Representasi Subjektivitas Perempuan -...

21
1 Representasi Subjektivitas Perempuan dalam Dua Cerita Pendek Bahasa Inggris Aquarini Priyatna Prabasmoro, Ekaning Krisnawati, Eva Tuckyta Sari Suyatna Abstract In the Western normative thinking of subjectivity as reflected in the Cartesian idea of mind and body, subjectivity lies primarily in the mind while the body is regarded to be a mere container. Looking at the six short stories of three women writers (Enough Rope, Hair Jewellery, The Blush) and three men writers (Pinkland, Nude on the Moon, A Rose for Emily), only two of which are delineated in this article, we find that subjectivity as represented by the women/”women” characters are not determined merely by the mind. The short stories show that the body plays a significant role in the construction of the subjectivity of the women characters’ subjectivity. We also find that in all novels, all women characters’ subjectivity is always in transformation as signified by the travellling, the clothing, the ever-changing identities and the resistance to the [hetero]normative construction imposed on them. In comparing the idea of women’s subjectivity as reflected in the short stories by the women and men writers, we find that basically there is no “inherent” tendency in picturing women, or those identitified as women as stereotypes in the six short stories that we analysed,. Rather, we find that some men writers are actually capable of writing women in feminist perspective. Keywords : woman, subjectivity, feminist/feminism, literatutre 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Gagasan subjektivitas pada pemikiran Barat menurut Weedon (2001) mengasumsikan bahwa inti, ke-subjek-kan seorang individu ada pada daya nalar, keunikan, keterpisahan dan perbedaannya dengan yang lain. Yang paling dominan dalam pembentukan gagasan subjektivitas dalam kebudayaan Barat adalah pemikiran Descartes yang terkenal dengan gagasan “Cogito Ergo Sum.” Dalam pandangan ini,

Transcript of Representasi Subjektivitas Perempuan -...

Page 1: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

1

Representasi Subjektivitas Perempuan dalam Dua Cerita Pendek Bahasa Inggris

Aquarini Priyatna Prabasmoro, Ekaning Krisnawati,

Eva Tuckyta Sari Suyatna

Abstract

In the Western normative thinking of subjectivity as reflected in the Cartesian idea

of mind and body, subjectivity lies primarily in the mind while the body is regarded to be a

mere container. Looking at the six short stories of three women writers (Enough Rope,

Hair Jewellery, The Blush) and three men writers (Pinkland, Nude on the Moon, A Rose

for Emily), only two of which are delineated in this article, we find that subjectivity as

represented by the women/”women” characters are not determined merely by the mind.

The short stories show that the body plays a significant role in the construction of the

subjectivity of the women characters’ subjectivity. We also find that in all novels, all

women characters’ subjectivity is always in transformation as signified by the travellling,

the clothing, the ever-changing identities and the resistance to the [hetero]normative

construction imposed on them.

In comparing the idea of women’s subjectivity as reflected in the short stories by

the women and men writers, we find that basically there is no “inherent” tendency in

picturing women, or those identitified as women as stereotypes in the six short stories that

we analysed,. Rather, we find that some men writers are actually capable of writing

women in feminist perspective.

Keywords : woman, subjectivity, feminist/feminism, literatutre

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Gagasan subjektivitas pada pemikiran Barat menurut Weedon (2001)

mengasumsikan bahwa inti, ke-subjek-kan seorang individu ada pada daya nalar,

keunikan, keterpisahan dan perbedaannya dengan yang lain. Yang paling dominan dalam

pembentukan gagasan subjektivitas dalam kebudayaan Barat adalah pemikiran

Descartes yang terkenal dengan gagasan “Cogito Ergo Sum.” Dalam pandangan ini,

Page 2: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

2

esensi subjek ada pada daya nalar dan pemikirannya sedemikian sehingga tubuh

cenderung untuk dikonstruksi sebagai suatu kontainer yang tidak memainkan peran

signifikan dalam subjektivitas seseorang.

Gagasan subjektivitas juga dibangun dengan menormalisasikan/me-norma-kan

tubuh laki-laki yang tidak pernah berubah (un-altering) sedemikian sehingga tubuh

perempuan yang mengalami perubahan (menstruasi, tumbuh payudara, hamil, menyusui,

menopause) adalah suatu penyimpangan, atau bahkan ketidaknormalan. Hal ini menjadi

isu penting dalam feminisme yang melihat bahwa gagasan keterpisahan antara tubuh

dengan nalar sebagai sesuatu yang tidak mungkin terutama jika melihat fakta bahwa

tubuh perempuan selalu berubah sedemikian sehingga subjektivitas perempuan juga

tidak pernah ajeg (Weedon 2001). Beauvoir (1997) menulis bahwa perempuan selalu ada

di dalam proses menjadi (becoming). Oleh karena itu, persepsi terhadap tubuh

merupakan bagian penting dalam membangun subjektivitas atau rasa menjadi Subjek/Diri.

Dalam pemikiran feminis, misalnya menurut Battersby (1998), tubuh adalah Diri yang

menubuh (embodied Self).

Persoalan Subjek dan tubuh menjadi lebih signifikan dalam konteks ideologi

gender yang mengatribusikan fakta biologis tubuh (laki-laki atau perempuan) sebagai

atribusi sosial kultural. Dalam hal ini, seorang bertubuh perempuan harus menunjukkan

identitas feminin termasuk melakukan tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang

dianggap/berada di ranah feminin. Demikian pula mereka yang bertubuh laki-laki harus

menunjukkan identitas maskulin dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap

maskulin dan/atau berada di ranah maskulin/publik. Sejalan dengan perkembangan

pemikiran feminis, resistensi terhadap ideologi gender terlihat dari berkembangnya teori

queer. Dalam pemikiran teori queer, identitas gender bahkan identitas seks bukan

merupakan suatu hal yang ajeg. Lebih dari itu, identitas seks dan identitas gender

dipertanyakan.

