STRATEGIC FAMILY THERAPY UNTUK MENGUBAH POLA …
Transcript of STRATEGIC FAMILY THERAPY UNTUK MENGUBAH POLA …
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
25
STRATEGIC FAMILY THERAPY UNTUK MENGUBAH POLA
KOMUNIKASI PADA KELUARGA
Mentari Marwa
Institut Agama Islam Tribakti Kediri
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pola komunikasi dalam keluarga dan unttuk
mengubah pola komunikasi dalam keluarga di desa Bulusan Kediri. Jenis penelitian adalah
penelitian kuantitatif eksperimen dengan mengunakan desain pre eksperimental desain.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 1 keluarga di Desa Bulusan Kediri, teknik
pengambilan sample menggunakan purposive sampling. Instrumen penelitian menggunakan
skala pola komunikasi yang telah dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan masalah yang
muncul dalam keluarga yang terdiri dari 10 item pernyataan. Analisis data yang digunakan
paried Sampel t-test (Uji-t). Hasil penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan tingkat
permasalahan yang di sebabkan oleh pola komunakasi yang maladaptif yaitu 2.69 sebelum
(pre tes) dan sesudah perlakuan (pos tes) sebesar 2.38. Hal ini menunjukkan adanya
penurunan tingkat permasalahan dalam keluarga, sehingga intervensi memberikan perubahan
dalam komunikasi antar anggota keluarga.
Kata Kunci: Pola Komunikasi, strategic family therapy
Latar Belakang
Komunikasi dapat berlangsung setiap saat, kapan saja, oleh siapa saja dan dengan siapa saja.
Kelompok pertama yang dialami oleh seorang individu yang baru lahir adalah keluarga.
Hubungan yang dilakukan oleh individu adalah dengan ibunya, bapaknya dan anggota
keluarga lainnya. Karena tanggung jawab orang tua adalah mendidik anak, maka komunikasi
yang berlangsung dalam keluarga bernilai pendidikan. Dalam komunikasi, ada sejumlah
norma yang ingin diwariskan oleh orang tua kepada anaknya dengan pengandalan
pendidikan. Norma-norma tersebut mencakup norma agama, akhlak, sosial, etika-etika dan
moral.
Komunikasi dalam interaksi keluarga ditinjau dari kepentingan orangtua adalah untuk
memberikan informasi, nasihat, mendidik dan menyenangkan anak-anak. Anak
berkomunikasi dengan orangtua adalah untuk mendapatkan saran, nasihat, masukan dalam
memberikan respon dari pertanyaan orangtua. Komunikasi antar anggota keluarga dilakukan
untuk terjadinya keharmonisan dalam keluarga pengalaman antar satu dengan yang lain. Dan
dari setiap komunikasi yang dilakukan dalam keluarga dapat membuat perubahan perilaku
anggota keluarga juga, bearti sebagai keterbukaan dari setiap anggota keluarga apabila dari
salah satu anggota keluarga mengalami masalah yang menyenangkan atau yang tidak
menyenangkan, dengan adanya sebuah komunikasi permasalahan yang sedang terjadi di
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
26
dalam sebuah keluarga itu dapat dibicarakan secara baik-baik untuk mendapatkan solusi yang
baik juga(Goldenberg, 2008).
Pusat dari sistem interpersonal dalam tiap kehidupan seseorang adalah keluarga
(Framo dalam Kendall, 1982). Fungsi keluarga adalah sebagai tempat saling bertukar antara
anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional setiap individu. Sistem
keluarga mempunyai aturan dan prinsip-prinsip tertentu untuk melakukan tugas sehari-hari.
Keluarga sehat memiliki aturan yang konsisten, jelas dan dapat dijalankan dari waktu ke
waktu dan dapat disesuaikan dengan perubahan perkembangan kebutuhan keluarga (Devi,
2016). Pertama kali yang memperkenalkan anak pada hukum dan sistem sosial adalah
orangtua, maka orangtua merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan
pemahaman moral anak melalui interaksi dalam keluarga (Mounts & Steinberg, dalam
Papalia, 2001).
Di dalam interaksi tidak terlepas dari melakukan komunikasi, komunikasi dengan
baik akan menghasilkan umpan balik yang baik pula. Komunikasi diperlukan untuk mengatur
tata krama pergaulan antar manusia, sebab dengan melakukan komunikasi interpersonal
dengan baik akan memberikan pengaruh langsung pada struktur seseorang dalam
kehidupannya (Cangara dalam Utami, 2017). Komunikasi dalam keluarga menjadi penting
karena dengan adanya komunikasi interpersonal antar sesama anggota keluarga maka akan
tercipta hubungan yang harmonis dan dapat diketahui apa yang diinginkan dan yang tidak
diinginkan oleh salah satu anggota keluarga.
