respiratory distress dan sepsis pada bayi

93
I. Skenario Mrs. Dahlia, a 36 years old woman had delivered her third child, a female newborn baby at a private midwife clinic. The baby was born with normal delivery and cried spontaneously, APGAR score was 6 for 1 st minute and 9 for 5 th minutes. At 3 hours of age the baby became hypoactive and there was grunting, then the baby was referred to RSMH. Mother’s history was taken from the midwife. She told that Mrs. Dahlia’s pregnancy was full term. The mother had premature ruptured of membrane 2 days ago and had bad smell green liquor. Physical Examination Body weight was 3000 gr, body length was 499 cm, head circumference was 34 cm. The baby was hypoactive, tachypnea, and there was no sucking reflex. RR was 78 bpm, with chest indrawing, HR was 140 bpm, temperature was 38 o C. The breath sound was normal. Other physical examination were normal. Instruction for students Analyze the problem of the baby and how to manage it completely. II. Klarifikasi Istilah 1

description

respiratory distress dan sepsis pada bayi

Transcript of respiratory distress dan sepsis pada bayi

Page 1: respiratory distress dan sepsis pada bayi

I. Skenario

Mrs. Dahlia, a 36 years old woman had delivered her third child, a

female newborn baby at a private midwife clinic. The baby was born with

normal delivery and cried spontaneously, APGAR score was 6 for 1st

minute and 9 for 5th minutes. At 3 hours of age the baby became

hypoactive and there was grunting, then the baby was referred to RSMH.

Mother’s history was taken from the midwife. She told that Mrs. Dahlia’s

pregnancy was full term. The mother had premature ruptured of membrane

2 days ago and had bad smell green liquor.

Physical Examination

Body weight was 3000 gr, body length was 499 cm, head

circumference was 34 cm. The baby was hypoactive, tachypnea, and there

was no sucking reflex. RR was 78 bpm, with chest indrawing, HR was 140

bpm, temperature was 38o C. The breath sound was normal. Other physical

examination were normal.

Instruction for students

Analyze the problem of the baby and how to manage it completely.

II. Klarifikasi Istilah

1. Sucking reflex : gerakan menghisap pada mulut bayi

yg ditimbulkan dengan menyentuh bibir atau kulit di dekat mulut bayi

tsb. Saat dimasukan jari pada mulut bayi, timbulah reflex bayi

menghisap.

2. Premature ruptured of membrane : Rupturnya ketuban sebelum onset

persalinan dimulai pada fase aktif kala 1.

3. Hypoactive : kurangnya tonus otot pada bayi.

4. Bad smell green liquor : cairan hijau yang berbau tidak enak.

5. Apgar score : tes pada neonatus untuk melihat

refleks napas, denyut jantung, tonus otot, refleks dan warna kulit.

1

Page 2: respiratory distress dan sepsis pada bayi

III. Identifikasi Masalah

1. Ny. Dahlia, 36 tahun G3P3A? melahirkan seorang anak perempuan per

vaginam di klinik bidan.

2. Riwayat bayi:

a. Pada 3 jam pertama setelah kelahiran, bayi menjadi hipoaktif dan

merintih.

b. Apgar skor pada menit pertama 6

3. Riwayat ibu:

a. Ibu mengalami ketuban pecah dini 2 hari yang lalu dan

mengeluarkan cairan berwarna hijau yang berbau tidak enak.

4. Hasil pemeriksaan fisik (abnormal):

a. Bayi hipoaktif dan takipneu

b. Tidak ada reflek menghisap

c. RR 78 bpm

d. Ada retraksi dinding dada

e. Suhu badan 38° C

IV. Analisis Masalah

1. Apa klasifikasi bayi baru lahir dengan berat badan 3000g dan cukup

bulan?

a. BB bayi berdasarkan usia gestasi

2

Page 3: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Usia gestasi kasus ini cukup bulan (38-40 minggu)

Kisaran BB bayi pada usia gestasi kurang lebih 40 minggu adalah

2600-3800 gram (pada kasus 3000 gram = normal)

PB bayi berdasarkan usia gestasi

Kisaran PB bayi pada usia gestasi 40 minggu adalah 46 – 52 cm (pada

kasus 49 cm)

Status bayi ini : Bayi cukup bulan, sesuai masa kehamilan

(appropriate for gestasional age).

2. Apa dampak KPSW terhadap bayi pada kasus ini?

3

Page 4: respiratory distress dan sepsis pada bayi

a. Persalinan premature

b. Infeksi

Pada ibu : Chorioamnionitis

Pada janin : septicemia, pneumonia, omfalitis

Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.

Pada PROM, infeksi lebih sering terjadi pada aterm. Secara umum

insiden infeksi sekunder pada PROM meningkat sebanding dengan

lamanya periode laten.

Tanda terjadinya infeksi diantaranya :

1. Febris, suhu >380C.

2. Ibu leukositosis. Jika ditemukan kelainan pada jumlah leukosit,

maka pemeriksaan harus diulang. Jika ternyata hasilnya lebih

dari 16000/μL, harus berhati-hati akan terjadinya infeksi.

3. Fundus lunak

4. Takikardi, nadi ibu >100x/m atau DJJ >160x/m.

5. Nyeri abdomen, nyeri tekan uterus

6. Cairan amnion berwarna keruh atau hijau dan berbau.

c. Sindrom deformitas janin

Ketuban pecah sebelum waktu yang terjadi terlalu dini

menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan

kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonar.

d. Hipoksia dan asfiksia

Semakin panjang fase laten maka semakin besar

kemungkinan terjadinya infeksi. Lama ketuban pecah lebih dari 12

jam meningkatkan risiko asfiksia neonatorum (Ana Setiyana,

2009). Ketuban pecah sebelum waktu dapat menyebabkan asfiksia.

Terjadinya asfiksia seringkali diawali terjadinya infeksi pada bayi

baik aterm maupun prematur. Infeksi dan oligohidramnion pada

ketuban pecah sebelum waktu merupakan penyebab dari sekian

banyak penyebab asfiksia neonatorum (Manuaba, 2007). Dengan

pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat

4

Page 5: respiratory distress dan sepsis pada bayi

hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara

tejadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sediki

air ketuban, janin semakin gawat.

Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari

vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini

kuman dari vagina naik ke kavum uteri, melekat pada desidua

(menimbulkan desidualitis), lalu terjadi penyebaran infeksi ke

selaput khorion dan amnion (menimbulkan khorioamnionitis) dan

berkembang menjadi khoriovaskulitis (infeksi pada pembuluh

darah fetal) serta amnionitis. Bila cairan amnion yang septik

teraspirasi oleh janin maka akan menyebabkan pneumonia

kongenital, otitis, konjungtivis sampai bakteremia dan sepsis.

Keadaan infeksi pada bayi baru lahir akan meningkatkan

kebutuhan metabolisme anaerob, sehingga ada kemungkinan tidak

dapat dipenuhi oleh aliran darah dari plasenta. Hal ini

menimbulkan aliran nutrisi dan O2 tidak cukup sehingga

menyebabkan metabolisme janin menuju metabolisme anaerob dan

terjadi penimbunan asam laktat dan piruvat yang merupakan hasil

akhir dari metabolism anaerob. Keadaan ini akan menimbulkan

kegawatan janin (fetal distress) intrauterin yang akan berlanjut

menjadi asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir.

Cairan amnion berfungsi sebagai sawar proteksi terhadap

infeksi asenden vagina, memungkinkan pergerakan bebas janin,

tempat mengapungnya tali pusat sehingga tidak terjadi kompresi

tali pusat yang menyebabkan terhambatnya aliran darah yang

mengandung O2 dari ibu ke janin.

Pada kasus dampak KPSW pada bayi adalah infeksi

yang berujung sepsis karena ada tanda-tanda seperti suhu badan

38oC dan cairan amnion yang berwarna hijau yang berbau dari

pemeriksaan fisik bayi.

5

Page 6: respiratory distress dan sepsis pada bayi

3. Bagaimana hubungan usia ibu, status kehamilan dengan kpsw pada

kasus ini?

a. Usia ibu

Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses

kehamilan, kesehatan janin, dan proses persalinan. WHO

merekomendasikan untuk usia yang dianggap paling aman

menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun.

Meningkatnya usia membuat kondisi dan fungsi rahim

menurun. Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun

melemah sejalan pertambahan usia. Hal ini membuat rongga

panggul tidak mudah lagi menghadapi dan mengatasi komplikasi

yang berat. Selain itu terjadi penurunan produksi hampir semua

hormon, termasuk hormon estrogen dan progesteron. Estrogen dan

progesteron dapat menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3

serta meningkatkan konsentrasi TIMP. Itu sebabnya, risiko

persalinan preterm meningkat dengan usia lebih dari 35 tahun. Lars

Ladfors menyatakan bahwa kejadian ketuban pecah sebelum waktu

banyak terjadi pada umur ibu ≥ 35 tahun.

Jumlah paritas

Manuaba (2010) menyatakan bahwa paritas

(multi/grandemultipara) merupakan faktor penyebab umum

terjadinya ketuban pecah sebelum waktu. Sedangkan menurut Geri

Morgan dan Carole Hamilton (2009), paritas merupakan salah satu

faktor yang mengakibatkan ketuban pecah sebelum waktu karena

peningkatan paritas yang memungkinkan kerusakan serviks selama

proses kelahiran sebelumnya.

4. Bagaimana interpretasi apgar skor pada menit pertama?

b. Menit ke-1 = 6 asfiksia

Menit ke-5 = 9 resusitasi berhasil, bayi bugar kembali.

6

Page 7: respiratory distress dan sepsis pada bayi

TANDA 0 1 2

Appearance /

color

Biru,pucat Badan

pucat,tungkai

biru

Semuanya merah

muda

Pulse Tidak teraba < 100 > 100

Grimace /

Refleks

Tidak ada Lambat Menangis kuat

Activity Lemas/lumpuh Gerakan

sedikit/fleksi

tungkai

Aktif/fleksi tungkai

baik/reaksi

melawan

Respiratory Tidak ada Lambat,

tidak teratur

Baik, menangis

kuat

Hubungan nilai APGAR dan keadaan yang dialami bayi

a. Apgar menit pertama = 6. Ini menunjukkan bayi mengalami

asfiksia yang kemungkinan disebabkan oleh aspirasi mekonium

yang mengakibatkan terjadinya bronkopneumoni (terjadi kesulitan

pengembangan paru yang disebabkan lumen bronkiolus yang

menyempit karena infeksi). Apgar menit kelima = 9. Ini

menunjukkan adanya perbaikan kondisi bayi setelah mendapatkan

resusitasi (adanya proses adaptasi pada bayi tersebut).

b. Kemungkinan penyebab Aspirasi mekonium resiko

bronkopneumoni.

5. Apa makna klinis dari bayi yang hipoaktif, merintih, retraksi dinding

dada, takipneu, hipertermi dan tidak adanya reflex menghisap pada 3

jam pertama?

c. Merintih, retraksi dinding dada, takipneu ( >60x/menit ),

hipertermi ( terutama T > 37,7C) dan tidak ada reflex hisap

tanda fetal distress/ asfiksia neonates, sepsis neonatorum serta

suspek infeksi bakteri berat.

