Soul Spirit Story

44
SOUL SPIRIT Soul Spirit Prologue-Death and Dream Puramaya, xx-xx-xxxx pukul xx.xx Halo. Jika kalian membaca catatan ini, berarti kalian telah ditakdirkan untuk membuka rahasia-rahasia terpendam yang tersembunyi di balik tabir- tabir misterius dunia. Dunia yang aku bicarakan bukan cuma dunia ini, karena kau tak mungkin mampu membaca catatan ini di dunia yang satunya lagi. Akan kuberitahu siapa diriku. Teman-temanku memanggilku Bagus. Usiaku sekitar dua puluh tahun. Aku adalah seorang mahasiswa di universitas Garudawisnu di kota Puramaya. Catatan ini adalah rekaman kisahku, petualanganku dan kawan-kawanku yang telah merubah hidup kami dan banyak orang lainnya. Bagaimana bisa? Akan aku beri tahu satu hal: Kami bisa menjelajah dunia mimpi! Semua ini berawal lima tahun lalu, satu bulan sebelum keluargaku pindah ke kota Puramaya. Saat itu aku masih kelas X di salah satu SMA Negeri di kota Puspasare. Puspasare adalah sebuah kota kecil di sebelah barat kota Puramaya, kota kecil yang tenang dan damai. Penduduknya ramah serta murah senyum. Tanahnya sangat subur karena kota ini berada di lembah sungai Brantas. Inilah faktor yang menyebabkan Pertanian menjadi mata pencaharian utama sebagian besar penduduk kota ini. Sungai Brantas nggak cuma membawa rejeki bagi warga kota ini. Konon, dulu sungai ini dikenal sering menimbulkan banjir bandang di musim penghujan.

description

q

Transcript of Soul Spirit Story

SOUL SPIRIT

Soul Spirit Prologue-Death and Dream

Puramaya, xx-xx-xxxx pukul xx.xx

Halo. Jika kalian membaca catatan ini, berarti kalian telah ditakdirkan untuk membuka rahasia-rahasia terpendam yang tersembunyi di balik tabir-tabir misterius dunia. Dunia yang aku bicarakan bukan cuma dunia ini, karena kau tak mungkin mampu membaca catatan ini di dunia yang satunya lagi.

Akan kuberitahu siapa diriku. Teman-temanku memanggilku Bagus. Usiaku sekitar dua puluh tahun. Aku adalah seorang mahasiswa di universitas Garudawisnu di kota Puramaya. Catatan ini adalah rekaman kisahku, petualanganku dan kawan-kawanku yang telah merubah hidup kami dan banyak orang lainnya. Bagaimana bisa? Akan aku beri tahu satu hal: Kami bisa menjelajah dunia mimpi!

Semua ini berawal lima tahun lalu, satu bulan sebelum keluargaku pindah ke kota Puramaya. Saat itu aku masih kelas X di salah satu SMA Negeri di kota Puspasare.

Puspasare adalah sebuah kota kecil di sebelah barat kota Puramaya, kota kecil yang tenang dan damai. Penduduknya ramah serta murah senyum. Tanahnya sangat subur karena kota ini berada di lembah sungai Brantas. Inilah faktor yang menyebabkan Pertanian menjadi mata pencaharian utama sebagian besar penduduk kota ini.

Sungai Brantas nggak cuma membawa rejeki bagi warga kota ini. Konon, dulu sungai ini dikenal sering menimbulkan banjir bandang di musim penghujan. Karena itu pada sekitar tahun 1892 pemerintah jajahan Belanda membuat sebuah bendungan di hilir sungai. Untuk membuat bendungan ini, Belanda menggunakan tenaga pribumi. Hanya saja perlakuan Belanda terhadap para pekerja tidak sepadan dengan imbalan yang diterima para pekerja itu. Akibatnya banyak sekali korban berjatuhan dalam pembuatan bendungan kecil itu. Namun pengorbanan para pekerja itu tidak sia-sia. Sampai saat ini kota Puspasare nggak pernah kebanjiran saat musim penghujan, dan nggak pernah kerontang saat musim kemarau.

Oke, aku langsung cerita kejadiannya aja. Pagi itu seperti biasa aku bersiap berangkat sekolah. Nggak ada yang istimewa, semua biasa aja. Satu-satunya hal yang nggak biasa adalah hari itu merupakan hari ketiga hujan turun nggak berhenti-berhenti. Udara kota yang biasanya sejuk kini jadi dingin menusuk tulang. Kabut turun menutupi pandangan. Sebuah kondisi yang amat sangat ideal untuk memunculkan niat membolos. Sayang sekali sekolah nggak libur.

Setelah pakai jas hujan dan berpamitan, aku segera bersepeda ke sekolah, nyeker biar sepatuku nggak basah. Dari rumahku, sekolahku ada di seberang sungai Brantas. Hari itu sungai Brantas meluap sampai batas tanggul. Tanah di tepi tanggul jadi becek berlumpur. Mengendarai sepeda menjadi hal yang sangat bikin jengkel, jadi aku turun dan menuntun sepedaku.

Aku baru mau nyebrang jembatan ketika sesuatu menarik perhatianku. Ada kardus mengapung di sungai. Bukan, bukan kardusnya yang menarik perhatianku, tapi apa yang ada di dalamnya. Seekor anak kucing yang ikut terhanyut sambil mengeong ketakutan.

Kardus itu tersangkut salah satu dahan pohon waru yang condong ke tepi sungai, tidak terlalu jauh dari tepi tanggul. aku bisa melihat semuanya. Aku bisa melihat anak kucing itu menggigil. Kucing yang lucu, kucing yang malang. Hal ini membangkitkan naluri kepahlawananku. Aku bersumpah mulai saat itu aku akan menjadi pahlawan untuk membela kucing-kucing yang lemah dan teraniaya!

Aku memarkir sepedaku di tepi tanggul. segera kuhampiri pohon waru itu. Lumpur tebal itu menghalangi langkahku, namun tidak niatku. Akhirnya, pelan-pelan aku sampai di pohon itu. Aku mulai memanjatnya. Sampai di atas kucing itu, aku berusaha meraih kucing itu. Tanganku hampir sampai. Sedikit lagi...

WHOOOOPS!!

Sayang sekali pohon itu licin. Aku tercebur.

Untung sekali saat kecil aku sering berenang di sungai ini, jadi aku sudah terbiasa dengan arusnya yang agak deras. Yang jadi masalah adalah seragamku basah, tapi di hujan sederas ini rasanya wajar kalau sampai sekolah dalam keadaan agak basah.

Aku meraih kardus itu dan menariknya ke tepi tanggul. kucing itu segera melompat ke tepi tanggul dan berlari ke atas pematang sungai. Kucing itu sejenak berbalik dan mengeong-ngeong panik kearahku.

Tiba-tiba terdengar gemuruh keras dari arah hilir sungai. Dari kejauhan terlihat bendungan tua telah runtuh, digantikan dinding air yang bergerak cepat ke arahku dengan liar. Sepertinya bendungan belanda itu menyerah pada usia tua dan jebol dalam menjalankan tugasnya.

Aku? Tentu saja panik! Aku segera naik ke tepi tanggul, dan mencoba berlari ke atas pematang sungai. Namun tanah becek nan licin membuatku terpeleset secara konyol di tengah situasi genting itu. Sedetik kemudian aku merasakan tubuhku terhempas keras seperti ditabrak truk.

Ehm, sebenarnya aku nggak pernah ngerasain ditabrak truk. Tapi aku pernah ditabrak becak. Jadi sepertinya lebih tepat kalau aku bilang rasanya seperti ditabrak becak. Ribuan becak.

Aku terombang-ambing dalam aliran air itu. Tidak tahu mana atas mana bawah. Tidak bisa buka mata. Udara...

Hal terakhir yang aku rasakan adalah kepalaku membentur sesuatu, lalu tubuhku terasa ringan.

Aku melihat diriku sendiri terombang-ambing di sungai. Lalu semuanya gelap.

...

Entah beberapa saat kemudian kepalaku yang semula terasa sangat sakit kini terasa baikan. Aku mengguncangkan kepalaku dan membuka mataku. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Ruangan di sekitarku hitam kelam. Anehnya aku bisa melihat tanganku sendiri dengan jelas, seolah ada sumber cahaya tak kasat mata yang disorotkan kearahku.

Aku mencoba berdiri. Aneh, tubuhku terasa ringan. Rasanya aku melayang. Aku merasakan kepanikan dan ketakutan hebat dalam waktu bersamaan.

oh sial, kataku kayaknya aku udah mati, nih.

Masa laluku tiba-tiba terbayang di depanku. Hal-hal yang sudah kulakukan serta hal-hal yang kujanjikan. Aku ingat sekolah, berarti aku sudah bolos sekolah hari ini. Aku belum bayar utang ke mas Udin, aku belum ngembalikan catatan si Boi, aku belum pamit ke bapak ibuku...

Yah, semuanya terlambat sudah. Aku hanya bisa pasrah.

Lalu di depanku muncul cahaya yang amat sangat menyilaukan. Dengan jelas nampak sebuah lorong panjang yang mengarah ke sumber cahaya. Cahaya yang baru pertama kujumpai. Cahaya yang berwarna seperti matahari dan pelangi namun selembut bulan.

Ketika tubuhku terpapar cahaya itu, kepanikan yang menggila di dalam hati berubah menjadi perasaan damai yang membuncah. Seperti ketika kau berhasil mendaki puncak gunung dengan sisa tenagamu untuk pertama kalinya.

Aku sudah tidak peduli bahwa aku mati. Aku akan merelakan semua yang kumiliki untuk mendapatkan kedamaian ini.

Perlahan-lahan aku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ironis, ketika hidup aku tak pernah memahaminya, namun sekarang aku paham. Inilah Cinta.

Aku merasa tertarik, seolah aku menemukan telaga di tengah gurun sahara untuk menyegarkan hatiku yang terasa kering. Aku berjalan ke pusat cahaya itu. Tidak, bukan berjalan. Aku berlari mendekati lorong cahaya itu.

Berhenti.

Satu suara samar berkata. Entah darimana asalnya. Aku tak peduli. Aku terus berlari.

Berhenti!

