Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 · REPOSITIONING PERAN APARATUR NEGARA MENUJU GOOD GOVERNANCE ......
Transcript of Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 · REPOSITIONING PERAN APARATUR NEGARA MENUJU GOOD GOVERNANCE ......
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
236
REPOSITIONING PERAN APARATUR NEGARA MENUJU GOOD
GOVERNANCE
Rini Irianti Sundary1
Email: [email protected]
Abstract
State is an abstract organization, then the government as one of the
elements of a country that has the function of formulating, expressing,
realizing, the wishes of the people. These government functions are
channeled through public policies and government programs, all of which
are included in public administration duties. Both democratization and
globalization, demanding redefinition and repositioning the role of
government actors. The government previously held strong control of
government, sooner or later experiencing a shift in the role of the position
of all set and dictate to the position as a facilitator. Nationalism with
philosophy of Pancasila is very important to be owned by every state
beurocracy , not just insight but the ability to actualize nationalism in
carrying out its functions and duties is more important. The repositioning
effort is basically a role transformation that demands the ability, way of
working, the way of thinking and the new role of the state apparatus. To be
able to perform the process of repositioning well then the state needs to be
equipped with reliable beraucrat or government’s capable of competing in
the future. The importance of repositioning the government’s behavior as
well as the improvement of work initiatives in one's self and therefore a
good work ethic. While the repositioning of human resources competence is
related to the improvement of the quality of the a government complete with
the required facilities towards a good governance.
Kata Kunci : Repositioning, Aparatur, Negara, Good Governance
A. Pendahuluan
Perkembangan negara sebagai suatu organisasi dalam beberapa dekade terahir
menunjukan perkembangan yang cukup signifikan, hal ini tidak dapat dilepaskan dari
terjadinya perubahan dan dinamika masyarakat yang bersinergi antara bidang sosial,
politik, budaya dan ekonomi sehingga keberadaan negara menjadi komponen yang
sangat dominan sebagai pencerminan suatu masyarakat modern. Pendapat Perrow yang
ditulis dalam buku Richard H. Hall, menyebutkan bahwa :
1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
237
“ We have become a society oforganization” they surround us, We are born in
them and usually die in them. Our life space between is filled with them . They
are just abaut impossible to escape. Organization are us inevitable a death and
tax. They absorbed society.” 1
Perrow memberikan tekanan bahwa manusia sudah menjadi suatu organisasi
masyarakat yang lahir dan mati didalamnya bahwa setiap ruangan dalam hidup manusia
diisi oleh organisasi yang keberadaanya tidak mungkin dihindari. Namun mengapa
manusia memerlukan organisasi dan kemudian berkembang menjadi suatu negara
?.Menurut Perrow : The answer to why we have organizations is simple : to get things
done. We have organization to do things that individuals can’not do by them selves.2
Bahwa pada dasarnya organisasi dibentuk untuk mempermudah tugas dari manusia
karena sebagai individu manusia tidak dapat serta merta menyelesaikan segala sesuatu
dengan usaha sendiri.
Negara merupakan suatu organisasi yang abstrak, maka pemerintah sebagai
salah satu dari elemen suatu negara yang mempunyai fungsi memformulasikan,
mengekpresikan, merealisasikan, keinginan rakyat. Berkaitan dengan fungsi
pemerintah, Beloff dn Peele menjabarkan ada tujuh fungsi pemerintah yaitu : a)
Devense, b) Law and order; c) Taxation; c) Provision of welfare service; d) Protection
of individuals; e) Regulating the economi; f) Prvision of certain economic service and;
g) Development of humen and phisycal resouces. 3
Fungsi-fungsi pemerintah tersebut disalurkan lewat kebijakan publik dan
program-program pemerintah yang kesemuanya termasuk kedalam tugas administrasi
publik. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah landasan
bagi penyusunan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era
globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat
terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai
dengan saling ketergantungan antara bangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-
sumber daya ekonomi dan aktivitas dunia usaha.