Page 3: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

3

Identitas, dalam hal ini, bukan merupakan subjektivitas, melainkan bagian dari

subjektivitas. Seperti dikatakan Braidotti (1994), “identity bears a privileged bond to

unconscious processes, whereas political subjectivity is a conscious and willful

position”(418). Dengan demikian, identitas menurut Braidotti adalah suatu keterikatan

yang menguntungkan dari proses tidak sadar sementara subjektivitas politis adalah suatu

posisi yang sadar dan penuh kesadaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

subjektivitas merupakan konstruksi yang disadari oleh seorang subjek. Konstruksi

tersebut, seperti dikatakan Kristeva, merupakan suatu proses yang terus menerus yang

menempatkan subjek dalam suatu “pengadilan”, karena identitas kita dalam hidup terus

menerus dipertanyakan, diadili, dan diabaikan (1986, 351). Braidotti mengatakan bahwa

pada dasarnya “perempuan” tidak lagi merupakan suatu model preskriptif dari

subjektivitas perempuan karena subjektivitas perempuan lebih merupakan suatu topos

yang dapat diidentifikasi untuk keperluan analisis. Dengan perkataan lain, subjektivitas

perempuan tidak selalu berarti ditubuhi perempuan karena, dengan menyingkat pemikiran

teoris lain, Braidotti, subjektivitas perempuan merupakan “konstruk (De Lauretis), topeng

(Butler); esensi positif (Irigaray), atau jebakan ideologis (Wittig)” (1994, 417).

Dengan demikian, tidak seperti subjektivitas dalam pemikiran

[tradisional/konvensional] Barat seperti direspresentasi pemikiran Cartesian, subjektivitas

perempuan tidak selesai, tidak uniter, tidak selalu rasional, tidak mengabaikan tubuh,

tidak individual dan tidak tunduk pada gagasan “universal” tentang subjek. Lebih dari itu,

meskipun ada perdebatan mengenai persoal esensi dan konstruksi, kami berpendapat

bahwa ada bagian “esensial” yang memainkan peran penting dalam pembentukan

subjektivitas perempuan/”perempuan” dan pemahaman itu tidak selalu berarti bahwa

kami percaya esensialisme. Seperti dikatakan Kristeva, meskipun identitas [dan karena

itu subjektivitas] tidak stabil, tetapi selalu ada “a certain type of stability” (1986, 352).,

Dalam hal ini, tubuh sangat mungkin menawarkan stabilitas temporal itu.

Page 4: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

4

Persoalan subjektivitas ini akan kami analisis dalam enam cerita pendek yang

menjadi objek penelitian kami.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini kami membahas representasi subjektivitas perempuan di

dalam enam cerita pendek yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan (tiga laki-laki dan tiga

perempuan). Pertanyaan yang ingin kami jawab dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana subjektivitas perempuan disajikan, dalam bentuk deskripsi fisik

tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh tersebut dan tokoh lain terhadap

Diri tokoh utama.

2. Bagaimana persepsi tokoh terhadap tubuh dalam membentuk subjektivitasnya?

3. Apa perbedaan representasi subjektivitas perempuan yang ditampilkan oleh

penulis laki-laki dan penulis perempuan.

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek yang terdiri dari tiga

karya penulis perempuan dan tiga karya penulis laki-laki. Pemilihan ini kami maksudkan

untuk dapat memberikan gambaran perbedaan atau tidak adanya perbedaan antara

penulis perempuan dan laki-laki. Tiga karya penulis perempuan tersebut adalah : Enough

Rope (Poppy Z Brite), Hair Jewellery (Margaret Atwood), The Blush (Elizabeth Taylor).

Tiga karya penulis laki-laki adalah Pinkland (Graham Joyce), Nude on the Moon (Paul

Magrs), A Rose for Emily (William Faulkner). Meskipun demikian, karena keterbatasan

ruang, kami hanya membahas dua cerita pendek saja, yakni Hair Jewellery (Margaret

Atwood), dan A Rose for Emily (William Faulkner).

Page 5: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

5

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menunjukkan bagaimana subjektivitas perempuan disajikan, dalam bentuk

deskripsi fisik tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh tersebut dan

tokoh lain terhadap Diri tokoh utama.

2. Memperlihatkan bagaimana persepsi tokoh terhadap tubuh dalam

membentuk subjektivitasnya?

3. Mengetahui perbedaan representasi subjektivitas perempuan yang

ditampilkan oleh penulis laki-laki dan penulis perempuan.

1.4 Kontribusi Penelitian

Kontribusi yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lainnya yang sejenis;

2. Dapat dijadikan model untuk mengetahui representasi subjektivitas perempuan

dalam karya sastra lain.

1.5 Metode Penelitian

Kami melakukan penelitian dengan cara menganalisis teks dengan

mempergunakan kritik sastra dengan menganalisis struktur karya sastra melalui

perwatakan, sudut pandang dan latar dengan pendekatan feminis. Kami juga

mencermati pendekatan feminis terhadap subjektivitas perempuan untuk melihat

representasi subjektivitas perempuan terutama dalam konteks tubuh dan

seksualitas.