Masalah keluarga merupakan gejala interpersonal, kondisi emosi salah satu anggota
keluarga berpengaruh pada setiap anggota lain. Bila satu anggota keluarga merasa tidak enak,
maka hal ini akan mempengaruhi anggota lainnya. Kondisi keluarga dapat dianalogikan
dengan keadaan homeostasis. Dalam keadaan terapi, keadan homeostasis struktur keluarga,
anak-anak merupakan emotional product dari orangtua (Hasnida, 2002). Menurut Goldenberg
(2008) terapi keluarga sering dimulai dengan fokus pada satu anggota keluarga yang
mempunyai masalah. Dengan segera, terapis akan berusaha untuk mengidentifikasi masalah
keluarga atau komunikasi keluarga yang salah, untuk mendorong semua anggota keluarga
mengintropeksi diri menyangkut masalah yang muncul.
Terapi keluarga adalah cara baru untuk mengetahui permasalahan seseorang,
memahami perilaku, perkembangan simtom dan cara pemecahannya. Terapi keluarga dapat
dilakukan sesama anggota keluarga dan tidak memerlukan orang lain, terapis keluarga
mengusahakan supaya keadaan dapat menyesuaikan, terutama pada saat antara yang satu
dengan yang lain berbeda (Almasitoh, 2012). Terapi keluarga sering dimulai dengan fokus
pada satu anggota keluarga yang mempunyai masalah. Sebagai contoh, subjek yang
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
27
diidentifikasi adalah remaja laki-laki yang sulit diatur oleh orang tuanya atau gadis remaja
yang mempunyai masalah makan. Sesegera mungkin, terapis akan berusaha untuk
mengidentifikasi masalah keluarga atau komunikasi keluarga yang salah, untuk mendorong
semua anggota keluarga mengintrospeksi diri menyangkut masalah yang muncul. Tujuan
umum terapi keluarga adalah meningkatkan komunikasi karena keluarga yang bermasalah
seringkali percaya pada pemahaman tentang arti penting dari komunikasi (Goldenberg,
2008).
Salah satu upaya mengatasi persoalan antar anggota keluarga adalah dengan
menggunakan strategic family therapy. Intervensi ini langsung menangani masalah-masalah
yang ada di dalam keluarga, yaitu fokus pada pola komunikasi keluarga yang digunakan saat
ini dan treatment goals berasal dari masalah atau gejala yang ditampakkan (Winek, 2012).
Tujuan dari strategic family therapy adalah meningkatkan dan menciptakan pola komunikasi
yang baik dalam keluarga sehingga keluarga dapat bekerja sama mendorong untuk
menciptakan keluarga agar berfungsi lebih baik (Santisteban, et.al., 2003).
Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti memberikan perlakuan berupa Strategic
Family theraphy untuk mengubah pola komunikasi pada keluarga dengan dua kepala
keluarga
Kajian Teori
Pola Komunikasi dalam Keluarga
Komunikasi yang terbuka diharapkan dapat menghindari kesalahpamahan. Sifat
keterbukaan dalam komunikasi juga dilaksanakan dengan anak-anak, apabila anak-anak
sudah dapat berpikir secara baik, maka anak dapat mempertimbangkan mengenai hal-hal
yang dihadapinya secara baik pula. Dengan demikian, akan menimbulkan saling pengertian
di antara seluruh anggota keluarga, dan tercipta tanggung jawab sebagai anggota keluarga.
Dalam komunikasi, kemampuan mendengar merupakan suatu hal yang cukup penting.
Mendengarkan dengan penduh simpati ditandai dengan: (a) Peka akan perasaan yang
menyertai pesan yang disampaikan; (b) Mendengarkan dengan penuh perhatian; (c) Tidak
menyela pembicaraan atau memberikan komentar ditengah-tengah; (d) Menaruh perhatian
pada ‘dunia‛ pembicara; (e) Sendiri tidak penting, yang penting adalah pembicara (Riyanto,
2002).
Komunikasi adalah hubungan kontak antar manusia, baik individu maupun kelompok.
Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak, komunikasi adalah bagian dari kehidupan
manusia. Setiap orang yang hidup dalam masyarakat, sejak bangun tidur sampai tidur lagi,
senantiasa terlibat dalam komunikasi. Bahkan sejak dilahirkan, manusia sudah berkomunikasi
dengan lingkungannya. Gerak dan tangis yang pertama pada saat ia dilahirkan adalah suatu
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
28
tanda komunikasi. Terjadinya komunikasi adalah sebagai konsekuensi hubungan sosial
(social relation), (Widjaja, 1997). Menurut Aristotle’s (dalam Croft, 2004) mengatakan
bahwa terdapat 3 element di dalam komunikasi diantaranya yaitu: pembicara (speaker), pesan
(messager) dan pendengar (listener). Komunikasi dalam keluarga yaitu hubungan timbal
balik antara anggota keluarga untuk berbagai hal dan makna dalam keluarga. Tujuan dari
komunikasi dalam keluarga yaitu untuk mengetahui dunia luar, untuk mengubah sikap dan
perilaku. Oleh karena itu dengan melakukan komunikasi interpersonal yang baik diharapkan
perkembangan pemahaman moral akan berjalan baik pada seorang remaja. (Widjaya, 2000).
Komunikasi keluarga dari sisi sosiologis dianggap sebagai suatu kelompok sosial
yang terkecil di dimana antar individu di dalam keluarga saling berinteraksi, dan dalam
interkasi inilah maka kegiatan komunikasi secara otomatis terjadi baik secara verbal (kata-
kata atau ucapan) maupun non verbal (dengan isyarat). Keluarga juga digolongkan pada
kelompok primer dengan ciri-ciri: interaksi sosial yang lebih intensif, erat hubungan sesama
anggota kelompok, saling mengenal dari dekat sesama anggota, dan komunikasi bersifat face
to face (secara langsung, dan secara tatap muka). Tren penelitian dalam psikologi humanistik
dan eksistensialisme terinspirasi ide bahwa hubungan dapat ditingkatkan melalui komunikasi
yang efektif (Heath & Bryant, 2000).
Strategic Family Therapy
Strategic family therapy berdasarkan konsep Cybernatics yaitu studi ynag mempelari
bagaimana sistem pemrosesan informasi dikarenakan ada umpan balik (feedback). Studi ini
berasumsi bahwa jika terjadi perilaku psikotik pada salah satu anggota keluarga disebabkan
ketika keluarga memiliki komunikasi yang patologis pula. Menurut Haley & Madanes,
keluarga bermasalah akibat dinamika dan struktur keluarga yang disfungsional, perilaku yang
bermasalah merupakan usaha individu untuk mencapai kekuasaaan dan rasa aman (Olson,
2007).
Prosedur Strategic family therapy ada beberapa tahap. Pertama Social stage yaitu
menghadirkan seluruh anggota keluarga dimana setiap keluarga diminta untuk memberikan
pendapat yang dihadapi. Terapis menciptakan suasana yang nyaman dimana tidak ada aksi
balas dendam dan mengintimidasi. Kedua, the problem stage yaitu menjelasakan kepada
keluarga alasan kenapa mereka harus hadir, memberikan kesempatan kepada masing-masing
keluarga untuk berbicara dimulai pada anggota keluarga yang netral yaitu suami. Ketiga, the
interaction stage yaitu meminta komentar dari setiap anggota keluarga yang hadir kemudian
meminta keluarga untuk membicarakan masalah bersama-sama. Keempat, defining desired
changes yaitu terapis menyampaikan permasalahannya apa, setelah semua anggota keluarga
mengetahui permasalahan yang terjadi. Kemudian terapis menanyakan perubahan seperti apa
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
29
yang diharapkan. Kelima, ending the interview yaitu pengambilan langkah setelah dicapai
kesepakatan bersama mengenai definisi masalah kemudian melanjutkan pada sesi selanjutnya
peemberian tugas. Keenam, directive yaitu menciptakan perilaku berbeda yang selama ini
tidak pernah dilakukan sehingga memperoleh pengalaman subjektif yang berbeda,
dilanjutkan reframing yaitu bahwa apa yang dilakukan anggota keluarga dengan interpretasi
negatif dan di reform dengan interpretasi positif (Devi, 2016).
