RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar,...

20
Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan) April 2014 ISSN 2089-7790 Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan Sustainability Analysis of Flying Fish Fisheries Commodities in Takalar, South Sulawesi Riana Sri Fitrianti 1* , Moh. Mukhlis Kamal, Rahmat Kurnia 1 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Jl. Lingkar Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680. *Email Korespondensi : [email protected] Abstract. This study aims to assess fisheries sustainability of flying fish commodity in Takalar, South Sulawesi based on Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) sustainability index. RAPFISH method can be used as a method on appraising sustainability of fisheries management in multidimensional. The results of analysis show that fisheries sustainability index in Takalar is 30.93, this means that sustainability status of flying fish commodities in Takalar is less sustainable. Monte Carlo analysis results prove that fisheries sustainability index is very stable. Leverage analysis results show that there were 12 sensitive attributes of 15 existing attributes. 12 sensitive attributes should be of concern to policy makers and become policy priorities in the management of flying fish fisheries commodities. Strategy needs to be done in the management of flying fish fisheries commodities in Takalar upon priorities are (1) Setting an effort to catch flying fish and flying fish eggs, (2) Fishing ground arrangements, (3) Provision of training to fishermen, (4) Determination of the permitted size of the flyingfish caught, (5) Provision of alternative livelihood, and (6) Preparation of local regulations on the management of flying fish fisheries commodities Keywords : Fisheries sustainability; Flying fish; Takalar; South Sulawesi Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menilai status keberlanjutan sumberdaya ikan terbang dengan mengambil studi kasus usaha penangkapan di Selat Makassar yang dilakukan nelayan di Kabupaten Takalar. Metode Rapfish dapat digunakan sebagai metode untuk menilai keberlanjutan pengelolaan perikanan secara multidimensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang di Kabupaten Takalar saat ini dikategorikan kurang berkelanjutan, karena nilai indeks keberlanjutan yang dihasilkan hanya sebesar 30.93. Hasil analisis Monte Carlo membuktikan bahwa indek keberlanjutan yang dihasilkan sangat stabil. Hasil analisis Laverage menunjukkan bahwa terdapat 12 atribut sensitif dari total 15 atribut yang digunakan yang mempengaruhi nilai indeks 1

Transcript of RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar,...

Page 1: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan

Sustainability Analysis of Flying Fish Fisheries Commodities in Takalar, South Sulawesi

Riana Sri Fitrianti1*, Moh. Mukhlis Kamal, Rahmat Kurnia

1Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Jl. Lingkar Kampus IPB

Dramaga, Bogor 16680. *Email Korespondensi : [email protected]

Abstract. This study aims to assess fisheries sustainability of flying fish commodity in Takalar, South Sulawesi based on Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) sustainability index. RAPFISH method can be used as a method on appraising sustainability of fisheries management in multidimensional. The results of analysis show that fisheries sustainability index in Takalar is 30.93, this means that sustainability status of flying fish commodities in Takalar is less sustainable. Monte Carlo analysis results prove that fisheries sustainability index is very stable. Leverage analysis results show that there were 12 sensitive attributes of 15 existing attributes. 12 sensitive attributes should be of concern to policy makers and become policy priorities in the management of flying fish fisheries commodities. Strategy needs to be done in the management of flying fish fisheries commodities in Takalar upon priorities are (1) Setting an effort to catch flying fish and flying fish eggs, (2) Fishing ground arrangements, (3) Provision of training to fishermen, (4) Determination of the permitted size of the flyingfish caught, (5) Provision of alternative livelihood, and (6) Preparation of local regulations on the management of flying fish fisheries commoditiesKeywords : Fisheries sustainability; Flying fish; Takalar; South Sulawesi

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menilai status keberlanjutan sumberdaya ikan terbang dengan mengambil studi kasus usaha penangkapan di Selat Makassar yang dilakukan nelayan di Kabupaten Takalar. Metode Rapfish dapat digunakan sebagai metode untuk menilai keberlanjutan pengelolaan perikanan secara multidimensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang di Kabupaten Takalar saat ini dikategorikan kurang berkelanjutan, karena nilai indeks keberlanjutan yang dihasilkan hanya sebesar 30.93. Hasil analisis Monte Carlo membuktikan bahwa indek keberlanjutan yang dihasilkan sangat stabil. Hasil analisis Laverage menunjukkan bahwa terdapat 12 atribut sensitif dari total 15 atribut yang digunakan yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap. Strategi pengelolaan yang harus diterapkan adalah (1)Pengaturan upaya penangkapan komoditas ikan terbang dan telurnya, (2)Pengaturan lokasi dan waktu penangkapan, (3)Pemberian pelatihan kepada nelayan, (4)Penentuan ukuran ikan terbang yang diperbolehkan untuk ditangkap dan Pengembangan alat tangkap yang efisien, (5)Penyediaan alternatif mata pencaharian, serta (6)Penyusunan peraturan daerahKata kunci : Keberlanjutan Perikanan Tangkap; Ikan Terbang; Kabupaten Takalar ; Sulawesi Selatan

1

Page 2: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

PendahuluanIkan terbang termasuk ikan pelagis yang dapat ditemukan di perairan

tropis dan sub tropis dengan kondisi perairan yang tidak keruh dan berlumpur. Ikan terbang (Hyrundichthys oxycephalus) merupakan salah satu komponen utama perikanan pelagis dan telah lama diusahakan oleh nelayan di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Usaha penangkapan ikan terbang dan pengumpulan telur ikan terbang di wilayah Selat Makassar dan Laut Flores telah lama dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Takalar dan menjadi mata pencaharian utama untuk beberapa wilayah kecamatannya seperti di Kecamatan Galesong Utara, Kecamatan Galesong dan Galesong Selatan. Mulanya, nelayan di Kabupaten Takalar menggunakan bubu hanyut atau pakajja sebagai alat untuk menangkap ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores. Namun, pada pertengahan 1980-an, nelayan mengkontruksi alat tangkap tradisional dari bahan bambu atau sering disebut bale-bale. Alat tangkap ini berbentuk persegi panjang menyerupai rakit yang dilengkapi daun kelapa sebagai tempat peletakan telur ikan terbang. Adanya perubahan alat tangkap yang terjadi ikut mengubah orientasi penangkapan nelayan, pada mulanya target utamanya adalah ikan terbang berubah menjadi telur ikan terbang.

