PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

12
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274 Vol.2, No.1, Mei 2021 1 PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA Ni Made Ari Dwijayanthi STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja Email: [email protected] Ketut Suara Antara STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja Email: [email protected] ABSTRACT Kekawinas a literary works contain a deep variety of poetic value in every word and sentence. Anauthorchoosesdiction with full of aesthetic and poetic calculations to create a stylistic that makes the reader drift away in his verses. Kekawin Smaradahana by Mpu Dharmaja is an Old Javanese literary work that indulges readers with interpretations of stylistics. The consciousness of worshiping Shiva is represented by the romance of Smara-Ratih which gives birth to puspa hredaya, the highest form of consciousness. This research reveals the existence of stylistics in Kekawin Smaradahana, using Pierce's semiotic theory. The signs of poetic language will be presented through the interpretation of the Puspa Hredaya structure. Keywords:puspa hredaya, stylistic, kekawin smaradahana. ABSTRAK Karya sastra kekawin memuat ragam puitika yang begitu dalam di setiap kata dan kalimatnya. Seorang pengarang kekawin meletakkan diksi dengan penuh perhitungan estetika dan puitika sehingga melahirkan stilistika yang menjadikan pembaca kekawin hanyut dalam bait-bait karyanya. Kekawin Smaradahana gubahan Mpu Dharmaja merupakan karya sastra Jawa Kuno yang memanjakan pembaca dengan interpretasi terhadap stilistika. Kesadaran pemujaan terhadap Siwa dibalut dengan romantika Smara-Ratih yang melahirkan puspa hredaya, sebuah kesadaran tertinggi. Penelitian ini mengungkap keberadaan stilistika dalam Kekawin Smaradahana, menggunakan teori semiotika Pierce. Tanda-tanda bahasa puitika akan disuguhkan melalui interpretasi terhadap bangunan struktur puspa hredaya. Kata kunci: puspa hredaya, stilistika, kekawin smaradahana. PENDAHULUAN Perdebatan tentang estetika sudah dimulai sejak jaman Aristoteles sekitar abad 5-4 sebelum masehi. Paham lama menyatakan keindahan terdapat pada setiap objek, namun seiring berkembangnya jaman keindahan tidak lagi berada pada objeknya akan tetapi ada pada subjek atau penikmatnya. Dinamika pemahaman baru tentang aspek estetis itu berpindah-pindah, dipandang sebagai perubahan struktur pemikiran penikmatnya. Jadi antara penikmat satu dengan penikmat lainnya tidak akan memiliki pandangan yang sama pada sebuah objek, kendatipun pada hakikatnya setiap objek itu indah. Ketidaksamaan inilah yang

Transcript of PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Page 1: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

1

PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN

SMARADAHANA

Ni Made Ari Dwijayanthi

STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Email: [email protected]

Ketut Suara Antara

STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Email: [email protected]

ABSTRACT

Kekawinas a literary works contain a deep variety of poetic value in

every word and sentence. Anauthorchoosesdiction with full of aesthetic and poetic

calculations to create a stylistic that makes the reader drift away in his verses.

Kekawin Smaradahana by Mpu Dharmaja is an Old Javanese literary work that

indulges readers with interpretations of stylistics. The consciousness of

worshiping Shiva is represented by the romance of Smara-Ratih which gives birth

to puspa hredaya, the highest form of consciousness. This research reveals the

existence of stylistics in Kekawin Smaradahana, using Pierce's semiotic theory.

The signs of poetic language will be presented through the interpretation of the

Puspa Hredaya structure.

Keywords:puspa hredaya, stylistic, kekawin smaradahana.

ABSTRAK

Karya sastra kekawin memuat ragam puitika yang begitu dalam di setiap

kata dan kalimatnya. Seorang pengarang kekawin meletakkan diksi dengan penuh

perhitungan estetika dan puitika sehingga melahirkan stilistika yang menjadikan

pembaca kekawin hanyut dalam bait-bait karyanya. Kekawin Smaradahana

gubahan Mpu Dharmaja merupakan karya sastra Jawa Kuno yang memanjakan

pembaca dengan interpretasi terhadap stilistika. Kesadaran pemujaan terhadap

Siwa dibalut dengan romantika Smara-Ratih yang melahirkan puspa hredaya,

sebuah kesadaran tertinggi. Penelitian ini mengungkap keberadaan stilistika dalam

Kekawin Smaradahana, menggunakan teori semiotika Pierce. Tanda-tanda bahasa

puitika akan disuguhkan melalui interpretasi terhadap bangunan struktur puspa

hredaya.

Kata kunci: puspa hredaya, stilistika, kekawin smaradahana.

PENDAHULUAN

Perdebatan tentang estetika

sudah dimulai sejak jaman

Aristoteles sekitar abad 5-4 sebelum

masehi. Paham lama menyatakan

keindahan terdapat pada setiap objek,

namun seiring berkembangnya jaman

keindahan tidak lagi berada pada

objeknya akan tetapi ada pada subjek

atau penikmatnya. Dinamika

pemahaman baru tentang aspek

estetis itu berpindah-pindah,

dipandang sebagai perubahan

struktur pemikiran penikmatnya. Jadi

antara penikmat satu dengan

penikmat lainnya tidak akan

memiliki pandangan yang sama pada

sebuah objek, kendatipun pada

hakikatnya setiap objek itu indah.