Page 6: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

6

2. Contoh Pembahasan Karya Penulis Perempuan

2.1 Hair Jewellery

2.1.1 Ringkasan Cerita

Hair jewellery merupakan cerita seorang perempuan dalam perjalanan hidupnya

dari miskin hingga menjadi seorang terpelajar dan kaya. Perjuangan hidupnya ditandai

dengan subjektivitasnya yang berubah sejalan dengan apa yang dialaminya. Secara

keseluruhan, cerita dalam Hair Jjewellery adalah flashback yang berkembang secara

kronologis. Pada awal cerita, narator bercerita bahwa ia ingin menulis sesuatu tentang

masa lalu dan ia menyadari bahwa tindakan itu dapat menyakitkan hatinya, atau paling

tidak akan menghidupkan lagi kesakitan yang pernah diterimanya di masa lalu. Pada awal

narasinya, “I” mengatakan betapa subjektivitasnya sangat erat berkaitan dengan

penampilannya, terutama dengan pakaian yang dikenakannya. Bahwa keseluruhan

memorinya bekerja dalam hubungannya dengan pakaian yang dikenakannya pada waktu

peristiwa tertentu terjadi. Lebih dari itu, pakaian merupakan aspirasinya terhadap

transformasi serta kehidupan yang baru. Selama ini ia membeli baju dari gudang yang

menjual baju kualitas bagus dengan harga murah, tetapi bukan merupakan ukuran yang

tepat untuknya.

Melalui narasinya, diketahui pula bahwa ia seorang mahasiswa Sastra [Inggris] di

suatu universitas dan ia hidup dari uang beasiswa yang diterimanya. Ia juga bercerita

tentang hubungan cintanya yang bertepuk sebelah tangan dan penampilannya yang

seringkali membuat orang memandangnya dengan pandangan yang aneh.

Setelah penghianatan kekasihnya, ia kemudian menikah dengan seorang arsitek,

dan karir akademiknya juga menanjak sehingga ia cukup kaya untuk dapat membeli

pakaian bagus yang membuatnya lebih percaya diri. Ketika ia tanpa sengaja bertemu lagi

dengan bekas kekasih yang meninggalkannya, “I” menghampiri bekas kekasihnya.

Pandangan laki-laki itu kepadanya menyiratkan kekecewaan karena, tidak seperti yang

Page 7: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

7

diduganya, “I” tidak menjadi menderita karena perpisahan itu bahkan sebaliknya “I” telah

menjadikan dirinya lebih baik daripada masa ketika mereka bersama.

2.1.2 Pembahasan

Dengan narasi yang bertutur “I” kepada petutur “You”, cerita ini seolah-olah

menghadirkan percakapan antara “I” dengan bekas kekasihnya yang menghianatinya.

Cerita pendek ini bahkan seperti diary dengan kesadaran bahwa diary ini akan dibaca. “I”

menyadari proses penulisan yang dilakukannya, seperti ditulisnya di awal cerita,

There must be some approach to this, a method, a technique, that’s the word I want, it kills germs. Some technique then, a way of thinking about it that would be bloodless and therefore painless; devotion recollected in tranquility. I try to conjure up an image of myself at that time, also one of you, but it’s like conjuring the dead. How do I know I’m not inventing both of us, and if I’m not inventing then it really is like conjuring the dead, a dangerous game… The usual explanation is that they have something to tell us. I’m not sure I believe it; in this case it’s more likely that I have something to tell them. Be careful, I want to write, there is a future…. (1994, 379)

Bagian pendahuluan ini tampaknya menjelaskan mengapa karakter “I” perlu menulis

cerita ini. Dari kutipan di atas terlihat adanya kebutuhan untuk menghidupkan kembali

citra dirinya dan juga citra bekas kekasihnya. Ada kebutuhan dari “I” yang sekarang untuk

melakukan retrospeksi terhadap cerita hidupnya, untuk menemukan “I” yang dulu

sehingga ia dapat memahami “I” yang sekarang. Cerita pendek ini melingkupi perjalanan

“I” kini yang mencoba memahami rasa sakit dan kebahagiaanya, untuk memahami

perkembangan subjektivitasnya. Secara keseluruhan, narator banyak melakukan

flashback yang disertai dengan perenungan atas apa yang terjadi pada waktu suatu

peristiwa terjadi. Narator dalam cerita ini mengambil sudut pandang orang pertama yang

sesungguhnya memungkinkan dibacanya cerita ini sebagai semacam karya autobiografis.

Yang paling menarik dari penggambaran konstruksi subjektivitas karakter dalam

cerita ini adalah keterikatan karakter dengan penampilannya, terutama pakaiannya, yang

Page 8: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

8

menurutnya merupakan “teknik untuk menegakkan diri”. Lebih dari itu, pakaian baginya

merupakan identitas yang melekat pada dirinya, tetapi pada saat yang sama,

penghubungan pakaian dengan identitas juga memungkinkan adanya ruang untuk

berganti-ganti identitas sejalan dengan berubahnya pakaian yang dikenakan, yang dapat

dimaknai sebagai ketidakajegan subjektivitasnya. Pada awal cerita,”I” menerangkan :

That’s my technique, I resurrect myself through clothes. In fact it’s impossible for me to remember what I did, what happened to me, unless I can remember what I was wearing, and every time I discard a sweater or a dress I am discarding a part of my life. I shed identities like a snake, leaving them pale and shrivelled behing me, a trail of them, and if I want any memories at all I have to collect, one by one, those cotton and wool fragments, piece them together, achieving at last a patchwork self… (1994, 379)

Dalam kutipan di atas terlihat bahwa pakaian bukanlah semata-mata memiliki

karakter fungsional sebagai penutup tubuh atau pelindung dari cuaca panas ataupun

dingin, melainkan sebagai lapisan identitas diri, yang seperti ditulis “I” merupakan bagian

dari bagian-bagian dirinya yang lain. Subjektivitasnya tidak terdiri dari satu elemen

semata melainkan kombinasi dari berbagai jenis identitas diri. “I” sendiri menggambarkan

dirinya sebagai pecinta pakaian yang bermutu baik, meski ia tidak mampu membelinya

dengan harga normal. Filene’s Basement adalah tempatnya membeli pakaian dengan

harga murah, tetapi tidak mudah baginya menemukan ukuran yang cocok dengannya

yang di satu sisi membuatnya “hilang”, di sisi lain dengan pakaian yang kedodoran justru

ia menjadi perhatian orang lain justru karena ia menjadi “menarik perhatian” dalam

pengertian ia “berbeda” dari “yang seharusnya”.