Suara itu lagi, suara yang tidak terdengar seperti suara pria ataupun wanita. Suara yang seolah berbicara dengan semua bahasa yang kukenal maupun tidak. Sebuah suara yang seandainya aku tidak mengerti satu bahasapun, aku tetap mengerti maksudnya. Aku mendengarnya dari dalam kepalaku sendiri. Tapi aku masih ingin berlari. Aku tak ingin kembali.

BERHENTI!

Aku terkejut akan nada memerintah itu. Suara itu mempunyai kekuatan dan mengandung suatu konsep yang seketika menjalar di sekujur sarafku, mengejutkan ototku. Suara itu sedemikian gaduh. Seandainya aku mendengarnya dengan telinga maka pasti saat ini aku sudah jadi tuli.

Akhirnya aku menurut. Aku berhenti.

Siapa kamu? tanyaku, dengan bingung mencari asal suara.

Hei lelaki. Kembalilah. Sekarang! ucapnya.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, tidak ada alasan buatku mematuhinya.

Nggak mau! Aku kepingin kesana! Aku nggak mau kembali!

Akan datang masa engkau pergi kesana. Sekarang kembali!

Kata-katanya adalah perintah. Namun aku tahu bukan dia yang memberi perintah. Aku menurut.

Seketika itu ruangan di sekitarku berubah. Lorong cahaya tadi perlahan-lahan menjauh dan hilang. Aku merasa rindu dan patah hati. Namun aku sadar bahwa aku harus melaksanakan perintah itu.

suatu sentakan keras tiba-tiba mengagetkanku. seolah ada yang mengaitkan kail di belakang pusarku, dan menariknta dengan mesin derek. aku terjatuh walau tak benar-benar jatuh.

kemudian aku berada di sebuah ruangan yang terasa sangat aku kenal. Namun aku tidak tahu dimana dan kapan aku pernah kesini. Ruangan itu sederhana, seperti kamar luas tanpa atap dengan dinding dan lantai berwarna putih. Banyak pintu-pintu dan jendela lebar, namun kesemuanya tertutup rapat. Langit terlihat cerah tanpa awan, semakin ke atas langit semakin gelap. Tepat diatas kepalaku aku bisa melihat jutaan bintang dan sesuatu yang seperti tirai berwarna-warni meliuk-liuk di angkasa. Aneh, pikirku. Walau langit gelap namun ruangan ini terlihat terang. Tak nampak matahari atau sumber cahaya lain di tempat itu.

Ketika itu di sudut mataku aku melihat sesosok yang sangat mirip diriku yang mengenakan baju layaknya seorang Shogun jaman Edo yang berpendar coklat-emas kemerahan. Namun saat aku berusaha melihatnya, sosok itu tak nampak lagi.

Tiba-tiba pintu-pintu dan jendela-jendela ruangan itu terbuka dan mengalirkan udara sejuk. Di luar nampak padang rumput yang amat luas, namun terlihat batas buram di kaki langit. Seolah kabut dan awan turun mencium bumi. Di ruangan itu tidak ada perabot apapun, namun ketika aku ingin duduk, seketika sebuah sofa merah nyaman mewujud di belakangku.

selamat datang dalam dirimu. Ucap suara seorang wanita.

Aku terkejut dan segera bangkit berdiri. Seketika ruangan itu berpendar coklat-emas kemerahan.

jangan takut, aku tidak berniat jahat. Tiba-tiba wanita itu berada di depanku namun tidak benar-benar didepanku. Seolah aku melihatnya melalui semacam asap.

namaku Morphea, namun aku juga dikenal dengan nama-nama lain. Beberapa memanggilku Lukje, sebagian memanggilku Maia. Ucap wanita itu.

Wanita itu memancarkan pesona yang terlalu indah untuk disebut nyata, namun juga menyimpan kengerian dan kejutan yang dingin. Rambutnya yang sehitam malam mengalir seperti sungai diantara batu-batu. sementara wajahnya bersinar seperti rembulan. Dia mengenakan gaun berwarna ungu gelap yang bercahaya, seperti warna langit sesaat setelah mentari terbenam. Suaranya teramat halus, bernada lirih seperti musik pengantar tidur yang lembut. Namun yang paling membuatku waspada adalah senyumnya. Bibirnya yang diwarna sama dengan gaunnya sekali-kali tersenyum ramah, namun matanya tidak. Mata berwarna langit senja itu terus menatap dengan tajam kearahku, seolah bisa menembus kedalam kulit dan organku.

Aku bertugas sebagai pemandu, namun saat ini aku adalah pembawa pesan. Ujarnya.

dimana aku?! tanyaku.

kau ada dalam dirimu. Dalam dunia yang kalian sebut mimpi.

oh, jadi aku sedang bermimpi, kataku dalam hati.

benar. Kata Morphea, mengejutkanku. kau berada dalam dunia mimpi, dalam wilayah di tengah dirimu. Nah, sekarang tenanglah. Aku akan memberikan pesan dan pengetahuan yang dikirim padamu.

pesan? Dari siapa? tanyaku.

kau harus menemukan Sang Pengirim dengan usahamu sendiri.

Aku ingin bertanya lagi, namun aku ingin tahu isi pesan itu.

begitu lebih baik. Sekarang simaklah!

Lima tahun dari sekarang akan ada suatu kuasa jahat yang mempengaruhi kalian para makhluk manusia. Kalian tidak akan mampu bertahan kecuali kalian sanggup menemukan diri kalian yang sejati dan keluar dari batas-batas diri dan pikiran, namun berhati-hatilah terhadap jiwa yang hilang. Kalian akan menentukan nasib kaum kalian sendiri. Jika kalian gagal, maka itulah akhir dari peradaban kalian.

" Aku sudah menyampaikan tugasku." ucap morphea, "Sekarang sudah saatnya aku pergi dan Morphea pun menghilang bagai langit malam yang diterangi cahaya fajar.

Aku terkejut mendengar pesan itu

hey, tunggu! Aku nggak ngerti maksudmu!

jika kau butuh jawaban, dirimu dan waktu yang akan memberikannya kata suara Morphea. Membuatku semakin bingung.

Tiba-tiba aku merasa lelah. Tubuhku terasa berat dan tertarik ke bawah.

...

Ketika aku tersadar, aku berada di ruangan putih dengan banyak instrumen tersambung di lenganku. Aku merasakan lagi sakit di kepalaku, yang ternyata sudah diperban. Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan Ibuku masuk.

Bagus! katanya sambil terisak. Kamu sudah sadar, nak!

dimana ini Bu? tanyaku lemah

kamu ada di rumah sakit nak! Kamu sudah koma selama dua belas hari! Aku kaget, rasanya semua kejadian tadi hanya berlangsung beberapa menit.

untunglah kamu cepat mendapat penanganan saat tenggelam, nak!

Di kemudian hari aku baru tahu bahwa aku satu-satunya korban selamat dari ke dua puluh korban bencana jebolnya bendungan itu.Chapter 1- The Dawn and The YawnPerumahan Vetma Puramaya, pukul 0400Krriiiing!

Jam weker itu berbunyi. Namun ia tidak berhasil membangunkan siapapun, karena tuannya telah lama bangun. Untuk beberapa saat weker itu terus berbunyi dengan gaduh, membangunkan seisi rumah.

Mas! Matikan wekernya! kata Dhito, adik bagus, yang terganggu dari mimpinya.di tempat lain, Bagus sedang sibuk mengganti lagu di mp3 player miliknya. Ia sedang beristirahat setelah lari pagi di sekeliling kompleks rumah dinas ayahnya. Udara pagi yang dingin membuatnya ingin lekas pulang ke rumah.

Hmm, lagu Sensei-tional... gumam bagus.

Dia kembali berlari menuju rumahnya, sesekali menyapa tetangganya yang juga sedang berolahraga pagi.

Sudah lima tahun ini keluarga bagus pindah ke kota Puramaya, ibukota provinsi Jawi Wetan. Kota yang bising, panas, macet dan sering banjir. Pekerjaan orang tua bagus memang menuntut ibunya untuk bersedia ditempatkan dimana saja. Beruntung mereka mendapat sebuah rumah dinas yang walaupun sederhana namun cukup nyaman bagi mereka.

huf... huf... Bagus menghela napas. Rumahnya sudah terlihat, sekitar dua puluh meter jauhnya tepat di ujung pertigaan. Ia mempercepat langkahnya.

Sesampainya di beranda rumah, ia langsung melepas sepatunya. Ia meletakkan sepatu larinya di rak tepat di sebelah kiri pintu masuk. Kemudian ia melangkah kedalam rumah, melewati ruang utama langsung menuju dapur. Ia mengambil gelas di dalam lemari lalu menuangkan air putih kedalamnya. Air itu terasa begitu menyegarkan setelah berolahraga di pagi yang sejuk.

Bagus kembali ke kamarnya, tersenyum setelah mengetahui wekernya telah dimatikan. Ia memang sengaja menyetel wekernya untuk berdering pukul empat, karena ia tahu adik-adiknya cukup malas bangun pagi, sementara orang tuanya selalu berangkat kerja pagi-pagi buta.

Ia meletakkan mp3 player dan earphone di meja, dan meraih handuk dari balik pintu. Dengan santai ia berjalan menuju kamar mandi.

adik-adiknya sedang mengantri di kamar mandi dengan muka mengantuk.

Bagus cukup tahu diri untuk membiarkan adik-adiknya mandi terlebih dahulu. kayaknya mereka masih jengkel, biar dulu dah. Hihihi... pikir Bagus.

Sekitar sepuluh menit kemudian, giliran Bagus mandi. Benar saja, raut muka adik-adiknya terlihat lebih segar setelah mandi, jadi saat ini dia aman. Bagus dengan santai masuk ke kamar mandi.

Air di kota Puramaya terasa kurang segar bagi Bagus yang sejak kecil terbiasa hidup di dataran tinggi. Namun Bagus sudah lama tak peduli.

Setelah merasa cukup bersih, Bagus mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian. Ia keluar dari kamar mandi untuk sarapan.

Sekitar pukul lima lewat tiga puluh, Bagus telah siap berangkat. Ia mengencangkan tali sepatunya dan memasang earphone. Ia sengaja berangkat pagi, karena ia sadar perumahan dinas tempat dirinya tinggal terletak di tepi jalan arteri yang menembus kota, salah satu jalan yang paling rawan macet di dunia.

