Surat Bisnis yang Dituduh Mencemarkan Nama Baik: · PDF fileBagaimana Linguis Bekerja sebagai...
Transcript of Surat Bisnis yang Dituduh Mencemarkan Nama Baik: · PDF fileBagaimana Linguis Bekerja sebagai...
357
Surat Bisnis yang Dituduh Mencemarkan Nama Baik:
Bagaimana Linguis Bekerja sebagai Saksi Ahli di Indonesia
Untung Yuwono
Departemen Linguistik,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]; [email protected]
Abstract
The increasing attention of Indonesian society to the problems of human relations caused by the
language leads to today's increasingly lawsuit-ended language. Libels, defamations, insults, threats,
spreading hatreds and incitements are more frequently exposed to and associated with the articles of the
law contained in legislation such as the Code of Penal; Law of the Republic of Indonesia Number 11
Year 2008 on Information and Electronic Transactions (ITE); and the Law of the Republic of Indonesia
Number 24 Year 2009 on the Flag, Language, and the State Emblem and Anthem. Linguists are required
to provide information whether these acts occur due to the use of language or not. Linguistic expressions
that are accused of defamation in general have been determined by the complainants who felt affected
by these acts. So, how does a linguist explain the use of language that alleged detrimental to the name
of a person or an institution?
This paper describes how a linguist faces one of the tasks in forensic linguistics, which explains the
language issue in the realm of law. The articles announced in the law regulations that are generally used
in the law enforcements are described in this paper. Then, it is followed by a study of how linguistic
explanation based on discourse studies was given in a lawsuit that occurs because of the use of written
language in business correspondence.
Keywords: forensic linguistics, defamation, discourse studies, business letters.
1. Pendahuluan: Bahasa dan Hukum
Bahasa bermaslahat bagi manusia, tetapi juga, di sisi lain, bermudarat bagi manusia jika bahasa
disalahgunakan, misalnya digunakan sebagai alat untuk menyimpangkan suatu fakta dan
menyerang kehormatan orang lain. Dalam konteks pemakaian bahasa untuk tujuan negatif,
bahasa mempunyai kemampuan untuk memengaruhi perilaku dan keadaan orang lain. Seperti
halnya senjata, bahasa dapat digunakan untuk menyerang orang lain, yang lazimnya disebut
“menyerang secara verbal”. Penyerangan verbal itu dilakukan dengan menggunakan ekspresi
(kata, frasa, kalimat/tuturan) yang mampu “melukai” perasaan orang lain, bahkan menjatuhkan
kehormatan orang lain. Hal itu berarti bahasa mengandung daya (force) yang dapat berakibat
negatif bagi orang lain.
Dalam ilmu bahasa atau linguistik, kemampuan bahasa untuk memengaruhi perilaku dan
keadaan orang lain berasal dari tindak bahasa (speech act). Tindak bahasa bermacam-macam
dan salah satunya adalah tindak mengancam muka (face-threatening act/FTA) (Renkema,
2004: 26). Muka (face) mengacu pada ‘kehormatan; martabat; harga diri’ sehingga ketika FTA
terjadi, orang yang terkena FTA dapat mengalami “kehilangan muka”, yang merujuk pada
kehilangan harga diri atau kehilangan martabat atau kehilangan kehormatan. Dengan demikian,
358
kehilangan kehormatan atau harga diri atau martabat merupakan akibat dari FTA. Sebagai
contoh, di Indonesia orang tua, orang yang lebih tua, terlebih orang tua, pada umumnya akan
tersinggung jika disapa oleh orang lain dengan kata kamu.
Beberapa kategori bahasa berpotensi mengandung daya atau tindak mengancam muka
jika ditujukan kepada orang lain sebagai pihak kedua atau pendengar atau pembaca dan dalam
konteks tertentu, seperti dalam konteks latar psikologis (scene) marah.
(a) Pronomina atau kata ganti orang, seperti elu, kamu, gue, situ.
(b) Kata serapah atau umpatan, seperti sial, buset.
(c) Kata sifat atau adjektiva kualitas negatif, seperti bodoh, bego, tolol.
(d) Metafora atau perumpamaan, seperti hewan yang menjijikkan atau mengandung tabu
(bangkai, tikus, babi); benda yang secara umum dinilai mempunyai kualitas negatif dalam
budaya Indonesia, seperti tong kosong, rongsokan, kain rombeng; dan organ vital atau
kemaluan.
(e) Kekurangan fisik, kelainan, atau penyakit, seperti gila, idiot, cacat.
(f) Ekspresi apa pun yang menimbulkan nilai rasa atau konotasi negatif dalam situasi ironis
(menyindir), seperti kata bagus dalam Eh, bagus ya kamu ulang lagi! yang dituturkan
kepada seseorang yang mengulang perbuatan yang negatif.
Tidak jarang persoalan hukum timbul karena pemakaian bahasa. Paparan di atas
memperlihatkan penggunaan bahasa ber-FTA yang berpotensi merugikan orang lain, yaitu
menghilangkan martabat orang lain. Dalam konteks hukum, linguistik berperan penting untuk
menjelaskan apakah suatu ekspresi bahasa merugikan orang lain atau tidak. Seorang ahli
bahasa dibekali teori-teori linguistik, mulai dari teori tentang struktur bahasa hingga teori
pemakaian bahasa dalam lingkungan sosial, yang menjadi acuan untuk menjelaskan apakah
seseorang terkena kerugian akibat tindak verbal yang dilakukan oleh orang lain.
Dalam linguistik, kajian kaitan antara bahasa dan persoalan hukum akibat penggunaan
bahasa termasuk dalam linguistik forensik (forensic linguistics). Istilah linguistik forensik
(forensic linguistics) dipopulerkan pertama kali oleh Jan Svartvik pada tahun 1968 saat ia
terlibat dalam sebuah kasus pembunuhan yang menyita perhatian dunia akibat kesalahan
pengadilan dalam menjatuhkan vonis hukuman mati pada tahun 1950 kepada Timothy John
Evans, tersangka pembunuhan istri dan anak perempuan balitanya di Inggris. Berselang 16
tahun kemudian, Jan Svartvik, dengan analisis linguistiknya, membantu membuktikan bahwa
Timothy John Evans, yang telah dieksekusi mati, tidak bersalah. Pembunuh istri dan anak
perempuan Evans ternyata adalah John R.H. Cristie, tetangga keluarga Evans seapartemen,
yang ternyata juga telah membunuh beberapa perempuan, termasuk istri Evans. Dalam kasus
yang pelik itu, terutama karena pernyataan Evans yang berubah-ubah, dibutuhkan penjelasan
kebahasaan atas pernyataan-pernyataaan Evans dan Christie. Pada akhirnya, nama baik
Timothy John Evans dipulihkan. Sejak kasus itu, linguistik dianggap penting untuk membantu
pegiat hukum dalam memaknai bahasa yang menjadi bukti hukum.
Linguistik forensik, yang termasuk dalam linguistik terapan, berkembang dengan
pengkajian atas dua jenis teks, yaitu teks hukum dan teks proses hukum. (Coulthard dan
Johnson, 2007; Olsson 2008). Teks hukum meliputi teks yang digunakan dalam konteks hukum
dan kejahatan, mulai dari teks pribadi, seperti pengakuan pribadi dan keinginan pribadi, hingga
teks yang bersifat kelembagaan, seperti putusan pengadilan dan undang-undang. Adapun teks
proses hukum mengkaji teks-teks yang dihasilkan dalam proses peradilan, seperti interogasi
359
polisi, pertanyaan penegak hukum di persidangan, eksepsi terdakwa, keterangan saksi atau
kesaksian, dan vonis hakim.
Makalah ini membatasi bahasan linguistik forensik pada apa yang dihadapi oleh seorang
linguis ketika berperan sebagai saksi ahli bahasa dalam perkara hukum. Seorang linguis bekerja
di dalam linguistik forensik salah satunya ketika ia menjelaskan bentuk-bentuk bahasa dalam
teks dan menafsirkan makna teks dengan menggunakan acuan teoretis yang berkaitan dengan
tujuan pengungkapan teks itu. Hasilnya adalah keterangan ahli bahasa, yang menjadi bahan
pertimbangan bagi pegiat hukum untuk memecahkan suatu perkara yang melibatkan data
kebahasaan.
2. Pasal-pasal dalam Peraturan Hukum yang Berkenaan dengan Bahasa
Dalam melaksanakan tugas sebagai saksi ahli bahasa, seorang linguis perlu membekali diri
dengan pengetahuan tentang peraturan hukum yang mengatur perkara kebahasaan. Setidaknya
terdapat empat peraturan hukum di Indonesia yang memuat pasal-pasal yang berkenaan dengan
persoalan kebahasaan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Undang-Undang
Nomor Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bendera, Bahasa, Lambang
Negara, dan Lagu Kebangsaan); dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis).
Berikut pasal-pasal yang berkenaan dengan perkara kebahasaan.
Tabel 1. Pasal-pasal Hukum yang Berkenaan dengan Perkara Kebahasaan
Tentang/Pokok
Perkara
Peraturan
Hukum
Pasal Isi
Penghinaan kepada
penguasa atau badan
hukum
KUHP 207 Barang siapa dengan sengaja di muka umum
dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa
atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun
enam bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
208 (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan di muka umum suatu tulisan
atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap
penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia
dengan maksud supaya isi yang menghina itu
diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
Penghinaan ringan KUHP 315 Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak
bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang
dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum
dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang
itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau
dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan
kepadanya, diancam karena penghinaan ringan
360
dengan pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
Penghinaan (ringan)
terhadap pejabat
KUHP 316 Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal
sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan
sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat
pada waktu atau karena menjalankan tugasnya
yang sah.
Penghinaan kepada
Bendera Merah Putih
UU Bendera,
Bahasa,
Lambang
Negara, dan
Lagu
Kebangsaan
24 Pasal 24
Setiap orang dilarang:
a. merusak, merobek, menginjak-injak,
membakar, atau melakukan perbuatan lain
dengan maksud menodai, menghina, atau
merendahkan kehormatan Bendera Negara;
b. memakai Bendera Negara untuk reklame atau
iklan komersial;
d. mencetak, menyulam, dan menulis huruf,
angka, gambar atau tanda lain dan memasang
lencana atau benda apapun pada Bendera
Negara
Penghinaan kepada
Lagu Kebangsaan
UU Bendera,
Bahasa,
Lambang
Negara, dan
Lagu
Kebangsaan
64 Setiap orang dilarang:
a. mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada,
irama, kata-kata, dan gubahan lain dengan
maksud untuk menghina atau merendahkan
kehormatan Lagu Kebangsaan;
b. memperdengarkan, menyanyikan, ataupun
menyebarluaskan hasil ubahan Lagu
Kebangsaan dengan maksud untuk tujuan
komersial; atau
c. menggunakan Lagu Kebangsaan untuk iklan
dengan maksud untuk tujuan komersial.
Pencemaran nama baik KUHP 310 (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan
atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya
terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau
gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan di muka umum, maka
diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau
pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau
karena terpaksa untuk membela diri.
361
UU ITE 27 (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pencemaran nama baik
orang yang telah
meninggal
KUHP 320 (1) Barang siapa terhadap seseorang yang sudah
mati melakukan perbuatan yang kalau orang
itu masih hidup akan merupakan pencemaran
atau pencemaran tertulis, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua
minggu atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada
pengaduan dari salah seorang keluarga
sedarah maupun semenda dalam garis lurus
atau menyimpang sampai derajat kedua dan
yang mati itu, atau atas pengaduan suami
(istri)nya.
Fitnah KUHP 311 Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan untuk
membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak
membuktikannya, dan tuduhan dilakukan
bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia
diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
312 Pembuktian akan kebenaran tuduhan hanya
dibolehkan dalam hal-hal berikut:
1. apabila hakim memandang perlu untuk
memeriksa kebenaran itu guna menimbang
keterangan terdakwa, bahwa perbuatan
dilakukan demi kepentingan umum, atau
karena terpaksa untuk membela diri;
2. apabila seorang pejabat dituduh sesuatu hal
dalam menjalankan tugasnya.
Pengaduan yang tidak
benar (palsu); fitnah
KUHP 220 Barang siapa memberitahukan atau mengadukan
bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana,
padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan.
Pengaduan yang tidak
benar (palsu) tentang
seseorang kepada
penguasa; fitnah
KUHP 317 (1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan
pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada
penguasa, baik secara tertulis maupun untuk
dituliskan, tentang seseorang sehingga
kehormatan atau nama baiknya terserang,
diancam karena melakukan pengaduan
fitnah, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
318 (1) Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja
menimbulkan secara palsu persangkaan
terhadap seseorang bahwa dia melakukan
suatu perbuatan pidana, diancam karena
362
menimbulkan persangkaan palsu, dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
Informasi bohong
(fitnah) yang
menyebabkan kerugian
material
UU ITE 28 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Pengancaman KUHP 335 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun atau denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa secara melawan hukum
memaksa orang lain supaya melakukan,
tidak melakukan atau membiarkan
sesuatu, dengan memakai kekerasan,
sesuatu perbuatan lain maupun
perlakuan yang tak menyenangkan, atau
dengan memakai ancaman kekerasan,
sesuatu perbuatan lain maupun
perlakuan yang tak menyenangkan, baik
terhadap orang itu sendiri maupun
orang lain;
2. barang siapa memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan sesuatu dengan ancaman
pencemaran atau pencemaran tertulis.
(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam
butir 2, kejahatan hanya dituntut atas
pengaduan orang yang terkena.
UU ITE 27 (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.
UU ITE 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang berisi ancaman
kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi.
Pernyataan/penyebaran
kebencian (SARA)
KUHP 156 Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
KUHP 157 (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan tulisan atau lukisan di
muka umum, yang isinya mengandung
pernyataan perasaan permusuhan, kebencian
atau penghinaan di antara atau terhadap
golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan
maksud supaya isinya diketahui atau lebih
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana
363
penjara paling lama dua tahun enam bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
UU ITE 28 (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA).
UU
Penghapusan
Diskriminasi
Ras dan Etnis
4 Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:
a. memperlakukan pembedaan, pengecualian,
pembatasan, atau pemilihan berdasarkan
pada ras dan etnis, yang mengakibatkan
pencabutan atau pengurangan pengakuan,
perolehan, atau pelaksanaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya; atau
b. menunjukkan kebencian atau rasa benci
kepada orang karena perbedaan ras dan etnis
yang berupa perbuatan:
1. membuat tulisan atau gambar untuk
ditempatkan, ditempelkan, atau
disebarluaskan di tempat umum atau tempat
lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh
orang lain;
2. berpidato, mengungkapkan, atau
melontarkan kata-kata tertentu di tempat
umum atau tempat lainnya yang dapat
didengar orang lain;
3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa
benda, kata-kata, atau gambar di tempat
umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca
oleh orang lain; atau
4. melakukan perampasan nyawa orang,
penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan
cabul, pencurian dengan kekerasan, atau
perampasan kemerdekaan berdasarkan
diskriminasi ras dan etnis.
UU
Penghapusan
Diskriminasi
Ras dan Etnis
16 Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan
kebencian atau rasa benci kepada orang lain
berdasarkan diskriminasi ras dan etnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus
juta rupiah).
Penyebaran
keasusilaan
KUHP 282 (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan di muka umum tulisan,
gambaran atau benda yang telah diketahui
isinya melanggar kesusilaan, atau barang
siapa dengan maksud untuk disiarkan,
364
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka
umum, membikin tulisan, gambaran atau
benda tersebut, memasukkannya ke dalam
negeri, meneruskannya, mengeluarkannya
dari negeri, atau memiliki persediaan,
ataupun barang siapa secara terang-terangan
atau dengan mengedarkan surat tanpa
diminta, menawarkannya atau
menunjukkannya sebagai bisa diperoleh,
diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun enam bulan atau pidana denda
paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan di muka umum tulisan,
gambaran atau benda yang melanggar
kesusilaan, ataupun barang siapa dengan
maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, membikin,
memasukkan ke dalam negeri, meneruskan
mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki
persediaan ataupun barang siapa secara
terang-terangan atau dengan mengedarkan
surat tanpa diminta, menawarkan, atau
menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam,
jika ada alasan kuat baginya untuk menduga
bahwa tulisan, gambaran atau benda itu
melanggar kesusilaan, dengan pidana paling
lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
UU ITE 27 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Informasi tentang
perjudian
UU ITE 27 (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan perjudian.
Seorang saksi ahli bahasa bertugas menjelaskan pemakaian bahasa yang diperkarakan.
Pada akhirnya ia diminta untuk menyimpulkan apakah bahasa yang diperkarakan itu termasuk
dalam pokok perkara yang disangkakan atau dituduhkan. Dengan demikian, dalam
penyimpulan, ia harus melakukan dua hal, yaitu (1) menyampaikan pengertian tentang konsep
yang menjadi pokok perkara, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, pernyataan
kebencian, berdasarkan pengetahuan kebahasaannya dengan dukungan pengetahuan tentang
pengertian pokok perkara yang termuat dalam peraturan-peraturan hukum itu dan (2)
menegaskan pengertian itu ke dalam data bahasa yang sejalan atau tidak sejalan dengan
pengertian itu sehingga data bahasa itu dapat atau tidak dapat diklasifikasikan ke dalam pokok
perkara yang disangkakan.
365
Pengertian suatu konsep yang termasuk dalam ranah hukum dan menjadi pokok perkara
tidak jarang mendatangkan argumentasi dalam pemberian keterangan kebahasaan. Penyidik,
yang datang dari bidang hukum, akan membandingkan keterangan ahli mengenai pengertian
konsep pokok perkara dengan yang dimuat dalam peraturan-peraturan hukum. Dalam ranah
hukum, suatu perkara, misalnya, termasuk dalam pencemaran nama baik, jika memenuhi
unsur-unsur (1) bukti verbal yang bertujuan menyerang kehormatan pribadi dengan sarana tulis
atau lisan di hadapan umum, (2) pelaku yang dilaporkan melakukan pencemaran nama baik,
dan (3) pelapor yang terkena pencemaran nama baik. Unsur-unsur pencemaran nama baik
tersebut tertera dalam Pasal 310 Bab XVI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tentang Penghinaan sebagai berikut—garis bawah menunjukkan ketiga unsur tersebut.
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Bekal pengertian pencemaran nama baik dari kamus, khususnya Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), saja tidak akan memadai bagi seorang linguis untuk menjelaskan suatu
tindakan disebut pencemaran nama baik. Bandingkan pengertian pencemaran nama baik
dalam ranah hukum tersebut dengan pencemaran nama baik yang dijelaskan dalam KBBI edisi
terakhir.
ce·mar a 1 kotor; ternoda: udara menjadi -- krn asap gas yg keluar dr cerobong asap pabrik itu; 2 ki keji;
cabul; mesum: perkataan yg --; 3 ki buruk (tt nama baik); tercela: krn perbuatan jahatnya, nama
keluarganya menjadi --;
berbuat jahat jangan sekali, terbawa -- segala ahli, pb jangan sekali-kali berbuat jahat krn nama baik
keluarga akan terbawa-bawa menjadi buruk;
men·ce·mari v 1 menjadikan cemar; mengotori: sampah mulai ~ Teluk Ambon; 2 ki menodai (nama baik);
mencabuli: ~ asas-asas demokrasi; peperangan ~ hubungan kemanusiaan yg sejati; ~ nama baik orang
tua;
men·ce·mar·kan v 1 menjadikan cemar; mengotorkan: sejuta galon minyak yg tumpah telah ~ Selat
Malaka; gas yg keluar dr pabrik itu ~ udara serta alam sekelilingnya; 2 ki memburukkan atau merusakkan
(nama dsb): hati-hati kelakuanmu jangan sampai ~ nama keluargamu;
ter·ce·mar v menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi); ternoda: akibat kebocoran minyak, pemandangan indah
di selat itu ~; namanya ~ krn perbuatannya sendiri;
pen·ce·mar·an n proses, cara, perbuatan mencemari atau mencemarkan; pengotoran: ~ udara; ~
lingkungan;
Pengertian cemar dalam KBBI seperti yang ditunjukkan di atas hanya menegaskan makna
tindakan dan tanpa mengikutsertakan makna yang lengkap tentang siapa saja yang terlibat
dalam tindakan itu. Makna ‘untuk diketahui secara umum; untuk diketahui oleh banyak
366
orang/pihak’ yang juga penting dalam pencemaran nama baik dalam ranah hukum tidak
terliput dalam pengertian yang dimuat dalam KBBI. Lebih daripada itu, dalam ranah hukum,
pengecualian pencemaran nama baik diberikan kepada suatu tindak yang menginformasikan
sesuatu yang bertujuan untuk membela kepentingan umum atau yang terpaksa dilakukan untuk
membela diri. Jika hal yang terakhir ada kemungkinan terjadi, seorang saksi ahli bahasa akan
menghadapi pertanyaan tricky dari penyidik seperti “Apakah menurut Saudara perbuatan X
dilakukan untuk membela kepentingan umum?”
3. Analisis Wacana Kritis dalam Pemberian Keterangan oleh Saksi Ahli Bahasa
Pada hakikatnya seorang ahli bahasa melakukan analisis wacana kritis (critical
discourse analysis) saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli bahasa. Analisis wacana
kritis mendekati bahasa sebagai praktik sosial-budaya. Gejala, peristiwa, dan tindakan yang
terjadi dalam realitas sosial direpresentasikan dalam wacana. Namun, tidak selamanya apa
yang terjadi dalam realitas sosial terwakili secara jernih di dalam wacana. Oleh karena itu,
tujuan analisis wacana kritis adalah menyingkapkan keburaman dalam wacana. Van Dijk
(1997) mengemukakan bahwa wacana tidak ubahnya gunung es di atas permukaan laut
sehingga penganalisis wacana kritis bertanggung jawab untuk menyingkapkan makna-makna
yang tersembunyi dalam teks. Maksud-maksud pernyataan yang belum jelas disingkapkan dan
dikaitkan dengan relasi sosial, bahkan pandangan dunia dan keyakinan sosial yang
memengaruhi peserta wacana pada akhirnya dapat terkuak.
Ciri-ciri analisis wacana kritis yang diterapkan dalam pemberian keterangan oleh saksi
ahli bahasa itu adalah sebagai berikut.
(1) Analisis wacana kritis selalu berangkat dari persoalan dalam masyarakat. Dalam konteks
pemberian keterangan bahasa oleh saksi ahli bahasa, saksi ahli bahasa selalu bertolak dari
masalah kebahasaan yang menjadi pokok perkara.
(2) Analisis wacana kritis bertujuan mendedah apa yang tersembunyi dalam ekspresi bahasa.
Seorang saksi ahli bahasa membantu penegak hukum dan khalayak untuk mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi pada suatu perkara yang bersumber pada persoalan kebahasaan.
Apa fungsi sebuah kata yang diucapkan dalam konteks tertentu dibedah oleh saksi ahli
bahasa: apakah kata itu, misalnya, merupakan penghinaan atau bukan.