Ketidaksamaan inilah yang

Page 2: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

2

memunculkan pemikiran baru,

bahwa keindahan hanya ada dalam

pikiran manusia, dengan kata lain

hanya manusia (individu) yang tahu

akan pikirannya. Sehingga hal-hal

yang memungkinkan dalam

penikmatan aspek estetik adalah

kesadaran jiwa individu yang

menikmatinya. Objek tidak akan

bergerak, melainkan subjeklah yang

bergerak dinamis.

Objek keindahan adalah seni,

segala macam seni seperti seni pahat,

seni lukis, seni musik, seni tari, seni

fotografi, seni bahasa (karya sastra).

Aspek estetis seni selain seni bahasa,

dapat dinikmati langsung oleh

penikmat (subjek), karena seni

tersebut menggunakan medium yang

bersifat konkret langsung dirasakan

oleh organ penginderaan manusia.

Sementara aspek estetis seni bahasa

adalah bahasa itu sendiri yang lebih

ditekankan kepada gaya bahasa atau

stilistika.

Keindahan gaya bahasa yang

lebih difokuskan pada metafora

dalam teks akan dikupas dengan

menggunakan semiotika. Kata

sebagai kandungan teks merupakan

tanda. Tanda tidak akan bermakna

apabila tidak ada yang

menginterpretasinya. Manusia

merupakan makhluk pencari makna.

Hasil yang diperoleh dari penelitian

semiotika bukanlah struktur

melainkan proses semiosis yang

memberikan ‘makna’ unsur

kebudayaan yang dipandang sebagai

tanda (bahasa dalam karya sastra).

Kakawin merupakan ragam

karya sastra yang berbahasa Jawa

Kuna jenis puisi. Kekawin berasal

dari India “Kavya”, lalu diadaptasi di

nusantara menjadi “Kawi” yang

diidentikkan dengan bahasa

pengarang, karenanya pengarang

disebut Sang Kawi atau Pangawi.

Kekawin merupakan oleh para ahli

diklasifikasikan ke dalam jenis puisi

berbahasa Jawa Kuna. Keindahan

dalam kekawin seperti juga karya

sastra lainnya adalah dalam

bahasanya. Langosering menjadi

sebutan bagi keindahan dalam

bahasa Jawa Kuna, dari lango

seseorang (penikmat) bisa merasakan

kalangwan (keindahan tiada tara).

Keindahan akan muncul apabila ada

hubungan dari objek keindahan dan

subjek keindahan.

Keindahan dalam karya sastra

seperti yang telah dikatakan di atas

berupa bahasa karya sastra itu

sendiri. Bahasa yang digunakan

dalam karya sastra memberikan

eksistensi terhadap karya sastra

tersebut. Bahasa dapat diterjemahkan

sehingga memberikan pemahan yang

sama terhadap komunitas yang

berbeda. Bahasa adalah tanda yang

bisa diinterpretasikan oleh pelaku

bahasa. Seniman-seniman sastra

terkemuka pun sangat menghormati

kaidah bahasa, karenanya setiap

pengarang, penyair, penulis,

memiliki ciri khas penggunaan

bahasa mereka. Seperti halnya

kakawin Smaradahana yang

mengisyaratkan keindahan cinta

yang begitu memukau dari Bhatara

Smara dengan Bhatari Ratih.

Pada tulisan ini akan dibahas

tentang bentuk stilistik yang

menciptakan estetika dalam Kekawin

Smaradahana. Mengawali tulisan ini

akan dibuka dengan sinopsis

Kekawin Smaradahana, dilanjutkan

dengan analisis tentang pujasmara

sebagai bentuk stilistika yang

menciptakan estetika dan interpretasi

tanda dalam Kekawin Smaradahana.

PEMBAHASAN

Page 3: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

3

Kekawin Smaradahana

diawali dengan kisah bertapanya

Bhatara Shiwa yang meresahkan hati

para bhatara lainnya. Timbullah niat

para bhatara untuk menggagalkan

yoga dari Bhatara Shiwa. Satu-

satunya jalan dengan cara menggoda

birahi Bhatara Shiwa agar teringat

pada sakti beliau Bhatari Uma.

Bhatara yang berwenang

melakukannya adalah Bhatara

Smara, maka oleh Bhatara Indra,

Bhatara Smara akhirnya

memanahkan getar asmara pada

Bhatara Shiwa. Tindakannya pun

berhasil, akibatnya Bhatara Shiwa

bangun dari yoganya dan marah

sambil menahan hasratnya.

Dibakarlah Bhatara Smara karena

telah mengganggu tapanya.

Mendengar Bhatara Smara dibakar

Bhatara Shiwa, datanglah Bhatari

Ratih menghadap Bhatara Shiwa

memohon agar dibakar pula.

