STRUCTURAL EQUATION MODELING (SEM) KEJADIAN ...digilib.unila.ac.id/60923/3/TESIS TANPA BAB...
Transcript of STRUCTURAL EQUATION MODELING (SEM) KEJADIAN ...digilib.unila.ac.id/60923/3/TESIS TANPA BAB...
STRUCTURAL EQUATION MODELING (SEM)
KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA ANAK BERDASARKAN
DETERMINAN SOSIAL DAN FAKTOR RISIKO
(Tesis)
Oleh
ARI ROSMALA DEWI
PROGRAM STUDI S2 MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
ABSTRAK
STRUCTURAL EQUATION MODELING (SEM)
KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA ANAK BERDASARKAN
DETERMINAN SOSIAL DAN FAKTOR RISIKO
Oleh
ARI ROSMALA DEWI
Tuberkulosis pada anak menjadi aspek yang terabaikan dari epidemi TBC
yang terjadi saat ini. Menurut WHO, diperkirakan 1 juta anak jatuh sakit dengan
TBC dan 233.000 anak meninggal karena TBC pada tahun 2017. Tuberkulosis
pada anak mencerminkan transmisi penularan TBC yang terus berlangsung
sehingga mengindikasikan kegagalan pengendalian TBC di masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan besaran pengaruh determinan sosial
dan faktor risiko kejadian TBC pada anak usia 0 – 14 tahun di Kota Bandar
Lampung.
Responden dari penelitian ini adalah 73 anak penderita TBC sebagai
kelompok kasus dan 73 anak tanpa menderita TBC sebagai kelompok kontrol.
Variabel penelitian terdiri dari variabel dependen yaitu kejadian TBC pada anak
dan variabel independen yaitu determinan sosial (pendidikan ibu, pekerjaan ibu
dan tingkat pendapatan keluarga), tingkat paparan kontak TBC dewasa dengan
anak (lama kontak serumah, intensitas paparan, kedekatan hubungan genetika),
ketahanan pangan (status gizi, keragaman pemberian pangan), sanitasi lingkungan
(kepadatan hunian rumah, luas ventilasi dan keberadaan sumber polusi udara
dalam rumah), dan pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan orangtua (status
imunisasi BCG, pengetahuan tentang penyakit TBC). Data dikumpulkan melalui
wawancara dan observasi kemudian dianalisis dengan Structural Equation
Modeling menggunakan perangkat lunak Lisrel 8.80.
Hasil penelitian menyatakan bahwa determinan sosial melalui variabel
faktor risiko secara signifikan mempengaruhi kejadian TBC pada anak di
Kota Bandar Lampung dengan nilai R2 sebesar 60 % . Variabel terkuat dari faktor
risiko terhadap kejadian TBC pada anak adalah variabel sanitasi lingkungan.
Berdasarkan hasil ini, untuk mencegah kejadian TBC pada anak harus diperkuat
pada intervensi peningkatan pendapatan keluarga sehingga dapat meningkatkan
kondisi sanitasi lingkungan yang baik.
Kata Kunci : Determinan sosial, faktor risiko, kejadian TBC pada anak, SEM
ABSTRACT
STRUCTURAL EQUATION MODELING (SEM)
TUBERCULOSIS EVIDENCE IN CHILDREN BASED
ON SOCIAL DETERMINANTS AND RISK FACTORS
By
ARI ROSMALA DEWI
Tuberculosis children has become an overlooked aspect of the current TB
epidemic. According to WHO, an estimated 1 million children fell ill with
tuberculosis and 233,000 children died from tuberculosis in 2017. Tuberculosis in
children reflects the ongoing transmission of TB transmission thus indicating
failure to control TB in the community. This study aims to determine the
magnitude of the influence of social determinants and risk factors for TB
incidence in children aged 0-14 years in Bandar Lampung City.
Respondents from this study were 73 children with TB as a case group and
73 children without suffering from TB as a control group. The research variables
consisted of the dependent variables namely the incidence of tuberculosis in
children and the independent variables namely social determinants (maternal
education, mother's occupation and the level of family income), the level of
exposure to adult and child TB contact (duration of household contact, intensity of
exposure, closeness of genetic relationships), resilience food (nutritional status,
diversity of food supply), environmental sanitation (residential density, ventilation
area and presence of air pollution sources in the house), and parental knowledge,
attitudes and health behaviors (BCG immunization status, knowledge of
tuberculosis). Data were collected through interviews and observations then
analyzed with Structural Equation Modeling using Lisrel 8.80 software.
The results of the study stated that social determinants through risk factors
significantly influence the incidence of tuberculosis in children in Bandar
Lampung City with an R2 of 60%. The strongest variable of the risk factors for
TB incidence in children is the environmental sanitation variable. Based on these
results, to prevent the incidence of tuberculosis in children must be strengthened
in interventions to increase family income so as to improve good environmental
sanitation conditions.
Keywords : Social determinants, risk factors, TBC incidence in children, SEM
STRUCTURAL EQUATION MODELING (SEM)
KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA ANAK BERDASARKAN
DETERMINAN SOSIAL DAN FAKTOR RISIKO
Oleh
ARI ROSMALA DEWI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER LINGKUNGAN
Pada
Program Studi S2 Pascasarjana Multidisiplin
Magister Ilmu Lingkungan
PROGRAM STUDI S2 MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sidomulyo pada tanggal 9 Desember 1982 sebagai anak
kelima dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Supardiono, S.Pd dan Ibu Sri
Mulyani. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 01 Budidaya pada tahun
1994. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP Budidaya
pada tahun 1997. Pendidikan Sekolah Menegah Atas diselesaikan di SMAN 01
Sidomulyo pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di Poltekes
Tanjungkarang jurusan D3 Kesehatan Lingkungan dan dinyatakan lulus pada
tahun 2003. Tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil dan
ditempatkan di Puskesmas Way Panji Kabupaten Lampung Selatan. Pada tahun
2006 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Kesehatan Mitra
Lampung Jurusan Epidemiologi, Universitas Mitra Lampung dan dinyatakan
lulus pada tahun 2008. Tahun 2017 penulis diterima di Fakultas Pascasarjana
Multidisiplin Program Studi S2 Ilmu Lingkungan, Universitas Lampung beasiswa
PPSDM Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Saat ini penulis tercatat
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Kesehatan Kota Metro.
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan karya ini kepada orang – orang yang
telah mendo’akan dan memberi dukungan baik moril
maupun material, terutama kepada ayahanda dan
ibunda tercinta, suamiku terkasih Andri Saputra, S.IP dan
putra - putriku tersayang Pratama Rakha Ramadhan,
Muhammad Abyan Saputra dan Aisha Almahyra Dewi
SANWACANA
Assalamu’alaikum.wr.wb.
Puji syukur senantiasa penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat
dan Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis dengan judul “Structural Equation Modeling (SEM) Kejadian Tuberkulosis
Pada Anak Berdasarkan Determinan Sosial dan Faktor Risiko” adalah salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Lingkungan (M.Ling) pada program
studi S2 Magister Ilmu Lingkungan di Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Karomani, M.Si., selaku Rektor Universitas Lampung atas
bimbingan dan ilmu yang diberikan selama proses penyelesaian tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Direktur Pascasarjana
Universitas Lampung atas bimbingan dan ilmu yang diberikan selama
proses penyelesaian tesis ini.
3. Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Lingkungan sekaligus Penguji Kedua atas arahan yang sangat bermanfaat
dan segala ilmu yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
4. Dr. Dyah Wulan S.R.W, S.K.M., M.Kes., selaku Pembimbing Utama atas
bimbingan, arahan dan saran yang sangat bermanfaat dan segala ilmu yang
telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
5. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, M.Kes., selaku Pembimbing Kedua atas
bimbingan, arahan dan saran yang sangat bermanfaat dan segala ilmu yang
telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
6. Dr. Ir. Sandi Asmara, M.Si., selaku Pembimbing Ketiga atas bimbingan,
arahan dan saran yang sangat bermanfaat dan segala ilmu yang telah
diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
7. Warsono, Ph.D., selaku Penguji Utama atas masukan dan saran yang telah
diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
8. drg. Erla Andriyanti, MARS, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Metro
beserta jajarannya atas izin, motivasi dan dukungan yang diberikan.
9. Ayahanda , ibunda, nenek, kakak-kakak Mas Eko, Mba Ita, Mas Tri dan
Mba Vera atas segala do’a, bantuan, perhatian dan motivasi yang begitu
besar untuk menyelesaikan tesis ini.
10. Suamiku Andri Saputra, S.IP dan anak-anakku tercinta Pratama Rakha
Ramadhan, Muhammad Abyan Saputra dan Aisha Almahyra Dewi atas
segala do’a, bantuan, motivasi, kesabaran dan pengorbanan waktu yang
begitu besar untuk menyelesaikan tesis ini.
11. Seluruh rekan-rekan Magister Ilmu Lingkungan angkatan 2017 semester
genap : Mba Marita, Mba Riri, Mba Ari, Retno, Jeng Echi, Bang Feri,
Bang Ronald dan Pak Parwanto atas kebersamaan dan motivasi untuk
menyelesaikan tesis ini.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam proses perkuliahan dari awal
hingga akhir yang tidak dapat ditulis satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada
penulis. Aamiin.
Bandar Lampung,
Penulis
Ari Rosmala Dewi
v
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 7
D. Kerangka Teori ............................................................................. 7
E. Hipotesis ....................................................................................... 8
F. Kerangka Konsep .......................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 11
A. Keadaan Umum Kota Bandar Lampung ....................................... 11
1. Profil wilayah Kota Bandar Lampung ..................................... 11
2. Topografi Kota Bandar Lampung ............................................ 12
3. Kondisi demografi ................................................................... 13
4. Kondisi perekonomian ............................................................. 14
5. Fasilitas Pelayanan Kesehatan ................................................. 14
B. Infeksi Tuberkulosis ..................................................................... 17
C. Infeksi Tuberkulosis Pada Anak ................................................... 21
D. Determinan sosial ......................................................................... 21
1. Pendidikan ............................................................................... 23
2. Pekerjaan .................................................................................. 24
3. Tingkat pendapatan ................................................................... 24
E. Faktor risiko TBC ......................................................................... 25
vi
1. Tingkat paparan kontak TBC dewasa dengan anak ................. 25
2. Ketahanan pangan .................................................................... 27
3. Sanitasi Lingkungan ................................................................. 31
4. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Kesehatan ............................ 36
F. Structural Equation Modelling (SEM) .......................................... 37
G. Hasil Penelitian Terdahulu ............................................................ 47
III. METODE PENELITIAN .................................................................... 51
A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 51
B. Rancangan Penelitian .................................................................... 51
C. Populasi dan Sampel ..................................................................... 51
D. Variabel Penelitian ....................................................................... 53
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 58
F. Pengolahan Data ........................................................................... 59
G. Analisis Data ................................................................................ 59
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 65
A. Gambaran Umum Kasus TBC Anak di Kota Bandar Lampung ... 65
B. Analisis Univariat ......................................................................... 66
1. Analisis univariat determinan sosial ........................................ 66
2. Analisis univariat tingkat paparan kontak TBC dewasa
dengan anak ............................................................................. 67
3. Analisis univariat ketahanan pangan ....................................... 68
4. Analisis univariat sanitasi lingkungan ..................................... 69
5. Analisis univariat pengetahuan, sikap dan perilaku
kesehatan orang tua ................................................................. 70
C. Analisis Bivariat ........................................................................... 71
1. Hubungan antara variabel determinan sosial dengan
tingkat paparan kontak TBC dewasa terhadap anak ................ 71
2. Hubungan antara variabel determinan sosial dengan
ketahanan pangan .................................................................... 74
vii
3. Hubungan antara variabel determinan sosial dengan
sanitasi lingkungan .................................................................. 76
4. Hubungan antara variabel determinan sosial dengan
pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan orang tua ............. 78
5. Hubungan antara variabel determinan sosial dengan
kejadian TBC pada anak ........................................................... 80
6. Hubungan antara variabel tingkat paparan kontak TBC
dewasa terhadap anak dengan kejadian TBC pada anak .......... 81
7. Hubungan antara variabel ketahanan pangan dengan
kejadian TBC pada anak ........................................................... 82
8. Hubungan antara variabel sanitasi lingkungan dengan
kejadian TBC pada anak ........................................................... 84
9. Hubungan antara variabel pengetahuan, sikap dan perilaku
kesehatan orang tua dengan kejadian TBC pada anak ............ 85
D. Analisis Multivariat dengan LISREL ........................................... 86
1. Uji Normalitas .......................................................................... 86
2. Identifikasi model ..................................................................... 88
3. Estimasi model ......................................................................... 88
4. Uji kecocokan model dan Respesifikasi ................................... 89
E. Pembahasan .................................................................................. 100
1. Pengaruh determinan sosial terhadap faktor risiko ( tingkat
paparan kontak TBC dewasa pada anak, ketahanan pangan,
sanitasi lingkungan dan pengetahuan, sikap perilaku
kesehatan orang tua ................................................................ 100
2. Pengaruh faktor risiko terhadap kejadian TBC pada anak. ..... 100
3. Pengaruh determinan sosial terhadap kejadian TBC pada
anak .......................................................................................... 109
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 113
A. Kesimpulan .................................................................................. 113
B. Saran ............................................................................................. 113
viii
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 115
LAMPIRAN
Lembar Penjelasan Penelitian ........................................................................... 122
Lembar Persetujuan setelah Penjelasan ............................................................ 125
Kuesioner .......................................................................................................... 126
Tabulasi Hasil Kuesioner .................................................................................. 129
Output Lisrel ...................................................................................................... 133
Ethical Approval ................................................................................................ 146
Perizinan Penelitian ........................................................................................... 147
Hasil Plagiarism Checker .................................................................................. 150
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Sistem skoring (Scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang TBC pada anak .................................................................... 19
2. Dosis OAT KDT TBC pada anak ......................................................... 21
3. Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks .......... 30
4. Variabel dan Definisi Operasional ......................................................... 54
5. Perbandingan Ukuran-ukuran GOF ........................................................ 63
6. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan, Pekerjaan dan
Tingkat Pendapatan Keluarga ................................................................. 67
7. Distribusi Responden Menurut Lamanya Kontak Serumah, Intensitas
Paparan dan Kedekatan Hubungan Genetik ............................................ 68
8. Distribusi Responden Menurut Status Gizi dan Keragaman Pemberian
Pangan .................................................................................................... 69
9. Distribusi Responden Menurut Kepadatan Hunian Rumah, Ventilasi
Rumah dan Sumber Polusi Udara Dalam Rumah ................................... 70
10. Distribusi Responden Menurut Status Imunisasi BCG dan Pengetahuan
Ibu tentang Penyakit TBC ...................................................................... 71
11. Hubungan Determinan Sosial dengan Tingkat Paparan Kontak TBC
Dewasa terhadap Anak ........................................................................... 73
12. Hubungan Determinan Sosial dengan Ketahanan Pangan ...................... 75
13. Hubungan Determinan Sosial dengan Sanitasi Lingkungan ................... 77
14. Hubungan Determinan Sosial dengan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Kesehatan Orang Tua .............................................................................. 79
15. Analisis Bivariat Determinan Sosial dan Kejadian TBC pada Anak ...... 80
x
16. Analisis Bivariat Tingkat Paparan Kontak TBC Dewasa terhadap Anak
dan Kejadian TBC pada Anak ................................................................. 82
17. Analisis Bivariat Ketahanan Pangan dan Kejadian TBC pada Anak ....... 83
18. Analisis Bivariat Sanitasi Lingkungan dan Kejadian TBC pada Anak .... 84
19. Analisis Bivariat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Kesehatan Orang Tua
dan Kejadian TBC pada Anak ................................................................. 86
20. Uji Normalitas Data ................................................................................. 87
21. Hasil Uji Kecocokan Model .................................................................... 93
22. Nilai-t dan Muatan Faktor Standar .......................................................... 95
23. Hasil Pengujian Hubungan Antar Variabel Laten ................................... 96
24. Nilai determinasi R2 ................................................................................ 98
25. Pengaruh Langsung, Tidak Langsung dan Total Tiap Variabel .............. 100
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka teori ....................................................................................... 8
2. Kerangka konsep .................................................................................... 10
3. Alur diagnosis TB Paru anak ................................................................. 20
4. Diagram Hasil Estimasi Model .............................................................. 89
5. Hasil Standarized Loading Factor ......................................................... 90
6. Hasil Estimasi Model Setelah Drop Out ................................................ 91
7. Hasil Estimasi Model Setelah Modifikasi .............................................. 92
8. Diagram Standardized Solution ............................................................. 94
9. Diagram t-values Model ......................................................................... 94
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC) masih merupakan masalah kesehatan baik di dunia
maupun di Indonesia. Indonesia saat ini merupakan negara ketiga dari dua puluh
dua High Burden Countries penyumbang kasus TBC di seluruh dunia dengan
insidensi kasus yang meningkat dari estimasi insiden di tahun 2013 sebesar
430.000 kasus baru per tahun menjadi 842.000 kasus baru per tahun di tahun
2017 (WHO, 2018).
