Review Jurnal

52
KONDISI DI BALIK DISTRESS JANIN 1 Jaspinder Kaur dan 2 Kawaljit Kaur 1 Departemen Obstetri dan Ginekologi, Punjab Institute of Medical Sciences, Jalandhar, Punjab (India) – 144001. 2 Departemen Biologi, BD Arya Girls College, Jalandhar Cantt, Punjab (India). ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di balik distress janin. Sebuah studi retrospektif dilakukan di Departemen Obstetri & Ginekologi, Punjab Institute of Medical Sciences, Jalandhar (Punjab, India). Seratus pasien yang datang ke departemen (tercatat dan tidak tercatat) sejak April 2012 sampai Juni 2012, sebanyak tujuh puluh dua pasien mengalami distress janin dan dianggap sebagai subyek penelitian. Kuesioner terstruktur dikembangkan pada saat antepartum, intrapartum dan postpartum kehamilan dengan rincian data berupa variabel demografi, riwayat persalinan, outcome maternal dan neonatal dieksplorasi. Mayoritas distress janin terlihat pada pasien dengan status antenatal tidak tercatat (61.12%) dan pada usia muda (72.23%; thn 21-30). Ibu yang mengalami anemia (34,73%) memiliki insidensi tertinggi dari kejadian distress janin. Berbagai kondisi lain dalam urutan menurun

description

ju

Transcript of Review Jurnal

Page 1: Review Jurnal

KONDISI DI BALIK DISTRESS JANIN1Jaspinder Kaur dan 2Kawaljit Kaur

1Departemen Obstetri dan Ginekologi, Punjab Institute of Medical Sciences,

Jalandhar, Punjab (India) – 144001.2Departemen Biologi, BD Arya Girls College, Jalandhar Cantt, Punjab (India).

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di balik distress janin. Sebuah

studi retrospektif dilakukan di Departemen Obstetri & Ginekologi, Punjab

Institute of Medical Sciences, Jalandhar (Punjab, India). Seratus pasien yang

datang ke departemen (tercatat dan tidak tercatat) sejak April 2012 sampai Juni

2012, sebanyak tujuh puluh dua pasien mengalami distress janin dan dianggap

sebagai subyek penelitian. Kuesioner terstruktur dikembangkan pada saat

antepartum, intrapartum dan postpartum kehamilan dengan rincian data berupa

variabel demografi, riwayat persalinan, outcome maternal dan neonatal

dieksplorasi. Mayoritas distress janin terlihat pada pasien dengan status antenatal

tidak tercatat (61.12%) dan pada usia muda (72.23%; thn 21-30). Ibu yang

mengalami anemia (34,73%) memiliki insidensi tertinggi dari kejadian distress

janin. Berbagai kondisi lain dalam urutan menurun adalah; Oligohidramnion

(19,45%), Hipertensi yang dipicu kehamilan (18,06%), Pertumbuhan Janin

Terhambat (18,06%), Tercemar oleh cairan mekonium (16,67%), persalinan

preterm (16,67%), Ketuban Pecah Dini (12,50%), serotinus (12,50%), Plasenta

previa (09.73%), insufisiensi uteroplasenta (06.95%), True Nuchal Knot

(06.95%), Persalinan Macet (05.56%) dan Diabetes Mellitus Gestational

(02.78%). Distress janin telah mengakibatkan peningkatan persalinan dengan

Sectio Caesarea (79,17%) dan Berat Badan Lahir Rendah (52,78%). Pemeriksaan

prakonsepsi dan kampanye kesadaran masyarakat dapat memainkan peran penting

dalam mengajarkan wanita tentang pentingnya perawatan antenatal dan status

pemesanan awal. Konfirmasi dugaan distress janin melalui pemeriksaan asam

basa darah janin dianjurkan untuk mencegah terlalu tingginya kasus gawat janin

atau kesalahan interpretasi pola denyut jantung janin.

Page 2: Review Jurnal

Kata Kunci: Anemia, Sectio Caesarea, Distress Janin, Neonatus Berat Lahir

Rendah, Status perawatan antenatal tidak tercatat

PENDAHULUAN

Wilayah Asia Tengah bagian Selatan yang terdiri dari India, Bangladesh dan

Pakistan memiliki populasi anak-anak terbesar kedua di dunia. Dari ketiga negara,

hanya Bangladesh yang telah mengurangi kematian balita hampir setengah dari

tahun 1990 ke tahun 2002, dengan rata-rata tingkat penurunan tahunan sebesar

5,2%. Sebaliknya, India dan Pakistan masih tertinggal dalam mengurangi tingkat

kematian anak di bawah tingkat pada tahun 1990 [1]. Kemajuan India tidak

memuaskan dalam mengurangi kematian bayi dan anak sesuai dengan data yang

ditetapkan oleh Millenium Development Goal untuk melacak tingkat

kelangsungan hidup ibu dan anak [2]. India menarik karena beberapa alasan.

Pertama, tingkat kematian neonatalnya merupakan yang tertinggi di dunia (43 per

1000 kelahiran hidup) [3]. Kedua, meskipun terdapat peningkatan luas dalam

akses terhadap kesehatan dan gizi, terdapat stagnasi dalam penurunan angka

kematian anak di beberapa bagian negara selama dekade terakhir [4,5].

Distress janin adalah istilah yang digunakan secara luas namun tidak terdefinisi

secara baik. Kebingungan akan definisi ini menyebabkan kesulitan dalam

membuat diagnosis yang akurat dan dalam memulai pengobatan yang tepat. Janin

bereaksi pada awal asfiksia dengan serangkaian respons yang luar biasa, terutama

redistribusi aliran darah secara kompleks yang berfungsi untuk membatasi efek

kerusakan karena keterbatasan oksigen di dalam organ-organ vital. Hal ini

memungkinkan janin untuk bertahan hidup pada kondisi asfiksia kecuali keadaan

tersebut terjadi lebih dalam atau berkepanjangan. Stress asfiksia paling umum

yang mengenai janin selama persalinan adalah ketidakcukupan aliran darah di

uterus, atau ketidakcukupan aliran darah tali pusat, dan kadang-kadang penurunan

oksigenasi arteri uterina. Penurunan atau hilangnya variabilitas dalam pola denyut

jantung janin adalah tanda bahwa kompensasi fisiologis kewalahan akibat

keparahan asfiksia [6]. Istilah gawat janin dan asfiksia janin sering keliru

Page 3: Review Jurnal

digunakan secara bergantian. Asfiksia mengacu pada asidosis akibat hipoksia

progresif dalam uterus. Namun, Denyut Jantung Janin (DJJ) dapat mendeteksi

episode hipoksia baik sebelum perkembangan asfiksia. The American College of

Obstetricians and Gynecologists baru-baru ini memperkenalkan frase denyut

jantung janin nonreassuring yang bertentangan dengan gawat janin [7].

