STRESS, EATING HABITS AND CD4 OF HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS/ ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME...
-
Upload
dhila-faya -
Category
Documents
-
view
164 -
download
4
Transcript of STRESS, EATING HABITS AND CD4 OF HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS/ ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME...
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
1
HUBUNGAN ANTARA STRES DENGAN KEBIASAAN MAKAN DAN FUNGSI IMUN
PADA PENDERITA HIV/AIDS DI KLINIK EDELWEIS
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
NASKAH PUBLIKASI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Derajat Sarjana Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
Disusun oleh:
ADHILA FAYASARI
07/253836/KU/12353
PROGRAM STUDI S-1 GIZI KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
2
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
3
ASSOCIATION BETWEEN STRESS, EATING HABITS AND IMMUNE FUNCTION OF HIV/AIDS OUTPATIENTS IN EDELWEIS CLINIC RSUP DR.SARDJITO YOGYAKARTA
ABSTRACT
Adhila Fayasari1, Martalena Br Purba2, Yanri Wijayanti3
Background: Stress is often experienced by HIV/AIDS patients cause disease progression, pressure from society and stigma. Stress is associated with eating habits and immune function, so it is needed further research in HIV/AIDS patients.
Objectives: to know association between stress, eating habits and immune function of HIV/AIDS outpatients.
Methods: This research is observational research used cross sectional design and is supported by qualitative data. Subject is 132 HIV/AIDS outpatients in Edelweis clinic RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, age 20-60 years, and is willing to become respondent. This research use non-probabilistic purposive sampling. The tools we used are respondent characteristic’s questionnaire which include patient’s demographic and CD4 counts, Zung Self Rating Depression Scale for measuring stress, and Semi Quantitative Form Food Frequency for measuring eating habits. Data analysis completed by Pearson chi square method to knowing correlations between dependent and independent variables.
Results: Stress in these research population is low (18.94%) and associate with self acceptance. Patients with IDUs transmission have better coping stress than non IDUs. Based on data results by Pearson chi square there is no significant different between stress and immune
function (p=0.423) and between stress and eating habits (energy (p=0.376), carbohydrate (p=0.329), protein (p=0.090) and fat (p=0.315)). Intake requirement of respondent is adequate which obtained from the average intake of energy (±2630.8 Kal), carbohydrate (±361.0 g), protein (±91.2 g) and fat (±95.8 g). Based on non parametric Mann Whitney test there is no significant difference between eating habits and immune function (energy p=0.077, k carbohydrate p=0.945, protein p=0.084, fat p=0.092), but there is trend who has adequate eating habits have better immune function than inadequate ones. Based on logistic regression, factor that influencing immune function is long live diagnose (p=0.008; RP=2.893). Pressence of support group is significantly associated with fat intake (p=0.048, RP=2.263) and there is positive trend with energy, carbohydrate and protein intake.
Conclusions: In this population study, there is no significant association between stress, eating habits and immune function in HIV/AIDS outpatients. This is because immune function and eating habits is more affected by other risk factors.
Keywords : HIV/AIDS, Stress, Eating Habits, Immune Function
1. Health and Nutrition Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta
2. Department of Nutrition RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
3. Department of Internal Medicine RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
4
PENDAHULUAN
HIV/AIDS merupakan masalah yang serius karena virus tersebut menyerang sistem
pertahanan tubuh manusia, yaitu menyerang sel limfosit T helper (CD4) sehingga tidak jarang
penderita HIV/AIDS meninggal karena infeksi sekunder yang dideritanya (1).
Prevalensi HIV/AIDS meningkat, menurut laporan Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS)/World Health Organization (WHO) diperkirakan sampai akhir tahun 2008 di
seluruh dunia mencapai 33.4 juta jiwa dengan estimasi 31.1 juta – 35.8 juta. Jumlah total orang
yang hidup dengan virus pada tahun 2008 lebih besar 20% dari jumlah total di tahun 2000 dan
prevalensi 3 kali lipat lebih tinggi dari tahun 1990 (2). Pertumbuhan HIV/AIDS di Indonesia
merupakan yang tercepat di Asia. Kasus AIDS meningkat secara tajam dari 2.682 kasus di
tahun 2004 menjadi 19.973 di tahun 2008 dan ditambah 3.846 orang hingga Desember 2009
(3).
Stres sering dialami oleh penderita HIV/AIDS baik karena penyakit yang dialami dan
tekanan dari lingkungan masyarakat yang sering menganggap buruk penderita HIV/AIDS. Saat
orang terinfeksi HIV, mereka memperlihatkan adanya tekanan psikologis dan sosial berkaitan
dengan HIV/AIDS (4).
Prevalensi depresi, trauma dan beberapa macam masalah psikososial tinggi pada
penderita HIV/AIDS (5). Beberapa penelitian menunjukan bahwa pada individu dengan HIV-
seropositif ada hubungan antara depresi dengan progesifitas penyakit HIV baik yang baru
maupun lama dan juga berhubungan dengan kematian (6). Selain itu depresi dapat
mempengaruhi killer lymphocytes pada wanita HIV-seropositif. Depresi dapat menurunkan
aktivitas sel NK dan meningkatkan aktivasi CD8 T limfosit dan viral load (7).
