebih bersifat konstitutif pada negara modern.
Dalam masyarakat seperti inilah, wilayah tindakan dilembagakan dan dilaksanakan melalui
hukum yang terbuat secara tidak sengaja oleh agen sosial atau hanya bisa diselidiki oleh subjek
transubjektif.
Menurut Seyla Benhabib, Teori Kritis bermaksud untuk mendemistifikasikan kekuatan domain
sosial tersebut atas kehidupan individu, dan mengembalikan seluruh interpretasi dan tindakan
sosial pada masing-masing individu itu sendiri. Seyla Benhabib berpendapat bahwa kelemahan
pandangan Marx dalam hal ini lebih terletak pada term re-approsiasi. Re-approsiasi lebih
bermakna ketika filsafat subjek dikembalikan lagi pada posisi sosialnya dari pada hanya sekedar
mengedepankan intersubjektivitas.
Seyla Benhabib mengembangkan argumentasi intersubjektivitas dan transubjektivitas. Tesis
Seyla Benhabib adalah diskursus intersubjektivitas dan transubjektivitas menjadi pokok masalah
dalam pembahasan Teori Kritis. Hegel dan Marx tidak mengasumsikan kerja sebagai karya
individu yang terisolasi. Kerja selalu bersifat sosial. Oleh sebab itu, kerja sebagai proses realisasi
diri tidak dipahami sebagai kerja individual tapi komutatif atau kolektif. Hegel dan Marx
ternyata justru bersifat transubjektif dalam melihat kerja kolektif .
Kritik Hegelian dan keberatan atas teori hak kodrati merupakan kesatuan bersama pada tingkatan
kehidupan etis. Menurut Seyla Benhabib, Hegel melihat sejarah sebagai keniscayaan sosial, etika
dan idealisme nilai. Filsafat sebetulnya dipakai untuk mengurangi bifurkasi dalam kehidupan
manusia. Tapi masalah dalam epistemologinya, Hegel tidak memberikan pandangan yang utuh
atas seluruh proses manusia, termasuk di dalamnya cara pandang, tata nilai, interpretasi dan
tindakan sosial.
Kritik anthropologis Marx terhadap Hegel lebih memanusiakan filsafat sejarah Hegel. Tapi tetap
saja, kritik Marx merupakan model normatif atas emansipasi. Ketidakakurasian kategori Marxian
atas objektifikasi untuk mengkarakterisasikan aktivitas komunikatif dan kegagalan paradigma
Hegel atas nilai eksternalisasi membawa pengaruh yang tidak sedikit dalam pemahaman Teori
Kritis. Objektifikasi dan eksternalisasi didasarkan pada model teleologis intensional tindakan
manusia.
Wacana II: Norma dan Transformasi Kritik
Dalam wacana selanjutnya, Seyla Benhabib mencoba mencatat tingkat radikalisasi dan
transformasi kritik Hegel dan Marx yang dilakukan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno.
Dalam kaitan dengan kritik rasionalitas, Teori Kritis jelas telah mengambil sikap dalam empat
karakter utama, yaitu Teori Kritis selalu bersifat historis. Perkembangan Teori Kritis selalu
mengacu pada situasi masyarakat yang konkret dan berpijak dan tidak berjarak dari realitas,
Teori Kritis disusun dalam keterlibatan aktif dan historis dari para pemikirnya, Teori Kritis
tersusun dalam proses kecurigaan kirtis terhadap masyarakat aktual, yang bermaksud untuk
menelanjangi manipulasi-manipulasi ideologi – ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat.
Teori Kritis, terutama ditujukan untuk menjadi teori yang bertujuan praktis. Teori Kritis
mengambil sikap untuk tidak netral.
Seyla Benhabib pada bagian ini lebih mau mendiskusikan posisi Teori Kritis dalam seluruh
konteks transformasi kritik Hegelian dan Marxian dalam perspektif Teori Kritis. Keterbatasan
dan kelemahan metodologis epistemologi Hegel dan Karl Marx memperlihatkan perlunya
penjernihan makna kritik dan norma sosial. Kelemahan kedua filsuf itu terletak pada
ketidakmampuan kedua filsuf tersebut membumikan proses kritik imanen dan pencerahan yang
sebetulnya menjadi cita-cita teori yang mereka buat.
Dengan demikian perlu ada eksplorasi transformasi proyek kritik dengan menggunakan konsep
kritik imanen, kritik defetishsasi dan kritik sebagai diagnosa krisis.
Pola dominan yang dipunyai Teori Kritis dalam pembahasan ini adalah bahwa kritik Hegelian
dan Marxian ditransformasikan menjadi kritik atas rasio instrumental[xii].
Inti kritik rasio instrumental Horkheimer, menurut Seyla Benhabib, adalah bahwa telah terjadi
penjerumusan akal budi objektif dengan mengemukakan akal budi yang semata-mata
instrumental. Usaha manusia untuk semakin dikuasai oleh rasionalitas justru membuat manusia
masuk pada kehancuran diri (self-destruction). Untuk itu, manusia mengusahakan akal budi yang
murni subjektif. Akal budi subjektif adalah akal budi yang mengarah pada manfaat.
Akal budi subjektif, dalam pandangan Seyla Benhabib, selalu mengandaikan dan melanggengkan
self-preservation[xiii], di mana akal dimanfaatkan untuk menjadi alat perhitungan kemungkinan-
kemungkinan tercapainya tujuan subjek[xiv] (Horkheimer, 1964). Lawan akal budi subjektif
(instrumental) adalah akal budi objektif. Seyla Benhabib melihat bahwa Horkheimer berpendapat
bahwa akal budi objektif mempunyai wewenang terhadap manusia. Rasio objektif tidak netral.
Dengan demikian, Horkheimer menurut Seyla Benhabib mengandaikan otonomi moral dan
reflektivitas moralitas yang tangguh dalam seluruh proses pemilihan tindakan sosial yang ada.
Akal budi instrumentalis pada dasarnya netral karena rasio instrumental bisa digunakan sebagai
tujuan di luar dirinya sendiri[xv] (Sindhunata, 1983).
Pada proses selanjutnya, manusia tidak lagi percaya pada konsep nilai dalam rasio objektif. Akal
budi diformalitaskan. Formalisasi akal budi memudahkan terjadi instrumentalisasi akal budi
manusia. Hal ini terjadi ketika akal budi manusia dimasukkan dalam proses kapitalisasi kolektif
dalam perspektif ekonomi politik Karl Marx. Pergeseran demi pergeseran mengubah manusia
dalam kungkungan ideologi di mana manusia tidak bisa lagi kritis dengan keadaan sekitarnya
bahkan terhadap dirinya sendiri.
Masalahnya, Seyla Benhabib mencatat adanya ambivalensi posisi Teori Kritis dalam kritik rasio
instrumentalis. Di satu pihak, Teori Kritis memang menangkap maksud pemikiran Weberian
dalam proses rasionalisasi tapi di lain pihak Teori Kritis juga menerapkan utopia rasionalisasi
kemasyarakatan dan kebudayaan.
Berkaitan dengan konteks di atas, Seyla Benhabib melihat bahwa konsep self-preservation
mengimplikasikan cara berelasi, keperluan dan keinginan diri sebagai sesuatu yang tidak berubah
dan ahistoris. Meskipun demikian konsep self-preservation tetap memperhatikan kondisi sosial,
sejarah. Otonomi manusia mangandaikan tindakan reflektif. Tindakan reflektif ini akan dinilai
oleh prinsip etis sosial yang terkait dengan latar belakang kolektif yang ada.
Menurut Seyla Benhabib, Horkheimer mempertahankan wacana etika formalisme Kantian. Pada
dasarnya, Teori Kritis mengembangkan etika material atas nilai. Horkheimer mencoba
memperlihatkan dan mengeksplorasi seperangkat norma yang seharusnya memberikan makna
kehidupan manusia apa adanya.
Maka dapat dikatakan bahwa dalam seluruh wacana II ini dapat diperlihatkan bahwa terjadi
kompleksitas baru dalam pandangan Horkheimer, Adorno, Marcuse dan lainnya. Tetap terjadi
ketegangan antara filsafat yang praksis dengan pemikiran yang memperlihatkan momen
emansipasi tidak terbatas lagi dalam aktivitas konkret individu tapi juga dalam tataran nilai yang
mempengaruhi rasio dan sistem nilai orang atau individu.
Dalam Negative Dialectics, Adorno mencoba membuka untuk melihat secara jelas posisi premis
kesejarahan dalam seluruh pengalaman manusia individual. Harus ada posisi sosial yang
memberikan pengaruh pada pemikiran identitas.
Kritik filsafat anthropologi Teori Kritis tidak bisa dilihat lagi sebagai filsafat kesejarahan.
Konsep otonomi tidak bisa dilihat sebagai kategori aktualisasi diri. Otonomi seharusnya dilihat
dalam perspektif anthropologi filosofis atau filsafat sejarah. Yang jelas problem otonomi
manusia harus dilihat dalam dua tahap yang jelas, yaitu tahapan bahwa otonomi melampaui soal
preservasi diri.
Wacana III: Transformasi Kritik dan Tranformasi Etika Komunikatif
Dalam pandangan Seyla Benhabib, di sana-sini terjadi kebuntuan dalam Teori Kritis dalam
memahami proses kritik sosial. Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx sudah disibukkan
dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan manusia
tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong
praksis perubahan sosial. Praksis bukan merupakan tingkah laku buta atas naluri belaka,
melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Jadi praksis diterangi oleh kesadaran
rasional.