Hari itu dia memutuskan untuk menggunakan kendaraan umum lagi. Dia bosan naik motor ke kampusnya. Bagus berjalan ke luar perumahan, berbelok kiri menuju halte terdekat.

Suara-suara bising mesin kendaraan sudah mulai ramai terdengar. Jalanan mulai padat, namun tak sampai macet. Beruntung Bagus segera mendapatkan bus kota yang ia tunggu. Tanpa buang waktu ia segera naik bus itu dan menempati kursi kosong dekat jendela.

Universitas Garudawisnu tempat ia kuliah cukup jauh. Terletak di Puramaya Timur, kampus itu berjarak sekitar lima belas kilometer dari rumahnya.

Koran, koran! berita hangat! Kasus bunuh diri! Cewek gantung diri di kamar kos! Koran, koran! teriak seorang pedagang asongan menawarkan dagangannya.

huhh... bunuh diri lagi... pikir bagus. ini sudah yang kali kelima dalam satu bulan terakhir...

Namun Bagus tak sempat berpikir banyak karena bus yang ditumpanginya sudah sampai di tujuan, tepat pada waktunya.

... Kampus A Universitas Garudawisnu, pukul 0800... Jadi Menurut Freud, mimpi adalah representasi dari harapan yang tak terpenuhi. Namun hal ini dibantah oleh Carl Jung. Jung sangat yakin bahwa cakupan mimpi sendiri sebenarnya sangat luas, merefleksikan kekayaan dan kerumitan alam tak sadar, baik secara personal maupun kolektif. Jung percaya bahwa kejiwaan adalah sebuah organisme yang dapat mengatur dirinya sendiri dimana sikap-sikap sadar akan cenderung digantikan oleh kebalikannya di dalam ranah tak sadar di mimpi...

hoaaaam... bagus menguap lebar sekali. Memang, suara Professor Tarno cukup menghipnotis, seperti mata kuliah yang juga diajarkannya. Beliau cukup ahli membuat mahasiswanya mengantuk.

psst, psst... gus...! bisik Abil pelan. Bagus menoleh ke belakang.

Apa Bil? Abil mencondongkan badan kearah Bagus yang sedang duduk di depannya.

Heh, kamu nanti sore mau ikut maen bisbol nggak? tanya Abil.

Bagus sebenarnya cukup tertarik dengan tawaran itu, namun dia mencoba sedikit terlihat malas-malasan emmm... gimana ya..? kayaknya nanti sore aku ada latihan kendo.

Ayolah Gus... kita butuh batter jago kayak kamu... rayu Abil. Bagus merasa geli dengan temannya yang satu ini.

Wah, ya udah... kayaknya kalau kamu sampai ngomong gitu berarti keahlianku memang dibutuhkan, hehe!

EHM! Suara professor Tarno memecah kesunyian. Ternyata tanpa bagus sadari, mereka berdua sedang berdebat dalam suasana sunyi, sehingga seisi kelas menatap mereka dengan pandangan aneh. Kini seluruh kelas sedang menahan tawa. Hei kamu! Ya kamu yang pakai jaket coklat! kata professor Tarno menunjuk Bagus. Dari tadi saya perhatikan anda bicara terus! Apa anda sudah paham materi kuliah ini? tanya Professor Tarno.

waduh, mati aku... pikir bagus. Dia menoleh ke belakang sekilas, dan melihat Abil sedang berpura-pura tidak terlibat Ah... Sial kau Abil!

A...Anu prof... saya paham prof... jawab bagus takut-takut.

Baiklah, kalau anda merasa paham coba gantikan saya di depan. Jelaskan ke teman-teman anda tentang apa yang akan didapat setelah kita mewawancarai pasien dengan asosiasi bebas menurut Freud!

kemudian professor Tarno meletakkan mikrofon di mejanya dan segera duduk menempati salah satu kursi mahasiswa yang sedang kosong. Beliau bersedekap dan memandang ke arah Bagus. Ayo, cepat!

Dengan enggan dan ragu, Bagus melangkah gontai ke depan. Sebenarnya ia tahu jawabannya, namun ia tidak yakin kalau itu benar. Ia meraih mikrofon diatas meja, sedikit mengutuk lirih ketika mikrofon itu berdengung nyaring.

eh, tes...tes! ucap Bagus. Emm... menurut Freud, dengan melakukan wawancara secara asosiasi bebas terhadap mimpi pasien, akan didapat tiga hal yaitu transferensi, proyeksi, dan resistensi.

Bagus berhenti sejenak dan menoleh ke arah professor Tarno dengan ragu.

Oke, teruskan! ujar professor Tarno.

transferensi adalah perasaan terpendam terhadap seseorang yang kemudian dialihkan ke orang lain. Misalnya, seseorang yang merasa dendam terhadap orang yang baru dikenalnya karena orang itu mirip musuhnya di masa kecil, atau seorang pria yang suka seorang gadis yang mengingatkannya pada mantan pacarnya.

proyeksi adalah menolak menerima suatu kesalahan atau sifat seseorang, lalu melimpahkan sifat itu ke orang atau objek lain. Misalnya ketika Timnas Indonesia kalah, banyak orang yang menyalahkan laser hijau pernyataan Bagus disambut tawa oleh seisi kelas. Professor Tarno tersenyum sekilas.

lanjutkan! kata beliau.

yang ketiga adalah resistensi. Resistensi adalah... um... tiba-tiba Bagus ragu. resistensi adalah pemblokiran memori sadar oleh memori tak sadar, biasanya karena trauma masa lalu... Ah..! kepala Bagus terasa sakit. Berdenyut-denyut seperti batu dihantam martil. Dia memegangi kepalanya dengan sebelah tangan secara refleks. Tapi dia berusaha melanjutkan.

contohnya adalah... aahh...! Bagus serasa lemas dan jatuh ke lantai. Hal terakhir yang dia ingat adalah gambaran samar teman kampusnya yang berteriak panik... dan hujan lebat... professor menggotong dirinya keluar kelas... air bah... Dokter... Morphea... lima tahun lalu...Soul Spirit Chapter 2- Somnium et MortisPuramaya, xx-xx-xxxx pukul xx.xxHalo. Jika kalian membaca catatan ini, berarti kalian telah ditakdirkan untuk membuka rahasia-rahasia terpendam yang tersembunyi di balik tabir-tabir misterius dunia. Dunia yang aku bicarakan bukan cuma dunia ini, karena kau tak mungkin mampu membaca catatan ini di dunia... yang satunya lagi.Akan kuberitahu siapa diriku. Teman-temanku memanggilku Bagus. Usiaku sekitar dua puluh tahun. Aku adalah seorang mahasiswa di universitas Garudawisnu di kota Puramaya. Catatan ini adalah rekaman kisahku, petualanganku dan kawan-kawanku yang telah merubah hidup kami dan banyak orang lainnya. Bagaimana bisa? Akan aku beri tahu satu hal: Kami bisa menjelajah dunia mimpi!

Semua ini berawal lima tahun lalu, satu bulan sebelum keluargaku pindah ke kota Puramaya. Saat itu aku masih kelas X di salah satu SMA Negeri di kota Puspasare.

Puspasare adalah sebuah kota kecil di sebelah barat kota Puramaya, kota kecil yang tenang dan damai. Penduduknya ramah serta murah senyum. Tanahnya sangat subur karena kota ini berada di lembah sungai Brantas. Inilah faktor yang menyebabkan Pertanian menjadi mata pencaharian utama sebagian besar penduduk kota ini.

Sungai Brantas nggak cuma membawa rejeki bagi warga kota ini. Konon, dulu sungai ini dikenal sering menimbulkan banjir bandang di musim penghujan. Karena itu pada sekitar tahun 1892 pemerintah jajahan Belanda membuat sebuah bendungan di hilir sungai. Untuk membuat bendungan ini, Belanda menggunakan tenaga pribumi. Hanya saja perlakuan Belanda terhadap para pekerja tidak sepadan dengan imbalan yang diterima para pekerja itu. Akibatnya banyak sekali korban berjatuhan dalam pembuatan bendungan kecil itu. Namun pengorbanan para pekerja itu tidak sia-sia. Sampai saat ini kota Puspasare nggak pernah kebanjiran saat musim penghujan, dan nggak pernah kerontang saat musim kemarau.

Oke, aku langsung cerita kejadiannya aja. Pagi itu seperti biasa aku bersiap berangkat sekolah. Nggak ada yang istimewa, semua biasa aja. Satu-satunya hal yang nggak biasa adalah hari itu merupakan hari ketiga hujan turun nggak berhenti-berhenti. Udara kota yang biasanya sejuk kini jadi dingin menusuk tulang. Kabut turun menutupi pandangan. Sebuah kondisi yang amat sangat ideal untuk memunculkan niat membolos. Sayang sekali sekolah nggak libur.

Setelah pakai jas hujan dan berpamitan, aku segera bersepeda ke sekolah, nyeker biar sepatuku nggak basah. Dari rumahku, sekolahku ada di seberang sungai Brantas. Hari itu sungai Brantas meluap sampai batas tanggul. Tanah di tepi tanggul jadi becek berlumpur. Mengendarai sepeda menjadi hal yang sangat bikin jengkel, jadi aku turun dan menuntun sepedaku.

Aku baru mau nyebrang jembatan ketika sesuatu menarik perhatianku. Ada kardus mengapung di sungai. Bukan, bukan kardusnya yang menarik perhatianku, tapi apa yang ada di dalamnya. Seekor anak kucing yang ikut terhanyut sambil mengeong ketakutan.

Kardus itu tersangkut salah satu dahan pohon waru yang condong ke tepi sungai, tidak terlalu jauh dari tepi tanggul. aku bisa melihat semuanya. Aku bisa melihat anak kucing itu menggigil. Kucing yang lucu, kucing yang malang. Hal ini membangkitkan naluri kepahlawananku. Aku bersumpah mulai saat itu aku akan menjadi pahlawan untuk membela kucing-kucing yang lemah dan teraniaya!

Aku memarkir sepedaku di tepi tanggul. segera kuhampiri pohon waru itu. Lumpur tebal itu menghalangi langkahku, namun tidak niatku. Akhirnya, pelan-pelan aku sampai di pohon itu. Aku mulai memanjatnya. Sampai di atas kucing itu, aku berusaha meraih kucing itu. Tanganku hampir sampai. Sedikit lagi...