(3) Analisis wacana kritis mengkaji kaitan bahasa dengan proses produksi bahasa dan
penerimaan (konsumsi) bahasa. Dalam hal ini kajian yang dilakukan oleh seorang ahli
bahasa diarahkan pula pada peserta komunikasi yang terlibat dalam perkara. Terkadang
aparat hukum telah melakukan pembingkaian terbatas pada data bahasa yang dianggap
menimbulkan masalah. Namun, seorang saksi ahli bahasa tidak dapat hanya secara sempit
mengkaji teks yang telah ditentukan. Ia harus memperluas pandangannya pada produsen
dan konsumen teks yang bermasalah itu.
(4) Analisis wacana kritis mengkaji kaitan bahasa dengan konteks yang tidak terbatas, seperti
konteks budaya—seperti budaya penuturan, budaya penulisan, cara menulis dalam laras
bahasa tertentu, kesantunan, dan lain-lain—dan konteks institusional—bahasa dalam
kaitannya dengan fungsi kelembagaan.
(5) Analisis wacana kritis, sebagai sebuah ancangan, bersifat interdisipliner sehingga terbuka
pada aneka disiplin dan teori, sepanjang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Sebagai
contoh, seorang saksi ahli bahasa harus mengetahui sedikit-banyak peraturan hukum.
367
Subbahasan sebelum ini telah menjelaskan pentingnya seorang saksi ahli bahasa
memahami pula pengertian-pengertian tentang pokok perkara kebahasaan yang telah
dimuat dalam peraturan-peraturan hukum. Demikian pula, seorang saksi bahasa dapat
menggunakan landasan teori kebahasaan apa pun yang berkaitan dengan data bahasa yang
diperkarakan.
(6) Analisis wacana kritis mengarahkan analis untuk menetapkan titik pijak dirinya. Dalam
konteks pemberian keterangan oleh saksi ahli bahasa, absah apabila keterangan seorang
saksi ahli bahasa cenderung meringankan atau memberatkan pihak tertentu yang
berperkara. Tidak jarang dua saksi ahli bahasa berhadapan di pihak-pihak yang berlawanan
dan beradu argumentasi dengan tetap berpijak pada analisis kebahasaan.
Berikut ini dipaparkan contoh bagaimana seorang saksi ahli bahasa menerapkan
ancangan analisis wacana kritis tersebut dalam menjelaskan suatu perkara kebahasaan dengan
data bahasa dalam sebuah surat yang diperkarakan.
4. Deskripsi Perkara Kebahasaan
Melalui surat bernomor 33/PT C/X/2015 tertanggal 26 Oktober 2015 berperihal “Permohonan
Ahli di Bidang Bahasa”, Pengacara A, yang berkedudukan di Kantor Pengacara B, dan yang
bertindak sebagai Kuasa Hukum bagi Sdr. X, d.h. Direktur Utama PT C, mengajukan
permohonan penjelasan analitis dari segi ilmu kebahasaan mengenai kalimat-kalimat yang
tertulis dalam sebuah surat PT C kepada PT D. Sdr. Y, pimpinan PT D, menuduh Sdr. X dari
PT C mencemarkan nama baik Y dan PT D dan perkara itu telah dilaporkan oleh Sdr. Y kepada
pihak Kepolisian Republik Indonesia dalam Laporan Polisi No. Pol:
xx/xxx/xx/2014/Bareskrim. Surat itu berbunyi sebagai berikut.
KOP SURAT PT C
No. 00/000000/2014
Jakarta, 6 Januari 2014
Kepada Yth.
Presiden Direktur
PT D
Jln. Bla bla bla
Jakarta 12345
Indonesia
Perihal: Tanggapan atas Penghentian Sementara (Suspension) Kontrak No.: 00000
Charter Pesawat
Dengan hormat,
Kami telah menerima surat PT D No. 1111/2014 tanggal 3 Januari 2014 perihal tersebut dalam pokok
surat itu.
368
Perlu kami sampaikan bahwa ketidakmampuan dan kegagalan PT D dalam memenuhi kewajibannya
dalam Kontrak yaitu diantaranya: Ketersediaan Hanggar, Pilot/Co-Pilot yang lengkap, dan
Ketersediaan Sparepart 1 dan 2 merupakan bagian dari KPI yang bersifat menyeluruh dari pelaksanaan
Kontrak dan sangat terkait dengan aspek keselamatan penerbangan yang bukan hanya menjadi perhatian
PT C tetapi juga para pemegang saham PT C.
Selain kegagalan PT D tersebut di atas, perlu juga kami ingatkan bahwa PT D juga tidak memenuhi
kewajibannya dalam hal Training, Quality Assurance dan Audit Closure sehingga ketaatan dan
kepatuhan terhadap hal-hal yang diatur dalam Kontrak tidak dipenuhi oleh PT D yang mengakibatkan
terjadinya penurunan tingkat keselamatan penerbangan dan penumpang dalam menunjang kegiatan
Operasi Penerbangan PT C, seperti: (i) Pilot yang sedang berkabung disebabkan orang tuanya
meninggal masih tetap menerbangkan pesawat karena tidak tersedianya Pilot Pengganti, (ii) Co Pilot
yang tidak memenuhi spesifikasi kontrak dan dipaksakan untuk menerbangkan Pesawat, dan (iii)
Penerbangan Lembaga AA pernah mengalami kejadian Near Miss.
Di dalam surat PT D tersebut di atas, PT D telah mengakui kekurangan-kekurangan dan kegagalan-
kegagalan PT D di atas hal-hal yang dikeluhkan PT C dalam surat PT C sebelumnya (No. 00), namun
kami sangat kecewa bahwa pengakuan PT D tersebut tidak disertai dengan penyesalan, bahkan kami
melihat bahwa PT D menganggap masalah aspek keselamatan lebih pada semata-mata sesuatu yang
dapat dikompensasikan dengan uang.
Sehubungan dengan hal-hal di atas dan mengingat kegagalan-kegagalan PT D dalam memenuhi
kewajibannya dalam Kontrak telah berlangsung lama dan berulang-ulang, dengan sangat menyesal
kami tegaskan bahwa PT C tidak dapat menerima alasan dan usulan yang disampaikan PT D dalam
surat PT D tersebut di atas sehingga Penghentian Sementara (Suspension) Kontrak adalah bersifat final
dan tetap diberlakukan efektif mulai tanggal 7 Januari 2014, pukul 12.00 WITA sampai dengan 18
Januari 2014 dengan segala konsekuensinya sesuai surat PT C No. 00 tertanggal 2 Januari 2014.
Demikian kami sampaikan agar kiranya maklum dan PT C tidak akan membalas korespondensi lanjutan
dari PT D perihal keberatan atas Penghentian Sementara ini.
Atas perhatiannya, diucapkan terimakasih.
X
President Director & CEO
Tembusan:
1. President & CEO BB 5. Corporate Secretary
2. Director & COO PT C 6. Manager Communication
3. VP Production 7. Manager Procurement
4. VP Business Support 8. Manager Service
369
Surat tersebut berada dalam konteks permasalahan klaim-klaim yang diajukan oleh PT
X atas ketidaksesuaian penerapan kontrak oleh PT Y yang berkenaan dengan jasa penerbangan
yang dilaksanakan oleh PT Y.
5. Tahap Analisis Data yang Diperkarakan
Untuk menjelaskan apakah surat PT C tersebut dan ekspresi bahasa yang digunakan
oleh X di dalamnya mencemarkan nama baik, alur penjelasannya adalah sebagai berikut.
Pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) telah menjelaskan bahwa
pencemaran nama baik merupakan tindak penyerangan kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduhkan suatu hal dengan tujuan yang jelas di atau ke hadapan umum. Diketahui
oleh umum menjadi kata kunci untuk menggolongkan suatu tindakan verbal termasuk berfungsi
mencemarkan nama baik atau tidak. Definisi kata umum, sebagaimana yang dipaparkan dalam
KBBI, adalah ‘orang banyak; khalayak ramai’.
Kedua, di dalam ilmu bahasa juga terdapat konsep tindakan verbal yang mengancam
nama baik atau kehormatan atau martabat atau harga diri. Konsep itu adalah face-threatening
act (FTA) yang diindonesiakan sebagai tindak mengancam muka. FTA merupakan tindak
penyerangan kehormatan, seperti yang menjadi bagian dari definisi dalam pencemaran nama
baik. FTA terkandung dalam ekspresi-ekspresi kebahasaan, seperti pronomina atau kata ganti
orang, seperti elu, kamu, gue, situ.; kata serapah atau umpatan, seperti sial, buset; kata sifat
atau adjektiva kualitas negatif, seperti bodoh, bego, tolol; metafora atau perumpamaan, seperti
hewan yang menjijikkan atau mengandung tabu (bangkai, tikus, babi); dan kategori ekspresi
lainnya yang dilontarkan dalam situasi tertentu, tertentu dalam situasi emosional atau marah.
Ketiga, untuk menjelaskan persoalan kebahasaan dalam surat PT X, perlu dianalisis
surat tersebut secara utuh, yaitu dari segi kelengkapan bagian surat dan dari segi bahasa yang
digunakan dalam surat. Diperlukan teori kebahasaan untuk menjelaskan segi kebahasaan dalam
surat itu, yaitu teori tentang superstruktur wacana dalam surat. Tidak hanya itu, konteks-
konteks yang termuat dalam surat (manifest intertext) dan hubungannya dengan konteks di luar
(interdiscourse).
Keempat, penyimpulan diadakan berdasarkan hasil analisis, yang menyatakan apakah
kalimat dan bagian-bagian dalam surat X mencemarkan nama baik Y dan PT D.
6. Analisis Data dan Simpulan Hasil Analisis Data
Surat yang ditulis oleh X dan ditujukan kepada Y berjenis surat bisnis. Surat bisnis adalah surat
yang terutama dipergunakan oleh perusahaan untuk menyampaikan informasi yang
berhubungan dengan transaksi jual beli atau perdagangan dan pemenuhan kebutuhan hidup
(Finoza, 1991; Bratawidjaja, 1995). Hal ini ditunjukkan oleh perihal dan isi surat yang
berkenaan dengan Kontrak No.: 0000 Charter Pesawat, suatu perjanjian antara dua pihak yang
berbisnis, yaitu PT C dan PT D. Berdasarkan tujuannya, surat tersebut termasuk dalam lingkup
korespondensi eksternal, yaitu ditulis oleh PT X dengan tujuan pihak luar perusahaan (PT D).
Struktur surat yang ditulis oleh PT X memperlihatkan kelengkapan bagian surat, yaitu
(1) kepala (kop) PT C;
(2) nomor surat;
(3) tanggal surat;
(4) tajuk perihal;
370
(5) penerima dan alamat tujuan surat;
(6) salam pembuka Dengan hormat;
(7) isi surat, yang ditulis secara konsisten dengan paragraf lurus;
(8) paragraf penutup, yang diisi dengan ucapan terima kasih;
(9) nama pengirim surat, yaitu X, lengkap dengan jabatan pengirim surat;
(10) tembusan (cc), dengan pihak-pihak penerima tembusan.
Hal yang perlu diberi catatan pada kelengkapan surat adalah jenis surat dan tembusan.
Tidak ada tanda atau kode bahwa surat tersebut berjenis surat konfidensial (setengah rahasia)
ataukah surat rahasia sehingga surat tersebut dapat dikategorikan sebagai surat biasa. Dalam
hal tembusan, yang tampak adalah tembusan (carbon copy)—tidak ada tembusan buta (blind
carbon copy). Dalam korespondensi, sebuah surat mempunyai tembusan jika kopi surat
dikirimkan kepada pihak-pihak (pihak ketiga; pihak di luar penulis dan penerima surat) yang
mempunyai sangkut-paut atau keterkaitan dengan surat yang dikirim dan, dengan cara itu,
orang yang dikirimi tembusan dapat turut mengetahui permasalahan surat, sementara orang
yang dituju mengetahui kepada siapa saja surat ditembuskan (Finoza, 1991). Memperhatikan
tembusan surat itu, dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang diberi kopi surat oleh PT C
berkepentingan dengan segala permasalahan yang ditulis di dalam surat itu. Hal itu juga berarti
bahwa surat, selain ditujukan kepada tujuan penerima surat (PT D), diketahui secara terbatas
oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan isi surat. Kopi surat tidak ditujukan kepada atau
diketahui oleh umum (khalayak ramai; orang banyak), tetapi diketahui secara terbatas oleh
pihak-pihak tersebut. Seandainya tembusan inilah yang dianggap menjadi hal yang
menyebabkan pencemaran nama baik PT D, tembusan dengan kondisi itu tidak dapat dianggap
atau termasuk sebagai upaya mencemarkan nama baik PT D—lihat kembali definisi umum
dalam makalah ini. Jika pun perlu diberikan penjelasan tentang mengapa PT C menembuskan
surat itu kepada pihak ketiga, jawabannya pastilah karena pihak-pihak ketiga itu
berkepentingan dengan permasalahan yang diuraikan dalam surat itu—kepentingan apa saja
tentu dapat ditanyakan kepada dan dijelaskan oleh X selaku penulis surat.
Selanjutnya, jenis wacana di dalam surat dianalisis. Surat merupakan teks, yaitu bahasa
yang berfungsi. Bahasa yang digunakan untuk tujuan menceritakan sesuatu menghasilkan
wacana naratif; bahasa yang digunakan untuk tujuan menggambarkan atau memerikan sesuatu
menghasilkan wacana deskriptif; bahasa yang digunakan untuk memaparkan suatu informasi
yang belum atau tidak banyak diketahui oleh orang menghasilkan wacana ekspositoris;
sedangkan bahasa yang digunakan untuk mengajukan dan membuktikan suatu klaim
menghasilkan wacana argumentatif.
Menyelisik jenis wacana surat tersebut, surat tersebut tergolong dalam wacana
argumentatif. Struktur wacana argumentatif secara umum mengacu pada pendapat Toulmin
(1958/2003). Ia menyatakan bahwa argumentasi merupakan himpunan argumen berupa
sejumlah pernyataan atau proposisi, dengan satu di antaranya dianggap sebagai simpulan
(klaim), sementara pernyataan lain mendukung kebenaran simpulan itu. Himpunan argumen
itu terdiri atas enam unsur argumen, yaitu
(1) klaim (claim), yaitu argumen pokok sebagai simpulan yang akan dibuktikan benar atau
tidaknya dengan bukti yang diperkuat landasan atau acuan;
(2) bukti atau data (ground), yaitu data atau fakta yang menjadi bukti benar atau tidaknya
371
klaim;
(3) landasan atau acuan (warrant), yaitu pendapat atau teori yang menjembatani klaim dengan
bukti dan yang memperkuat klaim dan bukti;
(4) bukti tambahan atau bukti penguat (backing), yaitu data atau fakta tambahan yang relevan
dengan klaim;
(5) ukuran besar-kecil klaim (qualifier), yaitu ukuran kepastian atau ketidakpastian klaim,
yang pada umumnya dinyatakan dengan kata-kata seperti sangat, mungkin, harus,
seharusnya, mustahil.
(6) sanggahan atau kekecualian (rebuttal), yaitu pernyataan yang bertolak belakang dengan
klaim ketika klaim tidak terpenuhi, yang pada umumnya dinyatakan dengan kata-kata atau
ungkapan seperti kecuali dan jika tidak, setidaknya ... .
Lebih lanjut, menurut Toulmin, tiga unsur yang wajib ada dalam wacana argumentatif adalah
tiga yang disebut pertama di atas, yaitu klaim, bukti, dan landasan. Tiga yang terakhir (bukti
tambahan, ukuran klaim, dan sanggahan/kekecualian) merupakan unsur tambahan dalam
argumentasi dan dapat tidak hadir dalam wacana.
Contoh argumentasi sederhana yang diambil dari kehidupan sehari-hari ditampilkan
dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Contoh Wacana Argumentatif
Unsur Argumen Pernyataan
Klaim (claim) Direktur ada di dalam ruang kerjanya.
Bukti atau data (ground) Di pintu ruang kerja beliau terpasang tanda “Ada”.
Landasan atau acuan
(warrant)
Tanda “Ada” di pintu ruang kerja pimpinan
perusahaan menunjukkan pimpinan perusahaan ada di
dalam ruang kerja.
Bukti tambahan (backing) Direktur pernah bercerita bahwa hal yang
dilakukannya pertama kali saat tiba di kantor adalah
memasang tanda kehadiran pada pintu ruang kerjanya
pada posisi “Ada”.
Ukuran besar kecilnya klaim
(qualifier)
Jadi, pasti Direktur ada di dalam ruang kerjanya.
Sanggahan atau kekecualian
(rebuttal)
Kecuali jika beliau lupa mengatur tanda pada pintu
ruang kerjanya pada posisi “Tidak Ada”.
Berikut ini disajikan unsur-unsur argumentasi yang termuat dalam surat tersebut.
Tabel 3. Unsur Argumen dalam Surat X kepada Y
Unsur Argumen Kalimat
Klaim PT C tidak dapat menerima alasan dan usulan yang
disampaikan PT D dalam surat PT D No. 1111/2014 tanggal 3
Januari 2014. Penghentian sementara bersifat final. (paragraf
ke-5 surat: Penghentian Sementara (Suspension) Kontrak
adalah bersifat final dan tetap diberlakukan efektif mulai
tanggal 7 Januari 2014, pukul 12.00 WITA sampai dengan 18
Januari 2014)
Bukti atau data PT D tidak mampu dan gagal dalam memenuhi kewajiban
sebagaimana yang termuat dalam kesepakatan dua
372
pihak/kontrak. Ketidakmampuan dan kegagalan itu berhubungan dengan KPI dan keselamatan penerbangan.
Keselamatan penerbangan itu bukan hanya penjadi perhatian
PT C, tetapi juga para pemegang saham PT C.
(Paragraf ke-2 surat: Perlu kami sampaikan bahwa
ketidakmampuan dan kegagalan PT D dalam memenuhi
kewajibannya dalam Kontrak dst.)
PT D tidak memenuhi kewajibannya dalam hal Training,
Quality Assurance, dan Audit Closure, yang telah diatur dalam
Kontrak. Tingkat keselamatan penerbangan menurun dengan
terjadinya pilot yang dalam kondisi berkabung tetap
menerbangkan pesawat; ko-pilot yang tidak memenuhi
spesifikasi kontrak menerbangkan pesawat; dan penerbangan
Lembaga AA pernah mengalami kejadian Near Miss.
(Paragraf ke-3 surat: Selain kegagalan PT D tersebut di atas
dst.)
Kegagalan PT D memenuhi kontrak telah berlangsung lama
dan berulang-ulang. (paragraf ke-5 surat: … dan mengingat
kegagalan-kegagalan PT D dalam memenuhi kewajibannya
dalam Kontrak telah berlangsung lama dan berulang-ulang)
Landasan atau acuan Kontrak (tidak disebut isinya; secara implisit terlihat dari
bukti-bukti ketidakmampuan PT D dalam memenuhi kontrak)
Bukti tambahan PT D mengakui kekurangan dan kegagalan atas hal yang
dikeluhkan PT C dalam surat PT D bernomor tersebut
(paragraf ke-4)
Ukuran besar
kecilnya klaim
Tidak dapat dan bersifat final (paragraf ke-5)—final merujuk
pada titik akhir; tidak ada perubahan; tetap. Dengan demikian,
klaim tidak akan diubah dan bersifat final.
Sanggahan atau
kekecualian
--
Menelusuri kalimat demi kalimat di dalam isi surat, tidak ada ekspresi bahasa yang
mengancam kehormatan penerima surat. Klaim gagal dan tidak mampu tidak dapat dikatakan
ekspresi yang menjatuhkan kehormatan penerima surat. Kata itu muncul sebagai simpulan
(klaim) atas sejumlah fakta (bukti) yang dilandasi acuan Kontrak, yang menunjukkan bahwa
fakta tidak sesuai dengan perjanjian. Kegagalan dan ketidakmampuan merupakan realitas dari
sehimpunan fakta tidak dilaksanakannya apa-apa yang telah disepakati dalam Kontrak.
Realitas itu mempunyai dasar yang jelas dengan dipaparkannya fakta di dalam surat—sebagai
contoh realitas dalam kehidupan sehari-hari, pernyataan Kamar ini kotor merupakan realitas
yang absah jika dilengkapi (baca: dibuktikan) dengan fakta seperti kamar ini penuh dengan
debu dan sampah bertebaran di mana-mana. Tidak ada konotasi negatif apa pun, seperti yang
muncul pada ironi atau sarkasme, pada kata kegagalan dan ketidakmampuan karena dua kata
itu digunakan secara denotatif sebagaimana mestinya, yang mengacu pada makna ‘tidak
berhasil; tidak tercapai; tidak sanggup’.
Analisis atas surat yang ditulis oleh PT C dan ditujukan kepada PT D, dengan demikian,
telah dilakukan atas dua hal, yaitu kelengkapan bagian surat dan struktur wacana surat. Baik
373
dari segi kelengkapan surat maupun struktur wacana surat tidak ditemukan indikasi bahwa PT
C atau X selaku pembuat surat mencemarkan nama baik PT D sebagai badan hukum dan Y
selaku penerima surat.
Dari segi kelengkapan bagian surat, tidak ditemukan bagian apa pun yang menjadi
indikasi pencemaran nama baik PT D selaku penerima/tujuan surat oleh X selaku penulis surat.
Surat ditujukan kepada penerima/tujuan surat dengan kopi surat ditujukan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dengan isi surat. Baik surat maupun kopi surat tidak ditujukan kepada
umum atau orang banyak atau khalayak ramai, tetapi hanya ditujukan kepada PT D dengan
kopi surat yang ditujukan kepada kalangan terbatas atau kalangan yang berkepentingan dengan
isi surat. Umum, seperti yang termuat sebagai bagian penting dari definisi pencemaran nama
baik, tidak dapat diartikan sama dengan terbatas. Akan berbeda keadaannya jika surat
ditujukan kepada masyarakat atau dimuat dalam media massa ataupun ditujukan kepada wakil
rakyat di lembaga legislatif negara, maka surat menjadi ditujukan dan diketahui oleh umum.
Surat yang dianalisis berstruktur wacana argumentatif. Argumentasi yang dilancarkan
oleh PT C dalam surat tersebut berstruktur lengkap, yaitu memuat klaim, bukti, dan acuan
sebagai syarat minimal kelengkapan wacana argumentatif. Klaim-klaim yang dilancarkan oleh
PT C dilandasi oleh fakta sebagai bukti dan diperkuat dengan acuan. Klaim-klaim tidak
mengandung konotasi negatif karena selalu diikuti oleh bukti. Acuan yang digunakan juga
bersifat formal-legal, yaitu Kontrak dan laporan hasil inspeksi. Akan berbeda keadaannya jika
klaim-klaim tidak dilandasi oleh bukti atau acuan, yang akan berpotensi menjatuhkan
kehormatan seseorang, misalnya seseorang yang dikatakan bodoh akan sakit hati jika
kepadanya tidak ditunjukkan bukti mengapa ia dinilai bodoh, namun dapat memahami jika ada
bukti yang menunjukkan ia bodoh. Argumentasi yang hanya memuat klaim tanpa bukti
dan/atau acuan, menurut Toulmin (1958/2003), dinyatakan sebagai argumentasi yang cacat
atau tidak lengkap. Argumentasi yang lengkap sekurang-kurangnya memuat klaim, bukti, dan
acuan, seperti yang ditemukan dalam surat. Akhirnya, sebagai simpulan umum, surat yang
ditulis oleh PT C tidak mencemarkan nama baik PT D selaku badan hukum dan Y sebagai
orang yang dituju oleh surat.
