Review Jurnal
description
Transcript of Review Jurnal
KONDISI DI BALIK DISTRESS JANIN1Jaspinder Kaur dan 2Kawaljit Kaur
1Departemen Obstetri dan Ginekologi, Punjab Institute of Medical Sciences,
Jalandhar, Punjab (India) – 144001.2Departemen Biologi, BD Arya Girls College, Jalandhar Cantt, Punjab (India).
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di balik distress janin. Sebuah
studi retrospektif dilakukan di Departemen Obstetri & Ginekologi, Punjab
Institute of Medical Sciences, Jalandhar (Punjab, India). Seratus pasien yang
datang ke departemen (tercatat dan tidak tercatat) sejak April 2012 sampai Juni
2012, sebanyak tujuh puluh dua pasien mengalami distress janin dan dianggap
sebagai subyek penelitian. Kuesioner terstruktur dikembangkan pada saat
antepartum, intrapartum dan postpartum kehamilan dengan rincian data berupa
variabel demografi, riwayat persalinan, outcome maternal dan neonatal
dieksplorasi. Mayoritas distress janin terlihat pada pasien dengan status antenatal
tidak tercatat (61.12%) dan pada usia muda (72.23%; thn 21-30). Ibu yang
mengalami anemia (34,73%) memiliki insidensi tertinggi dari kejadian distress
janin. Berbagai kondisi lain dalam urutan menurun adalah; Oligohidramnion
(19,45%), Hipertensi yang dipicu kehamilan (18,06%), Pertumbuhan Janin
Terhambat (18,06%), Tercemar oleh cairan mekonium (16,67%), persalinan
preterm (16,67%), Ketuban Pecah Dini (12,50%), serotinus (12,50%), Plasenta
previa (09.73%), insufisiensi uteroplasenta (06.95%), True Nuchal Knot
(06.95%), Persalinan Macet (05.56%) dan Diabetes Mellitus Gestational
(02.78%). Distress janin telah mengakibatkan peningkatan persalinan dengan
Sectio Caesarea (79,17%) dan Berat Badan Lahir Rendah (52,78%). Pemeriksaan
prakonsepsi dan kampanye kesadaran masyarakat dapat memainkan peran penting
dalam mengajarkan wanita tentang pentingnya perawatan antenatal dan status
pemesanan awal. Konfirmasi dugaan distress janin melalui pemeriksaan asam
basa darah janin dianjurkan untuk mencegah terlalu tingginya kasus gawat janin
atau kesalahan interpretasi pola denyut jantung janin.
Kata Kunci: Anemia, Sectio Caesarea, Distress Janin, Neonatus Berat Lahir
Rendah, Status perawatan antenatal tidak tercatat
PENDAHULUAN
Wilayah Asia Tengah bagian Selatan yang terdiri dari India, Bangladesh dan
Pakistan memiliki populasi anak-anak terbesar kedua di dunia. Dari ketiga negara,
hanya Bangladesh yang telah mengurangi kematian balita hampir setengah dari
tahun 1990 ke tahun 2002, dengan rata-rata tingkat penurunan tahunan sebesar
5,2%. Sebaliknya, India dan Pakistan masih tertinggal dalam mengurangi tingkat
kematian anak di bawah tingkat pada tahun 1990 [1]. Kemajuan India tidak
memuaskan dalam mengurangi kematian bayi dan anak sesuai dengan data yang
ditetapkan oleh Millenium Development Goal untuk melacak tingkat
kelangsungan hidup ibu dan anak [2]. India menarik karena beberapa alasan.
Pertama, tingkat kematian neonatalnya merupakan yang tertinggi di dunia (43 per
1000 kelahiran hidup) [3]. Kedua, meskipun terdapat peningkatan luas dalam
akses terhadap kesehatan dan gizi, terdapat stagnasi dalam penurunan angka
kematian anak di beberapa bagian negara selama dekade terakhir [4,5].
Distress janin adalah istilah yang digunakan secara luas namun tidak terdefinisi
secara baik. Kebingungan akan definisi ini menyebabkan kesulitan dalam
membuat diagnosis yang akurat dan dalam memulai pengobatan yang tepat. Janin
bereaksi pada awal asfiksia dengan serangkaian respons yang luar biasa, terutama
redistribusi aliran darah secara kompleks yang berfungsi untuk membatasi efek
kerusakan karena keterbatasan oksigen di dalam organ-organ vital. Hal ini
memungkinkan janin untuk bertahan hidup pada kondisi asfiksia kecuali keadaan
tersebut terjadi lebih dalam atau berkepanjangan. Stress asfiksia paling umum
yang mengenai janin selama persalinan adalah ketidakcukupan aliran darah di
uterus, atau ketidakcukupan aliran darah tali pusat, dan kadang-kadang penurunan
oksigenasi arteri uterina. Penurunan atau hilangnya variabilitas dalam pola denyut
jantung janin adalah tanda bahwa kompensasi fisiologis kewalahan akibat
keparahan asfiksia [6]. Istilah gawat janin dan asfiksia janin sering keliru
digunakan secara bergantian. Asfiksia mengacu pada asidosis akibat hipoksia
progresif dalam uterus. Namun, Denyut Jantung Janin (DJJ) dapat mendeteksi
episode hipoksia baik sebelum perkembangan asfiksia. The American College of
Obstetricians and Gynecologists baru-baru ini memperkenalkan frase denyut
jantung janin nonreassuring yang bertentangan dengan gawat janin [7].
Hasil dari hipoksemia menyebabkan peningkatan tekanan darah janin akibat
penyempitan pembuluh darah perifer janin dan lebih lanjut akan memperlambat
denyut jantung janin dan toleransi pernapasan. Selama hipoksemia sedang, aliran
darah didistribusikan ke otak, jantung dan kelenjar adrenal dengan mengorbankan
organ perifer (paru-paru, kulit, dll.). Selama hipoksemia berkepanjangan, aliran
darah ke batang otak dipertahankan dan bahkan lebih besar daripada di daerah
otak lainnya. Aktivitas neuronal dari batang otak dan pusat otonom penting untuk
kelangsungan hidup janin. Sebagai kemajuan hipoksia, glukosa dimetabolisme
secara anaerob, konsentrasi laktat meningkat, dan konsentrasi energi tinggi fosfat
berkurang di otak besar. Ketika metabolisme otak akhirnya telah menurun,
membran neuronal terdepolarisasi, kanal gerbang Ca+2 terbuka dan perpindahan
Ca+2 ke dalam sitoplasma meningkat. Perubahan ini mengakibatkan kematian
neuronal. Glutamat, radikal oksigen dan zat-zat lain dianggap terlibat dalam
peningkatan masuknya Ca+2. Studi-studi menunjukkan bahwa rangsangan hipoksia
harus dihindari pada janin dengan kondisi kronis yang memburuk untuk
pencegahan kerusakan otak janin yang tidak diketahui [8].
