Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

20

description

Psikologi Sosial berperan dalam menginspirasikan kita untuk melakukan modifikasi-modifikasi, pembongkaran dan pembangunan variabel-variabel lingkungan fisik maupun sosial, sedemikian sehingga lingkungan itu kondusif bagi orang untuk hidup dan berperilaku sejauh mungkin dari risiko bahaya napza dan/atau penggunaannya. Penulis: Juneman, S.Psi.Diterbitkan dalam:Majalah PSIKOLOGI PLUSISSN: 1907-5715Terbit: IV/3/September 2009, halaman 61-78

Transcript of Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

Page 1: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78
Page 2: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78
Page 3: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Napza dengan Pendekatan Psikologi Sosial

Juneman, S.Psi.

*) Wakil Dekan/Ketua Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya; Konselor; Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta; Penyunting Eksekutif Jurnal Ilmiah Psikologi “Psikobuana”. Pada 9 sampai dengan 13 Agustus 2009 yang lalu, di Propinsi Bali, telah berlangsung International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP) ke-9, dengan tema “Memberdayakan Manusia, Memperkuat Jejaring”. Dalam momen pra-Kongres, Forum Pengguna Napza (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) se-Asia Pasifik pada 8 Agustus 2009 membuat pernyataan pers yang isinya menuntut reformasi kebijakan negara-negara mengenai napza agar menghormati pengguna napza sebagai manusia setara, tidak dikucilkan dari konteks sosial budaya masyarakat di Asia Pasifik, bahkan agar para Pemerintah menyediakan layanan publik terkait napza sehingga menjadi layanan yang berkesinambungan sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat. Dalam konteks Indonesia, pernyataan tersebut menjadi relevan terkait dengan proses revisi Undang Undang RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sedikitnya dua gerakan telah muncul, yakni: (1) Petisi “Tolak RUU Narkotika RI yang Makin Menjerumuskan Rakyat” (http://petisikebijakannapza.tk) oleh forum Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia [intinya adalah dekriminalisasi dan deviktimisasi penyalahguna napza, yang dilihat sebagai “korban atau penyintas (drug survivor) yang layak menerima rehabilitasi medis & psikososial”, bukan semata-mata “pelaku kejahatan yang harus dihukum bahkan dengan pidana mati”]; serta (2) Gerakan “Dukung Legalisasi Ganja” (http://legalisasiganja.blogspot.com). Gerakan untuk mereformasi peraturan-peraturan yang diterbitkan Pemerintah memang merupakan suatu gerakan politis. Kendati demikian, pengetahuan psikologi sosial (social psychology) dapat diterapkan dalam proses penyusunan suatu kebijakan publik, karena objek kebijakan hakikatnya adalah (pengelolaan persoalan) manusia atau perilaku manusia, walau mungkin dalam tataran yang kurang individualistik, melainkan yang lebih bersifat sosietal. Lalu, apakah “psikologi sosial” itu? Guna memahaminya, mari kita ingat ungkapan Prof.(Em.). John Nimpoeno, Dipl.Psych. dalam sebuah acara di SCTV, “Perspektif” bersama Wimar Witoelar, November 1994, sbb:

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

61

Page 4: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

“… Saya kira zaman berubah, tapi perilaku saya kira tidak akan berubah. Artinya, perilaku manusia kan cenderung disesuaikan dengan kondisi lingkungan, lingkungan fisik, dan sosial. Jadi sebetulnya kalau disebut berubah, tidak ya. Nah… karena lingkungan dan zaman berubah, jelas bahwa bentuk perilakunya juga berlainan…. Kalau saya naik angkot Bandung, misalnya, ya, orang nginjek kaki atau… tidak bilang sorry atau apa juga tidak. Tapi di luar itu sopannya setengah mati. Artinya, the environment makes the man, seakan-akan begitu ya.”

Dalam hal pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan napza, berdasarkan ungkapan Prof. Nimpoeno di atas, penulis berpendapat bahwa psikologi sosial berperan dalam menginspirasikan kita untuk melakukan modifikasi-modifikasi, pembongkaran dan pembangunan variabel-variabel lingkungan fisik maupun sosial, sedemikian sehingga lingkungan itu kondusif bagi orang untuk hidup dan berperilaku sejauh mungkin dari risiko bahaya napza dan/atau penggunaannya. Sebelum menelaah lebih jauh, mari kita sadari urgensi masalah ini dengan melihat sepintas sejumlah data yang terdeteksi/dilaporkan, sebagai bagian puncak dari “fenomena gunung es” atas berbagai kasus penyalahgunaan napza ― karena diperkirakan bahwa jumlah penyalahguna napza dan jumlah kerugian akibat penyalahgunaan napza yang sesungguhnya adalah jauh lebih besar dari yang data yang berhasil diungkap berikut ini: 1. Sekitar 15.000 orang setiap tahunnya (atau 40 orang per hari)

di Indonesia meninggal akibat penyalahgunaan napza (Badan Narkotika Nasional, dalam Kompas.com, April 2009);

