Reading Journal

31
Reading journal Arief Kurniawan H1A009007 Konsulen : dr. Hasymi Sp. S SMF NEUROLOGI RSUD M. YUNUS BENGKULU

description

kjkj

Transcript of Reading Journal

Reading journal

Arief Kurniawan

H1A009007

Konsulen :

dr. Hasymi Sp. S

SMF NEUROLOGI RSUD M. YUNUS BENGKULU

Epidemiology,aetiology and clinical managemen of epilepsy in

AsiaSystematic review

Tahun 2007

Pendahuluan

Epilepsy adalah kelainan pada otak dengan karakteristik kecenderuangan mengalami kejang dan menyebabkan gangguan neurobiological, kongnitif, psykologi dan social.

WHO memperkirakan 8 dari 1000 orang didunia memiliki penyakit epilepsy.

Kejadian epilepsy biasanya lebih tinggi pada Negara

yang berkembang dibandingkan dengan Negara maju. Diperkirakan 50 juta penderita epilepsy tinggal di Asia.

HASIL & PEMBAHASAN

Prevalensi

Prevalensi epilepsy bervariasi diberbagai Negara, berkisar 15 sampai 14 per 1000 orang. Berbagai variasi yang ditemukan ini disebabkan adanya perbedaan metode dan perbedaan kuisioner.

Rata-rata prevalensi epilepsy di Asia sekitar 6 per 1000 orang yang menderita epilepsi, dimana angka prevalensi ini lebih rendah dibandingkan dengan Negara-Negara lain di dunia (15 per 1000 di sub-Saharan Africa dan 18 per 1000 di Amerika latin)

Incidence

Hanya 2 Negara yang dapat diidentifikasi yaitu Cina dan India.

Insiden epilepsy di Cina pada tahun 1985 sekitar 35 per 100.000 orang/tahun dan pada tahun 2002 sekitar 28 per 100.000 orang/tahunnya.

Di India mendapatkan hasil lebih tinggi sebesar 60 per 100.000 orang/tahun.

Secara keseluruhan, hasilnya tidak berbeda dengan yang ada di negara-negara maju di mana kejadian disesuaikan menurut umur epilepsi adalah 24-53 per 100 000 orang-tahun.

Usia

Kejadian epilepsy berdasarkan usia dapat terjadi pada anak-anak dan pada usia dewasa

Penelitian di Sanghai, menunjukkan adanya 2 prevalensi berdasarkan usia, yaitu antara 10-30 tahun dan kelompok usia lebih dari 60 tahun.

Dinegara maju, prevalensi dan insiden epilepsi pada kelompok usia anak-anak dan usia tua

Perbedaan hasil ini dikarenakan di Asia adanya tingkat usia yang lebih muda dibandingkan dengan Negara-Negara maju lainnya.

Jenis kelamin & lokasi

Berdasarkan jenis kelamin angka kejadian epilepsy tertinggi adalah laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Tapi hasil ini tidak terlalu spesifik.

Berdasarkan lokasi, ada 2 penelitian (Pakistan dan india) menyatakan angka kejadian epilepsy lebih tinggi di desa dibandingkan dengan perkotaan.

Meskipun tidak terlalu signifikat, studi metaanalisis (india) menyatakan kejadian epilepsy yaitu 55 per 1000 orang di desa dibandingkan dengan 51 per 1000 orang di kota.

Adanya kecenderuaan kejadian epilepsi di desa lebih tinggi pada Negara-Negara berkembang.

Mortalitas

Di Asia untuk kematian yang disebabkan oleh epilepsy masih jarang terjadi.

Penelitian di Laos menyebutkan angka kematian pada penderita epilepsy cukup tinggi 90,9 per 1000 orang /tahun, dimana penderita tinggal di pegunungan yang menyebabkan sulit mendapatkan akses obat epilesi.

Sebaliknya angka kematian di Negara maju Asia sangat rendah. Seperti Negara jepang, dengan populasi umum pada anak yang menderita epilepsy dengan angka kematian 45 per 1000 orang/tahun dengan follow up yang panjang.