Selain pakaian, persoalan subjektivitasnya juga berkaitan dengan uang yang [tidak]

dimilikinya. Filene's Basement menjadi pilihan karena dengan keuangannya yang sangat

terbatas sehingga ia tidak mempunyai pilihan lain. Lebih dari itu, “I” berpendapat bahwa

setiap orang yang pergi ke Filene's Basement berkeinginan untuk melakukan perubahan

terhadap hidupnya, dan pakaian menjadi semacam penanda [tidak] adanya perubahan itu,

Page 9: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

9

“No one went there who did not aspire to a shape change, a transformation, a new life,

but the things never did quite fit.”

Under the black coat I wear a heavy tweed skirt, grey in colour, and brown sweater with only one not very noticeable hole, valued by me because it was your cigarette that burned it. Under the sweater I have a slip (too long), a brassiere (too small), some panties with little pink roses on them, also from Filene's Basement, only twenty-five cents, five for a dollar, and a pair of nylon stockings held up by a garter belt which, being too large, is travelling around my waist, causing the the seams at the backs of my legs to spiral like barbers’ poles. I am lugging a suitcase which is far too heavy – no one carried packsacks then except a summer camp – as it contains another set of my weighty, oversized clothes as well as six nineteenth-century Gothic novels and a sheaf of clean paper. (1994, 380)

Seperti terlihat dalam kutipan di atas, “I” secara mendetail menggambarkan

pakaian serta barang yang dikenakan dan dibawanya, dan itu menandai betapa

pentingnya penampilan (termasuk pakaian, pakaian dalam dan tas serta barang-barang

lain) dalam pembentukan subjektivitasnya. Peristiwa ini juga dapat diparalelkan dengan

keinginannya untuk melarikan diri dari “kenyataan” [bahwa ia tidak diinginkan/cintanya

ditolak]. Di balik pakaian ia bersembunyi dan menampilkan semacam “subjektivitas” diri

yang lain, yang berbeda dengan diri ketika ia bebas dari pakaian yang dikenakannya,

seperti dikatakannya, “My platonic version of myself resembled an Egyptian mummy, a

mysteriously wrapped object that might or might not fall into dust if uncovered” (1994,

381).

Sejalan dengan subjektivitasnya yang ditampilkan melalui keterikatannya dengan

pakaian, perkembangan subjektivitas “I” juga ditampilkan melalui karirnya sebagai

mahasiswa yang kehidupannya bergantung pada beasiswa yang diterimanya. Beasiswa

itu sendiri dapat merupakan penanda subjektivitasnya sebagai orang yang mempunyai

kemampuan dan intelektualitas tinggi serta berkemauan keras, seperti dinarasikan “I”,

the academic paper required for my survival as a scholar would emerge, like a stunted dandelion from a crack in the sidewalk… shocking into action my critical faculties, my talent for word-chopping and the construction of plausible footnotes

Page 10: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

10

which had assured so far the trickle of scholarship money on which I subsisted. (1994, 381)

Di satu sisi “I” menyadari potensi dirinya, tetapi di sisi lain, dan hal ini menarik

menurut kami, “I” menyadari bahwa potensi itu sebenarnya merupakan suatu

“pertunjukan” semata. Intelektualitasnya, yang tampil dalam tulisan akademiknya,

sebenarnya hanyalah merupakan citra yang sengaja dibangun untuk memastikan

keberlangsungan hidupnya melalui beasiswa (yang jumlahnya tidak banyak) yang

diterimanya, “the construction of plausible footnotes which had assured so far the trickle

of scholarship money on which I subsisted” (1994, 381).

Yang lebih menarik, cinta, penelitian (kehidupan akademik/kehidupan publik) dan

pakaian sebenarnya merupakan elemen yang memiliki kesamaan dan saling berkait

dalam pembentukan subjektivitasnya. Kesadarannya akan potensi kesakitan dari

hubungan cinta dikaitkannya dengan pengalamannya melakukan penelitian,

My academic researches had made me familiar with the moment at which one’s closest friend and most trusted companion grows fangs or turns into a bat; this moment was expected, and held few terror for me. (1994, 381)

Penelitian akademis, menurut “I” berpotensi untuk menampilkan keaslian seseorang,

seorang teman terpercaya dapat saja berubah menjadi serigala yang atau berubah

menjadi kelelawar. Potensi kekecewaan ini sejak awal diantisipasi oleh “I” dalam

hubungannya dengan laki-laki.

Ketika akhirnya cintanya bersambut, “I” menerangkan bahwa “You” – yang bekas

kekasihnya – adalah jenis manusia berbeda dari yang telah diceritakan sebelumnya. “I”

mengatakan “You were, of course, the perfect object” (382). Tetapi hubungan itu tidak

dapat dengan mudah diwujudkan dalam suatu hubungan seksual karena menurut “I”

mahasiswa pascasarjana perempuan “were supposed to be like nuns, dedicated and

unfleshly” (1994, 387). Dengan perkataan lain, sebagai seorang yang berpendidikan

Page 11: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

11

tinggi, subjektivitasnya diatur untuk berdedikasi kepada pekerjaan “otak’nya yang salah

satu konsekuensinya adalah penegasian terhadap tubuh, “unfleshly” – tidak bertubuh.

Pembaca sendiri selalu diingatkan “I” akan posisinya sebagai seorang mahasiwa

pascasarjana dengan referensinya yang terus menerus mengenai tugas menulisnya.