Dampak TBC sebagai kedaruratan global telah ditetapkan oleh WHO sejak
tahun 1993. Tuberkulosis pada anak menjadi aspek yang terabaikan dari epidemi
TBC yang terjadi saat ini karena secara umum TBC pada populasi dewasa saja
yang dievaluasi. Global report TB WHO, memperkirakan 1 juta anak jatuh sakit
dengan TBC dan 233.000 anak meninggal karena TBC pada tahun 2017. Beban
aktual TBC pada anak-anak kemungkinan lebih tinggi mengingat tantangan
kesulitan dalam mendiagnosa TBC masa kanak-kanak. Anak-anak dapat terkena
penyakit TBC pada usia berapa pun tetapi paling umum, di negara endemis TBC
antara 1 – 4 tahun (WHO, 2018).
Di Indonesia proporsi kasus tuberkulosis anak secara keseluruhan pada
tahun 2017 mengalami peningkatan yaitu sebesar 8,5 % (52.929 anak)
dibandingkan tahun 2011 yang hanya sebesar 8,2 % (WHO, 2018). Hasil
Riskesdas tahun 2013 mencatat angka TBC dengan diagnosis pasti mencapai 0,2
2
% pada anak < 1 tahun, 0,4 % pada anak 1 – 4 tahun, dan 0,3 % pada anak usia 5
– 14 tahun (Kemenkes RI, 2014).
Anak yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis memiliki risiko yang
lebih besar untuk berkembang menjadi TBC aktif pada saat dewasa. Tuberkulosis
pada anak cenderung mengancam tumbuh kembang anak dibandingkan TBC
remaja maupun dewasa yang umumnya telah memiliki sistem imunitas yang lebih
baik. Anak yang terinfeksi akan menunjukkan peningkatan populasi kasus TBC
dengan proporsi yang luas pada dewasa di masa yang akan datang (Upe, 2015).
Pentingnya pengendalian TBC pada anak dikarenakan proporsi anak berusia
kurang dari 15 tahun rata-rata setiap negara sebesar 20-50 % dari jumlah seluruh
populasi. Tuberkulosis pada anak mencerminkan transmisi penularan TBC yang
terus berlangsung sehingga mengindikasikan kegagalan pengendalian TBC di
masyarakat (Kemenkes, 2016).
Direktur Departemen Stop TB WHO menekankan pada pentingnya
kebijakan dan intervensi determinan sosial dalam upaya menurunkan insiden
TBC. Pentingnya determinan sosial dalam kesehatan juga tertuang dalam Rio
Political Declaration on Social Determinant of Health pada tahun 2011
(Wardani, 2014). Determinan sosial secara langsung atau melalui faktor risiko
TBC berhubungan dengan kejadian TBC. Adanya perbedaan determinan sosial
menyebabkan sekelompok orang akan mempunyai faktor risiko TBC yang lebih
baik atau lebih buruk dibanding kelompok lain sehingga akan membuat
sekelompok orang menjadi lebih rentan atau lebih kebal terhadap TBC (Lönnroth,
2011). Determinan sosial mencakup: pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kelas
sosial, ras/ etnik dan gender (Solar & Irwin, 2010, Wardani, 2014).
3
Secara umum menurut Lönnroth (2011) faktor risiko TBC yang dimaksud
mencakup: akses ke pelayanan kesehatan, ketahanan pangan, kondisi rumah,
kebiasaan merokok dan minum alkohol serta penyakit penyerta seperti Human
Immunodeficiency Virus (HIV), malnutrisi, Diabetes Mellitus (DM). Faktor utama
risiko penularan TBC pada anak adalah kontak orang TBC dewasa yang memiliki
TBC dengan hasil pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) positif terhadap anak
terlebih apabila kontak secara intensif (Upe, 2015). Faktor risiko lain yang
mempengaruhi TBC pada anak mencakup sanitasi lingkungan (kepadatan hunian
rumah, buruknya keadaan ventilasi, sumber polusi dalam rumah), sistem
ketahanan pangan dengan sub sistem akses dan pemanfaatan pangan (status gizi,
keragaman pemberian pangan) serta pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan
(imunisasi BCG, pengetahuan tentang TBC) yang dapat meningkatkan risiko
kejadian TBC pada anak. Rendahnya sanitasi lingkungan, sistem imun yang
terganggu dan status gizi yang kurang pada anak dapat menurunkan pertahanan
paru sehingga memungkinkan M. tuberculosis masuk dan bermanifestasi.
Pemberian vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG) sebagai antibodi terbukti
mampu mencegah infeksi laten pada anak namun, keraguan mengenai seberapa
efektif vaksin BCG dapat memproteksi kejadian TBC pada anak masih
dipertanyakan (Upe, 2015).
Penyakit TBC merupakan hasil interaksi antara faktor host, agen dan
lingkungan. Agen penyebab penyakit TBC adalah kuman Mycobacterium
tuberculosis. Anak-anak merupakan faktor host yang rentan untuk tertular kuman
TBC dari penderita TBC dewasa sedangkan lingkungan merupakan hal yang tidak
dapat dipisahkan dalam setiap kegiatan manusia. Lingkungan, baik secara fisik,
4
biologis maupun sosial berperan dalam proses terjadinya gangguan kesehatan
seperti gangguan kesehatan karena penyakit TBC.
Wardani, 2018 dalam penelitian TBC pada populasi dewasa menyebutkan
bahwa terdapat hubungan antara determinan sosial dan faktor risiko terhadap
kejadian TBC. Survei yang dilakukan di Kota Bandar Lampung menunjukkan
bahwa faktor penentu sosial (pendidikan dan pendapatan per kapita), kondisi
perumahan (ventilasi dan indeks kepadatan rumah), dan ketahanan pangan rumah
tangga (anggaran makanan) terbukti memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kejadian TBC sedangkan akses pelayanan kesehatan tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kejadian TBC.
Penemuan kasus TBC tertinggi di Provinsi Lampung pada tahun 2018
adalah Kota Bandar Lampung. Data Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung
Tahun 2018, menyatakan ditemukannya 3.759 orang penderita TBC dengan
pasien BTA positif sebanyak 1.646 kasus. Banyaknya kasus TBC dengan BTA
positif yang cukup banyak mengindikasikan banyaknya sumber penular yang
cukup berbahaya terutama bagi anak-anak. Kasus TBC anak di Kota Bandar
Lampung yang tercatat pada tahun 2018 terdapat 337 kasus, yang mengalami
peningkatan dibandingkan tahun 2017 yang hanya sebesar 225 kasus TB anak.
Penemuan kasus TBC anak terbanyak di Kota Bandar Lampung terdapat di
Puskesmas Kedaton, Way Halim, Rajabasa Indah, Gedong Air dan Simpur
(Dinkes Bandar Lampung, 2018).
Secara statistik di tahun 2016 Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar
Lampung masih memiliki tiga terbesar penduduk miskin dan dikenal sebagai
provinsi yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia terendah di Pulau
5
Sumatera (BPS, 2018). Determinan sosial tersebut berkorelasi langsung dengan
faktor-faktor penentu sosial dan faktor risiko TBC.
Determinan sosial dan faktor risiko TBC merupakan suatu variabel laten
yang tidak dapat diukur secara langsung, tetapi harus diukur melalui indikatornya.
Di sisi lain penggunaan variabel laten dalam regresi berganda biasa akan
menyebabkan kesalahan pengukuran parameter. Determinan sosial dan faktor
risiko TBC secara simultan, tidak secara sendiri-sendiri, mempengaruhi kejadian
TBC, sehingga tidak memungkinkan dianalisis dengan regresi berganda biasa.
Pada saat ini telah berkembang pesat model analisis statistik Structural
Equation Modelling (SEM) yang merupakan salah satu pemodelan statistika
multivariate untuk mempelajari model hubungan antar variabel tidak bebas
(dependent variables) dan variabel bebas (independent variables), baik yang
teramati (observed variables) maupun yang tidak teramati (unobserved variabel)
secara simultan. Model analisis statistik ini mengkaji struktur hubungan dalam
susunan sederetan persamaan regresi berganda yang tak terpisahkan tetapi saling
berkaitan. Persamaan tersebut menggambarkan seluruh hubungan antar konsep
konstruk-konstruk (constructs) yang dapat didefinisikan secara konseptual atau
teoritis tetapi tidak dapat diamati atau diukur secara langsung (latent consepts).
Meskipun konstruk tidak dapat diamati secara langsung, tetapi harus dapat
diukur dengan pendekatan variabel-variabel indikatornya yang dapat diamati atau
seperti suatu faktor dalam analisis faktor. Oleh karena itu, SEM dikenal sebagai
perpaduan antara analisis regresi berganda dan analisis faktor secara terintegrasi.
Dalam penelitian ini, SEM digunakan untuk mengukur determinan sosial dan
6
faktor risiko TBC pada anak sebagai variabel laten yang tidak dapat diukur secara
langsung.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah TBC pada anak masih
merupakan masalah global yang terabaikan dibandingkan TBC pada dewasa. Hal
ini akibat TBC anak masih sulit untuk didiagnosis. Determinan sosial dan
beberapa faktor risiko lain diduga mempengaruhi sekaligus mencegah anak agar
tidak sakit TBC.
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh
determinan sosial (tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendapatan
keluarga) terhadap kejadian TBC pada anak secara langsung ataupun tidak
langsung melalui faktor risiko tingkat paparan kontak TBC dewasa terhadap anak
(kontak serumah, intensitas paparan, kedekatan hubungan genetik), sanitasi
lingkungan (kepadatan hunian rumah, luas ventilasi rumah dan sumber polusi
dalam rumah), ketahanan pangan (status gizi dan keragaman pemberian pangan
pada anak), serta pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan orang tua (imunisasi
BCG dan pengetahuan tentang penyakit TBC) agar dapat dikembangkan sebagai
upaya pengendalian faktor risiko tersebut.
Untuk mewakili gambaran terjadinya kasus TBC pada anak di Kota Bandar
Lampung, penelitian akan dilakukan di puskesmas dengan penemuan kasus TBC
pada anak terbanyak di Kota Bandar Lampung. Dari 30 puskesmas yang ada
dipilih 5 puskesmas dengan penemuan kasus TBC pada anak terbanyak yaitu
Puskesmas Kedaton, Way Halim, Rajabasa Indah, Gedong Air dan Simpur.
7
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menetapkan pengaruh
determinan sosial dan faktor risiko penyebab TBC pada anak usia 0 – 14 tahun di
Puskesmas Kedaton, Way Halim, Rajabasa Indah, Gedong Air dan Simpur Kota
Bandar Lampung.
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :
1. Menetapkan gambaran besarnya determinan sosial, faktor risiko (tingkat
paparan kontak TBC dewasa terhadap anak, ketahanan pangan, sanitasi
lingkungan serta pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan orang tua) dan
kejadian TBC pada anak usia 0 - 14 tahun di Puskesmas Kedaton, Way
Halim, Rajabasa Indah, Gedong Air dan Simpur Kota Bandar Lampung.
2. Menetapkan besarnya pengaruh determinan sosial secara langsung ataupun
tidak langsung melalui faktor risiko tingkat paparan kontak TBC dewasa pada
anak, ketahanan pangan pada anak, sanitasi lingkungan dan pengetahuan,
sikap dan perilaku kesehatan orang tua pada anak terhadap kejadian TBC
anak usia 0 – 14 tahun di Puskesmas Kedaton, Way Halim, Rajabasa Indah,
Gedong Air dan Simpur Kota Bandar Lampung.
D. Kerangka Teori
Dengan menggunakan model pendekatan epidemiologi TBC dari Lönnroth
(2011) dan Wardani (2014) disusunlah kerangka teori penelitian untuk
memperjelas hubungan antara variabel sebagaimana yang tertera pada Gambar 1.
Keterpaparan kontak TBC dewasa terhadap anak menjadi prasyarat terjadinya
infeksi pada anak. Perkembangan selanjutnya dari infeksi menjadi sakit TBC
dipengaruhi oleh sosial ekonomi keluarga dan beberapa faktor yang berhubungan
8
dengan ketahanan pangan, sanitasi lingkungan yang buruk, pengetahuan, sikap
dan perilaku kesehatan serta akses pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi perkembangan penyakit menjadi bentuk yang lebih berat atau
bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Gambar 1. Kerangka teori
E. Hipotesis
Hipotesis dimaksud sebagai suatu kesimpulan sementara terhadap
permasalahan yang akan diuji dan dibuktikan kebenarannya dalam suatu
penelitian. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah :
H1 = Terdapat pengaruh antara determinan sosial terhadap tingkat paparan kontak
TBC dewasa pada anak
H2 = Terdapat pengaruh antara determinan sosial dengan ketahanan pangan pada
anak
H3 = Terdapat pengaruh antara determinan sosial dengan sanitasi lingkungan
Akses
pelayanan
kesehatan
Ketahanan
pangan
Sanitasi
Lingkungan
Pengetahuan,
sikap dan
perilaku
kesehatan
Determinan Sosial
Keterpaparan
kontak TBC
dewasa
dengan anak
Kejadian TBC
pada anak
9
H4 = Terdapat pengaruh antara determinan sosial dengan pengetahuan, sikap dan
perilaku kesehatan orang tua
H5 = Terdapat pengaruh antara determinan sosial terhadap kejadian TBC pada
anak
H6 = Terdapat pengaruh antara tingkat paparan kontak TBC dewasa pada anak
terhadap kejadian TBC pada anak
H7 = Terdapat pengaruh antara ketahanan pangan pada anak terhadap kejadian
TBC pada anak
H8 = Terdapat pengaruh antara sanitasi lingkungan terhadap kejadian TBC pada
anak
H9 = Terdapat pengaruh antara pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan orang
tua terhadap kejadian TBC pada anak
F. Kerangka Konsep
Kejadian TBC pada anak berdasarkan referensi yang ada dipengaruhi oleh
beberapa variabel yakni determinan sosial (tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
tingkat pendapatan), tingkat paparan kontak TBC dewasa dengan anak (kontak
serumah, intensitas paparan,kedekatan hubungan genetik), sanitasi lingkungan
(kepadatan hunian, keadaan ventilasi rumah, sumber polusi udara dalam rumah),
ketahanan pangan pada anak (status gizi anak, keragaman pemberian pangan), dan
pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan (pengetahuan tentang TBC, imunisasi
BCG). Untuk variabel akses pelayanan kesehatan dalam penelitian ini tidak diteliti
karena berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wardani (2018),
akses pelayanan kesehatan terbukti tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
kejadian penyakit TBC.
10
Penelitian akan dianalisis berdasarkan hasil elaborasi kerangka teori yang
dikaji sehingga diperoleh kerangka konsep seperti tertera pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka konsep penelitian
Keterangan :
X1 : Pendidikan ibu Y7 : Luas ventilasi rumah
X2 : Pekerjaan ibu Y8 : Sumber polusi udara
X3 : Tingkat pendapatan orang tua dalam rumah
Y1 : kontak serumah Y9 : Imunisasi BCG
Y2 : Intensitas paparan Y10 : Pengetahuan tentang
Y3 : kedekatan hubungan genetik penyakit TBC
Y4 : Status gizi anak Y11 : Status TBC pada anak
Y5 : Keragaman pemberian pangan
Y6 : Kepadatan hunian rumah
Ketahanan
pangan
Sanitasi
lingkungan
Determinan
sosial
Tingkat Paparan
Kontak TBC
dewasa dengan anak
Status
TBC
pada anak
X1
X2
X3
Y10
Y11
Y4
Y6 Y7 Y8
Y9
Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku
Kesehatan
Y1 Y2 Y3
Y5
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Keadaan Umum Kota Bandar Lampung
1. Profil wilayah Kota Bandar Lampung
Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Selain pusat
kegiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan, kota ini juga
merupakan pusat kegiatan perekonomian daerah Lampung. Kota Bandar Lampung
terletak di wilayah yang strategis karena merupakan daerah transit kegiatan
perekonomian antar Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, sehingga menguntungkan
bagi pertumbuhan dan pengembangan Kota Bandar Lampung sebagai pusat
perdagangan, industri dan pariwisata.
Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada 5º20’ sampai dengan
5º30’ lintang selatan dan 105º28’ sampai dengan 105º37’ bujur timur. Ibukota
provinsi Lampung ini berada di Teluk Lampung yang terletak di ujung selatan
Pulau Sumatera. Kota Bandar Lampung memiliki luas wilayah 197,22 km² yang
terdiri dari 20 kecamatan dan 126 kelurahan dengan luas wilayah 197,22 Km2
..
Secara administratif Kota Bandar Lampung dibatasi oleh:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung.
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gedung Tataan dan Padang
Cermin Kabupaten Pesawaran.
12
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten
Lampung Selatan.
2. Topografi Kota Bandar Lampung
Topografi Kota Bandar Lampung sangatlah beragam mulai dari dataran
pantai sampai kawasan perbukitan hingga bergunung, dengan ketinggian
permukaan antara 0 sampai 700 m dpl. Topografi tiap-tiap wilayah di Kota
Bandar Lampung adalah sebagai berikut:
a. Wilayah pantai terdapat di sekitar Teluk Betung dan Panjang dan Pulau di
bagian selatan
b. Wilayah landai/dataran terdapat di sekitar Kedaton dan Sukarame di bagian
Utara
c. Wilayah perbukitan terdapat di sekitar Teluk Betung bagian utara, barat, dan
timur
d. Wilayah dataran tinggi dan sedikit bergunung terdapat di sekitar Tanjung
Karang bagian barat yaitu wilayah Gunung Betung, dan Gunung Dibalau
serta perbukitan Batu Serampok di bagian Timur.
3. Kondisi demografi
Penduduk Kota Bandar Lampung terdiri dari berbagai suku bangsa
heterogen. Pada tahun 2017 kota ini memiliki populasi penduduk sebanyak
1.015.910 jiwa (sensus 2016), meningkat dari tahun 2016 sebanyak 997.728 jiwa
dengan luas wilayah sekitar 197,22 km2, dengan kepadatan penduduk 5.151
jiwa/km². Penyebaran penduduk Kota Bandar Lampung pada tahun 2013 paling
13
banyak terkonsentrasi di Kecamatan Kemiling sebanyak 77.098 jiwa. Penduduk
paling sedikit berada di Kecamatan Sukabumi, sebanyak 29.140 jiwa (BPS, 2017).
Islam adalah agama mayoritas yang dianut sekitar 92,63 % masyarakat Kota
Bandar Lampung, sisanya 3.55%, Katolik 1.59%, Hindu 0.35%, Buddha 1.48%,
dan Kong Hu Cu 0.04% yang rata-rata dianut masyarakat keturunan Tionghoa dan
pendatang. Mayoritas penduduk kota Bandar Lampung berasal dari etnis Jawa
(79,12%). Etnis berikutnya yang cukup mudah ditemui di kota Bandar Lampung
yaitu etnis Sunda (10,72%) Lampung dan Bali (2,42%). Orang Jawa di Bandar
Lampung tersebar di hampir semua kawasan kota dan umumnya telah membaur
dengan orang dari etnis lain, sedangkan orang Bali lebih mengelompok dengan
mendiami beberapa kantong pemukiman Bali di Bandar Lampung serta terdapat
pula etnis Tionghoa, Padang, Palembang, Bugis, Batak dan lain-lain.
4. Kondisi perekonomian
Struktur perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari besarnya sumbangan
masing-masing lapangan usaha terhadap Distribusi Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan. Penerimaan sumbangan dari tiap
lapangan usaha di Kota Bandar lampung pada tahun 2017 paling tinggi disokong
oleh jasa informasi dan komunikasi (10,31%), jasa konstruksi (9,16%) dan real
estate (8,23%). Total PDRB untuk Kota Bandar Lampung atas dasar harga
konstan dari tiap lapangan usaha sebesar 6,28 % (BPS Kota Bandar Lampung,
2018).
14
5. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Kota Bandar Lampung sebagai pusat Ibukota Provinsi Lampung merupakan
daerah rujukan dalam mencari pelayanan kesehatan. Di Kota Bandar Lampung
terdapat 30 puskesmas, 14 rumah sakit, 5 klinik dan 1 DPS yang terdaftar dalam
Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) yang melaporkan kasus TBC di
Kota Bandar Lampung.
B. Infeksi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman M. tuberculosis yang bersifat basil tahan asam. Sebagian besar kuman
TBC menyerang paru – paru dan dapat menginfeksi organ – organ lain dalam
tubuh manusia seperti kelenjar limfe, pleura, ginjal, tulang dan sendi, laring,
telinga bagian tengah, kulit, usus, peritoneum dari organ lainnya dalam tubuh
manusia (Kemenkes, 2016).
Penyebab terjadinya penyakit TBC adalah basil tuberkulosis yang termasuk
dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan
termasuk dalam ordo Actinomycetalis. M. Tuberculosis. Mycobacterium
tuberkulosis tidak membentuk spora, basilusnya tidak bergerak, berukuran sekitar
0,4 x 4,0 μm, dinding selnya mengandung banyak lipid (menyusun 25 – 60 %
berat kering organisme). Basil tuberkel tumbuh hanya pada suhu 35 – 370
C dan
tumbuh sangat lambat, waktu gandanya adalah 12 – 20 jam, bila dibandingkan
dengan kebanyakan bakteri patogen lain yang kurang dari 1 jam (Kemenkes,
2014).
Kuman TBC berbentuk batang dan bersifat basil tahan asam, akan cepat
mati bila terkena sinar matahari langsung tetapi dapat hidup beberapa jam di
15
tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat bersifat
dormant atau tertidur selama beberapa tahun (RSPI-SS, 2007). Bakteri penyebab
penyakit TBC ini merupakan bakteri aerob obligat, yang berkembang biak lebih
baik pada jaringan pulmonary (terutama dibagian apeks, dimana konsentrasi
oksigen lebih tinggi) dibanding organ lain yang lebih dalam. (Varaine, dkk,
2010).
Infeksi kuman TBC dimulai pada proses masuknya basil tuberkel dari
droplet yang berada di udara melalui pernafasan. Risiko infeksi sangat bergantung
pada probabilitas, durasi dan kondisi seseorang. Determinan sosial , prevalensi
TBC di komunitas dan umur menentukan paparan yang terjadi. Kemiskinan ,
kondisi rumah yang tidak memadai, lingkungan perkotaan dan kepadatan
penduduk berkaitan dengan meningkatnya risiko penularan TBC (Kemenkes,
2014).
Menurut Kemenkes RI (2014) dalam buku pedoman nasional pengendalian
TBC, perjalanan alamiah TBC pada manusia melalui empat tahapan yaitu :
1) Paparan
Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
- Jumlah kasus menular di masyarakat.
- Peluang kontak dengan kasus menular.
- Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
- Intensitas batuk sumber penularan.
- Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
- Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.
16
2) Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah infeksi.
Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi
tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung dari daya
tahun tubuh manusia. Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening
dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi.
3) Menderita sakit
Tahapan seseorang untuk menderita sakit tergantung terhadap faktor risiko
untuk menderita sakit, yaitu :
- Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup
- Lamanya waktu sejak terinfeksi
- Usia seseorang yang terinfeksi
- Tingkat daya tahan tubuh, seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah
diantaranya infeksi HIV-AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TBC Aktif (sakit TBC).
- Infeksi HIV, pada seseorang yang terinfeksi TBC, 10% diantaranya akan
menjadi sakit TBC. Namun pada seorang dengan HIV positif akan
meningkatkan kejadian TBC. Orang dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk
sakit TBC dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV, dengan
demikian penularan TBC di masyarakat akan meningkat pula.
4) Meninggal dunia
Faktor risiko kematian karena TBC :
- Akibat dari keterlambatan diagnosis
- Pengobatan tidak adekuat.
17
- Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta.
- Pada pasien TBC tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan meninggal dan
risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif. Orang Dengan HIV-
AIDS (ODHA), 25% kematiannya disebabkan karena TBC.
C. Infeksi Tuberkulosis Pada Anak
Anak dikatakan terinfeksi M. tuberculosis, jika hasil uji tuberkulinnya
positif. Penyakit TBC terjadi ketika manifestasi klinis tuberkulosis jelas, baik
berdasarkan tanda-tanda dan gejala klinis atau hasil rontgen dada (Upe, 2015).
Seperti pada orang dewasa, infeksi M. Tuberkulosis pada anak dimulai pada
proses masuknya basil tuberkel dari droplet yang berada di udara melalui saluran
pernafasan anak yang ditularkan oleh penderita TBC dewasa. Perkembangan
infeksi penyakit TBC pada anak menjadi aktif dipengaruhi juga oleh faktor umur,
nutrisi, vaksinasi serta status imunitas. Anak-anak memiliki risiko perkembangan
untuk menjadi penyakit aktif setelah penularan dibandingkan dewasa. Risiko
infeksi paling tinggi terjadi pada bayi dan anak dibawah dua tahun. Risiko
penyakit paling tinggi terjadi pada usia menjelang akhir remaja dengan risiko
terendah antara 5-10 tahun. Kebanyakan penyakit terjadi diikuti oleh infeksi di
tahun pertama. Penyakit pada anak disebabkan oleh infeksi saat ini, dibanding
akibat penyakit aktif untuk kedua kalinya (Kemenkes, 2016).
Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk terus
menerus, berat badan menurun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu daan
tidak aktif. Gejala TB yang bersifat khas, yaitu batuk menetap (lebih dari 2
minggu) walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat. (Kemenkes RI, 2016).
18
Perkembangan penyakit TBC pada anak terjadi lebih awal dibanding orang
dewasa. Anak berisiko lebih besar terkena penyakit ekstra paru. Dua manifestasi
parah yang dapat dialami adalah TBC milier dan TBC meningitis, yang secara
signifikan lebih sering terjadi pada anak-anak. TBC milier merupakan komplikasi
awal dari infeksi primer setelah penyebaran ke sel darah serta menyebar ke dua
atau lebih organ lainnya. Studi tentang anak yang terkena TBC di Houston, Texas,
Amerika Serikat tahun 2007 – 2017 menemukan bahwa penyakit TBC
berkembang pada 40-50 % pada anak-anak yang baru terinfeksi < 1 tahun dan 25
% pada usia 1-2 tahun sedangkan TBC milier dan TBC meningitis berkembang
pada 25 % anak-anak dengan penyakit TBC < 1 tahun dan 20 % pada usia 1-2
tahun. Tingkat perkembangan penyakit TBC secara bertahap menurun pada usia
antara 3-5 tahun (Crutz et.al, 2019). Tuberkulosis meningitis pada anak dapat
menyebabkan komplikasi pada sistem neurologis seperti kebutaan, tuli, kalsifikasi
intrakranial, diabetes insipidus dan keterbelakangan mental.
Tuberkulosis pada anak sulit untuk didiagnosis karena anak jarang dapat
mengeluarkan dahak sehingga hanya sedikit anak dapat didiagnosis dengan BTA
positif. Untuk menghadapi kesulitan pada saat diagnosa TBC pada anak, maka
dibuatlah suatu sistem diagnosa berupa skoring yaitu pembobotan terhadap gejala
atau tanda klinis yang dijumpai seperti tertera dalam Tabel 1 (Kemenkes RI,
2016). Pembobotan tertinggi ada pada uji tuberkulin dan adanya riwayat kontak
dengan penderita TBC dewasa dengan BTA positif. Parameter kedua adalah
penurunan berat badan dalam dua bulan berturut-turut. Umumnya, penderita TBC
anak mempunyai berat badan dibawah garis merah atau bahkan gizi buruk.
Parameter selanjutnya adalah demam yang merupakan tanda umum adanya infeksi
19
yaitu demam lama ( ≥ 2 minggu) yang tidak diketahui penyebabnya, atau bukan
suatu demam akibat demam tifoid dan bukan akibat malaria. Parameter keempat
adalah batuk yang lebih dari 3 minggu (batuk kronik).
Pembesaran kelenjar limfe di daerah leher, aksuila atau inguinal dapat
menjadi tanda adanya TB anak. Terlebih jika pembesaran tersebut sudah berubah
menjadi skrofulodulerma (ditandai oleh massa yang padat, sinus yang
mengeluarkan cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi, dan tidak beraturan, serta
sikratiks) yang merupakan tanda spesifiks dari TBC.
Tabel 1. Sistem skoring (Scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TBC
pada anak.
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak jelas - Laporan
keluarga
BTA (-)/
BTA tidak
jelas/tidak
tahu
BTA (+)
Uji tuberkulin
(Mantoux)
Negatif - - Positif (≥ 10
mm atau ≥ 5
mm
imunokompre
mais
Berat
badan/keadaan
gizi
- BB/TB < 90%
atau BB/U <
80%
Klinis gizi
buruk atau
BB/TB
<70% atau
BB/U<60%
-
Demam yang
tidak diketahui
- ≥ 2 minggu - -
Batuk kronik - ≥ 2 minggu - -
Pembesaran
kelenjar limfe
kolli, aksila,
inguinal
- ≥1 cm, lebih
dari 1 KGB,
tidak nyeri
- -
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut
- Ada
pembengkakan
- -
Foto toraks Normal/
Kelainan
tidak jelas
Gambaran
sugestif
/mendukung TB
- -
Total Skor
Sumber : Permenkes RI, 2016
20
Alur penegakan diagnosis TBC pada anak (Gambar 3) berdasarkan petunjuk
teknis manajemen dan tatalaksana TBC anak (2016) terdiri pada 4 hal , yaitu :
1. Konfirmasi bakteriologis TBC
2. Gejala klinis yang khas
3. Adanya bukti infeksi TBC (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan
pasien TBC)
4. Gambaran foto toraks sugestif TBC.
Gambar 3. Alur diagnosa TBC pada anak
Sumber : Permenkes RI, 2016
21
Panduan pengobatan TBC pada anak menggunakan paduan Isoniazid,
Rifampisin dan Pirazinamid pada fase insentif (2 bulan pertama) diikuti
Rifampisin dan Isoniazid pada 4 bulan fase lanjutan. Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) anak diberikan setiap hari dan untuk mempermudah pemberian, OAT
diformulasikan dalam bentuk paket Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fixed Dose
Combination (FDC) sesuai dengan berat badan anak yang menderita TBC seperti
tertera dalam Tabel 2. Satu paket diberikan untuk satu pasien untuk satu masa
pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif yaitu Rifampisin (R)
75 mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta fase lanjutan, yaitu R
75 mg dan H 50 mg dalam satu paket.
Tabel 2. Dosis OAT KDT pada TBC anak
Sumber : Kemenkes RI, 2016
D. Determinan sosial
Determinan sosial adalah gabungan kondisi sosial, ekonomi, politik,
budaya dan lingkungan, yang menyebabkan stratifikasi dalam masyarakat.
Indikator yang digunakan untuk mengukur determinan sosial pada penelitian ini
adalah: pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan kelas sosial (Solar & Irwin, 2010).
Lebih dari 95 % kasus yang terjadi pada negara berkembang berasal dari
keluarga miskin. Pada negara-negara industri, TBC biasanya menjangkit
Berat badan
(Kg)
Fase intensif (2 bulan)
RHZ (75/50/150)
Fase lanjutan (4 bulan)
RH (75/50)
5 – 7 1 tablet 1 tablet
8 – 11 2 tablet 2 tablet
12 – 16 3 tablet 3 tablet
17 – 22 4 tablet 4 tablet
23 – 30 5 tablet 5 tablet
˃ 30 OAT dewasa
22
kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan (Varaine, dkk, 2010). WHO juga
menyebutkan bahwa 90 % penderita TBC di dunia menyerang kelompok sosial
ekonomi lengah atau miskin.
Hubungan antara kemiskinan dan tuberkulosis bersifat timbal balik.
Tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia
rentan terkena TBC (WHO, 2003). Crofton (2002) dalam bukunya yang berjudul
tuberkulosis klinis, mengemukakan bahwa morbiditas TBC lebih tinggi pada
penduduk miskin dan daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan.
Kondisi sosial ekonomi tidak hanya berhubungan langsung dengan penyakit
TBC, namun juga dapat sebagai penyebab tidak langsung seperti terbatasnya
akses terhadap daya beli pangan. Kemiskinan juga mengarah pada perumahan
yang terlampau padat atau kondisi kerja yang buruk. Keadaan ini dapat
menurunkan daya tahan tubuh yang dapat berakibat pada mudahnya seseorang
terjangkit infeksi.