Akhirnya abu Bhatara Smara dan

Bhatara Ratih menyusup pada diri

manusia yang kemudian melahirkan

rasa cinta.

Kekawin pada umumnya

terdapat manggalayang mengandung

puja dan puji penyair terhadap

Bhatara yang disembahnya, tentu

juga yang diharapkan hadir dan

bersemayam di tubuh sang penyair.

Puja dalam manggala adalah bentuk

rasa hormat sang penyair yang

bertujuan mendapat kelancaran

dalam menggubah karya (kekawin).

Pujian penyair yang terdapat

dalam manggala merupakan

gabungan antara rasa hormat penyair

dan rasa syukur penyair terhadap

alam semesta yang menebar pesona

keindahan. Penggambaran manggala

biasanya melukiskan keadaan alam

terutama ketika waktu atau musim

menunjukkan musim keindahan yaitu

ketika sasih ke empat (Sasih Kapat)

pada perhitungan kalender Saka.

Keindahan Sasih Kapat

ataupun keindahan yang

menceritakan keadaan alam pada

kakawin lebih dikenal dengan

Alamkara. Alamkara/alangkara

merupakan penggambaran keadaan

dalam kekawin, alamkara/alangkara

sesungguhnya pelukisan keindahan

yang dieksplorasi oleh sang

penyair.Secara leksikal alangkara

berarti hiasan, hiasan bahasa, bahasa

artistik. Dengan kata lain alangkara

berarti hiasan atau permainan bunyi

atau kata-kata dalam syair kekawin

Jawa Kuna. Alangkara merupakan

bunga-bunga puisi yang dapat

membangkitkan rasa estetis, lebih-

lebih lagi ketika dinyanyikan dengan

alunan suara yang merdu seperti

biasa yang dilakukan dalam tradisi

“mabebasan” di Bali. Oleh karena itu

aspek alangkara memegang peranan

penting dalam sebuah kekawin.

Aspek alangkara dapat dibagi

menjadi dua macam yaitu

sabdalangkara adalah hiasan atau

permainan kata-kata atau bunyi, dan

arthalangkara merupakan hiasan

atau permainan arti. Seorang penyair

mengekplorasi imajinasinya dalam

bentuk penggabungan isi pikiran,

keadaan alam, dan puja terhadap

Bhatara yang diinginkan dalam

proses penciptaan karyanya. Bahasa

dimainkan lewat rima, pilihan kata,

serta permainan bunyi, lalu

menghasilkan gaya bahasa yang

menjadikan ciri khas dari penyair. Mpu Dharmaja penggubah

Kekawin Smaradahana juga

menunjukkan indentitas

kepengarangan yang biasa dilakukan

para kawi terdahulu. Di awal, Mpu

Dharmaja mengucap dirinya tidak

bisa menyamai kemahakuasaan

pencipta, karenanya Mpu Dharmaja

Page 4: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

4

memuja Bhatara dan memuji

semesta. Kekuatan Bhatara dan

kekuatan semesta dianggapnya

adalah kekuatan mahaabadi yang

bersemanyam di tiap makluk hidup.

Puspa Hredaya dituliskan oleh

beliau pada manggala Kekawin

Smaradahana gubahannya,

dituangkan dalam bait-bait berikut

ini:

Pujaning kawi sanggraheng

kalangenan mangde

kadirgghya yusan,

munggwing padma mekar

pratista siniram dening rereb

ning kapat,

wijanyaksara lambang endah

ring tetoning yasa,

dhupa kara liput magenta

panangis ning sadpada ring

sekar. (Sargah I, Bait 1)

artinya

Sembah sujudku sebagai

penyair yang menginginkan

keindahan agar dapat berusia

panjang,

berada dan bersemayam di

lubuk hati yang mekar

disirami gerimis musim

keempat,

beras kuningnya adalah

aksara dalam kakawin yang

indah yang ditebar dalam

paviliun,

[menyalakan] dupa hempasan

salju, [menyuarakan] genta

bersuara kumbang di atas

bunga.

Kedudukan bahasa sastra

sebagai sistem semiotika tingkat

kedua, menegaskan pemaknaan

terhadap karya sastra dimulai dari

bahasanya. Bahasa sebagai sistem

tanda selain memiliki arti dari yang

sesungguhnya, juga memiliki makna

yang mewakili dirinya serta

ditimbulkan akibat dari penafsiran.

Pada sargah pertama, bait pertama

tertulis Pujaning kawi sanggraheng

kalangenan mangde kadirgghya

yusan…., terlihat jikalau sang

penyair sangat hati-hati dalam kata

pertama. Kata pujaning dikaitkan

dengan kata selanjutnya membentuk

kesatuan ide pikiran bahwasanya

pemujaan tidak hanya dilakukan

dengan menyakupkan tangan,

menyembah dengan upakara atau

mengadakan upacara. Namun sang

penyair memuja dengan pikirannya,

dimana tubuh adalah upakara, kata

adalah mantra, dan getaran hati

adalah suara genta. Semesta

dijadikannya tempat mengagumi

keindahan pencipta, sekaligus

menjadi penyempurna dalam

‘upacara kepengarangannya’.