Sampai saat ini, penangkapan ikan terbang terus dilakukan, terutama perburuan telur ikan terbang. Selain karena harga telur ikan terbang yang jauh lebih mahal dibandingkan ikan terbang itu sendiri, juga karena tingginya permintaan akan komoditas telur ikan terbang dari tahun ke tahun. Peningkatan usaha perburuan/pengumpulan telur ikan terbang dapat dilihat dari meningkatnya jumlah kapal penangkap telur ikan terbang di Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar dari sekitar 112 unit menjadi 1500 unit di tahun 2001 untuk wilayah penangkapan Selat Makassar (Syahailatua, 2006).

Namun sayangnya, tingginya permintaan akan telur ikan terbang saat ini mulai sulit di penuhi akibat rendahnya hasil produksi yang diperoleh nelayan. Adanya perubahan alat tangkap menjadi salah satu alasan terjadinya penurunan produksi ikan terbang dan telurnya. Tercatat pada tahun 2007 hasil tangkapan telur ikan terbang di Selat makassar sekitar 557,6 (Kg/kapal) dan mengalami penurunan hingga 345,7 (Kg/Kapal) di tahun 2010 (Fitrianti, 2011). Menurut Ali (2005), Rendahnya hasil produksi yang diperoleh nelayan diduga disebabkan karena berkurangnya populasi induk yang dapat menghasilkan telur dan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan secara intensif. Dengan kata lain, usaha perburuan telur ikan terbang yang dilakukan nelayan menyebabkan kesempatan telur-telur untuk menetas dan kesempatan induk - induk untuk bertelur semakin berkurang, bahkan dapat berakibat terputusnya siklus regenerasi populasi yang pada akhirnya berakibat kepunahan. Indikasi penurunan produksi di wilayah Selat Makassar dan Laut Flores juga ditandai dengan perubahan/perpindahan wilayah penangkapan ke perairan Laut Seram. Seperti yang dikemukakan Ali (2005), Ketika fishing ground mengalami penurunan stok yang ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan, nelayan akan mencari fishing ground yang baru.

Penurunan stok sumberdaya di Selat makassar dan Laut Flores telah merujuk kepada eksploitasi besar-besaran yang merupakan gambaran tidak optimalnya pengelolaan suatu sumberdaya. Pengelolaan suatu sumberdaya haruslah mengacu kepada kaidah - kaidah pembangunan berkelanjutan. Dahuri et al. (2008) dan Bengen (2004), Menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu ekologi, sosial ekonomi, sosial politik, hukum dan kelembagaan. Susilo (2003), Mengemukakan bahwa

2

Page 3: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

pembangunan berkelanjutan pada prinsipnya merupakan pembangunan yang mencakup berbagai dimensi (multi-dimensi) serta dilaksanakan secara terpadu. Lebih lanjut, Susilo (2003), Mengatakan bahwa bukanlah jumlah pengelompokan dimensi pembangunan yang menjadi hal terpenting dalam menilai keberlanjutan pengelolaan namun seberapa banyak indikator pembangunan yang ada pada setiap dimensi dan dapat digunakan untuk menilai status keberlanjutan sumberdaya. Dengan demikian, dalam penelitian ini berbagai atribut telah ditentukan dan dikelompokkan ke dalam empat dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi. Metode yang digunakan adalah metode analisis RAPFISH. Penelitian ini mencoba mengaplikasikan metode RAPFISH dalam mengevaluasi keberlanjutan sumberdaya ikan terbang dengan mengambil studi kasus usaha penangkapan di Selat Makassar yang dilakukan nelayan Galesong, Kabupaten Takalar.

Tujuan penelitian ini adalah menilai keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang di Kabupaten Takalar secara multi-dimensi dengan menggunakan metode analisis RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability).

Waktu dan Metode PenelitianPenelitian ini terdiri dari 2 tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan

Februari - Maret 2013 untuk survey data awal dan pada bulan Juli - Oktober 2013 untuk pengambilan data lapangan. Lokasi penelitian berada di Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar yang terletak di bagian selatan Pulau Sulawesi dan berada di antara 5o3’ – 5o33’ lintang selatan dan 119o22’-118o39’ bujur timur. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan teknik purpossive sampling pada daerah yang memungkinkan untuk melakukan studi mendalam tentang komunitas masyarakat nelayan penangkap ikan terbang dan telurnya atau lebih dikenal dengan istilah daerah nelayan pattorani. Nelayan pattorani di Kecamatan Galesong dipilih dengan dasar pertimbangan metodologis berdasarkan survey awal yang dilakukan, yakni: mayoritas atau hampir seluruh penduduk di Kecamatan Galesong menggantungkan hidupnya dalam bidang perikanan (nelayan penangkap ikan dan telur ikan terbang).

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan bersumber dari responden meliputi : data produksi, jumlah alat tangkap, jumlah kapal, biaya per trip, harga telur ikan terbang, musim dan daerah penangkapan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara secara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) dan ditunjang dengan observasi langsung dilokasi penelitian. Wawancara dilakukan terhadap pihak yang berkepentingan seperti nelayan pattorani, pengusaha eksportir telur ikan terbang, pedagang pengumpul, pengolah ikan terbang dan telurnya, dan pemilik kapal. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Kantor Kecamatan, Kantor Kelurahan dan BPS. Data yang dikumpulkan meliputi kondisi geografis dan adminstrasi wilayah, keadaan penduduk, keadaan sarana dan prasarana perikanan, data upaya penangkapan ikan (trip) dan data produksi ikan terbang dan telurnya selama 6 tahun terakhir (2007 - 2012). Jumlah responden dalam penelitian ini berjumlah 60 orang. Penentuan banyaknya jumlah responden dilakukan berdasarkan dua pendekatan yaitu apabila populasinya kecil (≤10) digunakan pendekatan sensus dan apabila populasinya besar (>10) digunakan pendekatan rule of thumbs (pendekatan aturan statistik, yaitu minimal 30 responden) (Sugiyono, 2011).