2. Pada rentang tahun 2006-2007, terdapat 3,2 juta pengguna napza di Indonesia; 1,1 juta di antaranya pelajar dan mahasiswa, dengan komposisi: 40% di antaranya pelajar SLTP, 35% pelajar SLTA, 25% mahasiswa (Iskandar dalam Harian Surya, April 2009);

3. Kerugian negara akibat konsumsi napza tahun 2008 adalah 15,37 triliun; peringkat I sampai III berdasarkan wilayah: 3,85 triliun Jawa Timur, 1,25 triliun Jawa Tengah, dan 1,15 triliun DKI Jakarta (Dahlan dalam Kompas.com, Mei 2009).

Tulisan ini tidak bermaksud secara khusus membahas kebijakan pemerintah terkait napza, melainkan pertama hendak menujukkan bahwa betapa kita tengah hidup dalam kultur narkotik. Selanjutnya, penulis memperlihatkan bahwa (1) media massa, (2) habitus, (3) permainan adiksi, dan (4) lingkungan mikrofisik seseorang memiliki pengaruh terhadap tendensi penggunaan/penyalahgunaan napza, serta bagaimana kita dapat memanfaatkan pengetahuan psikologi sosial ini untuk

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

62

Page 5: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

berkontribusi dalam upaya pencegahan, penanggulangan, dan pengelolaan penyalahgunaan napza. Kisah Narcissus dan Kultur Narkotik Kata sifat “narkotik” (Ing. “narcotic”) berakarkan kata Yunani, “narce”, “narke” (kata benda), yang dalam bahasa Inggris berarti “numbness, deadness, torpor, narcosis” (kekebasan/insensitivitas, kematian, kelambanan/pasivitas, kehilangan kesadaran); serta “narkoun” (kata kerja) yang berarti “to stupefy” (melumpuhkan). Secara etimologis, “narce”, “narke”, dan “narkoun” diduga ada kaitannya dengan “narcissus”. Narcissus adalah nama sebuah bunga yang mengandung alkaloid yang bersifat melumpuhkan (narkotik), karenanya disebut “bunga kematian” (flower of death), meskipun dalam sejumlah literatur disebutkan bahwa varietas narcissus juga digunakan dalam pengobatan, antara lain sebagai obat kebotakan (di Arab), obat histeria dan epilepsi (di Perancis), obat penenang, obat pencahar, dan obat penyakit Alzheimer. Tangkai bunga ini kuat dan tegak, sehingga dalam Hadis Bukhari, bunga ini diasosiasikan dengan orang yang lurus dan saleh moral. Ovid, seorang penyair Romawi, dalam hikayat Metamorphoses, mengisahkan bahwa Narcissus adalah nama seorang pemuda bertubuh indah, namun arogan dan tidak pernah mengacuhkan kekaguman, perhatian, dan cinta dari orang lain, baik perempuan maupun laki-laki ― termasuk, antara lain, dari peri Echo. Karena patah hatinya, tulang-tulang peri Echo berubah menjadi bebatuan, tubuhnya memudar, dan yang tertinggal hanya ketidaksadaran dan bisikan lirihnya. Dewa Balas Dendam, Nemesis, diminta oleh para dewa lain untuk mencarikan retribusi (ganti rugi) atas kematian tragis Echo. Nemesis menghukum Narcissus dengan hukuman jatuh cinta pada refleksi/bayangan-nya sendiri. Suatu waktu, Narcissus hendak minum dari kolam peri Echo yang berair jernih. Pada saat itulah, ia demikian terpana dan jatuh cinta pada bayangannya sendiri, sehingga tidak dapat memisahkan diri darinya. Lambat namun pasti, Narcissus merana karena cintanya pun tak terbalas oleh bayangan itu, serta dirinya mengurus dan melemah hingga meninggal di kolam tersebut. Ketika para peri mencari tubuh Narcissus untuk menguburkannya, mereka tidak menemukan apa-apa, kecuali sebuah bunga dengan pusat berwarna kuning dan dikelilingi dengan dedaunan putih (itulah bunga Narcissus). Kisah Metamorphoses tidak menyebutkan secara pasti bahwa Narcissus mengenali atau pun menyadari bahwa yang dilihatnya di kolam air jernih tersebut adalah bayangan dirinya sendiri. Salah satu alternatif interpretasi terhadap kisah ini adalah bahwa Narcissus untuk pertama kalinya jatuh cinta kepada yang-lain