Seyla Benhabib melihat bahwa Habermas sudah meneliti bahwa Hegel menjadi pelopor tradisi
ilmu sosial kritis untuk memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja” tapi juga merupakan
proses “tindakan komunikatif”. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional, rasio tidak hanya
tampak dalam aktivitas menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi
intersubjektif dengan bahasa sehari-hari. Jadi, seperti halnya kerja membuat orang berdistansi
dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga baik kerja maupun
bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas.
Seyla Benhabib juga melihat bahwa Habermas tidak hanya berpendapat bahwa paham ilmu kritis
juga menampakkan kebuntuan dengan kepentingan emansipatorisnya. Sesungguhnya teori ini
ingin membantu manusia untuk semakin otonom dan dewasa.
Otonomi kolektif berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi. Konsensus bisa
dicapai dalam masyarakat yang reflektif dan berhasil melakukan komunikasi secara memuaskan.
Tentu saja paradigma komunikasi meliputi klaim kesahihan yang terdiri dari klaim kebenaran,
klaim ketepatan, klaim otentisitas dan klaim komprehensibilitas (Habermas, 1983).
Dalam wacana ini, Seyla Benhabib berpendapat bahwa Habermas memberikan tawaran wacana
komunikatif untuk “menambal” kelemahan Teori Kritis dalam menghadapi masalah modernitas.
Teori Kritis, meski demikian, memperlihatkan rasio yang dikondisikan secara kontekstual. Teori
Kritis tetap memperlihatkan pencerahan tidak bisa diatasi dengan meninggalkan kompleksitas
sosial modern tapi dengan pencerahan lebih lanjut. Menurut Seyla Benhabib, Habermas tetap
konsisten mengatakan bahwa negasi tetap atas rasio yang berpusat pada subjek dengan rasio
yang dipahami sebagai tindakan komunikatif.
Rasio komunikatif merupakan sikap mengobjektifkan yang membuat subjek pengetahuan
memandang dirinya sebagai entitas-entitas di dunilai luar tidak lagi terprevilegikan. Hubungan
ambivalensi dari subjek kepada dirinya dihancurkan oleh intersubjektivitas yang memungkinkan.
Rasio tidak mengasimilasikan diri pada kekuasaan tapi lebih langsung atau tidak langsung
berasimilasi pada klaim kebenaran, ketepatan normatif, otentisitas dan keselarasan estetik.
Seyla Benhabib melihat bahwa titik tolak Habermas atas rasionalisasi selalu menghasilkan tiga
segi. Segi pertama adalah reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru
yang muncul, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk
kebutuhan konsensus. Segi kedua adalah integrasi sosial yang menjamin bahwa dalam situasi
baru, koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana hubungan antar pribadi yang diatur
secara legitim. Segi ketiga adalah sosialisasi yang menjamin bahwa dalam situasi baru, perolehan
kemampuan umum untuk bertindak bagi generasi mendatang tetap terjamin.
Refleksi: Wacana Alternatif
Setelah membaca buku Seyla Benhabib ini ada beberapa konsiderasi reflektif yang mungkin
perlu diungkapkan sebagai usaha proses pendalaman isi reflektif buku yang dibaca.
Pertama, salah satu maksud praktis dari Teori Kritis adalah membantu proses refleksi diri
masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Proses rasionalitas adalah proses
menuju otonomi dan kedewasaan. Dalam hal ini Teori Kritis berhutang besar pada “patron
sosiologi” Max Weber atas sumbangan tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik yang
sama juga, Teori Kritis juga mengalami kebuntuan teoritis atas seluruh proses rasionalitas. Teori
Kritis melalui Habermas dan Seyla Benhabib mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas
dengan rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi. Teori Kritis mengkritisi
modernitas ketika mereka mau mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan dan
kemakmuran ekonomis. Dalam tindak komunikatif, ada bentuk rasionalitas lain yang perlu
dibangun, yaitu rasionalitas praktis moral. Tapi hal itu tidak pernah bisa berkembang. Dalam hal
ini proyek emansipatoris mengalami hambatan yang luar biasa dalam hal tersebut. Sejauh mana
rasionalitas praktis-moral mendapat nilai untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi
masyarakat.
Seyla Benhabib tidak melihat secara komprehensif potensi krisis yang dialami oleh masyarakat.
Seyla Benhabib secara jelas mencoba mengikuti Profesornya, yaitu Habermas, bahwa ancaman
krisis yang paling mencolok adalah krisis sosio-kultural. Meminjam istilah Habermas, krisis
legitimasi dimulai dengan krisis motivasi. Dalam pengalaman empiris, Seyla Benhabib
mengikuti Habermas menunjukkan bahwa krisis legitimasi negara telah menguras energi
utopianya untuk membangun masyarakat emansipatoris. Utopia atas kerja sosial memang habis.
Tapi apakah utopia sudah lenyap dari sejarah ? Kiranya justru sekarang utopia bergeser pada
arah komunikasi sosial.
Teori Kritis mencoba untuk menghitung dan memprediksi kritik, tataran norma dan utopia pada
masyarakat kapitalisme lanjut. Masihkah perjuangan sosial harus diteruskan dan disuarakan ?
Tetapkah energi pemikiran kritis tetap aktual bagi masyarakat sekarang ?
Perspektif Teori Kritis Komunikasi Massa
Perkembangan perspektif kritis dan budaya dalam memahami komunikasi massa, akhir-akhir ini,
menjadi penting dan menjadi perspektif alternatif. Akar perspektif kritis berangkat dari asumsi-
asumsi teori Marxis selain bahwa juga dipengaruhi dengan kritisisme bahasa. Argumentasi
teoretisi menyatakan bahwa media massa selalu mendukung status quo dan mencampuri usaha
gerakan perubahan sosial. Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah
di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi
intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik
bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian
komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi.
Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial
dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan
arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.
Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari
paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang
tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial.
Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari
kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba
membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis
tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan
paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas.
Beberapa teoretisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bisa bertahan dari gempuran pengaruh
media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana kekuatan elite
domina mampu secara efektif dikritisi secara maksimal. Dalam perdebatan teoretis ini memang
harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan
penelitian yang bersifat empirik positivistik.
Perspektif Kritis dan Kultural
Teori kultural dalam posisi tertentu merupakan juga teori kritis. Sistem nilai kurang lebih
menjadi dasar dari posisi epistemologis tersebut. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyaraakt
dipakai untuk mengkritisi institusi sosial yang ada dan praktik tindakan sosial. Institusi dan
tindakan sosial meminggirkan beberapa nilai penting yang dikritisi. Alternatif-alternatif institusi
atau tindakan sosial ditawarkan. Teori digunakan untuk melakukan tujuan praksis. Teori
dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik
sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil
karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi.
Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat,
pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik
kritis terdiri dari tiga kriteria.
Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi.
Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam
masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu.
Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam
norma-norma budaya dominan.
Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan
dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan
demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu
kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas
yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan
manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretatif. Oleh sebab
itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara
simbol dengan realitas yang disimbolkan.
Politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan
makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial
penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi.
Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok
dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang
budaya - tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi -
konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang. Hal ini
disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah
dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan
paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.
Salah satu ciri kajian budaya adalah menempatkan teori kritis sebagaim basis analisa. Pengertian
teori kritis di sini mencakup metode metadisiplin atau mengabaikan satu ilmu alat ketika analisa
dirasakan telah mencapai upaya membangun perspektif yang lebih baru. Sebagaimana galibnya
sebuah tujuan penelitian ilmu, ia tidak diharapkan hanya mengisi ulang alasan-alasan yang telah
ada, tetapi bagaimana memunculkan dan mematikan alasan-lasan lama bila dianggap tidak
berbasis pada teks yang dituju. Kearifan cultural studies akan menggiring kita kepada
pemahaman bahwa setiap waktu atau satuan era, lokalitas, dan konteks masyarakat memiliki
hasrat sosial yang tidak sama. Pencapaian pemahaman tinggi dapat terjadi jika kita dengan lunak
mencerdasi setiap fenomena sosial melalui sebuah format ingin tahu, meneliti, dan berbicara
sebagai subyek pelaku.
Catatan Kritis
Namun demikian yang lebih penting untuk diuraikan berikutnya tentu saja adalah teori-teori
media dan kritisisme sosio-kultural yang mampu menyediakan wacana kritik dan telah
memungkinkan suatu praksis politik. Disamping beberapa konsep dan metode yang diderivasi
dari wacana filosofis tersebut, teori media dan teori kritik media juga tak mungkin di cerai-
beraikan dari teori budaya. Perjumpaan perspektif yang eklektif itu bisa dimengerti jika kita
menelisik pengertian budaya. Pengertian yang cukup representatif diusulkan oleh Raymond
Williams dalam Keywords (1983:87) yang mengoleksi tiga definisi untuk kata ‘budaya’;
pertama, budaya dapat digunakan untuk menunjuk pada proses umum intelektualitas, spiritualitas
dan perkembangan estetika.