Seorang penyair juga

dikatakan sebagai pendeta dalam

upacara karang-mengarang, bahkan

penyair secara keseluruhan pada

kakawin ini disebut-sebut sebagai

petapa yang menjalankan Karma

Yoga. Karma Yoga adalah bagian

dari ajaran catur marga (empat jalan)

memuja kekuasaan pencipta. Ajaran

Karma Yoga dipahami sebagai

memuja kebesaran beliau dengan

cara bekerja, bekerja, dan bekerja.

Mereka yang menempuh jalan ini

memakai ‘tubuh’ atau dirinya

sebagai sarana pemujaan.

Menjalankan titah Sanghyang

Paramawisesa sebagai pencatat

dunia, sekaligus menjadi penyelamat

jaman, sebab sang penyair tahu akan

tanda-tanda jaman.

Romantisme penyair sudah

terlihat pada setiap baris di bait

pertama, dengan meletakkan kata

seperti [pujaning, kawi, munggwing,

tetoning, ning]. Pilihan kata dengan

/ing/ merupakan cara penyair

melukiskan betapa rindunya beliau

pada Sang Penguasa Semesta. Rindu

dan cinta pada penguasa semesta

Page 5: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

5

agar upacara kepengarangannya

diberkati. Warna vokal /i/

merepresentasikan penghormatan

tertinggi pada yang dipuja, hal

tersebut dapat dilihat dari kata awal

yaitu pujaning. Pada naskah kakawin

lain juga demikian, diawali kata

dengan imbuhan –ing. Namun secara

keseluruhan dalam kakawin ini

terdapat banyak kata yang memakai

akhiran –i, -ing, juga kata-kata dasar

yang memiliki vokal /i/. Penyair

secara konsisten memilihnya guna

menjaga keseimbangan kesan

romantis itu.

Ketika menyebut kata kapat,

dibaris berikutnya, tergambar betapa

lembut dan indahnya musim itu.

Dikatakannya awan tersusun dari

asap dupa menyamai lembutnya

salju, gemuruh dalam hati

menyerupai suara kumbang yang

bergetar seolah menimbulkan suara

genta. Adakalanya pula penyair

memberikan metafora dengan

menggunakan kata sekar, sekar tidak

hanya berarti bunga biasa. Sekar

dihubungkan dengan padma yaitu

bunga dengan delapan kelopak yang

senantiasa menguasai segala arah.

Sekar dikaitkan pula pada mati,

bukanlah mati raga namun mati

sebagai tujuan, mati bahagia.

Sehingga jika dikaitkan dengan kata

sebelumnya sekar, merupakan tujuan

akhir dari penulisan kekawin ini.

Timbul pertanyaan di bait ini di baris

pertama tertulis dirghgayusa

(panjang umur), bukanlah sang

penyair itu yang panjang umur

melainkan karyanya bisa dinikmati

sepanjang masa dan oleh siapa saja

(sekar, padma).

Sang Resraga ngaranta ring

pasir adoh lenglengkiteng

parwwata,

sang kingking kita ring

tawang sang angarang nahan

ngaranteng remeng,

sang soka ngluseng taman

sang alango yan sanghub ing

sagara,

ring kumbang mangajap

ngaranta karengo nahan dadin

ta prabhu. (Sargah 1, Bait 5)

artinya

Paduka bergelar Sanghyang

Resraga manakala Paduka

Bhatara berada di laut yang

nan jauh, bergelar Sanghyang

Lengleng jika berada di

gunung.

Paduka bergelar Sanghyang

Kingking jika berada di

langit, Sanghyang Angarang

gelarmu bila berada di

mendung.

Paduka bergelar Sanghyang

Soka bila berada di taman

yang sepi, Sanghyang Alango

gelarmu bila berada di lautan

kabut.

Di dalam kumbang, terdengar

Kau menyatakan namamu,

demikianlah hakikat paduka

Bhatara.

Repetisi pada bait ini

memungkinkan pengarang

melakukan eksplorasi keindahan dari

para pencipta keindahan itu sendiri.

Kerinduan sang penyair dituangkan

dalam bait ini, manakala yang

dipujanya adalah penguasa

keindahan. Alango, merupakan gelar

kehormatan yang diberikan penyair

sebagai pemuja keindahan terhadap

sang penguasa keindahan. Maka di

setiap tempat di semesta ini telah

diliputi oleh keindahan, tidak

sejengkal pun tempat di semesta ini

tidak ditempati oleh beliau. Sang

penyair menyatakan kekagumannya

dengan memuja pencipta,

Page 6: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

6

menuangkannya pada goresan pena

yang berujung pada ritual

kepengarangannya.