7

Page 8: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Cairan amnion berwarna hijau dan berbau↑ Risiko korioamnionitis pada Ibu

Terbukanya jalan masuk untuk patogenKPSW

↑ Risiko sepsis pada bayi

6. Bagaimana hubungan KPSW dengan pengeluaran cairan hijau yang

berbau?

d. Salah satu dampak KPSW adalah terjadinya infeksi pada ibu

maupun bayi. Sementara itu pengeluaran cairan hijau yang berbau

merupakan factor risiko juga pertanda terjadinya infeksi pada ibu

ataupun bayi. KPSW dan pengeluaran cairan hijau berbau

merupakan factor risiko untuk terjadi infeksi pada bayi.

e. Hijaunya cairan tersebut bisa dari mekonium dan dari infeksi yang

terjadi.

f. Penyebab Cairan amnion yang berbau busuk adalah keadaan

patologis menandakan adanya infeksi :

- Infeksi intrauterine

a. Infeksi dan kuman yang sering ditemukan adalah

Streptococcus, Staphylococcus (gram positif), E.coli (gram

negatif), Bacteroides, Peptococcus (anaerob).

b. ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan ada

hubungan langsung antara ruang intraamnion dengan dunia

luar.

c. infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang

amnion, atau dengan penjalaran infeksi melalui dinding

uterus, selaput janin, kemudian ke ruang intraamnion.

infeksi intraamnion (korioamnionitis)

8

Page 9: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Ketuban yang pecah (dalam kasus 2 hari sebelum kelahiran)

penyebab terjadinya infeksi asenden

Cairan amnion yang keluar dari selaput ketuban terinfeksi oleh kuman (khususnya bakteri) yang terdapat pada traktus urogenital ibu (misalnya vagina , serviks, dan organ lainnya).

Keadaan pH vagina yang normalnya asam bertolak belakang dengan keadaan cairan amnion yang bersifat alkalis berkembangnya flora normal vagina yang berubah menjadi agen penginfeksi

Keadaan lingkungan yang alkalis dan bakteri yang menginfeksi cairan amnion mengurai asam organik

seperti asam laktat (beta laktamase)

menimbulkan bau yang tidak menyenangkan pada cairan amnion

Infeksi dan kuman yang sering ditemukan adalah

Streptococcus, Staphylococcus (gram positif), E.coli (gram

negatif), Bacteroides, Peptococcus (anaerob).

d. mungkin juga jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi

intrauterin menjalar melalui plasenta (sirkulasi

fetomaternal).

e. tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya

pemeriksaan dalam yang terlalu sering, dan sebagainya

sebagai predisposisi infeksi.

7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?

BB 3000 gr

Berdasarkan usia kehamilan dan berat badannya, bayi Nyonya

Dahlia ini tidak mengalami prematuritas maupun dismaturitas. Bayi

ini termasuk dalam kategori appropriate for gestational age. Bayi

aterm dengan berat badan normal tidak memiliki kecenderungan

untuk mengalami penyulit seperti yang dialami oleh BBLR. Maka,

9

Page 10: respiratory distress dan sepsis pada bayi

dalam kasus ini berat badan dan usia bayi ini tidak berhubungan

dengan keluhan utamanya kini.

Berat badan bayi yang normal menyingkirkan diagnosis infeksi

karena penyebab BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) dan tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara BB bayi yang normal

dengan keluhan dispneu-nya.

PB 49 cm

Panjang badan bayi normal aterm adalah sekitar 48-52, dalam hal

ini, bayi Ny. Dahlia masih tergolong normal.

LK 34 cm

Lingkar kepala bayi normal aterm adalah sekitar 33-35, dan dalam

kasus ini, bayi Ny. Dahlia masih tergolong normal.

Hypoaktif

Abnormal kurang suplai O2 ke jaringan otot

Keaktifan neonatus dilihat dari posisi dan gerakan tungkai dan

lengan. Pada neonatus yang sehat, posisi ekstremitas adalah dalam

keadaan fleksi sedang gerakan tungkai dan lengannya aktif dan

simetris. Apabila neonatus diam saja atau hipoaktif mungkin

terdapat depresi SSP atau akibat Bayi lemas karena kurang oksigen.

Hypoactive : infeksi pada parenkim paru gangguan

pernafasan O2 tak terpenuhi ke otak gangguan SSP bayi

tampak hipoaktif.

Tachypneu (RR 78 bpm)

Frekuensi respirasi normal bayi cukup bulan adalah 30-40/ menit.

Takipnue: kompensasi dari kesulitan bernapas supaya kebutuhan

oksigen terpenuhi maka frekuensi pernapasan ditingkatkan

abnormal (lebih 60x/menit) kompensasi dari kekurangan O2

dalam tubuh.

Klasifikasi Takipnea :

Usia Frekuensi

10

Page 11: respiratory distress dan sepsis pada bayi

< 2 bulan ≥ 60 x/mnt

2 – 12 bulan ≥ 50 x/mnt

1 – 5 tahun ≥ 40 x/mnt

5-12 tahun ≥ 30 x/mnt

No sucking reflex

Refleks mengisap dilakukan dengan memasukkan ujung jari ke

dalam mulutnya. Normalnya ada pada saat lahir dan menghilang

usia 3-4 bulan. Jika ujung jari diisap maka refleks isapnya baik.

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kelainan saraf V, VII dan

XII.

Sucking reflex (-) abnormal akibat suplai O2 ke otot sekitar

mulut kurang, tidak ada reflex menghisap karena septisemia yang

menyebabkan gangguan sistem saraf pusat.

Chest indrawing

Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi

melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-

bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan

ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan

suprasternal. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir

dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah

dibandingkan anak yang lebih tua.

Retraksi interkostal: disebabkan patologi yang terjadi pada paru

mengakibatkan tekanan intrapleura yang semakin negatif sewaktu

inspirasi sehingga terjadi retraksi otot-otot subkostal, interkostal,

suprasternal, dan supraclavicular. abnormal akibat usaha

bernapas yang lebih. tarikan dinding dada, biasa terjadi pada

pneumonia, atau pada respiratori distress akibat obstruksi jalan

nafas karena sepsis onset dini.

HR 140 bpm

11

Page 12: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Normalnya 120 – 140 x per menit.

Suhu 38° C

Abnormal, karena suhu normalnya 36,5 °C – 37,2 ° C

8. Bagaimana mekanisme abnormalitas hasil pemeriksaan fisik?

9. Apa diagnosis banding pada kasus ini?

Gejala/

tanda

Bronkopneumonia

Sepsis Neonatorum

TTN Aspirasi

mekonium

PMH Hipoglikemia

Usia

kehamilan

Aterm/preterm Aterm/

preterm

Aterm/preterm Preterm Preterm/aterm/posterm

12

Page 13: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Onset

timbulnya

gejala

Beberapa saat

setelah lahir

Beberapa

saat setelah

lahir

Beberapa saat

setelah lahir

Segera

(primary

distress)

6-12 jam setelah

kelahiran

Grunting + + + + Tangisan lemah

bernada tinggi

Sianosis +/- +/- (jarang) ++ ++ +

Perbaikan

dengan O2

Membaik Membaik

dengan

oksigen

minimal

Sementara Sementara -

Sucking

reflex

- + - + _

Retraksi

ddg dada

+ +/- (jarang) + +

Gejala

khas lain

Adanya ronki dan

leukositosis

Penyembu

han yang

mendadak,

Adanya cairan

amnion yang

berwarna

kehijauan pada

saat kelahiran

Retraksi

dinding dada

Jittery, tremor,

keringat dingin, apnoe

Gambaran

Rontgen

Terdapat infiltrat dan

konsolidasi paru

“star burst”

Banyak

corakan

vaskuler di

bagian

tengah

Terdapat

bercak infiltrat

yang kasar atau

berkabut

Gambaran

retikuloendo

telial dan

berkabut

“ground

glass”

-

10. Pemeriksaan penunjang yang masih dibutuhkan?

1. Pemeriksaan Laboratorium

13

Page 14: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Complete blood count : dilakukan untuk memastikan tanda-

tanda infeksi, Beberapa komponen darah yang perlu

diperhatikan adalah Hb, Rbc, Wbc, diff count, trombosit dan

LED. Hasil pemeriksaan darah rutin yang menunjukkan criteria

sepsis yaitu

o Leukositosis : >15.000/Ul

o Leukopenia : <4000/Ul

o Jumlah netrofil yang absolute : <1500 Ul

o Rasio netrofil imatur : >0,2

o Rasio netrofil matur : <0,2

o Trombositopenia : <100.000/Ul

o ESR : >15 mm/jam

2. Pemeriksaan CRP

CRP : dilakukan untuk menilai perkembangan infeksi dan fungsi

hati. CRP merupakan protein yang disintesis di hati yang berperan

dalam keadaan inflamasi. Hasil pemeriksaan CRP yang

menunjukkan kriteri sepsis yaitu 10 mg/L

3. Pemeriksaan rontgen/x-ray

X-ray : dilakukan untuk memastikan diagnosis bronkopneumonia

pada bayi sekaligus mengetahui derajat keparahan penyakit

tersebut sehingga membantu dalam penilaian prognosis. Gambaran

radiologi khas pada bronkopneumonia adalah honey comb

appearance.

4. Kultur darah dan uji resistensi

Dilakukan untuk memastikan jenis agen penginfeksi yang

menyebabkan korioamnionitis, bronkopneumonia dan sepsis.

Spesimen bisa diambil dari darah bayi dan darah ibu.

11. Bagaimana cara penegakan diagnosis dan diagnosis kerja pada kasus

ini?

14

Page 15: respiratory distress dan sepsis pada bayi

1. Anamnesis

Keluhan utama: hipoaktif, grunting

Riwayat kehamilan ibu:

› Status obstetric: G3P3A?

Riwayat kelahiran:

› Persalinan di bidan

› Persalinan pervaginam

› Panjang bayi 49 cm

› Bayi lahir sesuai masa kehamilan (AGA)

› Ketuban pecah dini selama 2 hari

› Warna air ketuban hijau dan berbau

2. Pemeriksaan Fisik

Ibu:

› Ketuban pecah dini 2 hari sebelum persalinan dan

cairan ketuban berbau busuk → resiko infeksi

intrauterin karena ketuban pecah > 18 jam dan

berbau busuk merupakan factor risiko terjadinya

infeksi intrauterin.

Bayi:

› Grunting : akibat pengeluaran udara yang

tersedak- sedak

› Full term : bayi cukup bulan; minggu 37 - 42

kehamilan

› BB lahir : 3000 gram; normal = 2500 - 4000 g

bayi diklasifikasikan sebagai bayi baru lahir

cukup bulan dan sesuai dengan masa kehamilan.

› Hipoaktif

› refleks mengisap (-)

15

tanda- tanda sepsis neonatorum.

Page 16: respiratory distress dan sepsis pada bayi

› Chest indrawing, merintih, takipnea → dengan

menggunakan Downe’s score, dapat diketahui bayi

ini mengalami distress pernafasan.

› APGAR score menit 1 = 6 → perinatal asfiksia

Diagnosis

FIRS/SIRS (Fetal inflammatory response syndrome/

Sindroma respon inflamasi janin)

Bila ditemukan dua atau lebih keadaan :

a. Laju napas (> 60 x/menit atau <30 x/menit) atau apnea dengan

atau tanpa retraksi

b. Desaturasi oksigen,

c. Suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C),

d. Waktu pengisian kapiler > 3 detik,

e. Hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L

Terduga/Suspek Sepsis

Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis

infeksi.  

Terbukti/Proven Sepsis

Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai

bakteremia/kultur darah positif.  

Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum

mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus seperti

tertera pada tabel berikut.

Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus

Variabel klinis

Suhu tidak stabil

Denyut Jantung >180 kali/menit

Frekuensi napas >60 kali/menit ditambah merintih/retraksi atau

desatusari

16

Page 17: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Letargis atau penurunan kesadaran

Intoleransi glukosa (glukosa plasma >10 mmol/L)

Intoleransi minum

Variabel hemodinamik

Tekanan darah <2 SD di bawah nilai normal untuk usia

Tekanan darah sistolik <50 mmHg (neonatus usia 1 hari)

Tekanan darah sistolik <65 mmHg

Variabel perfusi jaringan

Waktu pengisian kembali kapiler >3 detik

Laktat plasma >3 mmol/L

Variabel inflamasi

Leukositosis (hitung leukosit >34.000/mL)

Leukopenia (hitung leukosit <5.000/mL)

Neutrofil imatur >10%

Immature : total neutrophil (IT) ratio >0,2

Trombositopenia <100.000/mL

CRP >10 mg/dL atau >2 SD di atas nilai normal

Prokalsitonin >8,1 mg/dL atau >2 SD di atas nilai normal

IL-6 atau IL-8 > 70 pg/mL

16 s PCR positif

SD: standar deviasi; CRP: C- reactive protein; PCR: polymerase

chain reaction

12. Apa etiologi dan faktor resiko kasus ini?

1. Etiologi sepsis awitan dini:

a. Infeksi asceden dari pathogen seperti : E.coli, Klebsiella,

pneumonias, proteus, Enterococcus fecalis, group B

streptococcus beta haemolyticus, group A streptococcus,

staphylococcus.