Kita dapat, misalnya, berbicara tentang perkembangan budaya Aceh dan hanya menunjuk pada
faktor-faktor intelektual, spiritual, dan estetikanya -- ulama’-ulama’, para seniman, dan sajak-
sajak. Kedua, kata ‘budaya’ untuk menunjuk pada cara pandang tertentu, apakah itu suatu
masyarakat, jaman maupun suatu kelompok. Ketiga, Williams menyarankan bahwa budaya dapat
digunakan untuk mengacu pada karya-karya dan praktik-praktik intelektual khususnya aktivitas
artistik. Dengan kata lain, ‘teks-teks’ dan ‘praktik-praktik’ yang fungsi utamanya adalah untuk
menandakan dan untuk memproduksi makna. Definisi ketiga inilah yang memiliki
persinggungan dengan apa yang biasa disebut oleh para strukturalis dan pasca-strukturalis
sebagai ‘praktik-praktik penandaan’.
Berbicara tentang budaya, kiranya wilayah antropologi dan sosiologi tidak bisa dikesampingkan
begitu saja. Dalam pemahaman antropologis, budaya adalah “suatu sistem simbolik yang
terbentuk secara internal, khas secara sosio-historis. Dengan demikian -berlawanan dengan
definisi diatas- untuk merengkuh budaya tidak mungkin dengan mereduksinya pada praksis,
struktur sosial atau ‘impuls-impuls kemanusiaan dasar”.
Teori Kritis Simulacra dan Hyper-reality: Super Junior, Representasi Ketampanan Lewat
pencitraan
PENDAHULUAN
Dari keseluruhan program hiburan yang disiarkan di tv, pasti salah satu satunya adalah acara
musik. Jika diperhatikan, acara musik di setiap statsiun tv swasta Indonesia jenisnya sama hanya
sedikit dibedakan pada packagingnya, misal indoor atau outdoor. Selebihnya, acara-acara musik
itu dipandu oleh MC yang terdiri dari artis perempuan cantik, pria tampan, dan aktor lawak
untuk memeriahkan suasana dan menghibur penontonnya.
Selain menyuguhkan musik-musik yang menjadi hits/single terbaru, acara musik di TV juga
biasanya menyajikan tayangan yang menggambarkan fenomena dalam dunia musik saat itu,
misalnya menampilkan Udin Sedunia,seorang penyiar radio yang terkenal karena lagu yang ia
buat dan ia post lewat jejaring youtube, fenomena Briptu Norman yang lipsing lagu india, dan
lain lain.
Acara musik tentu sangat berhubungan erat dengan rating karena rating akan mempengaruhi
pihak pengiklan apakah akan memasang iklan pada acara tersebut. Sumber dana produksi sebuah
acara tv sebagian besar dari iklan. Untuk itu, sebuah acara musik harus selalu menyajikan
tayangan tayangan yang terbaru, menyajikan musik-musik yang memang sedang trend dan
disukai masyarakat agar masyarakat tertarik untuk menonton acara tersebut sehingga rating acara
musik itu akan naik dan pemasang iklan tertarik untuk memasangkan iklan produknya pada
acara yang ber-rating tinggi tersebut.
Salah satu fenomena dalam dunia musik yang menyedot perhatian public di Indonesia dan yang
sedang terjadi sekarang yakni fenomena Boyband yang banyak bermunculan di Industri musik
dan pertelevisian Indonesia. Nama Boyband SM*SH muncul kepermukaaan sebagai gebrakan
pertama dan yang mempelopori lahirnya era baru Boyband Indonesia.
Ditengah kebosanan dan kejenuhan publik akan musik Indonesia sebelum boyband, yakni
menjamurnya band band yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia yang menyanyikan lagu
cinta dengan nama band yang ear-catching. Singe-single mereka menjadi hits dan menjadikan
mereka muncul sebagai bintang tetapi tidak lama kemudian, bintang itu pun akhirnya tenggelam
karena situasi, yakni persaingan yang ketat dimana banyak bermunculan band band baru yang
lebih inovatif dan kreatif. Karena tidak bisa mempertahankan kreatifitas dan posisinya akhirnya
mereka tenggelam dalam persaingan. Sedikit banyak begitulah alur yang terlihat, walau ada
beberapa band yang bisa bertahan lebih lama dikarenakan beberapa factor pendukung, misalnya
ketersediaan modal produksi, kreatifitas yang terus dikembangkan, dan memang popularitasnya
selalu naik misal karena issue, gossip, dll contohnya Dewa19, Ungu, Seventeen, dll.
Kembali ke era baru Boyband dengan SM*SH sebagai pelopornya, acara musik di tv berlomba
lomba untuk menampilkan SM*SH di TV, duet SM*SH dengan penyanyi lain, bahkan
infotainment pun tidak mau ketinggalan.
Kemunculan Boyband SM*SH menuai pro-kontra di masyarakat. Pihak yang pro mendukung
boyband SM*SH karena dianggap memberi angin segar bagi dunia musik Indonesia yang mulai
monoton dan menghidupkan kembli era Boyband yang dulu pernah ada dan kemudian redup,
misalnya Trio Libels, ME,dll. Pihak yang kontra menganggap SM*SH telah melakukan
plagiarism konsep terhadap konsep Boyband-Boyband yang sekarang juga tengah menjadi trend
di Korea Selatan. Tetapi Plagiarism atau bukan belum ada yang bisa menentukan dan
membuktikannya sampai sekarang. Untuk mengklarifikasi dan meredam issue/tuduhan
plagiarism terhadap SM*SH, SM*SH sendiri telah mengakui kalau mereka memang terinspirasi
oleh boyband korea tetapi menolak untuk disebut sebagai plagiat. Hal tersebut membuktikan
bahwa memang industri musik negeri gingseng tersebut memang memberikan pengaruh
tersendiri terhadap dinamika musik Indonesia.
Salah satu boyband asal Korea Selatan yang memiliki banyak fans di Indonesia dan terkenal
tidak hanya di Asia bahkan Dunia serta cukup berpengaruh di industry musik asia adalah Super
Junior. Boyband yang beranggotakan 13 pria muda asal Korea Selatan ini memiliki penggemar
di banyak Negara di dunia terutama asia dan Super Junior merupakan sebuah fenomena yang
menarik untuk dikaji karena pasalnya boyband ini memiliki jutaan fans/penggemar yang
tergabung dalam banyak fansclub yang juga tersebar diseluruh dunia bahkan ada fansclub yang
lingkupnya internasional, jadi anda harus mendaftar dan memiliki kartu member fansclub jika
ingin menjadi fans resmi dan diakui menjadi fans Super Junior yang kerap disebut ELF ini.
Fansclub ini melakukan banyak kegiatan bersama misalnya menonton konser bersama,
mengadakan acara gathering atau kumpul kumpul dan diskusi yang biasanya dilakukan via
online lewat forum-forum diskusi di internet dan tema diskusinya tentu saja tentang idola
mereka, Super Junior. pertanyaan yang sering muncul adalah hal apa yang sebenarnya dimiliki
oleh boyband ini dan apa saja yang mereka lakukan sampai melahirkan fenomena yang begitu
luar biasa, dicintai dan digemari banyak orang dari berbagai kelompok umur terutama remaja
wanita padahal mereka tidak kenal secara personal, bahkan banyak yang tidak pernah bertemu
langsung. Pada intinya mengapa mereka bisa begitu memuja dan mengidolakan orang “asing”
yang bahkan orang “asing” tersebut juga tidak mengenal para penggemarnya satu per satu.
Berbagai pendapat dilontarkan oleh para penggemarnya tentang Super Junior, apa yang mereka
suka, apa pendapat mereka, mengapa mereka begitu tergila gila kepada Super Junior, dan
jawaban mereka rata-rata sama yakni musik, dan ketampanan yang dimiliki masing masing
personil. Konsep tampan itu kini menjadi homogen bagi Super Junior, dan kesadaran yang
mereka miliki adalah bahwa yang memiliki ciri ciri wajah seperti Super Junior -lah yang
termasuk pria tampan. Homogenitas tentang criteria pria tampan dikonstruksikan atau dibentuk
oleh media dan salah satu representasinya adalah Super Junior, hal ini (konstruksi ketampanan
ini) yang juga menginspirasi salah satunya boyband SM*SH.
Ada kesamaan yang bisa dilihat dari boyband boyband tersebut, yakni wajah putih bersih, tubuh
proporsional, bentuk wajah lonjong atau segitiga, hidnung mancung, ceria, pembawaan hangat
dan ramah, charming, pembawaan yang romantis, mempesona dan menjadi idaman setiap
wanita. Kesadaran semu yang diciptakan yakni bahwa pria yang ideal adalah yang memiliki ciri
tersebut.
Citra tersebut mempengaruhi kesadaran dan penilaian orang apalagi yang menjadi fans fanatik
dari suatu boyband dalam melihat dunia dengan kata lain pandangan yang dimiliki akan menjadi
sempit karena akan selalu berpatok kepada apa yang dimiliki, melekat, dan dilakukan oleh
boyband tersebut. Pencitraan dalam konstruksi seperti apa kriteria pria tampan yang ideal itu
ditampilkan terus menerus sehingga melekat pada diri publik, sehingga publik terutama fans
akan memiliki standar yang sama atau homogen tentang seperti apa pria yang tampan itu.
Manusia modern memang dibuat dan dikondisikan untuk tidak bisa dan tidak akan dapat lepas
dari kepentingan kapitalisme dengan ritual intinya (produksi, konsumsi, distribusi). Situasi
sekarang ini sudah bukan lagi situasi dimana produksi barang dilakukan untuk semata mata
memenuhi kebutuhan, kapitalis bertindak lebih juh dengan menciptakan sebuah kebutuhan
(perasaan dan hasrat membutuhkan sesuatu yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan
pokok/tidak terlalu dibutuhkan) lewat kesadaran yang dibentuk. Produk kapitalisme pun menjadi
satu atau berbaur dengan kesadaran yang dikonstruk oleh media. Tulisan ini akan membahas
konstruksi oleh media dalam membentuk dan menanamkan kesadaran tentang pria tampan yang
ideal dimana konstruksi media tentang pria tampan yang ideal itu direpresentasikan oleh
boyband asal Korea Selatan, Super Junior.