1 Richard H. Hall, (2002) Organizations Struktures, Prosses, and outcome, Eighth Edition New Jersey:
Person Education inc: Hlm. 4 2 Ibid.:Hlm.4
3 Brian Thompson, (1977) Textbook on Constitutional and Administrative Law, Third Edition London :
Black stone Press Limited, Hlm. 353
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
238
Baik demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi dan repositioning
peran pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah sebelumnya
memegang kuat kendali pemerintahan, cepat atau lambat mengalami pergeseran peran
dari posisi yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha
dan pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang dinilai
cenderung menghambat aktivitas bisnis, harus mulai menyadari pentingnya regulasi
yang melindungi kepentingan publik. Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya
ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), mulai menyadari kedudukannya
sebagai pemilik kepentingan yang juga berfungsi sebagai pelaku. 4
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam tulisan ini ada beberapa
permasalahan yang akan dikaji , yaitu :
1. Bagaimana menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pelaksanaan fungi
aparatur negara sebagai penyelenggara pemerintahan ?
2. Bagaimana repositioning peran aparatur negara menuju Good Governance?
C. Pembahasan
1. Pengertian Good Governance
Konsep baru yang semula diperkenalkan lembaga-lembaga donor internasional,
yaitu konsep tata kepemerintahan yang baik (good governance), sekarang menjadi salah
satu konsep dalam membenahi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Konsep ini pertama diusulkan oleh Bank Dunia (World Bank), United Nations
Development Program (UNDP), Asian Development Bank (ADB), dan selanjutnya
banyak pakar di negara negara berkembang bekerja keras untuk mewujudkan gagasan-
gagasan baik menyangkut tata-pemerintahan tersebut berdasarkan kondisi lokal dengan
mengutamakan unsur-unsur kearifan lokal. 5
4 Bandingkan dengan Lalolo Krina (2003) ndikator Dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Traansparansi dan
Partisipasi. Sekretariat Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemrintahan yang Baik,
BAPPENAS, Hlm.1 5 Agus Dwiyanto. (2006) Mewujudkan Good Geovernance Melalui Pelayanan Public, Yogyakarta :
UGM Press, Hlm.78
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
239
Lahirnya good governance pada era awal Tahun 1990-an, oleh Organisasi
Internasional khususnya yang bergerak dalam bidang bantuan keuangan dan
pembangunan, telah menerapkan konsep baru sebagai sarat untuk mendapatkan bantuan
keuangan dan bantuan bagi negera-negara yang membutuhkan. Diterapkannya konsep
good governance sebagai syarat oleh lembaga-lembaga donor misalnya PBB, Bank
Dunia maupu IMF dalam memberikan bantuan pinjaman.6
Tata kepemerintahan yang baik dalam dokumen United Nations Development
Program (UNDP) adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi
guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan
mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga di mana warga dan
kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak
hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara warga
dan kelompok masyarakat.7 Konsep good governance lebih menekankan pada
terwujudnya demokrasi, karena itu penyelenggaraan negara yang demokratis menjadi
syarat mutlak bagi terwujudnya good govemance, yang berdasarkan pada adanya
tanggungjawab, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Idealnya, ketiga hal itu akan
ada pada diri setiap aktor institusional dimaksud dengan memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan dan nilai moral yang menjiwai setiap langkah governance.
Governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi sematamata
dimiliki atau menjadi urusan pemerintah, tetapi menekankan pada pelaksanaan fungsi
pemerintahan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan pihak
swasta. Good governance juga berarti implementasi kebijakan sosial-politik untuk
kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran orang-per-orang atau
kelompok tertentu. 8
Fenomena demokrasi dan globalisasi berdampak pada reformasi politik di
Indonesia, khususnya pada sistem pemerintahan yang mengalami transformasi dari
sistem sentralistik menjadi desentralistik. Sistem pemerintahan desentralistik menuntut
adanya pendelegasian wewenang dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah, dan
selanjutnya kebijakan desentralisasi ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22
6 M.Ryan Bakry, (2010) , Tesis Implementasi Hak Azasi Manusia dalam konsep Good Governance di
Indonesia , Jakarta :UI , Hlm.65 7 Lalolo Krina. Op/cit , Hlm.1
8 ibid
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
240
tahun 1999 dan kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan desentralisasi dengan wujud otonomi daerah
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemerataan pembangunan,
peningkatkan daya saing daerah, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi
dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Good governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi
semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada
pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi--
institusi lain, yaitu LSM, perusahaan swasta maupun warga negara. Bahkan istitusi non
pemerintah ini dapat saja memegang peran dominan dalam governance tersebut, atau
bahkan lebih dari itu pemerintah tidak mengambil peran apapun “governance withbout
government”. 9
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa good governance adalah
penyelenggaraan negara yang melibatkan unsur lembaga swadaya masyarakat (LSM),
swasta dan masyarakat, di mana dalam mengambil suatu kebijakan yang berkaitan
dengan pembangunan demi kepentingan masyarakat tidak semata-mata berada ditangan
pemerintah tetapi adanya partisipasi aktif dari LSM, swasta dan masyarakat tersebut.
UNDP (United Nation Development Program), menyebutkan, good governance
memiliki delapan prinsip, yaitu :10
1. Partisipasi,
2. Transparansi,
3. Akuntabel,
4. Efektif dan efisien
5. Kepastian hukum,
6. Responsif,
7. Konsensus
8. Setara dan inklusif
Sementara USAID (United States Agency International Development),
menyebutkan bahwa good governance memiliki 5 (lima) prinsip: 11
9 Samodra Wibawa, (2006) Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Kumpulan
Tulisan, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, Hm..77 10
ibid
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
241
1. Efektivitas
2. Keadilan
3. Partisipasi
4. Akuntabilitas
5. Transparansi
Adanya perkembangan good governance, prinsip-prinsip good governance juga
mengalami perkembangan:
1. Partisipasi
2. Penegakan hukum
3. Transparansi
4. Kesetaraan
5. Daya tanggap
6. Wawasan kedepan
7. Akuntabilitas
8. Pengawasan publik
9. Efektivitas dan efisiensi
10. Profesionalisme
2. Nilai-Nilai Pancasila dalam Pelaksanaan Tugas Aparatur Sipil Negara.
Pancasila sebagai sistem nilai yang harus senantiasadikembangkan dan diinterna
lisasikan ke dalam jiwa segenap bangsa Indonesia. Proses internalisasi nilai!nilai
Pancasila ini tidak boleh berhenti hanya pada tataran perubahan pola pikir dan kejiwaan
saja, melainkan juga harus sampai kepada kebiasaan dan karakter yang menyatuantara
pikiran, sikap dan tindakannya dan menjadi sebuah integritas pribadi maupun kolektif.
Pancasila, menurut pandangan Yudi Latif, 12
menuntut adanya perubahan
mendasar secara akseleratif , yang melibatkan revolusi material, mental/ kultural
dan politik yang diarahkan untuk menciptakan masyarakat religius yang
berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah dan terbebas dari sifat materialisme
hedonisme serta sanggup menjalin persatuan dengan semangat pelayanan. Nasionalisme
dengan falsafah Pancasola sangat penting dimiliki oleh setiap aparatur negara, bukan
11
Local Governance Support Program (LGSP), (2006) Pedoman Teknis; Local Governance Assesment
(Jakarta: LGSP, Hlm. 5 12
Yudi Latif,( 2009) Negara Paripurna,Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,Hlm.11
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
242
hanya sekedar wawasan saja tetapi kemampuan mengaktualisasikan nasionalisme dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya merupakan hal yang lebih penting. Diharapkan
dengan integrasi nilai-nilai Pancasila yang kuat, maka setiap pegawai ASN memiliki
orientasi berpikir mementingkan kepentingan publik, bangsa, dan negara. Nilai-nilai
yang berorientasi pada kepentingan publik menjadi nilai dasar yang harus dimiliki oleh
setiap pegawai ASN. Pegawai ASN dapat mempelajari bagaimana aktualisasi sila demi
sila dalam Pancasila agar memiliki karakter yang kuat dengan nasionalisme dan
wawasan kebangsaannya.