17

Page 18: respiratory distress dan sepsis pada bayi

b. Infeksi yang paling sering didaerah asia oleh bakteri gram

negative dengan persentasi 46-85% dibandingkan

streptococcus groub B sebesar 0-5%.

2. Faktor risiko sepsis awitan dini:

- Faktor ibu:

a. Persalinan dan kelahiran kurang bulan

b. Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam

c. Chorioamnionitis

d. Persalinan dengan tindakan

e. Demam pada ibu

f. Infeksi saluran kencing pada ibu

g. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu

- Faktor bayi:

a. Asfiksia perinatal

b. Berat lahir rendah

c. Bayi kurang bulan

d. Prosedur invasive

e. Kelainan bawaan

1. Etiologi respiratory distress:

Transient tachpnea of the newborn

Hyaline membrane disease.

Meconium aspiration syndrome (MAS)

Air leak syndrome

Pneumonia.

Congenital heart disease.

2. Faktor risiko respiratory distress:

Ibu yang menggunakan obat yang jika berhenti dapat

menyebabkan fetal distress.

18

Page 19: respiratory distress dan sepsis pada bayi

DM pada ibu.

Infeksi pada ibu atau durasi pecah ketuban yang

memanjang yang dapat menyebabkan sepsis ataupun

pneumonia.

Perdarahan pada saat persalinan.

Persalinan premature.

Penggunaan anestesi.

Hydrops fetalis.

Cairan amnion yang bercampur mekonium.

13. Bagaimana epidemiologi pada kasus ini?

a. Paling banyak terjadi pada usia sebelum 7 hari

b. Sepsis terjadi pada kurang dari 1% bayi baru lahir tetapi

merupakan penyebab dari 30% kematian pada bayi baru lahir.

Infeksi bakteri 5 kali lebih sering terjadi pada bayi baru lahir

yang berat badannya kurang dari 2,75 kg dan 4 kali lebih sering

menyerang bayi laki-laki.

c. Dari tahun ke tahun insiden sepsis tidak banyak mengalami

perbaikan, sebaliknya angka kematian memperlihatkan

perbaikan yang bermakna.5 Angka kejadian sepsis di negara

berkembang masih cukup tinggi (1.8-34/1000) dibanding

dengan negara maju (1-5 pasien/1000 kelahiran). angkanya

meningkat 13-27 per 1000 bayi lahir hidup pada bayi berat

lahir rendah.

14. Bagaimana tatalaksana untuk kasus ini?

a. Berikan oksigen : 2-4 liter/menit sampai sesak napas hilang

b. Terapi lini pertama menurut WHO, 2003:

19

Page 20: respiratory distress dan sepsis pada bayi

⁻ Ampisilin 50 mg/kgBB setiap 12 jam pada 1 minggu

pertama lanjut setiap 8 jam pada minggu ke 2-4.

⁻ Ditambah Gentamicin 5mg/kg BB 1x/hari

⁻ Jika ada meningitis cefotaxim

c. Perawatan umum : cegah hipotermi (rawat dalam inkubator),

minimal handling, tindakan aseptic sebelum kontak dengan

bayi.

d. Bolus dextrose 10% 2 ml/kgBB, untuk mengatasi hipoglikemi

yang biasa terjadi pada bayi dengan sepsis (parenteral feeding)

e. Makanan : parenteral feeding (bayi puasa karena bayi sesak),

stop oral.

f. Injeksi vitamin K: 1 mg IM untuk mencegah perdarahan.

g. Monitoring

Antibiotic therapy of neonatal sepsis

I. Septicemia or

Pneumonia

Antibiotic

Each dose Frequency Route Duration

<7 days age > 7 days age

Inj Ampicillin or 50 mg/kg/dose 12 hrly 8 hrly IV,IM 7-10 days

Inj cloxacillin 50 mg/kg/ dose 12 hrly 8 hrly IV 7-10 days

AND

Inj Gentamicin or 2.5 mg/kg/dose 12 hrly 8 hrly IV, IM 7-10 days

Inj Amikacin 7.5 mg/kg/dose 12 hrly 8 hrly IV, IM 7-10 days

20

Page 21: respiratory distress dan sepsis pada bayi

15. Apa komplikasi pada kasus ini?

Bronkopneumonia : empyema, pleuritis, abses paru, bronkiektasis

Sepsis neonatorum : meningitis, multiorgan dysfunction, kematian

16. Bagaimana prognosis kasus ini?

Prognosis:

- Ad vitam: Dubia.

- Ad fungsionam: Dubia

17. Bagaimana preventif kasus ini?

Terminasi kehamilan tidak boleh lebih dari 12 jam setelah terjadi

KPSW

18. Apa KDU kasus ini?

Tingkat kemampuan 3B

21

Page 22: respiratory distress dan sepsis pada bayi

chest indrawing

refleks menghisap (-)

Gawat napas / Respiratory distress Sepsis neonatorum

hipoaktif hipertermi

gruntingtakipneu

chorioamnionitis

Ny. Dahlia 36 th G3P3A? mengalami KPSW, cairan hijau dan berbau

Menandakan terdapatnya infeksi

Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter

(misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter

dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke

spesialis yang relevan (kasus gawat darurat).

V. Hipotesis

Ny. Dahlia 36 tahun G3P3A? dengan riwayat KPSW melahirkan bayi

perempuan cukup bulan sesuai masa kehamilan yang mengalami sepsis

neonatorum disertai gawat napas.

VI. Kerangka konsep

22

Ny. Dahlia 36 th G3P3A? mengalami KPSW, cairan hijau dan berbau

Menandakan terdapatnya infeksi

refleks menghisap (-)

Gawat napas / Respiratory distress Sepsis neonatorum

chorioamnionitis

hipoaktif hipertermi

gruntingtakipneu

Ny. Dahlia 36 th G3P3A? mengalami KPSW, cairan hijau dan berbau

Menandakan terdapatnya infeksi

Ny. Dahlia 36 th G3P3A? mengalami KPSW, cairan hijau dan berbau

Menandakan terdapatnya infeksi

chorioamnionitis

Ny. Dahlia 36 th G3P3A? mengalami KPSW, cairan hijau dan berbau

Menandakan terdapatnya infeksi

Page 23: respiratory distress dan sepsis pada bayi

VII. Sintesis

SEPSIS NEONATORUM

I. DEFINISI

Konsensus definisi sepsis masih diperdebatkan. Sesuai dengan

kesepakatan yang ada, akhir-akhir ini dikemukakan bahwa sepsis bukan

merupakan kondisi Homogen dengan ditemukannya kuman penyebab, tetapi

merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis

berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan dan akhirnya kematian. Pada

neonatus umumnya ditemukan berbagai tingkat defisiensi sistem pertahanan

tubuh, sehingga respon sistematik pada janin dan neonatus akan berlainan dengan

orang dewasa. Infeksi neonatus awitan dini respons sistematik pada bayi mungkin

terjadi saat bayi masih didalam kandungan yang dikenal dengan istilah fetal

inflamatory responce syndrome (FIRS), yaitu infeksi janin atau neonatus terjadi

karena penyebaran infeksi dari kuman vagina (ascendng infection) atau infeksi

yang menjalar secara hematogen dari ibu yang mengalami infeksi. Dengan

demikian konsep infeksi pada neonatus, khusus pada infeksi awitan dini,

perjalanan penyakit bermula dengan FIRS, kemudian sepsis, sepsis berat, syok

septik/renjatan septik, disfungsi multiorgan dan akhirnya kematian.

Pada tahun 1991 konsensus The American College of The Physicions and

the society of critical care medicine (ACCP/SCCM) mendefinisikan systematic

inflammatory respons syndrome (SIRS) sebagai respon inflamasi sistemik

terhadap berbagai keadaan klinis yang merusak (trauma, luka bakar, pankreatitis

dan infeksi), sedangkan sepsis adalah respons inflamasi sistemik terhadap infeksi.

Pendapat lain menyebutkan sepsis neonatorum sebagai syndrom klinik penyakit

sistematik yang disertai bakteremia dan terjadi pada bulan pertama kehidupan.

Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis yang disertai komplikasi disfungsi organ

tunggal dan hipotensi. Syok septik ditandai dengan sepsis berat yang

membutuhkan resusitasi cairan dan dukungan inotropik. Syndrom disfungsi multi

23

Page 24: respiratory distress dan sepsis pada bayi

organ yaitu kegagalan multiorgan walaupun dukungan terapi telah diberikan

separuhnya.

II. EPIODEMIOLOGI

Berdasarkan perkiraan WHO terdapat sekitar 5 juta kematian neonatus per

tahun. Di negara berkembang angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari

pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis meliputi 11 – 30

% dari seluruh kematian neonatus. Angka kejadian sepsis dinegara berkembang

masih cukup tinggi (1,8 – 18/1000 kelahiran) di banding dengan negara maju (1-5

pasien/ 1000 kelahiran). Di RSCM periode Januari – September 2005, angka

kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68 % dan seluruh kelahiran hidup dengan

tingkat kematian sebesar 14,18 %, tingginya angka kejadian sepsis neonatorum di

RSCM karena merupakan RS. Rujukan. (1)

III. KLASIFIKASI

Sepsis neonatorum dibedakan menjadi sepsis neonatorum awitan dini

(SNAD) dan sepsis neonatorum awitan lambat (SWAL). Keduanya berbeda

dengan patogenesis, mikroorganisme penyebab, tata laksana dan prognosis.

SNAD terjadi pada usia < 72 jam, biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang

berasal dari ibu, baik dalam masa kehamilan maupun selama proses persalinan.

SNAL terjadi pada usia > 72 jam, dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang

diperoleh selama proses pasalinan tetapi manifestasinya lambat (setelah 3 hari)

atau biasanya terjadi pada bayi-bayi yang dirawat di rumah sakit (Infeksi

nasokomial). Perjalanan penyakit SNAD biasanya lebih berat, dan cenderung

menjadi fulminan yang dapat berakhir dengan kematian. Sepsis lambat mudah

menjadi berat, dan sering menjadi meningitis. (3,4)

IV. ETIOLOGI

24

Page 25: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat

menyebabkan infeksi berat yang mengarah ke terjadinya sepsis. Sepsis pada bayi

hampir selalu disebabkan oleh bakteri. (2)

Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan dalam identifikasi kuman

ialah adanya perbedaan antara kuman penyebab dari satu tempat ke tempat yang

lain, dari waktu ke waktu, serta perbedaan bentuk infeksi. Pada negara maju

kuman yang tersering ditemukan pada infeksi awitan dini adalah kelompok kuman

B Streptokokus (GBS), E-coli, Haemophilus Influenzae dan Lysteria

monosytogenis, sedangkan di FKUI RSCM selama tahun 2002 ditemukan

berturut-turut kuman Enterobacter Sp, Acinetobader Sp dan Coli Sp.

Berlainan dengan kelompok awitan dini, pada awitan lambat pola kuman

yang ditemukan.biasanya terdiri dari kuman nosokomial, antara lain

Staphilococus aureus, E-coli, Klebsilla, Pseudamonas, Enterobacter, Candida,

GBS, Serratia, Acinetobacter, kuman anaerob dan virus herpes samplex (HSV).