Motivasi untuk memantau janin selama kehamilan adalah untuk mengenali
kondisi patologis, biasanya asfiksia, dengan peringatan yang cukup untuk
memungkinkan intervensi oleh dokter sebelum perubahan yang irreversibel
terjadi. Berbagai metode dihadirkan untuk memantau status janin baik saat
antepartum dan intrapartum. Penilaian janin saat antepartum dapat dilakukan
dengan menghitung gerakan janin, Non-Stress Test, Contraction Stress Test, Profil
Biofisik, pemeriksaan Arteri Uterina maternal dengan Doppler, pemeriksaan
Arteri umbilikal janin dengan Doppler. Auskultasi intermiten selama persalinan,
pemantauan janin dengan alat elektronik, Digital Fetal Scalp Stimulation,
Sampling darah kulit kepala janin, Analisis Gas Darah Umbilikalis, dll dapat
digunakan untuk penilaian janin intrapartum [9].
Pemantauan DJJ intrapartum dengan alat elektronik diperkenalkan pada tahun
1960-an sebagai deteksi dini untuk asfiksia yang cukup parah yang dapat
menyebabkan kerusakan neurologis atau kematian janin. Percobaan tanpa kontrol
yang dilakukan pada 1970-an menunjukkan penurunan lebih dari tiga kali lipat
dalam kematian janin intrapartum dengan penggunaan pemantauan DJJ [10].
Hasil positif tersebut memicu antusiasme klinis, sehingga pemantauan DJJ
menjadi umum dilakukan sebelum evaluasi kritis. Sejumlah uji coba terkontrol
secara acak yang telah diikuti pada tahun 1970-an dan 1980-an, namun gagal
untuk menunjukkan manfaat yang signifikan dari pemantauan FHR
[11,12,13,14,15]. Uji coba terbesar [16] menunjukkan penurunan sebesar 55%
dalam kejang neonatal transient. Namun, tidak ada perbedaan dalam insidensi
kejadian cerebral palsy pada evaluasi tindak lanjut selama empat tahun [17,18].
Seiring dengan manfaat dipertanyakan, percobaan acak juga menunjukkan dua
sampai tiga kali lipat peningkatan dalam tingkat sectio caesar
[11,12,13,14,15,16,18].
Pemantauan DJJ Elektronik memiliki berbagai keuntungan dan dengan demikian
tetap menjadi modalitas pilihan untuk unit kebidanan. Hal tersebut termasuk
kemampuan untuk memahami mekanisme perkembangan hipoksia dengan
pengenalan pola, kemampuan untuk menilai respon janin terhadap hipoksia
dengan mengevaluasi reaktivitas atau variabilitas, dan kemampuan untuk
memantau kontraksi uterus dan DJJ [19]. Manfaat dari pemantauan denyut
jantung janin selanjutnya dievaluasi dengan membandingkan hasil perinatal. Studi
memberikan bukti bahwa pemantauan DJJ meningkatkan deteksi janin dengan
persalinan yang berisiko tinggi [20,21]. Namun pemantauan DJJ memiliki
beberapa kelemahan. Dua hal yang paling penting adalah adalah peningkatan
sectio caesaria (CSS) yang berhubungan dengan reaksi berlebihan, atau salah
tafsir, pola DJJ dan peningkatan besar dalam litigasi malpraktik medikolegal
karena bayi mengalami kerusakan otak dan mati otak akibat kesalahan interpretasi
saat pemantauan DJJ secara elektronik [12, 22, 23].
Penelitian ini dirancang untuk menentukan kondisi yang bertanggung jawab
terhadap distress pada janin bersama dengan variabel demografi, riwayat obstetri,
hasil maternal dan neonatal.
BAHAN DAN METODE
Semua pasien dengan distress janin yang masuk melalui Unit Gawat Darurat atau
Departemen Rawat Jalan sejak bulan April 2012 sampai Juni 2012 secara
retrospektif diteliti di Departemen Obstetri dan Ginekologi dari Punjab Institute of
Medical Sciences (PIMS), Jalandhar (Punjab, India). PIMS yang merupakan pusat
perawatan tersier yang memiliki sejumlah besar pasien rujukan dari pusat
perawatan primer dan sekunder di kota maupun dari pinggiran. Seratus
perempuan dikirim ke PIM selama masa penelitian dengan tujuh puluh dua pasien
diantaranya mengalami distress janin dan dijadikan subjek penelitian. Kuesioner
terstruktur dikembangkan pada saat antepartum, intrapartum dan postpartum
kehamilan dan diberikan kepada subjek penelitian. Sebuah persetujuan lisan
diperoleh dari subjek sebelum wawancara pasca pengiriman dan catatan data
dicantumkan pada kuesioner yang dirancang untuk tujuan ini. Penelitian ini
mendapat izin etis dari komite etik.
Rincian variabel demografi, riwayat obstetri, hasil maternal dan neonatal diteliti.
Variabel demografi mencakup usia, status sosial ekonomi dan status pemesanan
(pencatatan). Pasien yang telah tiga kali melakukan perawatan antenatal yang
disebut sebagai pasien yang telah memesan (tercatat) dan pasien dengan
kunjungan perawatan antenatal kurang dari tiga kali disebut sebagai pasien yang
tidak memesan (tidak tercatat). Riwayat obstetri termasuk status paritas, kesehatan
ibu sebelum & selama kehamilan, peristiwa klinis signifikan pada kehamilan
sebelumnya dan informasi rinci mengenai komplikasi yang terjadi saat
intrapartum atau postpartum. Paritas dikelompokkan sebagai Primiparity dan
multiparitas. Hasil ibu yang dicatat meliputi cara persalinan, kejadian anemia,
perdarahan postpartum dan kematian ibu. Hasil neonatal seperti usia kehamilan,
berat lahir, kematian perinatal, dan lain-lain juga didokumentasikan. Investigasi
dilakukan pada semua wanita, termasuk hitung darah lengkap, analisis urin, gula
darah acak, pengelompokan darah, HIV, Hepatitis C dan B Hepatitis antigen,
perdarahan & waktu pembekuan dan ultrasonografi dasar. Investigasi khusus yang
dilakukan sesuai dengan gangguan medis yang dimiliki setiap pasien.
Penelitian ini diselenggarakan untuk menentukan kondisi yang berhubungan
dengan kelainan denyut jantung janin yang menyebabkan distress janin bersama
dengan variabel demografi, riwayat obstetri, hasil ibu dan hasil neonatal.
HASIL
Tabel 1 menggambarkan variabel demografis antara wanita hamil yang
mengalami distress janin. 38,89% dan 33,34% dari ibu-ibu yang mengalami
distress janin berada dalam rentang usia 21-25 tahun dan 26-30 tahun, masing-
masing. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar usia 21-30 tahun dari
kelompok umur (72.23%). Mayoritas ibu dengan distress janin berada dalam skala
sosial ekonomi menengah (65.28%). Insiden yang lebih tinggi dari distress janin
terlihat pada ibu dengan perawatan antenatal yang tidak tercatat (61.12%) bila
dibandingkan dengan ibu yang tercatat (38,89%). Prevalensi Distress janin sama
di antara kedua ibu primipara dan multipara (50,00%).