3

Page 4: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

Analisis keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang di Kabupaten Takalar dilakukan dengan menggunakan metode RAPFISH. Metode RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia di tahun 1999 dan telah digunakan oleh Kavanagh (2001); Fauzi dan Anna (2002) dalam menilai keberlanjutan pembangunan perikanan tangkap. Metode RAPFISH dilakukan dengan menilai atribut yang terdapat pada setiap dimensi keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang. Secara ringkas metode RAPFISH diuraikan dalam beberapa tahapan sebagai berikut :1. Penentuan Atribut Keberlanjutan. Penentuan atribut keberlanjutan

pengelolaan perikanan ikan terbang merupakan atribut yang dapat merepresentasikan pengelolaan perikanan ikan terbang berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan 15 atribut dari empat dimensi, yang terbagi kedalam masing-masing dimensi yaitu 4 (empat) atribut dimensi ekologi, 4 (empat) atribut dimensi ekonomi, 4 (empat) atribut dimensi sosial, dan 3 (tiga) atribut dimensi teknologi. Secara rinci adalah: Dimensi ekologi, atribut yang digunakan yaitu cpue, ukuran ikan terbang,

ikan terbang yang tertangkap sebelum dewasa, dan jangkauan daerah penangkapan ikan terbang maupun telurnya.

Pada dimensi ekonomi, atribut yang digunakan berupa pendapatan rata rata nelayan, pasar utama telur ikan terbang, sumber modal kerja, dan harga jual telur ikan terbang.

Pada dimensi sosial, atribut yang digunakan yaitu sistem ponggawa sawi, pengalaman nelayan, pemanfaatan tek (traditional ecological knowledge), dan pola kerja.

Pada dimensi teknologi, atribut yang digunakan berupa perubahan alat tangkap, selektivitas alat tangkap terhadap tkg ikan, dan kesesuaian ukuran kapal.

2. Penyusunan dan penentuan kriteria nilai. Penentuan nilai kriteria disusun berdasarkan skala ordinal dan dinilai berdasarkan realitas kondisi lokasi penelitian dan secara rinci di uraikan pada Tabel 1.

3. Ordinasi RAPFISH (Multidimensional Scaling) untuk setiap atribut. Ordinasi RAPFISH digunakan untuk menentukan satu titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengelolaan perikanan ikan terbang yang dikaji terhadap dua titik acuan utama yaitu titik baik dan titik buruk. Titik baik adalah titik yang semua nilai dari setiap atribut adalah yang paling baik. Sebaliknya titik buruk adalah titik yang semua nilai dari setiap atribut adalah yang paling buruk. Setiap atribut yang ada dalam dimensi pengelolaan sumberdaya ikan terbang akan diberikan salah satu nilai dari ketiga kategori nilai seperti yang tercantum pada Tabel 1. Pemberian nilai terhadap setiap atribut akan memberikan gambaran terhadap kondisi keberlanjutan sumberdaya ikan terbang, apakah baik ataupun buruk. Nilai buruk merupakan cerminan kondisi yang paling tidak menguntungkan dalam suatu pengelolaan, dan nilai baik yaitu nilai yang mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan terbang. Dan diantara nilai buruk dan nilai baik terdapat satu nilai yang disebut dengan nilai antara. Hasil analisis yang baik akan menunjukkan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S < 0,25) (Pitcher dan Preikshot, 2000; Susilo, 2003).

4. Penentuan status keberlanjutan. Penentuan status keberlanjutan pengelolaan perikanan ikan terbang berdasarkan pada indeks keberlanjutan perikanan. Indeks keberlanjutan perikanan mempunyai selang antara 0 – 100. Nilai indeks keberlanjutan mengacu pada Budianto (2012), yang membagi

4

Page 5: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

status keberlanjutan dalam 4 kategori: Tidak Berkelanjutan selang nilai 0-25, Kurang Berkelanjutan selang nilai 26-50, Cukup Berkelanjutan selang nilai 51-75 dan Berkelanjutan selang nilai 76-100.

5. Analisis Monte Carlo dan Analisis Laverage. Analisis Analisis Monte Carlo digunakan untuk mengetahui kestabilan hasil ordinasi RAPFISH atau kestabilan indeks keberlanjutan yang dihasilkan. Analisis Monte Carlo pada metode RAPFISH dilakukan sebanyak 25 kali ulangan. Metode analisis Monte Carlo yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode scatter plot. Kestabilan indeks keberlanjutan yang dihasilkan tercermin oleh plot yang mengumpul, sedangkan jika hasil analisis Monte Carlo menunjukkan plot menyebar dapat diartikan terdapat gangguan atau aspek ketidakpastian dalam hasil analisis. Analisis Laverage dilakukan untuk mengetahui atribut apa saja yang sensitif dari seluruh dimensi yang digunakan. Atribut paling sensitif akan memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) yaitu pada sumbu X (skala keberlanjutan). Semakin besar nilai perubahan RMS semakin besar peranan atribut tersebut maka semakin sensitif dalam pembentukan nilai keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil analisis Laverage dapat dijadikan acuan pengambilan kebijakan dalam mengelola sumberdaya ikan terbang.

Tabel 1. Jenis atribut, kriteria skoring, dan kriteria pemberian nilaiDimensi Atribut Kriteria Skoring Nilai BaikNilai Buruk

Ekologi CPUE 1. menurun tajam 3 12. menurun sedikit3. meningkat

Ukuran Ikan yang tertangkap

1. rata rata ukuran ikan semakin kecil;

3 1

2. rata rata ukuran ikan relatif tetap;3. rata rata ukuran ikan semakin panjang

Ikan yang tertangkap sebelum dewasa

1. > 50 % 3 12. >25 - 50%3. 0 - 25%

Jangkauan daerah penangkapan

1. Semakin jauh dari fishing ground

3 1

2. Relatif tetap3. Semakin dekat dari fishing ground

Ekonomi Pendapatan rata rata nelayan

1. < rata-rata UMR 3 12. =rata-rata UMR3. >rata-rata UMR

Pasar utama telur 1.Umumnya pasar lokal 3 12.Umumnya pasar nasional3.Umumnya pasar Internasional