Integritas yang dimiliki oleh setiap aparatur adalah mutu, sifat atau keadaan
yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan
yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Sementara, etika didefinisikan sebagai
pemahaman tentang hal yang baik dan buruk atau hak dan kewajiban mengenai moral
dan ahlak. Jika keduanya digabung dan ditempatkan di dalam sanubari, maka dapat
mencetak perilaku setiap individu untuk selalu beretika baik serta berintegritas tinggi
baik di dalam maupun di luar lingkungan organisasi. Karena itu, organisasi penanaman
modal harus berani merumuskan integrasi keduanya ke dalam sebuah Nilai Etika.
Nilai etika harus dituangkan ke dalam berbagai aturan atau standar perilaku agar
dapat menjadi kerangka perilaku yang dipedomani seluruh pegawai. Nilai etika bukan
sekadar bermanfaat untuk membentuk (memotivasi dan mendorong) perilaku pegawai
sehari-hari, namun juga membimbing mereka ketika melakukan proses pengambilan
keputusan. Sehingga jika nilai etika dapat ditegakkan secara konsisten dan konsekuen
maka fondasi good governance di dalam organisasi akan semakin berdiri kokoh.
Organisasi sangat membutuhkan nilai etika, karena:
a. Untuk menyelaraskan dengan sistem moral, norma dan aturan yang
berlaku di tengah masyarakat;
b. Untuk menyelaraskan dengan nilai, norma dan aturan kepemerintahan;
c. Untuk membangun dan mewujudkan good governance;
d. Untuk memfokuskan penyelenggaraan sistem pemerintahan negara agar
dapat mencapai tujuan negara;
e. Untuk menjaga kedekatan dengan sistem, struktur, kultur dan perilaku
birokrasi kelembagaan pemerintah;
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
243
Pegawai negeri sipil (PNS) atau Aparatur sipil Negara , sesungguhnya telah
dipedomani oleh berbagai janji maupun komitmen untuk membangun integritas dirinya.
Namun demikian, tampaknya masyarakat masih disuguhi oleh berbagai cerita yang
sangat tidak masuk akal tentang keberadaan PNS. Bisa saja hal itu karena nilai etika
yang dicanangkan berlaku dengan sangat normatif dan tidak implementatif. Atau bisa
pula hanya menjadi propaganda legal-formal pemerintah yang sekadar menciptakan
citra positif aparaturnya ke tengah masyarakat. Yang pasti memang belum pernah ada
upaya serius pemerintah dalam melakukan internalisasi nilai etika kepada aparaturnya
sehingga dapat belaku dan dipatuhi secara konsisten.
3. Repositioning Peran Aparatur Negara Berdasarkan Nilai-Nilai
Pancasila Menuju Good Governance
Konsep good governance adalah sebuah ideal type of governance, yang
dirumuskan oleh banyak pakar untuk kepentingan praktis dalam rangka membangun
relasi negara-masyarakat-pasar yang baik. Beberapa pendapat malah tidak setuju dengan
konsep good governance, karena dinilai terlalu bermuatan nilai-nilai ideologis. Saat
ini, good governance merupakan isu yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi
publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik
antara governance di sektor publik (pemerintahan) dengan governance di sektor
masyarakat, terutama swasta, sehingga dapat dihasilkan transaksional output melalui
mekanisme pasar yang paling ekonomis dari kegiatan masyarakat. Oleh karena itu,
dalam good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan
efektif, melainkan juga private sector governance yang efisien dan kompetitif.