WHOOOOPS!!

Sayang sekali pohon itu licin. Aku tercebur.

Untung sekali saat kecil aku sering berenang di sungai ini, jadi aku sudah terbiasa dengan arusnya yang agak deras. Yang jadi masalah adalah seragamku basah, tapi di hujan sederas ini rasanya wajar kalau sampai sekolah dalam keadaan agak basah.

Aku meraih kardus itu dan menariknya ke tepi tanggul. kucing itu segera melompat ke tepi tanggul dan berlari ke atas pematang sungai. Kucing itu sejenak berbalik dan mengeong-ngeong panik kearahku.

Tiba-tiba terdengar gemuruh keras dari arah hilir sungai. Dari kejauhan terlihat bendungan tua telah runtuh, digantikan dinding air yang bergerak cepat ke arahku dengan liar. Sepertinya bendungan belanda itu menyerah pada usia tua dan jebol dalam menjalankan tugasnya.

Aku? Tentu saja panik! Aku segera naik ke tepi tanggul, dan mencoba berlari ke atas pematang sungai. Namun tanah becek nan licin membuatku terpeleset secara konyol di tengah situasi genting itu. Sedetik kemudian aku merasakan tubuhku terhempas keras seperti ditabrak truk.

Ehm, sebenarnya aku nggak pernah ngerasain ditabrak truk. Tapi aku pernah ditabrak becak. Jadi sepertinya lebih tepat kalau aku bilang rasanya seperti ditabrak becak. Ribuan becak.

Aku terombang-ambing dalam aliran air itu. Tidak tahu mana atas mana bawah. Tidak bisa buka mata. Udara...

Hal terakhir yang aku rasakan adalah kepalaku membentur sesuatu, lalu tubuhku terasa ringan.

Aku melihat diriku sendiri terombang-ambing di sungai. Lalu semuanya gelap.

...

Entah beberapa saat kemudian kepalaku yang semula terasa sangat sakit kini terasa baikan. Aku mengguncangkan kepalaku dan membuka mataku. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Ruangan di sekitarku hitam kelam. Anehnya aku bisa melihat tanganku sendiri dengan jelas, seolah ada sumber cahaya tak kasat matayang disorotkan kearahku.

Aku mencoba berdiri. Aneh, tubuhku terasa ringan. Rasanya aku melayang. Aku merasakan kepanikan dan ketakutan hebat dalam waktu bersamaan.

oh sial, kataku kayaknya aku udah mati, nih.

Masa laluku tiba-tiba terbayang di depanku. Hal-hal yang sudah kulakukan serta hal-hal yang kujanjikan. Aku ingat sekolah, berarti aku sudah bolos sekolah hari ini. Aku belum bayar utang ke mas Udin, aku belum ngembalikan catatan si Boi, aku belum pamit ke bapak ibuku...

Yah, semuanya terlambat sudah. Aku hanya bisa pasrah.

Lalu di depanku muncul cahaya yang amat sangat menyilaukan. Dengan jelas nampak sebuah lorong panjang yang mengarah ke sumber cahaya. Cahaya yang baru pertama kujumpai. Cahaya yang berwarna seperti matahari dan pelangi namun selembut bulan.

Ketika tubuhku terpapar cahaya itu, kepanikan yang menggila di dalam hati berubah menjadi perasaan damai yang membuncah. Seperti ketika kau berhasil mendaki puncak gunung dengan sisa tenagamu untuk pertama kalinya.

Aku sudah tidak peduli bahwa aku mati. Aku akan merelakan semua yang kumiliki untuk mendapatkan kedamaian ini.

Perlahan-lahan aku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ironis, ketika hidup aku tak pernah memahaminya, namun sekarang aku paham. Inilah Cinta.

Aku merasa tertarik, seolah aku menemukan telaga di tengah gurun sahara untuk menyegarkan hatiku yang terasa kering. Aku berjalan ke pusat cahaya itu. Tidak, bukan berjalan. Aku berlari mendekati lorong cahaya itu.

Berhenti.

Satu suara samar berkata. Entah darimana asalnya. Aku tak peduli. Aku terus berlari.

Berhenti!

Suara itu lagi, suara yang tidak terdengar seperti suara pria ataupun wanita. Suara yang seolah berbicara dengan semua bahasa yang kukenal maupun tidak. Sebuah suara yang seandainya aku tidak mengerti satu bahasapun, aku tetap mengerti maksudnya. Aku mendengarnya dari dalam kepalaku sendiri. Tapi aku masih ingin berlari. Aku tak ingin kembali.

BERHENTI!

Aku terkejut akan nada memerintah itu. Suara itu mempunyai kekuatan dan mengandung suatu konsep yang seketika menjalar di sekujur sarafku, mengejutkan ototku. Suara itu sedemikian gaduh. Seandainya aku mendengarnya dengan telinga maka pasti saat ini aku sudah jadi tuli.

Akhirnya aku menurut. Aku berhenti.

Siapa kamu? tanyaku, dengan bingung mencari asal suara.

Hei lelaki. Kembalilah. Sekarang! ucapnya.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, tidak ada alasan buatku mematuhinya.

Nggak mau! Aku kepingin kesana! Aku nggak mau kembali!

Akan datang masa engkau pergi kesana. Sekarang kembali!

Kata-katanya adalah perintah. Namun aku tahu bukan dia yang memberi perintah. Aku menurut.

Seketika itu ruangan di sekitarku berubah. Lorong cahaya tadi perlahan-lahan menjauh dan hilang. Aku merasa rindu dan patah hati. Namun aku sadar bahwa aku harus melaksanakan perintah itu.

suatu sentakan keras tiba-tiba mengagetkanku. seolah ada yang mengaitkan kail di belakang pusarku, dan menariknta dengan mesin derek. aku terjatuh walau tak benar-benar jatuh.

kemudian aku berada di sebuah ruangan yang terasa sangat aku kenal. Namun aku tidak tahu dimana dan kapan aku pernah kesini. Ruangan itu sederhana, seperti kamar luas tanpa atap dengan dinding dan lantai berwarna putih. Banyak pintu-pintu dan jendela lebar, namun kesemuanya tertutup rapat. Langit terlihat cerah tanpa awan, semakin ke atas langit semakin gelap. Tepat diatas kepalaku aku bisa melihat jutaan bintang dan sesuatu yang seperti tirai berwarna-warni meliuk-liuk di angkasa. Aneh, pikirku. Walau langit gelap namun ruangan ini terlihat terang. Tak nampak matahari atau sumber cahaya lain di tempat itu.

Ketika itu di sudut mataku aku melihat sesosok yang sangat mirip diriku yang mengenakan baju zirah bersegmen yang berpendar coklat-emas kemerahan. Namun saat aku berusaha melihatnya, sosok itu tak nampak lagi.

Tiba-tiba pintu-pintu dan jendela-jendela ruangan itu terbuka dan mengalirkan udara sejuk. Di luar nampak padang rumput yang amat luas, namun terlihat batas buram di kaki langit. Seolah kabut dan awan turun mencium bumi. Di ruangan itu tidak ada perabot apapun, namun ketika aku ingin duduk, seketika sebuah sofa merah nyaman mewujud di belakangku.

selamat datang dalam dirimu. Ucap suara seorang wanita.

Aku terkejut dan segera bangkit berdiri. Seketika ruangan itu berpendar coklat-emas kemerahan.

jangan takut, aku tidak berniat jahat. Tiba-tiba wanita itu berada di depanku namun tidak benar-benar didepanku. Seolah aku melihatnya melalui semacam asap.

namaku Morphea, namun aku juga dikenal dengan nama-nama lain. Beberapa memanggilku Lukje, sebagian memanggilku Maia. Ucap wanita itu.

Wanita itu memancarkan pesona yang terlalu indah untuk disebut nyata, namun juga menyimpan kengerian dan kejutan yang dingin. Rambutnya yang sehitam malam mengalir seperti sungai diantara batu-batu. sementara wajahnya bersinar seperti rembulan. Dia mengenakan gaun berwarna ungu gelap yang bercahaya, seperti warna langit sesaat setelah mentari terbenam. Suaranya teramat halus, bernada lirih seperti musik pengantar tidur yang lembut. Namun yang paling membuatku waspada adalah senyumnya. Bibirnya yang diwarna sama dengan gaunnya sekali-kali tersenyum ramah, namun matanya tidak. Mata berwarna langit senja itu terus menatap dengan tajam kearahku, seolah bisa menembus kedalam kulit dan organku.

Aku bertugas sebagai pemandu, namun saat ini aku adalah pembawa pesan. Ujarnya.

dimana aku?! tanyaku.

kau ada dalam dirimu. Dalam dunia yang kalian sebut mimpi.

oh, jadi aku sedang bermimpi, kataku dalam hati.

benar. Kata Morphea, mengejutkanku. kau berada dalam dunia mimpi, dalam wilayah di tengah dirimu. Nah, sekarang tenanglah. Aku akan memberikan pesan dan pengetahuan yang dikirim padamu.

pesan? Dari siapa? tanyaku.

kau harus menemukan Sang Pengirim dengan usahamu sendiri.

Aku ingin bertanya lagi, namun aku ingin tahu isi pesan itu.

begitu lebih baik. Sekarang simaklah!

Lima tahun dari sekarang akan ada suatu kuasa jahat yang mempengaruhi kalian para makhluk manusia. Kalian tidak akan mampu bertahan kecuali kalian sanggup menemukan diri kalian yang sejati dan keluar dari batas-batas diri dan pikiran, namun berhati-hatilah terhadap jiwa yang hilang. Kalian akan menentukan nasib kaum kalian sendiri. Jika kalian gagal, maka itulah akhir dari peradaban kalian.

"Aku sudah menyampaikan tugasku." ucap morphea,"Sekarang sudah saatnya aku pergi dan Morphea pun menghilang bagai langit malam yang diterangi cahaya fajar.

Aku terkejut mendengar pesan itu

hey, tunggu! Aku nggak ngerti maksudmu!

jika kau butuh jawaban, dirimu dan waktu yang akan memberikannya kata suara Morphea. Membuatku semakin bingung.