Subjektivitasnya sebagai perempuan, meski berkaitan dengan hubungannya

dengan laki-laki, tidak sepenuhnya bergantung dari itu. Lebih daripada itu, dengan selalu

dibayangkannya perpisahan serta pakaian yang akan dikenakannya ketika itu terjadi, “I”

melihat perpisahan itu sebagai semata-mata kegiatan berganti pakaian. Dengan

perkataan lain, perpisahan itu hanyalah sebuah peristiwa biasa yang dialaminya

sebagaimana ia memilih baju tertentu untuk acara tertentu. Meskipun demikian,

perpisahan tetap menyisakan kesakitan apalagi karena hal itu disebabkan

tersingkirkannya ia oleh perempuan lain. Alih-alih ketenangan yang ditampilkannya,

pembaca dapat merasakan kesakitan “I” :

The soles of my feet turned cold, my legs went numb. I had realized suddenly that she was not just an old friend, as you had told me. He had been a lover, she was still a lover, she was serious, she had taken pills because she found out I was arriving that day and she was trying to stop you; yet all this time you were calmly writing down the room number, the phone number, that I was just calmly giving you. We arranged to meet the next day. I spent the night lying on the bed with my coat on. (1994, 389)

Seperti yang sudah diceritakan “I” pada awal cerita, ia tidak dapat mengingat suatu

peristiwa kecuali ia dapat mengingat pakaian yang dikenakannya. Dalam narasinya yang

pahit tentang peristiwa di New York itu, “I” dapat secara akurat mengingat apa yang

terjadi dengan sepatunya dan apa yang dipakainya sepanjang malam. Rasa sakit “I”

direpresentasi dengan perasaan dingin yang dialaminya, “The soles of my feet turned

cold”, “my legs went numb” dan ia memakai jaket sepanjang malam. Perhiasan rambut

(hair jewellery) yang dilihatnya di perpustakaan di Salem menjadi pertanda akan

datangnya perpisahan yang menyakitkan ini. Perhiasan rambut, seperti dijelaskan oleh

Page 12: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

12

pegawai perpustakaan, digunakan untuk tamu yang datang ke suatu pemakaman di

jaman Victoria. Itulah barangkali yang seharusnya dikenakan “I” ketika ia pergi ke New

York; perhiasan untuk datang ke pemakaman, perhiasan untuk sebuah perpisahan.

Secara fisik, perjalanan subjektivitas “I” telah melampaui transformasi yang

signifikan. Transformasi itu sendiri, meski tampak dalam hal-hal yang bersifat fisik, tidak

terlepas dari transformasi lain yang dialaminya, misalnya keputusannya untuk menikah

dengan seorang arsitek, meningkatnya karir akademiknya serta secara keseluruhannya

meningkatnya kemampuan finansialnya. Dengan kemampuan finansial yang meningkat,

“I” tidak lagi harus pergi ke Filene's Basement untuk mendapatkan pakaian berkualitas

baik (meski dengan ukuran yang salah). Ia kini dapat memilih pakaian yang sesuai

dengan ukurannya dan itu mengubah bukan saja cara pandang dirinya terhadap

tubuhnya dan keseluruhan subjektivitasnya melainkan juga pada cara pandang orang lain

terhadap dirinya. “I” yang sangat sadar diri misalnya mengingat ketika orang-orang

memandangnya sebagai makhluk aneh, “they stared at me like frogs in a pond” (1994,

384) atau “the waitress and the proprietor… stood with folded arms, watching me

suspiciously while I ate as though expecting me to leap up and perform some act of

necromancy with the butter knife” (1994, 385).

Dalam narasinya mengenai peristiwa ketika ia bertemu lagi dengan kekasihnya, “I”

menceritakan transformasi itu.

The drab, defiantly woolen wardrobe you may remember vanished little by little into the bins of the Salvation Army as I grew richer, and was replaced by a moderately chic collection of pantsuits and brisk dresses… My coats no longer flap, and when I attend academic conferences nobody stares. (1994, 390-391)

Dengan narasinya itu, “I” menunjukkan bahwa penampilan adalah bagian penting dari

subjektivitasnya sebagai perempuan dan pada saat yang sama penampilan juga penting

karena subjektivitas adalah konstruk yang tidak berdiri sendiri. Respon serta reaksi

karakter lain terhadapnya atau terhadap penampilannya adalah juga unsur pembangun

Page 13: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

13

subjektivitasnya sebagai perempuan. ketika ia dianggap sebagai si buruk rupa, begitulah

ia melihat dirinya, dan ketika ia tidak lagi menjadi objek cemoohan, ia dapat menghargai

dirinya lebih baik. Pada akhirnya, “I” dapat sungguh-sungguh mengenyahkan bayang-

bayang bekas kekasihnya itu ketika ia melihat bahwa bekas kekasihnya itu sama sekali

tidak menghargainya, baik itu penampilan fisiknya yang jauh lebih menarik, karir

akademiknya yang menanjak, ataupun lompatan finansial yang telah dilakukannya serta

kesuksesannya sebagai ibu rumah tangga.

2.2Contoh Pembahasan Karya Penulis Laki-laki

2.21 A Rose for Emily

2..21.1 Ringkasan Cerita

A Rose for Emily adalah cerita mengenai seorang perempuan bernama Emily yang

eksentrik dan bahkan gila. Ia lahir dari keluarga bangsawan dan setelah kematian

ayahnya ia hidup sendirian dengan ditemani seorang laki-laki kulit hitam pembantunya.