Administrasi negara di Indonesia pada saat ini lebih tepat dikatakan sebagai alat
untuk menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas
administrasi negara saat ini lebih banyak sebagai gambaran atau lukisan dari pada
realitanya. Sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan
kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yang ideal menuju good governance.
Birokrasi pemerintah yang dipandang perlu untuk dibangun kembali guna
menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa, dan demokratis (good governance).
Sehingga permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji kembali sebagai jalan
pemecahannya antara lain:
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
244
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia saat ini.
2. Adanya perubahan paradigma birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai,
sehingga terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam membangun birokrasi.
Diharapkan dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi
yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan
berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat,
dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan.
Upaya repositioning pada dasarnya merupakan transformasi peran yang
menuntut kemampuan,cara kerja,cara pikir dan peran baru dari aparatur negara. Untuk
dapat melakukan proses repositioning dengan baik maka negara perlu dilengkapi
dengan aparatur handal yang mampu bersaing di masa depan. Tidak kalah pentingnya
juga repositioning perilaku aparatur yang berkaitan dengan peningkatan inisiatif bekerja
dalam diri seseorang dan untuk itu diperlukan etos kerja yang baik.
Sementara Repositioning kompetensi aparatur berkaitan dengan peningkatan kualitas
aparatur lengkap dengan fasilitas yang dibutuhkan menuju suatu pemerintahan yang
baik (good governance).
Indonesia, substansi wacana Good Governance dapat dipadankan dengan istilah
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap
di mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai tingkatan
pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya, politik, serta
ekonomi. Sumber-sumber sosial tersebut terkandung dalam kelima sila dalam Pancasila.
Dalam praktiknya, pemerintahan yang bersih (Clean Governance) adalah model
pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab.
Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam
proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara
sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat. Pemerintahan
juga bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat
minimal namun dengan hasil yang maksimal. Faktor lain yang tak kalah penting, suatu
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
245
pemerintahan dapat dikatakan baik jika produktivitas bersinergi dengan peningkatan
indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek produktivitas, daya beli,
maupun kesejahteraan spiritualitasnya.
Mencapai kondisi sosial-ekonomi di atas, proses pembentukan pemerintahan
yang berlangsung secara demokratis mutlak dilakukan. Sebagai sebuah paradigma
pengelolaan lembaga negara, Good and Clean Governance dapat terwujud secara
maksimal jika ditopang oleh dua unsur yang saling terkait: negara dan Masyarakat
Madani yang di dalamnya terdapat sektor swasta. Negara dengan birokrasi
pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan publik dari perspektif
birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Birokrasi populi adalah tata kelola
pemerintahan yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Pada saat yang sama, sebagai komponen di luar birokrasi negara, sektor
swasta (Corporate Sectors) harus pula bertanggung jawab dalam proses pengelolaan
seumber daya alam dan perumusan kebijakan publik dengan menjadikan masyarakat
sebagai mitra strategis. Dalam hal ini, sebagai bagian dari pelaksanaan Good and Clean
Governance, dunia usaha berkewajiban untuk memiliki tanggung jawab
sosial (Corporate Sosial Responsibility /CSR), yakni dalam bentuk kebijakan sosial
perusahaan yang bertanggung jawab langsung dengan peningkatan kesejahteraan
masyarakat di mana suatu perusahaan beroperasi. Bentuk tanggung jawab sosial (CSR)
ini dapat diwujudkan dalam program-program pengembangan masyarakat (Community
Empowerment) dan pelestarian lingkungan hidup.
- Prinsip Pokok Good And Clean Governance
Untuk meralisasikan pemerintahan yang professional dan akuntabel yang
berstandar pada prinsip-prinsip Good Governance, Lembaga Administrasi Negara
(LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental (asas) dalam Good Governance yang
harus diperhatikan, yaitu:
1. Partisipasi (participation)
Asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam
pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan
yang sah berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
246
mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi
masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor
kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus
diminimalisasi.