Penelitian yang dilakukan di FKUI RSCM memperlihatkan jenis kuman yang

tidak banyak berbeda pada awitan dini dan awitan lambat, yaitu Enterabacter sp,

Klebsiella sp dan Acinotobacter Sp.

Hampir sebagian besar kuman penyebab dinegara berkembang adalah

kuman gram negatif berupa kuman enterik, antara lain Entrobacter sp, Klebsiella

sp, dan Coli sp. Di Amerika Utara dan Eropa Barat 40 % disebabkan oleh

Streptococus group B (SGB), sedangkan Coli sp, Literia sp, dan Enterouius di

temukan dalam jumlah yang lebih sedikit.pada bayi dengan berat badan lahir

rendah, Candida dan Stafilokokus koagulase negatif (CONS) merupakan patogen

yang paling umum pada sepsis awitan lambat.(1)

Streptokokus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses

kelahiran. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika,

paling tidak terdapat bakterial pada vagina / rektum pada satu dari setiap lima

wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi

prematur yang menjalani perawatan intensif rentan terhadap sepsis karena sistem

25

Page 26: respiratory distress dan sepsis pada bayi

imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya menjalani prosedur-

prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter, dan

bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator.

Organisme yang normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk ke

dalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah

disebut di atas. Bayi berusia 3 bulan – 3 tahun beresiko mengalami bakteremia

tersamar, yang bila tidak segera di rawat, kadang-kadang dapat mengarah ke

sepsis. Bakteremia tersamar artinya bahwa bakteri telah memasuki aliran darah,

tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas. Tanda paling umum terjadinya

bakteremia tersamar adalah demam. Hampir 1/3 dari semua bayi rentang usia ini

mengalami demam tanpa adanya alasan yang jelas dan penelitian menunjukkan

bahwa 4% dari mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial dalam darah. S

treptokokus pneumoniae (pneumokokus) menyebabkan sekitar 85% dari semua

kasus bakteremia tersamar pada bayi berusia 3 bulan – 3 tahun. (2)

V. PATOFISIOLOGI

Sepsis merupakan akibat interaksi yang kompleks antara mikroorganisme

patogen dan pejamu. Tinjauan tentang sepsis menghubungkan patofisiologi yang

kompleks dalam terjadinya hipotensi dan obstruksi aliran darah karena

pembentukkan mikro trombus pada sistem kapilar. Hal ini akan mengakibatkan

disfungsi organ, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ dan

akhirnya kematian.

Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekuler dan seluler untuk

menimbulkan respon sepsis berbeda tergantung mikroorganisme penyebab,

sedangkan tahapan-tahapan pada respon sepsis adalah sama dan tidak tergantung

faktor penyebab. Respon inflamasi terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan

pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding sel yang dilepas

pada saat lisis. Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respon inflamasi

dengan melepaskan eksotoksin, super antigen dan komponen antigen sel.

26

Page 27: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Cascade sepsis akan terpicu oleh mikroorganisme tersebut di atas, yang

dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi primer. Mediator inflamasi primer

dilepaskan dari sel-sel sebagai hasil dari aktifasi makrofag. Pelepasan mediator ini

menyebabkan aktifasi sistem koagulasi dan komplemen. Kerusakan utama akibat

aktifasi tersebut terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi

lekosit dan pembentukkan mikrotrombin. Aktifasi endotel akan meningkatkan

jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada

tempat cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan

fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan

sel untuk sintesis dan ekspresi molekul anti trombotik.

Manifestasi klinis cascade sepsis ini adalah kebocoran kapiler dan

vasodilatasi pembuluh darah yang selanjutnya akan menimbulkan disfungsi organ

dan syok. Bila syok, kebocoran kapiler dan vasodilatasi tidak dapat diatasi, maka

akan terjadi disfungsi multi organ dan akhirnya kematian.

Sebelumnya sepsis dianggap sebagai kelainan inflamasi saja. Penelitian

terkini menunjukkan bahwa mekanisme sepsis juga mencakup aktivasi koagulasi

dan gangguan fibrinologis sehingga tercipta suatu keadaan protrombotik. Hasil

akhir Hari dari keadaan ini adalah gangguan fungsi multi organ. Gambar 3

memperlihatkan hilangnya homeostasis pada sepsis sebagai akibat mekanisme

tersebut di atas.

Mediator inflamasi primer mengaktivasi neutrofil untuk melekat pada sel

endotel, aktivasi trombosit, metabolisme asam arakidonat, dan mengaktivasi sel T

untuk memproduksi IFN-γ, IL-2, IL-4 dan granulocyte macrophage coloni

stimulating factor (GMCSF). Agen lain sebagai bagian kaskade sepsis adalah

molekul adhesi, kinin, trombin, myocardial depressant substance, beta endorphin,

and heat shock protein. Molekul adhesi dan trombin dapat membantu kerusakan

endotel, sedangkan IL-4, IL-8, dan heat shock protein dapat melindungi terhadap

kerusakan.

27

Page 28: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Sel endotel yang cedera dapat menyebabkan granulosit dan konstituen

plasma memasuki jaringan inflamasi sehingga menyebabkan kerusakan organ.

Inflamasi sel endotel menyebabkan vasodilatasi melalui kerja nitric oxide pada

otot polos pembuluh darah. Hipotensi berat terjadi akibat produksi nitric oxide

yang berlebihan, pelepasan peptida vasoaktif seperti bradikinin, serotonin, dan

ekstravasasi cairan ke ruang interstisial akibat kerusakan sel endotel.

Respons inflamasi sebetulnya bertujuan meningkatkan respons imun untuk

mengeliminasi mikro-orgamsme atau produk mikro-organisme tersebut. Bila

eliminasi tersebut tidak berhasil, maka inflamasi dapat meluas dan berlebihan

sehingga terjadi kerusakan jaringan, gangguan mekanisme koagulasi, renjatan,

dan lain-lain. Sebagai respons terhadap mediator proinflamasi, terjadi produksi

sitokin anti inflamasi. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara

proinflamasi dan anti inflamasi. Beberapa sitokin anti inflamasi IL-4, IL-10 dan

IL-13 menghambat produksi sitokin dari leukosit. IL-4 dan IL-10 dapat

menghentikan produksi monosit/makrofag yaitu TNF-a, IL-1, IL-6 dan IL-8. IL-1

receptor antagonist (IL-lra) merupakan sitokin antagonis terlarut, menghambat

aktivitas IL-1 dengan mengikat reseptor IL-1. Reseptor TNF terlarut (sTNFr)

merupakan reseptor yang terdapat di sirkulasi, terikat erat pada sel pejamu,

berperan sebagai antagonis TNF. Pemberian IL-10 juga melemahkan produksi

TNFa dan menurunkan kematian, sedangkan anti IL-10 dihubungkan dengan

mortalitas yang meningkat pada hewan yang terkena sepsis.

Sitokin proinflamasi mengaktivasi jalur klasik dan alternatif sistem

komplemen. Sistem komplemen merupakan komponen utama innate immunity.

Meskipun demikian bila terjadi overaktivasi akan menyebabkan kerusakan

endotel. C5a dan produk komplemen lain akan menimbulkan kemotaksis

neutrofil, fagositosis dengan pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien,

peningkatan agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi dan produksi

oksigen radikal toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan

histamin dari sel mast dan peningkatan permeabilitas kapiler, menyebabkan

perembesan cairan ke ruang interstisial. Pada model binatang, C5a menyebabkan

28

Page 29: respiratory distress dan sepsis pada bayi

hipotensi, vasokonstriksi pembuluh darah paru, neutropenia dan kebocoran

vaskular disebabkan oleh kerusakan endotel.

Trombosit juga terlibat dalam kaskade sepsis, walaupun buktinya belum

jelas. Trombosit dapat menyebabkan kerusakan endotel melalui 2 cara, yaitu:

menginduksi vasokonstriksi dan stimulasi neutrofil. Turunan trombosit, trans-

forming growth factor bl juga terlibat.

Gangguan fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem

koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi penyembuhan luka, angiogenesis

(pembentukan pembuluh darah baru), dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator

fibrinolisis yaitu tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan uroki-nase type

plasininogen activator (u-PA) merubah plasminogen menjadi plasmin. Sekali

terbentuk plasmin, akan terjadi protcolisis fibrin. Tubuh mempunyai inhibitor

fibrinolisis natural yaitu PAI-1 dan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor

(TAFI). Aktivator dan inhibitor ini dibutuhkan untuk mempertahankan

homeostasis. Aktivitas fibrinolitik secara lengkap dihambat 3-4 jam setelah awitan

endotoksemia

Pada pasien sepsis terjadi gangguan koagulasi dan fibrinolisis. Dissemi-

nated intravascular coagulation (DIC) merupakan komplikasi tersering pada

sepsis. Aktivasi koagulasi dan konsumsi trombosit menyebabkan deposisi fibrin

pada pembuluh darah kecil-sedang. Bekuan darah ini menyumbat aliran darah

sehingga perfusi ke organ menurun dan akan menyebabkan disfungsi multi organ.

Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi

perdarahan berat. DIC secara bersamaan menyebabkan trombosis mikrovaskular

dan perdarahan.

29

Page 30: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh

tidak mampu menghilangkan mikrotrombin TNF-a menyebabkan supresi

fibrinolisis akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.

Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang

sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-a dan IL-

6) bekerja sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosit

pada pembuluh darah kecil dari sedang, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi

organ. Secara klinis disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas,

hipotensi, gagal ginjal, dan kematian pada kasus yang berat.

Efek kumulatif kaskade sepsis adalah keadaan tanpa keseimbangan.

Inflamasi dominan terhadap anti inflamasi dan koagulasi dominan terhadap

fibrinolisis, sehingga terjadi trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia, dan

kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ dapat terjadi,

dan akhirnya kematian.

Kerusakan jaringan

Patogenesis kerusakan jaringan sangat kompleks. Kerusakan jaringan

terjadi selama proses inflamasi dan merupakan suatu proses yang progresif yang

akhirnya menimbulkan gangguan fungsi organ. Neutrofil dalam sirkulasi

berinteraksi dengan sel endotel pembuluh darah melalui 3 tahap yaitu

menggulung, adhesi dan migrasi. Proses menggulungnya leukosit diperantarai

sitokin proinflamasi yang menginduksi ekspresi selektin pada leukosit dan

endotel. Adhesi terjadi melalui ikatan leukosit b2 integrins pada endothel:al

intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Ekspresi molekul adhesi meningkat

pada hampir semua pasien dengan sepsis berat dan paling tinggi pada pasien

dengan disfungsi organ multipel. Selanjutnya leukosit akan bermigrasi ke

jaringan.

Leukosit polimorfonuklear (PMN) adalah salah satu mediator selular

utama pada kerusakan jaringan. Leukosit PMN tersebut menumpuk di jaringan

30

Page 31: respiratory distress dan sepsis pada bayi

sebagai respons terhadap endotoksin dan IL-8, yaitu chemoattractan kuat dan

aktivator leukosit PMN. Kerusakan jaringan terjadi akibat degranulasi leukosit

yang menghasilkan protease (termasuk elastase dan matriks metaloprotein yang

dapat memecah struktur protein) dan reactive oxygen species (ROS). Neutrofil

yang teraktivasi memproduksi sejumlah besar ROS yang berasal dari NADPH

oxidase membran sel yang selanjutnya memproduksi oxygen free radical dan

hydroxyl radical. Radikal bebas ini dihubungkan dengan kerusakan jaringan,

namun juga merupakan bagian dari efek sitotoksik mikroba oleh neutrofil.