7. Simpulan
Telah dipaparkan bagaimana seorang linguis bekerja dalam salah satu kegiatan
forensik, yaitu menganalisis suatu perkara kebahasaan, sebagai saksi ahli bahasa. Dalam ruang
lingkup pemeriksaan perkara hukum dan peradilan, linguistik forensik dibutuhkan untuk
membantu proses-proses penegakan hukum. Tentu saja tidak terbatas pada kegiatan saksi ahli
bahasa sebagaimana yang dipaparkan dalam makalah ini. Linguistik forensik, jika
dikembangkan, akan mampu memberikan sumbangsih yang lebih banyak. Banyak kegiatan
penelitian yang dapat dilakukan di ruang pemeriksaan dan pengadilan. Beberapa kegiatan yang
dapat dikembangkan dalam linguistik forensik antara lain penelitian pemakaian bahasa oleh
aparat penegak hukum dan terperiksa, tersangka, atau terdakwa, misalnya dalam interogasi atau
tanya-jawab dalam persidangan, yang akan menemukan pola-pola komunikasi dan wacana
dalam pemeriksaan dan persidangan; penelitian tentang ekspresi bahasa yang tergolong dalam
pokok perkara tertentu (misalnya penghinaan dan pencemaran nama baik) sehingga hasilnya
mampu membantu penegak hukum untuk menyimpulkan apakah ekspresi bahasa tertentu dapat
dikategorikan melanggar hukum; penelitian tentang kegiatan penerjemahan untuk membantu
374
komunikasi antara penegak hukum dan terperiksa, tersangka, atau terdakwa; penelitian tentang
bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam hukum mempertahankan titik pijaknya (stance);
dan banyak lagi lainnya. Linguistik forensik telah berkembang demikian luasnya di luar negeri
dengan berbagai aktivitasnya. Mengapa tidak di Indonesia?
Daftar Acuan
Bratawidjaja, T.W. (1995). Korespondensi bisnis. Edisi revisi. Jakarta: Lembaga Pendidikan
dan Pembinaan Manajemen (Lembaga PPM) dan PT Pustaka Binaman Pressindo.
Coulthard, M. dan Johnson, A. (2007). An introduction to forensic linguistics: language in
evidence. London, Routledge.
Finoza, L. (1991). Aneka surat sekretaris dan surat bisnis Indonesia. Jakarta: Mawar Gempita.
Olsson, J. (2008). Forensic linguistics. Edisi kedua. London: Continuum.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2008). Kamus besar
bahasa Indonesia. Edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Renkema, J. (2004). Introduction to discourse studies. Amsterdam/New York: John Benjamins
Publishing.
Toulmin, S.E. (1958/2003). The uses of argument. Cambridge: Cambridge University Press.
Toulmin, S.E.; Rieke, R.; dan Janik, A. (1984). An introduction to reasoning. Edisi Kedua.
New York: Macmillan.
Van Dijk, T.A. (1997). Discourse as interaction in society. Dalam T.A. van Dijk (ed.),
Discourse as social interaction. London: Sage.
Yuwono, Untung. (2015). “PT Y Vampire: Terus Makan Korban”: Peran Analisis Speaking
dalam Linguistik Forensik”. Disajikan dalam Seminar Nasional Sosiolinguistik-
Dialektologi, 9—10 November 2015.
375
White Angels: the Virtue of Language to Elevate a Mass Culture
Phenomenon onto A Higher Plane of Culture
Vera Syamsi
Sampoerna University
Abstract
Real Madrid CF is a Spanish soccer club that has existed since 1902. Having collected many
silverwares from both domestic and international championships, it is considered to be one of
the biggest European soccer clubs in the history of modern soccer. As a club that has achieved
many titles and silverwares, Real Madrid is one of a few clubs under the patron of the King of
Spain. There have been many writings regarding the club, one of which is a book entitled
“White Angels – Beckham, Real Madrid & the New Football” by John Carlin. Using stylistics
as the methodology, this paper is analyzing the language style used in some parts of the book
in describing the club and the players; the way they played. Carlin describes it as if it were a
piece of art belonging to the high culture domain – comparing it with ballet and paintings of
famous artists, while in fact soccer is one of the most famous sports enjoyed by the biggest
number of sport lovers in the planet, hence a mass culture phenomenon.
Keywords: Real Madrid CF., Discourse, Metaphor, Stylistics, High Culture, Low Culture,
Grandeur, Majestic.
1. Introduction
Football has become very popular in the world. The sport was invented in 206 BC in China
during the dynasty of Tsin and Han (Goldblatt, 2008:5), and has been since gaining more and
more popularity in the world. Nowadays, this sport is considered to be the most well-known in
the world (Giulianotti, 2004), attracting around 1.4 billion people watching and enjoying the
game; 250 million people are directly involved in playing the game, and during a world cup
competition, there were 3.4 billion people watching it through television (Wood 2010:3).
Meanwhile, Fédération Internationale de Football Association (FIFA) as the official institution
for the sport stated that in 2006 there were more than 240 million people from more than 200
countries played the game, while many more playing the role as spectators, both directly in
stadiums and from television. Another data from Huffington post (2014) stated that there were
around 265 million players who were actively involved in this sport, all around the world; that
makes 4% out of the total world population.
So high is the popularity of the sport in the world that countries around the world hold a
regular competition every year in their domestic league. One of the very popular leagues is in
376
Spain, known as La Liga that was first founded in 1929. Within this league, Real Madrid Club
de Futbal is one of the biggest and strongest team. First established in 1902, this giant club has
collected impressive trophies and cups; 31 league trophies, 11 times winner of UEFA
Champions Cup, 3 Intercontinental Cups, 32 La Liga titles, 19 Copa del Rey cups, 3 European
Super Cup, Real Madrid C.F is the most successful club in the history of football and was
named as the Best Club of the 20th Century by FIFA (http://www.realmadrid.com). Topping
the accolade was the recognition as the “Most Valuable Club 2014” with the total income of
€518.9 million (£444.7M). (http://sporteology.com/top-10-richest-football-clubs-in-the-
world/) and in April 2015 the club was crowned as the richest sport club in the world, for 4
consecutive years,
Celebrating the club’s 100 anniversary, a book was published in 2004, entitled “White
Angel: Beckham, Real Madrid & the New Football”’ written by John Carlin. The title and the
way the writer described the club and the players were not usual. If usually sports which are
played by men are associated with power, stamina, speed and other masculine attributes, Carlin
described the players and the club using a different style; he compared some of the players with
ballerina; the whole players within the club with angels as the suits donned by them is white.
This paper is going to analyze the style used in this book, i.e. the dictions used, both those
words of Carlin and others in portraying the club and some of the players; the “tone” of the
writing, and the use of figurative language of metaphor. In other words, the analysis will be
done using stylistics approach.
2. Methodology
In this paper, the methodology utilized is stylistics approach, where the text is analyzed based
on its linguistics features. Quoting Nørgaard, Montoro and Busse (2010:1-2):
Stylistics is the study of the ways in which meaning is created through language in
literature as well as in other types of text. To this end, stylisticians use linguistic
models, theories and frameworks as their analytical tools in order to describe and
explain how and why a text works as it does, and how we come from the words on
the page to its meaning. The analysis typically focuses qualitatively or
quantitatively on the phonological, lexical, grammatical, semantic, pragmatic or
discoursal features of texts, on the cognitive aspects involved in the processing of
those features by the reader as well as on various combinations of these.
As the most stand out linguistic features in the text are the dictions (lexicology), figurative
language of simile, metaphor, those are the focus of the analysis, besides the tone and discoursal
feature as stated in the quotation above.
3. Discussion and Analysis
The corpus of the analysis is the texts taken from Carlin’s book, entitled “White Angels –
Beckham, Real Madrid & the New Football”, especially from the part where he describes the
club and the players – how they play. As the analysis will focus on the style of writing –
referring to the stylistics approach, hence, the texts selected are only those that utilize a specific
style in the description that is using metaphor that compares football players and game with
high art. The data and analysis are as follows:
377
1. Zidane spinned and glided, with the ball at his feet and you will see what Beckham
meant when he described him as “a ballerina” (P. 6).
Zidane was a player of Real Madrid between the years of 2001 - 2006 and was considered one
of the best at his time. He was known for his precision in passing the ball and agility at the
same time. The way he played was considered by many as something very beautiful, he was
compared to a ballerina. When usually a male athlete would be compared to another male
sportsman with the characteristics featuring masculinity, Zidane was praised for the graceful
and beautiful movements he made. The word “glided” that means to move smoothly,
continuously, and effortlessly shows how gracefully he moved. Rather than only trying to pass
the ball around and creating goals, Zidane makes swift and graceful moves that are beautiful
and a real spectacle to see and enjoy. A spectacle that can elevate the spectators’ feeling. The
word “spin” shows how fast he ran. He does not just move gracefully but with the speed that
is surely an essential element in the game. The two words combined support the image of a
ballerina moving around, in a shape of a man called Zidane, a man playing football.
2. Zidane’s football is art. Art that people will be admiring 500 years from now. And it
has the great merit that it is not art reserved for the initiated, for the art historian, the
classical music buff, the reader of Shakespeare and Cervantes. It is the only truly
globalized art form, accessible to a more ample span of humanity than art has ever
been before; Zidane’s football is art. Art for all, unlike those esoteric forms of arts ( p.
7).
The works of art that belong to the high culture domain have so far only been enjoyed and
consumed by very limited group of society in the world. Famous paintings by Van Gogh,
Renoir, Michelangelo; classical music composed by Mendel, Brahms; Opera by Puccini, Verdi;
literary works by Dante, Cervantes, or -presumably the most recognized poet of all time-
Shakespeare all are displayed (or kept), or performed in very distinct places, entertained quite
limited number of people. Only very few people have the access and the capacity to enjoy
them, and therefore considered to be something elite. However, Zidane could do something
that has equal effects with those works of art; he was considered to be on the same plane with
those great masters of art. The work of Zidane was even more influential because it can last a
long time, a legacy that is very beneficial and significant because he makes football as
something very valuable because it reaches out to many more people; enlighten more
population in the world, thus more significant in terms of enriching people’s life.
3. Zidane’s magnificent brushstrokes have a wonderfully democratic quality to them.
They evoke exactly the same responses – the same admiration, the same delight – in
the subsistence farmer in Rwanda as in the banker in the City of London. And like art,
what they do is embellish the human condition, enrich life. … they offer consolation for
life’s sorrows (p.7).
Carlin uses a metaphor when he compares the movements made by Zidane with the
brushstrokes of a skillful painter. Unlike the paintings kept in museums or art galleries, the
result of the painter in the form of a football player called Zidane is a beautiful work of art that
can be enjoyed by the vast number of population in the world, from those in Rwanda – Africa
(can be considered as an underdeveloped country) to those living in the city of London
378
(considered as one of the most advanced countries). This is something extraordinary, because
usually art such as paintings by well-known painters are only enjoyed by some elite group of
people; this one is easy to digest by common people. Unlike the high culture-produced arts, the
performance of the football club can evoke the same feeling by people around the globe-
regardless where they live, their educational background and skin color. The notion proposed
by Carlin is that this is a performance that can enrich life, offer consolation to people’s sorrow;
something that has been usually associated with work of literature and other high-culture arts.
Football played by Zidane can offer consolation to people in suffering; can enrich people’s life
experience. Two things from two contradictory domains are used, and it was made possible by
the graceful play of Zidane.
4. Joseph Conrad might spin in his grave but his definition of art as something that speaks
to ‘the solidarity … which binds men to each other, which binds together all humanity
– the dead to the living and the living to the unborn’: this definition can apply with as
much validity to football as to music, literature or painting when the game is played
with the flourish and genius displayed by the men in white of Real Madrid (p.7).
In this text, Carlin again compares a game of football to a work of art that was considered as
the peak of human’s civilization; classical music, literature or painting. He even mentions
Joseph Conrad as one of the very influential writers in literature who came up with an adage
of solidarity as something that binds people in humanity regardless of their background. Real
Madrid and its football are something that can be the link for human’s solidarity. People from
different corners of the globe can be united as the fans of the club. With the power they have,
Real Madrid can really serve a bigger purpose in life for humanities.
5. There are other fine teams, other great players around in the early twenty-first century.
It is just that - … - the players at Real Madrid do so more often, more beautifully, on a
more elevated plane. That is why conversations I overheard in Majengo (Nairobi’s
biggest slum, the AIDS-plagued labyrinth place) minibus should have come as no
surprise to me, obvious as it was that people were having the very same discussion in
minibuses the length and breadth of planet earth (pp. 7-8).
In this part, Carlin compares Real Madrid and its players with other great teams in the world,
however, Carlin says that Real Madrid are better, and occupying a better place due to the beauty
in the way they play. Other teams play very well, but lack of beauties offered by Real Madrid.
Other teams play well, but they remain in the domain of popular / mass culture, lacking
sophistication that can enrich and elevate people’s life.
6. The impression was deceptive. They were artists but they were tough guys too. (p. 13).
In this text, Carlin combines the description of Real Madrid players as artists and tough guys.
Whenever usually athletes –especially males- are associated with toughness, stamina, power –
in short masculinities, Carlin inserts the sense of art into the quality of Real Madrid players. It
is an added value to the club and players.
7. (On a match between Manchester United versus Real Madrid): The gap in class was at
times almost embarrassing. It was a pub band against a symphony orchestra. Real
379
played such beautiful music because each had such perfect command of his instrument,
such pure skill. (p.19).
In this text, Carlin explicitly compares the two domains of culture (low versus high), when
comparing two football clubs; Manchester United versus Real Madrid. He considers
Manchester United as the one coming from the domain of the culture of the common people-
a pub band; meanwhile he praises Real Madrid as a club playing football so well they offer a
performance with sophistication – closely associated with high art, such as symphony
orchestra. A pub band plays popular songs that are considered by art critics to be easy listening;
do not need special art talent in composing them. In the meantime, a symphony orchestra
consists of many musicians playing various musical instruments. Each and every section of the
symphony consists of very skillful musicians that obtain their artistry from years of practice
and learning. They need to play in the right rhythm so that they would create a beautiful
harmony. As the result, they contribute to the creation of very well assembled musical
composition, considered to be a bit complicated by many but highly appreciated by the critics.
The collaboration made by Real Madrid players was done in such a way comparable to s
symphony orchestra, it means they play exquisitely.
8. The assailants would be Zidane, Raul and Roberto Carlos, dancing around them in tight
little circles, threading and weaving the ball between and around their legs. (pp. 19 –
20).
Carlin compares the player (Zidane, Raul and Carlos) as dancers; they did not just play with
speed and agility, but in a graceful way. The players are artists that do not just entertain the
player with ordinary football skills but they have the artistry in their way of playing.
9. The British press was in raptures at Real’s performance – “Fantasy football!” said The
Times; ‘They belong in an art gallery’, the Telegraph enthused… (p.24).
Carlin quoted what The British newspapers wrote when they called the way Real Madrid
played as fantasy football – something beyond belief. They played like never been imagined
before, so beautiful that it was like a fantasy. This shows how the press considered the play
was marvelously impressive on that day. The fact that it was stated by foreign press from where
the game was originated says something important about the club’s playing quality. One
newspaper –The Telegraph- specifically refers to an art gallery as the appropriate place for the
show displayed by the club. The two expressions uplift the image of a football club as a
performance on the par with the high culture phenomenon.
After analyzing all of the texts above, it can be seen that the choice of words used in
describing the players and the club, such as “art”, “Fantasy football that belong in an art
gallery”, “a symphony orchestra”, “this definition can apply with as much validity to football
as to music, literature or painting when the game is played with the flourish and genius
displayed by the men in white of Real Madrid“ create the majestic tone that show the grandeur
of the club. The choice of metaphor “The White Angels” used in the title support that image;
the image coming to readers’ mind would be some angels sporting big stretched-out wings
spreading light to the surrounding, bringing good news, soothing people’s heart. The angels
will make you feel blessed and peaceful.
380
Based on the analysis, it could be concluded that from the point of view of discourse
analysis the style utilized in the book was to show the image of royal and grandeur tone as
permeated by the club. The title “White Angels – Beckham, Real Madrid & the New Football”
also implies that this club brings about the new way of playing football, however, the way of
writing and describing a football club and its players was also something new. The discourse
contained in the writing is of promoting the image of the club as a sport club that does not only
offer good quality of play, but more than that the beauty that is usually shown by those in the
art domain, and at the same time a quality not possessed by just any great football club in the
world.
4. Conclusion
Hall (in Storey 97:3) said that culture is a terrain on which takes place a continual struggle over
meaning, in which subordinate groups attempt to resist the imposition of meanings which bear
the interests of dominant groups. The writing of this book as a part of celebrating the 100 th
anniversary of Real Madrid Club de Futbal, was used as one of the media to send a message
regarding the grandeur of the club. The image of the club that was constructed through the
book is as a part of the high culture occupied by “serious art” rather than a mere sport club
well-liked by billions of the world population. Hall further argues that cultural texts and
practices are not inscribed with meaning, guaranteed once and for all by the intentions of
production; meaning is always the result of an act of 'articulation' (an active process of
'production in use'); referring to that, Carlin used the phrases and dictions he chose not without
any intention; he was trying to create an articulation that can further enhance the image and
reputation projected by the club. The popularity of the sport and club was used as a domain to
win a targeted meaning by publishing the book, which says that Real Madrid is an elite club
with added value rather than simply offers sport matches that feature techniques, agility and
stamina. The struggle taking place is the image articulated is that Real Madrid’s players have
extraordinary skills in playing the game; they offer beauty and entertainment that is worth
performed in a theater or opera house, with people with fine taste as the audience. Mass culture
as the home of the most popular sport on earth –i.e. football- was the perfect terrain to shake
the hegemony of the high culture usually dominated by the elite social group of society, as
proposed by Hall (in Storey 97:4); …”culture is one of the principal sites where this division
is established and contested: culture is a terrain on which takes place a continual struggle over
meaning”.
With the strategy of comparing football with the works of art; painting, orchestra,
literature and ballet, Carlin elevated the sport that comes from mass culture or the low culture
onto a higher level of culture; the plane that has been so far dominated by the hegemony of the
elite. Carlin compares Real Madrid (‘s playing quality and players) with White Angels,
symphony orchestra, ballerina, and art belong to an art gallery, yet those art performances are
not only to be enjoyed by limited number of spectators as what has been “normally” applied
before. This implies that the club can offer something that before that has been associated with
a rare opportunity for the common people that is enjoying the enlightenment for the soul,
enriching people’s life as offered by literature and other works of art. Thus, implicitly, the
message conveyed by the writing is that this great club called Real Madrid has changed the
value of football games and contributes to the betterment of the humanity. It is definitely not
381
easy to convince people to accept that message, therefore such image was created and they use
culture as the place to fight and win the intended meaning. By instilling the image over time,
it is very possible to keep the strong image and branding of the club. Once the club has achieved
their objective in this case, then the new model of football has been created; football games
that do not only entertain the mass but more importantly games that provide enlightenment in
the heart and mind of the spectators. Even though it may not easy, but the club can indeed keep
the struggle to shape the image and win eventually.
References
Carlin, John. (2004) White Angels: Beckham, Real Madrid & the New Football. Bloomsbury.
Great Britain.
Carter, Ronald. (2012). Methodologies for Stylistic Analysis: Practices and Pedagogies.
Retrieved from http://teach-grammar.com/wp-content/uploads/2012/07/2010+-
Grammar-and-Stylistics.pdf. on Sept. 8th, 2016.
Giulianotti, Richard and Roland Robertson. (2004). The Globalization of Football: a Study in
the Glocalization of the ‘Serious Life’. UK: The British Journal of Sociology 2004
Volume 55 Issue 4.
Goldblatt, David. (2008). The Ball is Round, A Global History of Soccer. United States of
America: Penguin Group (USA) Inc.
http://www.huffingtonpost.com/2014/05/14/ retrieved in March, 2015.
http://www.realmadrid.com
Nørgaard, Nina., Rocío Montoro and Beatrix Busse. (2010). Key Terms in Stylistics.
Continuum International Publishing Group New York.
Storey, John (Ed.). (1997). What is Cultural Studies? A Reader. Arnold. New York.
Toolan, Michael. (2013). Language in Literature An Introduction to Stylistics. Routledge. NY.
Top 10 Richest Football Clubs in the World 2016. http://sporteology.com/top-10-richest-
football-clubs-in-the-world/. October 19, 2016.
Watson, Greg and Sonia Zyngier (Eds.). (2007). Literature and Stylistics for Language
Learners Theory and Practice. Palgrave Macmillan. NY.
Wood, Michael R. (2010). Football is War: Nationalism, National Identity and Football. A
Dissertation at School of Politics and International Study. Faculty of Education, Social
Sciences and Law, University of Leeds. United Kingdom.
382
383
Semantic Priming in Communicating Word Recognition of a
Brand: Psycholinguistic Analysis
Vera Yulia Harmayanthi Doctoral Program of Linguistics Department
Universitas Indonesia
Abstract
The individuals life in advanced societies attract attention to a brand and its appeal through
advertising and promotion on surrounding their environment as central to the creation. A brand
creates communicating words to promote the branded goods or services and effect on
individuals to extend buying decision. This study was qualitative research. It used
psycholinguistic analysis through semantic priming technique as one of linguistics areas. The
objective of this research was to find out deeply the communicating words recognition of a
brand that represented to the individuals in high social status. The data were collected from an
exclusive brand which advertised in Kompas, daily news paper with three separated times. It
was started of April to August 2016. The results show many practical communicating words
recognitions. They are 1) prime and target words that create words as visual recognition; 2) the
prime words lift some real experiences in the past and present time that come close to the
individual’s life and stimulate person to find out lexical decision as the target word; 3) target
word is implemented to words as a visual brand which has the identical sense to the prime
words. All of its due to build word ‘trust’ of the individuals in the wider meaning about value
as functional products and quality of a brand. The visual was appeared in the special moments
to construct the individuals‘ recall easily and finally, reach for powerful customers of
individuals as a target.
Key words: psycholinguistics, semantic priming, communicating recognition words, brand
1. Introduction
Language is source of inviting creative in many forms. There are words combinations of
language structure that create meaning and sense. Meyer (2009: 3) said, “Like any system,
language has structure, and the succeeding sections provide an overview of this structure . . .
how sounds, words, sentences, and texts are structured”. The various forms of advertising and
promotion use language as the central creation of brands to communicate their goods or
services to individuals. The individuals life in advanced societies especially in the big cities,
attract attention to identified words from brand that being around their environment. A brand
creates communicating words through advertising and promotion which effect on individuals.
They will call attention primary in order to make better decision in buying goods as products
of brand. Advertising is integrated to promotion and play an important role in attracting
individuals to brand. Hackley (2005: 1) given the explanation that, “Communicating brands is
. . . the role of advertising and promotion in the marketing of branded good and services”. There
are some words recognition that bring messages into individuals. It is a way of brand to
communicate effectively and efficiently in attaining customers as brand’s target. The advances
in technology development have the rapid growth of communication which included the using
of brand’s communicating words recognition and appointed to the individuals in particular
social status, such as the individuals in high social status.