Hasil dari hipoksemia menyebabkan peningkatan tekanan darah janin akibat

penyempitan pembuluh darah perifer janin dan lebih lanjut akan memperlambat

denyut jantung janin dan toleransi pernapasan. Selama hipoksemia sedang, aliran

darah didistribusikan ke otak, jantung dan kelenjar adrenal dengan mengorbankan

organ perifer (paru-paru, kulit, dll.). Selama hipoksemia berkepanjangan, aliran

darah ke batang otak dipertahankan dan bahkan lebih besar daripada di daerah

otak lainnya. Aktivitas neuronal dari batang otak dan pusat otonom penting untuk

kelangsungan hidup janin. Sebagai kemajuan hipoksia, glukosa dimetabolisme

secara anaerob, konsentrasi laktat meningkat, dan konsentrasi energi tinggi fosfat

berkurang di otak besar. Ketika metabolisme otak akhirnya telah menurun,

membran neuronal terdepolarisasi, kanal gerbang Ca+2 terbuka dan perpindahan

Ca+2 ke dalam sitoplasma meningkat. Perubahan ini mengakibatkan kematian

neuronal. Glutamat, radikal oksigen dan zat-zat lain dianggap terlibat dalam

peningkatan masuknya Ca+2. Studi-studi menunjukkan bahwa rangsangan hipoksia

harus dihindari pada janin dengan kondisi kronis yang memburuk untuk

pencegahan kerusakan otak janin yang tidak diketahui [8].

Motivasi untuk memantau janin selama kehamilan adalah untuk mengenali

kondisi patologis, biasanya asfiksia, dengan peringatan yang cukup untuk

memungkinkan intervensi oleh dokter sebelum perubahan yang irreversibel

terjadi. Berbagai metode dihadirkan untuk memantau status janin baik saat

antepartum dan intrapartum. Penilaian janin saat antepartum dapat dilakukan

dengan menghitung gerakan janin, Non-Stress Test, Contraction Stress Test, Profil

Biofisik, pemeriksaan Arteri Uterina maternal dengan Doppler, pemeriksaan

Arteri umbilikal janin dengan Doppler. Auskultasi intermiten selama persalinan,

pemantauan janin dengan alat elektronik, Digital Fetal Scalp Stimulation,

Page 4: Review Jurnal

Sampling darah kulit kepala janin, Analisis Gas Darah Umbilikalis, dll dapat

digunakan untuk penilaian janin intrapartum [9].

Pemantauan DJJ intrapartum dengan alat elektronik diperkenalkan pada tahun

1960-an sebagai deteksi dini untuk asfiksia yang cukup parah yang dapat

menyebabkan kerusakan neurologis atau kematian janin. Percobaan tanpa kontrol

yang dilakukan pada 1970-an menunjukkan penurunan lebih dari tiga kali lipat

dalam kematian janin intrapartum dengan penggunaan pemantauan DJJ [10].

Hasil positif tersebut memicu antusiasme klinis, sehingga pemantauan DJJ

menjadi umum dilakukan sebelum evaluasi kritis. Sejumlah uji coba terkontrol

secara acak yang telah diikuti pada tahun 1970-an dan 1980-an, namun gagal

untuk menunjukkan manfaat yang signifikan dari pemantauan FHR

[11,12,13,14,15]. Uji coba terbesar [16] menunjukkan penurunan sebesar 55%

dalam kejang neonatal transient. Namun, tidak ada perbedaan dalam insidensi

kejadian cerebral palsy pada evaluasi tindak lanjut selama empat tahun [17,18].

Seiring dengan manfaat dipertanyakan, percobaan acak juga menunjukkan dua

sampai tiga kali lipat peningkatan dalam tingkat sectio caesar

[11,12,13,14,15,16,18].

Pemantauan DJJ Elektronik memiliki berbagai keuntungan dan dengan demikian

tetap menjadi modalitas pilihan untuk unit kebidanan. Hal tersebut termasuk

kemampuan untuk memahami mekanisme perkembangan hipoksia dengan

pengenalan pola, kemampuan untuk menilai respon janin terhadap hipoksia

dengan mengevaluasi reaktivitas atau variabilitas, dan kemampuan untuk

memantau kontraksi uterus dan DJJ [19]. Manfaat dari pemantauan denyut

jantung janin selanjutnya dievaluasi dengan membandingkan hasil perinatal. Studi

memberikan bukti bahwa pemantauan DJJ meningkatkan deteksi janin dengan

persalinan yang berisiko tinggi [20,21]. Namun pemantauan DJJ memiliki

beberapa kelemahan. Dua hal yang paling penting adalah adalah peningkatan

sectio caesaria (CSS) yang berhubungan dengan reaksi berlebihan, atau salah

tafsir, pola DJJ dan peningkatan besar dalam litigasi malpraktik medikolegal

Page 5: Review Jurnal

karena bayi mengalami kerusakan otak dan mati otak akibat kesalahan interpretasi

saat pemantauan DJJ secara elektronik [12, 22, 23].

Penelitian ini dirancang untuk menentukan kondisi yang bertanggung jawab

terhadap distress pada janin bersama dengan variabel demografi, riwayat obstetri,

hasil maternal dan neonatal.

BAHAN DAN METODE

Semua pasien dengan distress janin yang masuk melalui Unit Gawat Darurat atau

Departemen Rawat Jalan sejak bulan April 2012 sampai Juni 2012 secara

retrospektif diteliti di Departemen Obstetri dan Ginekologi dari Punjab Institute of

Medical Sciences (PIMS), Jalandhar (Punjab, India). PIMS yang merupakan pusat

perawatan tersier yang memiliki sejumlah besar pasien rujukan dari pusat

perawatan primer dan sekunder di kota maupun dari pinggiran. Seratus

perempuan dikirim ke PIM selama masa penelitian dengan tujuh puluh dua pasien

diantaranya mengalami distress janin dan dijadikan subjek penelitian. Kuesioner

terstruktur dikembangkan pada saat antepartum, intrapartum dan postpartum

kehamilan dan diberikan kepada subjek penelitian. Sebuah persetujuan lisan

diperoleh dari subjek sebelum wawancara pasca pengiriman dan catatan data

dicantumkan pada kuesioner yang dirancang untuk tujuan ini. Penelitian ini

mendapat izin etis dari komite etik.

Rincian variabel demografi, riwayat obstetri, hasil maternal dan neonatal diteliti.

Variabel demografi mencakup usia, status sosial ekonomi dan status pemesanan

(pencatatan). Pasien yang telah tiga kali melakukan perawatan antenatal yang

disebut sebagai pasien yang telah memesan (tercatat) dan pasien dengan

kunjungan perawatan antenatal kurang dari tiga kali disebut sebagai pasien yang

tidak memesan (tidak tercatat). Riwayat obstetri termasuk status paritas, kesehatan

ibu sebelum & selama kehamilan, peristiwa klinis signifikan pada kehamilan

sebelumnya dan informasi rinci mengenai komplikasi yang terjadi saat

intrapartum atau postpartum. Paritas dikelompokkan sebagai Primiparity dan

multiparitas. Hasil ibu yang dicatat meliputi cara persalinan, kejadian anemia,

Page 6: Review Jurnal

perdarahan postpartum dan kematian ibu. Hasil neonatal seperti usia kehamilan,

berat lahir, kematian perinatal, dan lain-lain juga didokumentasikan. Investigasi

dilakukan pada semua wanita, termasuk hitung darah lengkap, analisis urin, gula

darah acak, pengelompokan darah, HIV, Hepatitis C dan B Hepatitis antigen,

perdarahan & waktu pembekuan dan ultrasonografi dasar. Investigasi khusus yang

dilakukan sesuai dengan gangguan medis yang dimiliki setiap pasien.

Penelitian ini diselenggarakan untuk menentukan kondisi yang berhubungan

dengan kelainan denyut jantung janin yang menyebabkan distress janin bersama

dengan variabel demografi, riwayat obstetri, hasil ibu dan hasil neonatal.