Disfungsi multi organ

Gangguan fungsi paru sering terjadi pada pasien sepsis atau SIRS, dan

bermanifestasi sebagai takipneu, hipoksemia, dan alkalosis respiratorik. Pada

keadaan berat akan terjadi acute lung injury dan acute respiratory distress syn-

drome (ARDS). Komplikasi ARDS terjadi pada lebih dari 60 % kasus syok septik.

Proses patologik utama adalah disfungsi endotel kapiler paru yang mengakibatkan

edema alveolar dan interstisial yang berisi cairan eksudat dengan kadar protein

yang tinggi dan sel fagosit. Permeabilitas endotel meningkat sebagai respons

terhadap sitokin proinflamasi yang selanjutnya akan terjadi kerusakan alveolus

dan destruksi membran basalis. Neutrofil bersekuestrasi dalam paru sebagai

respons terhadap IL-8. Konsentrasi IL-8 dalam cairan

Gangguan hemodinamik menyebabkan gangguan perfusi dan arterivenous

shunting sehingga menghasilkan hipoksia jaringan dan asidosis laktat. Bukti

menunjukkan bahwa nitric oxide berperan dalam terjadinya hipoksia jaringan dan

peningkatan konsentrasi ROS yang berasal dari mitokondria.

Komplikasi gagal ginjal akut terjadi pada 50 % kasus syok septik dan

secara bermakna mcningkatkan mortalitas. Sitokin menginduksi vasodilatasi

sistemik dan hipovolemia relatif serta menyebabkan hipoperfusi ginjal. Ginjal

memproduksi vasokonstriktor intrinsik sebagai respons terhadap sitokin.

Metabolit asam arakidonat: (tromboksan dan leukotrien) menurunkan aliran darah

31

Page 32: respiratory distress dan sepsis pada bayi

ke ginjal, dan antagonis tromboksan dan leukotren terbukti mempunyai efek

proteksi. Seperti jaringan lain, ginjal rentan terhadap kerusakan jaringan akibat

aktivasi leukosit, produksi protease, dan ROS. (1)

VI. DIAGNOSIS

Sepsis dikemukakan sebelumnya, dalam konsep baru Cascade infeksi,

diagnosis sepsis neonatus ditetapkan apabila terdapat SIRS yang disertai deteksi

baik tersangka infeksi ataupun terbukti infeksi. Tersangka infeksi bila terdapat

sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain). Sedang terbukti

(suspected infection) infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab.

Selain masalah identifikasi kuman/diagnosis klinis sepsis neotarum

mempunyai masalah tersendiri. Gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik.

Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun

kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis ( termasuk adanya faktor

resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis ) , gambaran klinis, dan pemeriksaan

penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu dengan tempat yang lain.

Faktor resiko

Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor ibu, bayi dan lain-

lain.

Faktor resiko ibu :

Ketuban pecah din dan ketuban pecah > 18 jam. Bila ketuban pecah > 24 jam

maka kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1 % dan bila disertai

korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali.

32

Page 33: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Infeksi dan demam (> dari 38 0C) pada masa peripartum akibat

korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh streptokokus

group B (GBS), kolonisasi perineal oleh E.coli, dan komplikasi obstetrik

lainnya.

Cairan ketuban hijau keruh dan berbau

Kehamilan multipel

Keputihan yang tidak diobati

Infeksi saluran kemih (ISK) yang tidak diobati

Leukositosis ibu > 18.000/ml

Faktor resiko pada bayi

Prematuritas dan berat lahr rendah

Resusitasi pada soal kelahiran misalnya pada bayi yang mengalami fetal

distres dan trauma pada proses persalinan.

Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan

Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun

atau asplenia

Asfiksia neonatorum

Cacat bawaan

Tanpa rawat gabung

Pemberian nutrisi parenteral

Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama

Faktror resiko lain

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih

sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada bayi perempuan. Lebih sering pada

bayi kulit hitam dari pada kulit putih, lebih sering pada bayi dengan status sosial

33

Page 34: respiratory distress dan sepsis pada bayi

ekonomi yang rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak

benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien.(1)

Gambaran Klinis

Tanda dan gejala sepsis neonatorum tidak spesifik dengan diagnosis

banding yang luas termasuk gangguan nafas, penyakit metabolik, penyakit

hematologik, penyakit sistem saraf pusat, penyakit jantung dan proses penyakit

infeksi lainnya. (4) .

Pelepasan dini mediator inflamasi menyebabkan demam, takikardi,

takipnu dan vasodilatasi (menimbulkan kulit yang hangat). Jika repon tersebut

tidak dikontrol dengan baik, akan menyebabkan hipoperfusi,somnolen dan

penurunan jumlah urin. Tanda awal mungkin terbatas pada hanya satu sistem

seperti apnea, takipnea dengan retraksi, atau tatikardia, namun pemeriksaan

laboratorium dan klinis secara menyeluruh biasanya akan mengungkapkan

kelainan lainnya. Manifestasi klinis sepsis neonatorum antara lain :

SSP Letargi, refleks hisap buruk, limp, tidak dapat dibangunkan,

poor or high pitch cry, iritable, kejang

Cardovaskular Pucat, sianosis, clummy skin

Respiratorik Takipnea, Apnea, merintih, retraksi

Saluran Pencernaan Muntah, Diare, Distensi abdomen

Hematologik Perdarahan, jaundice

Kulit Ruam, purpura, pustula

34

Page 35: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Manifestasi akhir spesis meliputi tanda-tanda edema serebral dan atau

trombosis, gagal nafas, sebagai akibat sindrom distres respirasi didapat (ARDS)

hipertensi pulmonal, gagal jantung, gagal ginjal. Penyakit-penyakit hepotoseluler

dengan hiperbilirubinemia dan peningkatan enzim waktu protombin (protombin

time) dan waktu trombaplostin parsial ( partial tombroplostin time (PTT) ) yang

menunjang syok septik pendarahan adrenal disertai infusiensi adrenal, kegagalan

sumsum tulang, (trombositopenia/neutropenia, anemia ) dan koagulasi

intravaskuler diseminata (diseminated introvascular coagulation- DIC ). (5)

Kriteria Diagnosis Sepsis pada Neonatus (X)

Variabel Klinis

- Suhu tubuh yang tidak stabil

- Laju nadi > 180 x/mnt atau < 100 x/mnt

- Laju nafas > 60 x/mnt dengan retraksi/desaturasi oksigen

- Letargi

- Intoleransi glukosa (plama glukosa > 10 mmd/L)

- Intoleransi minum

Variabel Hemodinamik

- Tekanan darah < 2SD menurut usia bayi

- Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)

- Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan)

Variabel perfusi jaringan

- Pengisian kembali kapiler/capilary refill > 3 detik

- Asam laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel inflamasi

- Leukositosis (> 34.000 /ml)

- Leukopenia (< 5000/ml)

- Imatur neotrofil : total neutrofil (IT) ratio > 0,2

35

Page 36: respiratory distress dan sepsis pada bayi

- Trombositopenia < 100.000/ml

- CRP > 10/dl atau > 2 SD atas nilai normal

- IL -6 atau IL -8 > 70 mg/ml

- 16 sPCR positif

Pemeriksaaan penunjang

Evaluasi laboratorium dapat membantu diagnosis dan konfirmasi sepsis.

Kultur darah yang positif, cairan serebrospinal atau urin adalah baku emas sepsis.

Namun kadangkala hasil kultur pada neonatus pada resiko tinggi dapat

dipengaruhi oleh paparan antibiotik sebelumnya. Kultur urin dilakukan jika

terdapat kekurangan sepsis awitan lambat.

Pemeriksaan laboratorium

Bukti adanya infeksi

Biakan dari tempat yang secara normal steril ( darah, CSS dll)

Ditemukan adanya mikroorganisme dalam jaringan atau cairan

Deteksi antigen ( urin, CSS)

Serologi ibu / neonatus ( sifilis, toksoplasmosis)

Autopsi

Bukti adanya radang

Leukositosis, rasio neutrofil imatur/ total meningkat

Reaktan fase akut : PRC, LED

Sitokin = IL-6

Pleositosis dalam CSS, sinovia, cairan pleura

Koagulasi intravaskular tersebar, produk pecahan fibrin

36

Page 37: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Bukti adanya penyakit sistem multiorgan

Asidosis metabolik : PH , PCO2

Fungsi paru : PO2, PCO2

Fungsi ginjal : BUN , kreatinin

Fungsi hati : bilirubin, SGOT, SGPT, amonia, PT,PTT

Fungsi sumsum tulang ; neutropenia, anemia, trombositopenia

Petanda diagnosis yang ideal memiliki kriteria yaitu nilai cutoff tepat yang

optimal, nilai diagnostik yang baik yaitu sensitivitas mendekati 100%, spesifitas

>85%, positive probable value(PPV) >85%, negative probable value (NPV)

mendekati 100% dan dapat mendeteksi infeksi pada tahap awal.

Petanda hematologik yang digunakan adalah hitung sel darah putih total,

hitung neutropil, neutropil imatur, rasio neutropil imatur dengan neutropil total

(IT), micro erytrocyte sedimentation rate (ESR), dan hitung trombosit. Tes

laboratorium yang dikerjakan adalah CRP, prokalsitonin, sitokin IL6, GCSF, tes

cepat (rapid test), untuk deteksi antigen dan panel skrining sepsis. (5)

Komponen untuk skrining sepsis yang dihubungkan dengan sensitivitas dan

spasifitas

Uji nilai abnormal sensitivitas spesifitas

CRP

hitung leukosit total

hitung neutropil absolut

rasio neutropil imatur:total

GCSF

> 10mg/L

<5000, >15000

<18000/mm3

>20%

>200Pq/ml

47-100%

17-89%

38-96%

90-100%

95%

83-94%

81-98%

61-92%

50-78%

73%

37

Page 38: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Saat ini kombinasi yang petanda terbaik untuk mendiagnosa sepsis

adalah sebagai berikut : IL6 dan IL1ra untuk 1-2 hari setelah muncul gejala ; IL6

(atau IL1ra, IL8, GCSF, TNF, CRP, dan hematological indecis pada hari ke 0 );

CRP, IL6 (atau GCSF dan hematological indices pada hari ke1) ; dan CRP pada

hari berikutnya untuk memonitor respon terhadap terapi. Penggunaan CRP dan

IL6 secara simultan memiliki sensitivitasb 100% karena peningkatan CRP plasma

terjadi pada 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL6 telah menurun. (1)

Pendekatan diagnosis

Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium tunggal yang

mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang cukup baik sebagai indikator sepsis,

sehingga hasil laboratorium harus digunakan bersama dengan faktor resiko dan

gejala klinis.

Philip dan havitt pada tahun 1980 mengemukakan cara penapisan sepsis

neonatorum awitan dini, berdasarkan kombinasi dan hasil pemeriksaan

laboratorium, yaitu :

Jumlah leukosit < 5000/mm3

Rasio neutropil imatur : total neutropil = 0,2

Laju endap darah = 15 mm/jam

Latex CRP positif (>0,8 mg/100ml)

Latex haptoglobin ( > 25 mg/100ml)

Kriteria sepsis terpenuhi bila terdapat 2 atau lebih hasil tersebut dengan

sensitifitas 93%, spesifitas 88%, dan PPV 99%. Bila kurang dari 2 macam

pemeriksaan yang memberikan hasil positif maka kemungkinan bukan sepsis

mencapai 99%. Mereka juga mengemukakan kombinasi leukopenia dan

peningkatan rasio neutropil imatur : total merupakan petanda prediksi sepsis

awitan dini yang baik. penapisan sepsis ini sederhana, mudah dilakukan, praktis.

38

Page 39: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Pada tahun 1982, Wiswell menerapkan kriteria yang sama untuk

mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat. Mereka juga berpendapat bahwa

rasio neutropil imatur: total kurang sensitif sebagai petanda sepsis awitan lambat

dibandingkan petanda sepsis awitan dini (58% berbanding 90%). Sebaliknya latex

CRP menunjukan sensitifitas yang lebih tinggi sebagai petanda sepsis awitan

lambat dibandingkan sebagai petanda sepsis awitan dini (75% berbanding 47%).