Sebagai keluarga bangasawan, keluarga Emily Grierson menjadi semacam pusat

perhatian warga kota. Warga, misalnya menunggu saat-saat Emily menikah karena waktu

itu Emily sudah berusia di atas tiga puluh tahun dan mereka ikut bergembira ketika Emily

tampak dekat dengan seorang laki-laki pendatang bernama Homer Barron. Warga

kemudian ikut bersedih untuk Emily ketika akhirnya diketahui bahwa Homer

sesungguhnya adalah seorang homoseksual. Ketika suatu waktu Emily membeli pakaian

pengantin laki-laki lengkap dengan segala peralatannya serta memesan toilet set bagi

laki-laki dari perak, warga gembira karena mengira bahwa Emily akhirnya akan menikah

dengan Homer Barron. Kegembiraan mereka berganti menjadi rasa kaget karena setelah

itu Homer Barron menghilang. Warga mengira menghilangnya Homer merupakan strategi

agar kedua sepupu yang tinggal bersama Emily setelah kematian ayahnya segera

meninggalkan rumah Emily. Tiga hari setelah kedua sepupu itu pergi, Homer Barron

Page 14: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

14

kembali ke kota itu. Beberapa warga melihatnya diterima oleh pembantu laki-laki kulit

hitam yang bekerja di rumah Emily. Setelah itu, warga tidak pernah lagi melihat Homer

Barron dan hanya sesekali melihat Emily. Hanya sang laki-laki kulit hitam yang

melakukan aktivitas keluar masuk rumah.

Ketika warga melihat lagi Emily, ia sudah menjadi sangat gemuk dan rambutnya

sudah mulai beruban. Setelah itu, warga tidak pernah melihatnya lagi kecuali selama

enam atau tujuh tahun ketika ia berusia sekitar empat puluh tahun. Waktu itu Emily

memberikan kursus melukis keramik kepada keturunan perempuan Kolonel Sartoris,

walikota yang memerintahkan remiten pajak baginya.

Tahun berganti tahun, warga hanya melihat laki-laki kulit hitam itu keluar masuk

rumah dan hanya sesekali melihat Emily di lantai bawah rumahnya. Ia kemudian diketahui

meninggal. Adalah pembantu kulit hitamnya yang membuka pintu bagi warga untuk

menengok jasad Emily dan mengurusnya. Ia sendiri kemudian menghilang dan hingga

akhir cerita tidak diketahui identitasnya, bahkan tidak namanya pun sekalipun. Tapi

kematian Emily itu membawa kegemparan baru bagi warga kota karena mereka

menemukan mayat Homer Barron dengan sejumput rambut uban di sampingnya di

sebuah kamar di atas yang tidak pernah dilihat siapapun. Cerita ditutup dengan tidak

menggambarkan reaksi warga atas penemuan mayat dan uban itu.

.22..1.2 Pembahasan

Cerita ini dinarasikan dari sudut pandang orang pertama jamak, “We”. “We” dalam

hal ini menyuarakan penduduk kota yang menceritakan apa yang dilihat mereka dari

kehidupan Emily Grierson. Yang menarik dari sudut pandang ini adalah ketika objek

narasi mereka adalah Emily Grierson yang tumbuh dan bertambah umur, “We” itu sendiri

seolah-olah tidak bertambah umur. Tidak ada perubahan sudut pandang yang berarti

Page 15: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

15

dalam narasi narator seolah-olah warga kota adalah orang yang sama yang tetap berusia

sama sepanjang hidup Emily.

Ketika Emily meninggal, warga kota diceritakan sangat antusias untuk datang ke

pemakamannya., dan lebih dari itu, warga sebenarnya lebih antusias lagi untuk melihat

rumah yang selama ini ditinggalinya sendiri dengan ditemani seorang pembantu laki-laki

kulit hitam. Dengan banyaknya orang yang merasa berkaitan dengan Emily, narator

menceritakan posisi sosial Emily bagi kota itu dan warganya. Seperti dinarasikan narator,

Emily adalah suatu tradisi, suatu tugas dan kewajiban kota. Emily mempunyai privilese

tertentu yang diberikan kepadanya oleh walikota Sartoris, termasuk keringanan pajak.

Kekerasan hati serta gambaran fisik Emily pertama kali dinarasikan ketika perwakilan dari

dewan kota menemuinya di rumahnya yang kotor dan berdebu untuk menagih pajak

kepadanya..

They rose when she entered – a small, fat woman in black, with a thin gold chain descending to her waist and vanishing into her belt, leaning on an ebony cane with a tranished gold head. Her skeleton was small and spare; perhaps that was why what would have been merely plumpness in another was obesity in her. She looked bloated, like a body long submerged in motionless water, and of that pallid hue. Her eyes, lost in the fatty ridges of her face, looked like two small pieces of coal pressed into a lump of dough as they moved from one face to another while the visitors stated their errand. (341)

Gambaran fisik Emily menunjukkan bahwa pada dasarnya Emily tidak mempunyai sosok

yang menarik, tetapi sebagai seorang bangsawan, Emily mempunyai karakter yang kuat.

Dalam kunjungan itu, Emily sama sekali tidak mengijinkan tamunya duduk. Ia juga

berbicara dengan nada yang dingin dan menolak apapun yang diungkapkan oleh

tamunya itu. Akhirnya, Emily mengusir tamunya, dan sikap seperti itu telah

ditunjukkannya selama tiga puluh tahun. Ia telah mengusir paling tidak dua generasi

dewan kota yang datang hendak menuntut pembayaran pajak darinya. Dari sikapnya itu

Page 16: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

16

dapat dikatakan bahwa Emily sangat keras dan tidak mau berkompromi. Ini menjadi

karakter penting dalam membangun cerita pendek ini.