384
The Words recognition in the communicating brand could be seen in the print mass media
such as newspaper, as the better one to get the individuals’ attention. A typical newspaper is
regularity in daily publication and readers truly interested in the information they are reading
(Semenik, Allen, O’Guinn and Kaufmann, 2012: 465). Its mean communicating brand using
newspaper will appear the role of advertising and promotion into visual recognition through
written words of individuals’ needs and brand’s products where product give benefit to the
individuals. There is an interaction between them. The main words are occurred and
accomplished visual recognition. They are attached in the appropriate space and time. The
interaction between individuals and brand could be seen when brand displays words
recognition on individuals that followed by meaning and sense between them. There is a
problem when it is not being suitability on understanding of words as lexical meaning and
sense refer to messages. For example, Di Jakarta, pernah terjadi satu peluncuran produk yang
berakhir dengan kegagalan. Produk ini berupa rokok dengan nama Staff. Bagi masyarakat
kota besar seperti Jakarta, nama seperti itu mengandung arti “tidak memiliki status tinggi dan
hanya bawahan” (Kasali, 2007: 169). Based on the case, ‘Staff’ is a new word of brand which
recognized to individuals. ‘Staff’ as lexical has meaning ‘all workers employed in an institution
or company’ and it has a sense ‘low position in an organizational structure’. There is not being
suitability word ‘Staff’ in lexical meaning also sense between brand and individual. The using
of lexical decision attracts to individual in buying decision. It is important to acquire lexical
meaning and sense in selecting to making a decision of words into the right space on messages.
Words recognition in linguistics area is a part of psycholinguistics where comprehension
of meaning and sense as the important thing for individuals and brand to achieve their goals in
harmony. The appropriate lexical decision is needed relating to words in communicating brand.
The using semantic priming in this research, as one of technique in psycholinguistics. Harley
(2014: 17) said, “Priming has been used in almost all areas of psycholinguistics. The general
idea is that if two things are similar to each other and involve in the same level of processing .
. . For example, it is easier to recognize a word (e.g. BREAD) if you have just seen a word that
is related in meaning (e.g. BUTTER). This effect is called semantic priming”. It will provide
researcher to find out lexical decision that relate words as prime and target words in
communicating brand, especially that represented to the individuals in high social status on the
right space and time. All of them are included with knowing of meaning and sense which
covering its massages in their interactions.
1.1 Word Recognition in Communicating Brand
Advertising and promotion are forms of communicating brand and they have the role to
influence individual’s buying decision and brand’s selling target of goods or services.
Communicating brand creates words combination which recognized to individuals. Words
recognition are built in the text, such as applied on newspaper as print mass media. It is
important to know the coordinating of words to develop an effective communicating brand.
Words must able to attract attention from individuals when they read advertising and promotion
in the written text, such as: newspaper. Both of brand and individuals must have the
understanding overall its meaning and sense. The comprehension of words recognition has a
great deal attention in psycholinguistics. There is a process of visual recognition into words
and communicating brand in mass media ‘newspaper’ is a whole set of recognizing written
words. Harley (2014: 152) said, “Recognition involves identifying an item as familiar. Of
course, we are not only interested in discovering how we decide if a printed string of letters is
familiar or not, but also how all the information that relates to a word becomes available. For
example, when you see the string of letters “g h o s t”, you know more that they make up a
word. You know what the word means. Words recognition are more quickly if they have been
385
read and seen before as embodied their experiences. They are as repetition priming in the
similar meaning.
Creating of representation words takes signs of meaning and sense as the way of brand
introduce products to individuals. Words frequency influence to words recognition. It is a
phenomena to develop a variety of words recognition. There are the perceptual information to
trigger the lexical access in individuals when its store the representation of all the words which
known by them. The perceptual input of experiences is used to build a representation of words.
An recognition of words in written text where each word is treated by communicating brand
deeply ‘both of advertising and promotion’. Kasali (2007: 10) said, “Iklan adalah bagian dari
promosi”. They contain lexical entries for each words that followed by meaning and sense
being similar words arrangements. All of them will support semantic priming ordering of words
within words frequency. Words recognition access the sensory information to the lexical units.
Words input visual recognition of prior experiences to be recognized quickly and rapidly.
1.2 Psycholinguistics and Semantic Priming in Communicating Brand
Priming occurs between words which have a direct semantic relationship, such as: house and
furniture. It is identified in words recognition. Words are common in language. Linguistics
examines language itself (Harley, 2014: 2). Communicating brand available provides
information to communicate something new about a product. Brand’s product or services using
words that effect the processing of information and individuals memory. The messages appear
the effectiveness of communicating brand that focus on individuals perspectives. There are
relations between words as stimulation come to hold the responses. It makes clear messages
come to beliefs and interests.
Choosing words which covering messages will be highlighted brand’s product to
individuals’ needs. The comprehension words of messages structure refer to products’ values
and individuals’ needs. The primary words influence to target words and both of them
associated in communicating brand using semantic priming technique. It’s part of a technique
in psycholinguistics where psycholinguistics examines the psychology of language;
psycholinguistics study understanding, producing, and remembering language and hence are
concerned with listening, reading, speaking, writing, and memory for language (Harley, 2014:
2-3). Thinking to comprehend the messages containing words included the meaning and sense.
Lexical decision needs stimulus as response. Semantic priming activates words to be
recognized by individuals and have relation to brand. Brand applies words in communicating
brand which followed the purpose of advertising and promotion. They are explained by Kasali
(2007: 10) that, “Sasaran iklan adalah mengubah jalan pikiran konsumen untuk membeli.
Sasaran promosi adalah merangsang pembelian di tempat”. The prime and target words have
to hold the correlation of meaning and sense. All of them keeps up the objectives into
individuals and brand using communicating brand.
1.3 Lexical Decision on Individuals and Brand
Words contribute to the meaning and sense and its occur in a context as a larger connections
into sentences. Both of meaning and sense use lexical decision as visual recognition. It is
possible input to activate sentences in the context, such as: communicating brand. Lexical
decision could be recognized to individual and brand in communicating brand as advertising
that integrated into promotion. Lexical decision is variables of meaning and sense which
associated with lexical representation. It is due to words recognition easily. Traxler and
Gernsbacher (2014: 319) said, “There have been a number of reports in the literature that
indicate that semantic variables associated with lexical representation can modulate the ease of
word recognition”. Lexical decision activates the interpretation of words. Meaning and sense
386
of lexical decision indicate into individuals and brand to build an interaction into
communicating brand.
Lexical access to sentences and it is a central of words recognition. Lexical decision on
individuals and brand could be seen in the prime and target words as a pattern that using
semantic priming technique. Words recognition as written words in text defines the pattern
well. Kinds of lexical decision are the different characteristic on individuals and brand. Lexical
in pattern of words recognition is supported by stimulus. There are some stimulus as signs of
visual recognition which related to individuals and brand that placed as linking between prime
and target word in the pattern of words recognition. They are distinctions of comprehension on
individuals.
2. Method
This study was qualitative research. Creswell (2009: 4) given an explanation that, “Qualitative
research is a means for exploring and understanding the meaning individuals or group ascribe
to a social or human problem . . . data typically collected in the participants’ setting . . . and
researcher making interpretations of the meaning of data”. The research used psycholinguistic
analysis through semantic priming technique as one of linguistics areas. Using semantic
priming refers to words recognition and its meaning also sense. McDonough and Pavel (2009:
1-2) expressed, “ . . . the initial language form or aspects of its meaning, referred to as the
prime, facilitate the recognition or production of a subsequent form or aspects of its meaning,
which is referred to as the response or target”.
The objective of this research was to find out deeply the communicating words
recognition of a brand that represented to the individuals in high social status. There applied
some steps of the data analysis, they were: Firstly, collecting data from an exclusive brand
which advertised in Kompas, daily newspaper with three separated time as samples. It was
started of April to August 2016. Secondly, analyzing them used semantic priming technique to
find out the pattern of words recognition looking the target string that mediate to the priming.
Thirdly, knowing the lexical decision in prime words which interact to target words looking
at their meaning and sense related to individuals and brand. Forthly, mediating priming that
occur in lexical decision that effect to target where prime and target words will successful share
outcomes for mediated prime-target pairs. Fifthly, checking negative outcome which
containing possibly in the prime and target words where indicate effectiveness of interaction
between individuals and brand. Finally, represent findings in visual display and checking the
accuracy of the research (Cresswell, 2012: 262), such as: comparison table.
3. Findings and Discussions
Here are some samples of communicating brand from an exclusive brand (Table 1.) which
advertised in Kompas, daily newspaper with three separated time. It was started of April to
August 2016 and analyzed using semantic priming technique:
387
Table 1. Patterns of Words Recognition in Communicating Brand
COMMUNICATING BRAND
Data 1.
Eksplorasi Klasik
TEMA-TEMA klasik seakan tiada habisnya dieksplorasi. Kabarnya, tema klasik senantiasa menguarkan aroma
kekuatan, elegansi, dan pengerjaan detail yang serius. Itulah sebabnya, jika bicara tentang arloji, para kolektor
biasanya menaruh minat besar pada desain-desain klasik.
Bonia tak ketinggalan mengedepankan kembali gaya-gaya klasik pada arlojinya. Salah satunya melalui seri
BN10186-1615. Arloji yang ditujukan untuk pria ini langsung terlihat elegan melalui paduan warna perak dan
keemasan. Ditambah penggunaan materi baja antikarat.
Bagian case, misalnya, memakai baja antikarat 316L dengan balutan warna IP rose gold. Warna yang sama
juga memoles bagian indeks penunjuk waktu yang disematkan pada dial berwarna perak. Kecuali 12, beberapa
angka penunjuk waktu lainnya diganti dengan indeks atau butiran berlian. Pada posisi pukul 3 terdapat jendela penanggalan.
Untuk memberi kekuatan lebih pada arloji berdiameter 38 milimeter ini, dipasangkan gelang berbahan baja
solid dengan kombinasi warna perak dan IP rose gold di bagian tengahnya dan gesper berkonsep kupu-kupu. Selain
itu digunakan kaca kristal antipantul. Arloji yang tahan tekanan air hingga 5 atmosfer ini juga dibekali garansi internasional selama 2 tahun.
Data 2.
Vibrasi Minimalis
MELAKONI rutinitas yang sama setiap hari dapat berujung pada penampilan yang monoton dan performa kerja yang menurun. Jika rutinitas tak dapat diubah, cobalah mewarnai keseharian dengan memberikan aksentuasi
penampilan yang segar.
Hal itu dapat diwakili dengan mengenakan jam tangan berdesain minimalis untuk bermacam aksi gaya, seperti
seri terbaru Bonia, BN10251-1362. Permainan warna hitam pada dial, perak pada brackelet, bezel dan top ring menegaskan aksentuasi ini.
Didedikasikan untuk pria urban, jam tangan ini dilengkapi fitur modern dan material tangguh. Fitur mesin
jam otomatis dan jendela penanggalan di angka 3 pada dial menjadi contoh elemen yang mendukung keakuratan
waktu. Sedangkan fitur double pusher folded buckle dan cap folder pada pada bracelet siap membantu memperpanjang usia pemakaian.
Memahami arti dari ketangguhan, Bonia memasukkan material kokoh ke dalam jam tangan ini yang
mencakup kaca Kristal antipantul, baja antikarat 316L pada case berdiameter 38 milimeter, dan baja antikarat dalam
polesan warna perak. Fitur kedap air hingga 10 atmosfer dan garansi internasional 2 tahun juga turut disertakan untuk menyokong ketahanan jam tangan minimalis ini.
Data 3.
Apresiasi Indonesia SEBAGAI negara berdaulat, kemerdekaan Indonesia menjadi simbol perjuangan bangsa yang dirayakan setiap
tahun. Kini, pada perayaan ke-71. Anda dapat menikmati spirit nasionalisme dan semangat kemerdekaan lewat padu
padan penuh gaya dari jam tangan Bonia BN10253-1332.
Dipersembahkan khusus untuk Anda yang merayakan kemerdekaan Indonesia, jam tangan ini memiliki desain
spesial yang unik. Diciptakan untuk pria urban yang memiliki rutinitas padat, arloji ini memiliki dial dengan
aksentuasi bendera Indonesia, merah dan putih. Aksentuasi itu sekaligus menjadi pelengkap indikator menit.
Terdapat pula pengaturan waktu GMT yang memudahkan mobilisasi Anda.
388
Kolaborasi warna maskulin hitam dan perak juga menjadi daya tarik tersendiri. Polesan hitam pada dial mengesankan karakter maskulin dan mempermudah Anda membaca waktu. Dial semakin terlihat distingtif karena
dilengkapi dengan motif peta dunia.
Di dalam dial, Anda akan mendapati indeks berwarna perak dan jendela penanggalan pada posisi pukul 6. Inti jam dibingkai bezel dan case berdiameter 46 milimeter dari baja antikarat 316L. Material baja antikarat juga memperkuat
bracelet dilengkapi fitur double pushers folded buckle. Kemudian, untuk memperpanjang usia pemakaian, Bonia
memilih kaca Kristal antipantul, fitur kedap air hingga 10 atmosfer, dan garansi internasional 2 tahun.
Caption: Prime words Lexical decision Response
Target words Stimulus
The results show many practical communicating words recognitions. They are:
1) Prime and target words as visual recognition into individuals and brand
Data (1) recognizes ‘Eksplorasi Klasik’ and use ‘tema klasik’ lexical decision which has
the correlation meaning and sense with prime and target words. ‘aroma kekuatan, elegansi,
pengerjaan detail, minat kolektor, desain klasik’ are prime words. Prime words have the
correlation meaning and sense to lexical decision. Such as: ‘tema’ is a subject of a talk that
relate to ‘klasik’ things. It is a high quality in long period of time. The things in high quality
are identified by ‘elegansi’. Its meaning is the quality of graceful and stylish with detailed
work. All of them have sense which give the strong feeling and effect to individuals so many
people want to have a thing in a classic theme. The visual recognition into individuals comes
from classic theme. Finally, individuals will response to the product of brand ‘jam tangan’.
Brand transferred ‘tema klasik’ as classic style into ‘jam tangan’. ‘Pria’ as the target words
who is suitable using that sytle that followed by benefits as stimulus ‘elegan’ with ‘warna
perak keemasan’. It comes out the visual recognition into brand.
Data (2) recognizes ‘Vibrasi Minimalis’ and use ‘rutinitas’ lexical decision. The both of
‘vibrasi’ and ‘minimalis’ has the meaning as a movement which became significant. The
lexical decision ‘rutinitas’ as the negative outcome of visual recognition into individuals.
‘Mewarnai keseharian, aksentuasi segar’ as the prime words to indicate the movement in
‘rutinitas’. Individuals response the situation through the various styles. Target words ‘pria
urban’ which show up stimulus ‘fitur modern’ and ’material tangguh’ which having the
power of movement as sense.
Data (3) recognizes ‘Apresiasi Indonesia’ and use ‘kemerdekaan Indonesia’ lexical
decision which relate to ‘simbol perjuangan bangsa’ as prime words. Individuals respon
‘spirit nasionalisme’ and ‘semangat kemerdekaan’. There are some implementasion lexical
decision which have meaning and sense into target words ‘pria urban’. Some stimulus
‘aksentuasi bendera Indonesia merah putih, mobilisasi, warna maskulin, karakter maskulin,
motif peta dunia’ are used to ‘pria urban’. It creates visual recognition of brand into
individuals.
2) Stimulus to individuals and response to brand
Stimulus in data (1) to (3) are addressed for individuals from brand. An other hand, response
comes from individuals when they have interest and beliefs to brand’s product. Lexical
decision is attended in the priming which convey meaning and sense into prime and target
words linking to brand and individuals. It is indicate the interaction between brand and
individual in harmony. Lexical decision is the central of words recognition.
Data (1) to (3) show the differences amount of activated stimulus and response, as the
following graphics,
389
Graphic 1. Respon and Stimulus in Words Recognition
3) Comprehension of words recognition on individuls Lexical decision as a centre to create meaning and sense into brand’s product and individual.
Both of them are necessary to comprehend words recognition in harmony. The suitable
words decision as lexical decision effect to the suitable meaning and sense in prime and target
words as form of communicating brand. Chumbley and Balota (1984: 590-606) expressed an
idea that, “word’s meaning affects the decision in lexical decision . . . a decision stage following
lexical access”. This research identified the suitable words as lexical decision linking its
meaning and sense into prime and target words. All of them to build word ‘trust’ of the
individuals based on their needs and interests in the wider meaning about value as functional
products and quality of a brand. The visual was appeared in the special moments to construct
the individuals‘ recall easily and finally, reach for powerful customers of individuals as a target.
The suitable meaning and sense when words compared into the comprehension on
individuals. McDonough and Pavel (2009: 3) explained an example where, “Semantic priming
refers to the tendency for people to process a word more quickly and more accurately when
they have been previously exposed to a word that is related meaning. For example, language
users will correctly identify the string cat (the target) as a word more quickly if they recently
read the word dog (the prime) . . .”. Some words are visual recognition to individuals and brand.
It has previously exposed to a word, such as: ‘rutinitas’, ‘kemerdekaan Indonesia’ and etc.
Those are appeared the meaning and sense representations from comprehension of individuals.
Based on graphic 1., there are the differences amount of stimulus and response. Data (3) has
the highest stimulus. It is more 50 percents than response. The situation means that brand must
more active to reach response from individuals as the goal through communicating brand.
4. Conclusion
Semantic priming as a technique in psycholinguistics that see the pattern of words recognition
in communicating brand. The technique separated words recognition into prime and target
words. Lexical decision is the most important thing in semantic priming. It is a centre which
addressed meaning and sense into prime and target words. Both of them create words as visual
recognition and some of them were carried as stimulus and response. The prime words also lift
some real experiences through lexical decision in the past and present time, such as
0
1
2
3
4
5
6
Data 1 Data 2 Data 3
Respon in Prime Words
Stimulus in Target Words
390
‘kemerdekaan Indonesia’, ‘rutinitas’ and ‘tema klasik’ that come close to the individual’s life
and stimulate person to find out the target word in brand’s product
Target word is implemented to words as a visual brand which has the identical sense to
the prime words. There are the interaction between individuals and brand through prime and
target words. All of its due to build word ‘trust’ of the individuals in the wider meaning about
value as functional products and quality of a brand with looking first into individuals’ needs
and interests. The visual was appeared in the special moments such as: ‘kemerdekaan
Indonesia’ as ‘simbol perjuangan bangsa’ and etc. It is aimed to construct the individuals‘
recall easily. The finally, it reaches the powerful customers of individuals as a target to buying
decision.
References
Chumbley, I James and Balota, A. David. (1984). Memory and Cognition. Massachussets,
United States: SpringerLink, Volume 12, Issue 6, pp. 590-606.
Creswell, W. John. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods
Approaches. United Kingdom: Sage Publications Inc.
________________. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating
Quantitative and Qualitative Research. Boston, USA: Pearso.
Fennis, M. Bob and Wolfgang, Stroebe. (2010). The Psychology of Advertising. New York:
Psychology Press.
Gerrig, R. (1986). Processes and Product of Lexical Acess. Language and Cognitive Processes,
1, 187-196.
Hackley, Chris. (2005). Advertising & Promotion: Communicating Brands. London: Sage
Publications.
Harley, A. Trevor. (2014). The Psychology of Language. From Data to Theory. Fourth Edition.
New York: Psychology Press.
Kasali, Rhenald. (2007). Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
McDonough, Kim & Trofimovich, Pavel. (2009). Using Priming Methods in Second Language
Research. New York: Routledge.
Meyer, F. Charles. (2009). Introducing English Linguistics. New York: Cambridge University
Press.
Semenik, Allen, O’Guinn and Kauffmann. (2012). Advertising and Promotions: An Integreted
Brand approach. United States: Cengage Learning.
Traxler, J. Matthew & Morton, A. Gernsbacher. (2006). Handbook of Psycholinguistics. United
Kingdom: Elsevier Inc.
391
Discourse Analysis Mc-Donald "Venez comme Vous Êtes"
in Critical Pragmatic Perspective
Wahyudi Joko Santoso
Universitas Negeri Semarang
Abstract
Advertising is non-personal communication paid for by the sponsor who use the mass media to persuade
and influence audiences. From that definition, there were several questions that can be examined
critically, for example, why is it called communication non-personal, what benefits are gained sponsor
even though he had to pay tens or even hundreds of millions, why use the mass media, who were
persuaded and influenced and how to persuade and affect them. From those questions, this paper will
try to answer them comprehensively. For answering them, transdisciplinary approach is required, e.g.
semiotic, pragmatic, sociolinguistic, socio-economic, critical analysis, and so on. On this occasion, the
chosen approach is a pragmatic approach critical discourse analysis. It means I integrate two
approaches: pragmatic and critical discourse analysis. The advertising that will be analyzed is a
discourse Mc-Donald (Mc-Do) having French-language text “Venez comme vous êtes.“ ‘Come to us
like you are in your own home'.
Keywords: advertising Mc-Donald, French-language text, critical pragmatics perspective
1. Pendahuluan
Paradigma kajian bahasa pada awalnya, lebih ditekankan pada kajian yang bersifat historis
dengan tokohnya James Burnett (1786), kemudian lahir kajian bahasa struktural dengan tokoh
sentalnya Ferdinand de Saussure (1857-1813). Di Amerika, lahirlah kajian bahasa yang bersifat
deskriptif yang dipelopori oleh Franz Boas (1888) dan dilanjutkan oleh Leonard Bloomfield
(1914). Masih di Amerika, perkembangan selanjutnya adalah pendekatan transformasional
oleh Noam Chomsky (1956). Pada tahun 1960-1970, paradigma kajian bahasa mulai untuk
memasukkan aspek-aspek eksternal bahasa (konteks), sehingga lahirlah kajian bahasa yang
bersikat transdisipliner (lintas disiplin), seperti sosiolingusitik, psikolinguistik, pragmatik,
antropolinguistik, ekolinguistik, semiotik, dan sebagainya.
Berbagai kajian yang terakhir tersebut, pada awalnya, masih bersifat nonkritis, artinya
belum mempertimbangkan faktor-faktor praktik wacana, seperti politik, kekuasaan, dan
ideologi. Namun, perkembangan kajian bahasa (wacana) terus berkembang, maka lahirlah
kajian bahasa secara kritis. Analisis wacana kritis (AWK) muncul dari 'linguistik kritis' yang
dikembangkan di University of East Anglia di tahun 1970-an. Sosiolinguistik belum
memfokuskan perhatiannya dalam kajian wacana dengan mengaitkan hirarki sosial dan
kekuasaan. Pertama kali, analisis wacana kritis dikembangkan oleh ahli bahasa yang bernama
Norman Fairclough di sekolah Lancaster. Ruth Wodak juga telah membuat kontribusi besar
392
untuk bidang kajian wacana secara kritis ini
(https://en.wikipedia.org/wiki/Critical_discourse_analysis).
Penggunaan paradigma analisis wacana kritis (AWK) dalam kajian bahasa masih
tergolong langka di Indonesia. Sejauh ini, AWK banyak digunakan dalam kajian komunikasi.