Spektur dkk pada tahun 1980 mengemukakan sistem skoring 5 poin

untuk memprediksi kultur bakteri positif pada bayi yang dievaluasi untuk infeksi

bakteri berdasarkan anamnesis, klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Bayi yang

memiliki skor > 3 mempinyai resiko tinggi untuk terinfeksi dan harus diterapi

dengan antibiotik.

Sistem skoring untuk prediksi kultur bakteri positif

Penemuan skor

Lebih dari 2 sistem organ terlibat

Jumlah leukosit total < 10000 atau

=20000/mm3

Jumlah neutropil absolut < 1000 /mm3

rasio neutropil batang : neutropil matur

usia >1 minggu

1

1

1

1

1

Rodwell dkk pada tahun 1987 mengumumkan sistem skoring heatologis

untuk menegakan diagnosis dini sepsis neonatorum dini dan lambat. Semakin

besar skor semakin besar kemungkinan sepsis. Dengan skor = 3 sensitivitas

mencapai 96 % , spesifisitas 78%. PPV 31%, NPV 99%.

39

Page 40: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Sistem skoring hematologis untuk menegakan diagnosis dini sepsis neonatorum

awitan dini dan lambat

skor

---------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Rasio imatur : total neutrofil meningkat 1

2. Jumlah total PMN meningkat atau menurun 1

3. Rasio imatur : matur neutrofil = 0,3 1

4. Jumlah imatur PMN meningkat 1

5. Jumlah total leukosit menurun / meningkat (=5000/mm3 atau =23000,

30000,21000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam dan usia 2 hari) 1

6. Terdapat perubahan degeneratif pada PMN = 3+| untuk vakualisasi,

granulasitoksik, badan dohle 1

7. Jumlah trombosit= 150000/mm3 1

Mahieu dkk pada tahun 2000 membuat sistem skoring untuk memprediksi

sepsis nosokomial pada neonatus yang dirawat di ruang perawatan intensif bayi

baru lahir. Berdasarkan pengolahan data tersebut disusun kriteria untuk

memprediksi nasokomial pada neonatus yang disebut skor NOSEP 1. Total skor

maksimum 24. Skor = 8 memiliki sensitivitas 95 %, spesivitas 43%, PPV 54%,

NPV 93%. Skor = 14 memiliki sensitivitas 96%, spesifitas 100%, PPV 100%, dan

NPV 60%.

Kreiteria di atas oleh fidia segar disebut a rule of 14, yaitu nutrisi parenteral 14

hari, CRP 14 mg/ml. Trombosit 140x 10 9/l,dan skor NOSEP 14. (1)

40

Page 41: respiratory distress dan sepsis pada bayi

SKOR NOSEP 1 untuk memprediksi sepsis nasokomial pada neonatus.

Skor

Nutrisi parenteral = 14 hari 6

CRP = 14mg/ml 5

Trombositopenia (<150 x 10 9/l) 5

Demam (>38,2 C atau 100,8 F) 5

Neutrofil >50% 3

VII. TATALAKSANA

Pengendalian infeksi

Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera dimulai

tanpa menuggu hasil kultur darah. Penggunaan antibiotik secara empiris dapat

dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab tersering ditemukan di

klinik tersebut. Selain itu, hendaknya diperhatikan pola resistensi kuman masing-

masing klinik. Segerea setelah didapatkan hasil kultur darah, maka jenis antibiotik

disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya. Bila hasil kultur

tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secra klinis baik,

maka antibiotik harus dihentikan. Tapi bila bayi tersebut menderita pneumonia

atau terdapat gejala klinis sepsis, antibiotik sebaiknya tidak dihentikan walaupun

hasil kultur steril. Lama pemberian terapi antibiotik selama 10-14 hari, sedangkan

penderita yang disebabkan oleh kuman Gram negatif pengobatan kadang-kadang

diteruskan sampai 2-3 minggu. Pada meningitis antibiotik diberikan 2-3 minggu.

41

Page 42: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Terapi antibiotik pada bayi prematur dan berat lahir kecil dengan

tersangka sepsis umumnya dimulai pada saat lahir dan dilanjutkan sampai 5 hari

atau lebih walaupun kultur darah steril. Bayi dan ibu yang memperoleh antibiotik

intrapartum akan mempersulit dokter, karena pertumbuhan kultur dapat dihambat.

Bila ibu diberi antibiotik intrapartum, maka bayi tetap diobservasi maksimum 48

jam setelah lahir dan bila terdapat gejala klinis sepsis, harus dilakukan evaluasi

diagnosis dan terapi empirik. Pada kasus simtomatik sebaiknya diterapi 10 hari

walau kultur darah steril. Untuk asimtomatik, keputusan dibuat sesuai dengan data

kultur dan laboratorium (hitung lekosit < 5000/mm3 atau > 30000/mm3, ratio

imatur/ total netrofil >0,2, CRP > 0,8 mg/dl, micro eritrosit sedimentation rate >

15mm/jam). Bila uji tapis sepsis pada bayi yang asimtomatik menunjukkan hasil

negatif, kemungkinan infeksi sangat rendah. Pada umumnya terapi antibiotik

diberikan pada bayi prematur asimtomatik dengan hasil uji tapis positif.

Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan resistensi

dibandingkan spektrum sempit. Sampai saat ini masih ada pemikiran yang keliru

bahwa antibiotik spektrum luas lebih baik karena dapat lebih banyak mencakup

banyak organisme. Surveilens bakteri dan pola resistensi harus secara rutin

dilakukan di setiap unit neonatal untuk menetapkan kebijakan penggunaan

antibiotik di masing-masing unit. Pemakaian antibiotik berlebihan juga dapat

menyebabkan sepsis jamur pada neonatus.

Untuk menurunkan resistensi mikroorganisme diperlukan 2 strategi

umum : yaitu kontrol infeksi dan kontrol antibiotik. Rotasi antibiotik dilaporkan

efektif menurunkan resistensi dibeberapa tempat. Anjuran periode rotasi antibiotik

adalah : 2 bulan. Sebagai contoh rotasi antiibiotik yang mengandung beta laktam :

agen beta laktam ditambah beta laktamase inhibitor (misal ampisilin sulbaktam,

amoksilin klavulanat) selam 2 bulan- karbapenem selama 2 bulan- sefalosporin

generasi ke 3 atau ke 4 selama 2 bulan dan seterusnya. Pada kasus yang berat

sebaiknya dikombinasikan dengan aminoglikosida untuk mencegah munculnya

mutan resisten.

42

Page 43: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini

Pada bayi dengan SAD terapi empirik harus meliputi SGB, E, coli, listeria

monocytogenes, kombinasi penisilin / ampisilin dengan aminoglikosida umunya

efektif terhadap semua organisme penyebab SAD. Infeksi listeria dapat diobati

dengan ampisislin saja, untuk infeksi SGB dan sebagian besar kuman anaerob

dengan penisilin. Meskipun demikian terapi kombinasi penisilin/ampisilin dan

aminoglikosida sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri

Pemilihan antibiotik sepsis awitan lambat

kombinasi penisilin / ampisislin dan aminoglikosida dapat juaga

digunakan untuk terapi awal SAL. Infeksi nosokomial lebih disukai

netilmisin/amikasin. Pada kasus dengan resiko pseudomonas (terdapat lesi kulit

topikal) dapat diberikan piperasilin dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga).

Infeksi bakteri negatif gram dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin

(ampisilin, atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida., sefalosporin

generasi ke 3 dikombinasi dengan aminoglikosida. Antibiotik baru untuk kuman

gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain, adalah imipenem/meropenem,

karbapenem, aztreonam dan isepremisin.(1)

Staphylococci sensitive terhadap antibiotic golongan penisilin resisten

penisilinase (misal : oksasiklin, nafsilin, dan metilsilin ). Strain resisten yaitu

CONS ( Staphylococcus koagulase negatif ) sensitive terhadap vankomisin,

kombinasi vankomisin dan aminoglikosida menghasilkan efek bakterisidal yang

lebih baik untuk infeksi jamur dapat dipakai = amfoterisin B ( liposomal ), pilihan

lain yaitu fluconazole. Bila sudah terjadi komplikasi meningitis enteric gram

negatif, obat yang saat ini paling baik adalah cefotaxime, oleh karena

bakteridalnya tinggi dan toksisitasnya rendah.(3)

Divisi paranatologi RSCM, dengan mempertimbangkan pola kuman yang

tersering ditemukan, memberikan antibiotik spectrum luas sambil menunggu

43

Page 44: respiratory distress dan sepsis pada bayi

biakan darah / uji resistensi. Antibiotik yang menjadi pilihan pertama adalah

sefalosporin ( sefotaksim ) dikombinasi dengan amikasin. Pilihan kedua ampisilin

dikombinasikan dengan kloramfenikol. Pilihan selanjutnya kotrimoksazol. Pada

pemberian antibiotik ini yang perlu mendapat perhatian adalah pemberian

kloramfenikol pada neonatus tidak melebihi 50 mg / kg bb / hari untuk mencegah

terjadinya sindrom “ grey baby” dan pemberian sefalosporin serta kotrimoksazol

tidak dilakukan pada bayi < 1 minggu.(7)

Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tata laksana utama

pengobatan sepsis neonatorum berbagai upaya pengobatan tambahan banyak

dilakukan dalam upaya memperbaiki mortalitas bayi. Pengobatan tambahan /

terapi inkonvensional semacam ini selain mengatasi berbagai defisiensi dan

belum matangnya fungsi pertahanan tubuh neonatus. Juga dalam mengatasi

perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit dan cascade inflamasi pasien

sepsis neonatorum. (1)

Antibiotik Dosis

tunggal/kgbb

Frekuensi Cara

pemberia

n

Cacatan

Amikasin 10 mg satu kali IV

7,5 mg setiap 12 jam IV

Garamisin 5-7 mg Satu kali IV

Netilmisin 2,5-3 mg Setiap 12 jm IV

Gentamisin 2,5 mg Setiap 12 jam

(umur <7 hari),

setiap 8 jam

( umur > 7 hari)

44

Page 45: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Ampisilin 25-50 mg Setiap 12 jam

(umur<7 hari)

setiap 8 jam

{umur > 7 hari)

IV

I M Oral

50 mg/kg/6 jam untuk

meningitis

Cefotaxime 25 mg setiap 1 2 jam IV IM 150-200 mg/kg/ hari

pada infeksi berat

Kloramfeniko

l

prematur

25 mg matur

50 mg

sekali sehari

(bayi berumur <

1 4 hari) setiap 1

2 jam (umur> 14

hari

IM oral - kadar dalam darah

harus dimonitor • kadar

terapeutik 15-25mg/l -

kadar toksik 50 mg/l

Metronidazol 7,5 mg setiap 8 jam IV

Oral

Penisilin G

(benzilpeni-

silin)

1 5-30 mg setiap 1 2 jam

(umur < 7 hari)

setiap 8 jam

(umur > 7 hari)

IV IM 30 mg/kg/dosis untuk

infeksi Streptococcus

Piperasilin 50 mg setiap 1 2 jam IV IV

Vankomisin 15 mg setiap 1 2 jam

selama 1 jam

IV monitor kadar dalam

darah, batas atas 25-40

jig/ml, batas bawah 5-

10}ig/ml

45

Page 46: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Amfoterisin B 0,1 mg

dinaikkan

sampai 1 ,0

mg selama 7

hari

setiap hari IV selama

6 jam

Efek samping: fungsi

ginjal menurun. Tera- ;

pi infeksi jamur sis'emik

selama 4-6 minggu

46

Page 47: respiratory distress dan sepsis pada bayi

1. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan(6)

2. Pengobatan komplikasi

Pernafasan : kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan

pemberian oksigen, atau kemudian dengan ventilator.

Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, mencegah

syok dengan pemberian volume expander 10-20 ml/kgBB ( NaCl 0,9%,

albumin dan darah). Catatan pemasukan cairan dan pengeluaran urin. Kadang

diperlukan pemakaian dopamine atau dobutamin.

Hematologi : untuk DIC ( trombositopeni, protrombin time mamanjang,

tromboplastin meningkat), sebaiknya diberikan FFP 10 ml/KgBB, vit K,

suspensi trombosit, dan kemungkinan transfuse tukar. Apabila terjadi

neutropeni, diberikan trasfusi neutrofil

Susunan syaraf pusat : bila kejang beri fenobarbital ( 20 mg/KgBB loading

dose) dan monitor timbulnya syndrome inapropiate hiponatremia hormone

(SIADH), ditandai dengan ekskresi air turun, hiponatremia, osmolaritas serum

turun, naiknya berat jenis urin dan osmolaritas.

Metabolic : monitor dan terapi hipo dan hiperglikemia. Koreksi asidosis

metabolic dengan bikarbonat dan cairan.(4)

Tranfusi tukar

Tindakan ini bertujuan untuk :

Mengeluaarkan /mengurangi toksin /produk bakteri dan mediator

penyebab sepsi

47

Page 48: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan

kapasitas oksigen dalam darah

Memperbaiki sistem imun dengan adnya tambahan neutropil dan

berbagai antibody yang mungkin terkandung dalam darah donor

Kendala yang sering terjadi adalah pelaksanaan yang suklit dan mempunyai

potensi menimbulkan reaksi tranfusi (1)

3. Kortikosteroid

Pada awalnya pasien sepsis diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi

untuk mengatasi reaksi inflamasi akibat infeksi, akan tetapi hal ini tidak di

anjurkan lagi karena terbukti tidak membawa perbaikan. Pada saat ini

pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan untuk mengatasi

kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi adrenal. Kortikosteroid dosis

rendah bermanfaat pada pasien syok septic karena terbukti memperbaiki

respons terhadap katekolamin dan meningkatkan survival.(1)

Efek anti inflamasi glikokortikoid

Anti inflamasi mekanisme

Produksi sitokin proinflamasi

Produksi sitokin anti infalmasi

Migrasi sel inflamasi

Ekspresi medistor inflamasi

Ekspresi marker membran sel

Apoptosis

inhibisi sintesis IL2,3,4,5 IFN9, GMCSF limfosit T

InhibisisintesisIL1,TNFa,IL6,8,12,MIFmakrofag/

monosit

Inhibisi sintesis IL 8 neutropil

peningkatan sintesis antagonis reseptor IL10,IL1

inhibisi produksi kemokin MCP, IL8

Stimulasi produksi MIF dan lipokortin makrofag

inhibisi sintesis PLA2, soluble, induksi sintesis

COX

inhibisi molekul adhesi ICAM1, ECAM2, LFA1

eosinofil dan limfosit T matur

Dikutip dari prigent dkk 2004

48

Page 49: respiratory distress dan sepsis pada bayi

4. Pemberian Imunoglobulin secara Intravena ( IVIG)

Pemberian IVIG dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan antibody

tubuh serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah putih. Manfaat

pemberian IVIG sebagai tata laksana tambahan masih bersifat kontroversi.

Dilaporkan bahwa IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis sepsis

neonatorum ( khususnya pada baya BBLR ) dibanding bila dipakai sebagai terapi

standar sepsis.(1)

5. Tata laksana imunologik sepsis neonatorum

Seperti telah dikemukakan terdahulu dalam konsep baru infeksi neonatus

ditemukan perubahan fisiologik sistem imun, baik humoral maupun selular. Salah

satu respon yang terjadi pada infeksi sistemik adalah terbentuknya sitokin baik

sitokin proinflamasi (IL2,IL6, IFNY, TNF alpha) maupun antiinflamasi

(IL4,IL10). Bila terdapat dominan sitokin proinflamasi maka akan terjadi renjatan

dan disfungsi organ. Sedangkan sebaliknya bila sitokin anti inflamasi berlebihan

akan terjadi supresi terhadap sistem imun. Oleh karena itu hipotesis menyatakan

pengurangan sirkulasi TNF alpha dan IL1 (sitokin proinflamasi) dalam sirkulasi

akan menghambat perkembangan cascade sepsis. Hipotesis ini dibuktikan dengan

menyuntikan reseptor antagonis IL1 (IL1 ra) pada binatang percobaan dapat

merintangi aktivitas IL1 sehingga terhindar dari akibat bakterimia dan

endotoksemia.

49

Page 50: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Pelaporan penelitian tersebut mempunyai arti penting dalam tat laksana

sepsis neonatorum. Pada bayi denangan resiko dimungkinkan merencanakan tata

laksana sepsis secra lebih efisien sehingga komplikasi jangka panjang yang

mengganggu tumbuh kembang bayi dapat dihindarkan. Penelitian klinik

terhadap pemberian terapi IL1ra dan anti TNF alpha pada penderita sepsis baru

merupakan penelitian pendahuluan. Apabila penelitian klinik ini dapat

memberikan hasil seperti yang diperoleh pada penelitian eksperimental,

diharapkan tata laksana sepsis neonatorum akan lebih optimal. (1)

VIII. PENCEGAHAN

Meningkatkan dan memperbaiki perawatan prenatal, menganjurkan agar

ibu hamil dengan resiko tinggi supaya melahirkan di rumah sakit yang ada tempat

perawatan khusus untuk bayinya, dan melengkapi adanya alat transportasi modern

yang dapat mengurangi resiko ibu dan neonatus terjangkit infeksi. Beberapa

penelitian menunjukan bahwa pemberian antibiotic profilaksis pada ketuban

pecah dini, infeksi peripartum, sindrom gawat nafas, transfusi tukar, tindakan

operasi pada neonatus, dan pemasangan kateter melalui umbilicus tidak

memberikan hasil yang memuaskan. Untuk mencegah terjadinya wabah penyakit

ditempat rawat neonatus, perlu dilakukan pembersihan ruangan dan tempat tidur

bayi, sterilisasi alat secara teratur, upaya mencuci tangan setiap kali sebelum dan

sesudah memegang bayi, pengawasan infeksi secara teratur ditempat rawat

neonatus, dan pengenalan serta pengelolaan sumber wabah yang biasa terdapat

streptococcus grup B dn K1 antigen yang mengandung jenis E.Coli yang

diberikan kepada ibu hamil untuk mencegah infeksi secara pasif pada neonatus

IX. PROGNOSIS

Pada umumnya angka kematian sepsis neonatal berkisar antara 10-40%

dan pada meningitis 15-50%. Tinggi rendahnya angka kematian tergantung dari

50

Page 51: respiratory distress dan sepsis pada bayi

waktu timbulnya penyakit, penyebabnya, besar kecilnya bayi, beratnya penyakit,

dan tempat perwatannya. Gejala sisa neurologik yang jelas tampak adalah

hidrosefalus , retardasi mental, buta, tuli, dan cara bicara yang tidak normal.

kejadian gejala sisa ini adalah sekitar 30-50% pada bayi yang sembuh dari

meningitis neonatus.(3)

Ketuban Pecah Sebelum Waktu

I. Definisi

Ketuban pecah sebelum waktu adalah pecahnya selaput ketuban

sebelum ada tanda-tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi

inpartu. Menurut Mochtar, ketuban pecah sebelum waktu adalah pecahnya

ketuban sebelum partu yaitu bila pembukaan 3 cm pada primigravida dan

pada multipara kurang dari 5 cm. Hal ini dapat terjadi pada akhir

kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.

Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses

persalinan. Bila ketuban pecah sebelum waktu terjadi sebelum usia

kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah sebelum waktu pada

kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil

aterm akan mengalami ketuban pecah sebelum waktu.

II. Faktor Risiko Ketuban Pecah Sebelum Waktu

Penyebab ketuban pecah sebelum waktu pada sebagian kasus tidak

diketahui, namun ada beberapa faktor yang mempermudah pecahnya

selaput ketuban antara lain:

1. Faktor Maternal

a. Usia ibu

Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses

kehamilan, kesehatan janin, dan proses persalinan. WHO

51

Page 52: respiratory distress dan sepsis pada bayi

merekomendasikan untuk usia yang dianggap paling aman menjalani

kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun.

Meningkatnya usia membuat kondisi dan fungsi rahim

menurun. Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun

melemah sejalan pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul

tidak mudah lagi menghadapi dan mengatasi komplikasi yang berat.

Selain itu terjadi penurunan produksi hampir semua hormon, termasuk

hormon estrogen dan progesteron. Estrogen dan progesteron dapat

menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan

konsentrasi TIMP. Itu sebabnya, risiko persalinan preterm meningkat

dengan usia lebih dari 35 tahun. Lars Ladfors menyatakan bahwa

kejadian ketuban pecah sebelum waktu banyak terjadi pada umur ibu

≥ 35 tahun.

b. Jumlah paritas

Manuaba (2010) menyatakan bahwa paritas

(multi/grandemultipara) merupakan faktor penyebab umum terjadinya

ketuban pecah sebelum waktu. Sedangkan menurut Geri Morgan dan

Carole Hamilton (2009), paritas merupakan salah satu faktor yang

mengakibatkan ketuban pecah sebelum waktu karena peningkatan

paritas yang memungkinkan kerusakan serviks selama proses kelahiran

sebelumnya dan teori Dr. Prasanthi (2009) yang menyebutkan bahwa

risiko terjadinya ketuban pecah sebelum waktu lebih banyak terjadi

pada grandemultipara yang disebabkan oleh motilitas uterus berlebih,

perut gantung, kelenturan leher rahim yang berkurang. Sementara

penelitian oleh Ladfors menyatakan bahwa kejadian ketuban pecah

sebelum waktu meningkat pada primipara.

c. Riwayat abortus

52

Page 53: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Linn dan Harger menyatakan bahwa ibu dengan riwayat

abortus pada kehamilan sebelumnya dapat mempunyai risiko 2 kali

lebih tinggi untuk mengalami ketuban pecah sebelum waktu.

d. Riwayat ketuban pecah sebelum waktu

Wanita dengan riwayat ketuban pecah sebelum waktu

sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah sebelum waktu

pada kehamilan selanjutnya karena komposisi membran yang menjadi

rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan

berikutnya.

2. Faktor Uteroplasenta

a) Infeksi intrauterin

Adanya infeksi intrauterin selama kehamilan meningkatkan

risiko terjadinya ketuban pecah sebelum waktu. Mikroorganisme

penyebab infeksi merupakan sumber protease dan fosfolipase yang

dapat mengakibatkan predisposisi pecahnya ketuban.

b) Inkompetensia serviks

Inkompetensia serviks adalah kondisi dimana serviks lemah

dan tidak mampu mempertahankan janin dalam uterus hingga akhir

kehamilan. Kelainan ini ditandai oleh pembukaan serviks tanpa nyeri

pada trimester II atau mungkin pada awal trimester III, disertai prolaps

dan mengembangnya selaput ketuban ke dalam vagina, diikuti

pecahnya selaput ketuban dan ekspulsi janin imatur.

c) Distensi berlebihan uterus

Distensi berlebihan uterus yang meliputi polihidramnion,

kehamilan kembar, berat bayi lahir yang berlebih dapat menyebabkan

peregangan selaput ketuban dan meningkatkan risiko terjadinya

53

Page 54: respiratory distress dan sepsis pada bayi

ketuban pecah sebelum waktu. Peregangan selaput ketuban diatur oleh

produksi dari faktor-faktor amnion berupa prostaglandin E2 dan IL-8.

d) Trauma saat kehamilan

Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban

pecah sebelum waktu yaitu koitus, amniosentesis, dan pemeriksaan

dalam. Koitus meningkatkan kejadian ketuban pecah sebelum waktu

preterm karena mengakibatkan trauma lokal dan mengakibatkan

masuknya mikroba ke traktus genital atas sehingga bisa menjadi

sumber infeksi yang dapat memacu kejadian ketuban pecah sebelum

waktu. Amniosentesis maupun pemeriksaan dalam dapat

mengakibatkan ketuban pecah sebelum waktu apabila disertai infeksi.