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

63

Page 6: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

tetapi yang sesungguhnya merupakan pantulan dan perluasan dari dirinya sendiri (McLuhan, 1994). Apabila memang demikian, fenomena ini dikenal dalam psikologi sebagai “ilusi”. Pengalaman ilusif terjadi bilamana terdapat pertentangan yang pasti antara apa yang kita persepsi dengan fakta yang sebenarnya (Sobur, 2003a). McLuhan (1994) berargumen, Narcissus tentu akan memiliki perasaan yang berbeda sekiranya ia mengetahui bahwa yang dilihatnya adalah perulangan (repetisi) dan perluasan (ekstensi) dari dirinya sendiri. Selanjutnya, ia mengalami adaptasi dengan objek bayangannya sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah sistem tertutup. McLuhan (1994), meminjam istilah yang digunakan Hans Selye dan Adolphe Jonas, guna mendeskripsikan segala wujud perluasan dari diri kita, baik dalam kondisi sehat maupun sakit, yakni “otoamputasi”. Otoamputasi merupakan suatu strategi yang kita gunakan apabila kekuatan perseptual kita tidak mampu menyituasikan atau menghindari penyebab iritasi yang kita alami, untuk memelihara kondisi keseimbangan (ekuilibrium) kita. Sebagai contoh, ketika manusia mengalami tekanan karena pesatnya perkembangan pesat media, maka kaki manusia mengalami otoamputasi dan terciptalah “perluasan kaki” berupa roda. Beberapa contoh hal yang merupakan perluasan dari diri manusia, sebagai berikut: bayangan cermin adalah perpanjangan dari diri, pakaian adalah perpanjangan dari kulit kita, furniture adalah perluasan dari konsep diri kita, palu adalah perpanjangan dari tangan, bahasa adalah perpanjangan dari pikiran, media adalah perluasan fungsi badan manusia; olahraga, permainan, dan seterusnya. Ditinjau dari perspektif ini, maka penggunaan napza dapat dipandang antara lain sebagai otoamputasi sistem saraf pusat untuk memelihara keseimbangan atau menghasilkan kenyamanan seseorang. Masalahnya, Narcissus “dipenjara” oleh medium bayangan dirinya sendiri; ia tidak dapat mengenali apa sesungguhnya bayangan itu, karena perhatiannya sungguh-sungguh terfokus pada bayangan itu, sehingga melumpuhkan modalitas persepsinya yang lain. Dalam hal ini, kita mempelajari bahwa lingkungan (imaji Narcissus di kolam) berproses secara aktif mengadakan perubahan pada diri aktual individu, dan perubahan-perubahan itu dapat menyebabkan kita shock dan melumpuhkan sebagian besar persepsi kita. Dengan demikian, penyalahgunaan napza merupakan suatu otoamputasi yang melahirkan suatu paradoks: Di satu sisi, napza itu membantu dirinya mencapai ekuilibrium (misalnya, sebagai obat penyakit); namun di sisi lain orang semakin teralienasi dari diri otentiknya (misalnya, ketika mengalami adiksi/kecanduan ― karena adanya tuntutan ekuilibrium baru sebagai efek narkotik). Menurut McLuhan (1994), medium telah menjadi pesan. Demikianlah, pesan dari sebuah produksi teater bukanlah drama

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

64

Page 7: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

atau musik yang dihasilkan, melainkan perubahan sikap atau tindakan audiens; pesan dari sebuah siaran berita kejahatan bukanlah berita itu sendiri, melainkan perubahan dalam sikap publik terhadap kejahatan atau pun penciptaan iklim ketakutan; serta pesan dari sebuah produksi napza bukanlah efek menenangkan atau menggembirakannya, melainkan, antara lain, penghancuran generasi muda. Berdasarkan penggambaran di atas, jelas kiranya bahwa dewasa ini kita tengah hidup di tengah-tengah (sangat dekat dengan) “kultur narkotik” di hampir semua aspek kehidupan kita, tidak hanya yang berkaitan dengan napza (ingat, Karl Marx menyatakan bahwa, “Die Religion ist das Opium des Volkes”, “Agama adalah candu masyarakat”), melainkan semua hal yang berkenaan dengan ekstensi atau perluasan diri manusia (seperti: teknologi, agama, profesi/pekerjaan, dan sebagainya). Tantangannya adalah bagaimana kita mampu memiliki kesadaran integral, yakni menjadi sadar akan “apa yang terjadi pada saat ini”, serta mampu mengontrol atau pun membedakan apa yang “saya” dan “bukan saya” (tidak mengalami ilusi “bukan saya” sebagai “saya”, atau “saya” terjebak/terserap dalam hal yang “bukan saya”); sebagaimana asosiasi interpretatif terhadap bunga Narcissus dapat dipandang sebagai “kelumpuhan” atau “kesalehan” bergantung pada subjek yang menyadari dan mengalaminya. Anak Kandung Kultur Sampai saat ini, masih banyak ahli psikologi yang mencoba menjelaskan penyalahgunaan napza dengan cara meneliti kepribadiannya. Para penyalahguna napza diatribusikan sebagai pemilik “kepribadian adiktif”, “kepribadian yang lemah”, dan sejenisnya. Menurut pendapat sejumlah pakar yang setuju dengan pendapat ini, terdapat ciri-ciri remaja yang memiliki faktor risiko tinggi menyalahgunakan napza (yang menandai suatu kelompok remaja menjadi lebih mungkin menjadi penyalahguna dibandingkan kelompok lain) dan/atau ciri-ciri penyalahguna napza, misalnya: suka mencari sensasi (melakukan hal-hal berisiko bahaya), suka mencari kenikmatan, sikap tidak konvensional (di luar kebiasaan umum), perilaku menyimpang/antisosial pada usia dini, impulsif, mudah kecewa/depresif, agresif dan destruktif, harga diri dan kepercayaan diri rendah, motivasi rendah, kemauan yang lemah, kemampuan akademik rendah, keterlibatan yang rendah dalam kehidupan religius, kurang suka berolahraga, cenderung makan berlebihan, memiliki perasaan terasing, kurang pandai menjalin hubungan antarpribadi yang baik, sifat tidak dapat menunggu (atau, bersabar yang berlebihan), merasa tidak sanggup berfungsi dalam kehidupannya/tidak sanggup menghadapi realitas