Sumber modal Kerja 1. Ponggawa 3 12. Koperasi/Bank3. Modal sendiri

Harga jual telur 1. < Rp. 250.000/kg 3 12. Rp. 250.000-350.000/kg3. > Rp. 350.000/kg

Sosial Sistem ponggawa sawi 1. Ada dan nelayan bergantung kepadanya

3 1

2. Ada tetapi tidak terikat sepenuhnya3.Ada tetapi nelayan tidak bergantung

Pengalaman nelayan 1. < 2 tahun 3 12. 2-5 tahun3. > 5 tahun

Pemanfaatan TEK (traditional ecological knowledge)

1. Tidak ada 3 12. Ada tapi tidak efektif3. Ada dan efektif digunakan

Pola kerja 1. Individu 3 1

5

Page 6: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

2. Keluarga3. Kelompok

Teknologi Perubahan Alat Tangkap Bale Bale

1. Hasil tangkapan meningkat >100%

3 1

2. Hasil tangkapan meningkat 26 – 50%3. Hasil tangkapan meningkat 0– 25%

Selektivitas Alat Tangkap pada TKG

1. Selektivitas rendah 3 12. Selektivitas sedang3. Selektivitas tinggi

Kesesuaian Ukuran Kapal

1. Sangat tidak sesuai 3 12. Tidak sesuai3. Sesuai

Sumber: modifikasi dari modul EAFM KKP-WWF dan PKSPL-IPB (2012); Ali (2012).

Hasil dan Pembahasan Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil dan pengekspor terbesar

telur ikan terbang di Indonesia. Jumlah ekspor telur ikan terbang yang berasal dari daerah ini adalah sebesar 20 - 30% dari jumlah total ekspor telur ikan terbang Indonesia ke negara-negara Asia. Volume ekspor tertinggi telur ikan terbang yang pernah dicapai sebesar 399,8 ton pada tahun 1983. Tercatat pada tahun 2003, nilai eksport komoditas ini sebesar $1.821.345,90 atau setara dengan 193,83 ton telur ikan terbang (Ali, 2012).

Kegiatan penangkapan ikan terbang maupun telurnya dilakukan nelayan lokal di perairan Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda hingga Laut Seram dengan menggunakan alat tangkap yang berbeda. Penangkapan ikan terbang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap jaring insang hanyut sedangkan pengumpulan telur ikan terbang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap tradisional dengan nama lokal bale-bale. Alat tangkap jaring insang hanyut berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung dan pemberat. Jaring insang hanyut berbahan dasar Polyamide, memiliki ukuran panjang 2.000 m dan lebar 2 m dengan ukuran mata jaring 1,5 inci. Sedangkan alat tangkap tradisional bale-bale juga memiliki bentuk persegi panjang namun lebih menyerupai rakit. Bale-bale terbuat dari bambu dengan ukuran lebar 1,5 m dan panjang 2,5 meter yang dilengkapi dengan daun kelapa. Operasi penangkapan dilakukan dengan bantuan perahu berukuran panjang sekitar 15 m dan lebar 3 m, yang berbahan dasar kayu dengan design tradisional seperti jukung, perahu Sandeq, perahu motor tempel dan perahu/kapal motor.

Pemasaran hasil tangkapan ikan terbang maupun telur ikan terbang dilakukan dengan cara yang berbeda. Ikan terbang hasil tangkapan nelayan di jual langsung ke pedagang pengolah ikan terbang dan dipasarkan dalam bentuk ikan kering maupun ikan asap. Sedangkan telur ikan terbang hasil tangkapan nelayan dijual kepada pedagang pengumpul maupun eksportir telur ikan terbang. Telur ikan terbang akan diolah terlebih dahulu, dikeringkan dan dikemas sebelum di ekspor ke negara negara seperti Amerika Serikat, Belanda, China, Jepang, Hongkong, Taiwan, Korea, Ukraina, Kanada, Thailand, Rusia, dan Vietnam. Harga jual telur ikan terbang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Tahun 2011 harga jual per Kg telur ikan terbang mencapai Rp 250.000 – Rp 300.000, namun mengalami penurunan di tahun 2013 yang hanya berkisar Rp 165.000 per Kg.

Dalam menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap untuk komoditas ikan terbang, dilakukan analisis menggunakan metode RAPFISH terhadap 4 (empat) dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi teknologi. Status keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang diwakilkan oleh besar kecilnya kisaran nilai yang

6

Page 7: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

dihasilkan dalam analisis ordinasi RAPFISH pada setiap dimensi. Hasil analisis ordinasi RAPFISH tiap dimensi disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil ordinasi RAPFISH antar dimensi

Hasil analisis ordinasi RAPFISH antar dimensi seperti yang tertera pada Gambar 1 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan yang bervariasi. Misalkan pada dimensi teknologi, hasil analisis menunjukkan nilai indeks sebesar 25,3. Hal ini berarti bahwa status keberlanjutan untuk dimensi teknologi dikategorikan tidak berkelanjutan karena nilai indeks keberlanjutan yang dihasilkan masuk dalam kategori nilai 0 – 25. Selanjutnya, dimensi ekologi dan dimensi ekonomi memperoleh nilai indeks keberlanjutan masing masing sebesar 32.54 dan 26.36. Nilai indeks keberlanjutan pada kedua dimensi tersebut berada pada selang nilai 26 – 50. Artinya, status keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang berdasarkan nilai indeks dimensi ekologi dan ekonomi dikategorikan kurang berkelanjutan. Dimensi terakhir yaitu dimensi sosial, nilai indeks keberlanjutan yang dihasilkan berbeda dengan ketiga dimensi keberlanjutan yang lain. Nilai indeks keberlanjutan pada dimensi sosial berada pada kisaran nilai 51 – 75 yang mengkategorikan status keberlanjutan komoditas ikan terbang di Kabupaten Takalar cukup berkelanjutan.