Konstruksi yang diangkat oleh media tersebut didukung dengan perkembangan teknologi
informasi yang semakin maju, keberadaan internet yang bukan menjadi barang asing di
Indonesia telah melancarkan tersampaikannya pesan pesan media yang memberikan konstruksi
dan menciptakan sebuah realitas baru itu. Bagaimana konstruksi media atas boyband tersebut
dibangun serta pencitraan dan sign-sign tertentu serta realitas seperti apa yang timbul dan
terbentuk karena konstruksi yang dibuat media tentang pria ideal pada boyband selengkanya
akan dibahas dalam makalah ini menggunakan konsep simulacra dan hyper-reality dari Jean
Baudrillard.
2. FENOMENA
Korean Wave atau Hallyu atau demam Korea sudah mulai terasa di Indonesia sekitar tahun
1990-an yakni mulai banyaknya drama Korea yang diputar di Indonesia. (diunduh dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Korean_wave). Seiring dengan perkembangan korea wave di
berbagai Negara asia termasuk asia tenggara dan Indonesia tentunya, Korean Wave dari drama-
drama serial bergeser ke arah musik. Boy band-boy band mulai digandrungi para remaja di
Indonesia. Salah satu boyabnd yang booming dan oleh beberapa pengamat musik dan budaya
dianggap berpengaruh terhadap trend di Industri musik dan hiburan Indonesia adalah Super
Junior.
Salah satu pengamat musik dan budayawan yang mengakui pengaruh artis K-pop di Indonesia
adalah Benny Benke. Benke mengatakan genre musik boyband Super Junior yakni K-pop adalah
kependekan dari Korean Pop atau musik pop Korea yang berasal dari Korea Selatan.
Kegandrungan akan musik K-Pop merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Demam Korea
(Korean Wave) di berbagai Negara termasuk Indonesia.
Super Junior yang juga dikenal SJ atau Suju adalah sebuah boyband asal negeri gingseng Korea
Selatan. Boyband ini beranggotakan 13 orang pria muda yakni, Leeteuk, Heechul, Han Geng,
Yesung, Kang-In, Shindong, Sungmin, Eunhyuk, Donghae, Siwon, Ryeowook, Kibum, dan
Kyuhyun. Album mereka yang diberi nama SuperJunior05 (TWINS) dirilis pada tahun 2005.
Super Junior berada dibawah sebuah agen bakat Korea dan label rekaman, SME (SM
Entertainment) milik salah satu pengajar Harvard yang juga asal korea selatan, Soo-Man Lee.
Perekrutan anggota Super Junior dilakukan lewat sebuah casting audition yang diadakan SM
Entertainment pada tahun 2000. Super Junior memulai debutnya pada 6 november 2005 dan baru
beranggotakan 12 (tidak termasuk Kyu hyun). Super Junior dengan 12 orang memulai debutnya
dalam program musik salah satu stasiun tv Korea, yakni SBS Online Songs tentunya pada
tanggal 6 November 2005 dengan membawakan single pertama mereka, “TWINS” (Knock Out).
Album perdana mereka terjual 28.536 kopi di bulan pertama rilis dan single debutnya menempatI
#3 di chart bulanan pada Desember 2005. Masih pada bulan desember 2005, Super Junior merilis
album bersama boyband yang lebih senior, DBSK bertajuk “Show Me Your Love” yang menjadi
single terlaris di korea dan asia pada Desember 2005 dengan 49.945 salinan yang terjual selama
bulan itu. Memulai kesuksesan nya di belantika musik korea dan asia, Super Junior
menambahkan 1 anggota baru, anggota ketigabelas pada mei 2006 yakni Kyuhyun.
Super Junior banyak meraih sukses, fans nya pun semakin banyak dan tersebar bukan hanya
Korea bahkan merambah asia, termasuk Indonesia. Super Junior dibentuk dengan pencitraan
sekelompok anak muda, pria yang ceria, bersahabat, tampan, digemari dan dicintai oleh target
audience nya yakni sebagian besar terdiri dari wanita dan pelajar, selain itu dicitrakan pula
sebagai sekelompok pemuda yang bertalenta terutama menyanyi dan menari. Karena targetnya
adalah perempuan yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa dengan kategori umur yang tidak jauh
dari personil Super Junior, yakni maksimal 20-an/dibawah 30-an, maka publikasi dari segala
macam bentuk aktivitas, hasil karya, dan program yang menampilkan Super Junior dilakukan
lewat internet dan tv cabel sebagai media yang dekat dengan target audience.
Dari awal debut, internet adalah media yang paling berpengaruh dalam menyebarkan “demam
suju”. Single berjudul “U” yang dirilis masa awal debut bisa di download gratis pada 25 Mei
2006 di website resmi resmi Super Junior. Strategi SM Entertainment untuk emmpopulerkan
Super Junior adalah dengan menyebarkan “demam suju” seluas luasnya dengan menggunakan
berbagai media terutama media yang banyak diakses oleh target audience dan bisa dijangkau di
seluruh dunia, yakni internet. Single “U” telah didownload oleh lebih dari 400 ribu pendownload
hanya dalam waktu lima jam dan total pendownload mencapai angka lebih dari 1,7 juta
pendownload menuju server beberapa jam setelahnya. Di korea, single “U” pun menduduki
peringkat #1 di semua tangga lagu koea dan menjadikan Super Junior boyband paling popular
sepanjang tahun.
Super Junior meraih bnyak penghargaan tidak lama setelah mereka debut, penghargaan-
penghargan tersebut diantaranya menjadi nominasi dalam 7 kategori terpisah acara musik
bergengsi dikorean yakni M.NET / KM Musik Festival yang digelar di 17 November, 2007 dan
berhasil memenangkn beberapa nominasi diantaranya “Netizen Choice Award”, “Mobile
Popularitas”, “Best Artist of the Year” (Daesang) yakni penghargaan tertinggi bagi palku seni di
korea selatan.
Dari keempat album yang dirilis oleh Super Junior, yakni Super Junior05/TWINS (2005), Don’t
Don (2007), Sorry Sorry (2009), dan Bonamana (2010), albumnya yang paling booming di
Indonesia adalah album Sorry Sorry dengan single andalannya berjudul sama, Sorry Sorry. Super
Junior mulai menjadi perbncangan dimana mana terutama dikalangan pelajar terutama wanita,
pengamat hiburan dan tentunya pecinta K-Pop (musik Korea). Para penggemar Super Junior/fans
nya pun bergabung membentuk satu wadah/komunitas yang disebut ELF dan di Indonesia
disebut ELF Indonesia.
Seberapa-digandrungi nya Super Junior bisa dilihat dari jumlah penggemarnya yang terus
menerus bertambah. Seperti yang dilansir dari asiangrup, sebuah situs berita online seputar artis
artis asia, Super Junior mendapat gelar artis dengan jumlah follower (pengikut) terbanyak di
Twitter versi Star News. Tanggal 4 Mei lalu, Star News mengumpulkan nama-nama artis idola
Korea dan, membandingkan jumlah fans mereka di situs jejaring sosial yang mereka punya
seperti Twitter dan me2day. Dari survei itu, Super Junior memiliki jumlah fans terbanyak.
Selama ini tiga belas personel Super Junior sangat aktif di Twitter. Kecuali Han Geng, Kang In,
dan Sung Min, sepuluh personel lainnya memiliki situs Twitter. Star News menulis, Lee Teuk
( 363.930 follower), Hee Chul (463.825 follower), Dong Hae (493.885 follower), Si Won
(444.642 follower), Ye Sung (339.883 follower), Shin Dong (352.605 follower), Eun Hyuk
(350.564 follower), Ryeo Wook (301.543 follower), Ki Bum (140.802 follower), Kyu Hyun
(269.583 follower).
Dari data Star News tersebut terlihat rata rata personil Super Junior memiliki follower lebih dari
100 ribu orang. Star news menyimpulkan bahwa dengan data tersebut Super Junior menempati
posisi teratas artis Korea dengan jumlah follower tertinggi dari seluruh dunia.
Selain dilihat dari jumlah follower di twitter, banyaknya jumlah penggemar Super Junior pun
bisa dilihat dari banyaknya “like” di facebook page mereka, artinya Super Junior adalah sebuah
fenomena dilihat dari angka penggemaranya yang mencapai ratusan ribu.
Di Indonesia tentunya ada banyak fans Super Junior yang biasa disebut ELF. Memang belum ada
data pasti tentang berapa jumlah elf di Indonesia. Sebuah EO, promoter musik yang berencana
mendatangkan Super Junior ke Indonesia masih berusaha mendata berapa jumlah elf di Indonesia
dan pihaknya memperkirakan jumlah elf bisa mencapai angka puluhan ribu, hal itu tergambar
dari jumlah “like” di banyak elf indonesia’s page di facebook.
Banyaknya elf (penggemar Super Junior) tentu tidak diragukan lagi. Timbul sebuah pertanyaan
di banyak pihak yang sadar akan fenomena boyband korea di Indonesia dan Korean wave, apa
sebenarnya yang mereka suka dari boyband/artis artis korea terutama Super Junior?
