REFERAT Sindroma Nefrotik Fix
-
Upload
eva-natalia-manullang -
Category
Documents
-
view
31 -
download
2
description
Transcript of REFERAT Sindroma Nefrotik Fix
REFERAT
SINDROMA NEFROTIK PADA ANAK
DISUSUN OLEH :
Eva Natalia Br. Manullang
030. 09. 081
PEMBIMBING :
dr. Slamet Widi Saptadi, Sp.A
dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A, MSi.Med
dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A, Msi.Med
dr. Hartono, Sp. A, MSi.Med
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA SEMARANG
PERIODE 16 MARET 2015 - 23 MEI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
SEMARANG 2015
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Sindroma nefrotik ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepanitraan klinik ilmu penyakit anak RSUD Kota Semarang.
Banyak terima kasih penulis sampaikan kepada pembimbing penulis, dr. Slamet Widi, Sp.A., atas segenap waktu, tenaga, dan pikiran telah diberikan selama proses pembuatan referat ini atas bimbingan yang telah diberikan selama kepaniteraan klinik ini berlangsung.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan kepaniteraan klinik ilmu penyakit anak RSUD Kota Semarang atas kebersamaan dan kerja sama yang telah terjalin selama ini.
Seiring dengan perkembangan jaman, banyak sekali perubahan di bidang pengetahuan medis yang mengarah kepada kemajuan dan perbaikan kualitas kesehatan, banyak data, dan fakta yang signifikan perlu diketahui oleh tenaga medis untuk menegakkan diagnosa dengan baik. Sebagai tenaga medis yang berkualitas, diperlukan pengetahuan yang cukup agar dapat memberikan penanganan yang tepat. Untuk itu melalui referat ini penulis mencoba untuk sedikit menjabarkan mengenai sindroma nefrotik. Akhir kata, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun akan sangat diharapkan demi penyempurnaannya.
Semoga referat ini dapat memberi informasi yang berguna bagi para pembaca
Semarang, Mei 2015
Eva Natalia Br. Manullang
DAFTAR ISI
Kata pengantar ....................2
Daftar isi ... .................3
BAB I PENDAHULUAN ..................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi ......................................................................................................5
2.2 Epidemiologi ............................................................................................5
2.3 Anatomi ....................................................................................................5-8
2.4 Fisiologi Ginjal 9
2.4 Etiologi .. 10-13
2.4 Patofisiologi .......................................................................................... 13-16
2.5 Manifestasi Klinik ................................................................................ 15-16
2.6 Pemeriksaan Penunjang .........................................................................16
2.7 Diagnosis ...............................................................................................17
2.8 Penatalaksanaan .....................................................................................17-22
2.9 Komplikasi ..............................................................................................23
2.10 Prognosis ..............................................................................................24
BAB III KESIMPULAN ...........................................................................................25
BAB IV DAFTAR PUSTAKA .................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif, hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas.7
Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif. 7
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. 7
Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN.7
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta edema. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar >40 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. 6,9
Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. 6,9
ANATOMI
Ginjal merupakan organ yang berbentukseperti kacang, terdapat sepasang (masing- masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Korteks : yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus colligent).
Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks.
Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.
Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix major dan ureter.
Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinari
Gambar 1. Anatomi ginjal
Sirkulasi Ginjal
Setiap ginjal menerima kira-kira 25% isi sekuncup janung. Bila diperbandingkan dengan berat organ ginjal hal ini merupakan suplai darah terbesar didalam tubuh manusia. Suplai darah pada setiap ginjal biasanya berasal dari arteri renalis utama yang keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yagn terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus (mukula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole eferen glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar dari pada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rakta) ke tubulus dan medula.
Struktur Nefron
Tiap ginjal mengandung kurang lebih 1 juta nefron ( glomerolus dan tubulus yang berhubungan dengannya). Pada manusia, pembentukkan nefron selesai pada janin 35 minggu. Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya adalah hyperplasia dan hipertrofi struktur yang sudah ada disertai maturasi fungsional. Perkembangan paling cepat terjadi pada 5 tahun pertama setelah lahir. Oleh karena itu bila pada masa ini terjadi gangguan misalnya infeksi saluran kemih atau refluks, maka hal ini dapat mengganggu pertumbuhan ginjal.
Tiap nefron terdiri atas glomerolus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, ansa henle dan tubulus distal. Glomerolus bersama kapsula Bowman juga disebut badan Malpigi. Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerolus tetapi peranan tubulus dalam pembentukkan urin tidak kalah pentingnya dalam pengaturan meliau internal. Fungsi ginjal normal terdiri atas 3 komponen yang saling berhubungan yaitu :
1. Ultrafiltrasi glomerolus
2. Reabsorbsi tubulus terhadap solute dan air
3. Sekresi tubulus terhadap zat-zat organic dan non-organik
Populasi glomerolus ada 2 macam :
1. Glomerolus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar korteks
2. Glomerolus jukstamedular yang mempunyai ansa henle yang panjang sampai ke bagian dalam medulla. Glomerolus semacam ini berada diperbatasan korteks dan medulla dan merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsorpsi air dan solute.