TABEL 1: VARIABEL DEMOGRAFI ANTARA IBU HAMIL
Kategori Persentase (%) Jumlah SubyekUsia (tahun)
<20 12.50 0921-25 38.89 2826-30 33.34 24>30 15.28 11
Status Sosio-EkonomiRendah 18.06 13Sedang 65.28 47Tinggi 16.67 12
Pemeriksaan AntenatalTercatat 38.89 28
Tidak Tercatat 61.12 44Paritas
Primipara 50.00 36Multipara 50.00 36
Tabel 2 menyajikan 'hasil acara' kehamilan dengan usia kehamilan saat
melahirkan, cara persalinan dan berat lahir neonatus. 63,89% dari ibu-ibu dengan
distress janin melahirkan di usia kehamilan 'TERM' sementara 23,62% dan
12,50% dari ibu yang melahirkan di usia kehamilan 'preterm' dan 'postterm'.
Mayoritas ibu dengan Distress janin (52,78%) memiliki bayi dengan berat badan
lahir rendah (<2,5 kg) sedangkan, 47.23% ibu memiliki bayi dengan berat badan
yang sesuai (> 2.5kg). Operasi sectio caesar darurat didapatkan pada 79,17% dari
ibu dengan distress janin, 20,84% pada ibu dengan persalinan pervaginam.
TABEL 2: EVENT HASIL ANTARA WANITA HAMIL
Kategori Persentase (%) Jumlah SubyekUsia Gestasi
Preterm 23.62 17Term 63.89 46
Post-Term 12.50 09Berat Lahir
< 2.5 kg 52.78 38> 2.5 kg 47.23 34
Jenis PersalinanPer vaginam 20.84 15
Sectio Caesarea (SC) 79.17 57
Prevalensi kondisi obstetri bertanggung jawab terhadap terjadinya Distress janin
terlihat pada Tabel 3. Anemia terkait dengan peningkatan insidensi Distress janin
(34,73%). Oligohidramnion, Hipertensi yang diinduksi kehamilan dan
Pertumbuhan Janin Terhambat bertanggung jawab atas Distress janin pada
19,45%, 18,06% dan 18,06%. Berbagai kondisi obstetri lainnya dalam urutan
menurun adalah; Meconium Stained Amniotic Fluid (16,67%), Preterm Labour
with Scar Tenderness (16,67%), Ketuban Pecah Dini (12,50%), Persalinan
Serotinus(12,50%), Plasenta previa (09.73% ), insufisiensi uteroplasenta
(06.95%), True Nuchal Knot (06.95%), Partus macet (05.56%) dan Diabetes
mellitus Gestational (02.78%).
Tabel 3: PREVALENSI KONDISI OBSTETRI DIBALIK GAWAT JANIN
Kondisi Obstetri Persentase (%) Jumlah SubyekAnemia 34.73 25Oligohidramnion 19.45 14
Hipertensi diinduksi kehamilan 18.06 13Pertumbuhan Janin Terhambat 18.06 13Cairan Ketuban Bercampur Mekonium
16.67 12
Preterm Labour with Scar Tenderness
16.67 12
Ketuban Pecah Dini 12.50 09Persalinan Serotinus 12.50 09Plasenta Previa 09.73 07Insufisiensi Uteroplasenta 06.95 05True Nuchal Knot 06.95 05Persalinan Macet 05.56 04Diabetes Mellitus Gestasional 02.78 02
PEMBAHASAN
Perawatan kesehatan neonatal berkaitan dengan kondisi bayi yang baru lahir dari
lahir sampai usia 4 minggu (28 hari). Dua pertiga kematian bayi di India terjadi
pada bulan pertama kehidupan, sekitar tiga-perempat dari kematian neonatal India
terjadi dalam satu minggu pasca persalinan, sementara 90% terjadi dalam 2
minggu pertama kehidupan [24]. Distress janin mungkin dianggap sebagai salah
satu faktor di balik hasil yang buruk dari neonatus atau bayi atau anak. Dalam
penelitian ini, dipelajari tentang karakteristik demografi, komplikasi obstetri dan
hasil kehamilan pada ibu dengan distress janin. Hasil penelitian menunjukkan
angka distress janin yang lebih tinggi pada ibu dengan perawatan antenatal yang
tidak tercatat (ANC kurang dari tiga kali) yang menyebabkan peningkatan
kejadian sectio caesar dan neonatus dengan berat badan lahir rendah, dengan
Anemia sebagai kondisi yang paling umum di balik kejadian distress janin.
Analisis faktor demografi (Tabel 1) di antara ibu dengan distress janin telah
menunjukkan bahwa ibu kelompok usia muda (72.23%; thn 21-30) mengalami
hipoksia janin dan distress. Tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Haines et al.
[25] menyimpulkan tidak terdapat hubungan antara usia ibu dan distress janin.
Penelitian yang kami lakukan telah menunjukkan hasil yang sama tentang
insidensi distress janin baik pada ibu primipara maupun multipara (50,00%).
Namun, sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hasyim et al. [26]
menunjukkan sebuah hubungan antara primiparitas dengan distress janin.
Mengenai status pencatatan, distress janin lebih banyak terjadi pada ibu yang
tidak teratur atau tidak pernah melakukan perawatan antenatal (61.12%),
dibandingkan dengan ibu yang rutin melakukan kunjungan di klinik perawatan
antenatal (38,89%). Penelitian terbaru oleh Khatoon et al. [27] menunjukkan
bahwa salah satu alasan paling umum untuk merujuk ibu hamil dengan riwayat
antenatal tidak tercatat adalah gawat janin akibat aspirasi mekonium. Tingkat
prevalensi yang tinggi akan asfiksia saat lahir karena distress janin sebelum
persalinan yang terjadi pada ibu dengan perawatan antenatal yang tidak tercatat
telah dilaporkan oleh berbagai penulis dalam berbagai penelitian [28,29,30]. Hal
ini menunjukkan bahwa usia muda dan perawatan antenatal yang tidak tercatat
mungkin telah membatasi mereka dari melakukan perawatan antenatal pada usia
kehamilan muda atau sampai pengembangan komplikasi obstetri yang telah
menyebabkan hipoksia dan distress janin antepartum atau intrapartum.
Penelitian ini (Tabel 2) telah menunjukkan insidensi yang lebih tinggi terhadap
tindakan sectio caesaria (79,17%) pada ibu dengan distress janin yang konsisten
dengan hasil berbagai penelitian [12,23]. Hal tersebut dapat terjadi karena
kelalaian memahami keseriusan kondisi pasien, kendala keuangan, sistem rujukan
dan ketersediaan non transportasi untuk memindahkan pasien ke pusat perawatan
tersier yang membuat kondisi antara ibu unbooked dengan Distress janin lebih
rumit sehingga bagian Darurat caesar dalam rangka untuk menjaga kehidupan ibu
dan janin. Darurat bagian caesar juga membantu untuk mengurangi atau
mengontrol pengaruh hipoksia dan asfiksia pada janin. Telah disimpulkan oleh
James [31] bahwa bagian caesar darurat untuk gawat janin harus dilakukan
secepat mungkin dan idealnya dalam waktu 30 menit, namun kita tidak boleh
menganggapnya sebagai perawatan kebidanan miskin jika dibutuhkan beberapa
menit lagi. Studi lain oleh Dunphy et al. [32] telah menyarankan bahwa interval
pendek dari keputusan untuk pengiriman mungkin penting jika kondisi neonatal
yang optimal harus dicapai. Namun, studi oleh Nelson et al. [33] telah
menyimpulkan bahwa tingkat positif palsu untuk diagnosis gawat janin sangat
tinggi dan membangkitkan kekhawatiran bahwa, jika indikasi secara luas
digunakan, bedah sesar banyak akan dilakukan tanpa manfaat dan dengan potensi
bahaya.