Selain hasil ordinasi antar dimensi, diperoleh juga hasil analisis ordinasi RAPFISH dari gabungan seluruh dimensi atau multi-dimensi seperti yang tercantum pada Gambar 2. Nilai yang dihasilkan merupakan nilai indeks yang mencerminkan keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang di Kabupaten Takalar secara menyeluruh. Hasil analisis ordinasi gabungan seluruh dimensi menunjukkan bahwa status keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang di Kabupaten Takalar dikategorikan kurang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan nilai indeks yang dihasilkan hanya sebesar 30.93. Status

7

Page 8: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

keberlanjutan perikanan tangkap yang dikategorikan kurang berkelanjutan terjadi karena adanya ketimpangan antar dimensi yang ada. Dari keempat dimensi yang dipertimbangkan, 2 diantaranya termasuk kategori kurang berkelanjutan dan 2 dimensi lainnya berkategori tidak berkelanjutan dan cukup berkelanjutan. Dimensi teknologi merupakan dimensi yang paling lemah diantara semua dimensi keberlanjutan, sedangkan dimensi sosial menjadi satu satunya dimensi yang dapat dikatakan dalam kondisi baik.

Buruknya status keberlanjutan perikanan yang diperlihatkan oleh indeks keberlanjutan perikanan tangkap, mencerminkan kurang optimalnya pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Takalar. Bengen (2004) bahwa dimensi ekologi, ekonomi, sosial maupun teknologi haruslah seimbang demi terciptanya suatu pengelolaan yang berkelanjutan. Kondisi keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang juga disajikan dalam diagram layang keberlanjutan pada Gambar 3.

Gambar 2. Hasil ordinasi RAPFISH gabungan seluruh dimensi

Gambar 3. Diagram layang indeks keberlanjutan perikanan ikan terbang

Perhitungan statistik berupa pengukuran nilai stress dan koefisien determinasi (R2) juga merupakan tahapan dalam analisis menggunakan metode multi-dimensional scalling (MDS). Nilai stress dapat mengukur seberapa dekat nilai jarak dua dimensi dengan nilai jarak multidimensi. Mengacu pada Fauzi dan Anna (2005), nilai stress yang dilambangkan dengan S dan koefisien determinasi (R2) digunakan dalam mengukur goodness of fit. Hasil analisis yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang rendah atau S < 0.25 dan nilai R2

yang tinggi. Hasil pengukuran nilai statistik dalam analisis RAPFISH terhadap keempat dimensi disajikan Tabel 2.

Tabel 2. Tabel nilai statistik hasil analisis RAPFISH pada keempat dimensiNo Dimensi Nilai Statistik

8

Page 9: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

Stress (S)

Persentase

R2 Persentase

Iterasi

1 Ekologi 0.163 16.3 % 0.934

93.4 % 2

2 Ekonomi 0.161 16.1 % 0.932

93.2 % 2

3 Sosial 0.162 16.2 % 0.935

93.5 % 2

45

TeknologiMultidimensi

0.1560.128

15.6 %12.8 %

0.921

0.953

92.1 %95.3 %

22

Rata-rata nilai stress hasil analisis RAPFISH terhadap setiap dimensi keberlanjutan sebesar 0.16 (16%) atau lebih kecil dari 0.25 (25 %). Nilai koefisien determinasi (selang kepercayaan) atau R2 terhadap setiap dimensi keberlanjutan menghasilkan nilai R2 rata-rata sebesar 93%. Hal yang sama juga ditunjukkan pada hasil pengukuran nilai statistik gabungan seluruh dimensi (multi-dimensi) yang memiliki nilai stress kecil dan nilai R2 yang tinggi. Dengan demikian, berdasarkan nilai stress dan koefisien determinasi atau R2 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hasil analisis metode RAPFISH dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, serta baik dan valid untuk diaplikasikan. Informasi lain adalah jumlah iterasi. Jumlah iterasi pada setiap dimensi keberlanjutan maupun pada gabungan seluruh dimensi (multi-dimensi) adalah sebanyak 2 kali. Besarnya jumlah iterasi menyatakan pengulangan perhitungan pada analisis RAPFISH yang berguna untuk mengetahui pengaruh kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut yang berpengaruh pada jarak terhadap titik referensi.

Analisis RAPFISH juga memungkinkan untuk mengkaji aspek ketidakpastian dan atribut yang sensitif dari hasil analisis keempat dimensi keberlanjutan. Aspek ketidakpastian disimulasikan dengan menggunakan teknik Monte Carlo sedangkan analisis sensitivitas disebut juga analisis Laverage (pengungkit) dinilai berdasarkan “standard error” perbedaan antara skor dengan atribut. Hasil analisis Laverage dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan guna meningkatkan dan menjamin keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Takalar.

Analisis Monte Carlo dilakukan untuk menunjukkan kestabilan dari nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang yang dihasilkan. Fauzi dan Anna (2002) Mengemukakan bahwa teknik analisis Monte Carlo merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi dampak dari kesalahan acak (random error) terhadap seluruh dimensi. Terdapat tiga tipe dalam melakukan Monte Carlo Algoritma (Kavanagh, 2001), namun dalam mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Takalar hanya menggunakan analisis Monte Carlo dengan metode “scatter plot”, seperti yang terlihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

9

Page 10: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

Gambar 4. Kestabilan nilai ordinasi RAPFISH dengan teknik Monte Carlo terhadap seluruh dimensi

Gambar 5. Kestabilan nilai ordinasi RAPFISH dengan teknik Monte Carlo antar dimensi

Selanjutnya, dilakukan pengelompokan atribut sensitif dari setiap dimensi yang dipergunakan. Atribut sensitif diperoleh dari hasil analisis Laverage dalam metode RAPFISH. Budianto (2012) Menjelaskan bahwa atribut sensitif dari hasil analisis metode RAPFISH merupakan permasalahan yang dapat mempengaruhi status keberlanjutan perikanan tangkap. Oleh karenanya, atribut yang teridentifikasi sensitif dijadikan sebagai acuan atau prioritas dalam merumuskan strategi pengelolaan. Perumusan strategi pengelolaan diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang ada khususnya dalam bidang ekologis, sosial, ekonomi dan teknologi guna menciptakan pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Takalar. Hasil analisis Laverage seluruh dimensi pengelolaan dapat dilihat pada Gambar 6.