Pada negara-negara di Eropa, insiden dan kematian akibat TBC berhasil
diturunkan 5 – 6 % pertahun semenjak 1850. Kemajuan ini diperoleh sebelum
adanya vaksinasi dan antibiotik, berkat adanya perkembangan dalam sosio
ekonomi seperti peningkatan kondisi hidup, dan status nutrisi dari masyarakat
(Varaine, dkk 2010) yang membuktikan adanya pengaruh bidang sosio ekonomi
terhadap penurunan insiden dan kematian akibat TBC. Penurunan angka kesakitan
TBC biasanya disebabkan oleh adanya perbaikan gizi penduduk sebagai dampak
tidak langsung dari perbaikan sosio ekonomi seseorang.
Status ekonomi seseorang dapat ditentukan dengan 2 cara utama, yaitu
secara langsung (dikumpulkan data tentang penghasilan dan kekayaan yang
23
dimiliki seseorang) dan tidak langsung (dikumpulkan dari berbagai macam data,
misalnya pekerjaan, pendidikan, keadaan tempat tinggal, jenis alat rumah tangga
yang dimiliki atau luas tanah yang dimiliki) (BPS, 2018).
1. Pendidikan
Posisi strata sosial seseorang di masyarakat secara relatif dari tingkat
pendidikan, dimana seseorang akan mendapatkan pekerjaan dan pendapatan serta
kehidupan yang layak. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor sosial
kejadian suatu penyakit. Pada orang tua, tingkat pendidikan bukan hanya memiliki
dampak terhadap penyakit, namun juga terhadap seluruh outcome yang terjadi
seperti status ekonomi keluarga.
Tingkat pendidikan orang tua , khususnya pada masa anak balita
memperparah infeksi M. tuberculosis ke anak. Infeksi yang progresif sehingga
menjadi sakit TBC ditunjukkan pada proporsi yang lebih besar terhadap tingkat
pendidikan ibu yang rendah di samping adanya kontak dengan penderita TBC
yang terdiagnosis secara klinis (Upe, 2015).
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 47 tahun 2008 indikator
pendidikan dikategorikan menurut pelaksanaan program Wajib Belajar (WAJAR)
sembilan tahun yang telah dicanangkan . Artinya untuk melewati target program
tersebut maka rata-rata lama sekolah harus sudah mencapai 9 tahun atau lebih
melalui pendidikan formal (SD, MI, SMP, MTS dan bentuk lain yang sederajat)
ataupun pendidikan nonformal melalui program paket A (setara SD) dan program
paket B (setara SMP).
Pada tahun 2018 masih terdapat sekitar 0,14 persen penduduk Lampung
usia 7-12 tahun yang belum mengenyam pendidikan atau tidak bersekolah. Untuk
24
kelompok usia 13-15 tahun, masih terdapat sekitar 5,00 persen penduduk yang
belum mengenyam pendidikan di tingkat SMP. Sedangkan pada kelompok usia
16-18 tahun, masih terdapat sekitar 29,17 persen penduduk yang belum
mengenyam pendidikan di tingkat SMA.
2. Pekerjaan
Pekerjaan orang tua mempengaruhi kejadian penyakit TBC pada anak.
Jenis pekerjaan juga merupakan hal yang penting. Pekerjaan yang baik, pasti akan
menghasikan upah yang tinggi. Seseorang yang memiliki perekonomian yang
baik, akan memiliki daya beli yang tinggi terhadap pangan sehingga gizi
dikeluargapun akan terpenuhi. Gizi yang baik akan meningkatkan daya tahan
tubuh dan akan terhindar dari penyakit TBC.
Indikator bekerja dikategorikan menjadi tidak bekerja, bekerja tidak tetap
dan bekerja tetap. Dikategorikan sebagai bekerja tidak tetap atau tetap
berdasarkan rutinitias penerimaan pendapatan setiap bulan. (BPS, 2018).
3. Tingkat pendapatan
Pendapatan adalah hasil dari pekerjaan, pendapatan akan mempengaruhi
gaya hidup seseorang. Pendapatan erat kaitannya dengan kemiskinan, masyarakat
yang mempunyai pendapatan rendah biasanya mempunyai tingkat ekonomi yang
rendah pula. Pendapatan yang rendah akan mempengaruhi seseorang dalam
menjaga kesehatannya, karena pendapatan yang rendah berpengaruh pada
pendidikan, pengetahuan, daya beli pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi,
pengobatan dan kondisi tempat tinggal. Hal ini sejalan dengan pendapat dari
Haryanto (2011) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Ekonomi yang
25
menyatakan bahwa ekonomi mempunyai kaitan erat dengan kejadian TBC, telah
diketahui bahwa pada umumnya angka kejadian TBC meningkat pada status
sosial ekonomi rendah (Noer, 2008).
Tingkat pendapatan lazim digunakan untuk menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat secara umum. Menurut BPS dalam indikator makro
ekonomi regional provinsi Lampung tahun 2016 pendapatan masyarakat
Lampung mencapai Rp. 34, 26 juta sementara untuk Pulau Sumatera mencapai
Rp. 49,7 juta. Capaian 5 kabupaten/kota relatif lebih tinggi di Provinsi Lampung
yaitu Kota Bandar Lampung , Kabupaten Lampung Tengah, Tulang Bawang,
Mesuji dan Lampung Selatan yakni di kisaran Rp. 41 – 45 juta.
E. Faktor risiko TBC
1. Tingkat paparan kontak TBC dewasa dengan anak
Kedekatan dan kontak yang terus menerus merupakan penyebab utama dan
risiko transmisi infeksi tersebut dan orang-orang yang tinggal dengan serumah
dengan penderita mempunyai resiko lebih tinggi dari orang dengan kontak biasa.
Percikan dahak penderita merupakan media sumber penularan yang penting.
Bakteri penyebab TB paru dapat menyebar ke udara pada saat penderita berbicara,
batuk atau bersin sehingga orang yang berada disekitar penderita dapat tertular
karena mengirup udara yang mengandung basil tuberkulosis. Oleh karenanya
penderita harus menutup mulut bila batuk atau bersin, jangan membuang dahak di
sembarangan tempat.
26
1.1 Kontak serumah
Tingginya prevalensi TBC pada anak sebagian besar terjadi pada anak yang
pernah mengalami kontak atau tinggal bersama dengan penderita TBC dewasa.
Penderita TBC yang menularkan kuman M. tuberculosis adalah penderita dengan
hasil pemeriksaan sputum dahaknya BTA positif. Sputum BTA positif rata-rata
hanya terjadi pada kasus TBC dewasa. Meskipun anak-anak mudah terinfeksi dari
orang dewasa disekitarnya, penderita TBC anak justru jarang menularkan kuman
TBC pada orang lain atau orang dewasa disekitarnya (Kemenkes, 2014).
Kontak serumah adalah orang yang saat ini tinggal bersama ataupun pernah
tinggal bersama selama satu malam atau lebih pada satu tempat tinggal. Anak
yang pernah kontak dengan penderita TBC BTA (+) memiliki risiko 3,91
menderita TBC anak, dibandingkan anak yang tidak mempunyai riwayat kontak
(Upe, 2015).
1.2 Intensitas kontak
Risiko peningkatan paparan tuberkulosis salah satunya sangat terkait dengan
lamanya waktu kontak dengan sumber penularan (Kemenkes, 2014). Risiko
tertinggi perjalanan infeksi menjadi sakit tuberkulosis adalah selama 1 tahun
pertama setelah infeksi, terutama 6 bulan pertama. Sedangkan pada bayi jarak
terjadinya infeksi dan timbul penyakit sangat singkat (kurang dari 1 tahun) dan
rata-rata langsung timbul gejala (Rahajoe dkk, 2008). Kertasasmita (2009), juga
menyatakan bahwa penularan TBC salah satunya dipengaruhi oleh seberapa lama
orang kontak dengan penderita lain. Kontak jangka panjang dengan penderita
TBC menyebabkan risiko tertular penyakit lebih besar dibandingkan orang yang
tidak ada kontak jangka panjang (Nurwitasari, 2015).
27
Risiko seorang anak terinfeksi TBC lebih banyak dijumpai pada kelompok
anak yang memiliki intensitas kontak < 8 jam/hari dibandingkan dengan > 8
jam/hari. Beberapa kepustakaan yang menyebutkan bahwa semakin erat kontak
seorang anak dengan sumber penularan, semakin tinggi peluang anak tersebut
mengalami infeksi TBC. Kontak erat dengan pasien TBC dewasa dapat dilihat
dari 2 aspek yaitu aspek jarak seperti menggunakan kriteria “satu tempat tidur”
dan aspek waktu “intensitas waktu < / > 8 jam/hari” (Diani, Darmawan, &
Nurhanzah, 2010).
1.3 Kedekatan hubungan genetik
Risiko tertular TBC meningkat seiring dengan meningkatnya kedekatan
hubungan genetik antara anak dengan penderita TBC, anak dari penderita TBC
lebih tinggi kemungkinannya mempunyai hasil tuberkulin tes (mantoux tes)
positif dibandingkan anak dengan hubungan saudara yang lebih jauh (Lienhardt,
et.al, 2003).
Semakin erat anak tersebut dengan sumber penularan yang berada dalam
satu rumah, semakin besar pula kemungkinan anak tersebut terpajan droplet yang
infeksius. Oleh karena itu kontak di rumah (household contact) dengan anggota
keluarga yang sakit TBC sangat berperan untuk terjadinya infeksi TBC di
keluarga, terutama keluarga terdekat (Nurwitasari, 2015).
2. Ketahanan pangan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 17 Tahun 2015,
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
28
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dalam sistem ketahanan
pangan terdapat 4 sub sistem yang diatur yaitu ketersediaan pangan dengan
sumber utama penyediaan dari produksi dalam negeri dan cadangan pangan,
akses atau keterjangkauan pangan oleh seluruh masyarakat baik secara fisik
maupun ekonomi, pemanfaatan pangan untuk meningkatkan kualitas konsumsi
pangan dan gizi serta adanya kelembagaan/regulasi yang mengatur pangan.
Ketahanan pangan pada anak sesuai dengan sistem yang ada tercermin dari
akses orang tua terhadap bahan pangan serta pemanfaatan bahan pangan untuk
memenuhi kecukupan gizi anak agar dapat hidup sehat dan aktif. Indikator yang
dipakai untuk mengukur ketahanan pangan anak yaitu: status gizi anak dan
keragaman pemberian pangan.
2.1 Status gizi
Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Status gizi adalah kondisi
kesehatan tubuh seseorang yang merupakan hasil akhir dari asupan makanan ke
dalam tubuh dan pemanfaatannya (PP RI No. 17 Tahun 2015).
Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada anak dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit yang disebabkan kurangnya asupan gizi. Kekurangan
energi dan protein dalam jangka panjang dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan anak (Aditianti 2010).
29
Defisiensi gizi dapat dihubungkan dengan kejadian infeksi melalui beberapa
cara, misalnya dengan mempengaruhi nafsu makan, kehilangan bahan makanan
karena diare dan muntah, memengaruhi metabolisme makanan. Gangguan
defisiensi gizi merupakan awal gangguan sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu
pengobatan dan pencegahan infeksi adalah status gizi yang baik baik pada semua
jenis kelamin dan umur (Kusuma, 2011).
Salah satu cara untuk mengukur status gizi anak adalah dengan
menggunakan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U). Berat badan
merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran status gizi seseorang
dengan memberikan gambaran perubahan masa tubuh yang sangat sensitif
terhadap perubahan yang mendadak karena terinfeksi penyakit. Dalam keadaan
normal, dimana status kesehatan baik dan terjadi keseimbangan antara konsumsi
dan kebutuhan gizi terjamin, BB akan mengikuti pertumbuhan umur, sebaliknya
dalam keadaan abnormal, BB dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat.
(Kusuma, 2011). Penentuan kategori dan ambang batas status gizi sebagaimana
tertera dalam Tabel 3.
Tuberkulosis dan kurang gizi pada anak sering ditemukan bersamaan.
Infeksi TBC menimbulkan penurunan berat badan dan penyusutan tubuh pada
anak. Kekurangan gizi juga meningkatkan risiko infeksi dan kemungkinan
penyebaran penyakit TBC dalam tubuh anak.
30
Tabel 3. Kategori dan ambang batas status gizi berdasarkan indeks
Indeks Kategori
status gizi
Ambang batas (Z-Score)
Berat badan menurut
umur (BB/U)
Anak umur 0-60 bln
Gizi buruk <-3 SD
Gizi sedang -3 SD sampai dengan <-2 SD
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih >2 SD
Panjang badan menurut
umur (PB/U) atau
Tinggi badan menurut
umur (TB/U)
Anak umur 0 – 60 bln
Sangat pendek <-3 SD
Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
Berat badan menurut
panjang badan (BB/PB)
atau Berat badan
menurut tinggi badan
(BB/TB)
Anak umur 0-60 bln
Sangat kurus <-3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks massa tubuh
menurut umur (IMT/U)
Anak umur 5 – 18 thn
Sangat kurus <-3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber : Kepmenkes No. 1995/Menkes/SK/XII/2010
2.2 Keragaman pemberian pangan pada anak
Keragaman pemberian pangan pada anak usia 6 bulan ke atas penting
dipenuhi karena tidak ada satu makanan yang mengandung zat gizi lengkap.
Keragaman pemberian pangan pada anak sangat bergantung pada perilaku ibu
dalam menyediakan makanan. Hasil penelitian Aditianti, dkk (2016) menyatakan
bahwa terdapat lebih dari 80 % ibu balita belum memberikan konsumsi makanan
beragam setiap hari untuk anaknya. Keragaman pangan dapat menggambarkan
kualitas status gizi anak sehingga meningkatkan kualitas hidup anak.
Indikator keanekaragaman pemberian makanan diidentifikasi melalui
apakah anak makan dengan gizi seimbang dan terdapat variasi makanan. Menu
gizi seimbang mencakup sumber karbohidrat (padi, umbi dan tepung), sumber zat
31
pengatur (sayuran dan buah) serta sumber zat pembangun (kacang kacangan dan
makanan hewani).
Menurut FAO, 2010 terdapat sembilan kelompok pangan untuk menilai
keragaman pemberian pangan diantaranya makanan berpati, sayuran hijau, sayur
dan buah, jeroan, daging dan ikan, telur, kacang dan biji-bijian, serta susu dan
olahannya. Keragaman pangan dapat dikategorikan tinggi apabila anak
mengkonsumsi > 6 kelompok pangan, kategori sedang apabila mengkonsumsi 4-6
kelompok pangan , dan kategori rendah apabila mengkonsumsi ≤ 3 kelompok
pangan (Prakoso, dkk, 2018).
3. Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan merupakan indikator sosial ekonomi kesehatan dan
kesejahteraan yang berkaitan dengan lingkungan. Indikator yang dipakai untuk
mengukur sanitasi lingkungan adalah: kepadatan hunian rumah, kualitas udara
yang jelek di dalam rumah sebagai akibat dari ventilasi yang tidak mencukupi dan
keberadaan asap rokok atau asap bahan bakar memasak.
Faktor risiko definitif terjadinya penularan TBC pada anak adalah akibat
kontak dari orang dewasa yang terdiagnosa TBC. Di antara beberapa faktor
risisko dalam penularan TBC dewasa, sama halnya dengan anak. Kondisi rumah
yang buruk berhubungan dengan berbagai kondisi kesehatan, termasuk infeksi
saluran pernafasan, asma, keracunan timbal, cedera dan kesehatan mental. Praktisi
kesehatan menjadikan isu rumah sebagai determinan sosial dalam kesehatan
terutama pada sanitasi yang buruk, kepadatan dan ventilasi yang tidak baik (Upe,
2015).
32
3.1 Kepadatan hunian rumah
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya
akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini berdampak kurang baik
terhadap kesehaan penghuninya, sebab disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan
mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Luas banguna yang optimum
adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3 m2
untuk setiap orang (Notoatmodjo,
2003).
Menurut pedoman teknis penilaian rumah sehat yang disusun berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/ SK/VII/1999 tentang
persyaratan kesehatan rumah tinggal menyatakan bahwa luas kamar tidur
minimal 8 m2, dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur.
3.2 Ventilasi rumah
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di
samping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di
dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan.
33
Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu selalu terjadi aliran udara
yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam
kelembaban (humidity) yang optimum.