HASIL

Tabel 1 menggambarkan variabel demografis antara wanita hamil yang

mengalami distress janin. 38,89% dan 33,34% dari ibu-ibu yang mengalami

distress janin berada dalam rentang usia 21-25 tahun dan 26-30 tahun, masing-

masing. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar usia 21-30 tahun dari

kelompok umur (72.23%). Mayoritas ibu dengan distress janin berada dalam skala

sosial ekonomi menengah (65.28%). Insiden yang lebih tinggi dari distress janin

terlihat pada ibu dengan perawatan antenatal yang tidak tercatat (61.12%) bila

dibandingkan dengan ibu yang tercatat (38,89%). Prevalensi Distress janin sama

di antara kedua ibu primipara dan multipara (50,00%).

TABEL 1: VARIABEL DEMOGRAFI ANTARA IBU HAMIL

Kategori Persentase (%) Jumlah SubyekUsia (tahun)

<20 12.50 0921-25 38.89 2826-30 33.34 24>30 15.28 11

Status Sosio-EkonomiRendah 18.06 13Sedang 65.28 47Tinggi 16.67 12

Pemeriksaan AntenatalTercatat 38.89 28

Tidak Tercatat 61.12 44Paritas

Primipara 50.00 36Multipara 50.00 36

Page 7: Review Jurnal

Tabel 2 menyajikan 'hasil acara' kehamilan dengan usia kehamilan saat

melahirkan, cara persalinan dan berat lahir neonatus. 63,89% dari ibu-ibu dengan

distress janin melahirkan di usia kehamilan 'TERM' sementara 23,62% dan

12,50% dari ibu yang melahirkan di usia kehamilan 'preterm' dan 'postterm'.

Mayoritas ibu dengan Distress janin (52,78%) memiliki bayi dengan berat badan

lahir rendah (<2,5 kg) sedangkan, 47.23% ibu memiliki bayi dengan berat badan

yang sesuai (> 2.5kg). Operasi sectio caesar darurat didapatkan pada 79,17% dari

ibu dengan distress janin, 20,84% pada ibu dengan persalinan pervaginam.

TABEL 2: EVENT HASIL ANTARA WANITA HAMIL

Kategori Persentase (%) Jumlah SubyekUsia Gestasi

Preterm 23.62 17Term 63.89 46

Post-Term 12.50 09Berat Lahir

< 2.5 kg 52.78 38> 2.5 kg 47.23 34

Jenis PersalinanPer vaginam 20.84 15

Sectio Caesarea (SC) 79.17 57

Prevalensi kondisi obstetri bertanggung jawab terhadap terjadinya Distress janin

terlihat pada Tabel 3. Anemia terkait dengan peningkatan insidensi Distress janin

(34,73%). Oligohidramnion, Hipertensi yang diinduksi kehamilan dan

Pertumbuhan Janin Terhambat bertanggung jawab atas Distress janin pada

19,45%, 18,06% dan 18,06%. Berbagai kondisi obstetri lainnya dalam urutan

menurun adalah; Meconium Stained Amniotic Fluid (16,67%), Preterm Labour

with Scar Tenderness (16,67%), Ketuban Pecah Dini (12,50%), Persalinan

Serotinus(12,50%), Plasenta previa (09.73% ), insufisiensi uteroplasenta

(06.95%), True Nuchal Knot (06.95%), Partus macet (05.56%) dan Diabetes

mellitus Gestational (02.78%).

Tabel 3: PREVALENSI KONDISI OBSTETRI DIBALIK GAWAT JANIN

Kondisi Obstetri Persentase (%) Jumlah SubyekAnemia 34.73 25Oligohidramnion 19.45 14

Page 8: Review Jurnal

Hipertensi diinduksi kehamilan 18.06 13Pertumbuhan Janin Terhambat 18.06 13Cairan Ketuban Bercampur Mekonium

16.67 12

Preterm Labour with Scar Tenderness

16.67 12

Ketuban Pecah Dini 12.50 09Persalinan Serotinus 12.50 09Plasenta Previa 09.73 07Insufisiensi Uteroplasenta 06.95 05True Nuchal Knot 06.95 05Persalinan Macet 05.56 04Diabetes Mellitus Gestasional 02.78 02

PEMBAHASAN

Perawatan kesehatan neonatal berkaitan dengan kondisi bayi yang baru lahir dari

lahir sampai usia 4 minggu (28 hari). Dua pertiga kematian bayi di India terjadi

pada bulan pertama kehidupan, sekitar tiga-perempat dari kematian neonatal India

terjadi dalam satu minggu pasca persalinan, sementara 90% terjadi dalam 2

minggu pertama kehidupan [24]. Distress janin mungkin dianggap sebagai salah

satu faktor di balik hasil yang buruk dari neonatus atau bayi atau anak. Dalam

penelitian ini, dipelajari tentang karakteristik demografi, komplikasi obstetri dan

hasil kehamilan pada ibu dengan distress janin. Hasil penelitian menunjukkan

angka distress janin yang lebih tinggi pada ibu dengan perawatan antenatal yang

tidak tercatat (ANC kurang dari tiga kali) yang menyebabkan peningkatan

kejadian sectio caesar dan neonatus dengan berat badan lahir rendah, dengan

Anemia sebagai kondisi yang paling umum di balik kejadian distress janin.

Analisis faktor demografi (Tabel 1) di antara ibu dengan distress janin telah

menunjukkan bahwa ibu kelompok usia muda (72.23%; thn 21-30) mengalami

hipoksia janin dan distress. Tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Haines et al.

[25] menyimpulkan tidak terdapat hubungan antara usia ibu dan distress janin.

Penelitian yang kami lakukan telah menunjukkan hasil yang sama tentang

insidensi distress janin baik pada ibu primipara maupun multipara (50,00%).

Namun, sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hasyim et al. [26]

menunjukkan sebuah hubungan antara primiparitas dengan distress janin.

Mengenai status pencatatan, distress janin lebih banyak terjadi pada ibu yang

tidak teratur atau tidak pernah melakukan perawatan antenatal (61.12%),

Page 9: Review Jurnal

dibandingkan dengan ibu yang rutin melakukan kunjungan di klinik perawatan

antenatal (38,89%). Penelitian terbaru oleh Khatoon et al. [27] menunjukkan

bahwa salah satu alasan paling umum untuk merujuk ibu hamil dengan riwayat

antenatal tidak tercatat adalah gawat janin akibat aspirasi mekonium. Tingkat

prevalensi yang tinggi akan asfiksia saat lahir karena distress janin sebelum

persalinan yang terjadi pada ibu dengan perawatan antenatal yang tidak tercatat

telah dilaporkan oleh berbagai penulis dalam berbagai penelitian [28,29,30]. Hal

ini menunjukkan bahwa usia muda dan perawatan antenatal yang tidak tercatat

mungkin telah membatasi mereka dari melakukan perawatan antenatal pada usia

kehamilan muda atau sampai pengembangan komplikasi obstetri yang telah

menyebabkan hipoksia dan distress janin antepartum atau intrapartum.