Mengenai hasil neonatal, kebanyakan kelahiran hidup pada ibu dengan janin
Distress berada di 'TERM' (63,89%). Namun, sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Ananth dan Vintzileos [34] telah menemukan kelahiran prematur pada ibu
dengan gawat janin akibat intervensi medis dilakukan untuk kondisi plasenta
iskemik. Ketika analisis subkelompok lanjut dilakukan mengenai berat badan
bayi, insiden yang lebih tinggi dari neonatus berat lahir rendah (<2,5 kg) sudah
diketahui antara ibu dengan janin Distress (52,78%). Coutinho et al. [35] baru-
baru ini melaporkan hubungan antara berat lahir rendah dan pola nonreassuring
dari denyut jantung janin. Studi lain yang dilakukan pada tahun 2003 di Uganda
[36] telah mengamati sebuah asosiasi asfiksia lahir dengan berat lahir rendah.
Anemia (Tabel 3) ditemukan menjadi kondisi obstetri yang paling umum di balik
Distress janin (34,73%) yang memiliki konsisten dengan penulis lain [36,37].
Mereka melaporkan komplikasi janin dan neonatal berbagai kalangan ibu dengan
antepartum atau intrapartum anemia. Kondisi di mana penurunan cairan ketuban
hadir sekitar janin disebut 'Oligohidramnion' (19,45%) dan juga ditemukan
bertanggung jawab atas Distress janin yang telah disarankan oleh penulis lain
[38,39,40,41]. Hipertensi diinduksi kehamilan (18,06%) telah menyebabkan
Distress janin dalam penelitian kami. Hasil yang sama telah disarankan oleh
peneliti lain [42,43] yang menyimpulkan nyata gerakan janin berkurang pada ibu
hamil hipertensi sebagai tanda Distress janin. Janin dengan Retardasi
Pertumbuhan intrauterine (IUGR) telah menunjukkan non-meyakinkan denyut
jantung janin dalam pekerjaan kami (18,06%). Kramer et al. [44] telah
melaporkan kecenderungan peningkatan Distress janin dengan keparahan IUGR
progresif. Cairan ketuban mekonium bernoda dikaitkan dengan Distress janin
dalam penelitian kami (16,67%). Telah juga didukung oleh penulis lain [45,46]
yang menyimpulkan cairan ketuban mekonium bernoda sebagai indikator untuk
status janin yang negatif. Penelitian kami telah mengamati Distress janin pada ibu
dengan Buruh prematur dengan kelembutan parut (16,67%) yang ditemukan oleh
penulis lain [47].
Ibu yang memiliki Pecahnya prematur prematur Membran (PPROM) lebih
berpengalaman kelainan jantung janin tingkat (12,05%). Moberg et al. [48] telah
menyarankan peningkatan insiden Distress janin pada pasien dengan PPROM
karena hilangnya perlindungan tali pusat yang cairan ketuban biasanya
menyediakan. Kehamilan dimundurkan (> 40 minggu usia kehamilan) telah
menyebabkan non-meyakinkan denyut jantung janin (12,50%) yang telah juga
menyimpulkan oleh James et al. [49] dalam studi mereka. Distress janin (09.73%)
ditemukan pada ibu dengan lokasi abnormal plasenta (plasenta previa) dalam
penelitian kami [50]. Janin dengan kabel nuchal yang benar (06.95%) sudah
berpengalaman dalam rahim-hipoksia dan kesusahan. Begum et al. [51] telah
menyimpulkan tali nuchal yang benar sebagai tanda gawat janin dalam studi
mereka, tetapi tidak dianggap sebagai indikasi untuk pengiriman operasi. Namun,
studi yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Geidam et al. [52] tidak menemukan
perbedaan yang signifikan antara kasus dan kontrol dari gawat janin dalam hal
usia, paritas, status pemesanan, keberadaan kondisi obstetri, durasi operasi dan
berat lahir bayi.
Distress janin didiagnosis dengan menggunakan DJJ dan terdapatnya mekonium.
Namun, metode yang akurat untuk penegakkan diagnosis distress janin adalah
dengan melakukan estimasi pH darah dari kulit kepala janin yang dianggap
sebagai baku emas penilaian kesejahteraan janin, tetapi tidak dilakukan pada
penelitian kami. Sebuah pemantauan cardiotocography diketahui melebih-
lebihkan distress janin [53]. Hal ini menunjukkan bahwa metode skrining yang
digunakan untuk membuat diagnosis distress janin memiliki keterbatasan
tersendiri [54]. Namun, respon pertama ketika diduga atau dideteksi terjadi
distress janin adalah resusitasi intrauterin yang akan memperbaiki kondisi janin
dan dapat membantu untuk menghindari intervensi yang tidak perlu. Perubahan
posisi ibu, hidrasi, oksigen, pemberian dekstrosa hipertonik intravena,
Amnioinfusion, tokolisis, dll [22] adalah beberapa langkah yang dapat digunakan
untuk resusitasi. Namun, dalam beberapa kasus distress janin, operasi yang
dilakukan secepat mungkin menjadi satu-satunya pilihan untuk memastikan
bahwa neonatus sehat.
Berbagai faktor seperti usia muda, kurangnya kesadaran mengenai penyediaan
perawatan antenatal, kurangnya pendidikan kesehatan, kelalaian, kendala
keuangan, prasangka lingkungan & budaya, keterlibatan laki-laki dalam
perawatan kesehatan ibu, status gizi buruk pada perempuan muda (anemia),
kurangnya fasilitas transportasi, tidak adanya konseling kepada pasien tentang
perencanaan persalinan mungkin bertanggung jawab atas pencatatan perawatan
antenatal yang terlambat dengan dekompensasi terhadap kondisi obstetri yang
menyebabkan hipoksia janin, asfiksia dan distress.
Keterbatasan penelitian ini adalah pengumpulan data dengan metode retrospektif
yang mungkin dapat melewatkan beberapa informasi yang penting. Penelitian ini
seharusnya dilakukan dengan metode prospektif untuk menghasilkan pemahaman
yang lebih baik tentang faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap distress
janin.