Menurut Menurut pedoman teknis penilaian rumah sehat yang disusun
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 1077/Menkes/ Per/V/2011
tentang pedoman penyehatan udara dalam ruang rumah, syarat-syarat rumah sehat
luas jendela minimal 20 % luas lantai dan setengah dari luas jendela harus dapat
dibuka. Tidak tersedianya ventilasi yang baik pada suatu ruangan, makin
membahayakan kesehatan dan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut
terjadi pencemaran oleh bakteri (misalnya kuman tuberkulosis), ataupun oleh
berbagai zat kimia (organik ataupun anorganik).
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama
cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat
yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu
banyak cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat
merusakkan mata.
Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni:
- Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen didalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh
karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang
cukup. Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya
34
15-20 % dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Sinar matahari
dapat langsung masuk melalui jendela ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh
bangunan lain. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan
diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari
dinding). Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng
kaca.
- Cahaya buatan yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti
lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya.
3.3 Sumber polusi dalam rumah
Salah satu perilaku yang berperan penting dalam menyumbangkan TBC
pada anak adalah kebiasaan merokok anggota keluarga. Prevalensi merokok di
semua negara berkembang mencapai lebih dari 50 % yang terjadi pada laki-laki
dewasa, sedangkan pada wanita perokok kurang dari 5 %. Dengan adanya
kebiasaan merokok pada orang tua, maka semakin mempermudah terjadinya
infeksi penyakit pada anak yang memiliki sistem imunitas yang lemah. Sebuah
data di Amerika menunjukkan bahwa terdapat 34,4 % anak tinggal serumah
bersama dengan minimal satu perokok, sehingga paparan asap rokok yang
ditimbulkan menyebabkan tingginya prevalensi TB paru anak (Halim, dkk, 2015).
Paparan asap rokok dalam ruangan dapat menyebabkan udara mengandung
nitrogen oksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Nitrogen oksigen yang
masuk ke saluran nafas akan berkembang menjadi makrofag dan menimbulkan
infeksi, sehingga dapat menurunkan sistem imun dalam tubuh. Partikulat dalam
asap rokok juga akan menimbulkan dampak yang besar terhadap pembersihan
oleh sistem mukosilier, dimana sebagian partikulat mengendap pada lapisan
35
mukus yang melapisi membran mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas
silia dan mengakibatkan berkurangnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa
bronkus yang mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa bronkus.
Dengan adanya gangguan refleks pada saluran nafas, fungsi silier dan produksi
mukus tersebut akan mengakibatkan penurunan sistem imun dalam tubuh
sehingga tubuh rentan terkena suatu penyakit (Ekasari, 2016).
Penggunaan bahan bakar biomassa padat dengan menggunakan tungku
tradisional dapat menebabkan polusi udara dalam rumah. Pembakaran bahan
bakar padat dalam ruang dengan menggunakan tungku tradisional menghasilkan
partikel halus dalam jumlah besar dan juga polusi gas. Tingkat emisi polusi udara
dalam ruang yang diakibatkan penggunaan bahan bakar padat bisa mencapai 20
– 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar yang bersih seperti LPG,
dan seringkali 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat polusi maksimum
yang diperbolehkan sesuai dengan aturan atau petunjuk yang dikeluarkan oleh
WHO dan standard nasional.
Asap dari bahan bakar memasak diperkirakan menyebabkan kematian dini
sebesar sekitar 2 juta orang di dunia per tahunnya – bahkan lebih besar dari pada
kematian yang disebabkan oleh gabungan dari malaria dan TBC. Asap dari bahan
bakar padat merupakan faktor resiko ke sembilan sebagai penyebab penyakit dan
sebagai penyebab ke sepuluh pada tingkat mortalitas di dunia.
Wanita dan anak anak terutama di negara berkembang adalah kelompok yang
paling terkena dampak negative pada kesehatan yang disebabkan oleh polusi
udara dalam ruang karena asap dari bahan bakar padat. Wanita dan anak-anak
perempuan yang lebih terkena dampak karena banyaknya waktu yang dihabiskan
36
untuk memasak di dapur. Terutama Anak-anak kecil juga mudah terkena
dampaknya karena mereka banyak tinggal di dalam rumah dan hampir selalu di
dekat ibunya, termasuk pada waktu ibunya sedang memasak (Kemenkes RI,
2011).
4. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Kesehatan
4.1 Pengetahuan tentang TBC
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia yakni indera penglihatan , pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.Bila
pengetahuan orang tua tentang TBC baik maka kemungkinan besar akan
melakukan tindakan pencegahan agar anak mereka tidak tertular penyakit TBC
(Notoatmodjo, 2003).
4.2 Imunisasi Bacillus Calmette-Guerin (BCG)
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium Bovis. Vaksin ini diproduksi dengan cara memodifikasi virus atau
bakteri penyebab penyakit di laboratorium. Mikroorganisme vaksin yang
dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh (replikasi) dan
menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin BCG mulai dikembangkan di dunia sejak tahun 1921 yang diyakini
dapat kekebalan aktif terhadap penyakit TBC. Tingkat efikasi vaksin ini berkisar
antara 70 – 80 %. walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus waspada
terhadap serangan TBC ini. Alasan dari variasi efikasi ini sangat beragam,
37
termasuk diantaranya perbedaan tipe BCG yang digunakan diberbagai wilayah,
perbedaan strains M. tuberkulosis, perbedaan level keterpaparan status imunitas
terhadap mikroba serta perbedaan praktek/pelaksanaan imunisasi (WHO, 2006a
dalam Kusuma, 2011).
Vaksin BCG hanya diberikan satu kali saja atau vaksin yang memiliki
daya perlindungan yang panjang, maka keterlambatan dari jadwal pemberian
imunisasi yang sudah disepakati akan mengakibatkan meningkatnya risiko tertular
penyakit yang tidak diinginkan. Menurut grange, 1997 dalam Kusuma, 2011 usia
bayi pada saat menerima vaksin berpengaruh terhadap efektivitas vaksin dalam
kaitannya dengan pernah tidaknya seseorang anak mendapatkan infeksi
sebelumnya. Makin muda umur anak, makin kecil kemungkinan mendapatkan
infeksi. Oleh karenanya WHO dan IUALTD merekomendasikan pemberian BCG
secara rutin pada semua bayi (dengan pengecualian bayi dengan AIDS), terutama
pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosis tinggi. Pemberian imunisasi
BCG sebaiknya dilakukan saat bayi lahir hingga usia 2 bulan (Kusuma, 2011).
F. Structural Equation Modelling (SEM)
Structural equation modelling merupakan generasi kedua teknik analisis
multivariate yang memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara
variabel yang kompleks baik recursive maupun nonrecursive untuk memperoleh
gambaran menyeluruh mengenai suatu model. Tidak seperti analisis multivariate
biasa (regresi berganda dan analisis faktor), SEM dapat melakukan pengujian
secara bersama-sama (Bollen, 1989 dalam Ramadiani, 2010), yaitu: model
struktural yang mengukur hubungan antara independent dan dependent construct,
serta model measurement yang mengukur hubungan (nilai loading) antara variabel
38
indikator dengan konstruk (variabel laten). Dengan digabungkannya pengujian
model struktural dan pengukuran tersebut memungkinkan peneliti untuk;
1) Menguji kesalahan pengukuran (measurement error) sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari structural equation model.
2) Melakukan analisis faktor bersamaan dengan pengujian hipotesis.
Dalam model persamaan struktural (SEM) mengandung 2 jenis variabel
yaitu variabel laten dan variabel teramati, 2 jenis model yaitu model struktural dan
model pengukuran serta 2 jenis kesalahan yaitu kesalahan struktural dan
kesalahan pengukuran.
Perbedaan yang paling jelas nyata di antara SEM dan teknik multivariat lain
adalah penggunaan dari hubungan terpisah untuk masing-masing perangkat
variabel dependen. Dalam kondisi sederhana, SEM menaksir satu rangkaian
terpisah yang saling bergantung. Perbedaan yang lain adalah teknik statistika yang
lain biasanya hanya memperhitungkan variabel – variabel yang dapat diukur
secara langsung saja (manifest variable), padahal dalam ilmu sosial sering kali
muncul variabel yang tidak dapat langsung diukur (latent variable). Pengukuran
variabel laten tersebut perlu direpresentasikan dengan beberapa indikator.
Munculnya variabel laten dikarenakan penelitian pada bidang-bidang sosial tidak
memiliki alat ukur khusus. Oleh karena alasan tersebut, SEM ditawarkan sebagai
teknik statistika yang memperhitungkan variabel manifest dan variabel laten.
Dewasa ini penggunaan SEM dalam penelitian sosial semakin banyak. Ada
tiga alasan mengapa SEM banyak digunakan dalam penelitian yaitu :
1) Penelitian umumnya menggunakan pengukuran-pengukuran untuk
menjabarkan variabel laten.
39
2) Para peneliti bidang sosial sangat tertarik terhadap prediksi. Dalam
melakukan prediksi tidak hanya melibatkan model dua variabel, tapi dapat
melibatkan model yang lebih “rumit” berupa struktur hubungan antara
beberapa variabel penelitian.
3) SEM dapat melayani sekaligus suatu analisis kualitas pengukuran dan
prediksi. Khususnya dalam model-model variabel laten.
SEM memiliki beberapa istilah dasar diantaranya :
1) Variabel Laten merupakan variabel-variabel yang tidak terobservasi
(unobservable variables) yang hanya dapat diamati secara tidak langsung
melalui efeknya pada variabel teramati. Variabel laten merupakan variabel
kunci dalam SEM. Dalam sebuah model SEM, sebuah variabel laten dapat
berfungsi sebagai variabel eksogen atau variabel endogen. Variabel eksogen
(, “ksi”) merupakan variabel bebas dengan atau tanpa variabel penyebab
sebelumnya. Variabel eksogen ditunjukkan dengan adanya anak panah yang
berasal dari variabel tersebut menuju variabel endogen. Variabel endogen (,
“eta”) merupakan variabel tak bebas (perantara) yang dapat sebagai efek dari
variabel eksogen lainnya yang merupakan penyebab terhadap variabel-
variabel perantara lainnya dan variabel variabel tergantung, serta dapat
berfungsi sebagai variabel-variabel tergantung sebenarnya. Variabel endogen
ditunjukkan dengan adanya anak panah yang menuju variabel tersebut.
Variabel laten dalam SEM disimbolkan dengan bulatan oval.
2) Variabel teramati merupakan Variabel yang dapat diamati (observable
variable) atau diukur (measured variable) secara empiris dan sering disebut
sebagai variabel manifest atau indikator. Variabel ini merupakan efek dari
40
variabel laten. Variabel yang merupakan efek dari variabel eksogen
dilambangkan X sedangkan variabel yang merupakan efek dari variabel
endogen dilambangkan dengan Y. Variabel ini adalah variabel yang datanya
harus dicari melalui penelitian lapangan misalnya survey. Simbol dari
variabel ini adalah bujur sangkar atau kotak.
3) Path Diagram adalah representasi grafis mengenai bagaimana beberapa
variable pada suatu model berhubungan satu sama lain yang memberikan
suatu pemandangan menyeluruh mengenai stuktur model.
4) Variabel eksogen adalah variabel penyebab, variabel yang tidak dipengaruhi
oleh variabel lainnya. Variabel eksogen memberikan efek kepada variabel
lainnya. Dalam diagram jalur, variabel eksogen ini secara eksplisit ditandai
sebagai variabel yang tidak ada panah tunggal yang menuju ke arahnya dan
setiap variabel eksogen selalu variabel independen.
5) Variabel Endogen adalah variabel yang dijelaskan oleh variabel eksogen.
Variabel endogen adalah efek dari variabel eksogen. Dalam diagram jalur,
variabel endogen ini secara eksplisit ditandai oleh kepala panah yang menuju
ke arahnya dan setiap variabel endogen selalu variabel dependen.
6) Variabel error didefinisikan sebagai kumpulan variabel-variabel eksogen
lainnya yang tidak dimasukkan dalam sistem penelitian yang dimungkinkan
masih mempengaruhi variabel endogen.
7) Variabel independen adalah tipe variabel yang menjelaskan atau
mempengaruhi variabel yang lain
8) Variabel dependen adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh
variabel independen.
41
Secara umum, sebuah model SEM dapat dibagi menjadi dua bagian utama,
yaitu :
a. Measurement model adalah bagian dari model SEM yang
menggambarkan hubungan antara variabel laten dengan indikator-
indikatornya.
b. Structural model adalah bagian dari model SEM yang menggambarkan
hubungan antara variabel-variabel laten atau antar variabel eksogen
dengan variabel laten.
Saat ini sudah tersedia berbagai macam software untuk olah data SEM
diantaranya adalah LISREL, AMOS dan Smart PLS dengan masing-masing
kelebihan dan kekurangannya.
1) AMOS
AMOS merupakan software statistika yang dikembangkan oleh IBM.
Sofware Amos dikhususkan untuk membantu menguji hipotesis hubungan
antar variabel baik antara variabel laten maupun dengan variabel manifest.
Seberapa signikan hubungan antara variabel, dan seberapa besar nilai t model
hipotesis dibandingkan dengan data riil lapangan. Kelebihan Amos adalah
tidak memerlukan syntax atau bahasa pemrograman yang rumit. Melalui
Amos, cukup menggambarkan variabel laten dan variabel manifest, lalu
menghubungkannya melalui panah-panah yang tersedia. Ketika model sudah
kompleks, penggambaran variabel-variabel tidak menjadi efisien dan akan
lebih mudah dilakukan melalui bahasa pemrograman atau syntax dengan
mengganti beberapa variabel.
42
2) Smart PLS
Smart PLS atau Smart Partial Least Square adalah software statistik
yang sama tujuannya dengan Lisrel dan AMOS yaitu untuk menguji
hubungan antara variabel, baik sesama variabel laten maupun dengan variabel
indikator, atau manifest. Penggunaan Smart PLS sangat dianjurkan ketika
menghadapi keterbatasan jumlah sampel sementara model yang dibangun
kompleks dan dapat mengolah data baik untuk model SEM formatif ataupun
reflektif. Secara statistik, konsekuensinya adalah tidak akan ada nilai error
pada variabel indikator. Software PLS hanya dikhususkan untuk melakukan
olah data SEM dengan sampel kecil, maka tidak cocok digunakan untuk
penelitian dengan sampel besar.
3) LISREL (Linier Structural Relationship)
Lisrel dikembangkan oleh Karl Jöreskog and Dag Sörbom. Lisrel
adalah software statistik yang digunakan paling meluas di kalangan peneliti
maupun praktisi. Lisrel dapat mengidentikasi hubungan antara variabel yang
kompleks. Cara mengoperasikannya yang terdiri dari berbagai pilihan, yaitu
melalui program syntax maupun dengan program sederhana simplis. Pilihan
berbagai metode estimasi sudah tersedia di Lisrel, sehingga tidak terpaku
kepada satu metode estimasi Maximum Likelihood tergantung kondisi data
yang akan digunakan.Kekurangan dari software Lisrel ini adalah
ketidakmampuannya mengolah data SEM dengan jumlah sampel yang
sedikit. Ketika sampel kurang dari 200, sementara modelnya kompleks, maka
bisa saja hasil estimasi tidak sesuai dengan harapan.
43
1. Analisis menggunakan LISREL
Analisis LISREL dikembangkan oleh Joreskog , Keesling dan Wiley. Ide
dasar pengembangan analisis LISREL adalah mencari fungsi penduga
parameter-parameter dalam persamaan struktural yang menghasilkan matriks
koragam sampel S sama dengan matriks koragam populasinya ∑(θ) agar
menghasilkan penduga-penduga θ yang konsisten, maka harus di
didefinisikan fungsi penduga F(S, ∑(θ)) yang memiliki sifat-sifat :
1) F(S, ∑(θ)) adalah skalar
2) F(S, ∑(θ)) ≥ 0
3) F(S, ∑(θ)) = 0 jika dan hanya jika ∑(θ) = S dan
4) F(S, ∑(θ)) kontinu di S dan ∑(θ)
Fungsi penduga yang memiliki sifat-sifat diatas dapat diperoleh apabila
peubah-peubah pengamatan pada modelnya memenuhi asumsi menyebar
normal ganda. Penyimpangan terhadap asumsi sebaran normal ganda
tersebut dapat menyebabkan pendugaan menjadi lemah dan pengujian
hipotesisnya menjadi salah. Agar asumsi sebaran normal ganda terpenuhi,
maka ukuran sampel yang digunakan sebaiknya lebih dari 100. Model
LISREL terdiri dari dua model persamaan, yaitu model struktural dan model
pengukuran. Model struktural pada model LISREL adalah
H = Bƞ + Гξ + ζ (1)
Sedangkan model pengukuran pada model LISREL adalah
y = Λyƞ + ε (2)
x = Λxξ + δ (3)
44
dengan asumsi E(ξ) = 0, E(ε) = 0, E(δ) = 0, cov (ξ, ζ) = 0, cov (ε, ƞ) = 0, cov
(δ, ξ) = 0 dan matriks B nonsingular.