10

Page 11: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

Gambar 6. Hasil analisis LaverageHasil analisis Leverage menunjukkan bahwa dengan menggunakan

standart error 1 dalam penilaian sensitivitas, maka atribut “jangkauan daerah penangkapan”, “ukuran ikan yang tertangkap” dan “ikan yang tertangkap sebelum dewasa” dikatakan berpengaruh dalam pembentukan nilai keberlanjutan dimensi ekologi. Dari segi dimensi ekonomi dan sosial, keseluruhan atribut yang dipertimbangkan pada kedua dimensi tersebut diketahui berpengaruh dalam pembentukan nilai keberlanjutan. Dan pada dimensi teknologi, hanya satu dari tiga atribut yang dipergunakan yang berpengaruh dalam pembentukan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi yaitu atribut “perubahan alat tangkap bale-bale”. Dengan demikian, maka diketahui terdapat 12 atribut dari 15 atribut yang dipertimbangkan berkategori sensitif sedangkan 3 atribut lain dikategorikan tidak sensitif. Keseluruhan atribut yang teridentifikasi kemudian menjadi prioritas pada pengambilan kebijakan. Secara keseluruhan, atribut sensitif hasil analisis Laverage dari antar dimensi (ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Atribut sensitif hasil analisis RAPFISHNo Dimensi Atribut Sensitif1 Ekologi 1. Jangkauan daerah

penangkapan2. Ukuran ikan yang

tertangkap3. Ikan yang tertangkap

sebelum dewasa2 Ekonomi 1. Pasar utama telur ikan

terbang2. Harga jual3. Sumber modal kerja4. Pendapatan rata-rata

nelayan3 Sosial 1. Pemanfaatan TEK

11

Page 12: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

2. Pengalaman nelayan3. Sistem ponggawa sawi4. Pola kerja

4 Teknologi 1. Perubahan alat tangkap bale-bale

Pada dimensi ekologi, ada tiga atribut yang teridentifikasi sensitif, dua diantaranya yaitu atribut “jangkauan daerah penangkapan” dan “ikan yang tertangkap sebelum dewasa” memiliki kriteria skor buruk (1), sedangkan atribut “ukuran ikan yang tertangkap” memiliki kriteria skor baik (2). Mengacu pada Susilo (2003) maka pengambilan kebijakan pada atribut dengan kriteria skor baik adalah dengan mempertahankan kondisi yang ada. Sedangkan pada dua atribut yang lain dengan kriteria skor buruk perlu dilakukan perbaikan agar dapat meningkatkan status keberlanjutan dari segi ekologi. Uraiannya adalah sebagai berikut: Skor buruk (1) pada atribut “jangkauan daerah penangkapan” dikarenakan

daerah penangkapan nelayan yang semakin jauh dari fishing ground yang pada mulanya penangkapan dilakukan di perairan Selat Makassar, kini berpindah ke perairan Laut Seram. Perpindahan fishing ground diduga disebabkan karena rendahnya hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Makassar.

Skor buruk (1) pada atribut “ikan tertangkap sebelum dewasa” disebabkan tingginya persentase ikan terbang TKG III dan IV yang tertangkap selama satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui sekitar 50–70% dari total ikan terbang yang tertangkap selama setahun merupakan ikan fase matang dan siap mijah. Hal ini menjelaskan bahwa proporsi ikan yang tertangkap tersebut belum dewasa sehingga akan mempengaruhi proses regenerasi yang pada akhirnya akan menjadi penyebab penurunan populasi ikan terbang di alam.

Dari keempat atribut yang sensitif pada dimensi ekonomi, atribut “pasar utama telur ikan terbang” menjadi satu-satunya atribut yang memiliki kriteria skor baik, sedangkan ketiga atribut lainnya berkriteria skor buruk. Uraian ketiga atribut tersebut adalah sebagai berikut: Kriteria skor buruk (1) yang dimiliki atribut “harga jual telur ikan terbang”

disebabkan karena kisaran harga jual yang tergolong sangat rendah yaitu hanya sebesar Rp 165.000, jika dibandingkan dengan tahun 2011 - 2012 yang berada dikisaran harga Rp 250.000 – Rp 350.000. Banyak dugaan mengenai penurunan harga telur ikan terbang saat ini, beberapa diantaranya menyebutkan karena kualitas dari telur ikan terbang yang diperoleh nelayan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya (dari segi warna maupun ukuran telur). Hal lain yang mempengaruhi penurunan kualitas adalah jauhnya lokasi penangkapan yang menyebabkan ada jeda waktu yang cukup lama antara proses pengolahannya dan waktu awal penangkapan.

Kriteria skor buruk (1) pada atribut “sumber modal” disebabkan karena modal kerja yang dipergunakan nelayan bukan berasal dari modal pribadi, melainkan hasil pinjaman dari pemilik modal (ponggawa). Ponggawa memberikan bantuan modal kerja kepada nelayan dengan perjanjian yaitu 5% dari total penghasilan nelayan diberikan kepada pemilik modal (ponggawa) atau sering disebut sistem ponggawa-sawi. Hal ini menyebabkan nelayan di Kabupaten Takalar terikat sepenuhnya dengan pemilik modal. Modal kerja yang diperlukan nelayan untuk biaya operasional penangkapan diperkirakan sekitar Rp 40 jt untuk penangkapan di Selat Makassar, dan Rp 45 – 60 jt

12

Page 13: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

untuk penangkapan di Laut Seram. Adanya pinjaman modal memberi kemudahan dan jalan keluar bagi nelayan untuk tetap melakukan kegiatan penangkapan, namun dalam kondisi tertentu hal ini juga dapat merugikan nelayan. Tingginya modal kerja dan rendahnya hasil tangkapan dapat menyebabkan nelayan di Kabupaten Takalar terikat hutang kepada pemilik modal. Sujarno (2008) menjelaskan mengenai teori faktor produksi, jumlah output/produksi yang berhubungan dengan pendapatan dan sangat bergantung pada modal kerja. Hal ini berarti semakin besar modal kerja yang dimiliki nelayan maka makin besar hasil tangkapan yang diperoleh (produksi).