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

65

Page 8: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

hidup, mengalami gangguan jiwa, borderline mental retardation, suka begadang, salah mengerti tentang hak-hak asasi manusia dan kebebasan, suka melarikan diri dari kesusahan, suka melakukan vandalisme, suka mendemonstrasikan kebebasan dan mengembangkan kreativitas (“kepribadian seniman”), suka bohong patologis, suka melakukan penolakan (resistensi) dan tidak patuh, suka melancarkan protes sosial, berorientasi kepada masa sekarang daripada masa depan, bertipe kepribadian intim-stabil, dsb. Bahkan, sebuah alat tes psikologis/psikiatris, yakni Minnesota Multiphasic Personality Inventory-2 (MMPI-2) ― yang juga digunakan oleh Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) untuk memeriksa kesehatan jiwa calon Presiden dan Wakil Presiden RI 2009 ― memiliki Skala Potensi Adiksi (Addiction Potential Scale/APS) yang berfungsi mengukur dimensi-dimensi kepribadian yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba (Friedman, Lewak, Nichols, & Webb, 2001). Dimensi-dimensi kepribadian tersebut, antara lain (1) kepuasan/ketidakpuasan terhadap diri sendiri (satisfaction/dissatisfaction with self), (2) rasa tidak berdaya/tiadanya rasa-mampu-diri (powerlessness/lack of self-efficacy), (3) perilaku antisosial (antisocial acting-out), (4) terbuka/responsif terhadap orang lain (surgency), dan (5) perilaku mengambil risiko/keserampangan (risk-taking/recklessness) (Sawrie, Kabat, Dietz, Greene, Arredondo, & Mann, 1996). Berdasarkan sejumlah penyelidikannya, Levin, Iknis, Carroll, dan Bourne (2000) menyatakan bahwa secara metodologis, teori-teori psikologis yang ingin menjelaskan perilaku adiksi dan penyalahgunaan napza dari sisi tipe kepribadian penyalahgunanya mengandung kelemahan. Biasanya, teori-teori ini belum banyak disepakati kesimpulannya oleh para ahli, serta berbasiskan pada post hoc sample; artinya, dalam proses risetnya, individu diteliti setelah konsumsi berat napza dan konsekuensi yang bersifat merusak/merugikan telah mulai terjadi pada diri individu. Bahaya dari pendekatan metodologis ini adalah kemungkinan terjadinya pencampuradukkan antara sebab dan akibat penyalahgunaan napza. Dengan perkataan lain, apabila masalah-masalah psikologis memang ada (seperti mudah kecewa, kurang pandai bergaul, gangguan jiwa, dan sebagainya), maka mungkin saja fakta-fakta tersebut justru lebih merupakan akibat daripada sebab penyalahgunaan napza. Drab (2002) mencatat bahwa banyak orang (termasuk terapis) yang memiliki harapan akan sebuah kepribadian adiktif (“expectations about an addictive personality”) terhadap penyalahguna napza, sehingga sikap mereka rigid, memperlakukan penyalahguna napza secara setereotipik, serta mem-“patologisasi”-kan banyak respons yang sebenarnya normal, menganggap reaksi-reaksi tersebut sebagai bukti adanya sifat (traits) adiktif.