ƞ adalah vektor (pxl) peubah laten endogen
ξ adalah vektor (qxl) peubah laten eksogen
B adalah matriks (pxp) koefisien lintas antar peubah laten endogen
Г adalah matriks (pxq) koefisien lintas antara peubah laten endogen dengan
peubah laten eksogen
y adalah vektor (rxl) peubah manifes dan peubah laten endogen
x adalah vektor (sxl) peubah manifes dan peubah laten eksogen
Λy adalah matriks (rxp) koefisien lintas antara peubah laten endogen dengan
peubah manifesnya
Λx adalah matriks (rxp) koefisien lintas antara peubah laten eksogen dengan
peubah manifesnya
ζ adalah vektor (pxl) sisaan model struktural
ε adalah vektor (rxl) sisaan model pengukuran antara peubah laten endogen
dengan peubah manifesnya
δ adalah vektor (sxl) sisaan model pengukuran antara peubah laten eksogen
dengan peubah manifesnya
Dalam pendugaan analisis struktural koragam, nilai awal parameter bebas
dipilih supaya menghasilkan dugaan matriks koragam populasi ∑ dari model
konvergen terhadap matriks koragam sampel S. Perbedaan kedua matriks
tersebut diharapkan relatif kecil agar menghasilkan penduga-penduga θ yang
konsisten.
45
Matriks koragam populasi dari LISREL tidak dapat diduga secara
langsung karena ƞ dan ξ bukan merupakan peubah pengamatan dari suatu
hasil pengukuran. Pendugaan matriks koragam populasi dapat dilakukan
dengan menggunakan metode pendugaan melalui beberapa tahapan. Metode
pendugaan yang sering digunakan dalam pemodelan persamaan struktural
yaitu maximum likelihood (ML), unweighted least squares (ULS), dan
weighted least squares (WLS).
a. Maximum likelihood (ML) merupakan penduga terbaik yang memiliki sifat
tak bias dan ragam minimum tetapi maximum likelihood (cenderung) tidak
konsisten.
b. Weighted least squares (WLS) adalah metode pendugaan yang tidak
memerlukan asumsi normalitas data serta memiliki sifat penduga yang
konsisten.
c. Unweighted least squares (ULS) memiliki sifat penduga yang konsisten
dan tak bias serta untuk melakukan prosesnya relatif cepat karena
kesederhanaan metode ini, tetapi penduga ULS bukan merupakan penduga
yang efisien untuk data yang besar.
Tahapan dalam Analisis Lisrel :
1) Spesifikasi model
Pada tahap ini, sebuah model dengan berdasar teori, hipotesis atau
penelitian sebelumnya yang dibuat, baik dalam bentuk equation
(persamaan-persamaan matematis) maupun dalam bentuk diagram
(gambar). Diagram akan memasukkan measurement model dan structural
model.
46
2) Identifikasi model
Identifikasi model perlu dilakukan sebelum model diestimasi untuk
menjamin varian-kovarian variabel teramati mempunyai cukup informasi
untuk mengestimasi parameter yang tidak diketahui. Dengan perkataan
lain, model yang akan diestimasi harus dapat diidentifikasi atau punya
status diidentifikasi yang tepat.
Dalam mengidentifikasi model, periksa kategori model SEM yang akan
diduga parameternya:
Under-Identified: model dengan jumlah parameter yang diduga lebih
besar dari jumlah data yang diketahui (datanya berupa varian dan
kovarian dari variabel)
Just-Identified: model dengan jumlah parameter yang diduga sama
dengan besar dari jumlah data yang diketahui
Over-Identified: model dengan jumlah parameter yang diduga lebih
kecil dari jumlah data yang diketahui
3) Estimasi model
Setelah model dispesifikasi, kemudian dipilih metode estimasi yang
sesuai. Metode estimasi yang sering digunakan dalam pendugaan model
SEM adalah metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood) dan
weighted least square. Untuk sampel di bawah 500 biasanya menggunakan
metode kemungkinan maksimum likelihood (ML) dengan data yang
digunakan biasanya bersifat continous namun tidak sedikit pula yang
menggunakan data ordinal yang telah dinormalisasikan. Setiap estimasi
yang dilakukan, ditinjau dengan berpedoman pada goodness of fit (GOF).
47
Pemeriksaan terhadap hasil estimasi dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya estimasi yang mengganggu, yaitu nilai-nilai yang
tidak masuk akal atau anomali yaitu nilai t < 1,96 atau nilai standar solusi
> 1.00.
4) Goodness-of-Fit
Uji kecocokan model dilakukan untuk menilai apakah data yang
dikumpulkan konsisten dan cocok dengan model. Jika model tidak cocok
dengan data maka perlu dicari penyebabnya pada model, dan dicari cara
untuk memodifikasi model tersebut agar diperoleh kecocokan data yang
lebih baik. Jika model sudah cocok dengan data, berarti model tersebut
sudah benar dan baik menurut Goodness-of-Fit.
Untuk mengevaluasi kesesuaian atau kecocokan antara model,
dilakukan uji Chi-square. Makin meningkat nilai X2 makin mengarah pada
penolakan model. Secara parsial, bagian model bisa dievaluasi dg uji-t dan
koefisien determinasi R2
. Goodness of Fit Index (GFI), bernilai di antara 0
hingga 1. Semakin mendekati 1, menunjukkan kecocokan model.
5) Respesifikasi model
Bila model awal kurang sesuai maka model direspesfikasi atau
dimodifikasi dan selanjutnya diuji kembali untuk data yang sama.
G. Hasil Penelitian Terdahulu
Analisis model persamaan struktural (Structural Equation Models) adalah
teknik analisis yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan pada model-
model struktural seperti mennganalisis variabel yang tidak diukur secara
langsung. Saat ini penggunaan SEM semakin meningkat salah satunya dalam
48
bidang kesehatan. Beberapa penelitian yang dilakukan dengan teknik analisis
SEM diantaranya penelitian yang dilakukan Javali (2012) tentang kausal model
pengeluaran perawatan kesehatan mulut di Dharwad Karnataka India dengan hasil
penelitian menunjukkan bahwa usia orang sakit, durasi episode penyakit (dalam
hari) dan jumlah total kunjungan yang dilakukan ke sarana pelayanan kesehatan
selama periode referensi memiliki pengaruh signifikan terhadap pengeluaran
perawatan kesehatan mulut (p <0,05). Durasi episode penyakit dan jumlah total
kunjungan yang dilakukan ke sarana pelayanan kesehatan selama periode
referensi merupakan indikator utama dalam pengeluaran perawatan kesehatan
mulut di Dharwad, Karnataka, India.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gustin, dkk (2013) tentang Penerapan
Metode Multigrup Structural Equation Modeling pada Derajat Kesehatan Balita
di Indonesia yang menunjukkan bahwa status kesehatan anak balita di kabupaten
dan kota berbeda dengan besar nilai koefisien variabel lingkungan di kabupaten
sebesar -0,079 ( p-value 0,040) dan di kota sebesar -0,209 (p-value 0,033).
Koefisien perawatan kesehatan di kabupaten 0,677 (p-value 0,000) dan di kota -
0,517 (p-value 0,000). Koefisien perilaku kesehatan di kabupaten -0,036 (p-value
0,367) dan di kota -0,251 (p-value 0,030).
Analisis SEM juga digunakan oleh Rohmah ( 2019) dalam penelitiannya
tentang Pengaruh Paparan Informasi, Lingkungan, Tokoh Masyarakat, dan Tenaga
Kesehatan Terhadap Partisipasi Dalam Desa Siaga di Kabupaten Ciamis dengan
hasil bahwa partisipasi keluarga dalam pengembangan desa siaga dipengaruhi
oleh paparan media massa (16,68 %), lingkungan sosial ( 21,64 %), peran tokoh
masyarakat (20,94 %) dan peran tenaga kesehatan (15,55 %). Total pengaruh
49
langsung dan tidak langsung partisipasi keluarga dalam pengembangan desa siaga
di Kabupaten Ciamis adalah sebesar 74,8 %.
Wardani (2014) melakukan penelitian “ Kajian Determinan Sosial Kejadian
Tuberkulosis Paru Berbasis Geospasial dan Model Prediksinya di Bandar
Lampung”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan sosial melalui
kondisi rumah dan keamanan pangan dapat menjelaskan 34,15% mempengaruhi
kejadian TBC pada populasi dewasa, determinan sosial secara langsung dan
melalui akses ke pelayanan kesehatan tidak mempengaruhi kejadian TBC.
Determinan sosial, yang diukur melalui kepadatan penduduk dan proporsi
keluarga prasejahtera juga menyebabkan clustering TBC yang mengindikasikan
kemungkinan penularan lokal.
Upe (2015) menguji “ Tuberkulosis Paru Anak (0-14 tahun) akibat Kontak
Serumah Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa di Daerah Istimewa Yogyakarta”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status sosial ekonomi, khususnya status
ekonomi tinggi, ketidakpadatan hunian tempat tingga secara tidak langsung
mencegah anak agar anak tidak sakit TBC ketika tinggal serumah dengan
penderita TBC dewasa. Secara langsung, kondisi hunian khususnya kondisi
kamar tidur, pencahayaan sinar matahari, pertukaran udara melalui ventilasi yang
baik dan sistem imun dalam tubuh dapat mencegah sakit TBC pada anak. Status
gizi anak tidak adjusted namun cenderung menurunkan risiko terjadinya TBC
pada anak. Intensitas paparan yang sering antara anak dengan penderita TBC
dewasa dapat mempertinggi risiko anak untuk sakit TBC.
Penelitian Wardani (2018) “ Predicted Model Of Tuberculosis Transmission
Based On It’s Risk Factors and Socioeconomic Position in Indonesia “
50
menyimpulkan bahwa posisi sosial ekonomi melalui determinan perumahan
mempengaruhi penularan penyakit TBC. Orang dengan determinan posisi sosial-
ekonomi rendah cenderung memiliki rumah dengan kepadatan tinggi, ventilasi
yang buruk dan terdapat polusi udara dalam rumah yang merupakan faktor risiko
terjadinya TBC. Dalam penelitian ini, perbedaan penentuan posisi sosial ekonomi
terutama disebabkan oleh jenis pendidikan. Pendidikan sangat terkait dengan jenis
pekerjaan, pendapatan, dan kesejahteraan. Pencapaian pendidikan yang lebih
tinggi terkait dapat mencapai pekerjaan yang lebih baik sehingga meningkatkan
peluang untuk mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Determinan posisi
sosial-ekonomi berkorelasi dengan determinan perumahan miskin, terutama
indeks kepadatan perumahan. Faktor perumahan mempengaruhi transmisi TBC,
terutama transmisi dalam rumah, yang merupakan indikator terkuat dalam
penularan TBC.
51
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kedaton, Way Halim,
Simpur, Gedong Air dan Rajabasa Indah Kota Bandar Lampung pada bulan Mei
2019.
B. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian adalah kasus kontrol, penelitian ini berusaha melihat ke
belakang, yaitu data digali dari dampak (efeknya) atau akibat yang terjadi.
Kemudian dari dampak tersebut ditelusuri variabel-variabel penyebabnya atau
variabel yang mempengaruhinya. Penelitian dimulai dari kasus penyakit TBC
pada anak usia 0 – 14 tahun.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 0 – 14 tahun di
wilayah kerja puskesmas Puskesmas Kedaton, Way Halim, Simpur, Gedong Air
dan Rajabasa Indah Kota Bandar Lampung dengan kriteria sampel :
- Kasus adalah seluruh anak usia 0 - 14 tahun yang didiagnosis menderita
tuberkulosis oleh petugas kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan
menggunakan sistem skoring yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda
klinis pada anak yang dicurigai sakit TBC dan teregister dalam TB 01 yang
52
ada di Puskesmas Kedaton, Way Halim, Simpur, Gedong Air dan Rajabasa
Indah Kota Bandar Lampung pada periode bulan Oktober 2018 – Maret 2019.
- Kontrol merupakan anak usia 0 - 14 tahun yang berkunjung ke fasilitas
pelayanan kesehatan dengan keluhan penyakit lain dan hasil diagnosis dari
dokter tidak menunjukkan terinfeksi TBC periode bulan Oktober 2018 –
Maret 2019 di Puskesmas Kedaton, Way Halim, Simpur, Gedong Air dan
Rajabasa Indah di Kota Bandar Lampung.
Besar sampel minimal pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus besar
sampel uji hipotesis perbedaan 2 (dua) proporsi (Lameshow, 1997):
N = { Z1- [2P (1-P)] + Z1-β ( ) ( ) }
(P1 – P2)2
Keterangan :
N = jumlah sampel minimal
Z1- = tingkat kemaknaan (0,05) dengan = 1,96 (CI 95%)
= kekuatan penelitian (80%) = 0,84
P2 = proporsi terpajan pada kontrol pada penelitian terdahulu 0,35
(Upe, 2015)
OR = odds Ratio pada penelitian terdahulu 2,67 (Upe, 2015)
P1 = proporsi faktor risiko pada kasus
(OR) P2
(OR) P2 + (1-P2)
= 2,67 x 0,35 = 0,59
2,67 x 0,35 + (1-0,35)
P = (P1 + P2)/2
= (0,59 + 0,35)/ 2 = 0,47
53
N = { 1,96 [2.0,47 (1-0,47)] + 0,84 √ ( ) ( ) }2
( 0,59 - 0,35)2
N = 3,838
0,058
= 66, 17 digenapkan menjadi 66
Berdasarkan perhitungan diperoleh sampel kasus sebanyak 66. Jumlah
sampel yang digunakan pada masing-masing kasus kontrol dengan perbandingan
1 : 1, sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 132 sampel terdiri dari 66
sampel kasus dan 66 sampel kontrol. Untuk menghindari drop out ditambah 10%
(13 sampel) menjadi 145 digenapkan menjadi 150 sampel, dengan pembagian 75
kasus dan 75 kontrol.
Pengambilan subyek sebagai kasus dan kontrol menggunakan teknik
sampling acak sederhana dengan menggunakan tabel bilangan random per
puskesmas. Jumlah kontrol yang diambil sama dengan jumlah kasus TBC anak
yang didapatkan di puskesmas tersebut. Dalam penentuan sampel kontrol
dilakukan matching pemilihan subyek kontrol dengan karakteristik semirip
mungkin dengan kasus antara lain karakteristik jenis kelamin dan umur.