Fisiologi Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus.6
Fungsi Utama Ginjal
Fungsi Ekskresi
1. Mempertahankan osmolalitis plasma sekitar 258 m osmol dengan mengubah-ubah ekresi air.
2. Mempertahankan pH plasma skitar 7,4 dengna mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3.
3. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea, asam urat dan kreatinin.
Fungsi Non-ekskresi (Endokrin)
1. Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.
2. Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.
3. Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
4. Degenerasi insulin
5. Menghasilkan prostaglandin
Etiologi
Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. 6 Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
I. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema semasa neonates. Pencangkokan pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupanya. 6
II. Sindroma nefrotik primer/ idiopatik
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsy ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskopik elektron, terbagi dalam empat golongan yaitu: 5
1. Kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan mikroskop elektron tampak foot processus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluorosensi ternyata tidak terdapat IgG atau immunoglobulin beta-1C pada dinding glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa. Prognosisnya juga lebih baik dibandingkan dengan golongan lain.
2. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik.
3. Glomerulonefritis proliferative
a. Glomerulonefritis proliferative eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan lama.
b. Dengan penebalan batang lobular
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
c. Dengan bulan sabit
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai ( kapsular ) dan visceral. Prognosis buruk.
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah
4. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk. 6
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik.Buku Ajar Nefrologi Anak.
III. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh: 6
Malaria kuartana atau parasit lain
Penyakit kolagen seperti lupus erimatosus diseminata, purpura anafilaktoid.
Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, thrombosis vena renalis.
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementik
PATOFISIOLOGI
Ada empat gejala utama pada sindrom nefrotik. Yaitu: proteinuria, hipoproteinemia, edema, dan hiperlipidemia. 3,4
Proteinuria dan hipoproteinemia
Proteinuria terjadi akibat adanya perubahan pada kapiler gomerulus dan pada umumnya tergantung pada jenis lesinya. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindroma nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu, konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Akibat proteinuria yang masif, maka bisa menyebabkan terjadi hipoproteinuria dalam intravaskuler. 3,4
Pada SNKM didapatkan penurunan klirens protein bermuatan netral tapi peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. sehingga dianggap bahwa proses ini adalah akibat hilangnya barier muatan negatif. Heparan sulfat proteoglikan yang terdapat pada lamina rara eksterna dan interna menyebabkan timbulnya muatan negatif dan merupakan penghalang utama terhadap keluarnya molekul bermuatan negatif seperti albumin. Penurunan heparan sulfat proteoglikan dengan heparitinase menyebabkan terjadinya albuminuria. Pada sel epitel terdapat terdapat sialoprotein glomerulus, suatu polianion yang memberikan muatan negatif pada sel epitel. Pada SNKM jumlah sialoprotein kembali normal setelah pemberian steroid, sedangkan pada SN akibat proliferatif glomerulonefritis atau diabetes melitus, klirens molekul kecil menurun dan klirens molekul besar meningkat, hal ini menunjukan adanya perubahan pada pori baik ukuran, jumlah ataupun keduanya.
Edema
Edema merupakan gejala kardinal pada SN. Mekanisme terjadinya edema dapat dijelaskan melalui dua teori, yaitu Teori Underfill dan Overfill/overflow. Teori Underfill adalah teori klasik mengenai pembentukan edema, yakni menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas glomerulus, albumin akan keluar dan kemudian menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial yang menyebabkan edema. Sebagai akibat dari pergeseran cairan ini, volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha tubuh untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan yang secara terus menerus menjaga volume plasma selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini akan terus memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.
Teori overflow/overfill menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron. Retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat dari perpindahan cairan ke dalam ruang interstisial. Teori ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang menurun sekunder terhadap hipervolemia.1,3,4
Hiperlipidemia
Sekurang-kurangnya ada dua factor yang memberikan sebagian penjelasan: 3,4
1. hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein
2. katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoproetein lipase plasma, system enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
MANIFESTASI KLINIK
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif (anasarka). 3,6,7
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Edema biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM. 9
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.,9
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. 3,6,9
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. 3,6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain: 2
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau ratio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)
Kadar albumin dan kolestrol plasma.
Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin.
Kadar complemen C3
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.9
2. Pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi. 9
3. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. 9
PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut: 2
Table 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik 2
Remisi
Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut
Kambuh
Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi
Kambuh tidak sering
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan
Kambuh sering
Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan
Responsif-steroid
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
Dependen-steroid
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder lambat
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder awal
Resisten-steroid sejak terapi awal
Nonresponder lambat
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid
PROTOKOL PENGOBATAN 9,10.
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari (2mg/kgBB/hari) dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari (2/3 dosis penuh) secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
Sebelum pengobatan steroid di mulai, dilakukan pemeriksaan uji mantoux. Bila hasilnya negatif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila hasilnya positif diberikan obat anti tuberkulosis (OAT).
I. Sindrom nefrotik serangan pertama 8,9
1. Perbaiki keadaan umum penderita
a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Batasi asupan natrium sampai 1 gram/hari, secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat
c. Berantas infeksi
d. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretic perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolic, atau kehilangan cairan intravascular berat Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
Dengan demikian edukasi terhadap penderita dan orang tuanya menjadi sangat penting. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE-i (Angiotensin Converting Enzyme inhibitors), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), CCB (Calcium Channel Blockers), atau antagonis adrenergik, hingga tekanan darah anak di bawah persentil 90. Pada semua pasien rawat jalan SN dengan pengobatan steroid, maka harus dilakukan pemantauan tekanan darah setiap 6 bulan sekali.
Terapi ACE-i dan ARB telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatis untuk mengubah permeabilitas glomerulus. ACE-i juga memiliki efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1 yang keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Golongan ACE-i yang dapat digunakan antara lain captopril 0,3 mg/kgBB diberikan 3xsehari, enalapril 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgBB dosis tunggal. Golongan ARB yang dapat digunakan hanya losartan 0,75 mg/kgBB dosis tunggal.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
II. Sindrom nefrotik kambuh (relapse) 9
Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan
Perbaiki keadaan umum penderita
1. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.
2. Sindrom nefrotik kambuh sering
adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
III. Sindrom nefrotik resisten steroid 2
Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia dan agranulositosis.
Indikasi pemulangan pasien dirawat: 2
Edema anasarka menghilang
Nafsu makan baik.
Proteinuria negatif pada 3 kali pemeriksaan selama 1 minggu
Indikasi klinis untuk pemberian albumin adalah :
Klinis hipovolemia
Gejala edema
Sebuah albumin serum yang rendah saja tidak indikasi untuk albumin intravena.Jika ada bukti hipovolemia, berikan 1 g / kg albumin 20% (5ml/kg) selama 4 - 6 jam. Berikan 2mg/kg dari furosemid iv pada pertengahan infus. Jika klinis syok memberikan 10ml/kg albumin 4,5%. Anak-anak harus dimonitor selama infus albumin.
KOMPLIKASI
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis.
Secara ringkas, kalaina hemostatik pada SN dapat timbul drai 2 mekanisme yang berbeda:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan : meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti antitrombin III, plasminogen dan antiplasmin.
Aktivasi sitem emostatik didalam ginjal dirangsang oleh fator jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit. 1
2. Hipertensi merupakan salah satu komplikasi dari SN yang dapat ditemukan baik pada awitan penyakit ataupun dalam perjalanan penyakit akibat toksisitas steroid. Pemberian steroid jangka panjang sendiri dapat menimbulkan efek samping yang signifikan terhadap penderita. Dengan demikian edukasi terhadap penderita dan orang tuanya menjadi sangat penting. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE-i (Angiotensin Converting Enzyme inhibitors), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), CCB (Calcium Channel Blockers), atau antagonis adrenergik, hingga tekanan darah anak di bawah persentil 90. Pada semua pasien rawat jalan SN dengan pengobatan steroid, maka harus dilakukan pemantauan tekanan darah setiap 6 bulan sekali.
3. Pertumbuhan abnormal dan malnutrisi.
Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien SN yang tidak diberikan kortikosteroid adalah malnutrisi protein,
kurang nafsu makan sekunder, hilangnya protein dalam urin, dan malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal. Sekarang penyebab utamanya adalah pengobatan kortikosteroid. Pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dan waktu lama dapat memperlambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linier. 1
4. Infeksi
Beberapa penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah: 1
Kadar imunoglobulin yang rendah
Defisiensi protein secara umum.
Hipofungsi limfa
Akibat pengobatan imunosupresif
PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut : 9
Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
Disertai oleh hipertensi.
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa gambaran klinis
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.9
KESIMPULAN
Sindroma nefrotik adalah suatu penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.
Menurut etiologinya sindrom nefrotik dibagi menjadi sindrom nefrotik bawaan, sindrom nefrotik sekunder, sindrom nefrotik idiopatik, dan glomerulosklerosis fokal segmental.
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda klinis, seperti edema, oliguria, proteinuria, hiperkolesteronemia dan. hipoalbuminemia. Terapi yang digunakan untuk sindrom nefrotik : bed rest, diet protein rendah garam, antibiotok bila ada indikasi, diuretik, kortikosteroid, dan pungsi asites bila ada indikasi vital. Komplikasi dari sindrom nefrotik adalah : infeksi, malnutrisi, thrombosis. Prognosisnya umum baik. 8
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein, Prof., dkk.. Buku Ajar Nefrologi Anak . Edisi 2. Jakarta. IDAI. 2002, hal 381-422
2. Alatas, Husein, Prof., dkk. Konsensus Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik idiopatik pada anak . Jakarta :Badan Penerbit IDAI. 2005.
3. Behrman, Kliegemen, Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. EGC.Jakarta:1996
4. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
5. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-46.
1