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

66

Page 9: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

Kepribadian boleh jadi memainkan peran dalam keputusan individu untuk menggunakan napza, meskipun tidak ada jenis kepribadian spesifik tunggal yang dapat kita anggap "bertanggungjawab" atas penyalahgunaan napza. Juga, tidak boleh dilupakan bahwa manusia adalah “anak kandung kultur”, bukan sekadar anak kandung dari orangtua biologis yang memiliki predisposisi genetik dan keperilakuan tertentu. Psikologi Sosial Media Massa Pada tahun 2007, Badan Narkotika Nasional mencatat 81.702 pelajar di lingkungan SD, SMP, dan SMA di Indonesia menggunakan napza, dengan faktor utama yang menyebabkan remaja menyalahgunakan napza, sebagai berikut: pengaruh lingkungan (86%), sekedar iseng atau coba-coba (74,15%), pola asuh yang otoriter (70%), pengaruh dari teman sebaya (51,14%), dan pengaruh film dan televisi (47,15%) (Pusat Data & Informasi PERSI, 2007). Data di atas menunjukkan bahwa media massa memainkan peran yang besar dalam pengaruhnya kepada remaja dalam penyalahgunaan napza. Sebagaimana kita ketahui, bahwa tayangan televisi yang berkenaan dengan rokok ― yang merupakan pintu gerbang untuk masuk ke alkohol dan napza ― tidak hanya berkenaan dengan iklan rokok tetapi juga berkenaan dengan episode-episode kisah orang merokok atau minum miras yang menyatu dengan film yang ditayangkan pada jam tayang utama. Citra perokok yang ditampilkan, antara lain gagah, pemberani, percaya diri, setia kawan, gaul, kerèn, menyenangkan/rekreatif. Yang “dijual” adalah gaya hidup. Jadi, konsumsi rokok tidak hanya diperkenankan (acceptable), tetapi juga diinginkan (desirable). Di samping itu, kampanye terselubung perusahaan rokok juga dilakukan melalui program tanggung jawab sosial masyarakat (corporate social responsibility/CSR) ― misalnya, melalui pemberian beasiswa siswa/mahasiswa, sponsor acara pertunjukan musik, sponsor tayangan sepak bola di televisi, pemberian insentif terhadap olahragawan, penghargaan (award) untuk inovasi teknologi, dan sebagainya. Dalam suatu penelitian oleh Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, ditemukan bahwa 81% responden dari 353 siswa SMP, SMA, dan SMK mengaku pernah mengikuti kegiatan yang disponsori oleh perusahaan rokok; dalam hal mana 51% dari mereka setuju pentas kesenian dan olahraga di sekolah tetap disponsori, sedangkan 30,4% responden setuju bahwa pembagian rokok gratis merupakan hal yang berkesan dari acara yang disponsori perusahaan rokok (Tempo, Januari 2008).

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

67

Page 10: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

Melihat fakta-fakta tersebut, nyata bahwa remaja Indonesia hidup atau berada dalam situasi anomis atau kesimpangsiuran norma; yakni “a condition where social and/or moral norms are confused, unclear, or simply not present” (Durkheim dalam Giddens, 1972). Hal ini karena, di satu sisi, kampanye anti-napza gencar sekali dilakukan, namun di sisi lain, inkonsisten dengan itu, tidak kalah gencarnya kampanye ”pintu karier masuk napza” (rokok) dilakukan melalui CSR. Ironisnya, ruang-ruang ekspresi kaum muda untuk berkarya, berinovasi, bermain, dan berkesenian yang murah-meriah, seringkali justru lebih banyak dibuka dan terjangkau melalui program CSR itu; sementara ruang-ruang hidup lainnya untuk remaja dan pemuda banyak yang tertutup karena dikuasai dan dipagari oleh orang dewasa/orang tua/orang kaya/penguasa. Sementara itu, orang dapat belajar untuk merokok atau menggunakan napza melalui tayangan media massa, sesuai dengan teori imitasi dan belajar sosial dari Albert Bandura, khususnya apabila: (1) tingkah laku model (perokok di tayangan televisi) “dihadiahi” (mendapatkan apa yang diinginkan dengan cara merokok), misalnya, dengan merokok, perokok menjadi lebih kreatif dalam memecahkan masalah yang sebelumnya buntu, lebih percaya diri, lebih dapat diterima lingkungan, dan sebagainya; (2) sifat-sifat model dikagumi, dipuja, diinginkan, atau sama dengan penonton, misalnya role model-nya adalah seorang artis yang familiar, berprestasi, hangat, ahli, berstatus sosial tinggi, memiliki kepedulian sosial, dsb (Hall & Lindzey, 1993). Beberapa jenis alkoholisme dan ketergantungan obat dapat disimpulkan sebagai satu tingkah laku pengelakan yang dipelajari (learned avoidance behaviour) yang dicetuskan oleh kecemasan dan dipertahankan oleh pengurangan kecemasan (anxiety reduction) itu, dengan penguatan (reinforcement) yang diberikan oleh campuran dari khasiat farmakologis, penguat yang terbiasakan, serta lingkungan sosial di mana para pecandu itu hidup (Roan, 1980). Dalam kaitannya dengan butir pertama di atas, maka learned avoidance behaviour dapat dipelajari melalui penyaksian tayangan film/televisi, dalam hal mana penguatan (reinforcement) tidak perlu dialami langsung oleh individu yang menonton, melainkan cukup dialami oleh orang lain yang ditontonnya. Hal ini dalam psikologi belajar disebut sebagai vicarious reinforcement (Hall & Lindzey, 1993). Dengan menyadari pengaruh sosial media massa di atas, maka perancangan program media massa (tayangan televisi, iklan koran, iklan billboard, dan sebagainya) yang bersifat kontra terhadap konsumsi rokok, alkoholisme, dan penyalahgunaan napza menjadi masuk akal untuk dilakukan.