Stres dapat mempengaruhi pola makan individu. Stres dapat menimbulkan gangguan
psiokosomatik saluran cerna dan karena dapat menimbulkan berbagai gejala yang sering
ditemukan antara lain nafsu makan yang bertambah. Nafsu makan ini berasal dari susunan
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
5
syaraf pusat dan timbul karena ingatan dan asosiasi tetapi rasa lapar juga mungkin timbul
gerakan saluran pencernaan yang agak keras. Selain nafsu makan bertambah dapat juga
ditemukan anoreksia (8).Kebiasaan makan juga dapat mempengaruhi fungsi imun. Hal ini
sesuai dengan review sistematik Cochrane makronutrien dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada orang yang terinfeksi HIV (9).
Berdasarkan uraian di atas, stres dapat mempengaruhi fungsi imun dan kebiasaan
makan pada penderita HIV/AIDS namun belum ada penelitian di Yogyakarta yang mengangkat
hal ini sehingga peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara
Stres Dengan Kebiasaan Makan dan Fungsi Imun Pada Penderita HIV/AIDS Di Klinik Edelweis
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional analitik dengan rancangan
cross sectional dan pendekatan kualitiatif dengan metode wawancara mendalam untuk
mendukung analisis kuantiatif.
Penelitian ini dilakukan di Klinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, LSM Kebaya,
KDS Diadjeng dan KDS Jogja Support Family pada bulan April 2010 hingga Mei 2011.
Penelitian dikonsentrasikan di RSUP Dr. Sardjito karena merupakan salah satu rumah sakit di
Yogyakarta merupakan rumah sakit rujukan bagi orang ODHA berdasarkan SK Menkes RI No.
781/MENKES/SK/VII/2004 dan salah satu tempat pelayanan promosi hingga rehabilitasi untuk
penderita HIV/AIDS yang lengkap di YogyakartaSelain itu penelitian ini merupakan penelitian
payungan yang diadakan oleh Tropical Medicine RSUP Dr. Sardjito.
Populasi penelitian ini adalah penderita HIV/AIDS di Yogyakarta, dengan populasi target
adalah pasien rawat jalan di Klinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, berusia 20-60 tahun
dan bersedia menjadi responden. Sampel diambil dengan menggunakan teknik menggunakan
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
6
non-probabilistic consecutive purposive sampling. Sampel yang memenuhi kriteria dimasukan
dalam penelitian dalam kurun waktu tertentu dimulai April 2010 hingga terpenuhi jumlah
sampelnya. Jumlah sampel minimal adalah 132 sampel.
Dalam penelitian ini yang termasuk variabel tergantung adalah fungsi imun dan
kebiasaan makan. Sedangkan variabel bebas yang mempangaruhi variabel tergantung adalah
stres. Variabel luar yang mempengaruhi variabel tergantung adalah penyakit infeksi, lama
terdiagnosis, terapi ARV, keikutsertaan LSM/KDS, status gizi, dan faktor risiko penularan.
Tingkat stres diukur dengan kuesioner Zung’s Self Rating Depression Scale. Zung’s Self
Rating Depression Scale terdiri dari 20 soal dengan skala likert. Fungsi imun diukur dari jumlah
CD4 berdasarkan data sekunder. Kebiasaan makan merupakan rata-rata asupan energi,
karbohidrat, protein dan lemak yang diukur dengan kuesioner semi quantitative food frequency
yang dibandingkan dengan kebutuhan. Variabel luar berupa penyakit infeksi, ARV, faktor risiko
penularan, status gizi dan keikutsertaan dalam LSM/KDS didapatkan dari form identitas pasien.
Sebelum dilakukan uji statistilk, dilakukan penentuan status gizi, perhitungan kebutuhan
masing-masing sampel dengan rumus Harris Benedict dan penentuan jumlah asupan kebiasaan
makan dengan menggunakan program Nutrisurvey. Uji statistik terdiri dari analisis univariat,
bivariat dan multivariat. Analisis univariat untuk mendapatkan data mengenai distribusi frekuensi
variabel. Analisis bivariat untuk data yang akan dianalisis dengan menghitung Ratio Prevalnce
(RP) dan Pearson Chi square Analisis multivariat dengan menggunakan regresi linear logistik
untuk variabel luar yang mempengaruhi variabel tergantung.
HASIL DAN BAHASAN
Karakteristik Responden
Penelitian ini mengikutsertakan 132 sampel yang didominasi oleh usia produktif yaitu 20-
39 tahun (86.46%) dan sisanya usia 40-60 tahun (13.6%) (Tabel 1). Responden yang diambil
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
7
dari Klinik Edelweis ini terdiri dari laki-laki (68.2%) dan perempuan (31.8%) yang diikuti berturut-
turut belum menikah (37.1%) dan sudah menikah (55.2%). Pada penelitian lain disebutkan
bahwa penderita HIV/AIDS didominasi oleh kaum laki-laki (68.8%) dengan perbandingan laki-
laki dan perempuan 2.3:1 (10).