Jika pada manggala

diungkapkan betapa sang penyair

mempersiapkan ritual

kepengarangannya, maka pada

Sargah I Bait 5 ini, penyair telah

memulai ritualnya yang diawali

dengan pemujaan terhadap penguasa

semesta. Diawali dengan Sanghyang

Resraga penguasa laut, Sanghyang

Lengleng penguasa gunung,

Sanghyang Kingking penguasa

langit, Sanghyang Angarang

penguasa mendung, Sanghyang Soka

penguasa taman sepi, Sanghyang

Alango penguasa kabut, serta suara

kebesaran penguasa keindahan yang

diumpamakan seperti suara

kumbang. Secara keseluruhan dalam

Kakawin Smaradahana

mengeksplorasi tempat-tempat indah

seperti laut dengan karangnya, pasir,

dan burung tadahasih-nya. Lainpula

dengan gunung yang sering dipakai

metafora kegagahan laki-laki.

Keindahan langit yang selalu

disatukan dengan awan mendung

yang meneduhkan taman sepi di

balai-balai berselimut kabut, tempat

kumbang ngeremmengeluarkan

suara. Istilah ngerem menjadi

metafora suara kumbang yang

sedang mengisap sari atau kelopak

bunga dalam kakawin Smaradahana

dianalogikan seperti suara Om yang

panjang dan bergetar, sehingga

timbullah suara yang ngerem. Om

merupakan aksara suci Tuhan, pusat

dari segala yang meng-Ada dunia.

Kumbang dan padma begitulah

metafor yang dipakai melambangkan

Padma Asta Dala dengan delapan

sifat kemahakuasannya.

Keindahan yang terwujud

dalam alam, kecantikan wanita, dan

rasa cinta, membuat sang kawi

tergila-gila (ragi) dan hanyut ke

dalamnya (nuksma). Semua itu harus

dikuasai dengan penuh kesadaran

oleh sang kawi sehingga ia mampu

mencapai alam pembebasan

sempurna. Sang Kawi harus mampu

menaklukkan nafsu indra atau

jayendriya. Jalan yang ditempuh

sang kawi adalah dengan cara

menggubah karya, dalam hal ini

kidung (Sěkar Madia) mengenai

bunga-bunga (sěkar) sebagai

persembahan, dipersembahkan

kembali pada sumber asalnya, Dewa

Kama. Sejalan dengan itu, maka

bunga (kembang) dan karyanya

berupa kidung (tembang) dalam

hakikatnya sebagai sěkar digunakan

sebagai sarana melepas dan sekaligus

mengantar jiwa atma untuk kembali

ke sumber asalnya, Paramatma (bdk.

Suarka, 2007:146).

Ritual kepengarangan

dimulai dengan memuja seluruh

penguasa keindahan, setiap tempat

memang tidak ada yang luput dari

jangkauan keindahan. Semesta

adalah kuil tempat upacara itu

berlangsung, kesemuanya menyatu

dengan keinginan mengubah pikiran

menggubah karya yang abadi

sepanjang masa. Mpu Dharmaja

yang empunya ritual, ingin

melukiskan betapa hebatnya

kekuatan cinta. Pada kutipan

berikutnya akan digambarkan

seorang Mpu Dharmaja, memuja

Bhatara Smara, penguasa cinta,

pemberi benih kasih di setiap makluk

hidup.

Ndoning mastuti kirtti sang

manawa rat munggwing carik

ning karas,

cudhamanyan iran Mpu

Dharmaja kedo marnangga

Sanghyang Smara,

Page 7: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

7

ndan duran kawasa ngawesa

wasaning punggung ryyapan

tuhu,

sotan tang kawi wahu wanwa

ri kilatning sagara ngde

leyep. (Sargah I, bait 7)

artinya

Tujuanku memuja Tuanku

dan menyuratkannya di atas

karanganku ini.

seperti mahkotaku, si Mpu

Dharmaja, yang berniat

menggubah hakikat Dewa

Asmara

namun tak mungkin berhasil

memuaskan karena hamba

benar-benar sangat bodoh

hamba adalah pujangga muda

yang baru mencoba

memahami keindahan kilat

indah di tepi lautan.

Dewa Asmara (Kama) telah

memberikan percikan ilham kepada

seorang penyair muda yaitu Mpu

Dharmaja. Pada bait ini, ritual mulai

berjalan, sebab Mpu Dharmaja mulai

menulis hakikat Dewa Asmara.

Terdapat pula dalam bait ini kata

Cudhamanyan yang artinya daerah

antara dua alis, yang peneliti maknai

lebih ke arah mahkota. Bagi seorang

penyair, mahkota dalam dirinya

adalah pikirannya sendiri, sebab

pikiranlah yang akan melahirkan

karya. Secara keseluruhan dalam

Kekawin Smaradahana hakikat

Dewa Asmara rupanya tidak semata-

semata diartikan cinta pada lawan

jenis semata. Setiap makluk hidup

dalam kakawin ini dikatakan

memiliki cinta, benda yang mati

sekalipun akan hidup bila ada cinta

yang tumbuh di taman cinta. Maka

tidak salah apabila kakawin ini

dihiasi oleh metafor-metafor yang

melukiskan setiap makluk maupun

benda akan hidup bila ada cinta.

Dalam ritual kepengarangan,

sang penyair seolah menuangkan apa

yang dirasakannya sebagai

pribadinya setelah menghayati dan

melaksanakan hakikat ajaran

tersebut. Sang penyair memuja

keindahan dengan jalan cinta.