Berbagai jawaban didapat para ELF lewat forum forum elf di Internet, dan dari berbagai jawaban
yang diberikan, ketampanan adalah alasan pertama yang diikuti skill/talenta lain.
Ketampanan pada personil Super Junior memang sebuah nilai plus bagi Boyband ini yang juga
menjadi ciri khas dari Super Junior dan tentu saja boyband boyband Korea lain. Jika diperhatikan
sekilas ada kemiripan diantara personil personil Super Junior atau boyband Korea lain.
Kesamaan/kemiripan tersebut yakni dagu lancip/segitiga, wajah lonjong, tubuh proporsional,
wajah dan kulit bersih, baby face, camera face, good looking, bahkan cenderung “cantik”,
terawat, dan fashionable.
Super Junior dicitrakan sebagai boyband dengan anggota yang berjiwa muda, dinamis, hangat,
ceria, dan tampan. Untuk menonjolkan pencitraan tersebut, dan untuk menampilkan sisi-sisi dari
citra yang ignin dibangun tersebut, Super Junior tidak hanya bernyanyi tapi kerap membintangi
sebuah film bioskop berjudul Wonder Boys. Dalam film tersebut sangat ditonjolkan sisi
ketampanan dan sisi Charming dari masing masing personil Super Junior, misalnya dengan
teknik pengambilan gambar yang kebanyakan close up pada wajah.
Selain film, pencitraan yang dilakukan SM Entertainment terhadap Super Junior banyak juga
lewat reality show, iklan, video video keseharian Super Junior yang di upload ke internet
(youtube), dan lain lain. Usaha tersebut dilakukan agar Super Junior mendapat pengakuan dan
semua pihak memiliki pandangan tertentu kepada Super Junior seperti yang dicitrakan, yakni
tampan, ceria, berkepribadian hangat, dan bertalenta. Tidak tanggung-tanggung, untuk
mendapatkan kesempurnaan dan kesan tampan yang diinginkan, pihak SM Entertainment
melakukan operasi plastic pada artis artisnya dan hampir semua personil Super Junior pernah
merasakan yang namanya operasi plastic.
Kriteria tampan yang melekat pada boyband Korea terutama Suju ikut juga mempengaruhi
pendapat masyarakat terutama ELF dan para penikmat dunia hiburan tentang penilaian mereka
terhadap seorang pria. Masyarakat setuju kalau Super Junior itu terdiri dari para pemuda tampan
dengan criteria wajah segitiga, kulit putih bersih, fashionable, hidung mancung, tubuh
proporsional, dan baby face. Masyarakat terutama remaja wanita di Indonesia pun memuja Suju
sampai membeli semua photobook yang harganya bisa mencapai ratusan bahkan jutaan rupiah
dan mengikuti konser suju di luar negeri.
Melihat fenomena tersebut, para “pengontrol” dunia hiburan Indonesia lantas mengikuti dan
mengadopsi trend dari negeri gingseng tersebut. Kalau kita melihat layar tv, banyak artis muda
bermunculan dengan kriteria yang sama, yakni mengusung konsep Boyband yang fashionable,
wajah tampan dengan hidung mancung, dagu segitiga, wajah lonjong, kulit putih, bersih, dan
baby face. Dengan kata lain konstruksi media tentang criteria pria tampan yang
direpresentasikan dengan Super Junior telah menyebabkan homogenitas pada pemikiran
masyarakat sehingga pemikiran masyarakat menjadi lebih sempit dalam menilai sesuatu.
Teori
Jean Budrillard, seorang teoritisi asal perancis barat yang lahir di Reims pada 5 januari 1929,
berteori tentang masyarakat postmodern dimana asumsi utamanya adalah bahwa media, simulasi,
dan cyberblitz telah mengkonstruksi dan mengkonstitusi suatu bidang pengalaman baru, tahapan
sejarah, dan tipe masyarakat yang baru. Fondasi filsafatnya adalah Entertainment terhadap
pemikiran tradisional dan ilmiah yang menurutnya telah mengganti realitas dengan ilusi tentang
kebenaran. Lanskap pemikirannya yang luas dipengaruhi oleh semangat zaman yang tengah
mengalami krisis modernitas besar (The Great Depression) yang pertama.
Baudrillard telah menghasilkan banyak buku dan artikel lewat pemikiran pemikirannya. Karya-
karya awal Baudrillard yang banyak yang mengkaji soal kemungkinan konsumsi. Pemikiran
Baudrillard dapat dipetakan sebagai pelacakan terhadap kehidupan tanda-tanda (the life of the
signs) dan pengaruh teknologi dalam kehidupan sosial
(http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/)
Baudrillard banyak membahas tentang makna yang tertanam dalam objek-objek dalam
kehidupan sehari-hari dan sistem-sistem struktural melalui objek yang terorganisasi dalam
masyarakat modern (misalnya prestise/gengsi atau nilai-tanda sebuah mobil sport baru) yang
coba ia tuangkan lewat bukunya. Buku buku tersebut diantaranya
1. tahun 1968 ia menulis buku The System Of Objects yang sangat terpengaruh oleh karya
Barthes yakni The Fashion System (1967). Dalam The System Of Objects Baudrillard
mengadopsi metode semiologi Barthesian untuk menggali dan mengetahui hubungan dan
mistifikasi objek-subjek yang ada dalam realitas masyarakat modern.
2. Tahun 1969 atau satu tahun setelah menerbitkan buku pertamanya, buku keduanya berjudul
Communications pun terbit. c mmunication adalah sebuah buku yang membahas mengenai
struktur komunikasi tanda (sign) dalam masyarakat Barat pada masa itu (1960-an) dan masih
berlaku dan tidak berbeda jauh dengan masa sekarang.
3. Tahun 1970 baudrillard menerbitkan buku berjudul La Societe de Consommation/The
Consumer Society yang membahas tentang consumer society/masyarakat konsumsi Barat
4. Tahun 1972 baudrillard menerbitkan buku kembali berjudul For a Critique of the Political
Economy of the Sign
5. Tahun 1973 baudrillard menerbitkan buku berjudul The Mirror Of Production .
(http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/).
Kelima buku yang ditulis baudrillard merupakan karya awal baudrillard dan oleh para pengamat
teori kritis karya karya awal baudrillard itu merupakan tahap awal yang disebut sebagai tahap
kritis dari baudrillard walau baudrillard sendiri tidak pernah membagi / mengkategorikan
pikirannya kedalam bentuk bentuk ata kelompok kelompok khusus.
Karya awal baudrillard dianggap sebagai tahap awal kritisnya salah satunya adalah karena
pemikiran baudrillard sangat dipengaruhi oleh beberapa pemikir seperti Marx, Mauss, dan
Saussure dengan pemikiran Marx yang paling utama atau dominan. Cara berpikir baudrillard
adalah dengan mengadopsi pemikiran pemikiran tokoh tokoh tersebut sehingga menghasilkan
pemikiran yang benar benar “baudrillard” dimana pemikirannya terlihat lebih ke arah konsumsi
dan komunikasi massa.
Pemikiran kritis baudrillaard yakni bahwa Baudrillard ingin mengkonstruksi ulang masyarakat
kapitalis, karena keadaan saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk masyarakat keluar dari
kapitalisme seperti yang menjadi harapan Marx dan kini menurut baudrillard, dunia sudah
dipenuhi dengan konsumsi dan simbol-simbol.
Berangkat dari inilah, Baudrillard memandang bahwa apa yang dikatakan Marx mengenai nilai
guna dan nilai tukar tidak lagi relevan. Bangunan (konstruksi) masyarakat kapitalisme yang
memandang produksi sebagai penggerak ekonomi kini harus dibangun ulang bahwa masyarakat
kapitalisme melihat konsumsilah sebagai penggerak ekonomi, bahkan pada sosial, politik, dan
budaya juga. Mode of production dibawa kearah mode of consumption.
Konsumsi kini disadari dilakukan bukan semata-mata karena kebutuhan dan kegiatan diproduksi
bukan semata-mata untuk menghasilkan kebutuhan dasar namun untuk salah satunya untuk
meningkatkan kebanggaan simbolik. Seseorang yang menggunakan mobil Lamborgini akan
mendapatkan prestise dibandingkan orang yang menggunakan mobil BMW Mini Cooper karena
orang dengan mobil sport akan lebih disimbolkan sebagai orang yang maskulin daripada city car.
Jean Baudrillard sering dianggap sebagai pemikir barisan depan yang mengkaji persoalan
masyarakat konsumer secara cukup komprehensif karena tidak saja mengkritik filsafat ekonomi
politik Marx, melainkan memasukkan perkara konsumsi ini dalam linguistik struktural seperti
yang dirintis Saussure dengan semiologinya. Hasil analisis Baudrillard yakni konsumsi dewasa
ini bukanlah konsumsi objek-objek material, melainkan konsumsi akan nilai- nilai; konsumsi
atas tanda.
Diskusi tentang masyarakat konsumer (consumer society) Baudrillard dimulai dengan
diagnosisnya akan nilai tanda (sign value). Nilai tanda (sign value) adalah “ideologi” yang
dihidupi oleh masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi. Dalam sign value, motif
terakhir tindakan konsumsi bukanlah pelayanan dan nilai guna suatu barang, melainkan produksi
dan manipulasi penanda-penanda sosial. Konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas
sosial, budaya bahkan politik (Kellner,1994: 3).
Terjadi transformasi dari mode of production ke mode of consumption. Transformasi tersebut
adalah bentuk pergeseran dari use-value dan exchange-value nya Marx ke arah dominasi nilai
tanda dan nilai simbol. Konsumsi menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek.