Tiba-tiba aku merasa lelah. Tubuhku terasa berat dan tertarik ke bawah.

...

Ketika aku tersadar, aku berada di ruangan putih dengan banyak instrumen tersambung di lenganku. Aku merasakan lagi sakit di kepalaku, yang ternyata sudah diperban. Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan Ibuku masuk.

Bagus! katanya sambil terisak. Kamu sudah sadar, nak!

dimana ini Bu? tanyaku lemah

kamu ada di rumah sakit nak! Kamu sudah koma selama dua belas hari! Aku kaget, rasanya semua kejadian tadi hanya berlangsung beberapa menit.

untunglah kamu cepat mendapat penanganan saat tenggelam, nak!

Di kemudian hari aku baru tahu bahwa aku satu-satunya korban selamat dari ke dua puluh korban bencana jebolnya bendungan itu.

Soul Spirit Chapter 3- a Goodbye GiftRuang klinik GHCC, pukul 0900Bagus tersadar kembali dan terkejut.

Ia mendapati dirinya sedang berbaring di sebuah ruangan, ditunggui oleh seorang dokter. Abil juga ada disana, bersama professor Tarno.

nah, syukurlah kamu sudah siuman. Kata dokter itu. sepertinya barusan kamu mengalami shock. Istirahat saja dulu ya. Dokter itu kemudian berbicara dengan professor Tarno dan kemudian mereka berdua keluar ruangan.waduh Gus, tak pikir kamu tadi kenapa-napa. Kok bisa langsung jatuh di depan kelas gitu? ucap Abil khawatir.

Bagus menerawang. Ia berusaha mengingat apa yang berkelebat di otaknya. nggak tau... tapi aku nggak apa-apa, kok. Sungguh! Bagus turun dari kasur dan berdiri. lihat, kan! Eh, nanti maen bisbolnya jam berapa? tanya bagus

sungguh kamu masih kepingin ikut main? Mulainya jam empat sore di lapangan baseball Husada Dharma. Abil bergerak menuju pintu keluar. eh Gus, aku masuk kuliah dulu ya! Habis ini dosen yang masuk kuliah lumayan killer soalnya. Duluan ya! Abil membuka pintu, keluar ruangan, dan menutupnya perlahan.

Kini bagus sendirian.

Ia duduk kembali di tepi kasur. huhh.. Bagus menghela nafas. Sekarang Ia ingat betul kejadian lima tahun lalu di kota asalnya. hmm... ah, itu cuma mimpi!

Bagus turun dari kasur dan keluar ruangan. Ia akan masuk kuliah. Ia lebih khawatir dengan kuliahnya daripada mimpinya...

Jalan Husada Dharma, pukul 1530Deru motor meniup debu jalan yang panas ke udara, terbawa angin dan menyebar ke arah yang tak terduga. Puramaya di sore hari bak bejana emas, kumpulan baja dan kaca yang memantulkan cahaya matahari untuk dibiaskan fatamorgana diatas aspal. Sore hari ini seperti biasa. Macet merayap seperti biasa.

Bagus berjalan perlahan di sisi kiri trotoar. Ia menyaksikan sebuah Ambulans dengan sirine meraung meminta jalan. Sayang, jalur kearah rumah sakit tertutup kemacetan. Tak ada yang bisa dilakukan.

Tepat di depan Rumah Sakit, Bagus menyeberang jalan dengan mudah. Lapangan baseball Husada Dharma berada tepat didepannya. Ia segera melewati gerbang dan mencari Abil, yang ternyata sedang lari keliling lapangan.

Hoooi Biiil!!! panggil Bagus. Abil menoleh. Ia berlari menghampiri Bagus.

Hoi Gus! Kamu datang juga! Haha, baguslah! Ayo ganti baju terus pemanasan, ada baju cadangan di loker Abil mengajak Bagus masuk ke ruang ganti di sudut lapangan.

Setelah berganti pakaian, Bagus melakukan pemanasan ringan dan peregangan. Gus, kamu bawa Bat? tanya Abil.

Wah, ya nggak lah... ini kan dadakan... jawab Bagus.

oh, ya udah. Kamu pakai bat-ku aja! Abil masuk kembali ke ruang ganti dan keluar membawa sebuah tongkat pemukul.

Bagus menerima dan menimang tongkat itu sejenak. Tongkat itu terbuat dari logam. Terasa mantap dalam genggaman. Catnya yang berwarna merah dan perak sudah banyak tergores, tanda betapa tongkat itu sering digunakan. Bagus mencoba mengayunkannya.

hebat! pikir bagus kagum.

Titik keseimbangan tongkat itu terasa benar-benar pas, seolah tongkat itu adalah perpanjangan tangan Bagus. Tanpa sadar Bagus tersenyum dan mengelus tongkat itu.

Abil nyengir melihat muka Bagus yang melongo kagum. Kamu suka? tanya Abil.

Wah iya! Bat ini kok rasanya pas bener di tanganku. Boleh buat aku ndak? tanya Bagus bercanda. Bagus kembali mengayun-ayunkan tongkat itu.

Kalo kamu suka, ambil aja. Soalnya bat itu nggak cocok buatku kata Abil.

beneran tah? Wao...! seru Bagus girang.

Mereka kemudian meneruskan pemanasan mereka. Selang beberapa saat, teman-teman mereka akhirnya datang.

Hari itu mereka mengadakan permainan sederhana. Game set pertama, Bagus menjadi batter dan Abil menjadi pitcher.

Abil mengambil ancang-ancang. Ia mengangkat kaki kirinya ke udara.

Strike!!

Bola itu telah sampai di sarung tangan catcher. Bagus bahkan tak sempat bereaksi.

gila, cepet bener!! ujar bagus aku nggak ngeliat blas!

Abil tertawa dibuat-buat, itu belum apa-apa gus... baru pemanasan, pemanasaan!

sialan... pikir Bagus aku tadi belum siap, Bil! seru Bagus, mengacungkan bat-nya.

Mereka kembali bersiap. Abil mengangkat kakinya tinggi. Kali ini lengannya terayun diagonal. Seperti cambuk, tepat pada puncak momentum Abil melepaskan bolanya.

kelihatan! seru Bagus. Bola itu meluncur deras tepat ke arah catcher. Bagus mengayunkan tongkatnya untuk mencegat lintasan bola itu. Aayoo kena!! teriaknya dalam hati.

Beberapa sentimeter sebelum terkena pukul bat Bagus, tiba-tiba bola itu meliuk tajam kearah bawah. Wuush! Bagus memukul sekuat tenaga.

Strike, dua!!

siaaaaal...! pikir Bagus. Sudah lama dia bermain baseball bersama Abil, yang kebetulan juga merupakan teman pertamanya di SMA sejak pindah dari Puspasare ke Puramaya. Namun dia tidak menyangka kemampuan Abil meningkat pesat setelah liburan semester kemarin.

haha!! Makan tuh Gus!! ucap Abil congkak.

Mereka kembali bersiap-siap lagi. Kali ini Bagus lebih waspada.

Abil melemparkan bolanya lagi. Kali ini lecutan lengannya lebih horizontal daripada lemparan-lemparan sebelumnya.

Bagus bisa melihat arah bolanya. Lemparan rendah.

Ia kembali mengayunkan Bat-nya mencegat lintasan bola itu.

Soul Spirit Chapter 4- Somnium MundiLapangan Baseball Husada Dharma, 16.15...Strike, dua!!

siaaaaal...! pikir Bagus.

haha!! Makan tuh Gus!! ucap Abil congkak.

Mereka kembali bersiap-siap lagi. Kali ini Bagus lebih waspada.

Abil melemparkan bolanya lagi. Kali ini lecutan lengannya lebih horizontal daripada lemparan-lemparan sebel...umnya.Bagus bisa melihat arah bolanya. Lemparan rendah.

Ia kembali mengayunkan Bat-nya mencegat lintasan bola itu...

Di saat-saat terakhir, bola itu meliuk tajam ke arah kanan. Namun Bagus sudah memprediksinya. Ia memindahkan berat tubuhnya ke arah kanan, sehingga posisinya condong dan sejajar lintasan bola. Dengan seluruh tenaga dia hantam bola itu.

Ping!! suara bola beradu dengan bat. Bola itu meluncur jauh melewati Abil dan melesat diatas pagar pembatas lapangan.

Hoe!! Home run!! teriak Bagus senang. Dia segera berlari santai dari base ke base dengan gaya mengejek Abil. Yang diejek hanya bisa tersenyum menahan jengkel.

haha, awas kau ya Gus! ujar Abil.

Merekapun melanjutkan permainan hingga matahari hampir terbenam. Abil pulang terlebih dahulu, lalu Bagus juga pulang naik bus, membawa bat yang diberi sahabatnya itu.

Kediaman Bagus, 22.00Bagus baru saja selesai mengirim tugas kuliahnya melalui Email. Sekarang dia merasa amat mengantuk.

Dia menggeliat di kursinya, lalu berdiri dan menguap. Sejenak kemudian bagus telah berbaring diatas ranjangnya. Kepenatan segera merajai matanya.

...

Bagus berlari dengan tergesa-gesa. Ia bergerak cepat di sebuah lorong rumah sakit. Nafasnya terengah-engah dan berat. Lorong itu berakhir di sebuah pertigaan. Bagus tidak bisa membaca papan penunjuk jalan yang tergantung di dinding, namun Ia tahu dirinya harus berbelok ke kanan.

Bagus mempercepat langkahnya. Ia menemui sebuah pintu ganda di depannya, kelihatannya dari kayu jati padat dengan desain yang cukup kuno.

Bagus mencoba mendorongnya terbuka, namun ia tak mampu. Bagus mencoba lagi, kali ini ia benar-benar ingin pintu itu terbuka. Ia mendorong sekuat tenaga.

Daun pintu itu menjeblak terbuka, lepas dari engselnya. Terkejut dengan kekuatannya, Bagus berhenti sejenak memandang tangannya. Tanpa menoleh, Ia berjalan melewati pintu itu.

Kini bagus berada di tengah hamparan padang pasir yang luas. Ia melihat ke belakang, nampak sebuah rumah putih sederhana tanpa atap berdiri kokoh diatas bukit pasir.