Padahal, bahan baku AWK adalah bahasa, yakni berupa wacana Bahasa terbesar di atas
kalimat. Tentu saja pemilihan paradigm AWK dalam kajian bahasa harus disesuaikan pula
dengan karakteristik dan permasalahan objek kajiannya. Paradigma AWK memiliki beberapa
model. Salah satunya adalah model Norman Fairclough. Model yang dikemukakannya sering
disebut dengan model “perubahan social” (social change) karena pakar ini berusaha
mengintegrasikan aspek linguistik dan pemikiran sosial politik, menuju perubahan sosial,
dengan tetap mengedepankan wacana sebagai satuan bahasa dalam pusat kajiannya. AWK
model Fairclough ini merupakan derivasi dari payung besar penelitian keilmuan yang
dinamakan paradigma kritis. Sebagai strategi penelitian, AWK model Fairclough ini
menganalisis dimensi teks, praktik kewacanaan, serta praktik sosio-kultural.
Dalam paper ini, kajian yang dipilih adalah pragmatis kritis, yakni mengkaji wacana
iklan Mc-Donald (Mc-Do) dengan teks berbahasa Prancis Venez comme vous êtes ‘Datanglah
ke tempat kami seperti Anda di rumah Anda sendiri’. Dengan demikian, pisau yang digunakan
untuk menganalisis wacana tersebut adalah pisau analisis pragmatik (Leech, 1983) dan kritis
(Fairclough, 1997) di atas, sehingga menjadi pendekatan “pragmatis kritis.” Perpaduan kedua
pendekatan ini diharapkan dapat memperoleh penjelasan yang lebih komprehensif (bandingkan
Subagyo, 2010:178). Lebih spesifik lagi, paparan ini akan membahas aspek verbal (Venez
comme vous êtes) dan aspek-aspek nonverbal yang menjadi konteks aspek verbal tersebut
dalam perspektif pragmatik kritis.
Menurut William J. Stanton, “Advertising consists of all the activities involves in
presenting to a group, a non-personal, oral or visual, openly sponsored message regarding
disseminated through one or more media and is paid for by an identified sponsor.” “Iklan
terdiri dari semua kegiatan yang melibatkan presentasi sekelompok orang, non-personal, lisan
atau visual yang secara terbuka menyesponsori perihal pesan yang disebarkan melalui satu atau
lebih media dan dibayar oleh sponsor yang terindintifikasi.”
Selanjutnya, pakar ini menambahkan “the above definitions clearly reveal the nature of
advertisement. This is a powerful element of the promotion mix. Essentially advertising means
spreading of information about the characteristics of the product to the prospective customers
with a view to sell the product or increase the sale volume. (lihat
http://www.publishyourarticles.net/knowledge-hub/business-studies/advertising g/1028/).
“Definisi di atas jelas mengungkapkan sifat (asli) iklan. Ini adalah elemen campuran promosi
yang dasyat. Pada dasarnya, iklan sebagai alat untuk menyebarkan informasi tentang
karakteristik produk kepada calon pelanggan dengan maksud untuk menjual produk atau
meningkatkan volume penjualan”.
2. Metode
Mengingat kajian ini bersifat pragmatik kritis, maka metode analisis yang digunakan tentu saja
menyesesuaikan dengan sifat kajiannya. Data yang dianalisis diambil dari internet
(https://www.ionisbrandculture.com/mcdo-venez-comme-vous-etes--11) dengan metode
simak, yakni menyimak wacana iklan Mc-Donald (Mc-Do/McD) dengan teknik lanjutan yang
393
disebut dengan teknik pengopian (sebagai ganti teknik catat). Adapun metode analisis yang
digunakan adalah metode padan atau pemadanan yang berifat pragmatis, yakni menemukan
pemadanan antara unsur yang diteliti (McD) dan unsur di luar wacana dengan teknik banding
menyamakan (Sudaryanto, 1993).
Model AIDA sebagai dicetuskan oleh E. St. Elmo Lewis pada tahun 1898 (lihat pada
http://file.scirp.org/pdf/IB_2013110809313214.pdf) juga digunakan untuk memperkuat
metode analisis wacana bisnis ini. AIDA merupakan kepanjangan dari A - Attention
(Awareness): attract the attention of the customer, I - Interest: raise customer interest by
focusing on and demonstrating advantages and benefits (instead of focusing on features, as in
traditional advertising), D - Desire: convince customers that they want and desire the product
or service and that it will satisfy their needs, and A - Action: lead customers towards taking
action and/or purchasing.
Berkenaan dengan kajian yang bersifat kritis, maka metode padan tersebut digabungkan
pula dengan metode kritis. Fairclough (1997), membedakan metode ini menjadi 3, yakni
deskriptif (textual description), interpretatif (discourse practice), dan eksplanatif (socio
cultural practice). Menurut van Dijk (1985), variasi metode deskriptif dalam analisis wacana
bersifat impresif. Apakah diinspirasi oleh instuisi analis atau oleh beberapa pertimbangan
teoretis tentang sifat wacana; banyak disiplin dalam bidang ilmu humaniora dan sosial telah
mengembangkan pendekatan miliknya masing-masing. Intinya, metode analisis aspek-aspek
verbal wacana (kata, frasa, klausa, kalimat) dalam analisis wacana kritis berbeda dengan
metode analisis deskriptif secara struktural, tatabahasa generatif atau fungsional.
3. Diskusi dan Pembahasan
Sebelum paparan diskusi dan pembahasan, tulisan ini membicarakan terlebih dahulu perihal
konsep pragmatik dan analisis wacana kritis (AWK), tujuan dan konteks dalam pragmatik dan
AWK. Yule (1996: 3) membedakan 4 definisi pragmatik, yakni (1) bidang yang mengkaji
makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang
melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau
terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut
jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Keempat
konsep itu memiliki penekanan yang sama, yakni kajian makna secara eksternal, artinya
pragmatik mengkaji makna penutur (speaker sense) bukan lagi makna leksikal, makna
gramatikal, atau pun makna yang lainnya. Dengan demikian, tujuan kajian bahasa secara
pragmatik adalah memahami apa yang dimaksudkan penutur secara personal melalui ujaran-
ujaran yang terikat konteks tertentu (depend on context).
Fowler et al (1979), Fairclough (2001), van Dijk (1988), van Leeuwen (2008) dan
Wodak (2001) mendefinisikan wacana secara kritis dengan menempatan wacana sebagai
konstruksi yang tidak bebas nilai sehingga wacana bersifat tidak netral. Wacana merupakan
wujud dari tindakan sosial yang diproduksi dengan tujuan/tindakan yang akan dicapai. Sesuai
dengan masalah yang akan dikaji, maka penelitian ini berpedoman pada definisi wacana yang
tidak bebas nilai dan tidak netral tersebut. Dengan demikian, wacana hadir dengan tujuan
tertentu yang ingin disampaikan pada khalayak. (lihat
selengkapnya:http://www.kompasiana.com/pandanesia/sekilas-tentang-analisis-wacana-
kritis).
394
Fairclough dalam bukunya “Critical Discourse Analysis” (1997:23) dan juga dalam
bukunya “Language and Power” (1992: 109-140) menyatakan bahwa AWK mengintegrasikan
analisisnya ke dalam tiga analisis, yakni (i) analisis teks, (ii) analisis proses produksi, distribusi,
dan konsumsi teks, dan (iii) analisis sosio-kultural praktik diskursif, seperti interview, paparan
ilmiah, percakapan, dsb. Dengan demikian, ada perbedaan jangkauan konteks dalam pragmatik
dan AWK. Konteks dalam pragmatik memiliki jangkauan yang lebih sempit, yakni latar
belakang pengetahuan umum (background knowledge) dan pikiran sehat dan praktis (common
sense) yang dimiliki bersama antara penutur dan mitra tutur yang dipakai untuk memahami
tuturan para peserta tutur dalam hubungan interpersonal. Sebaliknya, konteks dalam AWK
memiliki jangkauan yang lebih luas karena melibatkan dua level konteks, yakni konteks praktik
wacana tempat wacana itu diproduksi dan didistribuksikan (baca: media massa) yang mana
ideologi dan kekuasaan ikut menentukan proses pembentukan wacana yang diproduksi oleh
media massa tersebut dan konteks praktik sosio-kultural yang lebih luas, konteks yang
melingkupi media massa. Bahkan, salah satu karakteristik AWK adalah historis, artinya aspek
(konteks) historis ini menjadi ciri pembeda juga dengan konteks dalam pragmatik. Dengan
demikian, tujuan AWK adalah membongkar tujuan yang berdimensi sosio kultural-politis-
ideologis penutur melalui praktik wacana dan praktik sosio-kultural yang ditentukan oleh
ketiga konteks tersebut.
AWK juga memasukkan intertekstualitas (intertextuality) (Kristeva, 1980) yang antara
lain mengemukakan pandangan bahwa wacana tidak pernah ahistoris, dan memiliki kaitan
dengan teks-teks sebelumnya. Dengan demikian, wacana selalu bersifat dialogis. Kaitan
antara wacana iklan McD yang dibahas ini lahir dan berdialog dengan berbagai wacana
iklan McD yang sudah lahir sebelumnya. Adapun kekuasaan dan ideologi merupakan
konteks penting karena kekuasaan akan menjadi kontrol atas produksi wacana, dan ideologi
menjadi penentu proses reproduksi wacana tersebut (lihat Subagyo, 2010:178).
Selanjutnya, Subagyo menambahkan bahwa meskipun ada perbedaan dengan AWK
dalam hal jangkauan konteks, beberapa ahli pragmatik telah meluaskan perspektif dan ranah
kajiannya. Cummings (1999) dalam buku Pragmatics: A Multidisciplinary Perspective
mencatat sekaligus menawarkan konsep pragmatik multidisipliner yang memungkinkan
pragmatik mencapai “titik-titik pertemuan” dengan disiplin-disiplin lain, seperti filsafat,
psikologi, inteligensi artifisial, dan patologi bahasa. Di samping itu, Cummings juga
mengajukan beberapa topik dan disiplin baru yang dapat digarap pragmatik dalam lingkup
multidisipliner tersebut.
Untuk mengawali telaah wacana iklan Mc-Donald (McD) yang dimaksud, perhatikanlah
wacana iklan di bawah ini.
395
Analisis ini dikelompokkan dalam empat hal, yakni analisis secara deskriptif, penerapan
model AIDA, analisis pragmatis, dan analisis kritis. Secara deskriptif, analisis ini dipilah
menjadi tiga bagian. Pertama, wacana tersebut memiliki dua aspek, yakni aspek verbal venez
comme vous êtes adalah bentuk ringkas dari venez comme vous êtes parce que finalement, chez
nous vous êtes chez vous ‘datanglah ke tempat kami karena pada akahirnya di tempat kami,
Anda seperti di rumah Anda sendiri’ ‘dan logo M, serta aspek nonverbal. Pertama, dilihat dari
modusnya, kalimat venez comme vous êtes merupakan kalimat imperatif dengan subjek orang
kedua jamak vous ‘anda sekalian’. Kalimat tersebut terdiri dari dua klausa, yakni klausa venez
(chez nous) dan klausa vous êtes (chez vous). Dua klausa tersebut dihubungkan dengan
konjungsi comme ‘seperti’. Dengan demikian, tuturan tersebut mengunakan majas
perbandingan ekuatif yang disebut dengan simile, yaitu majas perbandingan dengan kata
pembanding comme ‘seperti.’ Di samping itu, tuturan tersebut juga menggunakan aliterasi,
yakni pengulangan bunyi konsonan v- dalam venez dan vous. Bahkan bila bentuk lengkapnya
diperlihatkan, maka ada pengulangan kata, yakni chez pada chez nous dan chez vous, juga
menggunakan asonansi, yakni pengulangan bunyi vokal [u] pada nous dan vous (lihat
http://www.etudes-litteraires.com/bac-francais/figures-de-style.php). Penggunaan multimajas
tersebut, menurut hemat penulis, tuturan tersebut terasa sangat puitis sehingga tuturan itu hidup
dan bermakna dan akibatnya (sangat) berdaya perlokusif.
Kedua, logo dua busur kembar membentuk huruf M yang merupakan initial dari McD.
Logotype, sering hanya disebut logo adalah representasi grafis untuk mengidentifikasi cara
yang unik dan langsung segala jenis struktur (badan/lembaga, perusahaan, organisasi
masyarakat, situs, merek, peristiwa, ...). Kata logotype adalah kombinasi dari dua kata asal
Yunani, yakni logos ‘parole ‘ atau ‘discours’ dan typos ‘figure‘. Logo memiliki 3 fungsi, yakni
fungsi representatif (mewakili) dan ekspresif (penggunaan kode dan warna tertentu), fungsi
referensial dan informatif (informasi dari badan/perusahaan yang bersangkutan), dan fungsi
emfatik (memainkan singularitas untuk membedakan kelompok dan mendorong kepatuhan
396
terhadap nilai-nilai yang dirujuk) (lihat : http://www.forma-tice.net/les-logotypes-definition-
focntions-qualites/).
Terakhir atau ketiga, aspek nonverbal ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. Ada
perempuan muda cantik dan sensual dengan tubuh dan berpakaian seksi, bersepatu model boots
shoes, turun dari tangga tali untuk membeli hamburger/ayam goreng/kentang goreng, dan
sebagainya ala McD yang dibungkus dengan tas kertas berlogo McD. Perempuan tersebut
mengulurkan tangannya untuk menerima pesananannya dari sejumlah anak muda (karyawan
McD) berbaju merah dan bertopi yang salah salah satunya menyerahkan bungkusan tersebut.
Mereka digambarkan sangat antusias, ramah, baik hati, perhatian/mendengarkan konsumen,
dan sebagainya. Mereka melongok dari jendela restaurant McD dengan ekspresi penuh
kekaguman, kehangatan, dan keceriaan karena melihat perempuan dengan segala ciri fisik yang
luar biasa dan dengan atribut yang dikenakan turun dari tangga tersebut. Di belakang ada awan
di sore hari dengan warna sebagian kuning keemasan, sebagian abu-abu, dan sebagian hitam.
Jadi, aspek nonverbal iklan McD ini dilukiskan secara naratif: imaginer dan fantastis.
Selanjutnya, dengan mengikuti model AIDA tersebut, maka masyarakat (khususnya
yang berbahasa Prancis), iklan tersebut diciptakan untuk menarik perhatian attention
(awareness) dari masyarakat khususnya anak-anak muda berbahasa Prancis. Selanjutnya,
setelah mereka memperhatikan dan menyadari kehadiran iklan tersebut, maka akan muncul
interest perihal sensasi kenikmatan makan hamburger/ayam goreng/kentang goreng, dan
sebagainya ala McD yang enak dan crispy, misal bersama teman-teman atau keluarga. Setelah
muncul ketertarikan, maka akan diikuti dengan desire, yaitu keinginan untuk menikmati
lezatnya dan renyahnya hamburger/ayam goreng/kentang goreng, dan sebagainya. Setelah
konsumen menginginkan hamburger/ ayam goreng/kentang goreng, dan sebagainya ala McD
tersebut, maka akan diikuti dengan action atau tindakan pembelian atau pemesanan baru dana
atau ulang.
Adapun secara pragmatis, tuturan venez comme vous êtes adalah bentuk ringkas dari
venez comme vous êtes parce que finalement, chez nous vous êtes chez vous ‘datanglah ke
tempat kami seperti di rumah Anda sendiri’ termasuk tuturan ilokusif direktif (lihat Searle,
1983), yakni tuturan yang dimasudkan untuk menyuruh mitra tutur (konsumen) agar mau
membeli/menikmati hamburger/ayam goreng/kentang goreng, dan sebagainya ala McD
tersebut dengan suasana seperti di rumah sendiri: santai, bebas, nyaman, dan (sangat) privasi.
Dengan demikian, tuturan itu memiliki kesepadan dengan sesuatu yang berada di luar tuturan,
yakni tindakan pembelian oleh masyarakat internasional, khususnya anak-anak muda (mitra
tutur yang disasar oleh wacana yang bersangkutan). Tuturan ini disampaikan secara langsung
dan literal. Dikatakan langsung karena maksud memerintah disampaikan dengan modus
kalimat perintah dan dikatakan literal karena kata-kata yang menyusun tuturan tersebut sesuai
dengan maksud pengutaraannya (lihat Searle dalam Parker, 1986).
Dalam pandangan pragmatis di atas, tuturan venez comme vous êtes yang memiliki dua
klausa venez dan vous êtes yang dihubungkan dengan konjungsi comme mengandung maksud
perintah dari penutur kepada mitra tutur. Namun, dalam pandangan pragmatik kritis, tuturan
tersebut tidak hanya menyatakan perintah semata tetapi perintah dari hasil pola hubungan yang
tidak setara (unequal relation) antara dua pihak, yakni konsumen yang menjadi objek
konsumtif yang bisa diperintah/dibujuk oleh sang subjek, yakni oleh pemilik (owner) McD
Coorporation. Dalam hal ini, wacana tersebut diperoleh lewat media online (internet) yang
397
dapat diakses siapa pun, di mana pun, kapan pun, dengan harga berapa pun untuk membeli
makanan dan minuman ala McD, dan dengan menggunakan jenis tuturan apa pun. Sebagai
informasi tambahan bahwa McD Coorporation pada awalnya dimiliki oleh Dick dan
McDonald pada tahun 1940, tetapi kemudian dijual dan dibeli oleh Ray Kroc yang kini sudah
menyebar di seluruh kota di seluruh dunia ini (lihat
https://id.wikipedia.org/wiki/McDonald%27s) dengan laba bersih mencapai US$ 1,1 miliar
(setara dengan 13,5 triliun lebih) pada tahun 2016 ini (lihat
http://wartaekonomi.co.id/read/2016/04/24/98140/mcdonalds-laporkan-laba-bersih-kuartal-
pertama-naik-35-persen.html).
Pada zaman teknologi informasi yang sangat canggih ini, iklan dan atau promosi
barang/jasa apa pun dapat diakses via internet kapan pun, di mana pun, dengan media apa pun,
dengan harga berapa pun, dan dengan jenis tuturan apa pun sehingga masyarakat seakan-akan
tidak merasa lagi bahwa mereka berada dalam kendali/kontrol orang/kelompok
orang/pemerintah/badan hukum/badan sosial/badan usaha, dan sebagainya. Untuk dapat
mengakses internet kita harus memiliki smart phone dan jaringan internet yang membutuhkan
pulsa. Kepemilikan kedua barang tersebut kita sudah dikontrol oleh perusahaan handphone dan
pulsa. Mengingat itu sudah menjadi kebutuhan komunikasi vital pada zaman ini, maka
semuanya dianggap wajar-wajar saja oleh masyarakat moderen ini sehingga praktik wacana
oleh media massa apapun (dalam hal ini internet) berjalan dengan mulus dan aman-aman saja
sepanjang mematuhi norma-norma sosio-kultural yang mengatur praktik wacana tersebut.
Menurut Fairclough, praktik wacana meliputi 3 hal, yakni produksi wacana (iklan McD),
distribusi iklan (internet: open source), dan konsumsi iklan (publik). Menurut Fairclough,
semakin praktik wacana itu wajar, maka semakin menguntungkan pemilik media massa dan
pemilik badan usaha/korporasi yang bersangkutan. Dengan demikian, publik berada dalam
kontrolnya tanpa mereka menyadari sama sekali bahwa mereka terus dikontrol dan diatur untuk
mengikuti aturan-aturan mainnya. Malah sering terjadi, user name dan password masyarakat
yang sifatnya sangat rahasia dan pribadi juga diberikan tanpa mereka/kita dapat menolaknya.
Menurut Michel Foucault, pengontrolan dan pendisiplinan yang demikian ini bersifat panoptik
(le contrôle panoptique) (lihat https://www.franceculture.fr/philosophie/la-societe-de-
surveillance-de-foucault).
Pada level praktik sosio-kultural, pada hakikatnya, produksi wacana (iklan) terikat atau
diatur oleh norma-norma sosial budaya yang berlalu pada masyarakat luas yang bersangkutan,
baik norma yang lisan maupun tulis. Wacana iklan McD tersebut berada dalam konteks sosio
kultural barat (un contexte occidental), khususnya Amerika (asalnya) dan Eropa (khususnya
yang berbudaya Prancis). Konteks sosio-kultural pada iklan McD tersebut tampak dari
penggunaan kode sosio kultural, seperti perempuan sendirian merepresentasikan individualitas,
kebebasan, dan kemandirian (l’individualité, l’indépendance, la liberté), naik turun lewat
tangga tali merepresentasikan “keberanian dan petualangan” (le courage et l’aventure),
pakaian dan sepatu boot merepresentasikan modernitas kaum muda, warna hitam
merepresentasikan kemewahan dan keanggunan (le luxe et l’élégance) (selain simbol
kesedihan dan atau kematian), warna merah merepresentasikan gairah dan cinta (la passion et
l’amour) (di samping merepresentasikan kekuatan dan kejantanan ‘la force et la virilité’), serta
sensualitas dan keinginan (la sensualité et le désir) (lihat https://www.alfange.com/graphisme-
10-couleurs-signification). Kode-kode sosio kultural tersebut mengatur copy writer iklan
398
sehingga ia tidak bebas semaunya dalam merancang iklan-iklannya, tetapi ia benar-benar
terikat oleh konteks sosio kultual yang berlaku di masyarakat barat, khususnya masyarakat
berbudaya Prancis.
4. Kesimpulan
Dari perspektif pragmatis kritis terhadap wacana iklan McD di atas dapat terungkap
tujuan/maksud sosial-kultural-politis-idelogis korporasi McD melalui iklan tersebut, yakni
korporasi kuliner ini ingin terus-menerus me-McD-kan masyarakat internasional melalui
penetrasi iklan McD yang terakses oleh masyarakat internasional di manapun dan kapanpun,
baik melaui media cetak maupun media digital (audio/audio visual). Oleh sebab itu, iklan
komersial pada hakikatnya adalah komunikasi massa nonpersonal yang dibayar oleh sponsor
(dalam hal ini McD Corporate).
Secara sosio kultural, budaya kuliner makan humberger/ayam goreng/kentang goreng
ala McD menjadi trend masyarakat internasional sehingga menggeser budaya kuliner lokal
(nasional/regional). Sementara itu, secara politis, wacana iklan di atas mengungkap praktik
politis ekonomis, yakni mengeruk profit finansial secara besar-besaran dari masyarakat
internasional. Kita tidak bisa membayangkan laba bersih pada tahun 2016 ini saja, yakni telah
mencapai belasan triliun rupiah. Ini sangat fantastik!!! Akhirnya, secara ideologis, dengan
pendekatan pragmatik kritis ini, terungkap praktik ideologi hedonisme dan ekonomi kapitalis
Amerika di muka bumi ini, tak terkecuali di Prancis dan Indonesia. Itulah beberapa benefit
yang diperoleh korporasi McD dengan penetrasi iklan yang seakan tidak akan pernah berhenti
sampai kapan pun.