Konsumsi adalah sistem objek-objek yang mengklasifikasi dan membentuk makna dalam
kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut. Sign value dijalankan oleh pergeseran nilai tersebut
yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat postmodern.
Baudrillard pada awalnya tidak memberikan sumbangan pikirannya tersendiri, akan tetapi
dipengaruhi oleh beberapa pemikir walau pada perkembangannya baudrillard emmiliki “suara”
dan pendapatnya sendiri. Bukti bahwa pemikiran baudrillard itu dipengaruhi oleh marx salah
satunya yakni bahwa Baudrillard mengeksplorasi kritik terhadap pandangan MarxiSM
Entertainment dalam bukunya, The System of Objects yang menyatakan bahwa ketika sebuah
produk dikonsumsi, yang dikonsumsi adalah makna-makna yang disebarluaskan melalui media,
misalnya iklan. Melalui asumsi tersebut Baudrillard menjelaskan tentang keberlimpahan
(profusion) tanda-tanda yang menyebar dengan luas. Relasi antara tanda dan konsumsi ini
merupakan poin penting memahami teori konsumsi Baudrillard.
Objek diperlakukan sebagai tanda, konsumsi dan reproduksi dibuat sedemikian rupa melalui
iklan, display, kemasan, fashion agar masyarakat konsumer memperlakukan konsumsi sebagai
tanda, citra, dan pesan. Pilihan konsumsi bukan lagi berdasarkan pada komoditas.
Baudrillard melihat bahwa dalam masyarakat konsumer, objek-objek dimiliki, diatur,
dikonsumsi, dan diinvestasi melalui makna oleh subjek yang kemudian mengubah dan
mendefinisikan ulang objek-objek tersebut. Baudrillard percaya bahwa konsumsi objek-objek
menentukan tatanan sosial masyarakat. Dengan mengadaptasi teori Strukturalis, Baudrillard
berargumen akan adanya relasi timbal-balik antara individu dan sistem makna dalam masyarakat.
Sistem makna memaksakan kekuasaannya terhadap individu dengan cara bahwa melalui sistem
makna tersebutlah individualitas mendapat makna.
Sistem makna inilah yang menjadi prioritas, bukan interpretasi atau penilaian subjek. Sistem
makna dibangun berdasarkan sistem objek yang terorganisasi melalui, salah satunya, kode-kode
fashion. Sistem objek ini menjalankan apa yang disebut “integrasi ideologis” (ideological
integration). Integrasi ideologis mengandung makna bahwa subjek baru mendapat makna sebagai
“seseorang” (person) melalui proses “personalisasi” (personalisation) yang diatur oleh sistem
objek dan sistem tanda .
Menjelaskan lebih jauh tentang keterkaitan dari makna, sign, masyarakat consumer, realitas, dan
hal lain yang telah disinggung sebelumnya, baudrillard adalah sebuah teoritisi yang khas dengan
istilah istilah yang diperkenalkannya dalam pemikirannya yang berhubungan dengan masyarakat
consumer, yakni simulasi, simulacra, dan hyperreality.
Media massa dan informasi sekarang ini, yakni media massa dalam masyarakat yang disebut
baudrillard dengan consumer society, tidak lagi menjadi sarana komunikasi utuh tetapi menjadi
sarana representasi makna dari simbol simbol (signs) yang merupakan produk kapitalis dengan
tujuan menggiring publik kepada hiper-realita dalam sebuah simulacrum.
Ketika peta dunia dibuat, yang harus dilakukan adalah menggambar daerah teritori lalu
kemudian membubuhkan garis teritori diatasnya, membuat kontur tanah dan warna untuk
membedakan mana dataran tinggi, rendah, lautan, dan lain lain. Peta dunia merupakan bentuk
dari simulasi daerah di dunia. Simulasi dunia lewat peta sesungguhnya telah mengacaukan
keadaan/ bentuk dunia sebenarnya, bahwa pada dasarnya alam tidak se-simple di peta dengan
skala dan berbagai simbol lainnya. Dalam kenyataan, terdapat kerutan kerutan tanah dalam
dataran yang tidak tergambar di peta padahal hal tersebut nyata. Manusia menjadikan peta
sebagai patokan untuk mengetahui bentuk/isi dari suatu wilayah sehingga yang tergambar dan
menjadi mindset menusia tentang bentuk dan keadaan suatu wilayah adalah kenyataan/ simulasi
lewat peta. Padahal, kebenaran sebenarnya tentang sebuah daerah tidaklah seperti yang
tergambar di peta.
Allegori simulasi yang indah seperti peta itulah yang sekarang mengikat dan melingkari
kehidupan kita sehingga kita tidak tahu kebenaran yang nyata karena sesungguhnya kebenaran
yang nyata itu sedang bersembunyi dibalik sebuah simulasi dengan tingkat advance yang
berkembang menjadi sebuah simulacrum.
Perbedaan jelas antara simulasi, simulacra, dan simulacrum yakni simulasi merupakan sebuah
tiruan dari sesuatu, objek/keadaan dimana masih mudah/bisa dibedakan atau ditemukan
perbedaannya antara yang asli dan palsu/mana realitas sebenarnya dan mana realitas buatan.
Ketika sebuah simulasi bercampur dengan kenyataan sebenarnya, direpresentasikan dan dibuat
se-nyata mungkin serta melibatkan pengalaman/sisi emosi dari masyarakat maka akan
membentuk sebuah simulacra. Simulacra merupakan “simulasi” yang lebih advance yang
mencapai sebuah titik dimana sebuah realita menjadi sulit bahkan tidak bisa dibedakan lagi mana
yang kenyataan sebenarnya dan mana kenyataan yang dikonstruksikan (dibentuk). Keadaan
tersebut diistilahkan dengan Hyperreal atau realitas yang berlebih.
Simulacra membuat sesuatu menjadi lebih nyata dari yang nyata, itu adalah cara bagaimana
sebuah kenyataan sebenarnya terhapus. Simulacrum bisa juga dikatakan sebagai representasi,
misalnya dilakukan oleh pencitraan. Sebuah simbol dicitrakan sedemikian rupa menjadi seperti
yang diinginkan, padahal sebenarnya tidak seperti itu. tetapi karena terus menerus disuguhi
dengan symbol (sign) yang dicitrakan dan memang dibentuk untuk menjadi sesuatu yang
diinginkan, maka akan sulit membedakan mana yang nyata mana yang bukan yang sekali lagi
ditekankan bahwa keadaaan ini akan menggiring ke sebuah realitas berlebih atau hyperreality.
The simulacrum is never what hides the truth - it is truth that hides the fact that
there is none.
The simulacrum is true.
-Ecclesiastes-
Dengan segala pemikirannya tentang tanda, system makna, integrasi ideologi, objek, dll tidak
semata mata hanya melakukan rekonstruksi namun juga melakukan konstruksi terhadap
masyarakat konsumer itu sendiri . Kekurangan dari pemikiran baudrillard adalah bahwa ia tidak
pernah memberikan solusi dari bagaimana mengatasi kapitalisme yang semakin berkembang
hebat.
Budrillard dan pada pemikir yang mempengaruhinya
Baudrillard dipengaruhi oleh pemikiran Marx, Masa kapitalisme menandai runtuhnya era
feodaliSM Entertainment dan menciptakan struktur baru konsumsi berdasarkan pasar, uang, dan
keuntungan. Konsumsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusi, justru malah
menjadi suatu kebutuhan yang terpisah dari kebutuhan dasar manusia.
Kapitalisme membangun sistem ideologis konsumsi sehingga masyarakat tersugesti bahwa
konsumsi adalah sebuah aspek penting dari kehidupan sehari- hari (Storey, 2008:144). Fetish
komoditi yang terjadi di kalangan buruh mengumandangkan kemenangan nilai-tukar atas nilai-
guna. Fetish atau pemujaan komoditi memiliki arti bahwa dalam proses produksi, barang-barang
tidak diproduksi sebagai sarana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Barang-barang produksi diberi
nilai-nilai baru yang jauh dari nilai aslinya sebagai benda pakai dan bertransformasi menjadi
komoditi. Komoditi tidak lain adalah barang produksi yang memiliki nilai-tukar. Komoditi
menempati status istimewa dalam mode produksi (mode of production).
Fetishism produksi membuat komoditi memancarkan pesona fetish-nya sebagai objek pemujaan
konsumer. Karakter fetish dalam komoditi ini membuat kaum buruh sebagai orang-orang yang
memproduksi komoditi justru mengalami keterpisahan dari barang yang mereka produksi. Kaum
buruh tidak memiliki kuasa atas komoditi sebab komoditi itu menjadi klaim dari pemilik kapital
untuk dipertukarkan dalam pasar untuk memperoleh keuntungan. Untuk memiliki barang
tersebut, kaum buruh harus membeli dan menjadi konsumen atas barang-barang yang mereka
produksi sendiri. Marx menyatakan bahwa kaum buruh teralienasi dari komoditi yang mereka
produksi.
Komoditi sesegera mungkin akan menjadi sebuah sarana standar hidup masyarakat yang
memiliki cara khas untuk melaksanakan fungsi relasi dan mengekspresikan relasi sosialnya.
Dalam masyarakat pasar, komoditi menyembunyikan dan mengganti bentuk-bentuk relasi sosial
antar manusia. Hal ini terjadi karena keterlibatan dari fetishism bahwa produk produk buatan
manusia bergeser fungsinya/bertransformasi bertransformasi menggantikan produk-produk sosial
yang memungkinkan terjadinya kegiatan produksi barang.