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

68

Page 11: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

Dalam psikologi kesehatan, misalnya, dibahas mengenai sifat-sifat pesan kesehatan yang lebih mungkin ditolak atau diterima oleh penerima pesan. Baron dan Byrne (2005) mengungkap bahwa pesan-pesan kesehatan yang berbingkai negatif (negatively framed), misalnya kampanye billboard anti-rokok di mana sebuah peti mati digambarkan bersama-sama dengan tulisan hitam yang berbunyi, “Merokok dapat membunuh Anda,” seringkali tidak efektif sebagai strategi preventif (mencegah orang untuk merokok) dan ditolak orang. Hal ini disebabkan karena pesan-pesan yang mencemaskan, dan menimbulkan afeksi ketakutan seperti itu bersifat mengancam diri (self) seseorang, sehingga dapat mengaktifkan mekanisme pertahanan (defense mechanism) dalam rangka mempertahankan citra diri (self-image) yang positif; selanjutnya, hal ini mengganggu kemampuan orang untuk menaruh perhatian pada sebuah pesan untuk mengingat bahaya rokok dan tentang tindakan menghindari rokok. Sebab, jelas bahwa dengan mempercayai bahwa rokok tidak akan membunuh kita adalah hal yang lebih menyenangkan daripada kebalikannya. Selanjutnya, menurut Baron dan Byrne (2005), pertahanan tadi dapat dikurangi dengan menggunakan strategi self-affirmation, seperti menyampaikan pengalaman yang positif. Biasanya, setelah mengetahui atau mengalami suatu keberhasilan, manfaat, keuntungan (afeksi positif); orang akan cenderung memberikan respons yang positif terhadap pesan-pesan tentang kesehatan, menerimanya, dan akhirnya mengubah tingkah laku mereka. Jadi, daripada mengampanyekan, “Peringatan Pemerintah: Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin,” lebih baik mengampanyekan, “Tidak merokok berarti menghemat pendapatan 17 hari kerja untuk membantu memenuhi kebutuhan gizi dan sekolah anak-anak Anda” (sasaran spesifik pesan ini adalah untuk mereka dengan golongan ekonomi menengah ke bawah), “Berhenti merokok dapat meningkatkan kualitas sperma Anda,” “Berolahraga, tidak minum alkohol berlebihan, makan cukup buah dan sayuran, serta tidak merokok dapat memperpanjang umur hingga 14 tahun”, dan sejenisnya. Hal yang penting untuk dicermati oleh pegiat kampanye anti-napza adalah bahwa lebih sulit mengubah komponen afektif dari sikap (attitude) daripada mengubah kognisi (keyakinan akan fakta) seseorang; selanjutnya, lebih sulit lagi mengubah perilaku seseorang daripada mengubah sikapnya (Sears, Freedman, & Peplau, 1985). Komponen afektif sikap lebih rumit dan lebih bertahan daripada fakta. Orang tidak akan mengubah sikapnya tanpa lebih dahulu mengadakan perlawanan. Selanjutnya, perilaku nyata (overt behaviour) sering tidak sesuai dengan komponen afektif sikap, dan nampaknya orang dapat hidup cukup nyaman dengan ketidaksesuaian tersebut. Banyak perokok percaya (kognisi)