Penelitian ini (Tabel 2) telah menunjukkan insidensi yang lebih tinggi terhadap

tindakan sectio caesaria (79,17%) pada ibu dengan distress janin yang konsisten

dengan hasil berbagai penelitian [12,23]. Hal tersebut dapat terjadi karena

kelalaian memahami keseriusan kondisi pasien, kendala keuangan, sistem rujukan

dan ketersediaan non transportasi untuk memindahkan pasien ke pusat perawatan

tersier yang membuat kondisi antara ibu unbooked dengan Distress janin lebih

rumit sehingga bagian Darurat caesar dalam rangka untuk menjaga kehidupan ibu

dan janin. Darurat bagian caesar juga membantu untuk mengurangi atau

mengontrol pengaruh hipoksia dan asfiksia pada janin. Telah disimpulkan oleh

James [31] bahwa bagian caesar darurat untuk gawat janin harus dilakukan

secepat mungkin dan idealnya dalam waktu 30 menit, namun kita tidak boleh

menganggapnya sebagai perawatan kebidanan miskin jika dibutuhkan beberapa

menit lagi. Studi lain oleh Dunphy et al. [32] telah menyarankan bahwa interval

pendek dari keputusan untuk pengiriman mungkin penting jika kondisi neonatal

yang optimal harus dicapai. Namun, studi oleh Nelson et al. [33] telah

menyimpulkan bahwa tingkat positif palsu untuk diagnosis gawat janin sangat

tinggi dan membangkitkan kekhawatiran bahwa, jika indikasi secara luas

digunakan, bedah sesar banyak akan dilakukan tanpa manfaat dan dengan potensi

bahaya.

Page 10: Review Jurnal

Mengenai hasil neonatal, kebanyakan kelahiran hidup pada ibu dengan janin

Distress berada di 'TERM' (63,89%). Namun, sebuah penelitian yang dilakukan

oleh Ananth dan Vintzileos [34] telah menemukan kelahiran prematur pada ibu

dengan gawat janin akibat intervensi medis dilakukan untuk kondisi plasenta

iskemik. Ketika analisis subkelompok lanjut dilakukan mengenai berat badan

bayi, insiden yang lebih tinggi dari neonatus berat lahir rendah (<2,5 kg) sudah

diketahui antara ibu dengan janin Distress (52,78%). Coutinho et al. [35] baru-

baru ini melaporkan hubungan antara berat lahir rendah dan pola nonreassuring

dari denyut jantung janin. Studi lain yang dilakukan pada tahun 2003 di Uganda

[36] telah mengamati sebuah asosiasi asfiksia lahir dengan berat lahir rendah.

Anemia (Tabel 3) ditemukan menjadi kondisi obstetri yang paling umum di balik

Distress janin (34,73%) yang memiliki konsisten dengan penulis lain [36,37].

Mereka melaporkan komplikasi janin dan neonatal berbagai kalangan ibu dengan

antepartum atau intrapartum anemia. Kondisi di mana penurunan cairan ketuban

hadir sekitar janin disebut 'Oligohidramnion' (19,45%) dan juga ditemukan

bertanggung jawab atas Distress janin yang telah disarankan oleh penulis lain

[38,39,40,41]. Hipertensi diinduksi kehamilan (18,06%) telah menyebabkan

Distress janin dalam penelitian kami. Hasil yang sama telah disarankan oleh

peneliti lain [42,43] yang menyimpulkan nyata gerakan janin berkurang pada ibu

hamil hipertensi sebagai tanda Distress janin. Janin dengan Retardasi

Pertumbuhan intrauterine (IUGR) telah menunjukkan non-meyakinkan denyut

jantung janin dalam pekerjaan kami (18,06%). Kramer et al. [44] telah

melaporkan kecenderungan peningkatan Distress janin dengan keparahan IUGR

progresif. Cairan ketuban mekonium bernoda dikaitkan dengan Distress janin

dalam penelitian kami (16,67%). Telah juga didukung oleh penulis lain [45,46]

yang menyimpulkan cairan ketuban mekonium bernoda sebagai indikator untuk

status janin yang negatif. Penelitian kami telah mengamati Distress janin pada ibu

dengan Buruh prematur dengan kelembutan parut (16,67%) yang ditemukan oleh

penulis lain [47].

Page 11: Review Jurnal

Ibu yang memiliki Pecahnya prematur prematur Membran (PPROM) lebih

berpengalaman kelainan jantung janin tingkat (12,05%). Moberg et al. [48] telah

menyarankan peningkatan insiden Distress janin pada pasien dengan PPROM

karena hilangnya perlindungan tali pusat yang cairan ketuban biasanya

menyediakan. Kehamilan dimundurkan (> 40 minggu usia kehamilan) telah

menyebabkan non-meyakinkan denyut jantung janin (12,50%) yang telah juga

menyimpulkan oleh James et al. [49] dalam studi mereka. Distress janin (09.73%)

ditemukan pada ibu dengan lokasi abnormal plasenta (plasenta previa) dalam

penelitian kami [50]. Janin dengan kabel nuchal yang benar (06.95%) sudah

berpengalaman dalam rahim-hipoksia dan kesusahan. Begum et al. [51] telah

menyimpulkan tali nuchal yang benar sebagai tanda gawat janin dalam studi

mereka, tetapi tidak dianggap sebagai indikasi untuk pengiriman operasi. Namun,

studi yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Geidam et al. [52] tidak menemukan

perbedaan yang signifikan antara kasus dan kontrol dari gawat janin dalam hal

usia, paritas, status pemesanan, keberadaan kondisi obstetri, durasi operasi dan

berat lahir bayi.

Distress janin didiagnosis dengan menggunakan DJJ dan terdapatnya mekonium.

Namun, metode yang akurat untuk penegakkan diagnosis distress janin adalah

dengan melakukan estimasi pH darah dari kulit kepala janin yang dianggap

sebagai baku emas penilaian kesejahteraan janin, tetapi tidak dilakukan pada

penelitian kami. Sebuah pemantauan cardiotocography diketahui melebih-

lebihkan distress janin [53]. Hal ini menunjukkan bahwa metode skrining yang

digunakan untuk membuat diagnosis distress janin memiliki keterbatasan

tersendiri [54]. Namun, respon pertama ketika diduga atau dideteksi terjadi

distress janin adalah resusitasi intrauterin yang akan memperbaiki kondisi janin

dan dapat membantu untuk menghindari intervensi yang tidak perlu. Perubahan

posisi ibu, hidrasi, oksigen, pemberian dekstrosa hipertonik intravena,

Amnioinfusion, tokolisis, dll [22] adalah beberapa langkah yang dapat digunakan

untuk resusitasi. Namun, dalam beberapa kasus distress janin, operasi yang

Page 12: Review Jurnal

dilakukan secepat mungkin menjadi satu-satunya pilihan untuk memastikan

bahwa neonatus sehat.

Berbagai faktor seperti usia muda, kurangnya kesadaran mengenai penyediaan

perawatan antenatal, kurangnya pendidikan kesehatan, kelalaian, kendala

keuangan, prasangka lingkungan & budaya, keterlibatan laki-laki dalam

perawatan kesehatan ibu, status gizi buruk pada perempuan muda (anemia),

kurangnya fasilitas transportasi, tidak adanya konseling kepada pasien tentang

perencanaan persalinan mungkin bertanggung jawab atas pencatatan perawatan

antenatal yang terlambat dengan dekompensasi terhadap kondisi obstetri yang

menyebabkan hipoksia janin, asfiksia dan distress.

Keterbatasan penelitian ini adalah pengumpulan data dengan metode retrospektif

yang mungkin dapat melewatkan beberapa informasi yang penting. Penelitian ini

seharusnya dilakukan dengan metode prospektif untuk menghasilkan pemahaman

yang lebih baik tentang faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap distress

janin.

KESIMPULAN

Anggapan klinik dan kampanye kesadaran masyarakat mungkin memainkan peran

penting dalam mendidik ibu hamil mengenai pentingnya perawatan antenatal dan

status perawatan awal. Konfirmasi dugaan distress janin melalui pemeriksaan

asam basa darah janin dianjurkan untuk mencegah terlalu tingginya kejadian

distress janin atau salah tafsir pola denyut jantung janin.