Warga sendiri menganggap bahwa ada suatu keanehan dalam diri Emily. Ketika

usianya mencapai tiga puluh tahun, ia belum juga menikah. Warga merasa bahwa Emily

telah bersikap sombong dan menganggap dirinya terlalu tinggi, “People in our town…

believed that the Grierson held themselves a little too high for what they really were. None

of the young men were quite good enough for Miss Emily and such” (342). Emily menjadi

semacam mitos, suatu sosok yang tidak nyata. Barulah ketika ayahnya meninggal dan

Emily menjadi yatim piatu, miskin dan sendirian, Emily menjadi manusia nyata, “she

became humanized”. Meskipun demikian, bagi warga Emily semakin menunjukkan

kecenderungan gilanya karena ia tidak mengakui kematian ayahnya dan tidak

mengijinkan warga untuk mengurus jenazah ayahnya. Ia bahkan berdandan seperti biasa

dan tidak menunjukkan kesedihan sama sekali.

Sampai tahap ini, seperti diungkapkan narator, warga masih belum menganggap

Emily gila melainkan bahwa Emily menderita kesedihan dan rasa kehilangan mendalam

yang membuatnya tidak mau kehilangan [jenazah] ayahnya.

Emily, yang pada bagian lebih awal merupakan Emily yang lebih tua, digambarkan

sebagai perempuan gemuk yang tidak menarik, pada periode hubungannya dengan

Homer Barron digambarkan sebagai “anak gadis” dan “malaikat”. Kedua citra itu

merupakan citra positif dan feminin. Dengan demikian, pada periode Homer Baron,

subjektivitas Emily sebagai perempuan dianggap berterima oleh masyarakat yang juga

tercermin dari kebahagiaannya yang juga dirasakan oleh warga kota, “At first we were

glad that Miss Emily would have an interest,…” (343).

Subjektivitas Emily sebagai perempuan yang berbahagia dengan hubungannya

dipaksa berhadapan dengan identitas sosialnya sebagai bangsawan. Subjek

bagaimanapun selalu berhadapan dengan pengobjekkan. Seperti diceritakan narator “But

Page 17: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

17

there were still others, older people, who said that even grief could not cause a real lady

to forget noblese oblige – without calling it noblise oblige” (343). Ungkapan para pemuka

masyarakat dan para tetua itu menunjukkan bahwa subjektivitas Emily tidak dapat secara

didefinisi oleh dirinya sendiri karena sebagian subjektivitasnya merupakan keterikatannya

dengan status sosialnya sebagai seorang bangsawan. Dalam hal ini, Emily bukanlah

seorang subjek melainkan objek dari konstruk sosial yang melingkupinya (dalam Bahasa

Inggris, she is subject to social construct).

Subjektivitas Emily juga terganggu karena pilihannya terhadap Homer Barron

menjadikan dirinya, sekali lagi, objek rasa kasihan karena Homer Barron diketahui warga

sebagai seorang homoseksual, “Homer himself had remarked – he liked men” (344).

Narator sendiri tidak menceritakan episode ini dengan jelas, ia mengimplikasinya melalui

bisikan-bisikan yang dilakukan warga atas hubungan Emily dan Homer Barron. Pembaca

harus menebak-nebak apa makna bisikan-bisikan itu. Kemampuan pembaca membaca

makna di balik bisikan-bisikan yang tidak jelas itu mengimplikasi adanya kesamaan

pandangan atas norma-norma yang berlaku di masyarakat Emily dan masyarakat

pembaca/kami. Narator memberikan petunjuk persoalan homoseksualitas Homer Barron

dalam paragraf berikut, “And as soon as the old people said, ‘Poor Emily,’ the whispering

began. ‘Do you suppose it’s really so?’ they said to one another. ‘Of course it is…’ ….

‘Poor Emily.’” (343)

Yang perlu diperhatikan dari kutipan di atas adalah bahwa homoseksualitas Homer

Barron dipersepsi sebagai ketidakberuntungan Emily. Warga sendiri tidak begitu

memedulikan homoseksualitas Homer Barron kecuali bahwa hal itu menyedihkan bagi

Emily.

Paparan ini menarik karena “partisipasi” aktif warga dalam kehidupan Emily tidak

disertai empati terhadap perasaan Emily. Emily seolah-olah hidup di dunianya sendiri.

Pembacaan yang empatik terhadap karakternya akan melihat bahwa kegilaan Emily

Page 18: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

18

sesungguhnya merupakan produk dari ketidakpedulian warga atau orang-orang di

sekitarnya terhadap apa yang menimpa Emily. Warga hanya tertarik untuk menjadi

penonton episode tragis yang dibintangi Emily tanpa berniat menjadikan episode yang

dimainkannya tidak berakhir tragis.

Hubungannya dengan Homer Barron terus berlangsung dengan terbuka meski

mendapat kecaman banyak orang. Sekali lagi tampak bahwa Emily memiliki kekerasan

hati yang luar biasa, tetapi juga tampak bahwa warga kota menempatkannya sebagai

objek semata dan bukan sebagai subjek dengan subjektivitas sendiri yang dapat saja

berbeda dengan warga lain. Emily dituntut untuk menjadi “normal”, “biasa-biasa saja”

yang patuh pada aturan dan norma di dalam masyarakat. Kenormalan serta ke-biasa-an

itu yang layak dipertanyakan karena pada prinsipnya, Emily bukan orang biasa. Dengan

demikian, subjektivitas yang dibangun Emily sangat mungkin berbeda dengan warga atau

lebih spesifik perempuan-perempuan lain, termasuk kedua sepupu dan istri pendeta yang

memrotes perilakunya.

Setelah kedua sepupu Emily meninggalkan rumahnya, Homer Barron diketahui

warga memasuki rumah Emily, dan sejak itu warga tidak pernah lagi melihat Homer

Barron. Warga mengira Homer Barron meninggalkan Emily. Misteri ini baru jelas

terungkap ketika jenazah Homer Barron ditemukan terbaring di kamar atas, pada bantal

di sebelahnya terserak uban panjang. Narator menghentikan ceritanya di sini. Pembaca

kemudian harus menyelesaikan cerita ini dengan mengingat gambaran yang beberapa

kali ditekankan narator akan rambut Emily yang semakin kelabu. Dengan ditemukannya

mayat Homer Barron, pembaca dan warga yang selalu ingin tahu, dapat menyatukan

potongan-potongan informasi yang diketahuinya; bahwa Emily membunuh Homer Barron

dengan menggunakan arsenik dan bahwa selama ini Emily tidur bersama mayat Homer

Barron. Penemuan itu menutup subjektivitas Emily sebagai orang gila.