Bagus melempar pandangannya jauh kearah cakrawala. Terlihat banyak kabut di kaki langit. Ia melangkah tepat menuju batas horizon. Ia ingin melangkah menembus kabut.

Entah sengaja atau tidak, Bagus mengarah ke batasan kabut yang paling tipis. Ketika ia berjalan melewatinya, kabut-kabut itu menyibak membentuk sebuah lorong memanjang.

Di ujung lorong itu bagus merasa ada sesuatu yang menahan dirinya melangkah lebih jauh. Penasaran, ia celingukan. Secara samar-samar ia melihat batas seperti dinding gelembung sabun di depannya. Tidak jauh dari batas luar dinding itu, Banyak gelembung lain yang Bagus lihat.

Sungguh pemandangan yang cantik, dinding transparan berwarna pelangi yang seolah selalu disiram temaram rembulan, dengan kabut yang melayang berputar didalam masing-masing gelembung seperti dunia awan yang terperangkap angin topan. Gelembung-gelembung itu nyaris identik satu sama lain dan saling bergerak perlahan.

Bagus memusatkan perhatiannya menikmati keajaiban ini. Dan tidak hanya itu, sepintas dia merasa bisa melihat menembus kabut dari gelembung-gelembung yang paling dekat dengannya. Ya! Dia yakin sekali bisa melihat ayah dan ibunya dalam gelembung masing-masing yang saling berdekatan. Ia juga melihat adik-adiknya sedang melakukan kegiatan masing-masing dalam gelembung mereka.

Ia juga melihat beberapa teman terdekatnya sedang sibuk dalam gelembung mereka. Termasuk Abil, yang juga bergerak ke tepian gelembungnya. Dia terlihat sadar dengan sekelilingnya, tidak seperti orang-orang yang lainnya.

Abil menoleh dan sejenak melihat ke arah Bagus, Ia melambaikan tangannya menyapa dengan senang. Bagus hendak membalas melambaikan tangan ketika Abil melangkah menghampirinya, dengan susah payah menembus Gelembung itu. Ia berhasil, namun setelah berada di luar gelembung, Abil terlihat terkejut. Ia menoleh-noleh panik seolah tidak bisa melihat apapun.

Bersamaan dengan kepanikan Abil, Bagus melihat sosok-sosok asing mendekati Abil.

Bagus berteriak-teriak panik memperingatkan Abil, namun Abil tak bisa mendengarnya. Sosok-sosok itu kini sudah tepat berada di depan Abil. Bagus bisa melihat mereka dengan jelas sekarang.

Sekelompok manusia yang tak seperti manusia, yang masing-masing mengenakan pakaian compang-camping yang kontras terhadap yang lain. Ada yang berpakaian Gestapo, namun ada juga yang berpakaian Firaun. Ada yang seperti eksekutif muda, namun juga terlihat seorang prajurit romawi. Pakaian mereka berbeda, namun tubuh mereka serupa satu dengan yang lain. Kulit penuh tonjolan-tonjolan berlumuran darah, tubuh yang termutilasi, mata yang kosong, berjalan sempoyongan...

Mereka semua menuju Abil, yang kini sudah merasa dirinya dalam bahaya. Abil sepertinya bisa merasakan kehadiran makhluk-makhluk itu. Ia berlari ke arah Bagus, yang dengan susah payah berhasil mengeluarkan tangan kanannya dari dinding gelembung. Bagus berusaha meraih tangan Abil. Sedikit lagi...

Tiba-tiba sebuah tangan raksasa menimpa Abil, meremukkan dirinya dari pinggang kebawah.

Abil Berteriak memekakkan telinga.

Bagus terperanjat, ia jatuh terduduk. Tangan itu menyeret Abil keatas, kearah kegelapan di langit-langit.

Sepasang mata yang sangat besar memandang bagus dari kegelapan di atas. Bersinar penuh rasa lapar, mata itu berkedip sekali.

Kemudian tangan tadi masuk menembus gelembung dan tubuh Bagus.

Soul Spirit Chapter 5- Au RevoirKediaman Bagus, 0400AAAAAAAAHHHHH!!!!!

KRIIIIIING!!!

Bagus terbangun tepat ketika jam weker itu berbunyi. Ia bernafas dengan berat dan cepat.

Bagus meraba dadanya. Terasa sakit, namun ia tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar.

Haaahh...! ucap bagus lega.

Bagus segera mematikan jam weker itu, ...jarum pendek menunjukkan pukul empat pagi. Tidak biasanya ia bangun selambat itu.Bagus menengok cepat ke sekelilingnya. Ia berada di sebuah ranjang dengan kasur pegas yang dilapisi sprei berwarna krem. Disampingnya ada meja buku dan sebuah jam weker yang bertengger diatasnya.

Dia berada di kamarnya sendiri.

Bagus mencoba mengingat-ingat kejadian di mimpinya. Ia bisa mengingat dengan jelas saat tubuh Abil diremukkan oleh makhluk raksasa itu. Juga ketika makhluk itu menyerang Bagus, seolah itu adalah kejadian yang baru saja benar-benar terjadi.

Namun ketika ia ingin mengingat hal yang terjadi setelahnya, memorinya menjadi kabur. Yang ia ingat hanyalah sesosok berbaju Shogun coklat-emas kemerahan yang tak asing lagi menurutnya muncul memotong tangan raksasa itu dalam gelembung miliknya.

Sosok itu kemudian memandang kearahnya. Bagus merasakan suatu sensasi yang aneh ketika melihat mata makhluk itu, sensasi yang sama ketika ia memandang matanya sendiri dalam cermin.

Kini ia merasa lelah, seolah tidak tidur semalaman. Namun untuk kembali tidur, dia merasa takut.

Satu jam selanjutnya Bagus habiskan untuk mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu tidak nyata.

...

Sayangnya semua usaha bagus tidak berhasil. Semua itu tetap TERASA nyata...

Kampus A Universitas Garudawisnu, 1100Bagus sedang duduk bersantai di galeri kampusnya. Hari itu udara Puramaya dingin menusuk, matahari hampir tidak nampak. Untungnya jadwal mata kuliah Bagus hari itu sudah habis.

Abil lewat di depan Bagus begitu saja. Tatapan matanya kosong, tidak melihat kemanapun dan tidak mengawasi apapun.

Bagus ingat, di ruang kelas tadi bahkan Abil tidak berbicara sedikitpun. Ia hanya menatap slide perkuliahan secara monoton. Walau Abil diam, Bagus tahu Abil tidak sedang berusaha untuk memahami kuliah itu.

Karena khawatir, Bagus berjalan mendekati Abil. Bagus menegurnya, Bil? Kamu sakit?

Abil tetap berjalan menjauh, tidak menghiraukan Bagus.

Bagus menegurnya lagi, Abil?

Tetap tidak ada respon.

Akhirnya Bagus mencengkeram tangan Abil, memaksanya berbalik.

Hoy, Bil! Kamu itu kenapa sih? Kok ngeloyor gitu waktu kupanggil?! Tanya bagus dengan emosi meluap.

Abil balik memandang Bagus. Matanya kosong dan sedih, namun mulutnya tetap terkunci rapat. Bagus tertegun dan secara reflek melepaskan cengkeraman tangannya.

Begitu saja Abil berbalik pergi. Sekilas Ia menatap gedung Rumah Sakit Prima Husada, Rumah Sakit mewah enam lantai yang terletak di seberang barat Kampusnya.

Heh! Terserah! Gak mau ngomong ya udah! Seru bagus dengan suara keras, hingga

beberapa orang di sekitar mereka tersentak kaget.

Bagus sudah tidak peduli. Ia sendiri banyak pikiran. Ia ingin marah. Terserah Abil mau apa, itu urusannya, bukan urusan Bagus. Bagus berjalan ke kantin, dia duduk saja tanpa memesan apa-apa.

Kampus A Universitas Garudawisnu, 1123Bagus sedang membaca koran ketika ia mendengar ribut-ribut. Hal seperti itu biasa terjadi, dan ia tidak pernah menghiraukannya. Namun ketika orang-orang itu berlarian bergerombol menuju satu tempat, mau tak mau Bagus penasaran. Bagus bertanya ke seorang tua yang menjaga kedainya.

maaf pak, ada apa ya kok orang-orang keluar semua? tanya Bagus.

Ooh, itu mas... katanya ada anak mahasiswa berdiri di pinggir atap rumah sakit di sebelah. Sepertinya dia mau bunuh diri! jawab bapak itu dengan nada cemas

Degg... jantung Bagus serasa berhenti.

maaf pak, tanya lagi. Rumah sakit yang mana? Rumah Sakit Daerah atau Prima...

Belum sempat Bagus menyelesaikan kalimatnya, bapak itu menjawab, Prima Husada,

mas.

Tanpa membuang waktu lagi, Bagus langsung berlari sekencang yang ia bisa. Bagus masih ingat, Abil sepertinya menuju kesana.

Bagus tiba di kerumunan orang yang berdiri di tepi jalan, semua memandang ke satu sosok yang berdiri di tepi atap.

Sosok itu mengambil satu langkah, menaiki linggir atap. Jelas sudah, itu adalah Abil!

ABIL!!! teriak Bagus sekuat yang ia bisa. Ia merangsek menembus kerumunan

orang-orang menuju ke gedung itu. minggir, minggir pak!! Itu teman saya!

Bagus masuk ke dalam gedung. Ia mencari elevator. Sial Bagi bagus, elevator sedang berada di lantai enam. Tidak ada waktu untuk menunggunya turun.

Bagus berlari menaiki tangga darurat, satu-satunya tangga di dalam gedung yang ia tahu langsung menuju atap. Satu... dua... tiga... empat lantai... Bagus berlari sangat kencang, ia bergerak dengan kekuatan kemauannya yang keras. Ia harus sampai!

Tak berapa lama, Bagus sudah sampai di atap. Ia segera membuka pintu atap.

brakk! pintu itu membuka dengan keras. Abil!!! teriak Bagus.

Pemandangan pertama yang Bagus lihat adalah sosok Abil yang sedang menghadap dirinya.

Abil tersenyum pada Bagus. Ia melangkahkan satu kakinya ke udara dibelakangnya.

Detik terasa melambat. Bagus mengulurkan tangan kanannya kedepan, mencoba meraih Abil.