Amniosentesis merupakan pemeriksaan cairan amnion yang bersifat

invasive, prosedur pada amniosentesis dapat merusak selaput ketuban

dan dapat mengakibatkan pecahnya selaput ketuban, namun kejadian

ini jarang terjadi.

III. Tanda dan Gejala Ketuban Pecah Sebelum Waktu

Tanda yang terjadi adalah

- Keluar air ketuban warna putih keruh, jernih, kuning, hijau,

atau kecokelatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak

- Dapat disertai demam bila sudah infeksi

- Janin mudah diraba

- Pada pemeriksaan dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban

sudah kering

- Inspekulo: tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban

tidak ada dan air ketuban sudah kering

IV. Mekanisme Ketuban Pecah Sebelum Waktu

54

Page 55: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh

kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena

pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan

selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban

rapuh.

Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler

matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen

menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban

pecah.

Faktor risiko untuk terjadinya ketuban pecah sebelum waktu adalah:

- Berkurangnya asam aerobik sebagai komponen kolagen

- Kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat

pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain merokok

Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase

(MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor

protease. Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan

TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler

dan membarn janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat

menjelang persalinan, pada penyakit periodonitis dimana terdapat

peningkatan MMP, cenderung terjadi ketuban pecah sebelum waktu.

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester

ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput

ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan

gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada

selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal

fisiologis. Ketuban pecah sebelum waktu pada kehamilan prematur

disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang

menjalar dari vagina. Ketuban pecah sebelum waktu prematur sering

terjadi pada polihidramnion, inkompeten serviks, solusio plasenta.

V. Penilaian Klinik

55

Page 56: respiratory distress dan sepsis pada bayi

- Tentukan pecahnya selaput ketuban. Ditentukan dengan adanya

cairan ketuban di vagina, jika tidak ada dapat dicoba dengan

gerakan sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien

batuk atau mengedan. Penentuan cairan ketuban dapat

dilakukan dengan tes lakmus (Nitrazin Test) merah menjadi

biru, membantu dalam menentukan jumlah cairan ketuban dan

usia kehamilan, kelainan janin.

- Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.

- Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi bila suhu

ibu ≥ 380C, air ketuban yang keruh dan berbau. Pemeriksaan

air ketuban dengan tes LEA (Lekosit Esterase), lekosit darah >

15.000/mm3. Janin yang mengalami takikardi, mungkin

mengalami infeksi intrauterin.

- Temukan tanda-tanda inpartu. Tentukan adanya kontraksi yang

teratur, periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan

penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk

menilai skor pelvik.

VI. Komplikasi Ketuban Pecah Sebelum Waktu

Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah sebelum waktu

bergantung pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun

neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat,

deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya

persalinan normal.

a) Persalinan prematur

Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode

laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi

dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu

50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu

persalinan terjadi dalam 1 minggu.

56

Page 57: respiratory distress dan sepsis pada bayi

b) Infeksi

Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah sebelum

waktu. Pada ibu terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi

septicemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis

sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah sebelum waktu prematur,

infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder

pada ketuban pecah sebelum waktu meningkat sebanding dengan lamanya

periode laten.

c) Sindrom deformitas janin

Ketuban pecah sebelum waktu yang terjadi terlalu dini menyebabkan

pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan

anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonar.

d) Hipoksia dan asfiksia

Semakin panjang fase laten maka semakin besar kemungkinan

terjadinya infeksi. Lama ketuban pecah lebih dari 12 jam meningkatkan

risiko asfiksia neonatorum (Ana Setiyana, 2009). Ketuban pecah sebelum

waktu dapat menyebabkan asfiksia. Terjadinya asfiksia seringkali diawali

terjadinya infeksi pada bayi baik aterm maupun prematur. Infeksi dan

oligohidramnion pada ketuban pecah sebelum waktu merupakan penyebab

dari sekian banyak penyebab asfiksia neonatorum (Manuaba, 2007).

Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan

lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman dari vagina

naik ke kavum uteri, melekat pada desidua (menimbulkan desidualitis),

lalu terjadi penyebaran infeksi ke selaput khorion dan amnion

(menimbulkan khorioamnionitis) dan berkembang menjadi

khoriovaskulitis (infeksi pada pembuluh darah fetal) serta amnionitis. Bila

57

Page 58: respiratory distress dan sepsis pada bayi

cairan amnion yang septik teraspirasi oleh janin maka akan menyebabkan

pneumonia kongenital, otitis, konjungtivis sampai bakteremia dan sepsis.

Keadaan infeksi pada bayi baru lahir akan meningkatkan kebutuhan

metabolisme anaerob, sehingga ada kemungkinan tidak dapat dipenuhi

oleh aliran darah dari plasenta. Hal ini menimbulkan aliran nutrisi dan O2

tidak cukup sehingga menyebabkan metabolisme janin menuju

metabolisme anaerob dan terjadi penimbunan asam laktat dan piruvat yang

merupakan hasil akhir dari metabolism anaerob. Keadaan ini akan

menimbulkan kegawatan janin (fetal distress) intrauterin yang akan

berlanjut menjadi asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir.

Cairan amnion berfungsi sebagai sawar proteksi terhadap infeksi

asenden vagina, memungkinkan pergerakan bebas janin, tempat

mengapungnya tali pusat sehingga tidak terjadi kompresi tali pusat yang

menyebabkan terhambatnya aliran darah yang mengandung O2 dari ibu ke

janin.

Kompresi tali pusat bisa terjadi karena oligohidramnion akibat fase

laten ketuban pecah sebelum waktu. Semakin lama fase laten maka janin

semakin gawat karena semakin sedikit air ketuban yang tersisa. Kompresi

tali pusat akan menimbulkan fetal distress. Tali pusat penting dalam

penyaluran gas oksigen dan karbondioksida antara janin dan plasenta,

plasenta adalah tempat dimana terjadinya pertukaran darah maternal dan

janin. Dengan adanya kompresi tali pusat menyebabkan penekanan

pembuluh darah pada tali pusat dan akan mengganggu aliran nutrisi dan

oksigen ke janin sehingga akan menimbulkan hipoksia, pertumbuhan dan

perkembangan janin tidak optimal, memicu fetal distress hingga akhirnya

menjadi asfiksia neonatorum. Fetal distress menyebabkan makin

terangsangnya nervus vagus dan akan meningkatkan peristaltik saluran

pencernaan, sehingga mekoneum akan dikeluarkan karena sfingter ani

akan melakukan relaksasi, yang mengakibatkan semakin mengentalkan

cairan amnion. Cairan amnion yang mengental akan menimbulkan

penekanan dada, sehingga saat lahir akan terjadi kesulitan bernafas, karena

58

Page 59: respiratory distress dan sepsis pada bayi

paru mengalami hipoplasia sampai atelektase paru, keadaan ini akan

berujung terjadinya asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir.

VII. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Sebelum Waktu

a. Konservatif

- Rawat di Rumah Sakit

- Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin

bila tidak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg

selama 7 hari.

- Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air

ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar

lagi.

- Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada

infeksi, tes busa negatif: beri deksamethason, observasi

tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi

pada kehamilan 37 minggu.

- Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak

ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason,

dan induksi sesudah 24 jam.

- Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri

antibiotik dan lakukan induksi.

- Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, lekosit, tanda-tanda infeksi

intrauterin).

- Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk

memacu kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan

periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis

betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari,

deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.

b. Aktif

59

Page 60: respiratory distress dan sepsis pada bayi

- Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila

gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50

µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.

- Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi

dan persalinan diakhiri. Bila skor pelvik < 5 lakukan

pematangan serviks kemudian induksi. Jika tidak berhasil,

akhiri persalinan dengan seksio sesarea. Bila skor pelvik <

5 induksi persalinan, partus pervaginam.

60

Page 61: respiratory distress dan sepsis pada bayi

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Buku Ajar Neonatologi, cetakan

ketiga. Jakarta : Badan Penerbit IDAI

2. Hegar, badriul. Tribowo, partini., Irfan, evita bermansah. Update in

Neonatal Infections. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM ;

Jakarta : 1- 127.

3. Sepsis Neonatal. Diunduh dari http://www.idai.or.id

4. Markum A.H. Prematuritas dan Retardasi Pertumbuhan Intrauterine.

Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid I, cet.3, Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 1996; 221-36

5. Sepsis Neonatal. Diunduh dari http://www.emedicine.medscape.com

6. Behrman, kliegman, Arvin. Sepsis dan Meningitis Neonatus Nelson

textbook of Pediatrics. edisi,15. Penerbit EGC ; Jakarta 2000 : 653 – 655.

7. Sumarmo,Gama Herry, Hadinegoro Sri Rezeki. Sepsis dan syok septic.

Buku ajar ilmu kesehtran anak . infeksi dan penyakit tropic. Ikatan dokter

anak Indonesia, Jakarta 2002 : 391-398

8. Hassan, Rusepno, et al (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3.

Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Jakarta. 1985

9. Nelson, Waldo, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed.15, vol.1.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Dr.Herman

Lama dan proses ascending lalu air ketuban terinfeksi dan tertelan oleh bayinya.

Pada nenonatus blum tentu ada ronki diagnosis bisa dibuat dngan manifestasi

klinis yg ada dan pemeriksaan pnunjang. Bronko dan sepsis bisa sama diagnosis

klinis. Misal bayi aktif tpi retraksi brarti itu bronkopneumonia. Terapi sepsis dan

bronkopneumonia itu sama. Pada kasus ini bisa terjadi MAS, bisa intrauterin

61

Page 62: respiratory distress dan sepsis pada bayi

(manifes ada meknium stain, distress pernapasa dngn diametr anteroposteror

leboh bsar, cembung) dan kita dpt poto thoraks infiltrat kasar.

Sepsis bisa menyebabkan bronkopneumonia scara hematogen ke paru. Klo bayi

hipoksia duluan maka terjadi aspirasi amnion.

Antibiotik diberikan intravena. Cepalosporin tidak boleh diberikan intramuskular

pada bayi baru lahir. Sampai sekarang blum ada kesepaktan, tpi biasanya blum

ada pmbrian antipertik tpi klo hiperperksia diberikan terpaksa.

Dr.Yudianita

Harus ada daftar pustaka.

Dr.Herman

Hijau karena mekonium

Jika KPSW harus dirujuk dan ksih antibiotik

Jika ketemu fetal distress lngsung SC

Klo induksi persalinan bisa memperluas infeksi

Late onset lebih sering terjadi meningitis daripada early onset

Capilarry reaktive time:ditekan kukunya ata tngannya ditahan dan dilepas apakah

merah?

klo kurang dari 3 boleh diberikan 10cc per kg dngn pemberian lambat

Tidak harus dikasih dextrose, melihat keadaanya dulu.

Biasanya bayi sepsi kebanyakan hipotermi, suhu ruangan harus diatas 1,5 pada

suhu inkubator. Pantau setiap 15 meint. Tidak boleh dinaikan cepat2 agar tidak

terjadi cedera panas.

62

Page 63: respiratory distress dan sepsis pada bayi

Stabilkan kardiovaskluer berikan volume expander =berikan 10-30 mnit trgntung

besar bayinya, jika tidak baik juga diberikan inotropic.

Kasus

Pemeberian antibiotika tergantug dimana tmpt bayi itu trgntung resistensi daerah

tersebut klo tidak ada brarti diambil umum. Klo udah resisten kasih cepalosporin.

63