KESIMPULAN
Anggapan klinik dan kampanye kesadaran masyarakat mungkin memainkan peran
penting dalam mendidik ibu hamil mengenai pentingnya perawatan antenatal dan
status perawatan awal. Konfirmasi dugaan distress janin melalui pemeriksaan
asam basa darah janin dianjurkan untuk mencegah terlalu tingginya kejadian
distress janin atau salah tafsir pola denyut jantung janin.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut WHO, tujuan pelayanan kebidanan adalah menjamin agar
setiap wanita hamil dan wanita yang menyusui bayinya dapat memelihara
kesehatannya secara sempurna agar wanita hamil melahirkan bayi sehat tanpa
gangguan apapun dan kemudian dapat merawat bayinya dengan baik. Oleh
karena itu, para tenaga medis dituntut untuk mampu mengenali dengan cepat
serta menangani keadaan-keadaan yang dinilai dapat membahayakan ibu
maupun janin.1
Umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik-buruknya suatu
pelayanan ostetri dalam suatu negara atau daerah adalah kematian maternal,
namun sekarang kematian bayi dianggap sebagai ukuran yang lebih baik serta
lebih peka untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan. Angka kematian bayi
di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 350 per 10.000 kelahiran hidup.1
Gawat janin merupakan suatau kondisi yang serius dan membutuhkan
perhatian yang lebih intensif. Istilah gawat janin masih terlalu luas dan samar
untuk diinterprestasikan dengan berbagai situasi klinik, Ketidakjelasan dari
diagnosis ini didasarkan atas interpretasi dari pola denyut jantung janin yang
telah memberikan deskripsi seperti Reassuring dan non reassuring.
Reassuring adalah keadaan gawat janin dimana janin dapat kembali normal
sementara non reassuring adalah suatu keadaan dimana keadaan janin tetap
meragukan.2,3,4
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya gawat janin
2. Untuk mengetahui pemeriksaan-pemeriksaan dalam mendiagnosis gawat
janin
3. Untuk mengetahui perkembangan terbaru dalam mendeteksi gawat janin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Gawat janin adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin
(kadar oksigen yang rendah dalam darah). Keadaan tersebut dapat terjadi baik
pada antepartum maupun intrapartum.5
2. ETIOLOGI
Gawat janin dapat disebabkan oleh bermacam-macam hal. Beberapa
penyebab yang umum dan sering terjadi:6
- Kontraksi
Pengencangan otot uterus secara involunter untuk melahirkan bayi.
Kontraksi secara langsung mengurangi aliran darah ke plasenta dan dapat
mengkompresi tali pusat sehingga penyaluran nutrisi terganggu. Hal ini
dapat terjadi pada keadaan:
o persalinan yang lama ( kala II lama)
o penggunaan oksitosin
o uterus yang hipertonik ( otot-otot menjadi terlalu tegang dan tidak dapat
berkontraksi ritmis dengan benar)
- Infeksi
- Perdarahan
- Abrupsi plasenta
- Prolaps tali pusat
- Hipotensi
Bila tekanan darah ibu menurun selama persalinan, jumlah aliran darah ke
fetus akan berkurang. Hipotensi dapat disebabkan oleh:
o anestesi epidural
o posisi supine
Hal tersebut terjadi karena adanya pengurangan jumlah aliran darah dari
vena cava ke jantung.
- Masalah pernafasan janin
- Posisi dan presentasi abnormal dari fetus
- Kelahiran multipel
- Kehamilan prematur atau postmatur
- Distosia bahu
Penyebab yang paling utama dari gawat janin dalam masa antepartum
adalah insufisiensi uteroplasental. Faktor yang menyebabkan gawat janin
dalam persalinan/ intrapartum adalah kompleks, contohnya seperti: penyakit
vaskular uteroplasental, perfusi uterus yang berkurang, sepsis pada janin,
pengurangan cadangan janin, dan kompresi tali pusat. Pengurangan jumlah
cairan ketuban, hipovolemia ibu dan pertumbuhan janin terhambat diketahui
mempunyai peranan.6
3. PATOFISIOLOGI
Kontrol fisiologi dari denyut jantung janin meliputi suatu
keanekaragaman dari mekanisme interkoneksi yang tergantung dari aliran
darah oksigenasi. Lebih lanjut aktivitas dari mekanisme kontrol fisiologi ini
mempengaruhi kondisi oksigenasi janin, seperti terjadinya suatu insufisiensi
plasenta yang kronis, dimana janin yang dihubungkan dengan tali pusat akan
mengalami resiko kekurangan oksigen, yang akan membutuhkan suatu
mekanisme alami dari janin untuk bertahan, dan lebih lanjut pada saat
persalinan akan menambah keasaman darah.1,5
Dahulu diperkirakan bahwa janin mempunyai tegangan oksigen yang
lebih rendah karena ia hidup dalam lingkungan hipoksia dan asidosis kronis.
Tetapi pemikiran itu tidak benar karena bila tidak ada tekanan, janin hidup
dalam lingkungan yang sesuai dan dalam kenyataanya konsumsi oksigen per
gram berat badan sama dengan orang dewasa. Meskipun tekanan oksigen
parsial rendah, penyaluran oksigen pada jaringan tetap memadai.1,5
Afinitas terhadap oksigen, kadar hemoglobin dan kapasitas angkut
oksigen pada janin lebih besar dari orang dewasa. Demikian juga halnya
dengan curah jantung dan kecepatan arus darah lebih besar daripada orang
dewasa. Dengan demikian penyaluran oksigen melalui plasenta kepada janin
dan jaringan perifer dapat terselenggara dengan baik. Sebagai hasil
metabolisme oksigen akan berbentuk asam piruvat, CO2 dan air di
ekskresikan melalui plasenta. Bila plasenta mengalami penurunan fungsi
akibat dari perfusi ruang intervili yang berkurang, maka penyaluran oksigen
dan ekskresi CO2 akan terganggu yang berakibat penurunan PH atau
timbulnya asidosis. Hipoksia yang berlangsung lama menyebabkan janin
harus mengolah glukosa menjadi energi melalui reaksi anaerobik yang tidak
efisien, bahkan menimbulkan asam organik yang menambah asidosis
metabolik. Pada umumnya asidosis janin disebabkan oleh gangguan arus
darah uterus atau arus darah tali pusat.1,5
Bradikardia janin tidak harus berarti merupakan indikasi kerusakan
jaringan akibat hipoksia, karena janin mempunyai kemampuan redistribusi
darah bila terjadi hipoksia, sehingga jaringan vital akan menerima penyaluran
darah yang lebih banyak dibandingkan jaringan perifer. Bradikardi mungkin
merupakan mekanisme perlindungan agar jantung bekerja lebih efisien
sebagai akibat dari hipoksia.1,5
4. TANDA DAN GEJALA
Gejala yang dirasakan oleh ibu adalah berkurangnya gerakan janin.