D. Variabel Penelitian
Terdapat dua jenis variabel dalam penelitian ini yaitu variabel eksogen
(independent variabel) adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab
perubahan dependent variabel (determinan sosial) dan variabel endogen
(dependent variabel) adalah variabel yang dipengaruhi oleh independent variabel
(tingkat paparan kontak TBC dewasa terhadap anak, ketahanan pangan, sanitasi
lingkungan, pengetahuan sikap dan perilaku orang tua serta status TBC pada
anak). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
54
Tabel 4. Variabel dan Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Ukur Hasil Ukur
1. TBC pada anak Status sakit TBC pada anak usia 0 -14
tahun berdasarkan register TB 01
puskesmas dan TB 03 Dinkes Kota
Bandar Lampung.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan sistem
skoring TB anak, dikatakan positif TB
paru jika jumlah skor ≥ 6
Observasi
register TB
01 PKM dan
Register TB
03 Dinkes
Register TB
01 PKM
dan
Register TB
03 Dinkes
0 : Sakit TBC (Kasus)
1 : Tidak sakit TBC (Kontrol)
Determinan Sosial
1. Pendidikan Ibu Pendidikan formal ibu
(PP. RI No. 47 tahun 2008)
Wawancara Kuesioner 0 : Tidak lulus SD
1 : Lulus SD - SMP
2 : Lulus SMA keatas
2. Pekerjaan Ibu Satus pekerjaan ibu anak dalam 12 bulan
terakhir
(BPS, 2018)
Wawancara Kuesioner 0 : Pengangguran
1 : Bekerja tidak tetap
2 : Bekerja tetap
3. Tingkat
Pendapatan
Jumlah keseluruhan pendapatan yang
diperoleh oleh orangtua (ayah dan ibu)
atas jenis pekerjaan yang dilakukan
dalam waktu satu bulan dan dihitung
dengan nilai rupiah
(BPS, 2016)
Wawancara Kuesioner 0 : Rendah dengan rata-rata
pendapatan < 1.500.000 /
bulan
1 : Sedang dengan rata-rata
pendapatan 1.500.000 – <
3.750.000
2 : Tinggi dengan rata-rata
pendapatan ≥ 3.750.000
55
Tingkat paparan kontak TBC dewasa dengan anak
1. Kontak serumah Periode anak yang tinggal serumah
ataupun pernah tinggal bersama selama
satu malam atau lebih pada satu tempat
tinggal dengan penderita TBC dewasa
(Upe, 2015)
Wawancara Kuesioner 1 : > dari 12 bulan
2 : 6 - 12 bulan
3 : < dari 6 bulan
2. Intensitas
kontak
Periode paparan dalam sehari anak
menghabiskan waktu bersama penderita
TB paru dewasa
(Diani D & Nurhanzanah, 2010)
Wawancara Kuesioner 1 : Seharian penuh, intensitas
kontak ≥ 8 jam
2 : Kadang-kadang
3 : intensitas kontak < 8 jam
3. Kedekatan
hubungan
genetik
Hubungan darah antara anak dengan
pasien TB dewasa paru
( Lienhardt, et.al, 2003a)
Wawancara Kuesioner 1 : Ada hubungan darah
(Ayah/Ibu)
2 : Famili dekat (nenek, kakek,
saudara)
3 : Tidak ada hubungan darah
Ketahanan pangan
1. Status Gizi
Anak
Keadaan gizi anak yang ditunjukkan
pada pengukuran moment opname data
rekam medis atau pengukuran langsung
dari BB/U untuk balita 0 – 5 tahun dan
IMT/U untuk anak usia < 5 – 18 tahun
( Kepmenkes No. 1995/Menkes/SK/XII/
2010)
Observasi
register TB
01 ( untuk
kasus),
medical
record (untuk
kontrol),
serta
perhitungan
Z score
Register TB
01, medical
record
kontrol
Indeks status gizi < 5 tahun
1 : Gizi buruk/kurang jika nilai
Z score < -3,0 SD s/d < -2,0
SD
2 : Gizi normal jika nilai Z score
-2,0 SD s/d 2,0 SD
3 : Gizi lebih jika nilai Z score
> 2,0 SD
Indeks status gizi < 5 -14 tahun
1 : Gizi buruk/kurang jika nilai
Z score < -3,0 SD s/d < -2,0
SD
56
2 : Gizi normal jika nilai Z score
-2,0 SD s/d 1,0 SD
3 : Gizi lebih jika nilai Z score
> 1,0 SD
2. Keragaman
pemberian
pangan pada
anak
Jumlah keragaman pemberian pangan
pada anak setiap hari mencakup sembilan
kelompok pangan diantaranya makanan
berpati, sayuran hijau, sayur dan buah,
jeroan, daging dan ikan, telur, kacang dan
biji-bijian, serta susu dan olahannya.
Wawancara Kuesioner 1 : Rendah, ≤ 3 kelompok
pangan
2 : Sedang, 4-6 kelompok
pangan
3 : Tinggi, > 6 kelompok pangan
Sanitasi lingkungan
1. Kepadatan
hunian rumah
Kapasitas orang per hunian tempat
tinggal anak diperoleh dari hasil bagi
antara luas hunian dengan jumlah orang
yang ada.
(Kepmenkes RI No. 829/Menkes/ SK/VII
/1999)
Wawancara
dan observasi
Kuesioner
dan daftar
tilik
1 : Kurang,: <5,6 m2
2 : Cukup, 5,6– <8 m2
3 : Baik, ≥8 m2
2. Ventilasi rumah Rasio (dalam%) antara daerah ventilasi
dan luas lantai.
(Permenkes RI No. 1077/ Menkes/Per/V
/2011)
Wawancara
dan observasi
Kuesioner
dan daftar
tilik
1 : Kurang, < 10%
2 : Cukup, 10–20%
3 : Baik, ≥20%).
3. Sumber polusi
dalam rumah
Jumlah polusi udara dalam ruangan
ditunjukkan oleh sejumlah sumber polusi
udara dalam ruangan, seperti jumlah
orang yang merokok di rumah responden
dan pemakaian bahan bakar padat
memasak (Permenkes RI No. 1077
/Menkes/Per/V/2011 )
Wawancara
dan observasi
Kuesioner
dan daftar
tilik
1 : Terdapat ≥ 2 sumber polusi
udara
2 : Terdapat 1 sumber polusi
udara
3 : Tidak terdapat sumber
polusi udara
57
Pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan orang tua
1. Status Imunisasi
BCG
Anak usia 0-14 tahun yang telah
mendapatkan imunisasi BCG yang
ditandai dengan bekas luka /scar BCG
pada lengan atas anak.
( Permenkes RI No. 12 Tahun 2017)
Wawancara
dan observasi
anak
Kuesioner
dan daftar
tilik
1 : tidak imunisasi BCG
2: imunisasi BCG namun
tidak ada bekas luka/scar
BCG pada lengan atas
3 : Imunisasi BCG dan ada
bekas luka /scar pada
lengan atas anak
2. Pengetahuan
orang
tua/pengasuh
anak tentang
penyakit TBC
Pengetahuan orang tua/pengasuh anak
tentang penyakit TBC, meliputi definisi,
penularan, gejala dan cara pencegahan
agar tidak tertular penyakit TBC.
(Notoatmodjo, 2003)
Wawancara Kuesioner 1 : Rendah
2 : Sedang
3 : Tinggi
58
E. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap kegiatan, yaitu tahap persiapan
dan tahap pengumpulan data itu sendiri. Tahap pertama terdiri dari :
1. Pengurusan perijinan penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung
dengan no : 070/892/III.02/V/4/2019 tanggal 9 April 2019.
2. Pengurusan ethical clearance yang telah disetujui oleh komite etik penelitian
kesehatan fakultas kedokteran Universitas Lampung dengan no :
783/UN26.18/PP.05.02.00/2019 tanggal 12 April 2019.
Tahap kedua dilakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara pengambilan data primer dan data sekunder. Data sekunder yang
diambil yaitu data identitas penderita TBC anak dan bukan penderita TBC anak
yang diperoleh dari Puskesmas Kedaton, Way Halim, Simpur, Gedong Air dan
Rajabasa Indah Kota Bandar Lampung. Data primer indikator determinan sosial
dan faktor risiko TBC didapatkan melalui kunjungan rumah untuk wawancara
terhadap responden dan pengamatan langsung terhadap keadaan rumah responden
sehingga didapatkan data sesuai dengan kuesioner dan daftar tilik yang telah
dipersiapkan.
Pengambilan data dilakukan oleh peneliti dibantu oleh enumerator yang
sudah mempunyai pengalaman dalam pengambilan data primer dengan alat bantu
kuesioner dan daftar tilik. Sebelum dilakukan pengambilan data, terlebih dahulu
telah dilakukan kegiatan pelatihan kepada enumerator dengan tujuan untuk
menyamakan persepsi.
59
F. Pengolahan Data
Langkah-langkah dalam pengolahan data antara lain :
1. Editing
Sebelum data diolah, data tersebut diedit terlebih dahulu. Editing dilakukan
dengan melakukan pengecekan terhadap jawaban yang telah diberikan oleh
responden apakah terjawab semua dan sesuai dengan tujuan pertanyaan.
2. Coding
yaitu mengkode jawaban untuk mempermudah pemasukan data. Kodefikasi
jawaban adalah menaruh angka pada tiap jawaban.
3. Entry data
yaitu memasukkan data kedalam perangkat lunak komputer.
G. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis secara univariat
untuk menganalisis tiap variabel hasil penelitian yang disajikan dengan distribusi
frekuensi data berdasarkan persentase dan proporsi. Analisis univariat bertujuan
untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik variabel –variabel
indikator determinan sosial dan faktor risiko TBC pada anak dalam penelitian ini.
Data kemudian dianalisis secara bivariat untuk mengetahui ada/tidak hubungan
antara indikator determinan sosial dan faktor risiko TBC pada anak terhadap
kejadian TBC pada anak.
Analisis multivariat yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode SEM dengan program LISREL 8.8 (student edition). Program LISREL
8.8 (Student Edition) merupakan software yang khusus digunakan untuk
menyelesaikan penelitian tentang analisis SEM, sehingga outputnya lebih mudah
60
dipahami sebagai dasar analisis, disamping penggunaannya lebih mudah. Dalam
analisis ini diuji secara bersama-sama :
a. Model pengukuran atau Confirmatory Factor Analysis (CFA) yaitu
hubungan (nilai loading) antara indikator dengan konstruk (variabel laten).
Tahap ini bertujuan untuk menguji kelayakan , yakni reliabilitas dan validitas
tiap-tiap indikator untuk tiap konstruk. Kriteria yang digunakan dalam
pengujian ini yaitu :
1. Nilai t muatan faktornya (loading factors) lebih besar dari nilai kritis (atau
≥ 1,96)
2. Muatan faktor standarnya (standardized loading factors) ≥ 0,70.
Sementara itu menurut Hair et al (2014) menyebutkan bahwa jika muatan
faktor standar ≥ 0,5 maka indikator tersebut valid, jika lebih kecil dari
batas kritis indikator tersebut harus dikeluarkan dari model.
3. Nilai Construct Reliability (CR)-nya ≥ 0,70 dan nilai Variance Extracted
(VE)-nya ≥ 0,50.
Uji reliabilitas dapat diperoleh melalui rumus :
Construct Reliability =
(∑ Loading Standardized)2 .
(∑ Loading Standardized)2 + (∑ Measurement Error)
Atau CR = (∑λ)2 .
(∑λ)2
+ (∑e)
Variance Extracted =
(∑ Loading Standardized)2 .
∑( Loading Standardized)2 + (∑ Measurement Error)
Atau AVE = ∑λ2 .
∑λ2
+ ∑e
61
Loading Standardized diperoleh dari nilai faktor loading untuk tiap
indikator yang didapat dari hasil perhitungan LISREL. Untuk ∑e adalah
measurement error dari tiap indikator. Semakin kecil nilai kesalahan
pengukuran (measurement error), menunjukkan bahwa indikator-indikator
tersebut merupakan indikator-indikator yang handal dalam mengukur variabel
laten.
b. Model struktural yaitu hubungan antara konstruk independen dan dependen.
Tiap konstruk dan indikator yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya
pada tahap measurement model siap untuk diolah kembali. Tahap ini
bertujuan untuk mengestimasi secara simultan model struktural (structural
model), sehingga akan terlibat hubungan antara variabel bebas dan terikat,
serta kualitas pengukuran dari nilai muatan faktor dari masing-masing
konstruk dan indikator.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini antara lain:
1) Spesifikasi model
Spesifikasi model secara garis besar adalah sebagai berikut :
a. Mendefinisikan variabel-variabel laten yaitu determinan sosial,
tingkat paparan kontak TBC dewasa terhadap anak, ketahanan pangan,
sanitasi lingkungan, pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan orang
tua terhadap kejadian TBC pada anak.
b. Mendefinisikan variabel-variabel teramati yaitu pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, tingkat pendapatan keluarga, lama kontak serumah,
intensitas paparan, kedekatan hubungan genetik, status gizi,
keragaman pemberian pangan, kepadatan hunian rumah, ventilasi
62
rumah, sumber polusi udara dalam rumah , status imunisasi BCG dan
pengetahuan tentang penyakit TBC.
c. Mendefinisikan hubungan antara variabel laten dengan variabel-
variabel teramati yaitu pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat
pendapatan keluarga merupakan indikator dari determinan sosial;
lama kontak serumah, intensitas paparan, kedekatan hubungan genetik
merupakan indikator dari tingkat paparan kontak TBC dewasa
terhadap anak; status gizi, keragaman pemberian pangan merupakan
indikator dari ketahanan pangan; kepadatan hunian rumah, ventilasi
rumah, sumber polusi udara dalam rumah merupakan indikator dari
sanitasi lingkungan; status imunisasi BCG dan pengetahuan tentang
penyakit TBC merupakan indikator dari pengetahuan, sikap dan
perilaku; sakit TBC anak dan tidak sakit TBC anak yang merupakan
indikator dari kejadian TBC pada anak.
2) Pembuatan program SIMPLIS berdasarkan spesifikasi model dan data
yang tersedia.
3) Menjalankan program SIMPLIS dan analisis keluarannya
Secara garis besar analisis keluaran program SIMPLIS adalah sebagai
berikut :
a. Memeriksa adanya offending estimates, seperti negative error variance
dan standardized loading factor yang paling sering terjadi adalah lebih
besar dari 1,0 serta nilai standard error yang sangat besar.
b. Memeriksa validitas variabel teramati. Kriteria validitas yang baik yaitu
jika nilai standardized factors loadings (muatan faktor standar ) ≥ 0,50.
63
c. Menguji kecocokan atau Goodness Of Fit (GOF) seluruh model
pengukuran, yang dapat dilihat pada Tabel 5.
d. Menganalisis reliabilitas model pengukuran dengan menghitung nilai
Construct Reliability (CR) dan Variance Extracted (VE) dari nilai-nilai
standardized loading factors dan error variances
Tabel 5. Perbandingan ukuran – ukuran GOF
UKURAN
GOF
TINGKAT KECOCOKAN YANG BISA DITERIMA
ABSOLUTES-FIT MEASURES
Statistik Chi-
squares (X2)
Mengikuti uji statistik yang berkaitan dengan persyaratan
signifikan. Semakin kecil semakin baik.
Non –
Centrality
Parameter
(NCP)
Dinyatakan sebagai bentuk spesifikasi ulang dari Chi-squares.
Penilaian didasarkan atas perbandingan dengan model lain.
Semakin kecil semakin baik.
Goodness of-
Fit Index
(GFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah
lebih baik. GFI ≥ 0,90 adalah good fit, sedangkan
0,80<GFI<0,90 adalah marginal fit.
Root Means
Square
Residua
(RMSEAl)
Rata-rata perbedaan per degree of fredom yang diharapkan
terjadi dalam populasi dan bukan dalam sampel. RMSEA <
0,08 adalah good fit, sedangkan RMSEA < 0,05 adalah close
fit.
Expected Cross
Validation
Index (ECVI)
Digunakan untuk perbandingan antar model. Semakin kecil
semakin baik. Pada model tunggal, nilai ECVI dari model
yang mendekati nilai saturated ECVI menunjukkan good fit.
INCREMENTAL FIT MEASURES
Normed Fit
Index(NFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah
lebih baik. NFI> 0,90 adalah good fit, sedangkan
0,80<NFI<0,90 adalah marginal fit.
Comparative
Fit Index (CFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah
lebih baik. CFI> 0,90 adalah good fit, sedangkan
0,80<CFI<0,90 adalah marginal fit.
Incremental
Fit Index (IFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah
lebih baik. IFI> 0,90 adalah good fit, sedangkan
0,80<IFI<0,90 adalah marginal fit.
Relative Fit
Index (RFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah
lebih baik. RFI> 0,90 adalah good fit, sedangkan
0,80<RFI<0,90 adalah marginal fit.
Adjusted
Goodness of
Fit Index
(AGFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah
lebih baik. AGFI> 0,90 adalah good fit, sedangkan
0,80<AGFI<0,90 adalah marginal fit.
Sumber : Wijanto (2008)
64
4) Respesifikasi model
Melakukan respesifikasi ketika ada offending estimates, validitas
model yang belum baik, kecocokan keseluruhan model yang belum
cukup baik dan reliabilitas model yang belum baik.
113
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Indikator terkuat dari variabel determinan sosial dan faktor risiko terhadap
kejadian TBC pada anak adalah tingkat pendapatan orangtua, intensitas paparan
pada kontak serumah, keragaman pemberian pangan pada anak, kepadatan
hunian rumah dan pengetahuan tentang penyakit TBC.
2. Determinan sosial secara langsung tidak berpengaruh terhadap kejadian TBC
pada anak, akan tetapi secara tidak langsung melalui faktor risiko berpengaruh
signifikan terhadap kejadian TBC pada anak. Variabel terkuat dari faktor risiko
terhadap kejadian TBC pada anak adalah variabel sanitasi lingkungan.