Pola komunikasi dan Strategic Family Therapy
Szapocznik & Kurtines (1989) menjelaskan bahwa SFT terbagi dalam tiga konstruk:
(1) Sistem. Sistem adalah suatu keseluruhan yang terorganisasi dan terdiri dari bagian-bagian
yang saling bergantung atau saling terkait. Keluarga adalah sebuah sistem yang terdiri dari
individu-individu yang selalu memengaruhi perilaku anggota keluarga lainnya. Di samping
itu, anggota keluarga akan menjadi terbiasa dengan perilaku anggota keluarga yang lain
karena perilaku mereka terjadi berkali-kali sepanjang hidup. Perilaku ini secara sinergis
mengatur sistem keluarga, (2) Struktur atau Pola Interaksi. Pola berulang dalam interaksi
keluarga disebut sebagai struktur keluarga. Struktur keluarga yang maladaptif
dikarakteristikkan sebagai interaksi keluarga yang berulang namun memperlihatkan
tanggapan atau respon yang tidak memuaskan dari anggota keluarga lainnya.
Struktur keluarga yang maladaptif dipandang sebagai kontributor penting sehingga
memunculkan dan menguatkan permasalahan perilaku. Beberapa penelitian mengemukakan
bahwa remaja dengan penyalahgunaan obat atau permasalahan perilaku dapat berubah
sebagai hasil perubahan hubungan keluarga (Liddle & Dakof, 1995; Santisteban, Szapocznik,
Perez-Vidal, Kurtines, Coatsworth, & LaPerriere, 2003), (3) Strategi. Strategi adalah
intervensi yang praktis, fokus kepada masalah dan disengaja. Intervensi yang praktis dipilih
sesuai dengan kebutuhan keluarga untuk membawa keluarga pada perubahan yang
diinginkan. Salah satu aspek penting dari intervensi yang praktis ini adalah penekanan aspek
dari realitas keluarga. Strategic family therapy memberikan keluarga dengan cara mengurangi
faktor risiko individu dan keluarga melalui intervensi terfokus yang meningkatkan hubungan
keluarga bermasalah dan strategi keterampilan untuk membangun dan memperkuat hubungan
keluarga. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Paramastri & Martiningtyas (2015),
menunjukkan bahwa BSFT dilakukan selama dua bulan dan mampu mengubah pola
komunikasi dalam keluarga sehingga permasalahan perilaku anak menurun. Follow up
setelah delapan bulan terapi menunjukkan adanya penurunan frekuensi pertengkaran dan
peningkatan frekuensi komunikasi orangtua–anak.
Salah satu target intervensi adalah hubungan keluarga yang bermasalah. Terapis akan
berperan aktif dalam merencanakan strategi dan mengarahkan jalannya terapi, terlibat
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
30
langsung dalam mencapai tujuannya untuk mengurangi dan menghilangkan permasalahan-
permasalahan yang ada dalam keluarga atau perilaku yang nampak (Goldenberg, 2008).
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Desain dalam
penelitian adalah rencana dan struktur penyelidikan yang disusun sedemikian rupa yang
bertujuan untuk memperoleh jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan penelitian
(Kerlinger, 2003). Definisi lain, desain penelitian diartikan sebagi rencana atau strategi
yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian (Seniati, 2005).
Desain penelitian eksperimen ini mengunakan pre eksperimental desain yaitu peneliti
mengamati satu kelompok utama dan melakukan intervensi di dalamnya sepanjang penelitian
, dalam rancangan ini tidak ada kelompok kontrol untuk diperbandingkan dengan kelompok
eksperiment (Creswell, 2010).
Subjek Penelitian
Untuk memenuhi ketentuan penelitian eksperimen, maka subjek penelitian berjumlah 1
keluarga di Desa Bulusan kediri. Berdasarkan desain penelitian, subjek dipilih dengan
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan pertimbangan profesional yang
dimiliki peneliti dalam usaha memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan peneliti
(Darmadi, 2013). Subjek yang terlibat dalam penelitian yaitu
1. Memiliki 2 kepala keluarga dalam 1 rumah ( keluarga Ayah dan keluarga Anak)
2. Keluarga ayah memiliki 2 anak
3. Keluarga anak memiliki satu anak
4. Serta nilai rendah dalam skala pola komunikasi.
A. Prosedur Intervensi
Rancangan dan prosedur eksperimen antara lain:
1. Tahapan Persiapan: Membuat instrumen penelitian
2. Pelaksanaan Intervensi
Intervensi dirancangkan sebanyak Tiga sesi dan masing-masing sesi dilakukan selama 60-90
menit. Selama Sembilan sesi dilakukan secara bertahap:
Sesi satu (‘’1 sd 2 hari), Terapis membangun raport pada anggota keluarga agar
merasa nyaman mengikuti terapi dilanjutkan sesi social stage, terapis memperkenalkan diri
dan perannya sebagai seorang terapis. Setelah dilakukan asesmen terpisah masing-masing
subjek, terapis mengumpulkan semua angota keluarga untuk hadir.