Ibu dapat melakukan deteksi dini dari gawat janin ini, dengan cara
menghitung jumlah tendangan janin/’kick count’. Janin harus bergerak
minimal 10 gerakan dari saat makan pagi sampai dengan makan siang. Bila
jumlah minimal sebanyak 10 gerakan janin sudah tercapai, ibu tidak harus
menghitung lagi sampai hari berikutnya. Hal ini dapat dilakukan oleh semua
ibu hamil, tapi penghitungan gerakan ini terutama diminta untuk dilakukan
oleh ibu yang beresiko terhadap gawat janin atau ibu yang mengeluh terdapat
pengurangan gerakan janin. Bila ternyata tidak tercapai jumlah minimal
sebanyak 10 gerakan maka ibu akan diminta untuk segera datang ke RS atau
pusat kesehatan terdekat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.7
Tanda-tanda gawat janin:6,8
Mekonium kental berwarna hijau terdapat di cairan ketuban pada letak
kepala
Takikardi/ bradikardi/ iregularitas dari denyut jantung janin
Untuk mengetahui adanya tanda-tanda seperti di atas dilakukan pemantauan
menggunakan kardiotokografi
Asidosis janin
Diperiksa dengan cara mengambil sampel darah janin.
a. Mekonium
Adanya mekonium saja tidak mampu untuk menegakkan suatu
diagnosis gawat janin. Mekonium adalah cairan berwarna hijau tua yang
secara normal dikeluarkan oleh bayi baru lahir mengandung mukus,
empedu, dan sel-sel epitel. Bagaimanapun, dalam beberapa hal, mekonium
dikeluarkan dalam uterus mewarnai cairan ketuban. Adanya mekonium
pada cairan amnion lebih sering terlihat saat janin mencapai maturitas dan
dengan sendirinya bukan merupakan tanda-tanda gawat janin. Mekonium
dapat mewarnai cairan ketuban dalam beberapa tingkat, mulai dari
mewarnai ringan sampai dengan berat. Adanya mekonium dianggap
signifikan bila berwarna hijau tua kehitaman dan kental. Mekonium kental
merupakan tanda pengeluaran mekonium pada cairan amnion yang
berkurang dan merupakan indikasi perlunya persalinan yang lebih cepat
dan penanganan mekonium pada saluran napas atau neonatus untuk
mencegah aspirasi mekonium. Pada presentasi sungsang, mekonium
dikeluarkan pada saat persalinan akibat kompresi abdomen janin pada
persalinan. Hal ini bukan merupakan tanda kegawatan kecuali jika hal ini
terjadi pada awal persalinan/ saat bokong masih tinggi letaknya.9
Pada tahun 1903, J. Whitridge Williams mengamati dan
menganggap keluarnya cairan mekonium sebagai relaksasi otot sfingter ani
diakibatkan aerasi yang kurang dari darah janin. Para ahli obstetri sudah
lama menyadari bahwa deteksi mekonium dalam persalinan merupakan
suatu hal yang problematis dalam memprediksi gawat janin atau asfiksia.9
Terdapat 3 teori yang telah diajukan untuk menjelaskan tentang
keluarnya mekonium:9
- Janin mengeluarkan mekonium sebagai respons terhadap hipoksia, dan
mekonium merupakan hasil dari suatu usaha janin untuk
mengkompensasi.
- Mekonium merupakan tanda maturasi yang normal dari traktus
gastrointestinal di bawah pengaruh persarafan yang mempersarafinya
- Mekonium dapat keluar sebagai stimulasi vagal dari terjepitnya tali
pusat dan gerakan peristalsis yang meningkat
Komponen mekonium seperti garam empedu dan enzim-enzim yang
terkandung di dalamnya dapat menyebablan komplikasi serius bila
terinhalasi atau teraspirasi oleh janin, dapat mengakibatkan sindrom
aspirasi mekonium yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas,
kehilangan surfaktan paru, pneumonitis kimia. Mekonium dalam cairan
ketuban terdapat pada 13 % kelahiran hidup, kurang dari 5 % persalinan di
bawah 37 minggu, 30 % pada bayi > 42 minggu. Faktor resikonya
meliputi: insufisiensi plasenta, hipertensi ibu dan pre-eklamsi,
oligohidroamnion, ibu perokok, penggunaan obat-obatan terlarang.
(internet) Ramin dkk. mempunyai hipotesis bahwa patofisiologi sindrom
aspirasi mekonium termasuk hiperkapnia janin, yang menstimulasi
respirasi janin mengakibatkan aspirasi mekonium ke dalam alveoli, dan
trauma parenkim paru sekunder dari kerusakan sel alveolar karena
asidemia.9
Kesimpulannya, insidensi tinggi dari mekonium pada cairan amnion
selama persalinan seringnya merupakan proses fisiologis yang normal.
Meskipun normal, mekonium dapat menjadi berbahaya bila asidemia
janin. Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak bayi dengan sindrom
aspirasi mekonium ternyata menderita hiposia kronis sebelumnya/saat
dilahirkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kadar eritropoetin janin
dan penghitungan eritrosit.9
b. Kardiotokografi
Kardiotokografi adalah alat elektronik yang digunakan untuk tujuan
memantau atau mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan dengan
hipoksia janin dalam rahim, seberapa jauh gangguan tersebut dan
menetukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut. Pemantauan
dilakukan melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungan
dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin dalam rahim.10
Kardiotokografi merupakan suatu metode pemeriksaan yang telah
ditetapkan sebagai suatu pemeriksaan standar rutin untuk menentukan
kesejahteraan janin. Meskipun pemeriksaan kardiotokografi menunjukkan
hasil dengan tingkat positif palsu yang tinggi, yaitu sekitar 64 % dan
evaluasinya juga sangat subyektif, tetapi saat ini tetap menjadi metode
penapisan diagnosis hipoksia akut pada janin, karena tidak ada cara
pemeriksaan lain yang lebih obyektif dan non invasif.10
Gambar 1. Kardiotokografi
Pemantauan dapat dilakukan dengan 2 cara:
Pengukuran eksternal
Dengan menggunakan alat yang dipasang pada dinding perut
ibu, terdapat 2 elektroda: elektroda jantung yang ditempatkan tepat di
tempat terdengarnya denyut jantung janin dan elektroda kontraksi yang
ditempatkan untuk mengukur tegangan dinding perut, yang merupakan
cara pengukuran tekanan intra uterus secara tidak langsung. Ketua
elektroda dipasang dengan menggunakan suatu sabuk, untuk
mendapatkan hasil yang maksimal, sebelumnya digunakan jeli dengan
tujuan menghilangkan pengaruh udara. Cara pengukuran ini harus lebih
cermat, karena dapat dikacaukan oleh denyut aorta ibu. Cara eksternal
lebih populer karena bisa dilakukan selama antenatal maupun intranatal,
praktis, aman ( mencegah terjadinya ruptur membran dan invasi uterus),
dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara
internal yang lebih invasif.9
Pengukuran internal
Cara ini lebih invasif, alat pemantau dimasukkan ke dalam
rongga rahim ibu dan membutuhkan dilatasi serviks, dan memasukkan
kateter bertekanan serta menempelkan elektroda spiral ke kulit kepala
janin. Elektroda bipolar diletakkan pada kulit janin bagian terdepan
secara langsung. Pengukuran internal lebih tepat dan mungkin lebih
dipilih pada keadaan tertentu dimana diperkirakan akan terjadi
persalinan yang terkomplikasi.9
c. Sampel Darah Janin
Sesuai dengan American College Of Obstetricians and
Gynecologists, pengukuran pH pada darah kapiler kulit kepala dapat
membantu untuk mengidentifikasi keadaan gawat janin. Prosedur ini
memang jarang dilakukan, tetapi merupakan pemeriksaan penyerta untuk
menegakkan diagnosis gawat janin pada hasil NST yang meragukan.9
Pengambilan darah janin harus dilakukan di luar his dan sebaiknya
ibu dalam posisi tidur miring.