Marx mengistilahkan proses tersebut sebagai reifikasi. Istilah singkat dari reifikasi adalah
pematerian, maksudnya jika ada penilaian untuk sebuah kesuksesan, maka kesusksesan itu
diukur dari apa yang dimiliki/objek tertentu . Relasi sosial yang mengandung reifikasi itu
didefinisikan oleh kekuatan fetish komoditi. Dengan ini, relasi sosial yang diwakilkan dalam
sebuah objek muncul dan berada dibawah control manusia. Dengan demikian, manusia tidak
benar-benar sebagai subjek yang independent terhadap dirinya melainkan di stir oleh fetish
komoditi.
Baudrillard dipengaruhi oleh pemikiran Mauss, Baudrillard terpengaruh Mauss mengenai gift
exchange dalam buku Mauss yang paling terkenal, yaitu Essai sur le don (the Gift). Bagi Mauss,
meskipun hadiah itu berupa komoditas yang tak menuntut balasan namun tetap saja ada unsur
balasan. Kehadiran hadiah menyiratkantiga kewajiban: memberi, menerima, dan membalas.
Baudrillard dipengaruhi Saussure, Baudrillard dalam pemikirannya menjadi ragu terhadap
pemikiran Marx dan menganggap pemikiran Marx menjadi tidak relevan lagi untuk saat ini
karena terpengaruh dari semiotika Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes.
Menurutnya dalam masyarakat konsumer, dunia terbentuk dari hubungan berbagai tanda (sign)
dan kode acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Sebuah sign bukan lagi representasi dari
realitas karena realitas itu dibentuk dan diatur sedemikian rupa jadi bukan realitas yang
sebenarnya. Sign yang fakta digabung dengan yang semu lewat produksi citra (pencitraan)
sehingga saling tumpang tindih dan bergabung menjadi satu kesatuan yang sulit lagi dibedakan
mana yang nyata dan mana yang tidak nyata atau mana kenyataan yang benar sebenar benarnya.
Realitas itu adalah realitas yang ada dan kita hidupi sekarang.
Analisis
Asumsi pemikiran baudrillard, yakni media, simulasi, dan cyberblitz telah mengkonstruksi dan
mengkonstitusi suatu bidang pengalaman baru, tahapan sejarah, dan tipe masyarakat yang baru
adalah sebuah penjelasan tentang fenomena pada dunia hiburan kita sekarang dimana terjadi
homogenitas dalam menilai ketampanan seorang pria.
Lewat Super Junior, agen bakat dan label rekman SM Entertainment (SM Entertainment)
membentuk sebuah hyper-reality dalam masyarakat dan hiper-realitas itu bisa ditemukan di
Indonesia. Pihak SM Entertainment bisa dikatakan pandai membaca keadaan pasar. SM
Entertainment mungkin telah mengetahui kemungkinan-kemungkinan konsumsi, kecenderungan
selera orang, the power of sign, symbol, dan technology.
Menurut baudrilard, keadaan yang terjadi saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk
masyarakat keluar dari kapitalisme seperti yang menjadi harapan Marx dan kini menurut
baudrillard, dunia sudah dipenuhi dengan konsumsi dan simbol-simbol. Konsumsi kini disadari
dilakukan bukan semata-mata karena kebutuhan dan kegiatan diproduksi bukan semata-mata
untuk menghasilkan kebutuhan dasar namun untuk salah satunya untuk meningkatkan
kebanggaan simbolik. Misalnya orang akan merasa bangga saat bercerita kalau dirinya telah
menonton konser Super Junior live di Singapura daripada bercerita telah menonton lewat
internet.
Terjadi transformasi dari mode of production ke mode of consumption. Transformasi tersebut
adalah bentuk pergeseran dari use-value dan exchange-value nya Marx ke arah dominasi nilai
tanda dan nilai simbol. menonton konser Super Junior, atau membeli souvenir atau photo book
nya bukanlah sebuah kebutuhan dasar manusia. Jika dipikir lagi untuk apa membeli barang
barang seperti itu, dan apa kegunaannya? Tetapi karena telah terjadi transformasi menjadi mode
of consumption dan bukan lagi mode of production, seorang elf rela mengeluarkan uang berjuta-
juta rupiah demi memuaskan konsumsi matanya, konsumsi telinga, dan konsumsi prestigenya.
Media massa dan informasi sekarang ini, yakni media massa dalam masyarakat yang disebut
baudrillard dengan consumer society, tidak lagi menjadi sarana komunikasi utuh tetapi menjadi
sarana representasi makna dari simbol simbol (signs) yang merupakan produk kapitalis dengan
tujuan menggiring publik kepada hiper-realita dalam sebuah simulacrum. Misalnya, di tv jarang
sekali ada tayangan tayangan yang menayangkan performance dari Super Junior tetapi mengapa
pengaruh Korean wave terutama Super Junior begitu besar di Indonesia. Hal itu terjadi karena
media media lain misalnya internet yang gencar menayangkan symbol symbol dari dunia hiburan
korea atau symbol symbol yang khas dari Super Junior, misalnya avatar personil Super Junior,
foto foto mereka yang bertebaran di Internet, iklan iklan yang tersebar di mana mana bahkan
sampai segala jenis video dari mulai video cuplikan acara yang mereka hadiri/bintangi, sampai
video video buatan fans tentang mereka.
Allegori simulasi yang indah seperti ketampanan Super Junior telah melingkari dan mengikat
kesadaran dan pikiran kita para penikmat hiburan. Tidak jarang karena banyaknya boyband
korea yang diperkenalkakn dan dicitrakan agar digemari public, serta banyaknya actor actor
tampan yang membintangi drama korea yang banyak ditayangkan di tv, membuat banyak orang
berfikir “orang korea itu ganteng-ganteng ya!” . Dalam kenyataannya, mungkin tidak seperti itu
(semua orang korea ganteng). Drama korea di tv, boyband, termasuk kedalamnya Super Junior
merupakan sebuah simulacra, model simulasi yang dibentuk dan dicitrakan sedemikian rupa,
bercampur dengan kebenaran yang benar benar nyata sehingga sulit untuk dibedakan mana yang
realitas dan mana yang realitas buatan. Keadaan seperti itu disebut oleh baudrillard sebagai
hyperreality atau realitas yang berlebih.
SM Entertainment mengadakan sebuah audisi bakat untuk proyeknya yakni Super Junior, sebuah
Boyband dengan citra tampan, ceria, hangat, dan bertalenta.
Audisi yang dilakukan menghasilkan 13 pemuda yang sekarang tergabung dalam Super Junior.
Syarat utama yang diajukan SM Entertainment saat audisi adalah pemuda yang bertalenta,
minimal bisa bernyanyi dan menari. Syarat selanjutnya merujuk pada pencitraan yang dilakukan
SM Entertainment adalah para pemuda bertalenta yang berwajah tampan. SM Entertainment
membuat sebuah simulasi ketampanan lewat Super Junior. Jika diperhatikan, terdapat kemiripan
pada wajah ketigabelas personilnya, yakni hidung mancung, baby face, kulit putih besih, bentuk
wajah yang segitiga/lonjong, dan badan proporsional.
Untuk membuat simulasi tersebut, SM Entertainment melakukan “penyempurnaan” kepada
wajah ketigabelas personil Super Junior, yakni dengan melakukan operasi plastik. Disebut
simulasi karena masih bisa dibedakan, apalagi dengan melihat foto personil sebelum operasi
plastic sehingga masih mudah untuk dibedakan bagian wajah yang asli dan hasil operasi.
Selanjutnya SM Entertainment melakukan bimbingan dan pengembangan kepribadian untuk
menciptakan citra sebagai kelompok pria yang ceria, hangat,dan bertalenta. Di Korea, bukanlah
hal yang mudah untuk bisa menjadi seorang selebritis apalagi selebritis tenaar, pasti ada
pengorbanan yang besar. Super Junior misalnya, setiap anggotanya harus mengikuti training dari
SM Entertainment, rata rata selama 2-3 tahun bahkan ada yang sampai 5 tahun. Saat training,
Super Junior diajarkan apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan sebagai selebritis dan
dibentuk sesuai dengan pencitraan yang dikehendaki SM Entertainment.
Dengan pencitraan yang dibentuk SM Entertainment untuk Super Junior, SM Entertainment
membantuk sebuah hiper-realitas dalam masyaarkat consumer. Setelah debut, terbukti Super
Junior menyabet banyak penghargaan, artinya Super Junior berhasil untuk menjadi artis yang
digemari masyarakat bahkan dalam tingkat asia. Masyarakat terutama penggemar Super Junior
tidak terkecuali di Indonesia rata rata memiliki pendapat yang sama dimana mereka mengaku
memberi dukungan dan mengidolakan Super Junior karena beberapa hal, yang pertama adalah
ketampanan mereka dan kedua kepribadian dan talenta yang dimiliki.
SM Entertainment melakukan konstruksi lewat media, dari mulai cetak sampai Internet yang bisa
menjangkau public di seluruh dunia. Dia mengkinstruksikan sebuah ketampanan ideal yang di
citrakan dan direpresentasikan lewat Super Junior. SM Entertainment berhasil membuat banyak
orang terutama penggemar Super Junior mengakui ketampanan dari personil Super Junior.