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
31
Sesi dua (‘’1 sd 2 hari) problem stage, terapis menjelasakan tujuan dari terapi
keluarga yang akan dilaksanakan bersama, selanjutnya terapis meminta dari masing-masing
subjek untuk menyampaikan pendapat mengenai permasalahan yang dihadapi.
Sesi tiga (‘’1 sd 2 hari), terdiri dari interaction stage, terapis memberikan kesempatan
pada anggota keluarga untuk membicarakan permasalahan yang terjadi dalam keluarga.
Kemudian dilanjutkan defining desired changes, terapis menjelasakan kepada masing-masing
subjek mengenai permasalahan dan perilaku yang menyebabkan masalah dalam keluarga.
Pada sesi defining desired changes terapis meminta masing-masing subjek untuk membuat
tabel perubahan perilaku yang diharapkan.
Sesi Empat (‘’1 sd 2 hari), Ending interview, perubahan perilaku yang diharapkan itu
menjadi tugas masing-masing subjek untuk mencapai perubahan dalam keluarga tersebut.
Setelah sepakat mengenai perubahan perilaku, terapis meminta masing-masing subjek selama
tujuh hari menerapkan tabel perubahan yang sudah di sepakati dan melaporkan dengan
menggunakan self report. Dilanjutkan dengan reframing yaitu memberikan alasan positif
dibalik perilaku yang dianggap bermasalah atau kurang tepat.
Sesi lima terdiri dari tahap Tahap evaluasi. Melakukan evaluasi dari self report yang
diberikan kepada masing-masing subjek mengenai perubahan perilaku yang telah disepakati.
Sesi enam, Terminasi dan Sesi tujuh Fallow Up
Instrumen dan Pengumpulan Data
Instrumen penelitian dalam penelitian ini menggunakan skala pola komunikasi yang telah
dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan masalah yang muncul dalam keluarga yang terdiri
dari 10 item pernyataan.
Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan peneliti, mencakup: (a) Pengamatan (observasi),
(b) Wawancara, (c) Dokumentasi, (d) angket, (d) skala pengukuran. Dokumen merupakan
bahan tertulis atau benda yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau aktifitas tertentu. Ia bisa
merupakan rekaman atau dokumen tertulis seperti arsip database surat-surat rekaman gambar
yang berkaitan dengan peristiwa (Tobroni & Suprayogo,2001). Dalam penelitian dokumen
yang dikumpulkan berupa catatan-catatan atau file yang memiliki keterkaitan dengan fokus
penelitian ini.
Analisis Data
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
32
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data interval. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Uji beda atau Uji-t dan teknik yang digunakan adalah
paried Sampel t-test (Uji-t dengan sampel berpasangan). teknik ini digunakan untuk menguji
signifikansi perbedaan dua buah mean yang berasal dari dua buah distribusi (Winarsunu,
2002).
Intervensi dan Hasil Intervensi
Intervensi dirancangkan sebanyak Tujuh sesi dan masing-masing sesi dilakukan
selama 60-90 menit. Selama lima Tujuh dilakukan secara bertahap, dimana sesi satu terdiri
Terapis membangun raport pada anggota keluarga, anggota keluarga menyambut dengan
hangat kedatangan terapis, dan bersedia dalam mengikuti intervensi, namun salah satu dari
anggota keluarga menunjukkan perilaku penolakan dengan menghindar dari sesi pertama,
Namun, subjek bersedia mengikuti sesi intervensi setelah diberikan saran oleh anggota
keluaga. Setelah itu dilanjutkan dengan social stage, Setelah dilakukan asesmen terpisah
masing-masing subjek, terapis mengumpulkan semua angota keluarga untuk hadir. terapis
memperkenalkan diri dan perannya sebagai seorang terapis.
Sesi dua problem stage, masing-masing subjek menyampaikan pendapat mengenai
permasalahan yang dihadapi. Masing-masing anggota keluarga merasakan adanya perubahan
anggota keluarga Pada sesi ini, beberapa anggota keluarga menolak pendapat dari anggota
lain, setalah terapis mengingatkan kembali peraturan dari sesi intervensi, subjek mulai tenang
dan sesi 2 berjalan dengan lancar. Ibu dan ayah mengungkapkan bahwa permasalahan yang
sering muncul terjadi semenjak kehadiran menantu laki-laki, hal tersebut di benarkan oleh
istrinya.