Tabel 1. Karakteristik Subyek Pasien Rawat Jalan Klinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito
Demografi Kategori N (n=132)
%
Karakteristik berdasar lokasi
Klinik Edelweis LSM Kebaya KDS Diadjeng KDS JFS
103 9 10 10
78.0 6.8 7.8 7.8
Umur 20-39 tahun 40-60 tahun
114 18
86.4 13.6
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
90 42
68.2 31.8
Pendidikan SD SMP SMA S1/D3/Sederajat
7 29 71 25
5.3 22.0 53.8 18.9
Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja
15 117
11.4 88.6
Status menikah Belum menikah Menikah
53 79
37.1 55.2
Status gizi Gizi kurang Gizi normal Gizi lebih
33 74 25
25.0 56.1 18.9
Stadium HIV Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4
44 36 46 6
33.3 27.3 34.8 4.5
Faktor Risiko HIV IDU Non IDU
50 82
37.9 62.1
Penyakit Infeksi yang Diderita
Tidak ada penyakit infeksi Ada penyakit infeksi
105 27
79.5 20.5
Penyakit Hepatitis Tidak ada penyakit hepatitis Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis B dan C
92 0 4 31 5
69.7 0.0 3.0 23.5 3.8
Keikutsertaan dalam KDS/LSM
Tidak ikut serta LSM/KDS Ikut serta LSM/KDS
42 90
31.8 68.2
ARV Belum ARV Sudah ARV
16 116
12.1 87.9
Lama terdiagnosis < 1 tahun >1 tahun
40 92
30.3 69.7
sumber : data primer
Sebagian besar responden bekerja (88.6%) sedangkan sisanya yang tidak bekerja
(11.4%). Stadium yang diderita oleh responden terdiri dari stadium 1 (33.3%), stadium 2
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
8
(27.3%), stadium 3 (34.8%) dan stadium 4 (4.5%). Meningkatnya jumlah support group/KDS
mengakibatkan stadium HIV yang diderita responden masih dalam stadium awal. Dengan
adanya KDS dapat meningkatkan motivasi dan inisiatif untuk memeriksakan diri pada saat
keadaan tanpa gejala. Dalam penelitian ini keikutsertaan dalam KDS ataupun LSM cukup besar
yaitu 68.2% sedangkan sisanya 31.8% belum atau tidak ikut serta dalam KDS/LSM. Sebanyak
87.9% responden sudah menerima ARV dan sisanya 12.1% belum menerima ARV. Faktor risiko
terbanyak berasal dari Non IDU (62.1%) dan dari jarum suntik (IDU) sebanyak 37.9%.
Dari karakteristik status gizi yang dihitung dari berat badan dibagi dengan kuadrat tinggi
badan, sebagian besar responden termasuk dalam kategori normal (56.1%) diikuti gizi kurang
(25%) dan gizi lebih (18.9%). Berbeda dengan penelitian lain pasien yang diambil sebagai
responden adalah pasien rawat sehingga gizi kurang lebih mendominasi, sedangkan pada
penelitian ini pasien yang dilambil adalah pasien rawat jalan (11). Hal ini berkaitan dengan
hanya sebanyak 20.5% menderita penyakit infeksi, sisanya tidak menderita infeksi. Untuk
penyakit hepatitis, sebanyak 23.5% menderita hepatitis C, 3% hepatitis B dan 3.8% hepatitis B
dan C sisanya 69.7% tidak menderita penyakit hepatitis.
Analisis Bivariat
1. Hubungan antara Kebiasaan Makan terhadap Fungsi Imun
Berdasarkan uji nonparametrik Mann-Whitney pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa
asupan energi terhadap fungsi imun didapatkan nilai p=0.0.77 (p<0.05), asupan karbohidrat,
terhadap fungsi imun p=0.945 (p>0.05), protein terhadap fungsi imun p=0.084 dan lemak
terhadap fungsi imun p=0.092, sehingga kebiasaan makan tidak mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap fungsi imun. Namun pada asupan energi, protein dan lemak dengan nilai p
mendekati 0.05 terlihat bahwa terdapat persentase kecenderungan pada asupan yang kurang,
mempunyai fungsi imun lebih baik (CD4 > 200). Hal ini dapat dilihat dari perolehan nilai Ratio
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
9
Prevalence (RP) yang menunjukan angka mendekati 0.5. Sedangkan pada asupan karbohidrat
antara asupan cukup dan kurang tidak ada perbedaan fungsi imun (p=0.945).