Pemeriksaan darah janin ini dilakukan bila terdapat indikasi sebagai
berikut:
o Deselerasi lambat berulang
o Deselerasi variabel memanjang
o Mekonium pada presentasi kepala
o Hipertensi ibu
o Osilasi/ variabilitas yang menyempit
Kontraindikasi:
o Gangguan pembekuan darah janin
o Presentasi fetus yang tidak dapat dicapai
o Infeksi pada ibu
Syarat:
o Pembukaan lebih dari 2 cm
o Ketuban sudah pecah
o Kepala sudah turun hingga dasar pelvis
Cara pengambilan sampel darah:10
1. Masukkan amnioskopi melalui serviks yang sudah didilatasi setelah
ruptur membran
2. Oleskan lapisan jel silikon untuk mendapatkan tetesan darah pada
tempat insisi
3. Buat insisi tak lebih dari 2 cm dengan pisau tipis
4. Aspirasi darah dengan tabung kapiler yang telah diberi heparin
5. Periksa pH darah
6. Setelah insisi, hentikan perdarahan
Gambar 2. Teknik Pengambilan Sampel Darah dengan Amnioskopi
5. ANTENATAL CARE (ANC)
Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan yang diberikan
oleh bidan atau dokter kepada ibu selama masa kehamilan untuk
mengoptimalisasikan kesehatan mental dan fisik ibu hamil, sehingga mampu
menghadapi persalinan, nifas, persiapan memberikan ASI, dan kembalinya
kesehatan reproduksi secara wajar.11
Salah satu fungsi terpenting dari perawatan antenatal adalah untuk
memberikan saran dan informasi pada seorang wanita mengenai tempat
kelahiran yang tepat sesuai dengan kondisi dan status kesehatannya.
Perawatan antenatal juga merupakan suatu kesempatan untuk
menginformasikan kepada para wanita mengenai tanda – tanda bahaya dan
gejala yang memerlukan bantuan segera dari petugas kesehatan.11
a. Tujuan Antenatal Care
Tujuan asuhan antenatal adalah:12
1) Membantu kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan
tumbuh kembang bayi.
2) Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, sosial ibu
dan bayi.
3) Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang
mungkin terjadi selama ibu hamil, termasuk riwayat penyakit secara
umum, kebidanan, dan pembedahan.
4) Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat
ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.
5) Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian
ASI eksklusif.
6) Mempersiapkan peranan ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran
bagi bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal.
b. Standar Minimal Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal mencakup banyak hal namun dalam penerapan
operasional dikenal standar minimal “7T” yang terdiri dari:12
1) Timbang Berat Badan
Selama kehamilan antara 0,3 – 0,5 kg per minggu. Bila dikaitkan
dengan umur kehamilan kenaikan berat badan selama hamil muda ± 1
kg, selanjutnya pada trimester II dan III masing-masing bertambah 5
kg. Pada akhir kehamilan pertambahan berat total adalah 9-12 kg. Bila
ada kenaikan berat badan yang berlebihan perlu dipikirkan kearah
adanya risiko seperti bengkak, kehamilan kembar, hidramnion, dan
anak besar.
2) Ukur Tekanan Darah
Selama hamil tekanan darah dikatakan tinggi bila lebih dari
140/90 mmHg. Bila tekanan darah meningkat, yaitu sistolik 30 mmHg
atau lebih dan atau diastolik 15 mmHg atau lebih. Kelainan ini dapat
berlanjut menjadi preeklamsia dan eklamsia kalau tidak ditangani
dengan tepat.
3) Ukur Tinggi Fundus Uteri
Ukuran tinggi fundus uteri normal adalah sebagai berikut:
12 Minggu : Tinggi fundus uteri 1 – 2 jari diatas symphysis.
16 Minggu : Tinggi fundus uteri pertengahan antara symphysis–pusat.
20 Minggu : Tinggi fundus uteri 3 jari dibawah pusat.
24 Minggu : Tinggi fundus uteri setinggi pusat.
28 Minggu : Tinggi fundus uteri 3 jari diatas pusat.
32 Minggu : Tinggi fundus uteri pertengahan pusat-Proc.xyphoideus.
36 Minggu : Tinggi fundus uteri 3 jari dibawah Proc.xyphoideus.
40 Minggu : Tinggi fundus uteri pertengahan antara Proc.xyphoideus-
pusat
4) Pemberian Imunisasi TT
Pemberian TT baru akan menimbulkan efek perlindungan apabila
diberikan sekurang-kurangnya dua kali dengan interval minimal 4
minggu. Kecuali jika sebelumnya ibu pernah mendapat TT dua kali
pada kehamilan yang lalu atau pada masa calon pengantin maka TT
cukup diberikan satu kali saja. Dosis pemberian imunisasi TT yaitu 0,5
cc IM pada lengan atas. Adapun syarat pemberian imunisasi TT adalah
sebagai berikut :
a) Bila ibu belum pernah mendapat imunisasi TT atau meragukan
diberikan II sedini mungkin sebanyak dua kali dengan jarak minimal
dua minggu.
b) Bila ibu pernah mendapat imunisasi TT dua kali, diberikan suntikan
ulang/boster satu kai pada kunjungan antenatal yang pertama.
5) Pemberian Tablet Zat Besi
Pada dasarnya pemberian tablet zat besi dimulai dengan
pemberian satu tablet sehari sesegera mungkin setelah rasa mual hilang.
Tiap tablet mengandung FeSO4 320 mg (zat besi 60 mg) dan asam folat
500 ug, minimal 90 tablet. Tablet besi sebaiknya tidak diminum
bersama kopi atau teh karena akan mengganggu penyerapan. Sebaiknya
tablet besi diminum bersama air putih ataupun air jeruk. Selain itu perlu
diberitahukan juga bahwa ada kemungkinan tinja menjadi berwarna
hitam setelah ibu minum obat ini, hal tersebut adalah normal.
6) Tes Terhadap Penyakit Menular Seksual
Selama kehamilan, ibu perlu dilakukan tes terhadap penyakit
menular seksual seperti HIV/AIDS, Gonorrhoe, Siphilis. Hal tersebut
dikarenakan sangat berpengaruh pada janin yang dikandungnya.
Apabila ditemukan penyakit – penyakit menular seksual harus segera
ditangani.
7) Temu Wicara
Persiapan rujukan perlu disiapkan karena kematian ibu dan bayi
disebabkan keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan
kesehatan. Perlu diingat juga bahwa pelayanan antenatal hanya dapat
diberikan oleh tenaga kesehatan profesional dan tidak dapat dilakukan
oleh dukun bayi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Gawat janin dianggap sebagai salah satu faktor utama kematian bayi
baru lahir. Dalam penelitian ini, karakteristik demografi, komplikasi obstetri
dan hasil kehamilan pada ibu dengan janin yang mengalami kegawatan
dipelajari. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari
gawat janin pada ibu yang tercatat yang menyebabkan peningkatan persalinan
dengan Sectio Caesarea (SC) dan neonatus berat badan lahir rendah dengan
Anemia menjadi kondisi yang paling umum menyebabkan fetal distress
(gawat janin).