Seorang penyair pada umumnya

dilukiskan sebagai orang yang

sedang mabuk cinta. Mabuk

pengalaman keindahan. Kemabukan

ini kemudian diolahnya menjadi satu

bentuk dan sekaligus menjadi

kekuatan pemujaannya. Cinta

menjadi teramat jelas pada kalimat

(tujuanku memuja adalah juga

menyuratkan hakikat tentang Dewa

Asmara).

Di tepi laut Mpu Dharmaja

memuja, melumpuhkan ego,

mengembalikan diri menjadi kosong,

dan siap menerima anugerah Dewa

Keindahan. Tepi laut telah dipilih

sang penyair untuk menggubah

hakikat cinta yang menjadi hak milik

setiap makluk. Lautan adalah air, air

merupakan sumber kehidupan, air

laut menguap, menjadi awan

mendung, mendung menurunkan

hujan, air hujan jatuh ke sungai, di

serap tanah, menjadilah air tanah.

Begitulah siklus sebenarnya, dimana

pun sang kawi mengarang pastilah

beliau memilih berdekatan dengan

air, di tepi laut, di dasar gunung, di

bawah air terjun. Karena air adalah

asal dan tujuan.

Batin seorang penyair

diibaratkan seperti samudera begitu

yang dapat dibaca pada kalimat

terakhir bait kutipan kakawin di atas

(hamba adalah pujangga muda yang

baru mencoba memahami keindahan

kilat di tepi laut). Samudera sebagai

kedasyatan dan samudera sebagai

kenirmalaan (ini akan didapatkan

apabila membaca keseluruhan teks

dalam kakawin), merupakan dua hal

Page 8: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

8

yang kontras. Samudera

digambarkan cadas, kokoh, mampu

menghantam karang, namun tidak

pernah dipakai dalam istilah

peperangan. Samudera tidak lain

pertanda gejolak dalam batin penyair

yang melakukan ritual

kepengarangannya. Jika diselami

batin dan samudera, dianalogikan

seperti ini; jika pada permukaan

samudera terlihat ganas, buas, garang

dasyat, namun jika pada kedalaman

samudera jernih, tenang, dan damai.

Itulah batin sang kawi yang

bergejolak.

Puspa Hredaya semacam

pemusatan jiwa, rasa, dan pikiran

dilakukan oleh sang penyair

manakala sang penyair

mengharapkan Bhatara Smara hadir

dalam dirinya dan bersemayam pada

dirinya selama ritual kepengarangan

itu dilangsungkan. Laku Puspa

Hredaya merupakan jalan untuk

mencapai keheningan yoga smara

yang membuat gejolak sekaligus

menciptakan keheningan. Puspa

Hredaya tidak selamanya berarti

memuja cinta, cinta sebagai wujud

fisik yang diidentikan dengan lawan

jenis sang pemuja. Puspa Hredaya

tidak lain adalah cara mencintai

apapun, baik itu pekerjaan, ilmu,

makanan, dengan cara yang

sederhana dan dipenuhi rasa syukur.

Mpu Dharmaja telah

melakukankannya, sebuah ritual

kepengarangan yang penuh dengan

cinta; Puspa Hredaya.

Menggubah karya sastra

merupakan bentuk pemujaan

tertinggi penyair. Ritual

kepengarangan membuat semesta

menjadi tempat yang paling

mengagumkan. Seorang penyair

mengeksplorasi imajinasinya dalam

bentuk penggabungan isi pikiran,

keadaan alam, dan puja terhadap

Bhatara yang diinginkan dalam

proses penciptaan karyanya. Bahasa

dimainkan lewat rima, pilihan kata,

serta permainan bunyi lalu

menghasilkan gaya bahasa yang

menjadikan ciri khas penyair.

Sungguh mulia keinginan penyair

dalam ritual kepengarangan, yaitu

mewujudkan rasa bakti kepada

Pencipta dengan mempersembahkan

yang dimilikinya. Persembahan

sederhana, yaitu kemampuan diri

sendiri, melalui penggubahan sebuah

karya. Penyair melakukan pemujaan

dengan pikirannya, di mana tubuh

adalah upakara, kata adalah mantra,

dan getaran hati adalah suara genta.

Puspa hredayamenyatukan

dewa keindahan dan penciptaan

kekawin merupakan yoga yang khas

bagi penyair yakni yoga keindahan

dan yoga sastra. Dewa keindahan

sebagai Yang Mutlak dalam alam

niskala (transenden), berkat semadi

sang kawi berkenan turun dan

bersemayam di alam sakala-nişkala

(imanen-transenden), di atas padma

(muŋgw iŋ sarasija) di dalam hati

atau jiwa sang kawi (twas, jñāna,

hiděp, tutur). Keadaan itu membuat

sang kawi dapat berhubungan

dengan dewa yang tampak dalam

alam sakala (imanen) dalam segala

sesuatu yang indah. Dengan

menyadari kesatuannya dengan dewa

di dalam aneka ragam pernyataannya

itu, sang kawi pun menyadari

kesatuannya dengan dewa di alam

niskala (transenden), yang menjadi

tujuan akhir yoga (bdk. Agastia,

2010:38--39).