Page 13: Review Jurnal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut WHO, tujuan pelayanan kebidanan adalah menjamin agar

setiap wanita hamil dan wanita yang menyusui bayinya dapat memelihara

kesehatannya secara sempurna agar wanita hamil melahirkan bayi sehat tanpa

gangguan apapun dan kemudian dapat merawat bayinya dengan baik. Oleh

karena itu, para tenaga medis dituntut untuk mampu mengenali dengan cepat

serta menangani keadaan-keadaan yang dinilai dapat membahayakan ibu

maupun janin.1

Umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik-buruknya suatu

pelayanan ostetri dalam suatu negara atau daerah adalah kematian maternal,

namun sekarang kematian bayi dianggap sebagai ukuran yang lebih baik serta

lebih peka untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan. Angka kematian bayi

di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 350 per 10.000 kelahiran hidup.1

Gawat janin merupakan suatau kondisi yang serius dan membutuhkan

perhatian yang lebih intensif. Istilah gawat janin masih terlalu luas dan samar

untuk diinterprestasikan dengan berbagai situasi klinik, Ketidakjelasan dari

diagnosis ini didasarkan atas interpretasi dari pola denyut jantung janin yang

telah memberikan deskripsi seperti Reassuring dan non reassuring.

Reassuring adalah keadaan gawat janin dimana janin dapat kembali normal

sementara non reassuring adalah suatu keadaan dimana keadaan janin tetap

meragukan.2,3,4

Page 14: Review Jurnal

B. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya gawat janin

2. Untuk mengetahui pemeriksaan-pemeriksaan dalam mendiagnosis gawat

janin

3. Untuk mengetahui perkembangan terbaru dalam mendeteksi gawat janin.

Page 15: Review Jurnal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Gawat janin adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin

(kadar oksigen yang rendah dalam darah). Keadaan tersebut dapat terjadi baik

pada antepartum maupun intrapartum.5

2. ETIOLOGI

Gawat janin dapat disebabkan oleh bermacam-macam hal. Beberapa

penyebab yang umum dan sering terjadi:6

- Kontraksi

Pengencangan otot uterus secara involunter untuk melahirkan bayi.

Kontraksi secara langsung mengurangi aliran darah ke plasenta dan dapat

mengkompresi tali pusat sehingga penyaluran nutrisi terganggu. Hal ini

dapat terjadi pada keadaan:

o persalinan yang lama ( kala II lama)

o penggunaan oksitosin

o uterus yang hipertonik ( otot-otot menjadi terlalu tegang dan tidak dapat

berkontraksi ritmis dengan benar)

- Infeksi

- Perdarahan

- Abrupsi plasenta

- Prolaps tali pusat

- Hipotensi

Page 16: Review Jurnal

Bila tekanan darah ibu menurun selama persalinan, jumlah aliran darah ke

fetus akan berkurang. Hipotensi dapat disebabkan oleh:

o anestesi epidural

o posisi supine

Hal tersebut terjadi karena adanya pengurangan jumlah aliran darah dari

vena cava ke jantung.

- Masalah pernafasan janin

- Posisi dan presentasi abnormal dari fetus

- Kelahiran multipel

- Kehamilan prematur atau postmatur

- Distosia bahu

Penyebab yang paling utama dari gawat janin dalam masa antepartum

adalah insufisiensi uteroplasental. Faktor yang menyebabkan gawat janin

dalam persalinan/ intrapartum adalah kompleks, contohnya seperti: penyakit

vaskular uteroplasental, perfusi uterus yang berkurang, sepsis pada janin,

pengurangan cadangan janin, dan kompresi tali pusat. Pengurangan jumlah

cairan ketuban, hipovolemia ibu dan pertumbuhan janin terhambat diketahui

mempunyai peranan.6

3. PATOFISIOLOGI

Kontrol fisiologi dari denyut jantung janin meliputi suatu

keanekaragaman dari mekanisme interkoneksi yang tergantung dari aliran

darah oksigenasi. Lebih lanjut aktivitas dari mekanisme kontrol fisiologi ini

mempengaruhi kondisi oksigenasi janin, seperti terjadinya suatu insufisiensi

plasenta yang kronis, dimana janin yang dihubungkan dengan tali pusat akan

Page 17: Review Jurnal

mengalami resiko kekurangan oksigen, yang akan membutuhkan suatu

mekanisme alami dari janin untuk bertahan, dan lebih lanjut pada saat

persalinan akan menambah keasaman darah.1,5

Dahulu diperkirakan bahwa janin mempunyai tegangan oksigen yang

lebih rendah karena ia hidup dalam lingkungan hipoksia dan asidosis kronis.

Tetapi pemikiran itu tidak benar karena bila tidak ada tekanan, janin hidup

dalam lingkungan yang sesuai dan dalam kenyataanya konsumsi oksigen per

gram berat badan sama dengan orang dewasa. Meskipun tekanan oksigen

parsial rendah, penyaluran oksigen pada jaringan tetap memadai.1,5

Afinitas terhadap oksigen, kadar hemoglobin dan kapasitas angkut

oksigen pada janin lebih besar dari orang dewasa. Demikian juga halnya

dengan curah jantung dan kecepatan arus darah lebih besar daripada orang

dewasa. Dengan demikian penyaluran oksigen melalui plasenta kepada janin

dan jaringan perifer dapat terselenggara dengan baik. Sebagai hasil

metabolisme oksigen akan berbentuk asam piruvat, CO2 dan air di

ekskresikan melalui plasenta. Bila plasenta mengalami penurunan fungsi

akibat dari perfusi ruang intervili yang berkurang, maka penyaluran oksigen

dan ekskresi CO2 akan terganggu yang berakibat penurunan PH atau

timbulnya asidosis. Hipoksia yang berlangsung lama menyebabkan janin

harus mengolah glukosa menjadi energi melalui reaksi anaerobik yang tidak

efisien, bahkan menimbulkan asam organik yang menambah asidosis

metabolik. Pada umumnya asidosis janin disebabkan oleh gangguan arus

darah uterus atau arus darah tali pusat.1,5

Page 18: Review Jurnal

Bradikardia janin tidak harus berarti merupakan indikasi kerusakan

jaringan akibat hipoksia, karena janin mempunyai kemampuan redistribusi

darah bila terjadi hipoksia, sehingga jaringan vital akan menerima penyaluran

darah yang lebih banyak dibandingkan jaringan perifer. Bradikardi mungkin

merupakan mekanisme perlindungan agar jantung bekerja lebih efisien

sebagai akibat dari hipoksia.1,5

4. TANDA DAN GEJALA

Gejala yang dirasakan oleh ibu adalah berkurangnya gerakan janin.