Berdasarkan analisis faktor demografi antara ibu dengan kejadian
gawat janin menunjukkan bahwa ibu kelompok usia muda (72.23%; 21-30
tahun) mengalami hipoksia janin dan kegawatan. Penelitian yang dilakukan
oleh Haines et al. telah menyimpulkan tidak ada hubungan antara usia ibu
dan gawat janin. Studi terbaru yang dilakukan oleh Khatoon et al. telah
menunjukkan bahwa salah satu alasan paling umum untuk dilakukan rujukan
pada kasus gawat janin yang tercatat adalah karena aspirasi mekonium.13,14
Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa tindakan SC lebih
tinggi 79,17% pada ibu dengan gawat janin yang disebabkan kelalaian dalam
memahami kondisi pasien. Menurut James (2001) bahwa tindakan SC darurat
untuk kasus gawat janin harus dilakukan secepat mungkin dan idealnya dalam
waktu 30 menit. Namun, studi oleh Nelson et al. telah menyimpulkan bahwa
tingkat positif palsu untuk diagnosis gawat janin sangat tinggi dan
menciptakan sebuah kekhawatiran bahwa, jika indikasi ini digunakan secara
luas, bedah SC banyak akan dilakukan tanpa manfaat dan dengan potensi
bahaya.15,16
Pada penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kelahiran hidup pada
janin yang mengalami distress sebagian besar terjadi pada ibu dengan usia
kehamilan aterm (63,89%). Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Ananth dan Vintzileos (2006) telah menemukan bahwa kelahiran prematur
pada ibu dengan gawat janin akibat intervensi medis yang dilakukan
menyebabkan iskemik plasenta. Studi lain yang dilakukan pada tahun 2003 di
Uganda telah mengamati sebuah asosiasi antara kejadian asfiksia pada saat
persalinan dengan berat lahir rendah.17,18
Pada penelitian ini ditemukan bahwa anemia merupakan kondisi
obstetri paling umum yang menyebabkan gawat janin (34,73%). Selain
anemia, kondisi lain yang menyebabkan distress pada janin adalah
oligohidramnion (19,45%).
Berbagai faktor seperti usia ibu yang masih muda, kurangnya
kesadaran mengenai penyediaan perawatan antenatal, kurangnya pendidikan
kesehatan, kelalaian dalam diagnosis, masalah ekonomi, factor lingkungan &
budaya, status gizi buruk pada perempuan muda (anemia), kurangnya fasilitas
transportasi mungkin bertanggung jawab dalam menyebabkan hipoksia janin,
asfiksia dan distress janin.
Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan metode retrospektif
sehingga dapat terjadi pengumpulan data yang kurang lengkap. Ini
seharusnya dilakukan dengan cara yang prospektif untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang bertanggung jawab
untuk gawat janin.
B. Kesimpulan Penelitian
Diagnosis klinis yang tepat dan upaya peningkatan kesadaran
masyarakat mungkin dapat memainkan peran penting dalam memberikan
pelajaran pada ibu hamil mengenai pentingnya perawatan antenatal.
Konfirmasi gawat janin diduga melalui studi asam basa darah janin
dianjurkan untuk mencegah terlalu tinggi gawat janin.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Gawat janin adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin (kadar
oksigen yang rendah dalam darah)
2. Penyebab yang paling utama dari gawat janin dalam masa antepartum adalah
insufisiensi uteroplasental.
3. Gawat janin dianggap sebagai salah satu faktor utama kematian bayi baru lahir.
Dalam penelitian ini, karakteristik demografi, komplikasi obstetri dan hasil
kehamilan pada ibu dengan janin yang mengalami kegawatan dipelajari.
4. Berdasarkan analisis faktor demografi antara ibu dengan kejadian gawat janin
menunjukkan bahwa ibu kelompok usia muda (72.23%; 21-30 tahun)
mengalami hipoksia janin dan kegawatan.
5. Pada penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kelahiran hidup pada janin yang
mengalami distress sebagian besar terjadi pada ibu dengan usia kehamilan
aterm (63,89%).
6. Diagnosis klinis yang tepat dan upaya peningkatan kesadaran masyarakat
mungkin dapat memainkan peran penting dalam memberikan pelajaran pada
ibu hamil mengenai pentingnya perawatan antenatal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam:
Ilmu Kebidanan, edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2006:1:4-10
2. Cunningham GS, Gant FN, LevvenoKJ, Gillstrap CL, Hauth JC. Williams
obstetrics. 21st ed. New york : McGraw-Hill, 2001;331-360
3. Robert JS,Theodore B. Methods of assessment for pregnancy risk. In: De
cherney AH, Pernoll ML. Current obstetrics & gynecology diagnosis &
treatment 8th ed. Connecticut : Prentice-Hall International, 1994;275-307
4. Steer PJ,Danielian PJ. Fetal Distress in labor In: James DK,Steer PJ,Weiner
CP..High Risk Pregnancy 4th ed. Philadelpia 1996;1077-1100
5. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam:
Ilmu Bedah Kebidanan, edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2006:6:52-60
6. Cleveland. Fetal Distress. Cleveland: Department of Patient Education and
Health Information. 2007. Available at URL:
http://www.clevelandclinic.org/health/health-info/docs/3800/3896.asp?
index=12401 . Access date: December 6th, 2012.
7. Steele, Wanda F., What are the signs of fetal distress? In: SheKnows
Pregnancy and Baby. Pennsylvania. 2007. Available at URL:
http://pregnancyandbaby.com/pregnancy/baby/What-are-the-signs-of-fetal-
distress-5960.htm . Access date: December 6th, 2012.
8. Hayley Willacy. Fetal Disress. UK: PatientPlus. 22 Juni 2007. Available at
URL: http://www.patient.co.uk/showdoc/40000220/ . Access date:
December 6th, 2012
9. Cunningham, Garry F., M. D. et al: Antepartum Assesment, Williams
Obstetrics, 22nd ed, Connecticut: Appleton & Lange, 2002:40:1095-1108
10. Hidayat Wijayanegara. Dalam: Makalah Lengkap Kursus Dasar
Ultrasonografi Kardiotokografi. Malang: RSUD DR. Saiful
Anwar.2002:VIII1-5
11. Manuaba, Ida Bagus. 2002. Ilmu Kebidanan Penyakit dalam dan Keluarga
Berencana. EGC: Jakarta.
12. Abdul BS, Gulardi HW, Biran A, Djoko W, editor. Buku panduan praktis
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Ed. 1. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 2002.
13. C.J. Haines, M.S. Rogers, D.H. Leung, Aust. N Z J. Obstet. Gynaecol.,
1991, 31, 3,209-12.
14. A. Khatoon, S.F. Hasny, S. Irshad, J. Ansari, Pak. J. Surg., 2011,27,4, 304-
8.
15. D. James, BMJ., 2001,322,1316–7.
16. K.B. Nelson, J.M. Dambrosia, T.Y. Ting, J.K. Grether, The New England
Journal of Medicine., 1996, 334,10,613-18.
17. C.V. Ananth, A.M. Vintzileos, American Journal of Obstetrics &
Gynaecology., 2006, 195,6,1557-1563.
18. D. Kaye, East African Medical Journal., 2003,80,3,140-3.