3. Simpulan

Page 19: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

19

Subjektivitas perempuan dalam keenam cerita pendek yang diteliti dilakukan

melalui pemaparan bentuk deskripsi fisik tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh

tersebut dan tokoh lain terhadap diri tokoh utama. Secara keseluruhan tokoh-tokoh

perempuan, atau tokoh yang ditandai sebagai perempuan, memersepsi tubuhnya sebagai

bagian penting subjektivitasnya.

Cerita pendek Hair Jewellery dinarasikan melalui sudut pandang orang pertama,

“I”. Tokoh utama yang juga narator “I” menunjukkan bahwa penampilan adalah bagian

penting dari subjektivitasnya sebagai perempuan dan pada saat yang sama penampilan

juga penting karena subjektivitas adalah konstruk yang tidak berdiri sendiri. Subjektivitas

perempuan dalam cerita ini dibangun saling berkaitan antara fungsi dan unsur

domestik/feminin (pakaian, perkawinan) serta unsur-unsur publik (karir, kemampuan

finansial).

Melalui karakter Emily dalam A Rose for Emily, kami menginterpretasi bahwa

subjektivitas perempuan memang bukan proyek perempuan itu sendiri melainkan suatu

bentuk dialog dengan elemen-elemen lain, termasuk di antaranya hubungannya dengan

kekasihnya, tubuh dan penampilannya, serta konstruk sosial budaya yang melingkupinya.

Subjektivitas tokoh Emily yang paling menonjol tampaknya dibentuk melalui

kebangsawanannya yang membangun rasa harga dirinya yang tinggi. Karakter itu

kemudian menyebabkannya menjadi orang yang keras, dan dalam hal ini dapat dikatakan

tidak feminin, jika feminin dimaknai sebagai lemah lembut, tunduk dan pasif. Kegilaannya

itu sendiri dapat diinterpretasi sebagai konsekuensi logis dari cara hidupnya yang

terpencil dan menyendiri atau juga merupakan konsekuensi dari sifat-sifat yang

diturunkan secara genetis, seperti pendapat yang dicoba ditawarkan oleh narator bahwa

cara Emily hidup mirip dengan ayahnya atau bahwa keanehan Emily mengingatkan

warga akan salah satu bibinya yang gila.

Page 20: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

20

Pembacaan empatik mungkin akan melihat subjektivitas Emily memang distingtif

karena Emily ingin melepaskan diri dari konstruk sosial yang selama ini membelenggunya.

Menjadi gila, dengan perkataan lain, merupakan bentuk penegasian atau bahkan

merupakan bentuk perlawanan terhadap konstruk yang memenjarakan perempuan dalam

ruang sempit; rumah [tangga]. Pembacaan akan kegilaan perempuan seperti ini

merupakan salah satu pembacaan feminis seperti yang telah dilakukan oleh Sandra

Gilbert dan Susan Gurbar dalam bukunya The Madwoman in the Attic : The Woman

Writer and the Nineteenth=Century Imagination (1979).

Dengan membandingkan gagasan mengenai subjektivitas perempuan

sebagaimana terefleksi dalam cerita pendek yang ditulis oleh penulis perempuan dan laki-

laki tersebut, kami berpendapat bahwa pada dasarnya tidak ada kecenderungan “inheren”

dalam penggambaran perempuan, atau mereka yang dianggap perempuan, sebagai

semata-mata stereotipe tertentu. Lebih jauh, kami berpendapat bahwa beberapa penulis

laki-laki bahkan mempunyai kemampuan untuk menulis dengan menggunakan perspektif

feminis.

Daftar Pustaka

Atwood, Margaret, “Hair Jewellery”, The Oxford Book of Modern Women’s Stories, Oxford,

New York, Oxford University Press, 1994

Battersby, Christine (1998), The Phenomenal Woman – Feminist Metaphysics and the

Patterns of Identity, Polity Press, Oxford.

Beauvoir, Simone de (1997), H.M. Parshley, terj., ed., The Second Sex, Vintage Book

Edition

Braidotti, Rosi, “Nomadic Subjects : Embodiment and Sexual Difference in Contemporary

Feminist Theory” dalam Mary Eagleton ed., Feminist Literary Theory- A Reader, Second

Edition, Blackwell Publishers, 1996.

Page 21: Representasi Subjektivitas Perempuan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/... · Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek

21

Butler, Judith, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, Routledge, 1990.

Faulkner, William, “A Rose for Emily” in Sylvan Barnet, Morton Berman, William Burto

eds., Literature for Composition, 2nd edition, Scott, Foresman and Company, Boston,

London, 1988.

Gilbert, Sandra dan Susan Gurbar, The Madwoman in the Attic : The Woman Writer and

the Nineteenth=Century Imagination¸New haven and London, Yale University Press, 1979.

Kristeva, Julia, “A Question of Subjectivity : An Interview’ Women’s Review” dalam dalam

Mary Eagleton ed., Feminist Literary Theory- A Reader, Second Edition, Blackwell

Publishers, 1996.

Roberts, Edgar V., (1983) Writing Themes about Literature, Edisi ke-5, Prentice Hall inc.,

Englewood Cliffs, New Jersey.

Weedon, Chris (1997), Feminist Practice and Poststructuralist Theory, Blackwell

Publishers, Oxford, Massachusetts.