Konstruksi tersebut mempengaruhi pendapat, kesadaran, dan penilaian dari pihak yang percaya
pencitraan tersebut. Jika sebelum menonton konser/pertunjukan suju criteria pria tampan yang
saya miliki adalah A, maka setelah menonton pertunjukan suju, bisa sekali, dua kali, ketiga kali,
bahkan jika terus disuguhkan maka lama kelamaan saya akan kehilangan kesadaran dan criteria
pria tampan menurut saya tidak lagi A, tapi berubah menjadi Super Junior.
Konsep ketampanan yang dibentuk oleh SM Entertainment dan dicitrakan kepada Super Junior
merupakan simulacrum. Ciri simulacrum yakni di masyarakat sudah tidak bisa dibedakan lagi
mana ketampanan yang sebenarnya mana ketampanan yang dikonstruksikan. Sebuah
ketampanan tidak memiliki sejarah, pandangan orang menjadi sempit dan homogeny ketika
mereka terpengaruh oleh sebuah pencitraan yang didukung lewat konstruksi dari media yang
terus menyuguhkan sisi sisi tertentu dari Super Junior. saking sudah tidak bisa dibedakan lagi
maka criteria ketampanan itu selalu mengikuti konstruksi dari media dan pra “pengontrol”
dalam kapitalis. Misalnya criteria tampan tahun 70-an, atau saat jamannay boyband trio libels
akan berbeda di jaman maraknya Boyband K-Pop seperti sekarang.
Rangkaian Konstruksi criteria sebuah ketampanan pria yang dilakukan lewat media terlihat dari
beberapa reality show yang menampilkan Super Junior misalnya lewat reality show Exploration
Human Body. Exploration Human Body (EHB) adalah sebuah variety shows yang menjawab
berbagai pertanyaan tentang keunikan keunikan tubuh misalnya bagaimana caranya untuk
mengurangi kepekaan pada indera pengecap, dll. Selama belasan episode, EHB mengeksplore
fakta-fakta unik dalam tubuh manusia sambil juga mengeksplore pencitraan dari suju lewat
tingkah tingkahnya. EHB episode Super Junior adalah sebuah variety show yang paling banyak
ditonton sepanjang sejarah ehb bahkan penggemar yang di Indonesia pun bisa mengakses acara
ini lewat internet.
Menurut Marx, Fetish atau pemujaan komoditi memiliki arti bahwa dalam proses produksi,
barang-barang tidak diproduksi sebagai sarana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Barang-barang
produksi diberi nilai-nilai baru yang jauh dari nilai aslinya sebagai benda pakai dan
bertransformasi menjadi komoditi. Komoditi tidak lain adalah barang produksi yang memiliki
nilai-tukar. Komoditi menempati status istimewa dalam mode produksi (mode of production).
Pencitraan terhadap Super Junior mungkin tidak akan begitu mempengaruhi kesadaran
seseorang, jika intensitasnya untuk melihat performance Super Junior hanya sedikit atau sekali
sekali.
Dalam ilmu Public Relation, pencitraan memiliki tujuan salah satunya agar public merubah
perilakunya sesuai dengan yang diharapkan oleh sebuah perusahaan dengat kata lain merubah
perilaku public menjadi favorable. Lewat pencitraan Super Junior, harapan SM Entertainment
agar suju digemari oleh publiknya yakni remaja wanita yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, dll
nampaknya tercapai. Fans-fans fanatic yang rela membeli berbagai photobook berharga ratusan
ribu bahkan jutaan, harga tiket konser di luar negeri yang bisa menguras kantong orang tua
mereka masing masing sudah mengindikasikan sebuah fetish atau pemujaan terhadap barang
konsumsi demi sekedar kepuasan dan mendapat prestige atas kepemilikan pengalaman bisa
menyaksikan ketampanan Super Junior lewat performance-nya langsung.
Dengan fetish public yang menggemari Super Junior, akan menyebabkan apa yang disebut
sebagai alienasi total atau keterasingan total. Sekali mereka suka dan tersihir dengan ketampanan
Super Junior, selanjutnya akan memuja Super Junior dan memilikir asa keingintahuan yang besar
seputar apa yang sedang Super Junior lakukan, siapa yang dekat dengan mereka, mereka sedang
dimana, dll yang sebenarnya masih banyak hal yang bisa diurusi dan lebih penitng untuk disimak
misal masalah masalah social di Indonesia. Orientasi para penggemar Super Junior bukan lagi
terletak pada musik tetapi pada apa yang dilakukan Super Junior dan pada ketampanannya.
Karena menurut pengamat musik sendiri, kualitas vocal Super Junior belum menjadi sebuah
ketertarikan khusus.
Pemujaan atau fetish terhadap Super Junior akan menimbulkan apa yang disebut marx sebagai
reifikasi. Istilah singkat dari reifikasi adalah pematerian, maksudnya jika ada penilaian untuk
sebuah kesuksesan, maka kesusksesan itu diukur dari apa yang dimiliki/objek tertentu . satu
orang akan menjadi sorotan dan pusat perhatian ketika memiliki sebuah photobook Super Junior
mahal yang harganya mencapai jutaan rupiah yang tentunya tidak bisa dimiliki anak lain.
Populaaritas dalam kehidupan social dengan sendirinya akan naik dengan ia memiliki tiket
konser Super Junior atau photobooknya.
Super Junior dalam simulacrum nya, menciptakan sebuah hyper-reality. Hyper-reality itu
terletak pada konsep pria tampan yang dibentuk lewat simulacrum yang terdiri dari gabungan
banyak simbol dan pencitraan atas Super Junior, misalnya dalam aspek fashion, penampakan
fisik, dan lain lain.
Dampak dari simulacra konsep/criteria ganteng dengan representasinya yakni Super Junior
membuat orang terutama penggemar kehilangan kesadaran akan sebuah konsep ketampanan.
Selera mereka menjadi homogen atau sama. Selain itu mereka cenderung memiliki pandangan
dan penilaian yang lebih sempit, misalnya jika melihat seorang pria maka pria tersebut akan
dibandingkan dengan Super Junior. Sisi kritis akan berkurang bahkan cenderung hilang karena
termakan oencitraan dan terjebak dalam hyper-reality tau realitas yang berlebih. Ketika kritis
mengahruskan kita untuk tahu mengapa sesuatu itu dikatakan A, maka dengan memuja bahkan
menjadikan ciri ciri ketampanan ala boyband layaknya Super Junior sifat kritis akan berkurang
karena sesungguhnya hiper realita yang ditimbulkan/simulacra yang ada tidak memilikireferensi
atau sejarah/asal usul yang jelas. Siapa yang bisa menjawab seperti apa idealnya pria yang
tampan?
Menurutnya dalam masyarakat konsumer, dunia terbentuk dari hubungan berbagai tanda (sign)
dan kode acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Sebuah sign bukan lagi representasi dari
realitas karena realitas itu dibentuk dan diatur sedemikian rupa jadi bukan realitas yang
sebenarnya. Sign yang fakta digabung dengan yang semu lewat produksi citra (pencitraan)
sehingga saling tumpang tindih dan bergabung menjadi satu kesatuan yang sulit lagi dibedakan
mana yang nyata dan mana yang tidak nyata atau mana kenyataan yang benar sebenar benarnya.
Realitas itu adalah realitas yang ada dan kita hidupi sekarang.
3. PENUTUP
Kriteria tampan yang ideal di masyarakat sudah memasuki fase hyper-reality karena simulacra
atau tidak bisa lagi dibedakan mana criteria yang sebenarnya, mana criteria yang berasal dari
pencitraan dan konstruksi media. Kebenaran atau realita yang ada di masyarakat sekarang,
criteria tampan adalah mengikuti konstruksi media dan para “pengontrol” kapitalisme.
Super junior merupakan representasi dari sebuah konsep ketampanan yang ideal dari konstruksi
dan pencitraan dai media. karena pencitraan dan konstruksi yang dilakukan terus menerus
tersebut maka penilaian dan kesadaran akan criteria pria tampan menjadi sebuah homogenitas di
benak public atau dengan kata lain selera orang menjadi sama. Pandangan dan cara orang
menilai pun menjadi sempit karena berpatok kepada konstruksi media dengan representasinya
Super Junior.
DAFTAR PUSTAKA
Kellner, Douglas, Baudrillard Reader, Cambridge, Blackwell, 1994
Kellner, Douglas, Jean Baudrillard, diunduh dari http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/,
2007
Pawlett, William, “Against Banality – The Object System, the Sign System and the Consumption
System”, International Journal of Baudrillard Studies, Volume 5, Number 1 (January,
2008)
Kellner, Douflas, Baudrillard and the Art Conspiracy, diunduh dari
http://gseis.ucla.edu/faculty/kellner/index.html
Baudrillard, Jean, Seduction (Terjemahan Brian Singer), New World Perspectives,1990
Baudrillard, Jean, Simulacra and Simulation (Terjemahan Sheila Faria Glaser), Michigan
Baudrillard, Jean, The Violance of The Global (Terjemahan Francois Debrix), diunduh dari
http://www.ctheory.net/printer.asp?id=385
Baudrillard, Jean, Screened Out (Terjemahan Chris Turner), New York, Verso,2002
Witwer, Julia(ed.), Jean Baudrillard, Vital Illusion, New York, Columbia University Press, 2000
Lane, Richard J, Jean Baudrillard, New York, Routledge, 2001
Radike, Tectona(ed.), Teori-Teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik
Internasional (Terjemahan Teguh Wahyu Utomo), Yogyakarta, BACA!, 2010