Tulisan ini telah membuktikan bahwa ancangan pendekatan pragmatik kritis, yakni
perpaduan pendekatan antara pragmatik dan AWK dapat dipakai sebagai pisau analisis wacana
secara komprehensif. Bila hanya digunakan ancangan pragmatis saja, maka analisis dan
hasilnya tidak akan memadahi karena tidak adanya kajian terhadap pengungkapan tujuan-
tujuan ideologis dan politis. Secara empiris dan teoretis, pragmatik kritis menjadi salah satu
ancangan alternatif untuk membongkar praktik wacana dan praktik sosial kultural.
Daftar Acuan
Fairclough, Norman. (1997). Critical Discourse Analysis. London: Longman.
Fairclough, Norman. (1987). Language and Power. London: Longman.
Leech, G.N. (1983). Principles of Pragmatics. New York: Longman.
Parker, Frank. (1986). Linguistics for Non-Linguists. London: Taylor and Francis Ltd.
Yule, George. (1996). Pragmatics. New York. Oxford University Press.
Subagyo, Ari P. (2010). “Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik dan Analisis Wacana Kritis”
dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke-28, No. 2. Hal. 177-178. Jakarta: Masyarakat
Linguistik Indonesia.
Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
van Dijk, Teun A (ed.). (1985). Handbook of Discourse Analysis: Dimensions of Discourse.
Vol. 2. London: Academic Press.
399
Sumber Internet
https://en.wikipedia.org/wiki/Critical_discourse_analysis.
https://id.wikipedia.org/wiki/McDonald%27s.
https://en.wikipedia.org/wiki/AIDA_(marketing).
http://www.kompasiana.com/pandanesia/sekilas-tentang-analisis-wacana-kritis.
http://www.publishyourarticles.net/knowledge-hub/business-studies/ advertising g/1028.
https://www.ionisbrandculture.com/mcdo-venez-comme-vous-etes--11.
http://file.scirp.org/pdf/IB_2013110809313214.pdf.
http://www.etudes-litteraires.com/bac-francais/figures-de-style.php
https://www.alfange.com/graphisme-10-couleurs-signification.
https://www.franceculture.fr/philosophie/la-societe-de-surveillance-de-foucault.
http://wartaekonomi.co.id/read/2016/04/24/98140/mcdonalds-laporkan-laba-bersih-kuartal-
pertama-naik-35-persen.html).
http://www.forma-tice.net/les-logotypes-definition-focntions-qualites/
400
401
Surabaya Dialect in JTV
Waode Hamsia & Lulut Kharisma Diningroom Muhammadiyah University of Surabaya
Abstract Language is a communication tool that is used to interact with others. Language consists of many kinds
of dialect. One of them in Indonesia is known Surabaya dialect that is popular with Suroboyoan. JTV
has a news program that is Pojok Kampung uses Suroboyoan dialect. The program encourages Surabaya
people to maintain the existance of Suroboyoan dialect by doing a concrete action. The concrete action
automatically leads to possess positive attitude toward Pojok Kampung news. The researcher analyzed
Suroboyoan dialect in news program Pojok Kampung that is as data by using sosiolinguistic theory. In
this research, descriptive qualitative is applied to analyze the data. The researcher analyzed the data by
translating Suroboyoan words into common standard Java, describing how those Suroboyoan words are
used and how are the audiences’ responses. The purpose of news program “Pojok Kampung” used
Suroboyoan dialect to maintain and developing Indonesian Language. Moreover this program can make
good relationship to the audiences and become a favourite Surabaya’s people program. Keywords: Dialect, Pojok Kampung News in JTV, Suroboyoan
1. Introduction
Language is a communication tool that is used to interact with others. Language consists of
many kinds dialect. Hyams, Rodman, and Fromkin states that a dialect is not an inferior or
degraded form of a language, and logically could not be so because a language is a collection
of dialects (2009:431). Furthemore Hyams, Rodman, and Fromkin states that the language used
by a group of speakers is a dialect (2009: 477).
In Indonesia, there is a variety of languages that is used by the people to communicate
in daily life, one of them is known Surabayoan. Indonesian people who stay at Surabaya use
Suroboyoan in their conversations. Suroboyoan is very popular among Surabaya native citizens
who live in and out of Surabaya, because it has a peculiarly words in Suroboyoan as a native
language.
A communication can be done directly or indirectly, an example of indirect
communication is electronic media such as television. On television there are various kinds of
programs which are broadcasted, one of them is the news program “Pojok Kampung” on JTV
Surabaya that is broadcasted news about East Java. JTV has a news program that is Pojok
Kampung uses Suroboyoan dialect. The program encourages Surabaya people to maintain the
existance of Suroboyoan dialect by doing a concrete action. The concrete action automatically
leads to possess positive attitude toward Pojok Kampung news. This news program is different
from other news program on Indonesian television because it uses Suroboyoan. Examples of
such words are as follows:
Bajingan embongan
Barek
Bedil
Bronpit
Dikewer
Ditegep
402
Keplase
Mbejudul
The examples above are kinds of Suroboyoan words used in news program “Pojok
Kampung” on JTV Surabaya. For this reason, the researcher uses the news program “Pojok
Kampung” on JTV Surabaya as a research study. The researcher conducts research on the
peculiarly Suroboyoan words with the purpose to analyze how Suroboyoan words used in news
program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya, and to find how are the audiences’ responses
of the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya.
As far as the researcher’s knowledge, the research that discussed Suroboyoan has
revealed that the use of Suroboyoan still hard to find, whereas Suroboyoan is very popular
among Surabaya native citizens who live in and out of Surabaya and this study can gives
contribution generally in linguistics and specifically in sociolinguistics.
2. Review of Related Literature
2.1 Sociolinguistics
Language is a communication tool to interact with others that are used in daily life. People use
language to express their thoughts to others. This is one of the social activities in the
community. Matthew in Jendra states that Sociolinguistics is any study of language in relation
to the society (2010: 10). It means that the language and society cannot be separated from each
other. This is reinforced by the following quotation, Yule states that sociolinguistics is used
generally for the study of the relationship between language and society (2010: 254). It can be
concluded that language has a relationship with society and sociolinguistics uses them.
2.2 Dialects
Dialect is a part of the language used by people to communicate. Indonesia has many cities
where every city in Indonesia has a different dialect to each other. One of them is the city of
Surabaya, which uses Suroboyoan dialect as a communication tool. According to Coulmas,
dialect is used here to refer to any regional, social, or ethnic variety of language. The language
differences associated with dialect may occur on any level of language, thus including
pronunciation, grammatical, semantic, and language use differences. At first glance, the
difference between “dialect” and “language” seems fairly straightforward - dialects are
subdivisions of language (2007: 75). Dialect is differentiated by the vocabulary, grammar, and
pronunciation. Those things make dialects are distinguishable each other in every city in
Indonesia, especially Java island. Jie stated that dialects are different ways of saying the same
thing and tend to differ in phonetics, phonology, lexicon, and grammar (2013: 36).
2.3 Vocabulary
Vocabulary is commonly defined as collection of words Garvey states that vocabulary with our
store of words (2010: 38). Furthermore Garvey states that words are the units from which
phrases are constructed. In ordinary written English they are generally separated from each
other by spaces. All the items separated by spaces in this paragraph are words (2010: 75). In
every paragraph there are a few sentences, and in every sentence there are words, a collection
of words that are known vocabulary.
2.4 Markers of Dialect
There are two examples from news program ‘Pojok Kampung” on JTV Surabaya.
Example 1
News 1/sentence 1
Berita pertama dherek, jalur pendakian gunung raung sak iki ditutup polae onok munggae
aktifitas vulkanik gunung barek curah udan duwur nok daerah kunu. 1
403
Example 2
News 5/sentence 2
Masio gak onok ungsur sengojo sing lanang sing wis yo kelangan bojone dijiret pasal telu limo
songo perkoro luput sing nggarakno keplase nyowone uwong. 2
Transcript news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya above is using Suroboyoan
dialect but just in a few words is purely Suroboyoan dialect. The quotation above show that
there are words between clauses to show markers of dialect and the writer give bold or italic.
2.5 Suroboyoan
Indonesia consists of several islands, each island has several provinces. East Java is one of the
province that is located on Java island where people have been using Javanese language as
communication tool in daily life. Kartiningsih in her blog states that Javanese language in
general recognizes the level of language. Krama Inggil, for the most subtle levels, usually used
for people whose highest degree or older. Krama madya, subtle level, used to talk to the person
who was adrift a few years older. While slightly refined, that Ngoko, used when talking to a
friend the same age or younger (2014:06/01/2016,19:09). In East Java, there are so many cities,
one of them is Surabaya. The residents in Surabaya uses Surabaya dialect or more commonly
known as boso Suroboyoan included in the category of slightly refined language that is Ngoko.
2.7 Social Style
Every activitiy has the way to do something. Coupland states that ‘style’ refers to a way of
doing something (2007: 1). In this sub chapter is about style in speech and about ways of
speaking to the other, Coupland states that style is an individual speaker does with a language
in relation to other people (2007: 60). The language that is used here is dialect as Coupland
states that dialects are social style (2007:02). In the usage of languages there are speaker and
listener which have the same dialects so that they can easily understand each other in
communication. Sellnow states that communication is the process of sending and receiving
verbal and non-verbal messages to create shared meaning (2005: 07).
3. Method of the Study
3.1 Nature of Study
In this research, the researcher used qualitative method because the researcher described the
data in detail, and not in numerical form. Qualitative research is research that the researcher
used to describe the data in detail with words instead of numbers. In this research, there is no
numbers or measures because the researcher only describing the data in detail. So, the
researcher used descriptive qualitative as the nature of research in this research.
3.2 Source of Data
This sub chapter, the researcher provides about source of data that the researcher had taken
before analyzing this study to support the researcher did this research. The source of data was
from news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. This news program which was on
Wednesday, 18 February 2015, 09:00 p.m. to 10:00 p.m. edition.
3.3 Data
404
The data that are used are the utterences especially only Suroboyoan dialect words in the news
program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya which discussed news about East Java using
Suroboyoan and the data consist of one episode.
3.4 Instrument of the Study
To get the data, the resarcher used tablet advance its color is black to record the data, there are
two ways to get the data that were recording and questionnaire.
3.5 Data Collection Technique
Data collection is the way that the researcher collected the data before the researcher did this
research. The researcher did this way until the resarcher could draw the analysis and makes a
conclusion about this study research. The ways that the researcher must do before making this
analysis were: interview, record, transcript, and selection.
3.6 Data Analysis
There were some steps in data analysis that the resarcher do until the resarcher made the
conclusion about the analysis. The first was translating into common standart East Java, the
second is describing how those Suroboyoan words are used, the third is describing why the
news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya uses Surabaya dialect, and the last describe
how are viewer responses toward the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya.
4. Analysis and Finding
1) Kinds of Suroboyoan words used in the news program “Pojok Kampung” on JTV
Surabaya
Kinds of words Suroboyoan dialect can be seen in this some sentences below:
News 3/sentence
Apese teko arah Pacitan ujug-ujug mbejudul mini bis mlaku banter, langsung nabrak trek sing
wis melbu nang lajur kiwo. 7
Transcript news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya above used Suroboyoan dialect,
the sentences above show that there are words between clauses to show markers of dialect and
the writer give bold, based on Jie (2013: 36).
Kinds of words can be seen in the table below:
Suroboyoan word Standard Java English
Mbejudul ‘mbejudul is purely
Suroboyo
nese word, as its standard
Java is ‘pametu’
‘mbejudul’ is purely
Suroboyo
nese word, as its English is
‘appear’
2) How are the common Suroboyoan words used in the news program “Pojok Kampung”
on JTV Surabaya
This sub chapter provided the explanation of how the use of Suroboyoan words that used in the
news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. This news program used Suroboyoan
dialect and the dialect itself is differentiated by the vocabulary, grammar, and pronunciation.
It is supported by Holmes dialects are simply linguistics variaties which are distinguishable by
405
their vocabulary, grammar and pronunciation; the speech of people from different social, as
well as region, groups may differ in these ways (2001: 132).
(1) Vocabulary
Based on Garvey vocabulary store of words (2010: 38). The word can be seen in the table
below. The table consists of three parts, the first part shows Suroboyoan words, the second part
shows the meaning in Indonesian, and the last part shows the meaning in English.
Suroboyoan word Indonesian English
Mbejudul Muncul Appear
(2) Grammar
Grammar in boso Suroboyoan is the same with standard Java because standard Java consists
of three levels that is Ngoko, Krama Madya, and Krama Inggil, and boso Suroboyoan include
Ngoko. It is supported by Kartiningsih that Krama Inggil, for the most subtle levels usually
used for people whose highest degree or older. Krama madya is subtle level used to talk to the
person who was adrift a few years older. While slightly refined that Ngoko used when talking
to a friend the same age or younger. (2014:06/01/2016,19:09).
News 3/sentence 7
Boso Suroboyoan:
Apese teko arah Pacitan ujug-ujug mbejudul mini bis mlaku banter, langsung nabrak trek sing
wis melbu nang lajur kiwo. 7
Krama Madya:
Blainipun saka angkah Pacitan moro-moro untup-untup muni bis mlampah banter langsung
nabrak trek ingkang sampun melbu ing lajur kiwo. 7
Krama Inggil:
Katiwasanipun sakeng angkah Pacitan terus untup-untup nuni bis tindak banter langsung
nabrak trek ingkang sampun melbet teng lajur kiwo. 7
English:
Unfortunatelly from the direction Pacitan suddenly appears a mini bus that is running fast,
direct hit a truck that had entered the left lane. 7
(3) Pronunciation
In written form, Suroboyoan and standard Java have the same form, but in pronunciation they
have different form. It is supported by Ariandra that Suroboyoan /i/ change to be /e/ meanwhile
standard Java /i/ still read /i/, and /u/ change to be /o/ (2012:06/01/2016,17:24). The researcher
gives some examples from transcript the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya
which is on Wednesday, 18 February 2015, at 09:00 p.m. to 10:00 p.m. edition in the table
below:
Suroboyoan words Pronunciation Standard Javanese Pronunciation
Bis Bes
/bes/
Bis Bis
/bɪs/
Sing Seng
/seŋ/
Sing Sing
/sɪŋ/
Wis Wes
/wes/
Wis Wis
/wɪs/
3) Why does the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya use Surabaya dialect
406
In this sub chapter, the researher would like to explain why does the news program“Pojok
Kampung” on JTV Surabaya:
Coupland states that ‘style’ refers to a way of doing something (2007: 1). The researcher
was using interview to answer how is viewer respon toward the news program “Pojok
Kampung” on JTV Surabaya. The researcher conducted interview with the JTV’s crew with
the following questions why the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya uses
Surabaya dialect and why the news program is discussed around the East Java? JTV’s crew
states that because as a form of language preservation area so it is not lost by the influence of
globalization, in terms of culture editors strive to maintain and popularize peculiar words “boso
Suroboyoan” so that the words are hardly used resurfaced, for example word bronpit in
Indonesian means ‘bike motorcycle’. Based on the functions of commercial entertainment and
editorial use words are funny and entertaining, for example said mbok ndewor in Indonesian
means ‘mother or wife’. By using words such unusual, rating news program “Pojok Kampung”
on JTV Surabaya are high on top and get a lot of ads that are favorable to the television. This
is proven by the success of the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya received an
award from Surabaya Heritage as one of the heritage of the nation on Monday, July 7, 2008
because it was considered as a preserver “boso Suroboyoan”. For that reason the news program
“Pojok Kampung” on JTV Surabaya discussed news about East Java.
4) How are viewer responses toward the news program “Pojok Kampung” on JTV
Surabaya
In this part, the researcher would like to explain how Suroboyoan is viewer responses toward
the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya:
The researcher was using questionnaires to answer how is viewer respon toward the
news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. This activity suitable with Couplan
quotation that ‘style’ refers to a way of doing something (2007: 1) the researcher would like to
uses the Questionnaires consists of one hundred and fifty sheets, and every sheet has six
questions.
Based on questionnaires, the researcher could conclude that Suroboyoan dialects is very
popular among Surabaya’s people who live in and out of Surabaya and the news program
“Pojok Kampung” on JTV Surabaya to show the news about East Java. Therefore, the news
program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya not only using Suroboyoan dialect to establish
and maintain good relationship this program with the audience but also the purpose of this news
program is to show the audience that that the language usage in this program is the
characteristic of native Suroboyoan. In addition, because most of the audiences of JTV
Surabaya are East Java people, so that they can understand how Suroboyoan.
5. Conclusion
Language is a communication tool used by humans to interact with other people. Language
consists of many kinds of dialect. One of them in Indonesia is known Surabaya dialect that is
popular with Suroboyoan used by the people of Surabaya as their communication tool in daily
life. JTV has a news program that is Pojok Kampung uses Suroboyoan dialect. The program
encourages Surabaya people to maintain the existance of Suroboyoan dialect by doing a
concrete action. The concrete action automatically leads to possess positive attitude toward
Pojok Kampung news. The audiences need to know and understand the Suroboyoan words used
in news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. These words as follows:
Bajingan embongan
Barek
Bedil
Dikewer
407
Ditegep
Keplase
Mbejudul
These Suroboyoan words are used in the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya.
This news program using Suroboyoan dialect and dialect itself is differentiated by the
vocabulary, grammar, and pronunciation.
Suroboyoan words used to show a characteristic Suroboyoan to the audiences in the news
program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya, but not all words in the news program using
Suroboyoan, only a few words in a way that uses Suroboyoan inserted into the clauses.
Suroboyoan words used in news programs “Pojok Kampung” on JTV Surabaya to maintain
good relationship with the audience because most of the audiences of this program are East
Java peoples or those who understand the Suroboyoan. Moreover news programs “Pojok
Kampung” on JTV Surabaya become a fovourite Surabaya’s people news’ program.
References
Andriana. 2012. Bahasa Jawa Dialek Suroboyoan (Online). Retrieved from:
http://id.ariandrasurabaya.wikia.com/wiki/User_blog:Ariandra/BahasaJawa_Dialek_S
uroboyoan. January, 06, 2016.
Ciparimakmun. 2012. Tembung Bahasa Jawa Ngoko Krama Madya Krama Inggil Tembung
Liane (Online). Retrieved from:
http://ciparimakmuncilacap.blogspot.com/2012/02/tembung-bahasa-jawa-ngoko-
krama-madya.html. January, 06, 2016.
Coulmas, Florian. 2007. The Handbook of Sociolinguistics. Blackwell Reference Online.
Coupland, Nikolas. 2007. Style: Language Variation and Identity. Cambidge University Press,
New York.
Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches - 3th edition. Sage Publications Ltd., United Kingdom.
Garvey, James J. Delahunty, Gerald P. 2010. The English Language: From Sound To Sense.
The WAC Clearinghouse, Colorado.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistic - 2nd edition. Pearson Education
Limited, United Kingdom.
Fromkin, V., N. Hyams, dan R. Rodman. 2009. An Intoduction to Language - 9th edition.
Wadsworth Cengage Learning, New York.
Jendra, Made Iwan Indrawan. 2010. Sociolinguistics: The Study of Societies’ Languages - 1st
edition. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Jie. Gao. 2013. On Function of Dialect in The Mayor of Casterbridge from Sociolinguistic
Perspective. Canadian Research & Development Center of Sciences and Cultures,
China.
Kartiningsih, Julaeha. 2014. Eksistensi Bahasa Jawa dalam Menghadapi Arus Globalisasi
(Online). Retrieved from: http://julaeha-kartiningsih-
fib14.web.unair.ac.id/artikel_detail-119731-Tugas%20Kuliah-
Eksistensi%20Bahasa%20Jawa%20Suroboyoan%20dalam%20
Menghadapi%20Arus%20Globalisasi.html. January, 06, 2016.
Kurniawati, Ani. 2004. A Study of the Deviation Words in Surabaya The Deviation Words in
Surabaya Dialect used in Pojok Kampung. Universitas Muhammadiyah Surabaya,
Surabaya.
Meyerhoff, Miriam. 2006. Introducting Sociolinguistics. Routledge Taylor & Francis Group,
New York.
408
Nurcahyo, Henry. 2007. Kamus Dialek Surabaya Abjad (Online). Retrieved from:
https://henrynurcahyo.wordpress.com/2007/09/29/kamus-dialek-suroboyo-abjad/.
January, 06, 2016.
Nurkasanah, Pida. 2012. A Study of the Javanese used by People in Baleturi-Prambon Nganjuk.
Universitas Muhammadiyah Surabaya, Surabaya.
Sellnow, Deanna D. 2005. Confident Public Speaking – 2nd edition. Thomson Wadsworth,
United States of America.
Suntoro. 2004. A Study of Language Variety used in Pojok Kampung Awan on JTv. Universitas
Muhammadiyah Surabaya, Surabaya.
409
Tindak Tutur Direktif Presiden Joko Widodo kepada Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia
Yoga Mestika Putra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Abstract
This research is about the directive speech acts of President Joko Widodo toward Badrodin
Haiti, the Chief of National Police of Indonesia (KAPOLRI) 2015-2016. As the president,
Jokowi often instructed Badrodin about what the National Police of Indonesia supposed to do.
In speech acts, both the speaker and the listener tend not to define words they hear literally.
This could happen because there is context which is bordered the speaker and the listener.
Searle (1976) developed the concept into five kind of speech acts assertive, directive,
commisive, expressive, and declarative. The data is obtained from online news portal
Kompas.com and Republika.co.id. The data analyzed based on speech acts theory. In speech
acts it is said that ‘the actions performed in saying something’ (Austin, 1962). This theory
enables us to analyze the speech in the form of locutionary, illocutionary, and perlocutionary.
The finding of the research shows that the types of directive speech acts of Jokowi deal with
giving instruction, asking, forbidding, giving permission, and giving advice.
Keywords: Context, Speech acts, Directives speech acts
1. Pendahuluan
Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
pragmatik karena tindak tutur merupakan satuan analisisnya. J.L Austin adalah salah seorang
ahli bahasa memperkenalkan teori tindak tutur (speech act) yang disampaikan melalui
serangkaian kuliahnya yang dikenal sebagai The William James Lectures di Universitas
Harvard pada tahun 1955. Pokok-pokok pikiran Austin kemudian dituangkan menjadi buku
yang berjudul How to do things with Words yang memberikan pandangan yang berbeda tentang
kalimat-kalimat yang diujarkan. Tulisan Austin tersebut kemudian sangat berpengaruh pada
perkembangan kajian bahasa selanjutnya
Berdasarkan asumsi bahwa ada tsindakan yang terkandung dalam sebuah kalimat, Austin
membedakan tuturan menjadi dua jenis yakni tuturan konstatif dan performatif. Menurut
Austin (1962) tindak tutur konstantif merupakan jenis tindak tutur yang melukiskan suatu
keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta yang terjadi sekarang atau
kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Misalnya “John is running”
(1962: 55). Sedangkan tuturan performatif adalah tindak tutur yang diucapkan untuk
melakukan suatu tindakan (1962: 1-11). Tindak tutur performatif berimplikasi dengan tindakan
si penutur sekalipun belum diketahui benar ataupun salahnya. Contoh tindak tutur performatif
yaitu pada saat sesorang berkata “I apologize”, “I promise”, “I will” (pada upacara pernikahan),
atau “I name this ship”. Penuturnya tidak hanya menuturkan sesuatu tetapi juga melakukan
sesuatu yaitu meminta maaf, berjanji, menikahi pasanngan dan memberi nama kapal. Pada
akhirnya Austin menyimpulkan bahwa semua tuturan termasuk ke dalam jenis performatif.