Prognosis

Secara umum, 3 sampai 2/3 pasien akan mengalami kejang berulang sejak 5 tahun setelah kejang pertama. Hal ini juga terjadi di Asia.

Pada penelitian menyatakan anak-anak di Thailand resiko kumulatif kekambuhan yaitu 25% pada 14 hari, 50% pada 4 bulan, 51% pada 6 bulan, 66% pada 1 tahun.

Pada anak-anak dirawat karena epilepsi, di follow up setelah penarikan obat antiepilepsi (rata-rata durasi 43,5 bulan) menunjukkan risiko kumulatif kekambuhan dari 10% pada 12 bulan dan 12% pada 36 months.

Pembedahan pada lobus temporal, memiliki hasil yang baik di Indonesia.

Pada 56 pasien yang melakukan pembedahan temporal anterior dengan amygdalo-hippocampectomy, 46 pasien (82% bebas kejang, 6 pasien (11%) kurang dari 2 kali kejang per tahun, dan penurunan kejang lebih dari 75% pada 4 pasien epilepsy.

Komplikasi empyema ektradural pada 5 pasien (9%), depresi pada 2 pasien, hemiparesis transien pada 1 pasien. Pada 31 pasien sudah dapat stop minum obat antiepilepsi. Dengan followup bervariasi antara 12 dan 76 bulan.

Ini merupakan satu-satu nya deskripsi yang ditemukan di Asia pada bedah epilepsy.

Klasifikasi klinis

Banyak penelitian yang menklasifikasi epilepsy, sehingga pada journal ini kesulitan dalam mengklasifikasikan epilepsi. Karena klasifikasiyang tidak homogen.

Pada journal ini menggunakan klasifikasi ILAE 1981.

Rata-rata pasien dengan kejang umum adalah 50-69%, dan 31-50% kejang parsial.

Prevalensi gejala, idiopatik, dan kriptogenik epilepsi masing-masing sebesar 22-53%, 4-42% dan 13-60%.

Penyebab

Penelitian tentang penyebab epilepsi di Asia sangat sedikit.

Dari literature menyebutkan penyebab tersering epilepsi adalah

1. cedera kepala,

2. trauma lahir, dan

3. infeksi intracranial seperti neurocysticercosis atau meningocephalitis.

Penyebab

Pada social ekonomi yang baik, penyebab epilepsi adalah trauma kepala dan stroke.

Di Cina tahun 1980, cedera kepala, infeksi intracranial dan penyakit cerebrovascular pada usia tua adalah diduga penyebab epilepsi.

Di cina selama 1994-2003, 12 kasus dilaporkan kejadian rata-rata 8-7% epilepsi dengan penyakit cerebrovaskuler dan 8% dengan epilepsi post trauma

Epilepsi care

Obat antiepilepsi

Penggunaan obat antiepilepsi merupakan cara paling sederhana dan aman dalam mengkontrol epilepsi.

Obat generasi pertama antiepilepsi yang digunakan di Negara Asia. antara lain

- phenytoin,

- carbamazepine,

- asam valproic,

- phenobarbital,

- clonazepam,

- primidone dan ethosuximide.

Obat antiepilepsi

Obat antiepilepsi generasi kedua, seperti

- lamotrigin,

- gabapentin,

- tiagabine,

- felbamate,

- vigabatrin, atau topiramate

yang digunakan secara luas di Malaysia, China, dan Singapura, dan di beberapa negara-negara berkembang, termasuk Filipina dan Vietnam.

Penilaian kontrol epilepsi

Pengobatan dengan phenobarbital pada 2455 pasien di cina.

Pada 68% pasien yang menyelesaikan pengobatan selama 12bulan, frekuensi kejang mengalami menurun sebesar 50% dan sepertiga pasien mengalami bebas kejang.