Penyebab kriteria skor buruk (1) pada atribut “pendapatan rata-rata nelayan” adalah pendapatan rata-rata nelayan pattorani di Kabupaten Takalar masih dibawah UMR Provinsi Sulawesi Selatan. Pendapatan nelayan pattorani berkisar Rp 750.000 – Rp 1.500.000 atau rata-rata Rp 1.181.667 per bulan sedangkan UMR Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp. 1.195.220 per bulan.

Untuk dimensi sosial, hanya satu atribut yang berkriteria skor buruk dari keempat atribut yang teridentifikasi sensitif. Hal ini jelas berbeda dengan dimensi ekonomi yang hampir seluruh atributnya berkriteria skor buruk. Atribut sensitif yang berkriteria skor baik pada dimensi sosial adalah atribut “pengalaman nelayan”, “pemanfaatan TEK”, dan “pola kerja” sedangkan atribut sensitif berkriteria skor buruk adalah atribut “sistem ponggawa sawi”. Atribut sensitif dengan kriteria skor baik diharapkan dapat dipertahankan kondisinya sedangkan pada atribut sensitif dengan kriteria skor buruk perlu dilakukan perbaikan untuk menunjang keberlanjutan dari segi dimensi sosial. Sistem ponggawa-sawi merupakan suatu hubungan kerjasama antara nelayan dengan pemilik modal, seperti yang diuraikan sebelumnya pada dimensi ekonomi. Contoh lain sistem ponggawa sawi yang memberi dampak buruk pada nelayan adalah perbedaan harga jual pasaran dengan harga jual yang ditentukan ponggawa. Seperti yang dilaporkan Ali (2012) bahwa setelah kegiatan penangkapan selesai, hasil yang diperoleh nelayan di serahkan kepada ponggawa (pemilik modal) dan harga jual ditentukan sepihak oleh ponggawa tanpa mengikuti harga pasar.

Pada dimensi teknologi, hanya satu atribut yang teridentifikasi sensitif yaitu atribut “perubahan alat tangkap bale-bale”. Kriteria skor yang dimiliki atribut ini adalah 1 (buruk) karena alat tangkap bale-bale dengan target utama telur ikan terbang akan menjadi penyebab putusnya regenerasi dari populasi ikan terbang. Mulanya, nelayan melakukan usaha penangkapan ikan terbang dengan menggunakan bubu hanyut atau sering disebut dengan pakajja. Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan beserta telurnya. Namun, secara perlahan pakajja mulai ditinggalkan dan nelayan mengkontruksi alat tangkap disebut dengan bale-bale. Pemicu perubahan orientasi alat tangkap diduga karena tingginya permintaan akan telur ikan terbang serta harga jual dari komoditas telur ikan terbang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ikan terbang itu sendiri. Perubahan alat tangkap dari pakajja ke alat tangkap bale-bale menyebabkan menurunnya produksi akan ikan terbang dan meningkatnya produksi telur ikan terbang seperti yang tertera pada Gambar 7.

13

Page 14: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

Gambar 7. Perkembangan produksi telur dan ikan terbang 1985-2011(Sumber: Ali, 2012)

Berdasarkan uraian setiap atribut yang sensitif dari keempat dimensi keberlanjutan tersebut, maka disusun 8 buah rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk menjaga dan meningkatkan status keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang di Kabupaten Takalar adalah sebagai berikut:1. Pengaturan upaya penangkapan komoditas ikan terbang dan telurnya.

Pengaturan upaya penangkapan pada komoditas ikan terbang salah satunya dengan cara pengurangan jumlah armada kapal yang beroperasi. Pengurangan armada kapal dilakukan dengan cara pembatasan ijin usaha penangkapan di wilayah yang diketahui telah overfishing seperti Selat Makassar. Pengurangan juga dapat dilakukan dengan cara pengalihan jumlah armada kapal (jumlah dibatasi) ke wilayah yang diketahui masih underfishing seperti Laut Seram, agar memberikan peluang bagi sumberdaya ikan terbang yang telah overfishing di Selat Makassar dapat pulih kembali. Pengaturan upaya penangkapan juga dapat dilakukan dengan membatasi jumlah tangkapan induk maupun telur ikan terbang, jumlah alat tangkap yang digunakan, jumlah trip penangkapan, serta jumlah hari kegiatan penangkapan.

2. Pengaturan zonasi daerah penangkapan dan waktu penangkapan ikan terbang. Pengaturan zonani dan waktu penangkapan dilakukan untuk menghindari kepunahan dari sumberdaya ikan terbang. Penentuan zonasi dan waktu penangkapan dilakukan dengan memetakan daerah pemijahan dan waktu pemijahan ikan terbang di Selat Makassar. Pemijahan ikan terbang di Selat Makassar dimulai pada bulan Maret hingga Agustus setiap tahunnya. Dengan demikian, pada waktu tersebut diberlakukan larangan kegiatan penangkapan pada wilayah Selat Makassar yang diketahui sebagai daerah dan waktu pemijahan ikan terbang.

3. Peningkatan selektifitas alat tangkap. Penyusunan kebijakan mengenai peningkatan selektifitas alat tangkap harus mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten Takalar karena alat tangkap yang selama ini dioperasikan tergolong alat tangkap yang tidak selektif, karena menangkap jenis ikan terbang dengan berbagai ukuran. Untuk itu, alat tangkap yang seharusnya digunakan adalah alat tangkap dengan ukuran mata jaring yang selektif untuk ukuran ikan dewasa (ukuran ikan terbang fase salin). Peningkatan selektifitas alat tangkap diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara ekologi maupun ekonomi.

4. Penentuan ukuran ikan terbang yang diperbolehkan untuk ditangkap dan Pengembangan alat tangkap yang efisien. Selain peningkatan selektifitas ukuran mata jaring, diperlukan juga satu alternatif alat tangkap untuk penangkapan telur ikan terbang. Alat tangkap bale-bale yang beberapa tahun ini digunakan oleh nelayan termasuk alat tangkap tidak ramah lingkungan karena target utamanya adalah telur ikan terbang. Menurut Ali (2012), Salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengefektifkan kembali

14

Page 15: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

alat tangkap pakkaja sebagai alat penangkap induk dan telur ikan terbang yang ramah lingkungan.