Selanjutya Austin (1962: 94-107) mengatakan bahwa dalam mengucapkan sebuah
tuturan seseorang melakukan tiga tindakan sekaligus, yaitu tindakan lokusi (locutionary act),
tindakan ilokusi (illocutionary act), dan tindakan perlokusi (perlocutionary act). Tindakan
410
yang pertama yaitu lokusi merupakan tindak tutur yang memiliki arti dan acuan tertentu yang
mirip dengan makna menurut pengertian tradisional (ibid: 109). Dengan kata lain tindakan
lokusi merupakan kalimat yang sebenarnya dituturkan tanpa melihat maksud yang ada di balik
kalimat tersebut. Kedua, tindakan ilokusi seperti menginformasikan, memerintahkan, dan
melakukan merupakan tindak tutur yang memiliki daya tertentu (konvensional). Dalam hal ini
ada daya atau dorongan yang dimiliki oleh kalimat yang dituturkan. Ketiga, tindakan perlokusi
merupakan tindak tutur yang menggambarkan efek yang ditimbulkan oleh tindakan ilokusi
pada pendengarnya. Tindak tutur yang perlokusi dapat juga dikatakan sebagai konsekuensi
yang harus dihadapi oleh pendengar terhadap apa yang diujarkan penutur.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Yule (1996) yang menyatakan bahwa tindakan
yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung tiga tindak tutur yang
saling berhubungan, lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah tindak dasar tuturan atau
menghasilkan ungkapan linguistik yang bermakna. Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu.
Ilokusi ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Perlokusi mengacu ke efek
yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh penutur. Jadi, perlokusi adalah efek dari
tindak tutur itu bagi pendengar.
Searle membuat klasifikasi tindak tutur dengan dasar pengembangan klasifikasi Austin.
Searle mengembangkan teori klasifikasi tindak tutur yang terpusat pada ilokusi yang
didasarkan tujuan dari tindak dan pandangan penutur. Tindak tutur itu diklasifikasikan dalam
lima jenis tuturan ilokusi, yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif dan deklaratif.
Yule (1996) mengklasifikasikan sistem klasifikasi umum tindak tutur mengikuti Searle
(1979) ke dalam lima jenis fungsi, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan
komisif. Deklaratif adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.
Representatif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau
bukan. Ekspresif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yaleeng dirasakan oleh
penuturnya. Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang
lain melakukan sesuatu. Komisif adalah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jokowi merupakan presiden ke
tujuh Republik Indonesia yang mulai menjabat sejak 20 Oktober 2014. Sebagai seorang kepala
negara dan kepala pemerintahan, Jokowi kerap kali memberi perintah kepada kabinet yang ia
pimpin, tak terkecuali kepada Kapolri. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah
kepolisian nasional di Indonesia yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Sebagai
institusi Polri memiliki wewenang dalam menindak perilaku kriminal. Kapolri merupakan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang sejak 16 Januari 2015 dipimpin oleh Jenderal Pol.
Badrodin Haiti.
Beberapa kali Jokowi memberikan perintah kepada Kapolri sehubungan dengan
beberapa kasus kriminal. Dalam makalah ini judul berita yang akan diambil adalah “Jokowi
Tantang Polisi Tangkap Mafia DVD Bajakan, Bukan Cuma Pedagang Kecil”, “Jokowi
Perintahkan Kapolri Tak Membuat Hal-hal yang Kontroversial”, dan “Jokowi Perintahkan
Kapolri Tindak Tegas Penimbun BBM dan Kebutuhan Pokok”.
Berdasarkan judul berita tersebut, dapat dilihat bahwa tindak tindak tutur Jokowi
memerintahkan Kapolri merupakan tindak tutur direktif. Bach dan Harnis (dalam Syahrul,
2008:34) membagi tindak tutur direktif atas enam kelompok jenis, yakni (a) permintaan yang
mencakup meminta, memohon, mengajak, mendorong, mengundang, dan menekan; (b)
kelompok pertanyaan, yang mencakup bertanya, berinkuiri, dan menginterogasi; (c) kelompok
persyaratan, yang mencakup memerintah, mengomando, menuntut, mendikte, mengarahkan,
menginstruksikan, mengatur, dan mensyaratkan; (d) kelompok larangan, yang mencakup
melarang dan membatasi; (e) kelompok pengizinan, yang mencakup memberi izin,
membolehkan, mengabulkan, melepaskan, memperkenankan, memberi wewenang, dan
411
menganugerahi; (f) kelompok nasihat, yang mencakup menasihati, memperingatkan,
mengusulkan, membimbing, menyarankan, dan mendorong.
Dengan demikian penelitian ini bertujuan mengetahui tindak tutur direktif apa saja yang
digunakan Jokowi dalam menyampaikan perintahnya kepada Kapolri yang dimuat dalam teks
berita online
2. Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Kirk dan Miller (dalam
Djajasudarma, 1993:9) menyatakan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya. Metode
kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan
di masyarakat bahasa.
Data dengan tipe berita online diambil dari dua media online yang berbeda yaitu dari
kompas.com dan republika.co.id. Data kemudian diteliti setiap tuturannya. Tuturan-tuturan itu
diklasifikasikan dalam sistem klasifikasi tindak tutur direktif.
3. Diskusi dan Pembahasan
Searle (1976) menyatakan bahwa satuan linguistik dalam komunikasi bukanlah hanya sebuah
simbol, kata, atau kalimat, namun semuanya ini lebih mengacu kepada kinerja dari tindak tutur
(performance of the speech act). Jadi, bahasa itu tidak hanya merupakan sebuah tayangan
konsep yang ada dalam pikiran namun bagaimana menghasilkan sebuah pemahaman yang
diikuti oleh sebuah tindakan. Di dalam teks berita online tentang perintah presiden kepada
Kapolri, tuturan demi tuturan tidak hanya sekadar diucapkan namun punya maksud yang
dipahami oleh audiens dan memiliki daya untuk mendatangkan sebuah tindakan. Berikut berita
yang dimuat pada kompas.com dan republika.co.id
1. Jokowi Tantang Polisi Tangkap Mafia DVD Bajakan, Bukan Cuma Pedagang Kecil
Senin, 18 Mei 2015 | 11:58 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah akan
mulai menindak tegas praktik pembajakan yang sudah merajalela di negeri ini. Jokowi
memerintahkan agar aparat penegak hukum tidak hanya mengejar pedagang kecil di jalanan,
tetapi juga menghukum mafia besar yang mengeruk keuntungan dari bisnis itu.
"Jangan yang dikejar-kejar itu pedagang di jalanan, yang kecil-kecil, pemain besarnya saja
kelihatan kok. Siapa? Kelihatan. Saya tanya saja pasti tahu itu. Gebuk aja yang gede langsung!"
ujar Jokowi di hadapan para seniman yang tergabung dalam Asosiasi Industri Rekaman
Indonesia (ASIRI) dan Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik
Jokowi menilai bahwa selama ini penegakan hukum untuk berbagai kasus dijalankan setengah
hati. Untuk menghukum pelaku besar, kata Jokowi, terkadang aparat masih berpikir dua kali.
Dia mencontohkan dalam kasus illegal fishing. Perintah penenggelaman kapal harus
disampaikannya sebanyak tiga kali baru dilakukan.
"Baru berani menenggelamkan, sudah perintah tiga kali," ucapnya. Kasus pembajakan pun
sama saja. Jokowi mengklaim hampir setiap hari membaca hingga melihat pembajakan terjadi.
Pembajakan itu tak hanya melalui keping CD, MP3, hingga DVD, tetapi orang bisa leluasa
mengunduh melalui jaringan internet.
"Sepertinya kuat-kuatan saja, mana yang kuat. Bosan-bosanan saja, mana yang nanti akan
bosan, penegak hukumnya atau pembajak. Paling tidak harus ditekan sekecil-kecilnya. Ini yang
saya sampaikan, saya perintah ke Kapolri, seminggu atau 10 hari lalu," kata Jokowi.
412
Jokowi yakin aparat penegak hukum sudah mengetahui pola permainan, pemain, hingga mafia besar yang ada di belakang praktik pembajakan. Namun, Jokowi menantang Kapolri untuk
berniat memberantas praktik ilegal itu.
"Saya tanya bapak ibu juga semua tahu tempatnya di mana, apalagi penegak hukum, apalagi
Kapolri, pasti tahu. Jangan ada yang jawab tidak tahu, tahu semua. Persoalannya cuma satu,
niat atau tidak niat, mau atau tidak mau, hanya itu saja," ujar Jokowi.
Hadir dalam pertemuan Jokowi dengan kelompok seniman kali ini adalah Kapolri Jenderal
(Pol) Badrodin Haiti. Adapun deretan artis yang hadir adalah Bimbo, Marcel, Ashanti, Yovie
Widianto, serta anggota DPR Anang Hermansyah.
Penulis: Sabrina Asril
Editor: Laksono Hari Wiwoho
2. Jokowi Perintahkan Kapolri Tak Membuat Hal-hal yang Kontroversial
Jumat, 1 Mei 2015 | 15:02 WIB
SOLO, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa ia telah memerintahkan
Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Badrodin Haiti agar Polri tak melakukan langkah-langkah
yang bisa menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pernyataan ini disampaikan Jokowi
menanggapi penangkapan penyidik KPK, Novel Baswedan.
"Sudah saya perintahkan juga kepada Kapolri untuk tidak lagi membuat hal-hal kontroversi di
masyarakat maupun sikap ketidaksinergian antara KPK dan Polri. Mereka harus bekerja
bersama-sama, Polri, KPK, Kejaksaan, semuanya, dalam pemberantasan korupsi," kata Jokowi
seusai menunaikan shalat Jumat di Masjid Kotabarat, Jumat (1/5/2015).
Sebelumnya, Jokowi mengaku telah memerintahkan Kapolri untuk segera melepaskan Novel
serta meminta KPK dan Polri bersinergi. Nasional "Terkait Novel, sudah saya perintahkan
kepada Kapolri, pertama, untuk tidak ditahan; kedua,proses hukum harus dilakukan secara
transparan dan adil; lalu ketiga, saya perintahkan KPK dan Polri bisa selalu bersinergi," kata
Jokowi.
Novel Baswedan ditangkap anggota Bareskrim Mabes Polri terkait kasus penganiayaan hingga
tewas terhadap tersangka pencurian burung pada tahun 2004. Saat itu, Novel menjabat
sebagaiKasa treskrim Polda Bengkulu. Novel ditangkap di rumahnya di kawasan Kelapa
Gading padaJumat dini hari tadi. Saat ini ia ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa
Barat.
3. Presiden Perintahkan Polri Tangkap Penimbun Sembako
03 Juni 2015 19:27 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepolisian
menangkapyang berupaya menimbun dan spekulasi barang kebutuhan pokok menjelang
Ramadhan dan Lebaran (Idul Fitri 1436 H) yang bisa menyebabkan fluktuasi harga.
"Saya juga ingin perintahkan Kapolri tindak tegas penimbun BBM dan kebutuhan barang
pokok, juga spekulan yang mengambil keuntungan," kata Presiden, saat membuka rapat
terbatas membahas persiapan menjelang Bulan Ramadhan dan Lebaran di Kantor Presiden
Jakarta, Rabu(3/6) sore.
413
Selain meminta tindakan tegas bagi penimbun dan spekulan, Presiden juga meminta para
menteriterkait untuk memantau harga dan stok barang kebutuhan pokok. Sebab menurut
Jokowi, karena gejolak harga isu krusial setiap tahun ada. Presiden pun berharap dan minta
seluruh jajaran pemerintahan cepat dan tanggap menangani setiap pergerakan.
"Kita lihat Mei kemarin inflasi tinggi, saya harapkan terutama kementerian yang berkaitan
dengan ini Bulog dan Kemendag pemantauan pasar dan harga, kalau ada masalah segera
temukan solusi untuk menangani dan kalau perlu melakukan operasi pasar," kata Presiden.
Ditambahkannya,"Saya kira kita sudah berbicara dua kali untuk persiapan ini dan betul-betul
saya ingin pastikan stok dan stabilitas harga pangan terjaga. Dan juga pastikan kebutuhan
rakyat atas pangan harga betul-betul terjangkau dan terpenuhi."
Rapat terbatas yang berlangsung pukul 17.00 WIB tersebut dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf
Kalla, Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Mendag Rachmat Gobel, Menteri BUMN Rini
Suwandi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin, Direktur Bulog Lenny Sugihat,
Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, Mensesneg Pratikno dan Sekretaris Kabinet Andi
Widjajanto.
Red: Karta Raharja Ucu
Sumber:Antara
Tabel 1. Tindak Tutur Direktif Presiden Jokowi kepada Kapolri
No Jenis Tindak
Tutur Direktif
Contoh
1. Perintah 1. "Sepertinya kuat-kuatan saja, mana yang kuat.
Bosan-bosanan saja, mana yang nanti akan
bosan, penegak hukumnya atau pembajak.
Paling tidak harus ditekan sekecil-kecilnya. Ini
yang saya sampaikan, saya perintah ke
Kapolri, seminggu atau 10 hari lalu,"
2. “Gebuk aja yang gede langsung!"
3. "Terkait Novel, sudah saya perintahkan kepada
Kapolri, pertama, untuk tidak ditahan; kedua,
proses hukum harus dilakukan secara
transparan dan adil; lalu ketiga, saya
perintahkan KPK dan Polri bisa selalu
bersinergi,"
4. "Saya juga ingin perintahkan Kapolri tindak
tegas penimbun BBM dan kebutuhan barang
pokok, juga spekulan yang mengambil
keuntungan," ,
5. "Saya kira kita sudah berbicara dua kali untuk
persiapan ini dan betul-betul saya ingin
pastikan stok dan stabilitas harga pangan
terjaga. Dan juga pastikan kebutuhan rakyat
414
atas pangan harga betul-betul terjangkau dan
terpenuhi."
2. Pertanyaan 1. "Saya tanya bapak ibu juga semua tahu
tempatnya di mana, apalagi penegak hukum,
apalagi Kapolri, pasti tahu. Jangan ada yang
jawab tidak tahu, tahu semua.
3. Larangan 1. Jangan yang dikejar-kejar itu pedagang di
jalanan, yang kecil-kecil, pemain besarnya saja
kelihatan kok. Siapa? Kelihatan. Saya tanya
saja pasti tahu itu.
2. "Sudah saya perintahkan juga kepada Kapolri
untuk tidak lagi membuat hal-hal kontroversi di
masyarakat maupun sikap ketidaksinergian
antara KPK dan Polri.
4. Nasihat 1. Mereka (KPK dan Polri) harus bekerja
bersama-sama, Polri, KPK, Kejaksaan,
semuanya, dalam pemberantasan korupsi,"
5. Persyaratan 1. "Baru berani menenggelamkan, sudah perintah
tiga kali,"
2. “Persoalannya cuma satu, niat atau tidak niat,
mau atau tidak mau, hanya itu saja,"
6. Pengizinan 1. "Kita lihat Mei kemarin inflasi tinggi, saya
harapkan terutama kementerian yang
berkaitan dengan ini Bulog dan Kemendag
pemantauan pasar dan harga, kalau ada
masalah segera temukan solusi untuk
menangani dan kalau perlu melakukan operasi
pasar,"
3.1 Tindak Tutur Direktif Permintaan
Tindak tutur direktif permintaan merupakan tindak tutur yang sifatnya meminta seseorang
melakukan sesuatu pekerjaaan. Tindakan ini dapat terwujud dengan baik apabila penutur
memiliki kondisi keabsahan (Felicity Conditions) dalam bertutur. Dalam hal ini Presiden Joko
Widodo sudah memiliki kondisi keabsahan meminta Kapolri melakukan suatu tindakan.
Berdasarkan data yang ada ditemukan lima tindak tutur direktif permintaan Jokowi kepada
Kapolri.
Presiden Jokowi terlihat sangat tegas dalam mengujarkan permintaannya kepada
Kapolri. Hal tersebut dapat dilihat pada pilihan kata yang digunakan seperti: (1)… Paling tidak
harus ditekan sekecil-kecilnya. Ini yang saya sampaikan, saya perintah ke Kapolri, seminggu
atau 10 hari lalu,", (2) “Gebuk aja yang gede langsung!", (3) "Terkait Novel, sudah saya
415
perintahkan kepada Kapolri, pertama, untuk tidak ditahan; kedua, proses hukum harus
dilakukan secara transparan dan adil; lalu ketiga, saya perintahkan KPK dan Polri bisa selalu
bersinergi,", (4)"Saya juga ingin perintahkan Kapolri tindak tegas penimbun BBM dan
kebutuhan barang pokok, juga spekulan yang mengambil keuntungan," ,(5)"Saya kira kita
sudah berbicara dua kali untuk persiapan ini dan betul-betul saya ingin pastikan stok dan
stabilitas harga pangan terjaga. Dan juga pastikan kebutuhan rakyat atas pangan harga betul-
betul terjangkau dan terpenuhi."
3.2 Tindak Tutur Direktif Pertanyaan
Tindak tutur direktif pertanyaan merupakan tindak tutur menyuruh atau memerintahkan
sesuatu kepada seseorang dengan menggunakan bentuk kalimat Tanya. Berdasarkan data di
atas terdapat satu bentuk tindak tutur direktif pertanyaan. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh
"Saya tanya bapak ibu juga semua tahu tempatnya di mana, apalagi penegak hukum, apalagi
Kapolri, pasti tahu. Jangan ada yang jawab tidak tahu, tahu semua. Secara tidak langsung
Jokowi memerintahkan Kapolri untuk menindak pelaku kriminal pembajakan DVD dengan
bertanya dan memastikan bahwa semua pasti tahu tempat pembajakan DVD.
3.3 Tindak Tutur Direktif Larangan
Tindak tutur direktif larangan merupakan tindak tutur yang memerintahkan seseorang untuk
tidak melakukan sesuatu. Terdapat dua larangan Jokowi kepada Kalpolri terkait dengan penjual
DVD bajakan dan penangkapan penyidik KPK, Novel Baswedan. Tindak tuturnya terlihat
sebagai berikut.
(1) Jangan yang dikejar-kejar itu pedagang di jalanan, yang kecil-kecil, pemain besarnya saja
kelihatan kok. Siapa? Kelihatan. Saya tanya saja pasti tahu itu.
(2)"Sudah saya perintahkan juga kepada Kapolri untuk tidak lagi membuat hal-hal kontroversi
di masyarakat maupun sikap ketidaksinergian antara KPK dan Polri.
3.4 Tindak Tutur Direktif Nasihat Tindak tutur direktif nasihat merupakan tindak tutur memerintahkan dengan memberi nasihat.
Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dianggap sosok yang tepat memberikan
nasihat kepada institusi negaran yang sedang bertikai yaitu, KPK dan Polri. Hal tersebut dapat
dilihat pada ujaran “Mereka (KPK dan Polri) harus bekerja bersama-sama, Polri, KPK,
Kejaksaan, semuanya, dalam pemberantasan korupsi,"
3.5 Tindak Tutur Direktif Persyaratan
Tindak tutur direktif persyaratan merupakan tindak tutur yang memerintahkan dengan
menyertakan syarat. Hal tersebut terlihat pada ujaran (1) "Baru berani menenggelamkan, sudah
perintah tiga kali” (2) Persoalannya cuma satu, niat atau tidak niat, mau atau tidak mau,
hanya itu saja,". Pada ujaran yang pertama Polri dinilai baru mau menenggelamkan kapal
pencuri ikan kalau sudah diperintahkan tiga kali. Pada ujaran yang kedua Jokowi
mengisyaratkan bahwa tindakan pembajakan dapat diatasi jika ada niat dari penegak hukum
(Polri).
3.6 Tindak Tutur Direktif Pengizinan
Tindak tutur direktif pengizinan merupakan tindak tutur yang memberikan izin kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan data di atas tindak tutur direktif pengizinan
terdapat pada ujaran "Kita lihat Mei kemarin inflasi tinggi, saya harapkan terutama
416
kementerian yang berkaitan dengan ini Bulog dan Kemendag pemantauan pasar dan harga,
kalau ada masalah segera temukan solusi untuk menangani dan kalau perlu melakukan operasi
pasar,". Dalam hal ini Jokowi memberikan izin atau wewenang untuk mengambil tindakan
yang dirasa perlu demi kesejahteraan rakyat.
4. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa jenis tindak tutur direktif yang ditemukan dalam tuturan Presiden Joko
Widodo adalah (1) permintaan, (2) pertanyaan, (3) persyaratan, (4) nasihat, (5) larangan, dan
(6) pengizinan. Dari kelima jenis tindak tutur tersebut, yang sering digunakan oleh Jokowi
dalam memerintahkan Kapolri adalah tindak tutur direktif permintaan. Hal tersebut disebabkan
karena Jokowi sebagai kepala negara dan pemerintahan memiliki keabsahan (felicity condition)
untuk memberikan perintah kepada Kapolri.
Data yang diperoleh dari teks berita online menggambarkan bahwa tindak tutur yang
digunakan Presiden Jokowi kepada Kapolri merupakan tindak tutur direktif. Tindak tutur
Presiden Jokowi kepada Kapolri cenderung meminta, kepada Kapolri untuk segera
menyelesaikan persoalan-persoalan yang sudah sejak lama muncul supaya tercipta stabilitas
keamanan dalam masyarakat.
Daftar Acuan
Austin, John L. (1962). How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University
Press.
Cutting, Joan. (2002). Pragmatics and Discourse: A resource book for students. London
andNew York: Routledge.
Djajasudarma, Fatimah. (1993). Metode Linguistik. Bandung: Eresco Anggota Ikapi.
Grice, H Paul. (1975). Logic and Coversation dalam Davis S Pragmatics: A Reader: New
York: Oxford University Press.
http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/06/03/npdby1-presiden-perintahkan-polri-
tangkap-penimbun-sembako.
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/01/15023601/Jokowi.Saya.Sudah.Perintahkan.Kap
olri.Tak.Membuat.Hal-hal.yang.Kontroversial.
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/18/11585701/Jokowi.Tantang.Polisi.Tangkap.Mafi
a.DVD.Bajakan.Bukan.Cuma.Pedagang.Kecil.
Searle, J.R. (1969). Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press.
Searle, J.R. (1975). “Indirect Speech Act” dalam Cole, Peter, dan J. Morgan (ed.) Syntax and
Semantics: Speech Act. New York: Academic Press.
Thomas. Jenny. (1995). Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New
York: Longman.
Yule, George. (1996). Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
417
Diglosia dalam Penerjemahan Komik:
Studi Kasus Penerjemahan Suske en Wiske
dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia
Zahroh Nuriah
Universitas Indonesia
[email protected] / [email protected]
Abstract
Indonesian language has a diglossic characteristic because the language consists of formal and
informal varieties. In translating a text into Indonesian, a translator must choose the variety to
be used as the target language. This paper examines which variety a translator should choose
in translating a comic so that the text will be equivalent to the source text, what should be
considered in deciding the target language variety that will be used, and which variety the
readers prefer. To answer those questions, a qualitative case study of a translation of the comic
Suske en Wiske from Dutch to Indonesian is conducted by comparing each panel of the target
text to the source text, supported by quantification of respondents meaning of the use of both
varieties. The result shows that equivalence must not only be based on the text since comic is
a semiotic system which does not only consist of verbal elements but also pictures; the
translation of a comic should then intersemiotic by considering both elements. Both language
varieties can be used in the translation of comics. The choice of a language variety for each
panel must be based on the context showed by the pictures, namely the social role of the
speaker(s) and the addressee(s). The target readers of Suske en Wiske children age 10-12 still
prefer formal variety for written language, but adults are already able to differentiate the
function of both varieties for different contexts. The variety choosen should reflect the real
target language use for resulting the dynamic equivalence.