Ibu dapat melakukan deteksi dini dari gawat janin ini, dengan cara

menghitung jumlah tendangan janin/’kick count’. Janin harus bergerak

minimal 10 gerakan dari saat makan pagi sampai dengan makan siang. Bila

jumlah minimal sebanyak 10 gerakan janin sudah tercapai, ibu tidak harus

menghitung lagi sampai hari berikutnya. Hal ini dapat dilakukan oleh semua

ibu hamil, tapi penghitungan gerakan ini terutama diminta untuk dilakukan

oleh ibu yang beresiko terhadap gawat janin atau ibu yang mengeluh terdapat

pengurangan gerakan janin. Bila ternyata tidak tercapai jumlah minimal

sebanyak 10 gerakan maka ibu akan diminta untuk segera datang ke RS atau

pusat kesehatan terdekat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.7

Tanda-tanda gawat janin:6,8

Mekonium kental berwarna hijau terdapat di cairan ketuban pada letak

kepala

Takikardi/ bradikardi/ iregularitas dari denyut jantung janin

Untuk mengetahui adanya tanda-tanda seperti di atas dilakukan pemantauan

menggunakan kardiotokografi

Page 19: Review Jurnal

Asidosis janin

Diperiksa dengan cara mengambil sampel darah janin.

a. Mekonium

Adanya mekonium saja tidak mampu untuk menegakkan suatu

diagnosis gawat janin. Mekonium adalah cairan berwarna hijau tua yang

secara normal dikeluarkan oleh bayi baru lahir mengandung mukus,

empedu, dan sel-sel epitel. Bagaimanapun, dalam beberapa hal, mekonium

dikeluarkan dalam uterus mewarnai cairan ketuban. Adanya mekonium

pada cairan amnion lebih sering terlihat saat janin mencapai maturitas dan

dengan sendirinya bukan merupakan tanda-tanda gawat janin. Mekonium

dapat mewarnai cairan ketuban dalam beberapa tingkat, mulai dari

mewarnai ringan sampai dengan berat. Adanya mekonium dianggap

signifikan bila berwarna hijau tua kehitaman dan kental. Mekonium kental

merupakan tanda pengeluaran mekonium pada cairan amnion yang

berkurang dan merupakan indikasi perlunya persalinan yang lebih cepat

dan penanganan mekonium pada saluran napas atau neonatus untuk

mencegah aspirasi mekonium. Pada presentasi sungsang, mekonium

dikeluarkan pada saat persalinan akibat kompresi abdomen janin pada

persalinan. Hal ini bukan merupakan tanda kegawatan kecuali jika hal ini

terjadi pada awal persalinan/ saat bokong masih tinggi letaknya.9

Pada tahun 1903, J. Whitridge Williams mengamati dan

menganggap keluarnya cairan mekonium sebagai relaksasi otot sfingter ani

diakibatkan aerasi yang kurang dari darah janin. Para ahli obstetri sudah

Page 20: Review Jurnal

lama menyadari bahwa deteksi mekonium dalam persalinan merupakan

suatu hal yang problematis dalam memprediksi gawat janin atau asfiksia.9

Terdapat 3 teori yang telah diajukan untuk menjelaskan tentang

keluarnya mekonium:9

- Janin mengeluarkan mekonium sebagai respons terhadap hipoksia, dan

mekonium merupakan hasil dari suatu usaha janin untuk

mengkompensasi.

- Mekonium merupakan tanda maturasi yang normal dari traktus

gastrointestinal di bawah pengaruh persarafan yang mempersarafinya

- Mekonium dapat keluar sebagai stimulasi vagal dari terjepitnya tali

pusat dan gerakan peristalsis yang meningkat

Komponen mekonium seperti garam empedu dan enzim-enzim yang

terkandung di dalamnya dapat menyebablan komplikasi serius bila

terinhalasi atau teraspirasi oleh janin, dapat mengakibatkan sindrom

aspirasi mekonium yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas,

kehilangan surfaktan paru, pneumonitis kimia. Mekonium dalam cairan

ketuban terdapat pada 13 % kelahiran hidup, kurang dari 5 % persalinan di

bawah 37 minggu, 30 % pada bayi > 42 minggu. Faktor resikonya

meliputi: insufisiensi plasenta, hipertensi ibu dan pre-eklamsi,

oligohidroamnion, ibu perokok, penggunaan obat-obatan terlarang.

(internet) Ramin dkk. mempunyai hipotesis bahwa patofisiologi sindrom

aspirasi mekonium termasuk hiperkapnia janin, yang menstimulasi

respirasi janin mengakibatkan aspirasi mekonium ke dalam alveoli, dan

Page 21: Review Jurnal

trauma parenkim paru sekunder dari kerusakan sel alveolar karena

asidemia.9

Kesimpulannya, insidensi tinggi dari mekonium pada cairan amnion

selama persalinan seringnya merupakan proses fisiologis yang normal.

Meskipun normal, mekonium dapat menjadi berbahaya bila asidemia

janin. Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak bayi dengan sindrom

aspirasi mekonium ternyata menderita hiposia kronis sebelumnya/saat

dilahirkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kadar eritropoetin janin

dan penghitungan eritrosit.9

b. Kardiotokografi

Kardiotokografi adalah alat elektronik yang digunakan untuk tujuan

memantau atau mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan dengan

hipoksia janin dalam rahim, seberapa jauh gangguan tersebut dan

menetukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut. Pemantauan

dilakukan melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungan

dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin dalam rahim.10

Kardiotokografi merupakan suatu metode pemeriksaan yang telah

ditetapkan sebagai suatu pemeriksaan standar rutin untuk menentukan

kesejahteraan janin. Meskipun pemeriksaan kardiotokografi menunjukkan

hasil dengan tingkat positif palsu yang tinggi, yaitu sekitar 64 % dan

evaluasinya juga sangat subyektif, tetapi saat ini tetap menjadi metode

penapisan diagnosis hipoksia akut pada janin, karena tidak ada cara

pemeriksaan lain yang lebih obyektif dan non invasif.10

Page 22: Review Jurnal

Gambar 1. Kardiotokografi

Pemantauan dapat dilakukan dengan 2 cara:

Pengukuran eksternal

Dengan menggunakan alat yang dipasang pada dinding perut

ibu, terdapat 2 elektroda: elektroda jantung yang ditempatkan tepat di

tempat terdengarnya denyut jantung janin dan elektroda kontraksi yang

ditempatkan untuk mengukur tegangan dinding perut, yang merupakan

cara pengukuran tekanan intra uterus secara tidak langsung. Ketua

elektroda dipasang dengan menggunakan suatu sabuk, untuk

mendapatkan hasil yang maksimal, sebelumnya digunakan jeli dengan

tujuan menghilangkan pengaruh udara. Cara pengukuran ini harus lebih

cermat, karena dapat dikacaukan oleh denyut aorta ibu. Cara eksternal

lebih populer karena bisa dilakukan selama antenatal maupun intranatal,

praktis, aman ( mencegah terjadinya ruptur membran dan invasi uterus),

dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara

internal yang lebih invasif.9

Pengukuran internal

Page 23: Review Jurnal

Cara ini lebih invasif, alat pemantau dimasukkan ke dalam

rongga rahim ibu dan membutuhkan dilatasi serviks, dan memasukkan

kateter bertekanan serta menempelkan elektroda spiral ke kulit kepala

janin. Elektroda bipolar diletakkan pada kulit janin bagian terdepan

secara langsung. Pengukuran internal lebih tepat dan mungkin lebih

dipilih pada keadaan tertentu dimana diperkirakan akan terjadi

persalinan yang terkomplikasi.9

c. Sampel Darah Janin

Sesuai dengan American College Of Obstetricians and

Gynecologists, pengukuran pH pada darah kapiler kulit kepala dapat

membantu untuk mengidentifikasi keadaan gawat janin. Prosedur ini

memang jarang dilakukan, tetapi merupakan pemeriksaan penyerta untuk

menegakkan diagnosis gawat janin pada hasil NST yang meragukan.9

Pengambilan darah janin harus dilakukan di luar his dan sebaiknya

ibu dalam posisi tidur miring.