Sesi tiga terdiri dari interaction stage, terapis memberikan kesempatan pada anggota
keluarga untuk membicarakan permasalahan yang terjadi dalam keluarga. Saat diskusi
berlangsung ayah lebih dominna dalam mengungkapkan pendapat, ibu menantu dan anak
cenderung diam, ayah meminta kepada menantu untuk mengungkapkan alasan dari perilaku
kasar yang sering ditunjukkan pada saat datang berkunjung di rumah ayah. Menantu,
mengatakan tidak suka dengan sikap ayah yang sering membicarakan menantu di oranglain.
Menantu mengatakan sikap menantu yang kasar disebabkan oleh menantu tersinggung
dengan sikap ayah yang sering mengatakan kepada tetangga, bahwa ayah tidak suka dan tidak
merestui hubungi menantu dengan anak. Pada sesi ini ayah dengan menantu saling
mengungkapkan apa yang dirasakan selama ini, anak mulai memahami permasalahan yang
muncul disebabkan oleh komunikasi yang belum tuntas dari ayah, menantu maupun cucu dan
anak mencoba memberikan pemahaman kepada ayah dan menantu sebaiknya saling
menerima dan memahami anggota satu dengan yang lainnya. Menantu mengatakan bahwa
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
33
cucu tidak suka di rumah ayah karena bujukan dari menantu, memantu memberikan pengaruh
negatif tentang ayah sehingga cucu tidak mau dengan ayah maupun ibu. Hal tersebut
menyebabkan cucu jarang bersedia untuk diajak bermalam di rumah ayah, cucu sering
menangis ketika berada di rumah ayah dan tidak mau di gendong oleh ayah maupun oleh ibu.
Kemudian dilanjutkan dengan defining desired changes, terapis menjelasakan kepada
masing-masing subjek mengenai permasalahan dan perilaku yang menyebabkan masalah
dalam keluarga. Ayah belum bisa menerina menantu sebagai anggota keluarganya, sehingga
ayah sering menghina menantu secara langsung maupun tidak langsung, menantu bersikap
kasar dan dingin disebabkan oleh sikap penolakan terhadap menantu yang seringditunjukkan
sehingga membuat menantu benci dan melibatkan cucu dalam permasalahan ini,dampaknya
adalah cucu tidak dekat dengan ayah maupun ibu.
Perubahan perilaku yang diharapkan oleh masing-anggota keluarga
(a) Harapan (ibu) terhadap ayah, agar bisa menerima dengan tulus menantu
sebagai anggota keluarga agar keadaan rumah bisa nyaman dan berharap cucu bisa berfikir
positif terhadap ayah dan ibu. b) Harapan ibu kepada menantu, supaya bisa sabar dalam
menghadapi orangtua dan mau memaafkan serta menerima perilaku ayah yang menyakiti hati
menantu. c) Harapan ibu pada anak, supaya anak bisa bersikap bijaksana kerana posisinya
sebagai anak dan juga sebagai istri maupun sebagai ibu. d) Harapan menantu ke ayah,
menantu berharap agar ayah bisa menerima kelebihan dan kekurang menantu, ayah bisa
menjadi teladan yang baik untuk keluarga, salah satuya dengan menjaga nama baik masing-
masing anggota keluarga, menantu juga meninta agar ayah tidak lagi mengatakan sendiran-
sindiran negatif kepada menantu. e) Harapa ayah kepada menantu agar tidak lagi bersikap
kasar dan tidak lagi membatasi kedekatan antara ayah ibu dan cucu, serta ayah berharap agar
menantu tidak lagi mengatakan hal buruk ke cucu yang membuat cucu berfikir negatif
tentang ayah dan ibu.
Ending interview, perubahan perilaku yang diharapkan itu menjadi tugas masing-
masing subjek untuk mencapai perubahan dalam keluarga tersebut. Setelah sepakat mengenai
perubahan perilaku, terapis meminta masing-masing subjek selama empat hari dan
menggunakan dan melaporkan dengan menggunakan self report. Dilanjutkan dengan
reframing yaitu bahwa apa yang dilakukan menantu dan ayah tidak ada maksud negatif,
hanya saja cara mengungkapkan yang kurang tepat. Sesi tigselanjutnya terdiri dari tahap
evaluasi. Terapis meminta masing-masing subjek untuk mengumpulkan self report yang telah
diberikan pada sesi sebelumnya dan melakukan evaluasi terhadap tugas rumah yang telah
disepakati. Berdasarkan self report dan wawancara dilakukan dapat disimpulkan bahwa ayah
dan menantu masih bersikap kaku, memilih diam tidak mau memulai komunikasi terhadap,
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
34
namun pada saat menantu memulai untuk menyapa, ayah bersedia untuk membalas
menyapa. Menantu juga mengajak cucu untuk bermalam selama 3 hari di rumah ayah, dan
biasa menenagkan cucu pada saat cucu minta pulang dengan cara memberikan gambaran
positif tentang ayah dan ibu, sehingga cucu mau untuk bermalam di rumah ibu dan ayah,
namun cucu belum bisa untuk di ajak komunikasi terutama oleh ayah.