Tabel 2. Hubungan antara Kebiaaan Makan terhadap Fungsi Imun Asupan Fungsi Imun Total Rasio
Prevalens hitung
P value
Kurang Baik
n % n % n %
Energi
Kurang Cukup
11 43
28.9 45.7
27 51
71.1 54.3
38 94
100 100
0.632
0.077
Karbohidrat
Kurang Cukup
17 37
40.5 41.1
25 53
59.5 58.9
42 90
100 100
0.985
0.945
Protein
Kurang Cukup
10 44
28.6 45.4
25 53
71.4 54.6
35 97
100 100
0.630
0.084
Lemak
Kurang Cukup
9 45
28.1 45.0
23 55
71.9 55.0
32 100
100 100
0.625
0.092
sumber : data primer yang diolah
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang meneliti tentang 3 jenis pola diet
pada 348 subjek HIV-positive. Dari ketiga jenis diet tidak mempunyai perbedaan yang signifikan
terhadap meningkatnya jumlah CD4. Namun pada penelitian tersebut ditemukan bahwa subyek
dengan konsumsi tinggi protein, serat dan mikronutrien mempunyai nilai BMI dan angka CD4
lebih tinggi (12).
Berbeda dengan hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa asupan kurang mempunyai
fungsi imun yang lebih baik, hal ini mungkin disebabkan fungsi imun disebabkan oleh faktor lain
selain kebiasaan makan. Fungsi imun lebih dipengaruhi oleh faktor lain seperti akses ARV,
pengaruh terapi obat, stadium, dan penyakit infeksi (13). Hal ini didukung oleh penelitian lain
bahwa tidak ada hubungan signifikan antara jumlah CD4 dan diagnosis AIDS terhadap asupan
makronutrien, dalam kata lain asupan makan tidak menurunkan progresi AIDS (14).
2. Hubungan Antara Tingkat Stres Terhadap Kebiasaan Makan
Hubungan antara tingkat stres terhadap kebiasaan makan dinyatakan dengan asupan
energi, asupan karbohidrat, asupan protein dan asupan lemak. Dapat diketahui dari Tabel 3
bahwa dengan analisis Pearson chi square hubungan antara tingkat stres terhadap asupan
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
10
energi menunjukan p=0.376, RP=1.333 (p<0.05), dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan
signifikan antara stres terhadap asupan energi. Namun dilihat dari persentase ada
kecenderungan asupan cukup pada kelompok stres (78.9%) lebih banyak dibanding pada
kelompok tidak stres (64.0%).
Tabel 3. Hubungan antara Tingkat Stres terhadap Kebiasaan Makan Asupan Tingkat Stres Total RP P value
Stres Normal
n % n % n %
Energi
Kurang Cukup
9 16 25
36 64 100
29 78 107
27.1 78.9 100
38 94 132
28.8 71,2 100
1.333
0.376
Karbohidrat Kurang Cukup
10 15 25
40 60 100
32 75 107
29.9 70.1 100
42 90 132
31.8 68.2 100
1.334
0.329
Protein
Kurang Cukup
10 15 25
40 60 100
25 82 107
23.36 72.64 100
35 97 132
26.5 73.5 100
1.646
0.090
Lemak
Kurang Cukup
8 17 25
32 68 100
24 83 107
22.43 77.57 100
32 100 132
24.2 75.8 100
1.427
0.315
sumber : data primer yang diolah
Tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres terhadap asupan
karbohidrat (p=0.329, RP=1.334). Namun persentase asupan karbohidrat kurang pada
kelompok stres (40.0%) lebih besar daripada kelompok tidak stres (29.9%). Hal yang sama
juga terjadi pada asupan protein dan lemak bahwa tingkat stres terhadap asupan protein
p=0.090, RP=1.646) dan lemak (p=0.315, RP=1.427) tidak mempunyai hubungan yang
signifikan. Namun nilai p tersebut hampir mendekati nilai p=0.05. Hal ini dapat dilihat bahwa
asupan protein kurang pada kelompok stres (40.0%) mempunyai persentase lebih besar
daripada kelompok tidak stres (23.4%). Sebaliknya pada kelompok tidak stres persentase
asupan lebih besar pada asupan protein cukup (72.6%). Hal yang sama pada asupan lemak
kurang pada kelompok stres (32.0%) mempunyai persentase lebih besar daripada kelompok
tidak stres (22.4%).
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
9
Pada keempat tabel (Tabel 4.1, Tabel 4.2, Tabel 4.3 dan Tabel 4.4) nilai Ratio
Prevalence (RP) hitung menunjukan angka lebih dari 1, sehingga ada kecenderungan stres
dapat menurunkan asupan makan dan memperburuk kebiasaan makan. Hal ini sesuai
dengan penelitian pada penyakit kronis lain yaitu pada gagal ginjal kronik, bahwa tidak ada
perbedaan asupan energi dan protein antara pasien yang mengalami stres dan tidak stres
(15).
Namun hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang menyatakan stres
psikologikal berhubungan dengan konsumsi makanan. Beberapa macam psikologikal stres
mengakibatkan peningkatan nafsu makan dan penurunan nafsu makan. Dalam populasi
penelitian ini stres cenderung menurunkan nafsu makan (16). Hal ini mungkin menandakan
bahwa orang dengan stres cenderung untuk makan lebih banyak dari biasanya dan dapat
pula makan lebih sedikit. Perbedaan efek stres tersebut menimbulkan tidak ada perbedaan
nyata terhadap asupan makan. Penderita HIV/AIDS pada populasi penelitian ini tidak ada
hubungan yang signifikan antara tingkat stres terhadap kebiasaan makan.