Pemeriksaan darah janin ini dilakukan bila terdapat indikasi sebagai

berikut:

o Deselerasi lambat berulang

o Deselerasi variabel memanjang

o Mekonium pada presentasi kepala

o Hipertensi ibu

o Osilasi/ variabilitas yang menyempit

Kontraindikasi:

Page 24: Review Jurnal

o Gangguan pembekuan darah janin

o Presentasi fetus yang tidak dapat dicapai

o Infeksi pada ibu

Syarat:

o Pembukaan lebih dari 2 cm

o Ketuban sudah pecah

o Kepala sudah turun hingga dasar pelvis

Cara pengambilan sampel darah:10

1. Masukkan amnioskopi melalui serviks yang sudah didilatasi setelah

ruptur membran

2. Oleskan lapisan jel silikon untuk mendapatkan tetesan darah pada

tempat insisi

3. Buat insisi tak lebih dari 2 cm dengan pisau tipis

4. Aspirasi darah dengan tabung kapiler yang telah diberi heparin

5. Periksa pH darah

6. Setelah insisi, hentikan perdarahan

Gambar 2. Teknik Pengambilan Sampel Darah dengan Amnioskopi

5. ANTENATAL CARE (ANC)

Page 25: Review Jurnal

Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan yang diberikan

oleh bidan atau dokter kepada ibu selama masa kehamilan untuk

mengoptimalisasikan kesehatan mental dan fisik ibu hamil, sehingga mampu

menghadapi persalinan, nifas, persiapan memberikan ASI, dan kembalinya

kesehatan reproduksi secara wajar.11

Salah satu fungsi terpenting dari perawatan antenatal adalah untuk

memberikan saran dan informasi pada seorang wanita mengenai tempat

kelahiran yang tepat sesuai dengan kondisi dan status kesehatannya.

Perawatan antenatal juga merupakan suatu kesempatan untuk

menginformasikan kepada para wanita mengenai tanda – tanda bahaya dan

gejala yang memerlukan bantuan segera dari petugas kesehatan.11

a. Tujuan Antenatal Care

Tujuan asuhan antenatal adalah:12

1) Membantu kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan

tumbuh kembang bayi.

2) Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, sosial ibu

dan bayi.

3) Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang

mungkin terjadi selama ibu hamil, termasuk riwayat penyakit secara

umum, kebidanan, dan pembedahan.

4) Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat

ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.

5) Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian

ASI eksklusif.

Page 26: Review Jurnal

6) Mempersiapkan peranan ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran

bagi bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal.

b. Standar Minimal Pelayanan Antenatal

Pelayanan antenatal mencakup banyak hal namun dalam penerapan

operasional dikenal standar minimal “7T” yang terdiri dari:12

1) Timbang Berat Badan

Selama kehamilan antara 0,3 – 0,5 kg per minggu. Bila dikaitkan

dengan umur kehamilan kenaikan berat badan selama hamil muda ± 1

kg, selanjutnya pada trimester II dan III masing-masing bertambah 5

kg. Pada akhir kehamilan pertambahan berat total adalah 9-12 kg. Bila

ada kenaikan berat badan yang berlebihan perlu dipikirkan kearah

adanya risiko seperti bengkak, kehamilan kembar, hidramnion, dan

anak besar.

2) Ukur Tekanan Darah

Selama hamil tekanan darah dikatakan tinggi bila lebih dari

140/90 mmHg. Bila tekanan darah meningkat, yaitu sistolik 30 mmHg

atau lebih dan atau diastolik 15 mmHg atau lebih. Kelainan ini dapat

berlanjut menjadi preeklamsia dan eklamsia kalau tidak ditangani

dengan tepat.

3) Ukur Tinggi Fundus Uteri

Ukuran tinggi fundus uteri normal adalah sebagai berikut:

12 Minggu : Tinggi fundus uteri 1 – 2 jari diatas symphysis.

16 Minggu : Tinggi fundus uteri pertengahan antara symphysis–pusat.

20 Minggu : Tinggi fundus uteri 3 jari dibawah pusat.

Page 27: Review Jurnal

24 Minggu : Tinggi fundus uteri setinggi pusat.

28 Minggu : Tinggi fundus uteri 3 jari diatas pusat.

32 Minggu : Tinggi fundus uteri pertengahan pusat-Proc.xyphoideus.

36 Minggu : Tinggi fundus uteri 3 jari dibawah Proc.xyphoideus.

40 Minggu : Tinggi fundus uteri pertengahan antara Proc.xyphoideus-

pusat

4) Pemberian Imunisasi TT

Pemberian TT baru akan menimbulkan efek perlindungan apabila

diberikan sekurang-kurangnya dua kali dengan interval minimal 4

minggu. Kecuali jika sebelumnya ibu pernah mendapat TT dua kali

pada kehamilan yang lalu atau pada masa calon pengantin maka TT

cukup diberikan satu kali saja. Dosis pemberian imunisasi TT yaitu 0,5

cc IM pada lengan atas. Adapun syarat pemberian imunisasi TT adalah

sebagai berikut :

a) Bila ibu belum pernah mendapat imunisasi TT atau meragukan

diberikan II sedini mungkin sebanyak dua kali dengan jarak minimal

dua minggu.

b) Bila ibu pernah mendapat imunisasi TT dua kali, diberikan suntikan

ulang/boster satu kai pada kunjungan antenatal yang pertama.

5) Pemberian Tablet Zat Besi

Pada dasarnya pemberian tablet zat besi dimulai dengan

pemberian satu tablet sehari sesegera mungkin setelah rasa mual hilang.

Tiap tablet mengandung FeSO4 320 mg (zat besi 60 mg) dan asam folat

500 ug, minimal 90 tablet. Tablet besi sebaiknya tidak diminum

Page 28: Review Jurnal

bersama kopi atau teh karena akan mengganggu penyerapan. Sebaiknya

tablet besi diminum bersama air putih ataupun air jeruk. Selain itu perlu

diberitahukan juga bahwa ada kemungkinan tinja menjadi berwarna

hitam setelah ibu minum obat ini, hal tersebut adalah normal.

6) Tes Terhadap Penyakit Menular Seksual

Selama kehamilan, ibu perlu dilakukan tes terhadap penyakit

menular seksual seperti HIV/AIDS, Gonorrhoe, Siphilis. Hal tersebut

dikarenakan sangat berpengaruh pada janin yang dikandungnya.

Apabila ditemukan penyakit – penyakit menular seksual harus segera

ditangani.

7) Temu Wicara

Persiapan rujukan perlu disiapkan karena kematian ibu dan bayi

disebabkan keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan

kesehatan. Perlu diingat juga bahwa pelayanan antenatal hanya dapat

diberikan oleh tenaga kesehatan profesional dan tidak dapat dilakukan

oleh dukun bayi.

BAB III

PEMBAHASAN

Page 29: Review Jurnal

A. Hasil Penelitian

Gawat janin dianggap sebagai salah satu faktor utama kematian bayi

baru lahir. Dalam penelitian ini, karakteristik demografi, komplikasi obstetri

dan hasil kehamilan pada ibu dengan janin yang mengalami kegawatan

dipelajari. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari

gawat janin pada ibu yang tercatat yang menyebabkan peningkatan persalinan

dengan Sectio Caesarea (SC) dan neonatus berat badan lahir rendah dengan

Anemia menjadi kondisi yang paling umum menyebabkan fetal distress

(gawat janin).