Hasil
Grafik hasil penilaian selama intervensi sebagai berikut :
Grafik tersebut menunjukkan ada perbedaan tingkat permasalahan yang di sebabkan
oleh pola komunakasi yang maladaptif yaitu 2.69 sebelum (pre tes) dan sesudah perlakuan
Permasalahan dalam Keluarga
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
35
(pos tes). Tingkat permasalahan yang didapat setelah intervensi sebesar 2.38. Hal ini
menunjukkan adanya penurunan tingkat permasalahan dalam keluarga, sehingga intervensi
memberikan perubahan dalam komunikasi antar anggota keluarga.
Pemberian terapi yang dilakukan kepada subjek telah mencapai tujuan yang
direncanakan. Sesi terapi dirancang menjadi 7 sesi dan dibagi dalam 3 tahap yang terdiri dari
problem stage, interaction stage, defining desired changes di lanjutkan evaluasi dan follow
up dari sesi intervensi yang telah dilakukan. Setelah semua tahapan dilakukan maka dapat
dilihat perubahan subjek melalui wawasan (insight) bagaimana subjek mampu untuk
menyikapi kondisi masingmasing dari anggota keluarga sehingga tidak terjadi permasalah
pada ibu, ayah, anak, cucu maupun menantu. Pada awalnya ayah maupun menantu
menyikapi dengan negative kehadiran mereka, namun setelah pemberian intervensi tingkat
penolakan subjek menurun dan cucu berangsur menerima kehadiran ayah dan ibu.
Pembahasan
Hasil penelitian di atas menunjukan bahwa strategic famly therapy memberikan perubahan
permasalahan dalam keluarga, subjek dalam penelitian ini bisa komunikasi secara tepat
dengan antar anggota, hasil ini bearti bahwa strategic famly therapy efektif dalam merubah
pola komunikasi dalam keluarga Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Utami (2018), hasil penelitian menunjukkan bahwa strategic famly therapy efektif dalam
merubah pola komunikasi yang kurang tepat dalam keluarga,
Strategic family therapy yang diberikan bertujuan untuk memperbaiki komunikasi
antar anggota keluarga sehingga keluhan dan harapan dapat terpenuhi tanpa mengorbankan
harapan-harapan anggota keluarga yang lain. Strategic family therapy dilakukan dengan
strategi yang sudah dirancang dan dilaksanakan sesuai prosedur. Selain itu pendekatan terapi
keluarga secara langsung menangani masalah-masalah yang ada dikeluarga yaitu fokus pada
komunikasi keluarga yang digunakan saat ini dan treatment goals berasal dari permasalahan
atau gejala yang ditampakkan (Winek, 2012).
Hasil intervensi diketahui bahwa masing-masing anggota keluarga melaksanakan
tugas yang diberikan oleh terapis, namun di hari hari pertama dan kedua ayah tidak
melaksakan tugas dengan alasan sibuk. begitu juga dengan manantu di hari pertama dan
kedua tidak melaksanakan tugas yang telah di buat dan sepakati. Namun di hari berikutnya,
masing-masing anggota keluarga melaksakan yang telah di buat sehingga terjadi pola
komunikasi yang baik antar anggota keluarga.
Strategic family therapy yang diberikan kepada subjek dibuat bersama-sama oleh
anggota keluarga. Tujuan Strategic family therapy ini berfokus pada konsep behavior, artinya
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
36
tujuan keluarga tersebut merupakan perilaku yang nampak atau dapat di observasi. Selain itu,
perilaku yang diinginkan juga harus mengikuti konsep behavioral dalam arti perilaku ang
diinginkan pada akhir proses terapi, merupakan perilaku yang dapat berubah dalam konteks
yang masuk akal atau perilaku yang masih dapat diperhitungkan. Tugas yang dirancang untuk
anggota keluarga menggunakan teknik directive oleh Haley berupa daetar checklist yang
bertujuan untuk membuat anggota keluarga melakukan sesuatu yang berbeda dan merasakan
pengalaman yang berbeda, melibatkan terapis dengan proses treatment “meningkatkan
hubungan dengan terapis”, mengumpulkan beberapa informasi mengenai bagaimana respon
setiap anggota keluarga pada tugas yang diberikan dan anggota keluarga dapat diarahkan
pada suatu hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya (Kerr & Cristine, 2008).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa permasalahan yang muncul karena masing-
masing anggota memilih untuk saling membalas dengan perilaku negatif daripada
mendiskusikan masalah yang ada, sehingga komunikasi antar anggota keluarga tidak terjalin
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Almasitoh, U.H. (2012). Model terapi dalam keluarga. Magistra No. 80 th. XXIV Juni 2012
ISSN 0215-9511.