3. Hubungan Antara Stres Terhadap Fungsi Imun
Berdasarkan uji analisis Pearson chi square tingkat stres terhadap fungsi imun
menunjukan nilai p=0.423 (Tabel 5). Hipotesis dapat dikatakan signifikan jika p<0.05
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna fungsi imun pada
pasien dengan stres dan tidak mengalami stres. Namun dapat dilihat bahwa baik pada stres
maupun tidak stres mempunyai dominasi persentase fungsi imun yang baik yaitu 52.0% dan
60.7%. Ada kecenderungan positif bahwa penderita HIV/AIDS yang tidak stres mempunyai
fungsi imun lebih baik (RP=1.222).
Namun hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang menghubungkan
antara depresi dengan perubahan CD4 dan viral load pada penderita HIV dengan ARV
,menyebutkan bahwa ada peningkatan progresi HIV/AIDS yang terlihat dari penundaan
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
10
penurunan CD4 dan perubahan viral load pada koping depresi dan keputusasaan penderita
HIV. Perbedaan terhadap beberapa penelitian tersebut dikarenakan ada faktor yang
mempengaruhi fungsi imun selain stres itu sendiri antara lain kepatuhan obat ARV (17).
Tabel 4. Hubungan antara Tingkat Stres terhadap Fungsi Imun Tingkat Stres
Fungsi Imun Total Rasio Prevalens hitung
P value Kurang Baik
n % n % n %
Stres Tidak Stres
12 42
48.0 39.3
13 65
52.0 60.7
25 107
100 100
1.222 0.423
sumber : data primer yang diolah
Pada penelitian tersebut variabel kepatuhan obat ARV sudah dikontrol dan
didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara gejala depresi dengan penundaan penurunan
CD4 dan viral load. Namun kepatuhan itu sendiri tidak ada hubungan signifikan dengan
penurunan CD4 berbeda dengan viral load yang lebih responsif terhadap obat ARV. Pada
penelitian lain juga dinyatakan bahwa gejala depresi dapat mengakibatkan ketidakpatuhan
dalam menjalani terapi ARV (7). Kepatuhan pengobatan adalah hal yang paling penting
dalam menekan replikasi HIV dan menghindari terjadinya resistensi.
Hal ini juga dijelaskan bahwa pada terapi pengobatan lainnya yang mengharuskan
mengkonsumsi obat mempunyai risiko depresi 3 kali lebih besar dan biasanya depresi
tersebut didasarkan pada ketidakpatuhan terhadap terapi obat (18).
4. Hubungan Variabel Karakteristik terhadap Tingkat Stres, Fungsi imun dan
Kebiasaan makan
a). Tingkat Stres
Berikut ini hasil analisis data dengan Pearson chi square antara variabel luar
terhadap tingkat stres (Tabel 6.1).
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
11
Tabel 5. Hubungan antara Variabel Luar terhadap Fungsi Imun dan Kebiasaan Makan
Variabel Luar
Tingkat Stres
Fungsi Imun
Energi Karbohidrat Protein Lemak
p p P P P P
Faktor Risiko HIV Penyakit infeksi Status gizi KDS/LSM ARV Lama terdiagnosis
0.041** 0.950 0.888 0.618 0.984 0.241
0.573 0.083* 0.152* 0.490 0.402 0.003**
0.153* 0.186* 0.767 0.043** 0.125* 0.299
0.421 0.784 0.647 0.008** 0.077* 0.355
0.479 0.339 0.939 0.225* 0.588 0.866
0.104* 0.200* 0.556 0.096* 0.213* 0.565
keterangan : * p<0.25; ** signifikan jika p<0.05
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa yang mempengaruhi tingkat stres pada penderita
HIV/AIDS di Klinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito adalah faktor risiko HIV (p=0.041). Faktor
risiko HIV dikelompokan menjadi faktor risiko IDU dan non IDU. Hal ini dikarenakan faktor
risiko penularan melalui jarum suntik/IDU berpengaruh terhadap penurunan fungsi imun dan
perkembangan ke tahap AIDS serta kematian (19). Hal ini berhubungan terhadap tingkat
stres. Namun pada hasil penelitian ini faktor risiko IDU tidak mengalami stres paling besar
(90.0%) daripada faktor non IDU (75.6%). Hal ini dikarenakan beberapa responden dengan
faktor risiko IDU sudah mengerti benar risiko terkena HIV/AIDS dari penggunaan jarum suntik
dan sistem grup sosial antar pecandu cukup kuat. Selain itu pada variabel lama terdiagnosis
walaupun tidak ada hubungan signifikan namun ada kecenderungan positif bahwa semakin
lama terdiagnosis semakin tinggi untuk tidak mengalami stres (p=0.241; RP = 1.533).
b). Fungsi Imun
Tabel 5 menunjukan hubungan antara variabel luar dengan fungsi imun. Variabel luar
tersebut terdiri dari faktor risiko HIV, penyakit infeksi, status gizi, keikusertaan KDS/LSM,
terapi ARV dan lama terdiagnosis.