Keywords: comic, equivalence, intersemiotic, translation
1. Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa kesatuan yang digunakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pada umumnya bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang
diperoleh di sekolah setelah bahasa pertama yang biasanya merupakan bahasa daerah. Di
samping bahasa Indonesia formal yang wajib digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan,
bahasa pengantar pendidikan, atau pun bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi
lainnya sesuai UU Kebahasaan (24/2009), terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya,
terdapat variasi bahasa sehari-hari. Sneddon (2003) menyatakan bahwa dengan adanya dua
variasi ini maka dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat gejala diglosia.
Dalam menerjemahkan sebuah teks ke dalam bahasa Indonesia, seorang penerjemah
harus mampu memilih variasi bahasa yang tepat untuk digunakan sebagai bahasa sasaran.
418
Variasi bahasa mana yang sebaiknya digunakan dalam menerjemahkan komik agar teks sasaran
(Tsa) sepadan dengan teks sumber (Tsu)? Faktor apa yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan variasi bahasa yang digunakan? Bagaimana sikap pembaca terhadap terjemahan
dalam kedua variasi bahasa itu?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, komik Suske dan Wiske yang berjudul Het
Machtige Monument ‘Monumen Mahakarya’ dijadikan data penelitian. Komik ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Belanda. Kalimat-kalimat dalam setiap
panel dalam TSa dibandingkan dengan kalimat pada TSu dengan memperhatikan konteks
percakapan.Penelitian ini bersifat kualitatif, tetapi juga didukung dengan kuantifikasi data.
Untuk mendukung kesimpulan teoretis, juga dilakukan penjaringan sikap bahasa para pembaca
komik. Empat potongan cerita yang terdiri dari tiga panel disajikan kepada para responden
dalam variasi formal dan informal. Di samping itu, juga disajikan terjemahan asli yang
merupakan campuran antara kedua variasi itu. Satu dari empat potongan cerita itu merupakan
percakapan informal, tiga lainnya merupakan percakapan formal, yaitu percakapan dengan
polisi, perdana mentri, dan raja. Responden diminta memilih penggunaan bahasa sasaran (Bsa)
yang menurut mereka paling berterima dan paling tidak berterima. Karena seri ini ditujukan
untuk anak umur 10-12 tahun, maka yang dijadikan responden utama juga anak-anak berumur
10-12 tahun, 36 anak, 16 anak mengisi angket di rumah, sedangkan 20 anak mengisinya di
sekolah. Di samping itu, 30 orang responden dewasa berumur 18-20 tahun juga diminta untuk
melakukan hal yang sama sebagai data pembanding.
2. Komik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komik didefinisikan sebagai “cerita bergambar (dl
majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yg umumnya mudah dicerna dan lucu”. Kerrien &
Auquier (tt) dalam situs Museum Komik Belgia di Brussel mendefinisikan komik sebagai “een
opeenvolging van stilstaande beelden die een verhaal vormen, waarvan het scenario
geïntegreerd is in de beelden”1. Dalam bukunya Understanding Comics, McCloud (1993, hlm.
9) mendefinisikan komik sebagai “juxtaposed pictorial and other images in deliberate
sequence”. Dari definisi-definisi itu, dapat disimpulkan bahwa gambar merupakan unsur utama
dalam komik. McCloud (1993) bahkan tidak menyinggung teks sama sekali dan Kerrien &
Auquier (tt) menyebutkan bahwa skenario terintegrasi dalam gambar. Komik juga didukung
unsur-unsur penting lainnya seperti tanda-tanda tipografis (jenis huruf, lay-out, format), tanda-
tanda gambar (warna, garis-garis aksi, sketsa, perspektif), serta tanda-tanda linguistis (Kaindl,
1999, dalam: Zanettin 2008).
Seorang komikus menggambar dan menulis dialog sedemikian rupa sebagai satu
kesatuan yang menjadi dasar imajinasi para pembaca. McCloud (1993) berpendapat bahwa
makna komik berada di antara panel gambar. Pembaca seakan-akan menyelami kehidupan para
tokohnya dengan menyusun cerita sendiri berdasarkan panel-panel yang disajikan. Mereka
menghubungkan panel yang satu dengan panel lainnya. Berbeda dengan pembaca novel yang
lebih bebas berfantasi, para pembaca komik merangkai ceritanya sesuai gambar.
Banyak komik terkenal yang berasal dari Belgia yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, seperti Tintin, Smurf, atau Lucky Luke, termasuk dari Belgia utara (daerah
1 sebuah jajaran gambar statis yang membentuk sebuah cerita, yang skenarionya terintegrasi ke dalam gambar.
419
berbahasa Belanda), seperti Jommeke juga Suske en Wiske. Suske en Wiske awalnya
merupakan komik yang terbit di koran harian De Nieuwe Standaard (yang kemudian berubah
nama menjadi De Standaard). Tokoh utama komik ini adalah seorang anak laki-laki bernama
Suske dan anak perempuan bernama Wiske. Mereka tinggal bersama Tante Sidonia, tantenya
Wiske, yang mengadopsi Suske. Seperti pesaingnya, Jommeke, komik ini berceritakan
petualangan anak (Suske dan Wiske yang humoristis) beserta beberapa temannya. Awalnya
Suske en Wiske disajikan dalam dialek sehari-hari Belgia utara, Vlaams, tetapi kemudian
disajikan dalam bahasa Belanda standar.
3. Diglosia
Diglosia didefinisikan oleh Ferguson (Ferguson 1959: 36) sebagai “a relatively stable language
situation in which [...] there is a very divergent, highly codified (often grammatically more
complex) superposed variety [...] which is learned largely by formal education and is used for
most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for
ordinary conversation” (dalam Sneddon 2003: 519). Situasi diglosia dapat dijumpai dalam
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia formal merupakan bahasa resmi kenegaraan yang
digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan, dalam komunikasi tingkat nasional, transaksi,
dan dokumentasi niaga, juga sebagai bahasa media massa, yang telah dikodifikasi dalam
bentuk kamus dan buku tata bahasa serta diperoleh melalui pendidikan di sekolah. Dalam pada
itu, variasi formal tidak digunakan dalam situasi informal. Dalam kehidupan sehari-hari
digunakan variasi informal yang tidak – atau setidaknya belum – dikodifikasi dan diperoleh di
rumah sebagai bahasa pertama.
Variasi formal dan informal cukup berbeda. Perbedaan ini tidak hanya terletak pada
pelafalan tetapi juga pada tingkat leksikon dan gramatika. Variasi informal lebih sederhana
dibandingkan dengan variasi formal. Pada tingkat leksikon misalnya terdapat perbedaan bentuk
kata ganti. Dalam variasi formal dibedakan antara kata ganti orang pertama jamak ekslusif
kami dengan bentuk inklusif kita, sementara dalam variasi informal hanya ada satu kata ganti
orang pertama jamak, yaitu kita. Selain itu, dalam variasi formal untuk merujuk pada orang
pertama digunakan saya dan untuk orang kedua anda, sedangkan dalam variasi informal kata
ganti orang pertama cukup beragam, yaitu aku, gue atau gua untuk konteks yang lebih intim,
juga nama diri. Beberapa perbedaan leksikon lainnya misalnya:
Variasi formal Variasi informal
beri Kasi
besar Gede
buat bikin
hanya cuma(n)
seperti Kaya
tidak Nggak
untuk Buat
Dalam memaparkan perbedaan gramatika, Sneddon (2003) menyebutkan bahwa
berbagai preposisi dalam variasi formal dapat digantikan dengan kata sama. Namun perbedaan
ini sebaiknya dikategorikan sebagai perbedaan leksikon. Contoh:
420
F: Saya marah dengan/pada dia.
I: Gua marah sama dia.
F: Saya menceritakan itu kepada nenek saya.
I: Gua ceritain itu sama nenek gua.
F: Astrid suka meminjam uang dari ayahnya.
I: Si Astrid suka minjem duit sama bokapnya.
F: Saya dan ayah saya tidak dekat.
I: Gua sama bokap gua nggak deket.
F: Saya tidak diterima oleh orang tuanya dan dia juga ditolak oleh keluarga saya.
F: Gua enggak diterima sama orang tuanya dan dia pun, dia juga ditolak sama
keluarga gua.
Sneddon (2003) juga memaparkan perbedaan gramatika pada tataran morfologi. Dalam
variasi formal digunakan sufiks -kan dan sufiks -i, tetapi dalam variasi informal keduanya dapat
digantikan dengan -in. Perbedaan lain yang tidak disinggung oleh Sneddon adalah penggunaan
prefiks meng- dalam variasi formal, yang dalam variasi informal berbentuk -ng. Perbedaan ini
bukan hanya terkait pemilihan prefiks saja, tetapi juga berimbas pada kaidah morfofonemis.
Perhatikan contoh berikut.
Dasar kata Formal Informal
baca membaca baca/ngebaca
cuci mencuci nyuci
foto memfoto moto
jambak menjambak ngejambak
lempar melempar ngelempar
rebut merebut ngerebut
Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa terdapat beberapa perbedaan kaidah morfofonemis
dalam pembentukan kata pada kedua variasi bahasa tersebut. Dalam variasi formal, proses
prefiksasi dengan dasar kata berawalan [b] mengakibatkan terjadinya asimilasi, sedangkan
dalam variasi informal menyebabkan delesi atau insersi. Dalam proses prefiksasi dengan dasar
kata berawal dengan [c] dan [f] yang dalam dalam variasi formal juga mengakibatkan
terjadinya asimilasi, dalam variasi informal menyebabkan peleburan. Proses prefiksasi dalam
variasi formal dengan dasar kata berawalan [j] yang juga mengakibatkan asimilasi, serta bunyi
likuida [l] dan [r] yang mengakibatkan delesi, dalam variasi informal justru mengakibatkan
insersi. Prefiks -ng ini terkadang juga menggantikan prefiks ber-, misalnya:
Dasar kata Formal Informal
tani bertani nani
ternak beternak nernak
421
Dalam pada itu, prefiks ter- dalam variasi formal pada umumnya digantikan dengan prefiks ke-
seperti pada contoh berikut.
Dasar kata Formal Informal
sambar tersambar kesamber
tabrak tertabrak ketabrak
Namun terkadang prefiks ke- juga menggantikan prefiks ber-, seperti pada dasar kata
temu yang dalam variasi formal diberi imbuhan ber- menjadi bertemu dan pada variasi informal
diimbuhkan dengan prefiks ke- menjadi ketemu. Prefiks ter- juga tidak selalu dapat digantikan
dengan ke-, seperti terjatuh dalam variasi formal tidak muncul dalam kata *kejatuh dalam
variasi informal. Sepertinya terdapat sedikit perbedaan sistematika struktur argumen verba
pada variasi formal dan informal terkait pemilihan prefiks, tetapi untuk memastikannya
dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Pemilihan variasi bahasa formal dan informal disesuaikan dengan situasi tindak tutur,
peran sosial penutur dan mitra tutur. Pada pertemuan resmi kenegaraan, dalam dunia
pendidikan, komunikasi tingkat nasional, transaksi, dan dokumentasi niaga, juga media massa
digunakan variasi formal. Sneddon (2003) memaparkan bahwa bahasa tulis pada umumnya
lebih diasosiasikan dengan variasi formal. Sastra akan diterjemahkan dalam variasi formal.
Namun ia juga menyebutkan bahwa belakangan ini, majalah, siaran radio, dan drama yang
ditujukan untuk kaum muda mulai menggunakan variasi informal. Sneddon juga menjelaskan
bahwa tidak ada garis pemisah yang jelas di antara variasi bahasa formal dan informal, tetapi
ada kontinuum di antara keduanya.
3. Penerjemahan
Nida dan Taber (1974: 4) mendefinisikan penerjemahan sebagai “the interpretation of the
verbal signs of one language by means of the signs of another”. Catford (1965: 20) kurang
lebih juga memberikan definisi yang sama, yaitu the replacement of textual material in one
language (SL) by equivalent textual material in another language (TL). Hatim dan Mason
(1997: vi) memandang penerjemahan agak berbeda, yaitu “an act of communication which
attempts to relay, across cultural and linguistic boundaries, another act of communication
(which may have been intended for different purposes and different readers/hearers)”. Menurut
Hatim dan Mason penerjemahan bukan hanya sekedar pengalihan bahasa saja, tetapi
merupakan satu bentuk komunikasi yang didasarkan pada bentuk komunikasi lainnya yang
ditujukan pada pendengar atau pembaca dengan bahasa dan budaya yang berbeda.
Gambar 1. Proses Komunikasi
Komunikasi itu sendiri merupakan proses penyampaian pesan kepada penerima.
Dengan demikian seorang penerjemah merupakan penerima pesan dalam bahasa dan budaya
Pesan Penerima Pengirim
422
sumber, sekaligus pengirim pesan dalam bahasa dan budaya sasaran. Dalam penerjemahan,
pesan merupakan tongkat estafet yang harus diterima oleh pembaca TSa secara utuh. Oleh
karena itu seorang penerjemah harus memperhatikan kesepadanan Tsa dengan Tsu.
Nida dan Taber (1974) membedakan antara kesepadanan dinamis dan kesepadanan
formal. Bagi mereka, kesepadanan dinamis tidak hanya terkait dengan teks, tetapi juga dengan
kesepadanan reaksi pembaca teks terjemahan dengan pembaca teks asal. Menurut mereka
kesepadanan dinamis lebih penting daripada korespondensi formal. Kesepadanan yang absolut
tentunya tidak ada, mengingat adanya perbedaan budaya. Namun, penerjemahan tetap dapat
dilakukan walaupun nuansa pesan yang disampaikan tidak utuh. Dengan demikian
kesepadanan yang maksimal tetap dapat dan harus diusahakan.
Sebagai pesan, komik tidak hanya terdiri dari elemen verbal yang bersifat simbolis saja,
tetapi juga terdiri dari gambar ikonis. Simbol ataupun ikon merupakan tanda semiotis yang
harus diperhatikan dalam proses penerjemahan. Terkait pesan advertensi, Torresi (2007)
memaparkan adanya pergerakan dari pendekatan yang hanya memperhatikan unsur verbal saja
ke arah pandangan baru yang menerjemahkan teks advertensi sebagai teks multimodal dan
bersifat intersemiotis. Dia menganjurkan pelokalan terjemahan teks secara menyeluruh,
misalnya dengan mengganti elemen visual untuk mempertahankan komponen makna verbal,
atau dengan membangun teks verbal yang sama sekali baru demi mengakomodir pasar yang
berbeda.
Pendapatnya ini dapat diadopsi dalam penerjemahan komik, karena komik juga terdiri
dari gambar dan komponen verbal. Untuk tujuan tertentu, gambar dalam komik memang dapat,
atau sebaiknya diubah (Nuriah, 2016). Begitu pula dengan teks yang harus disesuaikan dengan
gambar. Kesepadanan yang diupayakan dalam penerjemahan komik bukan lagi kesepadanan
formal, tetapi kesepadanan dinamis yang fungsional, agar pembaca komik terjemahan dapat
memberikan reaksi yang sama dengan pembaca teks asal.
4. Diskusi dan Pembahasan
Secara semiotis, komik terdiri dari ikon (berupa gambar) dan simbol (berupa elemen verbal).
Kedua elemen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling
tergantung satu sama lain. Dalam menerjemahkan komik, kedua elemen ini harus diperhatikan.
Dalam menerjemahkan teks verbal, elemen visual harus diperhatikan. Konteks yang
digambarkan melalui elemen visual menentukan variasi bahasa yang digunakan.
Sneddon (2003) menjelaskan bahwa memang dalam bahasa Indonesia tidak ada garis
pemisah yang jelas di antara variasi bahasa formal dan informal. Namun, itu tidak berarti
variasi bahasa yang digunakan bersifat manasuka. Pemilihan variasi bahasa yang tepat tetap
diperlukan guna memberikan hasil terjemahan yang sepadan. Penggunaan variasi formal pada
semua situasi akan membuat komik terasa kaku, sedangkan penggunaan variasi informal pada
situasi formal membuat terjemahan komik terasa aneh.
Suske en Wiske merupakan komik berbahasa Belanda standar yang berasal dari Belgia
utara. Pada awalnya komik ini disajikan dalam dialek Vlaams, bahasa sehari-hari yang
digunakan di Belgia utara. Namun, kemudian disajikan dalam bahasa Belanda standar.
Bagaimana dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia?
Komik memang bukanlah buku pelajaran sekolah yang menurut UU Kebahasaan (2009)
harus menggunakan variasi bahasa formal. Komik merupakan cerminan kehidupan sehari-hari.
423
Dengan demikian, variasi bahasa yang digunakan pun sebaiknya disesuaikan. Dalam situasi
formal digunakan variasi formal dan dalam situasi informal digunakan variasi informal.
Perhatikan dua contoh berikut (Gambar 2).
Contoh 1:
Contoh 2:
Gambar 2. Terjemahan Potongan Cerita Suske en Wiske: Het Machtige Monument
Pilihan kata nggak pada contoh 1 masih dirasa wajar. Kalimat yang dilontarkan
merupakan reaksi terkejut atas hilangnya atomium yang tidak ditujukan pada orang tertentu.
Dalam pada itu, contoh 2 merupakan percakapan dengan seorang raja. Pilihan kata nggak yang
disejajarkan dengan kata sapaan Anda terasa janggal. Bagaimana tanggapan para pembaca
terhadap penggunaan variasi formal dan informal dalam komik?
Para responden, baik anak-anak ataupun dewasa memilih variasi formal untuk situasi
formal. Semakin resmi situasinya dan semakin tinggi derajat mitra tutur, persentase pilihan
variasi formal yang dipilih oleh responden dewasa juga semakin tinggi, sementara persentase
pilihan responden anak tetap di angka 86%. Variasi formal dalam situasi informal masih
dijadikan pilihan. Demikian pula dengan responden dewasa. Hanya saja responden dewasa
yang memilih variasi formal untuk situasi informal persentasenya jauh lebih rendah, di bawah
50%. Perhatikan tabel 1 dan 2. Pilihan ini bisa jadi ditimbulkan karena bahasa tulis masih
diasosiasikan dengan variasi formal, seperti yang dinyatakan oleh Sneddon (2003).
424
Tabel 1. Sikap bahasa anak
Informal Formal Perdana menteri Raja
Berterim
a Tidak
Berterim
a Tidak
Berterim
a Tidak
Berterim
a
Tida
k
Informa
l 3% 86% 0% 81% 8% 81% 3% 97%
Formal 75% 3% 86% 0% 86% 6% 86% 0%
Asli 22% 11% 14% 19% 6% 14% 11% 3%
Tabel 2. Sikap bahasa mahasiswa
Informal Formal Perdana menteri Raja
Berterim
a Tidak
Berterim
a Tidak
Berterim
a Tidak
Berterim
a Tidak
Informa
l 7% 73% 0% 83% 0% 70% 0% 90%
Formal 43% 17% 90% 3% 93% 3% 97% 3%
Asli 50% 10% 10% 13% 7% 27% 3% 7%
Hasil menarik lainnya adalah sikap bahasa anak-anak terkait tempat pengambilan
sampel. Jumlah responden yang memilih variasi bahasa informal untuk situasi informal lebih
tinggi persentasenya ketika mereka diminta menjawab angket di rumah. Para responden yang
mengisi angket di sekolah, lebih memilih variasi formal untuk semua situasi. Hasil ini dapat
saja terjadi karena anak dipengaruhi latar tempat dalam memilih variasi bahasa, dan sekolah
diasosiasikan dengan variasi formal.
Tabel 3. Sikap bahasa anak
Anak di sekolah Anak di rumah
Berterima Tidak Berterima Tidak
Informal 0% 95% 6% 75%
Formal 95% 0% 50% 6%
Asli 5% 5% 44% 19%
Anak-anak usia 10-12 masih dalam proses pemerolehan kemahiran penggunaan variasi
bahasa yang berbeda, sehingga cenderung belum menguasai kemahiran ini sepenuhnya. Dalam
pada itu, para mahasiswa sudah lebih mahir. Kemahiran penggunaan variasi bahasa oleh anak
masih perlu diteliti lebih jauh lagi. Namun hasil angket yang menunjukkan adanya perbedaan
persentase pemilihan variasi pada berbagai konteks, mendukung simpulan teoretis bahwa
425
variasi bahasa yang digunakan dalam penerjemahan komik sebaiknya didasarkan pada situasi,
latar, penutur dan mitra tutur yang diilustrasikan dalam gambar.
5. Simpulan
Penerjemahan komik sebaiknya tidak hanya didasarkan pada elemen verbal saja, karena komik
merupakan sistem semiotis yang terdiri dari teks verbal dan gambar. Penerjemahan harus
dilakukan secara intersemiotis dengan mempertimbangkan kedua elemen itu, termasuk dalam
menentukan variasi bahasa yang digunakan dalam teks sasaran. Seorang penerjemah harus
dapat menentukan variasi bahasa digunakan dalam TSa berdasarkan peran sosial penutur dan
mitra yang tergambar dalam setiap panel untuk menghasilkan teks terjemahan yang sepadan.
Daftar Acuan
Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press.
Hatim, B. dan Mason, I. 1997. The Translator as Communicator. London/New York:
Routledge.
Kerrien, F. dan Auquier, J. Tanpa Tahun. De uitvinding van het Stripverhaal: Pedagogisch
Dossier. Brussel: Belgisch Stripcentrum. [diakses pada 29 Mei 2016 pada
https://www.stripmuseum.be/uploads/fichiers/pages/uitvinding-stripverhaal-web.pdf].
McCloud, S. 1993. Understanding Comics: The invisible Art. New York: Harper Collins &
Kitchen Sink Press.
Nida, E. A. dan Taber, C. R. 1974. The theory and practice of translation. Leiden: Brill.
Nuriah, Z. 2016. “Cultuurbotsingen bij het Vertalen van Stripverhalen”, dalam: Eliza
Gustinelly, Munif Yusuf, dan Kees Groeneboer K. (ed), 45 Jaar Studie Nederlands in
Indonesië (45 Tahun Studi Belanda di Indonesia), hlm. 339-359. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Sneddon, J.J. 2003. “Diglossia in Indonesian”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
159 (4): 519-549.
Torresi, I. 2007. “Advertising”, dalam: M. Baker dan G. Saldanha (ed.), Routledge
Encyclopedia of Translation Studies, hlm. 6-10. New York: Routledge.
Zanettin, F. 2008. “Comics in Translation Studies: An Overview and Suggestions for
Research”. [diakses pada 26 Mei 2016 pada https://comics_in_translation_studies-
Lisboa.pdf20130812-10706-1qffje0-libre-libre].