Penyair dikatakan

pengembara, pemuja keindahan,

pencari kesunyian. Batin penyair

yang diibaratkan seperti samudra itu

akan terus bergejolak gelisah

sebelum mencari yang hilang.

Pengembaraan menuju gunung

Page 9: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

9

(wukir), pantai, hutan, dan sungai

dijalankan sambil berlaku tapa.

Penyatuan antara semesta dan

penyair kemudian menjelma dalam

bentuk karya. Selalu ada kerinduan

untuk melakukan penyatuan. Betapa

uniknya penyatuan ini, sungguh

mepesona dengan bebasnya jiwa

pada saat melakukan ritual

kepengarangan. Penyair

menggabungkan pengalaman estetik

dan religiusnya ke dalam karya.

Pengalaman-pengalaman

pengembaraan penyair tidak selalu

tenggelam ke dalam keindahan alam,

sesuatu yang sensual, dan fenomena

belaka, tetapi tenggelam dalam Yang

Mutlak, di mana penyair mengatasi

segala nafsu dan godaan. Dalam arti

penyair sudah menjalani tahap-tahap

dhyana dan dharana, lalu sampai

pada Samadhi. Hal itu diterapkan

dalam hubungan kekawin dengan

pembaca dan pendengarnya sehingga

dapat dikatakan bahwa kekawin

menyebabkan para pembaca atau

pendengarnya akan merasakan

pengalaman penyair, yaitu tenggelam

ke dalam alam fenomenal, tembus

sampai ke hakikatnya, bertemu

dengan Sang Keindahan sendiri (bdk.

Agastia, 2010:41--42). Inilah yang

penulis pahami tentang penyair

kekawin, yaitu sebagai pembawa

pesan peradaban.

Seorang bijak juga

merupakan sebutan untuk seorang

kawi, hanya orang bijak yang dapat

menuliskan kebajikan dan

ketidakbajikan secara bersama

sebagai cerminan ataupun tuntunan.

Swadharmma saŋ sājjana masihiŋ

dadi (kewajiban seorang bijak adalah

mengasihi sesama). Hal itu berarti

bahwa artinya setiap yang

melahirkan cinta dan kasih sayang

merupakan cara untuk mengobati

kerinduan bertemu (baca menyatu)

dengan Pencipta. Bakti yang tulus

tanpa meninggalkan jejak di dunia

adalah kekekalan seorang kawi

karena hidup seorang kawi selalu

mengalir dan menemukan muara lalu

lebur menjadi satu dalam samudra

kesunyian.

Seorang kawi tidak hanya

menuturkan dirinya, tetapi

menuturkan aku (atma) sebagai

kekuatan karyanya. Aku yang bisa

saja berarti dirinya (kawi) adalah

bagian yang penuh romantika dalam

Kekawin Smaradahana. Dia (kawi)

seolah tidak terlibat, tetapi terlibat.

Cara menyembunyikan diri di setiap

kata merupakan keistimewaan yang

dimiliki. Ketika karya Kekawin

Smaradahan dibaca, pembaca

(penulis) merasa menjadi aku (atma),

aku (kawi), aku (semesta para kawi

atau tubuh). Sungguh Kekawin

Smaradahana penuh misteri, setiap

kalimatnya adalah nyanyian sunyi

yang datang dari beberapa abad

silam.

Puspa Hredaya juga

dikatakan yanyian sunyi menjadi

nyanyian pengiring dalam segala

kehidupan aku (atma). Rumah sunyi

dapat ditemukan dengan iringan

nyanyian sunyi yang konstan, terus

menerus didengar, dinyanyikan, dan

dilaksanakan. Suara merdu nyanyian

sunyi berasal dari hati seorang

sunyi.Kesunyian merupakan pilihan

kata yang tidak terlupakan dalam

Kekawin Smaradahana, seolah-olah

kesunyian menjadi penekanan

penting kawi Kekawin Smaradahan.

Kesunyian (sunya, putus, nirbhana),

apa pun yang disebut tetaplah ia

adalah kehampaan, tidak bisa

dibayangkan (tan paŋěn-aŋěn), tidak

terperikan (tan patuduhan), dan di

luar jangkauan pikiran (acintya). Jika

digambarkan dalam bentuk tabel,

maka kesunyian letaknya paling

Page 10: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

10

dalam. Sementara para pencari sunyi

berada di sisi luar seperti molekul-

molekul yang kemudian bersenyawa

dengan kesunyian saat penyatuan itu

telah terjadi.

Seorang pencari sunyi (kawi

Kekawin Smaradahan) adalah

seorang panglima perang yang

senantiasa menggunakan kekuatan

dan kelembutan (baca strategi) dalam

peperangan. Perang yang

dimaksudkan bukanlah perang di

medan laga, melainkan perang

terhadap diri sendiri. Kekuatan

adalah keteguhan hati untuk selalu

bertahan pada tujuan manunggal,

sedangkan kelembutan adalah

strategi untuk melawan berbagai

macam bentuk godaan yang muncul.