Pada variabel luar lama terdiagnosis mempunyai hubungan yang signifikan terhadap
fungsi imun (p=0.003; RP=1.840). Hal ini terlihat bahwa pada persentase stres tinggi pada
kelompok dengan lama terdiagnosis <1 tahun, sehingga ada hubungan positif antara lama
terdiagnosis dengan fungsi imun. Kecenderungan hubungan positif juga terlihat pada
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
12
variabel luar penyakit infeksi terhadap fungsi imun walaupun tidak ada hubungan yang
signifikan. Hasil ini sejalan dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa terapi ARV,
lama terdiagnosis dan adanya support group (LSM/KDS) tidak mempengaruhi jumlah CD4
(7,14)
c). Kebiasaan Makan
Tabel 5 merupakan hasil analisis Pearson chi square antara variabel luar terhadap
asupan energi. Variabel luar yang memiliki p<0.25 untuk uji regresi logistik adalah faktor
risiko HIV, penyakit infeksi, keikutsertaan LSM/KDS, dan ARV.
Variabel luar yang memiliki hubungan signifikan terhadap asupan energi adalah
keikutsertaan LSM/KDS (p=0.043; RP=1.734). Hal ini menunjukan bahwa responden yang
ikut serta dalam LSM/KDS asupan energi lebih baik sebanyak 2 kali. Sedangkan variabel
status gizi dan lama terdiagnosis tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap
asupan energi.
Variabel yang mempunyai p<0.25 untuk seleksi uji regresi logistik adalah
keikutsertaan LSM/KDS, dan ARV. Variabel luar yang memiliki hubungan signifikan terhadap
asupan karbohidrat adalah keikutsertaan LSM/KDS (p=0.008; RP=1.948). Hal ini
menunjukan bahwa pada responden yang ikutserta dalam LSM/KDS asupan karbohidrat 2
kali lipat lebih baik.
Variabel yang mempunyai p<0.25 untuk seleksi uji regresi logistik adalah keikutsertaan
LSM/KDS. Tidak ada variabel luar yang memiliki hubungan signifikan terhadap asupan
protein. Namun pada variabel faktor risiko HIV, kelompok IDU memiliki persentase asupan
protein cukup lebih besar (81.7%) daripada faktor risiko non IDU. Hal ini sesuai dengan Kim
et al (2001) bahwa faktor risiko IDU cenderung termasuk tingkat ekonomi menengah ke atas,
hal ini dikaitkan dengan kemampuan membeli bahan makan yang mengandung protein.
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
13
Variabel yang mempunyai p<0.25 untuk seleksi uji regresi logistik adalah faktor risiko
HIV, penyakit infeksi, keikutsertaan LSM/KDS, dan ARV. Tidak ada variabel luar yang
memiliki hubungan signifikan terhadap asupan lemak. Namun pada variabel faktor risiko ada
kecenderungan asupan lemak yang cukup pada kelompok faktor risiko IDU (80.5%), hal
sebaliknya terjadi pada faktor risiko non IDU yang memiliki persentase asupan lemak kurang
lebih banyak daripada faktor risiko IDU.
Pada variabel keikutsertaan LSM/KDS mempunyai hubungan yang positif terhadap
asupan lemak. Hal ini dapat dilihat pada persentase asupan lemak cukup terbesar pada
kelompok yang ikut serta dalam LSM/KDS (80.0%) sehingga dengan nilai RP 1.667, dapat
dikatakan bahwa responden yang ikut serta dalam LSM/KDS mempunyai asupan lemak 2
kali lipat lebih baik daripada responden yang tidak ikut serta dalam LSM/KDS.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyebutkan bahwa asupan makan tidak
mempengaruhi status gizi pada HIV positif dengan riwayat IDU (20). Hasil yang sama
dikemukakan bahwa faktor penyebabnya tidak adekuatnya asupan adalah infeksi HIV/AIDS
itu sendiri. Infeksi HIV menyebabkan gangguan metabolisme dalam tubuh termasuk
metabolisme energi, protein, karbohidrat dan lemak (11).
Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk melihat hubungan variabel bebas dengan
variabel terikat adjusted dengan variabel pengganggu. Analisis multivariat menggunakan
model uji statistik regresi logistik dengan tingkat kemaknaan p<0.05, nilai RP diperoleh dari
koefisien korelasi.
Berdasarkan Tabel 6 faktor yang paling mempengaruhi fungsi imun adalah lama
terdiagnosis dengan nilai p=0.008, PR 2.893, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin lama
terdiagnosis, fungsi imun 3 kali lipat lebih baik. Selain hal ini menunjukan bahwa nilai CD4
pada saat terdiagnosis pada populasi penelitian ini cenderung rendah.