Detik berikutnya tubuh abil telah lenyap dari pandangan. Bagus tertegun.

Terdengar teriakan orang-orang di bawah, lalu suara benda jatuh berdebum.

Lutut bagus terasa lemas, ia bersimpuh di lantai atap.Soul Spirit Chapter 6 - Burden

Massilie, Perancis 17:00

tak tak! trakk!

Suara tongkat beradu nyaring dalam Gimnasium itu. Dua orang cannist yang mengenakan pelindung kepala dan wajah sedang berusaha memukulkan tongkatnya ke tubuh lawannya, ditengah sebuah arena berbentuk lingkaran di salah satu sudut ruangan.

Salah seorang petarung yang mengenakan kostum biru mulai bergerak agresif, mengayunkan tongkat di tangan kanannya dengan cepat. Gerakan kakinya terlihat luwes dan gesit, membuat lawannya kewalahan. Ia memutar-mutar tongkatnya dengan lihai, terkadang memindahkannya dari tangan kanan ke kiri sambil terus mendesak pertahanan petarung satunya.

Hiah!! huuhhh!! Petarung berbaju biru itu mengayunkan tongkatnya ke sisi kiri lawannya. Sang lawan mencoba mengatasinya dengan cara mengangkat tongkatnya dalam gerakan menangkis.

Namun ternyata gerakan itu hanyalah tipuan, petarung berbaju biru itu sejak awal tidak berniat untuk menyerang sisi kiri. Ia melemaskan pergelangannya, membuat tongkat yang dipegangnya berputar dan tidak menghantam tongkat lawannya. Sang lawan yang sudah mengantisipasi benturan tongkatnya menjadi kaget dan kehilangan keseimbangan.

Kesempatan itu dipergunakan oleh petarung berbaju biru dengan sangat baik. Ia menghantamkan tongkatnya ke lengan kanan lawannya dengan keras. Tongkat lawannya terlepas seketika. Sang petarung berbaju biru rupanya kurang puas, ia melancarkan serangan cepat bertubi-tubi kearah lawannya secara emosional.

Haah!! Hiaaah!! teriaknya.

Adit, Cukup! teriak seorang lelaki paruh baya yang sedari tadi mengawasi pertarungan itu.

Adit tetap melancarkan serangan. Lawannya jatuh tersungkur, mengangkat tangannya melindungi wajahnya. Pasrah.

Sang lelaki tua masuk ke dalam arena dan menangkap tongkat Adit dari belakang dan memuntirnya, membuat Adit jatuh telentang.

Sudah cukup Adit! Bentak lelaki itu. Perlahan iapun melepaskan tongkat Adit.

Adit bangkit berdiri dan membuka pelindung kepalanya, memandang tajam lelaki itu.

Jangan ganggu aku! ujarnya sambil membanting tongkatnya. Trak! Tak!

Adit keluar dari ruangan itu, Blam! membanting keras pintu ganda gimnasium tersebut.

Huhh... lelaki tersebut menghela napas. Ia membantu berdiri petarung satunya.

Monsieur LaRoux, tolong maafkan sikap tuan saya. ujar petarung tersebut. Sepertinya tuan muda sedang ada masalah.

LaRoux memandangi petarung itu dengan tajam. Aku sudah tahu, Pierre. Tapi aku terkejut, dalam satu bulan terakhir dia berkembang sangat cepat. Dia bahkan mengalahkanmu dalam pertandingan canne barusan. Padahal kau bodyguardnya.

Pierre tersentak. M-Monsieur... saya berjanji akan berlatih lebih keras...

LaRoux tersenyum. Jangan khawatir, istirahatlah! Memang Adit lincah dan gesit, namun ia masih muda, emosinya masih meledak-ledak. Dan aku juga tahu kau tidak bersungguh-sungguh melawannya tadi. LaRoux melangkah menjauh.

Samar-samar terdengar suara hantaman teredam dari balik dinding. Aku yakin sekarang Adit sedang berlatih savate di sandbag ruang sebelah. kata LaRoux

LaRoux membalikkan badan dan memandang Pierre tepat di matanya. Aku harap kau tetap melatih Adit setelah kalian pulang kembali ke Indonesia.

Merci, Monsieur! Ucap Pierre hormat. Monsieur LaRoux berjalan keluar, meninggalkan Pierre sendiri di aula itu.

Adit menendang dan memukul Sandbag dengan penuh tenaga. Wajahnya mencerminkan keadaan hatinya yang sedang galau. Ia berusaha melupakan beban yang tiba-tiba diberikan ayahnya kemarin.

Namun semakin ia berusaha melupakannya, ia semakin menancapkan memori itu di kepalanya.

***

Massillie, Perancis. Satu hari sebelumnya

..Dan dengan ini secara resmi saya menyerahkan tongkat kepemimpinan perusahaan Arthafarma kepada putra saya, Adit! ujar lelaki itu, secara simbolis menjabat tangan Adit, lalu menyerahkan sebuah tongkat hitam kepadanya. Kemudian oleh Adit tongkat itu diletakkan diatas nampan yang dibawa oleh sekretaris ayahnya.

Seisi aula bertepuk tangan riuh, bahkan mereka yang semula duduk ikut berdiri dan bersorak memberi selamat kepada pemuda yang baru saja mendapat warisan perusahaan multi-nasional itu.

Wajah Adit tampak galau.

Lelaki itu mengangkat tangan kanannya, meredam tepuk tangan para undangan.

Namun demikian, mengingat anak saya masih menyelesaikan studinya, kepemimpinan masih akan dipegang oleh dewan sementara sampai anak saya menyelesaikan studinya. Lelaki itu menoleh pada Adit, memandang tajam. Atau menghentikan studinya.

Terdapat keheningan yang kaku diantara Adit dan ayahnya, seolah sorak-sorai para undangan itu terjadi di tempat lain.

Sekian dari saya. Selamat menikmati acara selanjutnya! Ujar Ayah Adit menutup pidato dan turun dari podium, yang langsung disambut oleh wartawan dan para orang penting yang berebut berjabat tangan.

Terdengar suara musik mulai dimainkan dengan nada ceria, namun Adit pergi begitu saja meninggalkan Aula.

Pierre yang sejak tadi bersandar di luar aula terlihat menghampiri Adit.

tuan muda, selamat! ujarnya mengulurkan tangan

namun Adit tak bergeming, hanya memandangi Pierre dengan raut wajah galau.

Aku sudah bilang ke Papa, Aku nggak mau mimpin perusahaan ini. Ujar Adit.

Pierre tertegun, menyimak.

Aku kepingin mulai dari awal. Dari nol. Aku kepingin jadi programmer. Aku nggak pernah punya bakat memimpin orang. ujar Adit.

Walau aku kuliah di jurusan yang berbeda dengan yang ku inginkan, aku tetap yakin aku bisa!

Namun Papa nggak mau dengar aku. Adit menunduk mengepalkan kedua tangannya, seolah menahan airmata.

Papa nggak pernah mau dengar aku.

Mereka terdiam beberapa saat.

sudahlah, tuan. Pierre menepuk pundak Adit.

yang terjadi, terjadilah. Anggaplah ini sebagai batu loncatan untuk impian tuan. Saya yakin impian tuan akan tercapai. ujar Pierre.

Adit terdiam.

Mungkin kau benar. Ujarnya menghela nafas.

Ah, biarin aja. Sekarang ayo antar aku pulang! kata Adit, mendadak mukanya berubah ceria.

He~h? seru Pierre berjengit kaget dengan perubahan sikap tuannya.

Aku mau maenin game yang dikirim Tamara kemarin, hehee... ucap Adit tersenyum lebar.

Ayo cepat! ujarnya berlari meninggalkan Pierre.

***

Adit melepaskan tendangan yang begitu keras kearah sandbag tersebut, lalu dia berhenti.

Terengah-engah, dia bersandar di sandbag itu. Aku benci Papa. ucapnya

Tiba-tiba handphone Adit berbunyi. Dia berlutut ke tasnya untuk mengangkat telpon itu.

Ternyata sebuah pesan pendek, Adit membacanya.

Raut muka Adit terkejut.

Beberapa saat kemudian Adit beranjak bangkit, Pierre! Segera siapkan penerbangan kembali ke Indonesia, MALAM INI JUGA!!Soul Spirit Chapter 7

Pemakaman Samamertha

Abil telah dikebumikan. Cuaca yang mendung menambah haru para hadirin, terlebih teman dekat yang ditinggalkannya. Universitas memberikan penghormatan khusus terakhir pada mahasiswinya. Hampir semua yang hadir di tanah pemakaman itu mengenakan jas almamater, semata untuk mengenang ikatan mereka dengan mahasiswi yang kini beristirahat dengan tenang tersebut, termasuk Bagus dan kawan-kawan yang berdiri paling dekat dengan batu nisan Abil.

Satu-persatu dari mereka mulai meninggalkan pemakaman tersebut. Tak lama kemudian sebuah mobil limosin berhenti dan membuka pintunya. Dengan langkah gontai Adit keluar dari limo itu, tak mempedulikan orang di sekelilingnya, ia melangkah menuju makam Abil.

Perlahan namun pasti hujan turun mengiringi langkah Adit, rintik-rintik seperti percikan mata air yang memantul di batu-batu. Tanpa menghiraukan sahabatnya, Adit berdiri mematung di depan makam Abil, seolah tak percaya dengan nama yang terukir di nisan itu.

Adit terduduk bersimpuh. Air mata mengalir bercampur dengan hujan yang membasahi wajahnya.

Bagus, Nartha, dan Adit tinggal bertiga saja di tanah itu. Mereka tak peduli dengan keheningan yang merajai mereka.

Huh, jadi begini saja akhirnya. bisik Adit memecah kesunyian.

Jadi, semua itu tinggal mimpi saja. Kata Adit.

Bahkan kamu nggak sempat pamit ke aku! serunya terisak.

Bagus maju, menyentuh pundak Adit. Sudahlah, Dit, ucapnya. Biarkan Abil istirahat dengan tenang.

Secara tiba-tiba Adit menepis tangan Bagus, JANGAN SENTUH AKU!

Adit berdiri menghadap Bagus, memandangnya tajam. Apa yang kau tahu?!