Pada 72% pasien yang menyelesaikan pengobatan selama 24 tahun, frekuensi kejang menurun sebesar 50% dan seperempat pasien tetap bebas kejang.

597 pasien tidak melanjutkan pengobatan sebelum berakhirnya penelitian. Disebabkan kesalahpahaman mengenai pengobatan epilepsi dan menganggap pengobatan tidak efektif

Bedah

The ILAE melaporkan adanya pusat operasi epilepsi di 26 negara di seluruh dunia 1980-1990, pada waktu itu, hanya empat negara Asia berada di daftar: Jepang, Cina, Taiwan, dan Vietnam

Laporan yang lebih baru mengungkapkan beberapa Negara di Hong Kong, India, Iran, Korea Utara dan Korea Selatan, Filipina, Singapura, Thailand, dan Turkey.

Sebuah studi kohort pasien dengan epilepsi refrakter medis lobus temporal di India menunjukkan hasil signifikan lebih baik operasi (77,0% bebas kejang, 32,7% dari obat) dibandingkan dengan pengobatan medis (11,5% bebas kejang, 0,8% dari obat).

Konsep penyakit dan penggunaan obat tradisional, komplementer, dan alternatif

Ada beberapa studi khusus pada konsep penyakit dan penggunaan obat tradisional, komplementer, dan alternatif antara pasien dengan epilepsi di Asia, meskipun banyak dokter yang berpraktik di wilayah tersebut telah melaporkan meluasnya penggunaan obat tradisional dan menengah spiritual, khususnya di daerah pedesaan.

Negara Taiwan bahwa 50% dari pasien mereka menggunakan obat tradisional Cina, dan 47% mencari metode penyembuhan rakyat termasuk interpretasi Qian, meramal, Qigong, geomansi, dan perdukunan

Pengetahuan, sikap, dan praktek

Sejumlah penelitian pada pengetahuan, sikap, dan praktek telah dilakukan, khususnya di komunitas Cina di dalam dan di luar China.

Kurangnya kesadaran mungkin merupakan faktor menjelaskan stigma. Di hampir semua studi, sepertiga sampai setengah menanggapi orang berpikir bahwa orang dengan epilepsi tidak bisa bekerja seperti orang lain, dan seperempat berpikir bahwa epilepsi adalah penyakit mental atau bentuk kegilaan. Seperti di bagian lain dunia, epilepsi diyakini menjadi penyakit menular

Kampanye pendidikan kesehatan yang diperlukan untuk merehabilitasi pasien dengan epilepsi di masyarakat dan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka .

Kesimpulan

Ada kemajuan yang signifikan dalam pemahaman tentang epidemiologi epilepsi di Asia selama 20 tahun terakhir.

Apa yang membedakan epilepsi di Asia dari daerah lain mungkin tidak begitu banyak seperti genetik atau perbedaan biologis orang Asia atau faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebab gejala epilepsi, tapi kemungkinan besar, psikososial, budaya, ekonomi, organisasi, dan politik faktor yang mempengaruhi penyebab epilepsi.

Daerah-daerah tersebut harus menjadi fokus dari studi lebih lanjut, dan pemerintah harus memberikan prioritas yang lebih tinggi untuk memerangi epilepsi di Asia.

Beberapa negara termasuk dalam Ulasan tidak lagi miskin, dan bisa membuat obat antiepilepsi gratis atau bersubsidi tersedia untuk masyarakat umum, karena biaya bahkan fenobarbital dapat menjadi beban pada beberapa komunitas ini.

Memelihara epileptologists yang bisa menjadi ujung tombak perbaikan dalam perawatan epilepsi di masyarakat juga penting.

Selain itu, pemerintah harus memberikan prioritas tinggi untuk pengembangan operasi epilepsi untuk mengobati epilepsi resistan terhadap obat dan pusat identifikasi harus dilengkapi dengan fasilitas fisik seperti video-electroencephalography dan MRI.

TERIMA KASIHArief Kurniawan

Stase neurologi RSUD M. Yunus Bengkulu