5. Penyediaan modal usaha dengan bunga rendah. Adanya penyediaan modal usaha dengan bunga rendah diharapkan mampu memberikan solusi bagi para nelayan pattorani yang selama ini sangat bergantung pada sistem ponggawa-sawi. Penyediaan modal usaha dengan bunga rendah dapat berasal dari pemerintah setempat, bank, ataupun koperasi.

6. Pemberian pelatihan kepada nelayan pattorani. Salah satu pengetahuan penting yang harus dimiliki nelayan pattorani adalah bagaimana cara penanganan hasil tangkapan yang baik dan benar. Pengetahuan ini dapat diberikan salah satunya melalui pelatihan. Pelatihan penanganan hasil tangkapan dianggap perlu karena penurunan kualitas telur ikan terbang yang dihasilkan nelayan dinilai kurang menguntungkan bagi para eksportir telur ikan terbang. Diharapkan dengan dilakukannya pelatihan tersebut, kualitas hasil tangkapan (produk) tetap terjaga mutunya dan dapat diterima oleh pasar (internasional). Menurut Ali (2012), Pelatihan lain yang dapat diberikan kepada nelayan pattorani adalah berupa keterampilan pelayaran, rambu-rambu kepelautan, penggunaan alat bantu pelayaran, dan alat bantu penangkapan ikan.

7. Penyediaan alternatif mata pencaharian. Hampir seluruhnya nelayan di Kabupaten Takalar khususnya di Kecamatan Galesong (fokus wilayah penelitian) hanya berpenghasilan dari kegiatan penangkapan ikan terbang dan telurnya. Dibutuhkan alternatif mata pencaharian lain di musim peralihan (saat bukan musim penangkapan ikan terbang dan telur ikan terbang), baik itu berasal dari bidang perikanan ataupun dari luar bidang perikanan. Alternatif pekerjaan dan pendapatan dapat diperoleh dalam bidang pertanian, perkebunan dan buruh..

8. Peningkatan peran pemerintah daerah setempat dan Penyusunan peraturan daerah. Koordinasi pemerintah daerah dengan instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan sangat dibutuhkan dalam pengawasan, pengendalian kegiatan perikanan tangkap, hingga pada penyusunan peraturan daerah mengenai aktivitas penangkapan yang dilakukan nelayan. Diperlukan juga satu program pemerintah yang secara langsung melibatkan pastisipasi masyarakat seperti Pembentukan Kelompok Masyarakat.

Kesimpulan Status keberlanjutan perikanan tangkap komoditas ikan terbang di

Kabupaten Takalar secara menyeluruh (multidimensi) dikategorikan kurang berkelanjutan, nilai indeks yang dihasilkan hanya sebesar 30.93. Hasil analisis Laverage dari empat dimensi menunjukkan bahwa dari total 15 atribut yang digunakan, teridentifikasi 12 atribut sensitif yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap, yaitu Jangkauan daerah penangkapan, Ukuran ikan yang tertangkap, Ikan yang tertangkap sebelum dewasa, Pasar utama telur ikan terbang, Harga jual, Sumber modal kerja, Pendapatan rata-rata nelayan, Pemanfaatan TEK, Pengalaman nelayan, Sistem ponggawa sawi, Pola kerja, dan Perubahan alat tangkap bale-bale. Sedangkan 3 atribut yang tersisa dikategorikan tidak sensitif. Strategi pengelolaan yang harus diterapkan beberapa diantaranya adalah (1)Pengaturan upaya penangkapan komoditas ikan terbang dan telurnya, (2)Pengaturan lokasi dan waktu penangkapan, (3)Peningkatan selektifitas alat tangkap, (4)Penentuan ukuran ikan terbang yang diperbolehkan untuk ditangkap dan Pengembangan alat tangkap yang efisien, (5)Penyediaan modal usaha bunga rendah, (6)Pemberian pelatihan

15

Page 16: RIANA SRI FITRIANTI (Analisis Keberlanjutan Perikanan Komoditas Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar, Sulawesi

Depik, x(x): xxx-xxx (garamond fond 9 bold, sejajar kanan)April 2014

ISSN 2089-7790

kepada nelayan, (7)Penyediaan alternatif mata pencaharian, serta (8)Peningkatan peran pemerintah daerah setempat dan Penyusunan peraturan daerah.

Daftar PustakaAli, S.A. 2005. Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan Terbang

Hyrundichthys oxycephalus (Bleeker,1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Ali, S.A. 2012. Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan menggunakan Indikator EAFM, Kajian pada perikanan ikan terbang. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Bengen, D.G. 2004. Sinopsis “Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya”. PKSPL IPB. Bogor.

Budianto, S. 2012. Pengelolaan Perikanan Tangkap Komoditas Udang Secara Berkelanjutan di Kabupaten Cilacap. Tesis. Universitas Indonesia.

Dahuri, R., Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2008. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Jakarta. PT Pradnya Paramitha

Fauzi, A., S. Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi pendekatan RAPFISH (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 4 Nomor 3: hal 43 – 55. Institut Pertanian Bogor.

Fauzi, A., S. Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal

Fitrianti, R.S. 2011. Analisis Catch Per Unit Effort Telur Ikan Terbang dari Laut Seram dan Selat Makassar. Skripsi. FIKP Universitas Hasanuddin. Makassar.

Kavanagh, P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project. RAPFISH Software Description (for Microsoft Excel). University of British Columbia. Fisheries Center. Vancouver.

KKP - WWF, PKSPL-IPB. 2012. [EAFM] Modul Ecolocical Aproach for Fisheries Management.

Pitcher, T.J., D. Preikshot. 2000. RAPFISH: A rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fiheries. Fisheries Research 49 (2001). Fisheries Centre, University of British Columbia. hal 255-270

Sugiyono. 2011. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. Bandung. Alfabeta.

Sujarno. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pendapatan Nelayan di Kabupaten Langkat. Tesis. Sekolah Pascasarjana USU. Medan.

Susilo, B.S. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari. Kepulauan Seribu. DKI Jakarta. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Syahailatua, A. 2006. Perikanan ikan terbang di Indonesia: Riset menuju pengelolaan. Oseana XXXI(3): hal21-31.

16