Perjalanan mencari sunyi tiada lain

dikatakan perang dahsyat dalam diri.

Puspa Hredaya merupakan

jalan yang dianggap benar muncul

dari hati sebagai sumber dari segala

sumber hredaya (hati). Tidak ada

jalan yang lebih hebat selain jalan

hati. Setiap jalan yang penuh

keteguhan merupakan jalan yang

selalu mendapat godaan, tetapi

berakhir sebagai jalan penyatuan

kepada Hyang Tunggal. Puspa

Hredaya, yang penuh dengan godaan

selalu menyimpan rahasia yang siap

dikatakannya sewaktu-waktu oleh

hati. Hati penuh kekuatan dan

kelembutan selalu berusaha

melalukan pengendalian terhadap

segala macam bentuk godaan, tan

upir-upir masimpěn atutur mulat ri

hati jagra nirmala maho (tidak

lengah mengendalikan, mengingat,

memandang hati yang terjaga

nirmala suci). Hati yang selalu

terjaga menjadi satu hal penting

untuk mencapai kesunyian jiwa dan

raga. Kesucian hati akan senantiasa

terpancar dari hati yang selalu terjaga

kenirmalaannya.

Puspa Hredayajuga

mengingatkan penulis pada sebuah

kejadian yang dapat dikatakan wujud

sederhana aku (atma) melakukan

tapa penyatuan (diri dan

Semesta).Perilaku atau kejadian

tanpa sadar itu adalah ketika sedang

dalam keadaan penat maka mata

akan terpejam sejenak, lalu ketika

mata dibuka kembali, semua

kepenatan sejauh mata terasa hilang.

Tentu ada pertanyaan, apa

penyebabnya? Semua penyebabnya

adalah keinginan untuk menemukan

tempat yang sunyi. Berkali-kali

penulis ingin tuliskan bahwa rumah

yang bernama kesunyian hanya dapat

ditemukan oleh kesunyian

(keheningan) pula. Kesunyian itu:

Hyang Tunggal.

Puspa Hredaya bisa juga

dikatakan sebagai kekuatan

pemujaan penyair merupakan

kerinduan untuk selalu melakukan

bakti dengan cara menuangkannya

ke dalam karya. Bakti adalah cinta

yang selalu mendorong keinginan

penyair untuk membuktikannya.

Kerinduan menjadi penggerak dalam

setiap karya yang digubahnya.

Besarnya kerinduan terlihat dan

tersebar di seluruh teks.

PENUTUP

Setiap karya memiliki aspek

estetik, begitu pula dengan Kekawin

Smaradahana. Bahasa sebagai

sistem tanda selain memiliki arti dari

yang sesungguhnya, juga memiliki

makna yang mewakili dirinya serta

ditimbulkan akibat dari penafsiran.

Stilistika yang khususnya mengacu

pada metafora-metafora cinta

memenuhi kakawin ini dari awal.

Seorang Kawi yang bernama Mpu

Dharmaja (penggubah Kekawin

Smaradahana) penempatkan diri

beliau sebagai pemuja cinta. Bukan

Page 11: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

11

cinta lawan jenis, melainkan cinta

pada penguasa keindahan, pencipta

cipta, penguasa semesta, dan semesta

itu sendiri. Puspa Hredaya adalah

sebagian kecil bentuk metafora dari

Kekawin Smaradahana. Puspa

Hredaya merupakan laku puja yang

mendambakan Bhatara Smara datang

untuk menyusup ke dalam diri.

DAFTAR PUSTAKA

Agastia, Ida Bagus Gede. 1999. Di

Kaki Pulau Bali.

Denpasar: Yayasan

Dharma Sastra.

______________. 2010. Yoga

Sastra. Denpasar: Yayasan

Dharma Sastra.

Creese, Helen. 2012. Perempuan

dalam Dunia Kakawin;

Perkawinan dan

Seksualitas di Istana Indic

Jawa dan Bali. Denpasar:

Pustaka Larasan.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan

Dinamika Sosial Budaya.

Jakarta: Komunitas

Bambu.

Palguna, IBM Dharma. 1999.

Dharma Sunya Memuja

dan Meneliti Siwa.

Denpasar: Yayasan

Dharma Sastra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori,

Metode, dan Teknik

Penelitian Sastra dari

Strukturalisme hingga

Poststrukturalisme

Perspektif Wacana Sastra.

Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ricoueur, Paul. 1996. Teori

Penafsiran Wacana dan

Makna Tambah. Penerjemah

Hani’ah. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.

Soebadio, Haryati. 1985.

Jnanassiddhanta. Jakarta:

Djambatan.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung

Tantri Pisacarana.

Denpasar: Pustaka

Larasan.

Yasa, I Wayan Suka. 2007. Teori

Rasa: Memahami Taksu,

Ekspresi, dan Metodenya.

Denpasar: Widya Dharma.

Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan

Sastra Jawa Kuno

Selayang Pandang

(cetakan ketiga).

Penerjemah Dick Hartoko

SJ. Jakarta: Djambatan.

Page 12: PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN SMARADAHANA

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

12