2. Penegakkan hukum (rule of law)
Asas pengakkan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional
hrus didukung oleh penegakkan hukum yang berwibawa. Sehubungan dengan
hal tersebut, realisasi wujud Good and Clean Governance, harus diimbangi
dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Supremasi hukum (supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur
kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan
yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta
independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan
pemerintah atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada
kewenangan yang dimilikinya).
b. Kepastian hukum (legal certainly), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan
bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak
bertentangan antara satu dengan lainnya.
c. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan
aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan
publik secara adil.
d. Penegakkan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakkan
hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu,
diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung
jawab terhadap kebenaran hukum.
e. Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari
pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya
3. Transparansi (transparency)
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
247
Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya Good and
Clean Governance. Akibat tidak adanya prinsip transparan ini, menurut banyak
ahli, Indonesia telah terjerembab ke dalam kubangan korupsi yang sangat parah.
Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu dalam pengelolaan kebijakan
publik, khususnya bidang ekonomi, pemerintah di semua tingkatan harus
menerapkan prinsip transparansi dalam proses kebijakan publik. Hal ini mutlak
dilakukan dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana
pemerintahan baik pusat maupun yang di bawahnya.
4. Responsif (responsiveness)
Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip Good and Clean
Governance bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan
masyarakat..
5. Orientasi kesepakatan (consensus orientation)
Asas konsensus adalah bahwa keputusan apa pun harus dilakukan melalui
proses musyawarah melalui konsensus. Cara pengambilan konsensus, selain
dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, cara ini akan
mengikat sebagian besar komponen yang bermusyawarah dan memiliki
kekuatan memaksa (coersive power) terhadap semua yang terlibat untuk
melaksanakan keputusan tersebut.
Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan
pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan
publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang
terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif, maka akan
semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Selain itu,
semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-
kebijakan umum, maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya, dan
akuntabilitas pelaksanaannya dapat semakin dipertanggungjawabkan.
6. Kesetaraan (equity)
Asas kesetaraan (equity) adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan
publik. Asas kesetaraan ini mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
248
bersikap dan berperilaku adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal
perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial.
7. Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
Untuk menunjang asas-asas yang telah disebutkan di atas, pemerintahan
yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien, yakni
berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan
parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan
masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Adapun, asas efisiensi
umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk
kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan tersebut termasuk dalam kategori
pemerintahan yang efisien.
8. Akuntabilitas (accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap
masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan
mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua
kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralis sikapnya terhadap masyarakat.
Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan
yang bersih dan berwibawa.
9. Visi strategis (strategic vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa
yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi Good
and Clean Governance. Dengan kata lain, kebijakan apa pun yang akan diambil
saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke
depan. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang,
seorang yang menempati jabatan publik atau lembaga profesional lainnya harus
mempunyai kemampuan menganalisis persoalan dan tantangan yang akan
dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.
Selama ini, birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau
kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
249
organisasi yang digolongkan modern . Bahkan menurut Dwiyanto12
, dalam perjalanan
sejarah birokrasi di Indonesia sosok birokrasi sebagai penguasa sangat menonjol.
Penyebabnya adalah birokrasi dan aparatnya cenderung ditempatkan lebih sebagai agen
penguasa dan alat kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan. Hal tersebut berakibat
pada reformasi birokrasi yang kurang menggembirakan dampaknya pada pelayanan
kepada publik. Untuk mendukung keberhasilan reformasi birokrasi, kepemimpinan
birokrasi sangat diperlukan sehingga mampu mendukung pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah dengan lebih baik. Karena hal tersebut merupakan prasyarat untuk
mewujudkan cita-cita tersebut adalah dengan membangun aparatur sipil negara sebagai
mesin utama penggerak birokrasi pemerintah.