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

69

Page 12: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan dan banyak yang tidak menyukai rasa nikotin (afeksi negatif), tetapi sulit bagi mereka untuk melepaskan diri dari kebiasaan merokok tersebut. Berdasarkan pengetahuan mengenai hal di atas, maka pesan yang menekankan pada fakta-fakta kognitif objektif mengenai properti dan kandungan zat berbahaya dari napza serta konsekuensi bahaya jangka panjang penggunaannya (pendekatan kognitif) dapat saja menjadi tidak efektif untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang, bahkan seringkali menjadi “efek bumerang”. Teori reaktansi psikologis menjelaskan hal ini. Reaktansi psikologis didefinisikan sebagai kondisi keterbangkitan/keterangsangan untuk mengambil sikap oposisi/berlawanan terhadap ancaman terhadap pilihan pribadi yang dipersepsikan (Ringold, 2002). Jadi, alih-alih orang menghindari napza akibat pesan anti-napza, malah pesan itu dirasakan mengancam “kebebasan memilih”-nya, serta berbalik mendorongnya untuk menyalahgunakan napza. Hal ini ditunjang lagi dengan kemungkinan pesan itu meningkatkan rasa ingin tahu remaja yang memang tinggi, menantang sifat remaja yang suka bereksperimen (coba-coba), dan konform dengan kelompoknya (jadi, dengan mengetahui seluk-beluk napza yang diperoleh dari iklan anti-napza, hal ini justru “membekalinya” dengan pengetahuan yang menjadi “modal” untuk terlibat lebih intensif dalam norma kelompok penyalahguna narkoba). Sekali lagi, sensasionalisme media mengenai bahaya napza dan taktik menakut-nakuti remaja dapat semakin mengglamorkan perilaku berisiko remaja untuk menyalahgunakan napza. Apabila kampanye anti-napza melalui pendekatan afektif dan kognitif di atas yang dilakukan secara sendiri-sendiri dirasakan kurang efektif, maka program pencegahan penyalahgunaan napza nampaknya memang harus merajut kedua pendekatan tersebut dengan pendekatan sosial. Pendekatan sosial yang dimaksud adalah mendidik remaja agar pandai mengenali/mendeteksi/menyadari pengaruh-pengaruh sosial yang ada di lingkungannya, serta membekali mereka dengan keterampilan-keterampilan sosial (struktur-struktur tindakan sosial) yang dapat digunakan untuk melawan atau pun menanggulangi pengaruh-pengaruh tersebut. Keterampilan-keterampilan sosial (struktur-struktur tindakan) dapat dibelajarkan melalui kontra-edukasi terhadap sikap-sikap dan didikan lingkungan yang berisiko penyalahgunaan napza. Kontra-edukasi ini dapat dilakukan melalui metode komunikasi efektif (Jendela Johari), diskusi kelompok, permainan peran/teatrikal, pembahasan ilmiah (misalnya, mengenai fisiologi otak dan emosi dan kaitannya dengan napza), analisis dongeng mengenai kerapuhan-kekuatan-makna hidup, dan sebagainya.

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

70

Page 13: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

Metode kontra-edukasi yang bersifat asertif mencakup pengembangan kontra-argumen dan skeptisisme (peraguan) yang sehat terhadap klaim-klaim iklan-iklan dan tayangan televisi terkait dengan rokok, miras, dan napza; pengembangan kontra-aksi, misalnya, “Hanya katakan TIDAK pada napza!”; dan bersamaan dengan kontra-argumen dan kontra-aksi, yang sering dilupakan padahal sangat penting, adalah: pengembangan kemampuan menemukan alternatif-alternatif tindakan yang lebih menarik, lebih sehat, lebih produktif, dan lebih baik (superordinate actions). Perlu diingat bahwa seringkali persoalannya bukanlah “Cukup katakan TIDAK pada napza!” (“Just say NO to drugs!”). Kampanye ini tidak akan efektif, pengaruhnya bersifat ironis, karena justru atensi orang justru akan menjadi semakin meningkat terhadap informasi napza dan dapat mengaktifkan keinginan remaja untuk menggunakannya. Lagi pula, menurut Snyder & Lopez (2002), ahli psikologi positif, penolakan terhadap suatu gagasan (misalnya, gagasan bahwa “kelompok itu malas”, “napza itu banyak bermanfaat”) tidak berarti orang yang menolak tersebut meyakini hal yang sebaliknya (“kelompok itu rajin”, “napza itu banyak bermudarat”). Jadi, yang tidak boleh dilupakan dan bahkan harus diberi bobot lebih adalah pernyataan, ”Katakan YA pada hidupmu!” (“Say YES to life!”), “Say YES to hugs!”, “Say YES to breath!”, “Say YES to your future!”, dan sejenisnya, sambil memberikan visualisasi dan pembayangan mental (mental imagery). Agar tidak terjebak pada sloganisme mekanistik banal tanpa makna, harus ada mekanisme dukungan sosial guna memfasilitasi realisasi pernyataan-pernyataan ini. Habitus Istilah habitus berasal dari Pierre Bourdieu, yang didefinisikan sebagai berikut: “Enduring and learned dispositions of action. It is registered into body and conscience as an internalized program of action” (Hylland Eriksen, 1999). (Catatan penulis: sengaja tidak diterjemahkan agar tidak mereduksi makna aslinya). Tidak ada seorang pun yang dapat secara langsung dan mudah mendeskripsikan habitusnya sendiri, karena habitus itu melampaui refleksi diri dan kesadaran. Habitus merupakan semua aspek kultural, mencakup keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan semua hal yang mengikatkan individu dengan kultur. Habitus ini dipertajam utamanya selama sosialisasi pada masa kanak-kanak, namun pengalaman-pengalaman dan ide-ide baru dapat ditambahkan ke dalam habitus ini. Demikianlah, habitus merupakan jembatan antara subjektivitas individu dengan objektivitas struktur-struktur sosial. Struktur-struktur sosial yang ada menstrukturkan habitus, dan selanjutnya, habitus menghidupi struktur-struktur sosial yang ada serta lebih jauh