B. Saran
Kejadian TBC pada anak di Kota Bandar Lampung dijelaskan oleh variabel-
variabel dalam penelitian ini sebesar 60 % Sedangkan sisanya sebesar 40 %
dijelaskan oleh variabel lain diluar yang diteliti. Kejadian TBC pada anak dapat
terjadi karena adanya paparan kontak dengan penderita TBC dewasa baik kontak
serumah ataupun kontak yang didapat diluar rumah, sanitasi lingkungan yang buruk,
sistem ketahanan pangan dengan 4 sub sistem (ketersediaan pangan, akses pangan,
pemanfaatan pangan dan regulasi yang mengatur pangan) yang mempengaruhinya
serta pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan orang tua yang kurang baik untuk itu
114
diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap variabel faktor risiko yang tidak diteliti
dalam penelitian ini dengan jumlah sampel yang lebih besar dan menggunakan
indikator-indikator yang lain.
Peningkatan determinan sosial juga memerlukan dukungan dari pemerintah
berupa pembangunan ekonomi keluarga untuk meningkatan kondisi rumah yang
lebih baik melalui upaya bedah rumah ataupun arisan rumah bagi pendeita TBC.
Dinas kesehatan melalui seksi penyehatan lingkungan bersama seksi pencegahan
penyakit perlu memantau kondisi rumah penderita TBC dengan memberikan promosi
kesehatan tentang pencegahan penularan penyakit TBC.
115
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y. 2005. Tuberkulosis dan kemiskinan. Majalah Kedokteran
Indonesia. 55 (2):49-50.
Aditianti, Prihatin, S. Hermina. 2016. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Individu tentang Makanan Beraneka Ragam Sebagai Salah Satu
Indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Buletin Penelitian
Kesehatan. 44:117-126.
Ajis, E. Mulyani, N.S. Pramono, D. 2009. The Relationship Between
External Factors and The Incidence of Tuberculosis Among Under-
Five Children. Berita Kedokteran Masyarakat. Vol 25, No.3. 109-116.
Apriliasari, R. Hestiningsih, R. Martini. Udiyono, A. 2018. Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru Pada Anak (Studi di Seluruh
Puskesmas di Kabupaten Magelang). Jurnal Kesehatan Masyarakat
(e-Journal) Vol 6 No 1. Januari 2018 (ISSN:2356-3346).
Ariyanto. 2009. Aspek Kesejahteraan Masyarakat dalam Konsumsi
Pangan. http://www.umm.ac.id/ kesejahteraan-masyarakat-dalam-
konsumsi-pangan. Diakses Tanggal 19 Februari 2019.
Asmara, S. 2016. Perencanaan Pembangunan Ketahanan Pangan Provinsi
Lampung dengan Sistem Pendukung Keputusan (Disertasi).Insititut
Teknologi Bandung. Bandung.
Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2016. Indikator Makro Ekonomi
Regional Provinsi Lampung 2016. Bandar Lampung. BPS. 63 hlm
Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2017. Tinjauan Ekonomi
Regional Kab/Kota Provinsi Lampung 2017. Bandar Lampung. BPS.
116 hlm.
Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2018. Indikator Kesejahteraan
Rakyat Provinsi Lampung 2017/2018. Bandar Lampung. BPS. 112
hlm.
Balakrishnan K, Mehta S, Kumar P, Ramaswamy P. 2004. Indoor Air
Pollution Associated with Household Fuel Use in India. An Exposure
Assessment and Modeling Exercise in Rural Districts of Andhra
Pradesh, India. Washington, DC: The World Bank
116
Ben J. Marais. 2017. Improving Access to Tuberculosis Preventive
Therapy and Traetment for Children. International Journal Of
Infectious Disesases. 56:122-125.
Christanto, A. 2018. Paradigma Baru Tuberkulosis pada Era Sustainable
Development Goals (SDGs) dan Implikasinya di Indonesia. CDK-
260/vol.45 No. 1 Tahun 2018. 57-60
Crofton, J. Horne, N. Miller. F. 2002. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika.
Jakarta. 50 hlm.
Crutz, A.T. and Stake, J.R. 2019. Window Periode Prophylaxis For
Children Exposed to Tuberculosis Houston, Texas, USA, 2007- 2017.
J. Emerging Diseases. Vol 25. No. 3. March 2019. 523 – 528
Colditz. 1994. Efficacy of BCG Vaccine in The Prevention of
Tuberculosis. Journal Of The American Medical Association . Vol.
271 No 9. 698-702
Diani. Darmawan. Nurhanzah. 2010. Proporsi Infeksi Tuberkulosis dan
Gambaran Faktor Resiko Pada Balita Yang tinggal Dalam Satu
Rumah Dengan Pasien Tuberkulosis Dewasa. Jurnal Sari Pediatri Vol
13 No 1 Juni 2011.
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. 2018. Profil Kesehatan Kota
Bandar Lampung Tahun 2017. Dinas Kesehatan Kota Bandar
Lampung. Bandar Lampung.
Ekasari, N. M. 2016. Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian TB Paru Balita di BKPM Wilayah Semarang (Skripsi).
Universita Negeri Semarang. Semarang. 130 pp.
Elsevier, World TB Day 2017: Advances, Challenges and Opportunities in
the ―End TB‖ Era. International Journal Of Infectious Disesases 56
(2017) 1-5
Fahmi, A.U. 2009 Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol 3 No 4 Februari 2009. 147-153.
FAO. 2010. Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary
Diversity. 60 pp
Febrian, M.A. 2015. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
TB Paru Anak di Wilayah Puskesmas Garuda Kota Bandung. Jurnal
Ilmu Keperawatan. Vol. III No. 2 . 64-79.
117
Gustin, M. Notobroto, H.B. Wibowo, A. 2013. Penerapan Metode
Multigroup Structural Equation Modeling pada Derajat Kesehatan
Balita di Indonesia. Jurnal Biometrika dan Kependudukan. Vol 2 No 2
Desember 2013: 158-166.
Hadi, S. 2009. Analisis Structural Equation Modelling dengan LISREL 8
For Windows. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta. 17 hlm.
Hadinegoro, S.R.S. 2011. The Value of Vaccination. Pedoman Imunisasi
di Indonesia. Edisi 4. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta. 13 – 49.
Hair, J.F., Ringle, C.M., Sarstedt. 2014. A Primer on Partial Least Squares
Structural Equation Modeling (PLS-SEM). SAGE Publications Ltd.
Vol 46.
Halim. Naning, R. Satrio, D.B. 2015. Faktor Risiko Kejadian TB Paru
Pada Anak Usia 1-5 Tahun di Kabupaten Kebumen. Jurnal Penelitian
Universitas Jambi Seri Sains. Vol 17 No 2. 26-39.
Haryono, S. 2017. Metode SEM untuk Penelitian Manajemen dengan
AMOS LISREL PLS. PT. Luxima Metro Media. Jakarta. 448 hlm.
Hossain, S. Quaiyum. Zaman, K. Banu, S. Husain. Islam. Cooreman, E.
Bordgroff, M. Lonnroth, K. Salim, A.H. Van Leth, F. 2012. Socio
Economic Position in TB Prevalence and Acces to Sevices : Result
From a Population Prevalence Survey and a Facility - Based Survey in
Bangladesh. PloS One, 7, e 44980.
Javali, S.B. 2012. Causal Model of Oral Health Care Expenditured in the
Surveyed Household of Dharwad, Karnataka State, India: A
Structured Equation Modeling Approach. Journal of Health
Management. SAGE Publications Ltd: 305-312.
Kartasasmita, C. B. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Jurnal Sari
Pediatri, Vol 11, No.2. Agustus 2009. 124-129.
Kementrian Kesehatan RI. 1999. Kepmenkes RI Nomor : 829 / Menkes
/SK/VII/1999 persyaratan kesehatan rumah tinggal. Dirjen P2PL.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Dirjen P2P. Jakarta. 210 hlm.
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB Anak, Dirjen P2P. Jakarta. 112 hlm.
118
Kementrian Kesehatan RI, 2017. Akselerasi Menuju Indonesia Bebas
Tuberkulosis : Kontribusi Multisektor. Dirjen P2P. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI, 2018. Sinergisme Pusat dan daerah dalam
Mewujudkan Universal Healt Coverage (UHC) melalui Percepatan
Eliminasi Tuberkulosi. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. 168 hlm.
Kementrian Kesehatan RI. 1995. Kepmenkes RI Nomor :
1995/Menkes/SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak. Direktorat Bina Gizi. Jakarta. 41 hlm.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Permenkes RI No.
1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara
Dalam Ruang Rumah. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. 28 hlm.
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016
Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta. 163 hlm.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Permenkes RI No. 12 Tahun 2017
Tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Kementrian Kesehatan RI.
Jakarta. 162 hlm.
Kusuma, I. S. 2011. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru Pada Anak Yang Berobat di Puskesmas Wilayah
Kecamatan Cimanggis Depok Februari – April 2011 (Skripsi).
Universitas Indonesia. Jakarta. 195 pp.
Lamria, dkk. 2007, Faktor Determinan Terjadinya Tuberkulosis di
Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 1, Maret 2010:
1166 —1177
Lameshow, S., Hosmer, Jr., Klar, J., and Lwanga. 1997. Adequacy of
Sample Size in Health Studies. USA. WHO. 239 hlm.
Lienhardt, C. Sillah, J. Fielding, K. Donkor, S. Manneh, K. Warndorff, D.
Bennet, S. McAdam, K. 2003. Risk of Factors for Tuberculosis
Infection in Children in Contact With Infectious Tuberculosis Cases in
The Gambia, West Africa. J. Of The American Academy Of Pediatrics
Vol. 11 No. 5 May 2003:608-614.
Lönnroth, K. Jaramillo, E. Williams, B.G, Dye, C. Raviglione, M.C. 2009.
Drivers of Tuberculosis: The Role of Risk Factors and Social
Determinants. J. Social Sciences and Medicine xxx. 2009:1-7
119
Lönnroth, K. Castro,K.G. Chakaya, J.M. Cauhan, L.S.Floyd, K. Glaziou,
P. Raviglione, M.C. 2010. Tuberculosis Control and Elimination
2010-50: Cure, Care and Social Development. www.thelancet.com
Vol. 375 May 22, 2010. 1814-1829
Siska, F. 2015. Hubungan Faktor Determinan Sosial dan Risiko
Lingkungan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Surantih Kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2015
(Thesis). Universitas Andalas. Sumatera Barat.
Nevita. Sutomo, R. Triasih, R. 2014. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis
pada Anak yang Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis
Dewasa. Sari Pediatri. Vol 16, No. 1: 5-10.
Notoatmodjo. Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta.
Jakarta
Noor, Nur Narsy. (2008). Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta
Nurwitasari, A. Wahyuni, C.U. 2015. Pengaruh Status Gizi dan Riwayat
Kontak Terhadap Kejadian Tuberkulosis Anak di Kabupaten Jember.
Jurnal Berkala Epidemiologi. 3(2):158-169.
Pemerintah Kota Bandar Lampung. 2018. Profil Kota Bandar Lampung
Tahun 2017. Pemerintah Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung
Peraturan Pemerintah RI. 2010. Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI. 2015. Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun
2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Jakarta. 63 hlm.
Prakoso, S. I. S, Mulyana. B. 2018. Keragaman Pangan dengan Status
Kadarzi Keluarga di Wilayah Kerja Posyandu Sidotopo, Surabaya. J.
Amerta Nutr: DOI : 10.2473/amnt.v2i3.2018:219-227.
Rahdumi, O. 2007. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis
Pada Anak Umur 0-14 Tahun di Balai Pengobatan dan Pemberantasan
Penyakit Paru (RS. Karang Tembok) Surakarta (skripsi). Universitas
Airlangga. Surabaya. 125 pp
Rahajoe. Nastiti, N. 2008. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. IDAI.
Jakarta
Ramadiani, 2010. SEM dan LISREL untuk analisis multivariate. Jurnal
sistem informasi (JSI), Vol. 2 No. 1 April 2010 Hal. 179 – 188.
120
Rohmah, S. 2019. Pengaruh Paparan Informasi, Lingkungan, Tokoh
Masyarakat, dan Tenaga Kesehatan Terhadap Partisipasi Dalam Desa
Siaga. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. Vol 19 No 1 Februari
2019: 133-149.
RSPI-SS.2007. Pusat Infeksi Penyakit Menular : Tuberkulosis. 19 Januari
2011. http://infeksi.com/pusat-infeksi-penyakit-menular. Diakses pada
17 Februari 2019
Saifulloh, A. R. 2010. Aplikasi Structural Equation Modelling dengan
Model LISREL di Bidang Ekonomi (Skripsi). Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 75 pp.
Sangaji, N.W, Kusnanto, H. 2018. Tuberkulosis Paru Pada Anak di
Salatiga : Pengaruh Kondisi Rumah dan Pendapatan Keluarga.
Journal of Community Medicine and Public Health. Vol 34 No 3:
121-126.
Sari, D. N. 2011. Faktor Risiko Kejadian TB Paru pada Anak yang Sudah
Diimunisasi BCG (Studi di RS. Khusus Paru Surabaya Tahun 2010–
2011). Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.
Solar, O. Irwin. A. 2010. A Conceptual Framework for Action on the
Social Determinants of Health. Social Determinants of Health
Discussion Paper 2 (Policy and Practice). WHO. Geneva. 79 pp.
Soedjatmiko. Rahajoe, N. 2011. Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai
Imunisasi. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 4. Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. hlm 165.
Upe, A. 2015. Tuberkulosis Paru Anak (0-14 tahun) Akibat Kontak
Serumah Penderita TB Paru Dewasa Di Daerah Istimewa Yogyakarta
(Disertasi). Universitas Indonesia. Jakarta. 202 pp.
Upe, A. Eryando, T. Purwantyastuti. Junadi, P. Clark, C. Teinjingen, E.V.
2017. Level Of Exposure to Childhood Tuberculosis in Household
Contacts with Adult Pulmonary Tuberculosis. National Public Health
Journal. 12(1):1-6.
Varaine, F. Henkens, M. Gouzard, V. 2010. Tuberculosis : Practical Guide
for Clinicians, Nurse Laboratory, Tecnician and Medical Auxiliaries.
http://www.captb.org/sites/default/files/document// MSF % 20 PIH %
20Tuberculosis%20Guide_en%20FINAL%. Diakses 5 Februari 2019.
Wardani, D.W.S.R. 2012. Hubungan Spasial Kepadatan Penduduk dan
Proporsi Keluarga Prasejahtera Terhadap Prevalensi Tuberkulosis
Paru di Bandar Lampung. Universitas Lampung. Lampung. 44-56.
121
Wardani, D.W.S.R. 2014. Kajian Determinan Sosial Kejadian
Tuberkulosis Paru Berbasis Geospasial dan Model Prediksinya di
Bandar lampung (Disertasi). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
179 pp.
Wardani, D.W.S.R. 2014. Social Determinant Improvment in Reducing
Tuberculosis Incidence. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vo.
9 No. 1 . Agustus 2014. 39-44.
Wardani, D.W.S.R. Lazuardi, L. Mahendradhata, Y. Kusnanto, H. 2014.
Clustered Tuberculosis Incidence in Bandar Lampung, Indonesia.
World Health Organization South-East Asia. Journal of Public
Health. 3(2) 179-185.
Wardani, D.W.S.R. and Wahono, E.P. 2018. Prediction Model of
Tuberculosis Transmission Based on Its Risk Factors and
Socioeconomic Position in Indonesia. Indian Jounal of Community
Medicine. 43:204-208.
Wardhani, D.W.S.R. 2018. Social Determinan and Risk Factor for
Tuberculosis Patients: A Case Control Study at Health Services
Applying Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) in
Bandar Lampung, Indonesia. The 2nd International Meeting of Public
Health 2016 with Theme ― Public Health Perspective of Sustainable
Development Goals the Challenge and Opportunities in Asia-Pacific
Region. KnE Life Sciences Pages 522-531.
Wijanto, S.H. 2008. Structural Equation Modeling dengan LISREL,
Konsep dan Tutorial. Graha Ilmu. Jakarta. 464 hlm.
World Health Organization. 2018. Global Tuberculosis Report 2018.
World Health Organization. Geneva. 277 hlm.
Xie,O. Tay,E.L. Denholm, J. 2018. Trend in Tuberculosis Incidence in the
Australian-Born in Victoria: Opportunities and Challenges to
Elimination. Journal Tropical Medicines Infectious Diseases.
Dis.2018,3,112.