Berdasarkan analisis faktor demografi antara ibu dengan kejadian

gawat janin menunjukkan bahwa ibu kelompok usia muda (72.23%; 21-30

tahun) mengalami hipoksia janin dan kegawatan. Penelitian yang dilakukan

oleh Haines et al. telah menyimpulkan tidak ada hubungan antara usia ibu

dan gawat janin. Studi terbaru yang dilakukan oleh Khatoon et al. telah

menunjukkan bahwa salah satu alasan paling umum untuk dilakukan rujukan

pada kasus gawat janin yang tercatat adalah karena aspirasi mekonium.13,14

Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa tindakan SC lebih

tinggi 79,17% pada ibu dengan gawat janin yang disebabkan kelalaian dalam

memahami kondisi pasien. Menurut James (2001) bahwa tindakan SC darurat

untuk kasus gawat janin harus dilakukan secepat mungkin dan idealnya dalam

waktu 30 menit. Namun, studi oleh Nelson et al. telah menyimpulkan bahwa

tingkat positif palsu untuk diagnosis gawat janin sangat tinggi dan

menciptakan sebuah kekhawatiran bahwa, jika indikasi ini digunakan secara

Page 30: Review Jurnal

luas, bedah SC banyak akan dilakukan tanpa manfaat dan dengan potensi

bahaya.15,16

Pada penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kelahiran hidup pada

janin yang mengalami distress sebagian besar terjadi pada ibu dengan usia

kehamilan aterm (63,89%). Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Ananth dan Vintzileos (2006) telah menemukan bahwa kelahiran prematur

pada ibu dengan gawat janin akibat intervensi medis yang dilakukan

menyebabkan iskemik plasenta. Studi lain yang dilakukan pada tahun 2003 di

Uganda telah mengamati sebuah asosiasi antara kejadian asfiksia pada saat

persalinan dengan berat lahir rendah.17,18

Pada penelitian ini ditemukan bahwa anemia merupakan kondisi

obstetri paling umum yang menyebabkan gawat janin (34,73%). Selain

anemia, kondisi lain yang menyebabkan distress pada janin adalah

oligohidramnion (19,45%).

Berbagai faktor seperti usia ibu yang masih muda, kurangnya

kesadaran mengenai penyediaan perawatan antenatal, kurangnya pendidikan

kesehatan, kelalaian dalam diagnosis, masalah ekonomi, factor lingkungan &

budaya, status gizi buruk pada perempuan muda (anemia), kurangnya fasilitas

transportasi mungkin bertanggung jawab dalam menyebabkan hipoksia janin,

asfiksia dan distress janin.

Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan metode retrospektif

sehingga dapat terjadi pengumpulan data yang kurang lengkap. Ini

seharusnya dilakukan dengan cara yang prospektif untuk mendapatkan

Page 31: Review Jurnal

pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang bertanggung jawab

untuk gawat janin.

B. Kesimpulan Penelitian

Diagnosis klinis yang tepat dan upaya peningkatan kesadaran

masyarakat mungkin dapat memainkan peran penting dalam memberikan

pelajaran pada ibu hamil mengenai pentingnya perawatan antenatal.

Konfirmasi gawat janin diduga melalui studi asam basa darah janin

dianjurkan untuk mencegah terlalu tinggi gawat janin.

Page 32: Review Jurnal

BAB IV

KESIMPULAN

1. Gawat janin adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin (kadar

oksigen yang rendah dalam darah)

2. Penyebab yang paling utama dari gawat janin dalam masa antepartum adalah

insufisiensi uteroplasental.

3. Gawat janin dianggap sebagai salah satu faktor utama kematian bayi baru lahir.

Dalam penelitian ini, karakteristik demografi, komplikasi obstetri dan hasil

kehamilan pada ibu dengan janin yang mengalami kegawatan dipelajari.

4. Berdasarkan analisis faktor demografi antara ibu dengan kejadian gawat janin

menunjukkan bahwa ibu kelompok usia muda (72.23%; 21-30 tahun)

mengalami hipoksia janin dan kegawatan.

5. Pada penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kelahiran hidup pada janin yang

mengalami distress sebagian besar terjadi pada ibu dengan usia kehamilan

aterm (63,89%).

6. Diagnosis klinis yang tepat dan upaya peningkatan kesadaran masyarakat

mungkin dapat memainkan peran penting dalam memberikan pelajaran pada

ibu hamil mengenai pentingnya perawatan antenatal.

Page 33: Review Jurnal

DAFTAR PUSTAKA

1. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam:

Ilmu Kebidanan, edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, 2006:1:4-10

2. Cunningham GS, Gant FN, LevvenoKJ, Gillstrap CL, Hauth JC. Williams

obstetrics. 21st ed. New york : McGraw-Hill, 2001;331-360

3. Robert JS,Theodore B. Methods of assessment for pregnancy risk. In: De

cherney AH, Pernoll ML. Current obstetrics & gynecology diagnosis &

treatment 8th ed. Connecticut : Prentice-Hall International, 1994;275-307

4. Steer PJ,Danielian PJ. Fetal Distress in labor In: James DK,Steer PJ,Weiner

CP..High Risk Pregnancy 4th ed. Philadelpia 1996;1077-1100

5. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam:

Ilmu Bedah Kebidanan, edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo, 2006:6:52-60

6. Cleveland. Fetal Distress. Cleveland: Department of Patient Education and

Health Information. 2007. Available at URL:

http://www.clevelandclinic.org/health/health-info/docs/3800/3896.asp?

index=12401 . Access date: December 6th, 2012.

7. Steele, Wanda F., What are the signs of fetal distress? In: SheKnows

Pregnancy and Baby. Pennsylvania. 2007. Available at URL:

http://pregnancyandbaby.com/pregnancy/baby/What-are-the-signs-of-fetal-

distress-5960.htm . Access date: December 6th, 2012.

8. Hayley Willacy. Fetal Disress. UK: PatientPlus. 22 Juni 2007. Available at

URL: http://www.patient.co.uk/showdoc/40000220/ . Access date:

December 6th, 2012

9. Cunningham, Garry F., M. D. et al: Antepartum Assesment, Williams

Obstetrics, 22nd ed, Connecticut: Appleton & Lange, 2002:40:1095-1108

10. Hidayat Wijayanegara. Dalam: Makalah Lengkap Kursus Dasar

Ultrasonografi Kardiotokografi. Malang: RSUD DR. Saiful

Anwar.2002:VIII1-5

Page 34: Review Jurnal

11. Manuaba, Ida Bagus. 2002. Ilmu Kebidanan Penyakit dalam dan Keluarga

Berencana. EGC: Jakarta.

12. Abdul BS, Gulardi HW, Biran A, Djoko W, editor. Buku panduan praktis

pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Ed. 1. Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 2002.

13. C.J. Haines, M.S. Rogers, D.H. Leung, Aust. N Z J. Obstet. Gynaecol.,

1991, 31, 3,209-12.

14. A. Khatoon, S.F. Hasny, S. Irshad, J. Ansari, Pak. J. Surg., 2011,27,4, 304-

8.

15. D. James, BMJ., 2001,322,1316–7.

16. K.B. Nelson, J.M. Dambrosia, T.Y. Ting, J.K. Grether, The New England

Journal of Medicine., 1996, 334,10,613-18.

17. C.V. Ananth, A.M. Vintzileos, American Journal of Obstetrics &

Gynaecology., 2006, 195,6,1557-1563.

18. D. Kaye, East African Medical Journal., 2003,80,3,140-3.