Sejalan dengan semakin kompleksnya perkembangan yang terjadi di masyarakat,
maka fungsi dan tugas pokok yang harus dijalankan oleh birokrasi juga semakin
kompleks. Selain itu, berbagai persoalan kritis juga kemudian muncul karena birokrasi
sektor publik harus menghadapi globalisasi. Dan globalisasi menuntut perubahan
paradigma peran negara.
Reformasi politik yang berlangsung secara cepat sejak tahun 1998, ternyata telah
menimbulkan dampak yang besar pada sistem pendukung penyelenggaraan negara.
Sehingga Effendi13
mengemukakan pentingnya perbaikan pada sistem tersebut jika
tidak ingin berkembang menjadi suatu ancaman yang dapat merontokkan sendi-sendi
aparatur negara yang profesional yang menerapkan sistem manajemen aparatur negara
meritokratik.
Harapan untuk memiliki aparatur yang netral dan bersih dari muatan politis serta
memiliki profesionalitas dan kompetensi di bidangnya sejak mulai dari rekrutmen
sampai dengan pengangkatan dalam jabatan, karena harus didasarkan pada sistem merit.
Dalam Pasal 1 UU ASN disebutkan bahwa sistem merit adalah kebijakan dan
manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil
dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama,
asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Dengan
demikian harapan terhadap kinerja ASN juga akan lebih baik, sehingga mampu
12
Agus Dwiyanto.(2005) Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press. Hlm.23 13
Effendi, Sofian. (2010). Menyiapkan Aparatur Negara untuk Mendukung Demokratisasi Politik dan
Ekonomi Terbuka. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
250
memberikan dukungan terhadap reformasi birokrasi. Menurut Effendi, 14
bahwa
setidaknya UU ASN akan cukup memberikan landasan hukum yang kuat untuk
melaksanakan reformasi dan repositioning aparatur negara yang lebih luas dari
reformasi birokrasi yang dilaksanakan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) 2010-2014.
D. Simpulan
Akhir tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Nilai Pancasila bukan sekadar bermanfaat untuk membentuk (memotivasi dan
mendorong) perilaku aparatur sehari-hari, namun juga membimbing mereka ketika
melakukan proses pengambilan keputusan. Sehingga jika nilai Pancasila sebagai
nilai etika dapat ditegakkan secara konsisten dan konsekuen maka fondasi good
governance di dalam negara akan lebih kokoh
2. Upaya repositioning pada dasarnya merupakan transformasi peran yang menuntut
kemampuan,cara kerja,cara pikir dan peran baru dari aparatur negara. Dalam hal ini
termasuk repositioning perilaku dan kompetensi aparatur negara yang dilakukan
dengan menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (Good Governance)
Daftar Pustaka
Bakry, M.Ryan (2010), Tesis Implementasi Hak Azasi Manusia dalam konsep Good
Governance di Indonesia, Jakarta: UI
Dwiyanto, Agus, (2006), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Effendi, Sofian. (2010). Menyiapkan Aparatur Negara untuk Mendukung Demokratisasi
Politik dan Ekonomi Terbuka. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hall, Richard H, (2002) Organizations Struktures, Prosses, and outcome, Eighth
Edition New Jersey: Person Education inc
Krina, Lalolo, (2003) ndikator Dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Traansparansi dan
Partisipasi. Sekretariat Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemrintahan
yang Baik, Jakarta : BAPPENAS
Latif, Yudi,( 2009) Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
14
ibid
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
251
Local Governance Support Program (LGSP), (2006) Pedoman Teknis; Local
Governance Assesment Jakarta: LGSP.
Thompson, Brian, (1977) Textbook on Constitutional and Administrative Law, Third
Edition (London : Black stone Press Limited ,
Tim Dosem Pancasila Universitas Islam Negeri Pancasila, Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Predana Media
Group.
Wibawa, Samodra, (2006) Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,
Kumpulan Tulisan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Peratuuran Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara