Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui...

21
168 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011 Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah Paradigma untuk Ketahanan Nasional) Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Jl. Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Banda Aceh e-mail: [email protected] Abstract This article intends to examine the dynamics of “border and security” in Southeast Asia through the social history approach. ASEAN members have used the concept of ASEAN Community by 2015 as a new way of building community identity of Southeast Asia. This study described how changes in paradigm to the concept of “borders and security” by examining the meaning of nation, homeland, and the influence of the post-colonial concept of nation states. Here is explained the concept of security, faith, salvation as a fundamental concept in the “border and security” which has been influenced by religious values. Authors concluded that the concept of ASEAN Community is one way of raising a new paradigm among the members of the organization-although not entirely success- ful in practice-towards an identity and vision among the people of Southeast Asia. Key Words: ASEAN; Southeast Asia; security; boundary; self; homeland Abstraksi Artikel ini bermaksud mengkaji dinamika “perbatasan dan keamanan” di Asia Tenggara melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN 2015 sebagai cara baru dalam membangun identitas masyarakat Asia Tenggara. Dalam kajian ini, dipaparkan bagaimana perubahan paradigm terhadap konsep “perbatasan dan keamanan” dengan mengkaji makna watan, tanah air, dan pengaruh konsep negara bangsa setelah era kolonial. Disini dijelaskan konsep keamanan, keimanan, keselamatan sebagai konsep dasar dalam “perbatasan dan keamanan” yang telah dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan. Penulis berkesimpulan bahwa konsep Komunitas ASEAN merupakan salah satu cara membangkitkan kembali paradigma baru di kalangan para anggota organisasi tersebut –kendati tidak semuanya sukses dalam praktiknya -menuju satu identitas dan visi di kalangan masyarakat Asia Tenggara. Kata Kunci: ASEAN; Asia Tenggara; keamanan; perbatasan; diri; tanah air Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 15, Nomor 2, November 2011 (168-188) ISSN 1410-4946 Pendahuluan Ide awal tulisan ini muncul dari beberapa peristiwa yang dialami oleh penulis ketika bertandang ke Thailand. Adapun yang pertama adalah ketika menjadi pembicara dalam konferensi mengenai ASEAN Islamic Education: Change from within through Education ” pada bulan

Transcript of Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui...

Page 1: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

168

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara(Sebuah Paradigma untuk Ketahanan Nasional)

Kamaruzzaman Bustamam-AhmadInstitut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Jl. Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Banda Aceh

e-mail: [email protected]

Abstract

This article intends to examine the dynamics of “border and security” in Southeast Asiathrough the social history approach. ASEAN members have used the concept of ASEANCommunity by 2015 as a new way of building community identity of Southeast Asia.This study described how changes in paradigm to the concept of “borders and security”by examining the meaning of nation, homeland, and the influence of the post-colonialconcept of nation states. Here is explained the concept of security, faith, salvation as afundamental concept in the “border and security” which has been influenced by religiousvalues. Authors concluded that the concept of ASEAN Community is one way of raisinga new paradigm among the members of the organization-although not entirely success-ful in practice-towards an identity and vision among the people of Southeast Asia.

Key Words:ASEAN; Southeast Asia; security; boundary; self; homeland

Abstraksi

Artikel ini bermaksud mengkaji dinamika “perbatasan dan keamanan” di Asia Tenggaramelalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsepKomunitas ASEAN 2015 sebagai cara baru dalam membangun identitas masyarakatAsia Tenggara. Dalam kajian ini, dipaparkan bagaimana perubahan paradigm terhadapkonsep “perbatasan dan keamanan” dengan mengkaji makna watan, tanah air, danpengaruh konsep negara bangsa setelah era kolonial. Disini dijelaskan konsep keamanan,keimanan, keselamatan sebagai konsep dasar dalam “perbatasan dan keamanan” yangtelah dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan. Penulis berkesimpulan bahwa konsepKomunitas ASEAN merupakan salah satu cara membangkitkan kembali paradigma barudi kalangan para anggota organisasi tersebut –kendati tidak semuanya sukses dalampraktiknya -menuju satu identitas dan visi di kalangan masyarakat Asia Tenggara.

Kata Kunci:ASEAN; Asia Tenggara; keamanan; perbatasan; diri; tanah air

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Volume 15, Nomor 2, November 2011 (168-188)

ISSN 1410-4946

PendahuluanIde awal tulisan ini muncul dari

beberapa peristiwa yang dialami oleh penulisketika bertandang ke Thailand. Adapun

yang pertama adalah ketika menjadipembicara dalam konferensi mengenai“ASEAN Islamic Education: Change fromwithin through Education” pada bulan

Page 2: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

169

Oktober 2010 di Walailak University,Nakhorn Sri Thammarat, Thailand. Dalamsalah satu sesi, sekretaris jenderal ASEAN,Dr. Surin Pitsuwan menjelaskan kesiapandan tantangan umat Islam menghadapiASEAN Community 2015 (Severino, 2010;Prass, 2000). Dalam konteks tersebut, iamenandaskan bahwa banyak sekalipersoalan yang melilit umat Islam, sehinggamasih dipertanyakan kesiapan merekamenjadi sebuah Komunitas Baru pada tahun2015 nanti. Dengan kata lain, persoalan yangmendasar adalah kesiapan umat Islambersaing dengan umat beragama lain.Sampai hari ini, umat Islam di Asia Tenggaramasih didera berbagai persoalan internalmaupun eksternal. Adapun peristiwa yangkedua, ketika penulis menjadi pembicaradalam konferensi Multi-Culturalism andGlobal Peace pada tanggal 26-28 Januari 2011di Prince Songkhla University, Pattani, Thai-land. Ketika Dr. Mark Thamthai dari ChiangMai mengisi sesi keynote, muncul pertanyaandari penduduk lokal Pattani yangmenceritakan bagaimana susahnya menjadiorang Melayu di Thailand. Warga lokaltersebut menceritakan bahwa sebagai orangMelayu, ia harus memiliki nama Thai danmengikuti adat istiadat atau budaya Thaiyang penuh nuansa Budha. Pada intinya,sang warga mengeluh bahwa dia tidakmenemukan kebaikan pada diri dankeluarganya selama menjadi warga Thai-land. Ketika merespon pertanyaan tersebut,Dr. Mark Thamthai mengatakan bahwapersoalan tersebut dipicu oleh berpindahnyaperbatasan yang menyebabkan merekamasuk ke dalam batas teritorial negara Thai-land. Inilah konsekuensi yang harusditerima ketika “perbatasan” bergeser,kemudian terjadi proses hegemoni budayabaik secara sukarela maupun terpaksa padasatu komunitas.

Dua peristiwa tersebut memang sepintastidak ada hubungan dengan tema artikel iniyaitu “perbatasan dan keamanan.” Namun,

setelah mencoba memahami pandanganSurin Pitsuwan dan Mark Tamthai, sayakemudian mendapatkan beberapa pertanya-an mengenai konflik perbatasan, benturankebudayaan atau hubungan budaya yangsulit dinegosiasikan, krisis identitas, dan arahkebijakan keamanan satu negara. Pesanyang ingin ditampilkan oleh Surin ketikaberpidato di Thailand Selatan jelas bahwabagaimana kesiapan umat Islam di kawasantersebut. Karena Thailand Selatan sendirisedang didera berbagai masalah keamanandan identitas yang terkait dengan Islam danetnik Melayu. Sampai hari ini, konflik diThailand Selatan memang telah menggeserberbagai sendi kebudayaan masyarakatMelayu (Ryoko, 1995; Narongsaksakhet,2005; Takashi, 1995). Mereka dipaksamenjadi Thai, walaupun mereka padaprinsipnya Melayu murni. Sehingga secaraikatan identitas, mereka lebih merasanyaman berdekatan dengan saudaramereka di Malaysia, yakni Kelantan,ketimbang dengan tetangga mereka diBangkok (Jory, 2007: 255-79).

Demikian pula, pesan yang ingindibawa oleh Mark bahwa dampak darisebuah “berpindahnya perbatasan”ternyata dirasakan oleh masyarakat lokal,yang ini, mengingatkan kita pada konsep“komunitas yang diimajinasikan” dalamstudi nasionalisme yang dikembangkan olehBen Anderson (Anderson, 2004). Proyeknasionalisme yang berlangsung sejakkedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggaratelah menimbulkan masalah tersendiri dikalangan umat Islam. Sejauh ini, persoalantersebut dipandang sebagai prosessekularisasi. Dalam konteks ini, umat Islammencoba merespon dengan tiga hal, yaitumerespon melalui menerima sepenuhnyakonsep sekularisasi dalam bingkainasionalisme, menerima tetapi tetapmerujuk pada aspek-aspek keislaman, danyang terakhir, mencoba menolak semua idedari proses nasionalisme atau sekularisasi

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 3: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

170

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

yang berujung pada fundamentalisme.Tentu saja tiga varian inilah yangmenjadikan kenapa isu nasionalisme danumat Islam selalu terkait, misalnyapersoalan pendirian Negara Islam atauKhilafah Islamiyyah. Pada saat yang sama,Islam baik sebagai kekuatan agama danbudaya maupun sosial politik telah lamabertapak di Asia Tenggara. Karena itu, dalampersoalan “perbatasan dan keamanan” diAsia Tenggara, hampir sama denganmendiskusikan kontestasi kekuatannasionalisme – sekular dengan kekuatan Is-lam dan kebudayaan lokal.

Di Asia Tenggara, kebanyakan negara-negara, kecuali Thailand, merasakankemerdekaan paska-perang dunia kedua.Saat itu, konsep nasionalisme sedangbanyak mendapat perhatian dari berbagaipemimpin bangsa, khususnya setelahperang Dunia ke-II denganmengawinkannya dengan konsepsekularisme (Roff, 1967; Andaya, 2001; Barr,2009; Hefner, 2001; Ibrahim et.al. 1985).Dalam konteks tersebut, identitas lokal(etnik) yang dilekatkan atas nama suku danetnik dipaksakan “bersatu” dengan konsepnasionalisme dan sekularisme (Brown, 1995).Hingga hari ini, persoalan seperti Negara Is-lam dan Khilafah Islamiyyah masih menjadipersoalan tersendiri terhadap bangunannasionalisme, khususnya di Indonesia danMalaysia. Adapun di Thailand Selatan,mereka lebih tertarik membangun negeriyang memperlihatkan etnik mereka sepertiPattani Darussalam. Namun, kontruksiidentitas pada masing-masing komunitasmasih menjadi persoalan, khususnya ketikaditarik hubungan mereka dengan sikap danpandangan terhadap konsep nasionalisme.Sampai hari ini, persoalan “berpindahnyaperbatasan” telah memberikan pekerjaanrumah mengenai bagaimana kontruksiidentitas dan wajah keamanan di AsiaTenggara. Di Thailand, konflik di kawasanSelatan telah memicu persoalan keamanan

di perbatasan, di mana sentimen agama danetnik juga mengundang rasa simpati darimasyarakat Melayu di Utara Malaysia,yaitu negeri Kelantan. Demikian pula, diMindanao, konflik Muslim denganpemerintah di Manila terus memicu danmemacu semangat memberontak terhadap“perbatasan” Filipina yang dipaksakansampai pada pulau tersebut. Di Myanmar,kasus Rohingya sampai hari ini masihmenyita perhatian dunia (Serajul Islam,2005, 1998).

Dalam makalah ini, penulis mencobamenelaah kembali bagaimana kontruksisejarah sosial di Asia Tenggara terhadap“perpindahan perbatasan” dan kesiapanumat Islam dalam upaya menciptakanASEAN Community 2015. Hal inidikarenakan, ketika terjadi “perpindahanperbatasan” sedikit banyak telah dan akanbersinggungan dengan umat Islam, karenakarena umat ini merupakan penduduk yangpaling banyak di Asia Tenggara (Fealy danHooker, 2006). Demikian pula, umat ini pulayang paling sering mengalami ataubersentuhan dengan persoalan “perbatasandan keamanan.” Studi ini lebih banyakdidasarkan pada pengamatan penulisselama melakukan penelitian demipenelitian di Asia Tenggara yaitu di Indone-sia, Malaysia, dan Thailand (Bustamam-Ahmad, 2009b, 2009a, 2007, 2010, 2010b).Ketika melakukan beberapa perjalanan dibeberapa negara tersebut, tampak bahwapersoalan “perbatasan dan keamanan”merupakan persoalan yang paling krusial.Sebagai contoh, persoalan sengketaperbatasan antara Malaysia dan Indonesiakerap dijadikan sebagai bahan untuk konflikdi kalangan masyarakat pada kedua negaratersebut. Demikian pula, di Johor, tidaksedikit rakyat Melayu yang merasakan“tidak nyaman” dengan perilaku pihakSingapura. Sehingga persoalan “air” seringmenjadi isu penting ketika kedua negara inimengalami ketegangan. Hal ini belum lagi

Page 4: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

171

ketegangan demi ketegangan munculantara Singapura dengan Indonesia,khususnya ketika ada perilaku yangmemanfaatkan negara lain untukkepentingan perluasan negaranya. Karenaitu, data lebih banyak diambil dari “apayang dilihat” (things as they are) yangmerupakan sebuah pendekatan dalamfenomenologi sosial dan “apa yangdirasakan” dalam melihat fenomenaperbatasan di beberapa negara di AsiaTenggara. Setelah itu, data tersebut dicobadimasukkan dalam studi mengenai AsiaTenggara, di mana persoalan keamanansudah begitu mencuat selama empat dekadeterakhir. Seperti munculnya persoalanteroris, pembajakan, penyeludupan,perubahan iklim, bisnis intelijen, food secu-rity, dan human security (Bradford, 2005;Afdal dan Thayer, 2003; Kingsbury, 2005;Rabasa, 2001; Niksch, 2003). Demikian pula,persoalan yang muncul juga tidak lepas daritopografi persoalan regional daninternasional. Namun, makalah ini inginmenawarkan apa yang sebaiknya dilakukanoleh pemerintah, akademisi, dan aktivisdalam menyonsong dampak daripelaksanaan ASEAN Community padatahun 2015.

Konteks Sejarah Perbatasan danKeamanan di Asia Tenggara

Sejauh ini, kawasan Asia Tenggara seringdisebut sebagai Muslim Zone (Federspiel,2001), rantau Melayu (Reid, 2001, 2006;Andaya, 2001), atau kawasan yangberpenduduk Islam terbanyak di dunia(Hooker dan Fealy, 2006). Literarur sejarahmengenai Asia Tenggara memang lebihbanyak diisi oleh ketiga unsur tersebut yaitusejarah Muslim, sejarah Melayu, danperkembangan pemikiran Islam. Secarahistoris, Islam sampai ke Asia Tenggara dantelah mendominasi konteks sejarah dankebudayaan masyarakat Asia Tenggara.Namun, sebelum Islam hadir di rantau ini,

agama Hindu dan Budha lebih dahulumenjadi agamat masyarakat pribumi, dimana dalam kategori tertentu juga dikenalsebagai penganut animisme. Agama yangdianut oleh masyarakat tersebut juga dikenaldengan istilah indigenous beliefs. Artinya,sudah ada satu bangunan masyarakat yangbersifat otentik dan telah memberikan dasaratau piring peradaban dunia. Akibatnyakedatangan Islam dan Muslim telah mencobamengubah satu “batas” yang paling substansidi kalangan masyarakat ini. Maksudnya“batas” dalam bidang teologi dan juga dalamkehidupan berbudaya.

Disini dikenal dengan perubahankonsep mengenai “jati diri” individu, dimana dikenal dengan konsep self (diri)(Sokefeld, 1999; Taylor, 1989; Zaretsky,2004). Dari pemahaman inimengindikasikan bahwa ketika terjadiproses islamisasi maka juga terjadiperubahan”jati diri” orang tersebut. Dalambahasa Jawa, ketika orang masuk Islam,dikenal dengan proses salin agama (Riana,2009). Dengan kata lain, seseorang telahmengganti kepercayaan, namun disinimereka belum melakukan apa yang disebutdengan salin budaya. Ini disebabkan menjadiMuslim adalah melakukan prosespenyerahan diri kepada Gusti Allah. Karenaitu, batas pertama yang ditohok oleh Islamadalah batas diri manusia di Asia Tenggara.Sehingga tidak sedikit yang menyebutkanbahwa kendati sudah beragama Islam,namun masih mempraktikkan adat ataubudaya sebelum masuk Islam. Fenomena initidak hanya ditemukan di Jawa di Indone-sia (Geertz, 1957, 1960), dikalangan orangAsli di Malaysia (Kasimin, 1991), tetapi jugadi kalangan orang Buddha yang masuk Is-lam di Thailand (Gowing, 1985;Suwannathat-Pian, 2004). Dengandemikian, konsep “batas dan aman” saat itucenderung dipahami sebagai konsepperubahan definisi jati diri manusia yaituperubahan keimanan pada spirit yang

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 5: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

172

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

tunggal. Konsep ini dikenal dalam kajianmikro-kosmos yaitu alam kecil dalam dirisetiap manusia

Sehingga kekuatan pada proses salinagama ini kemudian juga membawa dampakperubahan terhadap ideologi yangmempersatukan masyarakat di AsiaTenggara (Abdullah, 1993; Azra, 2000).Sehingga poros Islam menjadi semacamsumbu kekuasaan yang diterjemahkandalam bentuk ke-raja-an atau ke-sultan-an.Islam pada urutannya menjadi batas atauteritori secara mikro-kosmis antar dirimasyarakat itu sendiri dalam bingkaikeimanan dan ideologi (Amiruddin, 2003;Bustamam-Ahmad, 2010; Saby, 2006). Sekalilagi pada aspek kebudayaan, telah terjadiperjumpaan budaya dari Islam datang yakniTimur Tengah dengan kebudayaan yangtumbuh dalam masyarakat tempatan. Disinibatas kemudian menjadi agak semakin luasyaitu dari diri berubah menjadi sistem sosialyang disimbolkan pada pundak sang rajaatau sultan (Reid, 1993: 83-108; Bustamam-Ahmad, 2011:1-15). Selain kontruksi batasdan keimanan ditanamkan di kalanganistana, juga dilakukan di luar istana oleh paraulama dengan dayah/pondok/pesantren/madrasah. Mereka yang bertugas untukmenyemai pemikiran keislaman danmembantu poros kekuasaan untukmemperteguh konsep keamanan pada dirisang raja dan rakyat jelata. Dalam hal ini,tidak sedikit para raja kemudian menjadikansimbol-simbol Islam, seperti gelar (sultan),mahkota (tajul mulk), dan wilayahkekuasaan (daulah) sebagai bingkaikeamanan mereka, mulai dari pakaian,hingga bangunan-bangunan Islam. Hal initerlihat dari gelar Raja di Jawa dan rajaMelayu yang mulanya dikenal dikenaldengan istilah Raja, kemudian menjadi Sul-tan (Reid, 1993; Abdullah, 1993).

Proses membangun teritorial berdasar-kan pada agama ini kemudian menjadisemacam kekuatan politik global saat itu,

seperti pengalaman Singapura. Dalamkonteks kekuatan Islam, para raja atau sul-tan yang memiliki keimanan yang samadengan sejawatnya di benua lain, ikut andildalam membangun roda perekonomian,sosial, politik, dan pertahanan di AsiaTenggara (Reid, 2005b). Adapun jaringanyang dibangun di Asia Tenggara untukmemperteguh keimanan dan keamanan,dilakukan melalui proses jaringan keilmuanantara ilmuwan di Timur Tengah denganpara ilmuwan atau cendekiawan diNusantara, di mana para ulama menjadipenasihat para sultan, serta menulisbeberapa kitab dalam bahasa Jawi dan Jawa(Azra, 2004; 2002; Othman, 1994, 2005,1998). Fakta historis ini menyatu menjadisemacam ideologi bagi masyarakat Islam diAsia Tenggara, khususnya di beberapanegeri yang pernah memiliki kerajaan Islam.Konsep “perbatasan” kemudiandiperlihatkan melalui keimanan pemimpindan rakyat, di mana jika raja beragama Is-lam, maka rakyat pun menganut agamaIslam. Karena itu, pelaksanaan perundang-undangan dilakukan melalui kerjasamaantara sultan dan ulama, kemudianditerapkan oleh masyarakat. Konsepkeamanan, lalu dinyatakan denganperlindungan pada mereka yang memilikikesamaan kepercayaan dan keinginanuntuk hidup berdampingan.

Secara historis, setiap pulau di AsiaTenggara, mulai dari Sulu di Mindanao,Semenanjung Tanah Melayu, PulauSumatra, Pulau Jawa, Pulang Sulawesi, sertaPulau Kalimantan menjadi kerajaan Islamyang makmur atau dikenal dengan ’negeribahwa angin’ karena kedua konsep di atas(Oliveros, 2007: 17-32; Jubair, 1999; Alfian,1999; Lombard, 1997, 1998; Graff danPigeaud, 2004). Armada perang tumbuh danberkembang hingga menjadi satu mozaiksejarah Asia Tenggara. Para ekspatriat dariBenua Asia, Eropa, dan Afrika turutmembina hubungan dengan kawasan di

Page 6: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

173

rantau Melayu tersebut. Hingga kemudian,kemakmuran ini berubah menjadi semacam“surga bagi para kolonialis.” Kenyataan inikemudian menggoda mereka untukmelakukan proses okupasi ke beberapanegeri di Asia Tenggara. Pada saat yangsama, penduduk dari Asia Selatan danTimur juga mulai berdatangan keNusantara. Mereka mendiami beberapanegeri dan hidup berdampingan hingga hariini. Dua suku bangsa yang cukup lamamendiami Asia Tenggara adalah Cina danIndia (Ching-Hwan, 2002; Suryadinata,2007; Sandhu dan Mani, 2006; Usman,2009).

Kontak Asia Tenggara dengan Cina danIndia dan para penjajah dari Eropa, yangtelah terjadi selama ratusan tahun, karenaadanya hubungan kerajaan dan perda-gangan telah mengakibatkan pertemuandan persinggungan budaya, telahmengubah wajah “perbatasan dankeamanan” di Asia Tenggara, dipengaruhioleh tingkat kebudayaan dari pendudukCina dan India yang menjadi “tamu” dikawasan ini. Selain itu, pola mendatangirantau Melayu ini melalui “kepentinganpenjajahan” seperti pengalaman Inggris diMalaysia dan Belanda di Indonesia juga telahmengubah wajah “perbatasan dankeamanan”. Tidak hanya mempengaruhisistem kerajaan, hal ini juga mengubah carapandang masyarakat terhadap sistem sosialyang mereka anut selama ini. Dari polakedatangan “tamu” (baca: India, Cina, danpenjajah dari Eropa), perbatasan kemudiantidak lagi memakai kerangka kerajaan,tetapi memakai kerangka “tanah jajahan”yang lebih bersifat menguasai danmengelola tanah. Sampai hari ini, konsep“tanah jajahan” dapat ditemui di kawasanUtara Malaysia.

Disini “tanah jajahan” bermaksudmemberikan pemahaman bahwa siapapunyang berhasil menguasai dan mengelolatanah, maka kelompok itulah yang menjadi

penguasa di tempat tersebut. Ini dikarenakanbelum ada konsep nasionalisme daripemikiran ilmu-ilmu sosial. Yang ada adalahkonsep watan, ibu pertiwi, dan tanah air.Ideologi untuk mempertahankan bukankarena kesamaan keimanan, tetapi karenakesamaan tujuan untuk melindungi tanahair atau watan (Kahn, 2006; 1978). Konsepwangsa atau bangsa juga masih dilekatkandengan konsep tanah air melalui pendekatanwarna, agama, dan alam kosmologis setiapetnik. Maksudnya, reproduksi patriotisme dikalangan rakyat dan penguasa disemaimelalui kepentingan wangsa, agama, dandoktrin kosmologis.

Keamanan bukan lagi diterjemahkankarena menganggu keimanan dan diri,tetapi mengganggu tanah dan doktrinkosmologis. Sehingga tujuan penjajah,selain untuk mengeruk kekayaan, lebihbanyak ingin menguasai tanah danmengubah doktrin kosmologis kelompokyang menjadi terjajah. Disinilah Islammemberikan peran yang cukup signifikanterhadap semangat untuk membela tanahair. Namun, penjajah mencoba mengubahAsia Tenggara dengan mengubah peta tanahair. Mereka membuat beberapa perjanjianbagaimana tanah di Asia Tenggara dibagidan disesuaikan dengan keinginan bangsa-bangsa Eropa. Sehingga di dalam literatursejarah Perjanjian London, Perjanjian Siam,dan pengaruh tokoh sekaliber Rafless cukupmengobrak-abrik tanah air. Watan rusakbukan karena bangsa yang sudah ingindiubah, tetapi penjajah mengubah tanahberdasarkan apa yang mereka sepakati.

Inilah kemudian yang memisahkanteritorial dan tanah di Asia Tenggara. Pattaniyang berdasarkan sejarah sebagai KerajaanMandiri “diserahkan” pada Kerajaan Siam(Aphornsuvan, 2008). Aceh yang merupakan“negeri” (baca: Nangroe) diserahkan padaIndonesia (Aspinnal, 2009; 2002:1-24).Bangsa Moro yang punya sejarah kerajaansendiri, dipaksakan untuk bergabung ke

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 7: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

174

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

Manila (Majul, 1985: 48-58). Untuk obrak-abrik konsep watan, penjajah jugamelakukan pemisahan konsep kekuasaandan otoritas melalui pembagian wilayahyang berdasarkan penggabungan negeri-negeri dalam satu kelompok federasi.Pengalaman ini cukup lama dirasakan olehkawasan Semenanjung Tanah Melayu (Roff,1967; Andaya dan Andaya, 2001). Para rajaMelayu harus rela tanah dan air merekadibagi oleh penjajah. Para raja juga harusrela, rakyat mulai belajar tidak lagi dipondok (Roff, 2004), tetapi sudah di sekolah-sekolah yang dididik oleh para kelompokpenjajah.

Dalam fase ini, perbatasan yangdidasari pada keimanan dan watan beradudengan konsep perbatasan yang ditawarkanoleh penjajah dengan nama baru yaitu na-tion (Laffan, 2003; Cottam dan Cottam,2001). Perbatasan mengikut hasil perjanjianmereka sebelum menjajah. Perbatasan inilahkemudian ditetapkan sebagai perbatasanyang resmi. Walaupun kemudian, prosesbergesernya perbatasan, ternyata tidakmenyelesaikan masalah, sebagaimana yangditegaskan oleh Mark Thamthai di atas.Pihak penjajah juga menyekolahkan paraaristokrat untuk menjalankan misi sosialpolitik dan sosial keamanan jika pada satusaat negara tersebut lepas dari mereka. Faktahistoris ini kemudian menyisakan persoalaninternal, tidak hanya di Indonesia yangmayoritas penduduknya beragama Islam,tetapi juga di Malaysia dan Thailand. Yangdimaksud dengan persoalan internal adalahterjadi pergeseran kesadaran, dari agamasebagai ideologi dan falsafah kewangsaan,ditukar menjadi ideologi yang mencobamenyatukan berbagai pihak dalam satuwadah kebangsaan (Mahmood, 1981;Kheng, 2002; Hefner, 2000).

Konsep nation yang mencobamenegasikan peran agama, etnik, dankebudayaan telah menyebabkankeruntuhan negeri yang berdasarkan pada

etnik (Brown, 1995). Pada saat yang sama,munculnya istilah etnik di Asia Tenggarajuga sangat dipengaruhi oleh agama. Ketikanegara-negara di Asia Tenggara merdeka,kekuatan etnik dan agama ditinggalkan diluar parlemen. Maksudnya, mereka hanyamembicarakan kepentingan nasional,bukan kepentingan yang didasarkan padaetnik dan agama. Namun, di luar parlemen,ketegangan yang berdasarkan etnik masihmenyisakan di Asia Tenggara (Trijono, 2004).Di Thailand Selatan, etnik Melayu masihmengusung keinginan mereka untuk berdirisendiri, karena mereka bukan dari sejarahThailand. Di Mindano juga terjadi hal yangsama, di mana selain “tanah jajahan”mereka dikuasai oleh pihak Manila, jugakehidupan etnik Moro juga mulaidipaksakan untuk digeser. Di Malaysia,kasus 13 Mei 1969 adalah puncak di manakonflik etnik tidak bisa diabaikan,khususnya antara Melayu dan Cina(Baharuddin, 1997). Hal serupa juga terjadidi Singapura (Al-Junied, 2010; Turner et.al.,2010).

Di lain pihak, konsep nation jugaberadu dengan agama sehingga persoalaninilah yang terkadang bersatu dengan etnik.Dengan kata lain, persoalan agamaterkadang memicu persoalan etnik, danbahkan sebaliknya. Di Indonesia, persoalanagama tidak hanya berkaitan denganideologi (Ismail, 1999) tetapi juga dengankeadaan sosial politik (Effendy, 2003).Ketegangan juga terjadi ketika pemahamanagama dikontraskan dengan konsep yangmuncul dari nation yakni sekularisme dandemokrasi (Abdillah, 1996, 1999; Noor, 1999,2008). Walaupun pada akhirnya konsep na-tion-lah yang selalu memenangi dalamsetiap kontes. Namun, tensi di luarkekuasaan tetaplah masih bergema. Bahkan,tensi ini menjadi semacam spirit yangmempersatukan beberapa kelompokberagama untuk melawan kekuasaan.Sehingga, kekuatan agama dan etnik

Page 8: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

175

menjadi semacam bumbu dalam beberapakonflik di Asia Tenggara.

Jika sebelum merdeka penjajah dianggap kafir, setelah kemerdekaanpemerintah dipandang tidak islami. Dalamkonteks ini, “batas dan keamanan” yangberlaku pada pra-kemerdekaan masih tetapitertanam di Asia Tenggara. Hanya saja,mereka tidak lagi memandang melaluikonsep kafir, namun lebih ketidakislami saja(Bustamam-Ahmad, 2009a). Namunsentimen agama bertahan tanpa ada “batas”yang jelas. Dia bisa menyelinap masuk kemana saja, karena memiliki kepentinganyang sama. Namun demikian, kafir tidaklagi dipandang sebagai representasipenjajah, namun lebih pada konsep kawasanyakni Barat dan nilai-nilai yang dibawamereka.

Penjajahan tidak lagi dimaknai melaluipola fisik atau “tanah jajahan”, tetapimelainkan melalui konsep “penjajahan men-tal” kenyataan ini menyebabkan mun-culnya ketidaksenangan terhadap apa yangdimiliki dan dibawa oleh Barat. Sehinggaagama berevolusi menjadi kekuatanpenggerakan massa untuk melakukantindak perlawanan terhadap “penjajahanmental.” Hal ini disebabkan Barat telahmengganti alam pikiran sebagian pendudukdi Asia Tenggara. Selain itu, Barat jugadipandang sebagai kawasan yang palingbertanggungjawab terhadap keterpurukkanumat Islam di Asia Tenggara. Hal ini padaprinsipnya, juga berlaku di Eropa, di manabangsa tersebut menganggap Islam telah“menyebabkan” munculnya persoalan in-ternal di kalangan penduduk di kawasantersebut (Lewis, 2008).

Dari paparan di atas menyiratkanbahwa konsep “perbatasan dan keamanan”memiliki dinamika tersendiri di AsiaTenggara (Day dan Reynolds, 2000).Namun, yang paling penting dicatat adalah“batas dan keamanan” ternyata sangatterkait dengan “batas dan keimanan.”

Dengan kata lain, mendiskusikan “batasdan keamanan” sangat berhubungandengan kajian mengenai bagaimana peranagama dan etnik dalam membentukkesadaran dan identitas di kalanganmasyarakat di rantau ini. Di sini saya inginmenggarisbawahi perbedaan makna setiapepisode sejarah kewarganegaraan (Geertz,1980). Misalnya, di Malaysia ada warga“Melayu”, “Tanah Melayu,” “Malaya,”“Malaysia,” “Bumiputera”, dan “1Malay-sia.” Demikian pula, pergeseran “batas dankeamanan” juga terjadi dalam pelaksanaanroda pemerintahan, seperti bergesernyamakna KERAJAAN menjadi kerajaan(Geertz, 1980). Di Singapura, bergesernyamakna penduduk Temasek yang lebih dekatke Majapahit menjadi Singapura yang lebihkental nuansa Cina juga ikut dirasakandalam kontruksi identitas sejarah.Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwaketika disebutkan “warga Melayu” makaperbatasannya adalah seluruh pendudukyang berasal dari Sumatera yang mendiamiSemenanjung Tanah Melayu. Pada saatyang sama, ketika sudah ada KERAJAAN,mereka disatukan oleh konsep “tanahMelayu.” Namun, ketika penjajah datang,istilah Melayu ditukar menjadi istilah“warga Malaya” hingga ketika merdeka,diubah kembali menjadi “warga Malaysia.”Namun, orang Melayu ingin membuatbatas dengan penduduk pendatang yangmendiami tanah air mereka denganmembuat istilah Bumiputera (Baharuddin,2004). Dalam kasus Singapura, maka ketikadisebut Temasek, memori sejarah akandiperluas dari batas sejarah Majapahithingga ke Thailand Selatan. Namun, begitudikatakan Singapura, orang pasti ingatsebuah negeri yang pernah berada di bawahMalaysia dan memisahkan diri pada tahun1968 (Barr, 2004, 2009).

Semua fakta sejarah di atas,mengindikasikan bahwa konstruksi“perbatasan dan keamanan” tidaklah

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 9: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

176

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

berjalan statis, melainkan cukup dinamis. DiIndonesia, konsep ini pun berlaku pada Acehyang semula sebagai NANGGROE (negara),kemudian berubah menjadi DAERAH(bandingkan dengan Covarrubias, 1973;Eiseman, 1990). Ketika disebutkan istilahNANGGROE, maka orang akan mengingatbagaimana kemampuan Aceh berada dalamjalur lintasan sejarah orang dari Pantai UtaraSumatra melakukan diplomasi danperdagangan hingga ke Amerika dan Eropa(Reid, 2005a, 2005b). Namun, begitudisebutkan dengan konsep DAERAH, diamenjadi begitu kecil dalam arti sebuahprovinsi yang penuh gejolak sejakbergabung dengan Republik Indonesiahingga 15 Agustus 1945. Berubahnya istilahpada nama Aceh ternyata menyebabkanbergesernya “perbatasan” sebagaimanadinyatakan oleh Mark Tamthai di atas.

Demikian pula, dalam memahamipersepsi pusat terhadap kawasan yangdipimpinnya juga berubah dalam melihatdari kacamata keamanan. Di Malaysia,seluruh kawasan masih diakui sebagaiNegeri, sehingga setiap provinsi diberikanistilah Negeri dan raja-raja, kecuali beberapanegeri yang tidak memiliki kerajaan,mendapat perlakuan istimewa. Di Indone-sia, NEGERI/NEGORO atau NANGGROEdihapuskan menjadi Daerah atau Provinsi,sama seperti di negara lain di Asia Tenggara.Kecuali di Singapura, konsep negeri tidakada sama sekali, karena mereka tidakmemiliki provinsi. Pada prinsipnya, kataDaerah berasal dari bahasa Arab yaitu Daryang bermakna negeri. Jadi, pelekatan kata“aman” yang berasal dari bahasa Arab yaitua-m-n yaitu percaya dan patuh (Izutsu,1994). Namun di Malaysia dan Singapuralebih dipakai istilah keselamatan ketimbangkeamanan. Kata ’keselamatan’ juga berasaldari bahasa Arab yaitu s-l-m yang bermakna’menyerahkan diri.’ Secara tersirat,kenyataan tersebut menunjukkan bahwapola keamanan dan perbatasan lebih

mengacu pada konsep sebelum kedatanganpenjajah yaitu bagaimana memasukkankonsep kesetiaan pada diri warga untukberbakti pada watan.

Jadi, keamanan atau keselamatanberevolusi untuk diri sebuah bangsa atauwangsa. Keamanan atau keselamatan tidakdiarahkan untuk menjaga agar dîn (agama)bisa diterapkan. Ini agaknya persoalanmendasar di negara yang memilikipenduduk Muslim di Asia Tenggara. Dariakar kata dîn berubah menjadi kata madînahyang bermakna kota (city). Sehingga ketikadîn berjalan, Rasul mengubah Yathribmenjadi Madinah artinya kota di mana dinbisa dijalankan (Majid, 1998: 48-57). Konsepini kemudian diadopsi dalam pemikiran Al-Farabi mengenai “Kota Utama” (Madinahal-Fahdilah) yang terdiri dari pemimpin danmasyarakat yang sangat utama (Galston,1990, 1992; Mahdi, 1981; Yamani, 2002).Jadi, persoalan yang dimaksud adalah ketikadin tidak bisa menjadi dasar atau ideologikebangsaan, sebagian umat Islammelakukan hal-hal yang dipandang sebagai“pembangkang,” “pemberontak,” dan“pengganas.” Mereka akhirnya dipandangmenjadi kelompok yang menganggukeamanan dan keselamatan negara.

Persoalan substansi ini pada gilirannyamenjadi persoalan penting di Malaysia,Singapura, dan Indonesia. Di mana konsepkeamanan dan keselamatan dilekatkandengan kekhawatiran agama menjadiideologi. Akibatnya, mereka menjadikelompok yang dicurigai karena bertujuanuntuk mendirikan Negara Islam dan inginmenerapkan din melalui pelaksanaanhukum Islam. Sebagaimana diperlihatkandalam sejarah kebangsaan, hukum-hukumyang dijalankan di negara tersebut adalahhukum-hukum yang berasal daripeninggalan Eropa (Hamzah dan Bulan,2003; Hassan, 1996). Untuk mempersatukanwarga dibuat semacam aturan main, yaitu“rukun negara” atau Pancasila. Namun,

Page 10: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

177

karena Islam tidak dijadikan sebagai dasarnegara, mereka tetap menuntut adanyaperombakan total terhadap negara.Akhirnya, mereka pun dipandang sebagaikelompok yang mengancam keselamatandan keamanan negara.

Pada bagian berikut akan ditelah lebihmendalam lagi mengenai bagaimana tesisini bisa menjadi semacam alat untukmempersatukan emosi rakyat, ketikamereka sudah memiliki paspor yang atasnama kewarganegeraan tertentu. Pada saatyang sama, elit dan alat negara bersatudibawah payung kepentingan bersamasebagai tempat bersatu negara-negara diAsia Tenggara yakni ASEAN. Di sini akandiperlihatkan bahwa jika dulu beberapanegeri di Nusantara pernah bersatu, makasekarang pun diupayakan untuk bersatukembali dalam konteks berbeda. Duluhanya ada raja atau sultan, maka sekarangdiubah hanya ada Ketua ASEAN danSekretaris-nya yang bertugas menjalankanamanat ASEAN yang didirikan pada tahun1967.

De-teritorialisasi Perbatasan dan Kea-manan: Pengalaman Asean Commu-nity 2015

Perjalanan saya di tiga negara, yakni In-donesia, Malaysia, dan Thailand memangdapat memperlihatkan bagaimanakontruksi “batas dan keamanan.” Harusdiakui, semua batas dikendalikan melaluipaspor. Namun, cara pandang terhadappaspor sendiri bermacam-macam. Misalnya,orang yang membawa paspor Indonesiasering dianggap sebagai pekerja atau buruhdi Malaysia. Mereka mengusung pasporuntuk “mengadu nasib” di Tanah Melayu.Demikian pula, paspor Thailand juga seringdipersepsikan sebagai pekerja di Malaysiadan Singapura. Sebaliknya, paspor Malay-sia dan Singapura sering dipandang sebagai“penikmat liburan” di Thailand. Sedangkan,di Indonesia paspor Malaysia dan

Singapura, selain untuk “berbisnis” jugakadang untuk “menyeludupkan” barang-barang haram. Mereka menganggap Indo-nesia adalah pasar yang cukupmenggiurkan. Kategori ini tentu saja masihsangat umum dan tidak bisa dijadikanpatokan untuk menilai niat dari setiapkunjungan warga asing di setiap perbatasan.

Namun begitulah yang saya amatiselama sepuluh tahun terakhir. Belakanganmuncul konsep kosmopolitan, di manawarga negara juga dipandang sebagaibagian dari masyarakat global ataumasyarakat dunia. Setiap individu,dimaknai sebagai duta budaya dari tempatasalnya, di mana kemudian, didialogkandengan budaya dari luar (Khan, 2003: 403-15; Reid, 2004: 1-15). Munculnya gejalamasyarakat global, tentu saja dipicu olehkeinginan individu modern untuk tidakhanya berada di tempat asal mereka,namun juga ingin diakui sebagaimasyarakat dunia. Fenomena inimemperlihatkan pada hal-hal yang yangbersifat universal yang dapat menjadi alatuntuk manusia berkumpul dan berdialog.Di beberapa belahan dunia, gejala inikemudian disatukan dalam berbagai bentukkesatuan organisasi, baik itu karena samakepentingan, maupun karena inginmembuat satu komunitas yang bersifatlintas batas. Dalam konteks tersebut, SurinPistuwan menandaskan bahwa ketikaASEAN menjadi sebuah komunitas pada2015, siapa saja bisa mendapatkan pekerjaandi negara lain.

Hanya saja, tantangan yang palingberat dihadapi juga berkaitan dengan isu-isu yang paling ditakuti, yaitu isu keamanan.Dalam konteks ini, Islam sering dijadikanbagian isu penting, terhadap kelompok-kelompok yang menganggu stabilitas atasnama agama. Adapun isu lain yang tidakkalah penting adalah persoalanperekonomian, pendidikan, stabilitas politikantar bangsa. Begitu juga persoalan

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 11: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

178

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

“perbatasan” juga menjadi salah satu potretterkini, dikalangan negara-negara diASEAN. Thailand sampai hari ini, masihmemiliki persoalan dengan Kamboja. Indo-nesia masih harus berjuang untukmempertahankan batas teritorialnyadengan Malaysia. Singapura juga selalumenambah “tanah air” dengan berbagaicara agar bisa “menguasai” sebagianwilayah kekuasaan Indonesia, supayamereka bisa leluasa mengembangkankepentingan mereka. Di atas itu semua, citradan perebutan pengaruh juga sangatmenentukan wajah-wajah negara ASEAN,tidak hanya sesama negara, tetapi juga dariluar negara ASEAN, seperti Amerika, Cina,dan Jepang (Muzaffar, 2005).

Untuk itu, mari kita lihat bagaimanapandangan para sarjana mengenai ASEANsebagai sebuah komunitas. Untuk melihat halini, akan dikupas salah satu pandangan dariseorang peneliti ASEAN yaitu Donald K.Emmerson (2005) dalam salah satutulisannya yang berjudul “Will the RealASEAN Please Stand Up? Security, Commu-nity, and Democracy in Southeast Asia.”Tulisan penting diangkat, karena ini senafasdengan agenda makalah ini. Pada permulaantulisan tersebut, Emmerson mempertanya-kan bahwa ketika ASEAN sudah berusia 40tahun, ada dua utama yang muncul: Pertama,apa sesungguhnya ASEAN tersebut? Apakahsebuah organisasi? Suatu diskursus? SebuahPerjanjian? Satu Rezim? Sebuah Konser? Satukomunitas? Kedua, kemunculan suatu istilahyang sudah begitu menguat di permukaanyaitu “the ASEAN Way” yang didasarkanpada pertumbuhan ASEAN yang sudahberubah menjadi sebuah “komunitas”(Emmerson, 2005:1).

Dua persoalan ini dapat dikerucutkanpada konsep ASEAN sebagai sebuahkomunitas dan ASEAN yang memiliki caraatau nilai-nilai tersendiri yang dikenaldengan the ASEAN way. Dalam hal ini,

Emmerson (2005: 2) mengutip pendapatDavid Martin Jones yang menyebutkanbahwa ASEAN adalah an imitation commu-nity dalam arti “such insecurity translatedto a regional level produces a rhetorical andinstitutional shell.” Dalam bahasa awam,komunitas imitasi adalah sebuah komunitasyang penuh dengan “basa basi” yang dalambahasa Jones ditulis dengan istilah “a rhetori-cal and institutional shell.” Selain munculistilah imitation community, juga munculistilah lain untuk ASEAN yaitu security com-munity. Dalam hal ini, Emmerson (2005: 5)menjelaskan bahwa Security Communityadalah:

A security community … is a group that has“become integrated,” where integration isdefined as the attainment of a sense ofcommunity, accompanied by formal orinformal institutions or practices,sufficiently strong and widespread to assurepeaceful change among members of a groupwith “reasonable” certainty over a “longperiod of time.”

Dalam hal ini, Emmerson (2005)menyebutkan bahwa pada prinsipnyaASEAN merupakan a thin securiy commu-nity. Hal ini didasarkan bahwa kenyataanbahwa beberapa negara ASEAN masihmemiliki ketidaksamaan jalan dalammenyelesaikan persoalan keamanan, dalamhal tertentu, kasus Burma masih menjadipersoalan penting, sejauh mana perananggota ASEAN dalam menciptakan “inter-state peace.” Selain Emmerson, salah seorangpemerhati keamanan, Thayer yangmenyebutkan bahwa ASEAN sudahmenjadi a security community. Diamenyebutkan bahwa:

No nation fears force or the threat of force tobe used by another member of ASEAN(except for very low-level incidents mainlyinvolving Thailand and its neighborsMyanmar and Cambodia). ASEAN nationsdo not see each other as adversaries orcompetitors, although there are someintramural differences (eg. Malaysia andSingapore) (Thayer, 1999: 2).

Page 12: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

179

Selain Thayer, Rizal Sukma jugamemiliki pandangan mengenai ASEANsebagai suatu Security Community. Rizal(2003: 2) menyebutkan bahwa:

The concept of Security Community is often definedas a group of states that has achieved a condition,as a result of flow of communication and the habitof cooperation, where members share “expectationsof peaceful change” and rule out “the use of forceas a means of problem solving.” States that belongto a Security Community come to see their securityas fundamentally linked to other states and then-destiny bound by common norms, history, politicalexperience, and regional location. A SecurityCommunity exists when states reach the level ofconfidence that security can only be attained if theycooperate with each other. It is a regional groupingthat has renounced the use of force as a means ofresolving intra- regional conflicts.

Dari paparan di atas, menunjukkanbahwa faktor keamanan telah menjadi isupenting di kalangan negara Asia Tenggaradalam membentuk satu kerjasama untukbersanding atas keinginan satu sama lainsaling berhubungan, baik secara historismaupun nilai-nilai yang sama. Kenyataanini, sekali lagi, pada prinsipnya ingin ditarikpada sebuah konsep masa lalu di manasemua kawasan di Nusantara salingterkoneksi dan saling melindungi satu samalain. Hanya saja, kemunculan security com-munity lebih pada keperluan atas namakepentingan pada era nation state.

Demikian pula, pada saat ada promosiatau kampanye mengenai “to feel they[people] too ‘own’ the Southeast Asian com-munity,” namun di kalangan elit masih adapernyataan sebagaimana disinyalir oleh GusDur yaitu: “Singaporeans underestimate theMalays” (Emmerson, 2005: 14-15). Agaknyainilah yang menjadi isu utama mengenaipembangunan Komunitas ASEAN, yaitubagaimana masyarakat di rantau inimampu berpikir sebagai orang ASEAN danpersoalan sikap Singapura yang tidakmenghargai orang Melayu. Sejauh ini,kedua hal tersebut diupayakan untuk tidaktampil di permukaan, karena dipandang

bisa menjadi persoalan internal masing-masing anggota. Para anggota perkum-pulan negara di Asia Tenggara ini lebihmengutamakan seperti yang dipaparkanoleh Rizal Sukma yaitu menjaga kedaulatanmasing-masing anggota serta melakukanketahanan nasional (national resilience)(Sukma, 2003; 2004: 3). Di atas itu, masing-masing negara ASEAN memiliki perhatianserius dalam bingkai menjaga kedaulatannegara masing untuk mencari penyelesaianpersoalan domestik yang memiliki dampakpada persoalan perbatasan (Sukma, 2004: 4;Simon, 2002:1-40).

Terkait apa yang diungkapkan oleh GusDur memang tidak ada penyelesaiannyamengingat dinamika ke-Melayu-an dirantau ini telah mengalami pergeseransebagaimana dijelaskan di atas. Namun,konflik yang bersifat sentimen etnis antarnegara di ASEAN tidak dapat diabaikan,seperti kasus Indonesia dengan Malaysia.Persoalan “pencaplokan budaya” kemudiandijadikan sebagai isu nasional, yangterkadang menguras emosi rakyat di keduanegara (Bustamam-Ahmad, 2009b). Hanyasaja, hubungan Indonesia dengan Malaysiadalam beberapa tahun terakhir seolah-olahingin mengulangi peristiwa “Ganyang Ma-laysia.” Hal ini juga tidak bisa diabaikanketika muncul anekdot bahwa Malaysiamengirim teroris dan narkotika ke Indone-sia (Tempo, 2003) sementara Indonesiamengirim tenaga kerja ke Malaysia.Sentimen anti-Malaysia di Indonesia hampirmemperkeruh suasana persahabatan dikalangan kedua negara. Adapun denganSingapura, persoalan ekstradisi koruptormasih menjadi isu utama bagaimanasentimen ketidaksukaan rakyat Indonesiapada Negara Singa ini, khususnya ketikamereka memberikan “perlindungan” bagikoruptor yang lari ke negara tersebut (Tempo,2008). Persoalan underestimate di antararakyat di Asia Tenggara memang sudahbegitu menggejala, khususnya ketika negara

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 13: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

180

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

mereka lebih baik dari negara tetangga.Karena itu, menciptakan rasa memiliki atauberpikir sebagai seorang Asia Tenggaramemang tidak mudah. Inilah kemudianyang menyebabkan muncul keinginanuntuk membangun sense community dikalangan ASEAN (Emmerson, 2005).

Sampai disini terlihat bahwa ASEANdikatakan sebagai ‘security community,’ ‘imi-tation community,’ ‘thin security community,’dan ‘sense community.’ Kelihatannya, apapun nama yang ingin dilekatkan oleh parapengamat, pada prinsipnya ada keinginandi kalangan pemimpin ASEAN untukmenyatukan identitas mereka sebagaiwarga Asia Tenggara. Disini, Indonesia telahmemainkan peran yang cukup signifikansebagai penduduk yang paling banyak.Walaupun kehidupan ekonominya tidaksebagus Singapura dan Malaysia, namunposisi strategis Indonesia dalam ASEANtetap diperhitungkan. Karena itu, dapatdinyatakan bahwa apa pun komunitas yangingin dibangun, maka peran Indonesia akanmenjadi sangat penting, terutama dalammembangun Komunitas ASEAN padatahun 2015.

Tentu saja muncul pertanyaanmengapa dikaitkan antara kajiansebelumnya mengenai dinamika identitas“keimanan dan keamanan” dengankeinginan ASEAN untuk membentukkomunitas pada tahun 2015. Hal ini tidaklain karena semua negara di Asia Tenggarapernah bersatu dan “disatukan” di bawahpayung etnis dan agama. Jadi, kalau punnanti ASEAN bisa “bersatu” maka itumerupakan bagian dari upaya untukmengulang sejarah negeri-negeri diNusantara dan STM (Semenanjung TanahMelayu). Hanya saja, tujuan yang hendakdicapai dari upaya ini adalah agar rakyat diAsia Tenggara bisa berpikir seperti SoutheastAsianist dan juga bisa saling menghormatidan “menjaga” terhadap wilayah perba-tasan masing-masing. Pada akhirnya, akan

menciptakan stabilitas keamanan di AsiaTenggara.

Di konteks inilah peran umat Islamsangat penting sebagaimana ditegaskanoleh Surin Pitsuwan di atas. Dalampidatonya tanpa teks, Surin kembalimengingatkan bahwa kontribusi umat Islamdi Asia Tenggara cukup penting. Namun,salah satu indikator keberhasilan perantersebut adalah bagaimana wajah Muslimdi rantau ini. Surin menandaskan bahwapendidikan merupakan ujung tombak dariupaya untuk menerapkan KomunitasASEAN 2015. Disini perlu ditegaskan bahwapendidikan harus mampu menciptakandaya saing di kalangan Muslim untuk bisaberkompetisi pada tahun 2015 sebagaiwarga ASEAN yang bisa berkiprah satusama lain. Sejauh ini, pendidikan dikalangan Muslim memang memilikidinamika tersendiri (Bustamam-Ahmad danJory, 2011). Hal yang sama juga terjadi,manakala pendidikan Islam juga mampumenciptakan ketidakstabilitas, khususnyamengenai persoalan “keamanan dankeimanan” dalam bentuk radikalisme(Sidel, 2003). Demikian pula, koneksipendidikan Islam yang ada di Asia Tenggaradengan pendidikan yang sedang terjadi diTimur Tengah yang menciptakan upayaradikalisasi di kalangan sebagian umat Is-lam (Hasan, 2008).

Apa yang sedang diketengahkan adalahbahwa Asia Tenggara sedang diarahkanpada era globalisasi, di mana wilayah yangseolah-olah “tanpa batas.” Walaupun pasporbisa menjelaskan identitas secara formal,namun globalisasi telah menciptakan ruangdan waktu yang tidak terbatas (Azra, 2001).Semua ini menyebabkan adanyapertarungan tidak hanya bagaimanamenghadapi perubahan zaman, tetapi jugabagaimana kesiapan warga Asia Tenggaradalam mengisi era globalisasi ini. Dapatdipahami ketika “perbatasan dankeamanan” sudah tidak terbatas, maka

Page 14: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

181

pengaruh globalisasi masuk tanpa dapatdibendung lagi (Mohammad, 2002; Razak,2006). Negara lain, baik langsung maupuntidak, mampu dan dapat mengontrol situasinegara lain. Begitu juga, sebuah isu bisamasuk ke negara lain, tanpa harus melaluijalur “imigrasi”. Di sinilah peran dan fungsimakna “perbatasan dan keamanan” tidaklagi dipahami dalam bentuk pemikiranklasik, yaitu fisik bisa dibendung, namunide, gagasan, dan paradigma dari luarnegara masuk tanpa dapat dibendungkarena dampak dari pengaruh globalisasi(Mittelman dan Othman, 2001).

Jadi, dapat dimengerti mengapaASEAN diarahkan menuju sebuahkomunitas yang satu. Masing-masingnegara dianjurkan untuk membuka“perbatasan” mereka supaya kawasan inimenjadi sebuah jaringan negara yangsangat kuat. Di Malaysia, dalam rangkamerespon isu-isu tersebut, mencobamenyatukan warga mereka melalui konsep“1Malaysia.” Pada saat yang sama,pemerintah Malaysia membuka pintumasuk terhadap warga asing melalui pro-gram Malaysia as second home. Disini dapatdipahami bahwa pemerintah Malaysia inginmemperkuat identitas warga mereka, dimana tidak lagi bicara Melayu dan non-Melayu, tetapi sebuah negara yang bersatumelalui konsep 1Malaysia. Begitu juga,pemerintah Malaysia sadar betul bahwaglobalisasi dan kosmopolitan merupakangejala baru yang harus direspon dengansebaik mungkin. Sehingga selainmengundang orang asing menetap di Ma-laysia, pemerintah ini juga memiliki sloganwisata untuk memikat orang asing yaituMalaysia is Trully Asia.

Terkait dengan Indonesia, agaknyalebih banyak disibukkan dengan persoalan“perbatasan dan keamanan” dalam artiyang sempit. Proses kontruksi identitaskebangsaan dan ketahanan nasional tidakbegitu kuat menghadapi persoalan internal

kebangsaan. Belum lagi pada isu-isukeamanan, bangsa asing ikut mengontrolkekuatan ketahanan negara ini. Demikianpula, dalam persoalan ekonomi, negara inijuga sedikit banyak tidak bisa berkutik padakepentingan negara-negara asing. Konsepperbatasan dalam artik ketahanan nasionalboleh jadi agak rapuh di Indonesia. Sehinggasimbol ketahanannya masih diperlihatkandengan kemampuan militer, bukan melaluikemampuan ekonomi dan politik global.Artinya, “perbatasan” dijaga oleh pihakkeamanan, namun Indonesia tidak mampumenguasai “tanah jajahannya” sehinggahasilnya bisa diambil oleh negara lain. Dalambahasa sederhana, wilayah perbatasandijaga oleh aparat keamanan, namun hasilbuminya dinikmati oleh negara asing.

Inila substansi tulisan ini yang hendakdipertahankan bahwa jika negara ini inginmenjadi bagian dari ASEAN yang kuat,maka mau tidak mau, Indonesia tidak hanyaharus mampu menjaga perbatasannya,tetapi juga harus mampu menjaga “tanahjajahannya.” sebagaimana argumen di atas,umat Islam adalah penduduk yang palingbanyak di Indonesia, di mana pemerintahharus membina wilayah teritorial dalam diridan jiwa warga negara ini, supaya merekatidak hanya mampu menjaga “tanahjajahannya” tetapi juga mampu menggantiperan negara asing dalam mengeruk hasilbumi ibu pertiwi. Dengan begitu, kita tidakperlu gusar dengan gagasan KomunitasASEAN 2015, jika kita tahu betul makna“perbatasan dan keamanan” yang akandijaga tidak hanya oleh pemerintah, tetapijuga oleh rakyat sendiri.

KesimpulanSebagai akhir dari artikel ini, ingin

disimpulkan beberapa hal. Pertama, studi inimenunjukkan bahwa telah terjadi dinamikasecara sosio historis mengenai konsep“perbatasan dan keamanan” di AsiaTenggara. Hal tersebut terlihat dari

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 15: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

182

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

pergeseran makna “batas” dari diri,kemudian berubah menjadi tanah (watan),hingga terhenti di nation. Namun, melaluiisu ASEAN Community 2015, agaknyamemperlihatkan bahwa negara di AsiaTenggara ingin “bersatu” dalam satu wadahidentitas yang sama sebagai warga AsiaTenggara. Keinginan ini memperlihatkanbahwa kendati sudah berada di eraglobalisasi, namun sistem berpikir masihmenggunakan keinginan lama, sepertikeinginan para leluhur dalam mempersatu-kan warga di Nusantara dalam satuidentitas.

Kedua, di dalam membangunan konsep“perbatasan dan keamanan” ternyatasangat terkait dengan istilah-istilah yangmuncul dalamnya, yaitu “perbatasan”ternyata dimaknai dengan “keimanan dankesalamatan” yang berawal dari spiritetnisitas dan relijiusitas. Karena itu,sebagaimana ditunjukkan dalam studi ini,ketika “perbatasan” digeser, sebagaimanaterjadi Thailand Selatan dan Mindanoe,ternyata ini memberikan spirit perlawananpada sebuah konsep nation yang inginmenghilangkan semangat etnisitas danagama. Karena itu, proses pergeseranperbatasan, ternyata memberikan dampakyang amat luar biasa pada sentimen sukuwangsa dan agama.

Ketiga, kajian ini awalnya adalah untukmencari bagaimana format yang dimaksuddari ASEAN Community 2015. Setelahditelaah ternyata upaya untuk menjadikanASEAN satu visi dan satu identitas tidaklahmudah. Karena masih banyak isu-isu yangmasih mencuat, terutama dalam hal“perbatasan dan keamanan.” Dalam kajianini ditemukan bahwa khusus untuk securitycommunity dan socio cultural community,halangan masih banyak ditemukan,khususnya dengan mengambil pengalamanThailand, baik di Selatan maupun di Utara.Begitu juga sikap Singapura yang selalu“meremehkan” negara lain, yang ternyata

dianggap masalah pada tingkat pembicara-an elit anggota ASEAN. Adapun masalahkeamanan, terutama terorisme masihmenjadi persoalan yang cukup mengun-dang diskusi lanjutan tentang bagaimanakesiapan sebagai security community ketikaASEAN benar menjadi sebuah komunitaspada 2051.

Adapun kajian lanjutannya adalahbagaimana memahami isu-isu strategisdalam kajian “perbatasan dan keamanan”di ASEAN, tidak hanya melihat daridinamika anggota ASEAN sendiri, tetapijuga saling berebut pengaruh dari negara-negara yang memiliki kepenting di ASEAN.Tentu saja, masing-masing anggota ASEANmemiliki formula masing-masing dalammenghadapi isu-isu regional maupuninternasional. Namun, setidaknya studi initelah memperlihatkan bahwa dengan kajianmultidisiplin dapat dipahami bahwa akarsejarah dan budaya di Nusantara danSemenanjung Tanah Melayu, masihmemiliki kontribusi yang amat pentingdalam kajian “perbatasan dan keamanan”di Asia Tenggara.

Daftar Pustaka

Abdillah, M. (1996). Theological Response tothe Concepts of Democracy and HumanRights: The Case of Contemporary Indo-nesia Muslim Intellectuals. StudiaIslamika, 3(1), 1-42.

Abdillah, M. (1999). Demokrasi diPersimpangan Makna: ResponsIntelektual Muslim Indonesia terhadapKonsep Demokrasi (1966-1993).Yogyakarta: Tiara Wacana.

Abdullah, T. (1993). The Formation of a Po-litical Tradition in the Malay World. InA. Reid (Ed.), The Making of an Islamic

Page 16: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

183

Discourse in Southeast Asia (pp. 35-58).Clayton: Monash University, CSEAS.

Alfian, I. (1999). Bahasa Melayu SebagaiFaktor Dinamika PertumbuhanBangsa. In H. Chambert-Loir & H. M.Ambary (Eds.), Panggung Sejarah:Persembahan Kepada Prof. Dr. DenysLombard (pp. 467-480). Jakarta: YayasanObor Indonesia.

Aljunied, S. M. K. (2010). Rethinking riots incolonial South East Asia: The case of theMaria Hertogh controversy inSingapore, 1950–54. South East AsiaResearch, 18(1), 105-131.

Amiruddin, M. H. (2003). Ulama Dayah:Pengawal Agama Masyarakat Aceh (K.B u s t a m a m - A h m a d , T r a n s . ) .Lhokseumawe: Nadya Foundation.

Andaya, B. W., & Andaya, L. Y. (2001). AHistory of Malaysia (2 ed.). Hampshire:Palgrave.

Andaya, L. Y. (2001). The Search for ‘Ori-gins’ of Melayu. Journal of SoutheastAsian Studies, 32(2), 315-330.

Anderson, B. (2004). Spectre of Comparisons:Nationalism, Southeast Asia, and theWorld. Manila: Ateneo de Manila Uni-versity Press.

Apdal, M. S., & Thayer, C. A. (2003). Secu-rity, Political Terrorism and Militant Is-lam in Southeast Asia. Singapore:ISEAS.

Aphornsuvan, T. (2008). Origins of MalayMuslim “Separatism” in Southern Thai-land. In M. J. Montesano & P. Jory (Eds.),Thai South and Malay North: Ethnic In-teraction on a Plural Peninsula (pp. 91-123). Singapore: NUS Press.

Aspinnall, E. (2002). Sovereignty, the Succes-sor State, Universal Human Rights: His-tory and International Structuring ofAcehnese Nationalism. Indonesia(73), 1-24.

Aspinnall, E. (2009). Islam and Nation: Sepa-ratist in Aceh, Indonesia. California:Stanford University Press.

Aziz, A., & Baharuddin, S. A. (2004). The Re-ligious, the plural, the Secular and theModern: A brief critical survey on Islamin Malaysia. Inter-Asia Cultural Stud-ies, Vol.5, No.3, 341-356.

Azra, A. (2000). Education, Law, Mysticism:Constructing Social Realities. In M. T.Osman (Ed.), Islamic Civilization in theMalay World. Kuala Lumpur andIstanbul: Dewan Bahasa dan Pustakaand The Research Centre for IslamicHistory, Art and Culture.

Azra, A. (2001). Globalization of IndonesianMuslim Discourse: ContemporaryReligio-Intellectual Connection BetweenIndonesia and the Middle East. In J.Meuleman (Ed.), Islam in the Era of Glo-balization: Muslim Attitudes towardsModernity and Identity (pp. 31-50).Jakarta: INIS (Indonesian-NetherlandCooperation in Islamic Studies).

Azra, A. (2002). Islam Nusantara: JaringanGlobal dan Lokal. Bandung: Mizan.

Azra, A. (2004). The Origins of Islamic Re-formism: Networks of Malay-Indonesianand Middle Eastern ‘Ulama in the 17thand 18th Centuries. Hawaii: Universityof Hawaii Press.

Baharuddin, S. A. (1997). The Economic Di-mension of Malay Nationalism: TheSocio-Historical Roots of the New Eco-nomic Policy and Its Contemporary Im-plications. The Developing Economies,XXXV(3), 240-261.

Baharuddin, S. A. (2004). From British toBumiputera Rule. Singapore: ISEAS.

Baharuddin, S. A., & Aziz, A. (2011). Colo-nial Knowledge and the Reshaping of Is-lam, the Muslim and Islamic Education.In K. Bustamam-Ahmad & P. Jory

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 17: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

184

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

(Eds.), Islamic Studies and Islamic Edu-cation in Contemporary Southeast Asia(pp. 113-136). Kuala Lumpur: YayasanIlmuwan.

Barr, M. D. (2004). Cultural Politics andAsian Values: The Tepid War. Londondan New York: Routledge Curzon.

Barr, M. D. (2009). Lee Kuan Yew: The Beliefsbehind the Man. Kuala Lumpur: AsianNew Library.

Bentley, G. C. (1986). Indigenous States ofSoutheast Asia. Annual Review of An-thropology, 15, 275-305.

Bradford, J. F. (2005). The Growing Prospectsfor Maritime Security Cooperation inSoutheast Asia Naval War College Re-view, 58(3), 63-86.

Brown, D. (1995). The State and Ethnic Poli-tics in Southeast Asia. London:Routledge.

Bustamam-Ahmad, K. (2007). From IslamicRevivalism to Islamic Radicalism inSoutheast Asia: A Case of Malaysia. InA. D.B.Cook (Ed.), Culture, Identity, andReligion in Southeast Asia (pp. 69-87).Newcastle: Cambridge Scholars Pub-lishing.

Bustamam-Ahmad, K. (2009a). The Dis-course of the Islamic State and IslamicLaw in Malaysia Asian Transformationsin Action (pp. 16-25). Tokyo: TheNippon Foundation.

Bustamam-Ahmad, K. (2009b). Islamic Lawin Southeast Asia: A Study of its Appli-cation in Aceh and Kelantan. Chiang Mai:Silkworm.

Bustamam-Ahmad, K. (2009c, 6 June).Nasionalisme dalam Air MataManohara. Serambi Indonesia.

Bustamam-Ahmad, K. (2010a). From IslamicRevivalism to Islamic Radicalism inSoutheast Asia: A Study of Jama’ah

Tabligh in Sri Petaling (Malaysia) andCot Goh (Indonesia). Unpublished Ph.D.Thesis, La Trobe University Bundoora.

Bustamam-Ahmad, K. (2010b). PesantrenSebagai Pusat Peradaban Muslim:Pengalaman Indonesia untuk AsiaTenggara. Edukasi, 8(2), 3939-3966.

Bustamam-Ahmad, K. (2011). Jejak SpiritAceh. In B. Abubakar (Ed.), Ulama danPolitik: Menyonsong Aceh Baru (pp. 1-15). Banda Aceh: Lembaga Studi danMasyarakat Aceh and STAINMalikussaleh.

Bustamam-Ahmad, K., & Jory, P. (Eds.).(2011). Islamic Studies and Islamic Edu-cation in Contemporary Southeast Asia.Kuala Lumpur: Yayasan Ilmuwan.

Ching-Hwan, Y. (2002). Traditional EthicChinese Business Organizations inSingapore and Malaysia. In L.Suryadinata (Ed.), Ethic Chinese inSingapore and Malaysia (pp. 195-218).Singapore: Time Academic Press.

Cottam, M. L., & Cottam, R. W. (2001). Na-tionalism & Politics: The Political Behav-ior of Nation States. London: LynneRienner.

Covarrrubias, M. (1973). Island of Bali.Singapore: Periplus.

Day, T., & Reynolds, C.J. (2000). Cosmologies,Truth Regimes, and the State in South-east Asia. Modern Asian Studies, 34(1),1-55.

Effendy, B. (2003). Islam and the State in In-donesia. Singapore: ISEAS.

Emmerson, D. K. (2005). Will the RealASEAN Please Stand Up? Security,Community, and Democracy in South-east Asia. Stanford University.

Fealy, G., & Hooker, V. (Eds.). (2006). Voicesof Islam in Southeast Asia: A Contempo-rary Sourcebook. Singapore: ISEAS.

Page 18: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

185

Federspiel, H. M. (2007). Sultans, Shamans,and Saints: Islam and Muslims in South-east Asia. Chiang Mai: Silkworm.

Fred B. Eiseman, J. (1990). Bali Sekala &Niskala: Essays on Religion, Ritual, andArt. Singapore: Periplus Editions.

Galston, M. (1990). Politic and Excellence: ThePolitical Philosophy of AlFarabi. New Jer-sey: Princeton University Press.

Galston, M. (1992). The Theoritical and Prac-tical Dimensions of Happines as Por-trayed in the Political Treatises of Al-Farabi. In C. E. Butterworth (Ed.), ThePolitical Aspects of Islamic Philosophy.Cambridge: Harvard University Press.

Geertz, C. (1957). Ritual and Social Change:Javanese Example. American Anthro-pologist, 59,1, 32-54.

Geertz, C. (1960). The Religion of Java. Chi-cago and London: The University of Chi-cago Press.

Geertz, C. (1980). Negara:The Theatre Statein Nineteenth-Century Bali. New Jersey:Princeton University Press.

Gowing, P. G. (1985). Moros and Khaek: ThePosition of Muslim Minorities in the Phil-ippines and Thailand. In A. Ibrahim, S.Siddique & Y. Hussain (Eds.), Readingson Islam in Southeast Asia (pp. 180-192).Singapore: ISEAS.

Graaf, H. J. d., & Pigeaud, T. G. T. (2004).Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI:Antara Historisitas dan Mitos.Yogyakarta: Tiara Wacana.

Hamzah, W. A., & Bulan, R. (2003). The Ma-laysian Legal System. Selangor: FajarBakti.

Hasan, N. (2008). The Salafi Madrasas of In-donesia. In F. A. Noor, Y. Sikand & M. v.Bruinessen (Eds.), The Madrasa in Asia:Political Activism and Transnational

Linkages (pp. 247-274). Amsterdam:Amsterdam Universit y Press.

Hassan, A. A. H. (1996). The Administrationof Islamic Law in Kelantan. KualaLumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslimsand Democratization in Indonesia. Ox-ford: Princeton University Press.

Hooker, V., & Fealy, G. (2006). Introductionto the Sourcebook. In V. Hooker & G.Fealy (Eds.), Voices of Islam in SoutheastAsia (pp. 1-15). Singapore: ISEAS.

Ibrahim, A., Siddique, S., & Hussain, Y.(Eds.). (1985). Readings on Islam inSoutheast Asia. Singapore: ISEAS.

Islam, S. S. (1998). The Islamic IndependenceMovement in Pattani of Thailand andMindano of the Philippines. Asian Sur-vey, 38, 5, 441-456.

Ismail, F. (1999). Ideologi Hegemoni danOtoritas Agama: Wacana KeteganganKreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta:Tiara Wacana.

Izutsu, T. (1994). Konsep Kepercayan dalamTeologi Islam: Analisis Semantik Imandan Islam (A. F. Husein, M. Z. Ellizabeth& S. Abdullah, Trans.). Yogyakarta: Ti-ara Wacana.

Jory, P. (2007). From Melayu Patani to ThaiMuslim: The Spectre of Ethnic Identityin Southern Thailand. South East AsiaResearch 15(2), 255-279.

Jubair, S. (1999). Bangsamoro: A Nation Un-der Endless Tyranny. Kuala Lumpur: IQMarin Sdn. Bhd.

Kahn, J. S. (1978). Ideology and Social Struc-ture in Indonesia. Comparative Studiesin Society and History, Vol.20, No.1, 103-122.

Kahn, J. S. (2003). Anthropology as cosmo-politan practice? AnthropologicalTheory, 3(4), 403–415.

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 19: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

186

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

Kahn, J. S. (2006). Other Malays: National-ism and Cosmopolitanism in the ModernMalay World. Singapore: SingaporeUniversity Press.

Kasimin, A. (1991). Religion and SocialChange Among the Indigenous People ofthe Malay Peninsula. Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kheng, C. B. (2002). Malaysia: The Makingof A Nation. Singapore: ISEAS.

Kingsbury, D. (Ed.). (2005). Violence in Be-tween Conflict and Security in Archipe-lagic Southeast Asia. Victoria: MonashUniversity Press.

Laffan, M. F. (2003). Islamic Nationhood andColonial Indonesia: The Umma below thewinds. London and New York:Routledge Curzon.

Lewis, D. L. (2008). God’s Crucible: Islam andthe Making of Europe, 570-1215. Londonand New York: W.W. Norton.

Lombard, D. (2007). Kerajaan Aceh ZamanSultan Iskandar Muda (1607-1636) (W.Arifin, Trans.). Jakarta: KepustakaanPopuler Gramedia.

Lombard, D. (2008). Nusa Jawa SilangBudaya. Jakarta: Gramedia.

Mahdi, M. (1981). Al-Farabi and the Foun-dation of Islamic Philoshophy. In P.Morewedge (Ed.), Islamic Philosophyand Mysticism (pp. 3-21). New York:Delmar.

Mahmood, I. (1981). Sejarah PerjuanganUMNO: Sejarah Perjuangan BangsaMelayu (Suatu Penyikapan kembaliSejarah Perjuangan Bangsa Melayumenuju Kemerdekaan). Kuala Lumpur:Pustaka Antara.

Majul, C. A. (1985). An Analysis of the“Geneology of Sulu”. In A. Ibrahim, S.Siddique & Y. Hussain (Eds.), Readings

on Islam in Southeast Asia (pp. 48-58).Singapore: ISEAS.

Mansurnoor, I. A. (1998). Contemporary Eu-ropean Views of the Jawah: Brunei andthe Malays in the Nineteenth and EarlyTwentieth Centuries. Journal IslamicStudies, 9,2, 178-209.

Markas Konglomerat di Negeri Kota. (2008,18 May). Tempo, 64-65.

Mengendus Bomber Berlogat Melayu. (2003,November 16). Tempo, 26-28.

Mittelman, J. H., & Othman, N. (Eds.).(2001). Capturing Globalization. Londondan New York: Routledge.

Mohammad, M. (2002). Globalisation andthe New Realities. Selangor: Pelanduk.

Muzaffar, C. (2005). The Relationship be-tween Southeast Asia and the UnitedStates: A Contemporary Analysis. SocialResearch, 72(4), 903-912.

Narongsaksakhet, I. (2005). Pondoks andTheir Roles in Preserving Muslim Iden-tity in Southern Border Provinces ofThailand. In U. Dulyakassem & L.Sirichai (Eds.), Knowledge and ConflictResolution: The Crisis of the Border Re-gion of Southern Thailand (pp. 67-128).Nakhon Si Thammarat: School of Lib-eral Arts, Walailak University, The AsiaFoundation, The William and FloraHewlett Foundation.

Nasir, K. M., Pereira, A. A., & Turner, B. S.(2010). Muslim in Singapore: Piety, Poli-tics and Policies. New York and London:Routledge.

Niksch, L. A. (2003). Southeast Asian Terror-ism in U.S. Policy: Woodrow Wilson In-ternational Center for Scholars.

Noor, F. A. (1999). Islam vs Secularism? TheNew Political Terrain in Malaysia and In-donesia. ISIM Newletter, No.4, 13.

Page 20: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

187

Noor, F. A. (2008). From Pondok to Parliament:The Role Played by the Religious Schoolsof Malaysia in the Development of thePan-Malaysian Islamic Party (PAS). In F.A. Noor, Y. Sikand & M. v. Bruinessen(Eds.), The Madrasa in Asia: Political Ac-tivism and Transnational Linkages (pp.191-216). Amsterdam: Amsterdam Uni-versity Press.

Othman, M. R. (1994). The Middle Eastern In-fluence on the Development of Religiousand Political Thought in Malay Society,1880-1940. Unpublished Ph.D. Thesis, TheUniversity of Edinburgh.

Othman, M. R. (1998). The Role of Makka-Educated Malays in Development of EarlyIslamic Scholarship and Education inMalay. Journal of Islamic Studies, 9,2, 147-157.

Othman, M. R. (2005). Islam dan MasyarakatMelayu: Peranan Timur Tengah. KualaLumpur: UM Press.

Prass, D. (2010, 17 October). Prospek danTantangan ASEAN Community 2015.Kompas.

Rabasa, A. M. (2001). Southeast Asian After 9/11: Regional Trends and U.S. Interests.Santa Monica: RAND.

Razak, M. N. A. (2006). Globalising MalaysiaTowards Building A Development Nation.Selangor: MPH Group Publishing SdnBhd.

Reid, A. (1993). Kings, Kadis and Charisma inthe 17th-Century Archipelago. In A. Reid(Ed.), The Making of an Islamic PoliticalDiscourse in Southeast Asia (pp. 83-108).Monash: Monash University, CSEAS.

Reid, A. (2001). Understanding Melayu(Malay) as a Source of Diverse ModernIdentities. Journal of Southeast AsianStudies, 32(2), 295-313.

Reid, A. (2004). Cosmopolis and Nation inCentral Southeast Asia. Asia Research

Institute, National University ofSingapore.

Reid, A. (2005a). Asal Mula Konflik Aceh:Dari Perebutan Pantai Timur Sumatrahingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19(M. Maris, Trans.). Jakarta: YayasanObor Indonesia.

Reid, A. (2005b). The Ottomans in SoutheastAsia (Working Paper Series). Singapore:Asia Research Institute.

Reid, A. (2006). Understanding Melayu(Malay) as a Source of Diverse ModernIdentities. In T. P. Barnard (Ed.), Con-testing Malayness: Malay Identity AcrossBoundaries (pp. 1-24). Singapore:Singapore University Press.

Renato T. Oliveros, S. (2007). The Sulu Sul-tanate: A Historical Encounter of Islamand Malay Culture. Tambara, 24, 17-32.

Riana, I. K. (2009). Kakawin Desa Warnnanauthawi Nagara Krtagama: MasaKeemasan Majapahit. Jakarta: Kompas.

Roff, W. (1967). The Origins of Malay Nation-alism. New Have: Yale University Press.

Roff, W. R. (2004). Pondoks, Madrasahs andthe Production of ‘Ulama in Malaysia.Studia Islamika, 11,1, 1-22.

Ryoko, N. (1995). Local Powers on the Pe-riphery: Historical Memories of the SamSam on the Thai-Malaysian Border. InF. Hayao (Ed.), Cross-Border PerspectivesFrom Thailand and Malaysia. Kyoto:Kyoto University.

Saby, Y. (2006). Dari Aceh ke Indonesia. InK. Hidayat & A. G. AF (Eds.), MenjadiIndonesia: 13 Abad Eksistensi Islam diBumi Nusantara (pp. 377-405).Bandung: Mizan.

Sandhu, K. S., & Mani, A. (Eds.). (2006). In-dian Communities in Southeast Asia.Singapore: ISEAS.

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara...

Page 21: Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah … · 2020. 5. 1. · melalui pendekatan sejarah sosial. Para anggota ASEAN telah menggunakan konsep Komunitas ASEAN

188

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

Serajul Islam, S. (2005). The Politic of IslamicIdentity in Southeast Asia. Singapore:Thomson.

Severino, R. C. (2010). An ASEAN EconomicCommunity by 2015? ISEAS.

Sidel, J. T. (2003). Others School, Other Pil-grimages, Other Dreams: The Makingand Unmaking of Jihad in SoutheastAsia. In J. T. Siegel & A. R. Kahin (Eds.),Southeast Asia Over Three Generations:Essays Presented to Benedict R. O’G.Anderson (pp. 347-382). Ithaca: CornellUniversity.

Simon, S. W. (2002). Managing SecurityChallenges in Southeast Asia. NBRAnalysis, 13(4).

Sokefeld, M. (1999). Debating Self, Identity,and Culture in Anthropology. CurrentAnthropology, Vol.40, No.4, 417-447.

Sukma, R. (2003). The Future of ASEAN: To-ward A Security Community. Paper pre-sented at the ASEAN Cooperation: Chal-lenges and Prospects in the Currentlnternational Situation.

Sukma, R. (2004). ASEAN, Regional Secu-rity, and the Role of the United States: AView from Southeast Asia. Paper pre-sented at the A New Horizon for Japan’sSecurity Policy.

Suryadinata, L. (2007). Chinese Migrationand Adaptation in Southeast Asia Un-derstanding the Ethnic Chinese in South-east Asia (pp. 50-72). Singapore: ISEAS.

Suwannathat-Pian, K. (2004, 5-7 Februari).Question of Identity of the Muslims inSouthern Thailand, A Comparative Ex-amination of Responses of the Sam-Samsin Satun and of the Thai Malay Muslim

in the Three Provinces of Yala,Narathiwat, and Pattani to Thailand’sQuest for National Identity. Paper pre-sented at the A Plural Peninsula: Histori-cal Interaction among the Thai, Malays,Chinese and Others, Nakhon SiThammarat.

Takashi, H. (1995). Television and Socio-po-litical Change in the Muslim Commu-nity in Southern Thailand. In F. Hayao(Ed.), Cross-Border Perspectives fromThailand and Malaysia. Kyoto: KyotoUniversity.

Taylor, C. (1989). Sources of The Self: TheMaking of The Modern Identity. Cam-bridge: Harvard University Press.

Thayer, C. A. (1999). Arms Control in South-east Asia. Paper presented at the Impli-cations of Arms Control in the Asia-Pa-cific Region.

Trijono, L. (Ed.). (2004). The Making of Eth-nic & Religious Conflict in SoutheastAsia: Cases and Resolutions. Yogyakartaand Penang: Center for Security andPeace Studies (CSPS) and SoutheastAsian Conflict Studies Network(SEACSN).

Usman, A. R. (2009). Etnis Cina Perantauandi Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indone-sia.

Yamani. (2002). Filsafat Politik Islam: AntaraAl-Farabi dan Khomeini. Bandung:Mizan.

Zaretsky, E. (2004). Secrets of the Soul: A So-cial and Cultural History of Psychoanaly-sis. New York: Vintage Books.