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
14
Tabel 6. Regresi Logistik yang Mempengaruhi Kebiasaan Makan
Variabel B S.E P Wald Sig. Exp(B)
Fungsi Imun
Status gizi 0.267 0.283 0.891 0.345 1.306 Penyakit Infeksi -0.721 0.455 2.509 0.113 0.486 Lama Terdiagnosis 1.062 0.400 7.065 0.008 2.893
Energi
Faktor risiko 0.624 0.438 2.029 0.154 1.866 Penyakit Infeksi 0.634 0.557 1.294 0.255 1.885 Lama Terdiagnosis 0.426 0.465 0.840 0.359 1.532
Keikutsertaan LSM/KDS 0.733 0.424 2.996 0.083* 2.082 ARV -0.753 0.815 0.852 0.356 0.471 Karbohidrat
Keikutsertaan LSM/KDS 0.752 0.405 3.457 0.063* 2.122 ARV -1.047 0.789 1.762 0.184 0.351 Lemak
Faktor risiko 0.496 0.411 1.461 0.227 1.643 Penyakit Infeksi 0.607 0.555 1.198 0.274 1.863 Keikutsertaan LSM/KDS 0.817 0.413 3.904 0.048* 2.263 ARV -0.863 0.805 1.149 0.284 0.422
sumber : data primer yang diolah
Peningkatan fungsi imun berdasarkan lama terdiagnosis dipengaruhi oleh perawatan
dan terapi ARV. Semakin lama terdiagnosis, semakin baik penerimaan diri dan semakin baik
perawatan yang telah diterima. Diagnosis HIV pada populasi penelitian ini ditegakan disertai
dengan infeksi opoturnistik. CD4 dipengaruhi oleh infeksi (21). Semakin lama seseorang
terdiagnosis, semakin baik jumlah CD4 dikarenakan sudah tidak ada infeksi opoturnistik.
Pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa hanya keikutsertaan LSM/KDS yang mempunyai
hubungan signifikan terhadap asupan lemak (p=0.048). Namun pada asupan energi
(p=0.083) dan karbohidrat (p=0.063) memiliki nilai p mendekati 0.05 sehingga ada
kecenderungan keikutsertan LSM/KDS ada hubungan.
Prevalence Ratio (PR) terhadap asupan energi, karbohidrat dan lemak mendekati
angka 2, sehingga dapat dikatakan bahwa responden yang ikut dalam LSM/KDS mempunyai
kebiasan makan 2 kali lipat lebih baik daripada responden yang tidak ikut LSM/KDS.
Hal ini didukung oleh penelitian yang menyatakan bahwa pada lansia yang
mempunyai hubungan sosial memiliki hubungan positif terhadap asupan makan yang lebih
baik (22). Dukungan sosial tidak hanya terbatas pada LSM/KDS, dukungan sosial juga dapat
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
15
berasal dari keluarga, teman atau kerabat dekat. Namun dalam penelitian ini yang diteliti
hanya keikutsertaan dalam LSM/KDS.
Selain itu faktor lain yang mempengaruhi kebiasaan makan seperti nafsu makan, efek
obat, pengetahuan dan pendapatan ekonomi subyek tidak diteliti lebih jauh dalam penelitian
ini. Secara fisiologis kehilangan nafsu makan disebabkan karena obat-obat yang diberikan
dalam hal ini obat ARV. Efek mual dan muntah pada awal pengobatan diakibatkan oleh dosis
penuh yang diberikan dan efek tersebut akan hilang setelah 2 bulan.
Lain halnya dengan peningkatan nafsu makan setelah mengkonsumsi ARV.
Beberapa obat diketahui dapat meningkatkan nafsu makan dan meningkatkan metabolisme
lemak sehingga peningkatan berat badan tidak hanya dipengaruhi oleh asupan makan tetapi
juga pengaruh obat (ECSA-HC, et al 2008).
Tingkat stres, fungsi imun dan kebiasaan makan pada penderita HIV/AIDS di klinik
Edelweis dipengaruhi beberapa faktor yang kompleks dan bersifat involuntary. Dan hasil
penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan karena karakteristik responden yang heterogen
dan hanya beberapa faktor yang berhasil diteliti.
KESIMPULAN DAN SARAN
Gambaran tingkat stres populasi penleitian ini menyangkut penerimaan diri yang
dipengaruhi oleh faktor risiko. Faktor risiko IDU memiliki penerimaan diri yang lebih baik
daripada faktor risiko non IDU. Tidak ada hubungan yang signifikan antara stres dengan
kebiasaan makan dan fungsi imun pada penderita HIV/AIDS rawat jalan RSUP. Dr. Sardjito
Yogyakarta. Hal ini dikarenakan ada faktor lain yang mempengaruhi. Faktor yang
mempengaruhi fungsi imun adalah lama terdiagnosis. Keikutsertaan LSM/KDS mempunyai
hubungan yang signifikan terhadap asupan lemak. Namun ada kecenderungan positif antara
keikutsertaan LSM/KDS terhadap asupan energi, karbohidrat dan protein.
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Lythgo, P. A. Molecular Virology of HIV-1 and Current Antiviral Strategies. Bio Tech 2004; 2: 81-85.
2. UNAIDS, AIDS Epidemic Update. Joint United National Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) and World Health Organization (WHO); 2009.
3. National AIDS Commission Republic of Indonesia. 2009. Republic of Indonesia Country Report on the Follow Up to Declaration of Commitment On HIV/AIDS Reporting period 2008-2009. Indonesia: NACRI; 2009.