Astutik, S, & Somaryati. (2013). Family therapy dalam menangani pola asuh orangtua yang
salah pada anak slow learner. Journal bimbingan dan konseling islam. 3 (1): 17-35
Chabel, Daniel, G., & Jackson, S. (2013). Engagement: A Critical Aspect of Family Therapy
Practice, 6(2): 65-70.
Croft, R., S. (2004). Communication Theory.
Creswell, J. W. (2010). Research desaign pendekatan kualitatif kuantitatif dan mied. Edisi
ketiga yogyakarta. Pustaka pelajar.
Devi., D., F,. (2016). Mengatasi masalah komunikasi dalam keluarga melalui strategic family
therapy. Jurnal Intervensi Psikologi. 8 (2) : 1
Goldenberg, I. (2008). Family therapy (an overview, seventh edition). USA: Thomson
Brooks/Cole.
Heath, R.L., & Bryant, J. (2000). Human communication theory and research. Hillsdale,
N.J.: Lawrence Erlbaum Associates.
Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan Volume 03 Number 01 2019 ISSN: Print 2549-4511 – Online 2549-9092 http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt
37
HambaliI, M. (2016). Perspektif “family system intervency” untuk proteksi karakter
kebijakan siswa. Journal kajian bimbingan dan konseling, 1 (1): 12-18.
Hasnida. (2002). Family Counseling. Program Studi Psikologi. Tesis. USU digital library.
Kendall, Philip C, & Norton-Ford, Julian. (1982). Professional Dimension Scientific and
Professional Dimension. USA, John Willey and Sons, Inc.
Liddle, H.A, & Dakof, G. A. (1995). Efficacy of family therapy for drug abuse: promising
but not definitive. Journal of Marital and Family Therapy, 21,511-544.
Olson, R.B. (2007). Stratgic Family Therapy for Dysfunctional Parent. Academic Forum.
Paramastri, I. & Martiningtyas, M A. D. (2015). Penerapan brief strategic family therapy
(bsft) untuk meningkatkan komunikasi orang tua-anak. Gadjah mada journal of
professional psychology, 1 (1) : 64 – 75
Riyanto, T (2002). Pembelajaran Sebagai Proses Bimbingan Pribadi. Jakarta: Grasindo : 23
Santisteban, D. A., Coatsworth, J. D., PerezVidal, A., Kurtines, W. M., Schwartz, S. J.,
LaPerriere, A., & Szapocznik, J. (2003). The efficacy of brief strategic/ structural
family therapy in modifying behavior problems and an exploration of the mediating
role that family functioning plays in behavior change. Journal of Family Psychology,
17(1), 121- 133.
Szapocznik, J., Hervis, O. E., & Scwartz, S. (2003). Brief strategic family therapy for
adolescent drug abuse. NIDA Therapy Manuals for Drug Addiction. Rockville:
National Institute on Drug Abuse
.
Szapocznik, J., & Kurtines, W. (1989). Breakthrough in Family Therapy with Drug Abusing
and Problem Youth. New York: Springer.
Utami, W, (2017). Strategic family therapy untuk memperbaiki komunikasi dalam keluarga
di nganjuk. Journal An-Nafs, 2 (2) : 1
Widjaja, W., A. (1997). Komunikasi dan hubungan masyarakat (Jakarta: Bumi Aksara).
Santisteban, D. A., Muir, J. A., Mena, M. P., Mitrani, V. B. (2003). Integrated
Borderline Adolescent Family Therapy: Meeting the Challenges of Treating
Borderline Adolescents. Psychotherapy: Theory Research Practice Training, 40(4),
251-264.
Winek, L. (2012). Systemic family therapy from theory to practice. SAGE Publication, Inc.
Student and instructor site. http//:www.mftlicenes.com/pdf/sg-chpt4.pdf.