Dia berjalan mendekati Bagus, sangat dekat. Adit berbisik pada Bagus, Jangan berpikir aku tidak tahu apa-apa!

Adit berjalan kembali ke arah limo-nya, sambil menyenggol pundak Bagus, ia berkata: Pembunuh!***

Bagus berjalan mondar-mandir menjauhi rumah gurunnya. Setelah bosan, ia duduk memeluk lutut sambil menatap kabut di kejauhan. Pandangannya kosong.

mimpi ini pikirnya. mimpi yang sama seperti sebelum abil bunuh diri

Ia berjalan menutuni bukit berbatu tempat rumah itu berada, dan berjalan ke tepian kabut. Ia merenung memikirkan Adit

Adit ia berubah. Kenapa dia nggak mau dengar penjelasanku?

Bagus tiba di tepian kabut. Ia ingin melihat keluarnya, dan seketika kabut itu menipis. Bagus menengok keluar. Diluar tak ada gelembung dari keluarganya, ia hanya melihat sebuah gelembung lain berada didekatnya, berjarak kira-kira tiga puluh langkah dari tempatnya. Gelembung itu hampir sama besarnya dengan miliknya sendiri, namun kabut putih yang biasa terlihat dalam gelembung digantikan sesuatu yang terlihat seperti awan mendung.

Hmm, gelembung yang aneh. ujarnya.

Bagus penasaran. Ia melihat sekelilingnya. Kosong. Aman. Tidak terlihat adanya makhluk-makhluk aneh seperti saat ia bermimpi seperti ini tempo hari.

Ia memejamkan mata menempelkan tangannya ke dinding gelembung, mendorongnya, dan disaat bersamaan berpikir gelembung itu masuk kedalam tubuhnya.

Ia membuka mata, berhasil! serunya sambil melihat tangannya.

Bagus berjalan menuju gelembung itu, dan dia terkejut saat mendapati tanah disekitarnya yang semula kosong, kini terlihat aneh. Seolah-olah Escher sendiri yang mendesain ruangan itu, ia melihat berbagai hal yang tidak masuk akal. Bagus awalnya kagum, namun dia tetap fokus pada gelembung dihadapannya.

Ia berjalan mendekati gelembung itu dan mengintip kedalamnya. Tak terlihat apa-apa. Ia memaksa masuk kedalamnya. Berat.

Ia mencoba lagi, memaksakan seluruh tubuh mendorong dinding gelembung itu. Kaliini terasa ringan. Terlalu ringan.

eehh!

Slup! Ia tertelan masuk gelembung itu, dan jatuh terjerembab, kepala duluan membentur lantai marmer. aduh sakiit! ujarnya.

Bagus tiba di sebuah ruangan penuh cahaya. Terang namun suram. Segalanya datar dan berwarna putih kebiruan sampai tepi gelembung, dimana semuanya menjadi gelap karena kabut mendung itu. Ditengah ruangan itu terdapat suatu struktur berbentuk lengkungan. Bagus mendekatinya. Bangunan itu cukup besar, tingginya sekitar enam meter.

Saat melihat kedalam gerbang, bagus terheran-heran karena alih-alih melihat lantai marmer kosong yang seharusnya sama seperti yang ada di belakang gerbang, ia malah melihat rumput dan langit, seolah-olah gerbang itu adalah pintu masuk ke dimensi lain. Bagus melangkah masuk ke dalamnya.

Bagus melangkahkan kaki keluar gerbang itu. Sekarang ia berada di sebuah dataran tinggi dekat laut, berada di tepian tebing dengan jalan setapak menuju ke semacam pemukiman padat dibawahnya. Bagus menatap jauh ke depan, ia memandang langsung langsung kearah sebuah kota pelabuhan metropolitan dengan banyak gedung pencakar langit didalamnya. Kota itu ada di sebuah bukit yang lain, dipisahkan oleh sebuah lembah landai. Pemukiman itu melingkar mengelilingi tepian tepian kota, namun ada padang rumput kosong berjarak kira-kira satu kilometer antara tepi dalam pemukiman dan tepi luar tembok kota.

Kota itu dikelilingi tembok, yang jika dilihat dari bukit tempat bagus berdiri, tembok itu mengelilingi kota dalam pola seperti bentukan bintang, menjorok ke tepi lembah, dengan sudut-sudut bintang mengarah ke pemukiman. Kota itu dipenuhi jalan beraspal dan gedung modern pencakar langit yang menjulang tinggi. Terdengar keramaian kendaraan berlalu-lalang didalamnya.

Bangunan yang paling besar berbentuk silinder raksasa, tepat berada di tengah kota. Puncak bangunan itu bergaya romawi klasik berbentuk seperti mahkota, seolah-olah colloseum ditempelkan begitu saja diatasnya.

Bagus menuruni tebing itu, dan berjalan di jalan pemukiman. Penduduk di tempat itu terlihat berpakaian seolah-olah ini adalah kota di Eropa pada abad pencerahan.pakaian modern Bagus terlihat mencolok sekali

Dan seperti bisa menangkap kekhawatiran bagus, penduduk kota itu berhenti bekerja ketika Bagus mendekat. Mereka hanya memandangi bagus sambil menjaga jarak.

Tiba-tiba salah satu mobil berhenti di depannya. Dari dalamnya turun dua pria berseragam. Pakaian mereka terdiri dari topi lebar dengan hiasan bulu berwarna biru, rompi pelindung dada dari baja, sepatu bot setinggi lutut, dan semacam jubah dipunggungnya. Mereka membawa pedang-satu-tangan yang terselip dipinggangnya dan sebuah bedil musket, senjata mirip senapan kuno dengan moncong lebar, yang sedang diarahkan ke muka bagus. Mereka memandang Bagus dengan tajam.

penyusup! kata mereka bersamaan. Tiba-tiba terdengar sirine keras meraung-raung. Bagus terkejut dan berlari menghindar.

Bagus berlari masuk kedalam gang sempit pemukiman itu, ia berbelok di tikungan saat salah satu dari mereka membidikkan musketnya.

Dor! Blaar! peluru musket itu menghantam sudut tembok rumah di tikungan tepat dimana bagus berbelok sepersekian detik yang lalu. Bagus kaget, dan ia berlari sekencang yang ia bisa. tikungan itu mengarah ke sebuah gang lurus panjang, tempat yang buruk untuk menghindar dari tembakan musket. Bagus menengok ke belakang. Tak tampak seorangpun pengejarnya mengikuti. Ia kembali menghadap depan, namun apa yang dilihatnya justru lebih buruk.

Satu peleton musketeer membentuk formasi siap tembak menghadang, sekitar sepuluh meter di depannya. Barisan paling depan berlutut di kaki kanannya, sedangkan barisan di belakangnya berdiri. Semua mengarahkan musketnya kearah bagus, bersiap melakukan tembakan salvo.

Tembak!! Dor dor dor! perintah salah seorang musketeer yang segera dituruti anak buahnya. Puluhan bola-bola timah meluncur cepat secara seragam kearah bagus, seperti sekawanan lebah mengamuk. hanya saja, lebah ini bisa membuat kepala bolong.

Secara refleks, bagus melompat ke samping, mendobrak pintu kayu terdekat yang ada disana. Krakk!! pintu itu terbuka.

Terlambat, Bagus tidak cukup cepat. Bahu kirinya terserempet beberapa peluru. Namun secara mengejutkan, peluru itu memantul diatas kulit bagus. Bagus tetap merasa nyeri, namun tak satupun peluru itu menembus kulitnya.

Tetap saja bagus jatuh tersungkur. Ia memeriksa bahunya sejenak. Namun tak ada waktu untuk sekedar mengaduh, karena ia dapat mendengar suara derap sepatu bot semakin mendekat ke arahnya. Bagus berdiri, dan menyadari bahwa tidak ada pintu atau jendela lain di rumah itu yang tidak mengarah ke gang tempat ia masuk tadi.

Bagus tahu, musket harus diisi lagi setelah ditembakkan, dan hal itu akan sangat memakan waktu. Jika para prajurit diluar langsung berderap kearahnya setelah tembakan salvo tadi, berarti mereka tidak sempat mengisi musketnya. Bagus punya kesempatan.

Bagus tersenyum, yah, sepertinya aku terpaksa bertarung. Ujarnya. Tangan kanan bagus berpendar, dan kemudian muncul sebuah tongkat bisbol. Baagus memegangnya mantap dengan kedua tangannya. Bagus menunggu sampai para musketeer itu cukup dekat, lalu ia berlari keluar, berbelok langsung kearah mereka dengan lolongan sekeras yang ia bisa.

Hiaaaaaaahhhh! Teriaknya. Bagus menghantam musket prajurit barisan terdepan yang sudah dipasangi bayonet. Bedil itu terpental dari tangan prajurit itu. Barisan prajurit dibelakangnya berusaha mencabut pedang, namun salah seorang dari mereka berhasil dihantam bagus, tepat di lehernya. Seorang prajurit yang berhasil mencabut pedangnya mengayunkan pedangnya ke bahu bagus. Bagus mengambil satu langkah diagonal ke kanan depan, memutar di kaki kanannya dan memukul belakang kepala prajurit itu. Prajurit selanjutnya dihantam lututnya oleh bagus sebelum sempat melawan. Bagus menendang prajurit di belakangnya, yang kemudian jatuh menimpa kawannya. Mereka mulai kewalahan menghadapi bagus.

Bagus memanfaatkan momen ini untuk berlari sekencang mungkin kaearah ujung gang. Beberapa musketeer mencabut pistol mereka dan menembakkannya. Beruntung bagi bagus, pistol kuno itu tidak dirancang untuk akurasi, meski ada satu peluru yang menyerempet betisnya.

Bagus jatuh tersungkur. ujung gang tinggal beberapa meter didepannya. Samar-samar ia mendengar suara prajurit, yang ternyata mereka sudah mencegat bagus di ujung gang. Bagus berdiri bersiap menghadapi mereka.

Salah satu dari mereka meneriakkan perintah, kemudain semua prajurit itu mencari perlindungan. Namun ada satu diantara mereka yang melemparkan benda bulat seukuran bola softball dengan sumbu tersulut, tepat didepan bagus.

Bagus secara refleks memukul granat itu.

Kemudian benda itu meledak tepat di depan bagus.