4. Helfy. Health Psychology The Live of Person With AIDS. Majalah Kedoteran Nusantara; 1996. In : Maharani, Evi Kartika. Gambaran Konsep Diri Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Di Jaringan ODHA Yogyakarta (JOY). Naskah Publikasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; 2004.
5. Whetten, K., Reif,S., Whetten, R., et al. 2008. Trauma, mental health,distrust, and stigma among HIV-positive persons: implications for effective care. Psychosom Med. 2008; 70,: 531–8.
6. Leserman J, Jackson, E. D, Petitto, J. M, Golden, R. N, Silva, S. G, Perkins, D. O, Cai, J., Folds, J. D., Evans, D. L. Progression to AIDS: the effects of stress, depressive symptoms, and social support. Psychosom Med. 1999; 61: 397–406
7. Evans, D. L., Teh Have, T. R., Douglas, S. D., Gettes, D. R., Morrison, M., Chiappini M.S., Brinker-Spence, P., Job, C., Mercer, D. E., Wang, Y.L., Cruess, D., Dube., Benoit., Dalen, E. A., Brown, T., Bauer, R., Petitto, J.M. Association of Depression With Viral Load CD8 T Lymphocytes, and Natural Killer Cell in Women with HIV Infection. Am J Psychiatry.2002;159:1752-1759.
8. Maramis, W. F., Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press; 1999. In : Kurniawati, D. Hubungan Toleransi Stres dengan Keederungan Binger Eating Disorder dan Obesitas pada Siswa SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, Skripsi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; 2007.
9. van Rie A, Warren R, Richardson M, et al. Exogenous reinfection as a cause of recurrent tuberculosis after curative treatment. N Engl J Med 1999; 341: 1174–1179.
10.Widyadharma, I. P. E. Perbedaan Angka CD4 Penderita HIV dengan Gangguan Kognitif dan Tanpa Gangguan Kognitif. Tesis S2 Ilmu Kedokteran Klinik Minat Utama Ilmu Penyakit Syaraf Universitas Gadjah Mada; 2009.
11.Rahadrjo, A. N. Hubungan Asupan Nutrisi dengan Status Gizi Pasien HIV & AIDS. Skripsi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga; 2010.
12. Hendricks, K.M., Mwamburi, D.M., Newby, P.K., Wanke, C.A. Dietary patterns and health
and nutrition outcomes in men living with HIV infection. Am J Clin Nut. 2008; 88:1584-92.
13.Indrawati, V. Hubungan Nilai CD4 pada Awal Pengobatan ARV dengan Kemampuan
hidup 1 tahun orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Tesis. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta; 2008.
14.Kim, J.H., Spiegelman, D., Rimm, E., Gorbach, S.L. The correlates of dietary intake among HIV-positive adults. Am J Clin Nutr 2001;74:852–61.
15.Sujana, H. Perbedaan Asupan Energi dan Protein pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan Hemodialisi yang Mengalami Depresi dan Tidak Depresi Di rumah Sakit Dr. Sardjito. Skripsi S1 Gizi Kesehatan FK UGM; 2007.
16.Lattimore, P.J. Stress-induced eating: An alternative method for inducing ego-threatening stress. Appetite , 2001;36( 2):187–188.
17.Ironson,G.,O’Cleirigh,C., Fletcher, M.A., Laurence, J.P., Balbin, E., Klimas, N., Schneiderman, Solomon, G. Psychosocial Factors Predict CD4 and Viral Load Change in
Association Between Stress, Eating Habits And Immune Function Of HIV/AIDS Outpatients In Edelweis Clinic RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
17
Men and Women With Human Immunodeficiency Virus in the Era of Highly Active Antiretroviral Treatment . Psychosomatic Medicine .2005; 67:1013-1021.
18.Kacanek, D., Jacobson, D.L., Spiegelman, D., Wanke, C., Issac, R., Wilson, I.B. Incedent Depression Symptoms Are Associated With Poorer HAART Adherence : A Longitudinal Analysis From the Nutrition for Healthy Living Study. J Acquir Immune Defic Syndr 2010; 53:266–272.
19.Mathias, E. May, M. Prognosis of HIV-1-Infected Patients Starting Highly Active Antiretroviral Therapy : a Collaborative Analysis of Prospective Studies. Abstract. The Lancet , 2002; 360.
20.Forrester, J.E., Tucker, K.L., Gorbach, S.L. Dietary intake and body mass index in HIV-positive and HIV-negative drug abusers of Hispanic ethnicity. Public Health Nutrition: 2004; 7(7), 863–870
21.Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Terapi Antiretroviral. Jakarta : Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PP & OL; 2004.
22.McIntosh, W.A., Shifflett, P.A., Picou, J.S. Social Support, Stressful Events, Strain, Dietary Intake, and the Elderly. Medical Care 1989; .27(2) (Abstract)
23.East, Central, and Southern African Health Community (ECSA-HC), Food and Nutrition Technical Assistance Project (FANTA), and LINKAGES Project. Nutrition and HIV/AIDS: A Training Manual for Nurses and Midwives. Arusha, Tanzania: ECSA-HC; 2008.