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

71

Page 14: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

menstrukturkannya (Bourdieu, 1990). Bourdieu (1962) menjelaskan, “The habitus also constitutes and is constituted by people’s practical sense of knowing the world and it is through their ‘feel for the game’ that they come to see the social world and their position and that of others as unexceptional”. Bourdieu seringkali membahas kecenderungan-kecenderungan yang membadan/terinkarnasi (embodied dispositions) yang meliputi habitus orang sebagai sebuah sistem “schemes of perception, appreciation, and action, which are acquired through practice and applied in their practical state” (Bourdieu, 1977). Gagasan mengenai habitus tidak terpisahkan dari gagasan mengenai medan sosial (social field). Habitus tertentu terbentuk dalam medan sosial tertentu dan teradaptasikan terhadap tuntutan medan. Runtutan keterlibatan (engagement) seseorang dalam medan sosial tertentu mengandung sebuah multiplisitas dari regularitas-regularitas yang diingat oleh kita, meskipun kita tidak secara sadar memfokuskan diri kepadanya selama keterlibatan tersebut. Keterlibatan-keterlibatan itu membentuk embodied memories (memori yang membadan) yang eksis di bawah tingkat kesadaran. Tidak hanya aktivitas kita, namun pengalaman-pengalaman kita terhadap diri kita sendiri (sebagai contoh, perasaan baik atau buruk mengenai diri sendiri) dan pengalaman-pengalaman kita terhadap orang lain (perasaan baik atau buruk mengenai orang lain) juga termaktub bersama “ingatan” atau “peta medan” itu. Sekarang, mari kita lihat peran habitus dan medan sosial dari kasus nyata Julian yang diceritakan oleh Horarik (2005). Julian adalah seorang pengacara profesional yang sempat terjebak dalam konsumsi minuman keras, namun yang kemudian berhasil menggabungkan diri dalam sebuah kelompok Alcoholic Anonymous (AA) ― suatu kelompok persahabatan dalam mana anggota-anggotanya saling berbagi pengalaman, kekuatan, dan harapan mereka yang dapat menyelesaikan masalah umum mereka serta menolong orang lain untuk pulih dari alkoholisme (syarat keanggotaannya hanyalah adanya keinginan yang kuat untuk berhenti minum miras). Julian yang terjebak dalam miras diusir dari rumahnya oleh istrinya, kemudian ia bergabung dalam AA dan tinggal di rumah kawannya yang juga anggota AA. Pada suatu waktu, saat ia baru bebas dari pengaruh alkohol (tidak minum) selama sepuluh hari, kawan yang ditumpangi rumahnya meminta Julian untuk pergi keluar rumah selama beberapa jam karena ada seseorang teman yang ingin mengunjunginya. Julian mengalami “kepanikan total”, dan selanjutnya berdiri di sebuah jalan melihat ke pub di seberang jalan serta mengalami keinginan yang kuat untuk minum. Untungnya, di dekat tempat ia berdiri terdapat telepon umum. Ia menelepon seorang perempuan (Anna yang pada saat itu baru bebas dari pengaruh alkohol selama dua minggu). Anna memang sempat memberikan nomor teleponnya kepada

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

72

Page 15: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

Julian pada suatu pertemuan AA. Julian menyatakan bahwa semua hal tadi ada kaitannya:

“Saya menelepon Anna. Kami berbicara. Ketika kami mulai berbicara, perasaan panik dan kompulsi untuk minum menghilang. Momen tersebut bersifat historis buat saya. Saya tidak pernah lagi memiliki kompulsif minum sejak saat itu.”

Dalam hal ini, kita perlu mencermati dimensi sosial dari pengalaman Julian yang berhasil mengatasi keinginan minumnya. Julian ternyata berasal dari sebuah keluarga kelas menengah yang merawatnya dengan baik. Ia bersekolah di sekolah-sekolah swasta kemudian studi hukum di universitas dengan baik, dan selanjutnya memperoleh pekerjaan yang baik pula serta menjalani pernikahan yang baik pada mulanya. Sayangnya, ada satu bagian yang mengganggu semua hal yang “baik-baik” itu, yakni perilaku minumnya. Kendati demikian, Julian sangat lekat dengan nilai-nilai, cara-cara berpikir, dan cara-cara berperilaku seorang Austria kelas menengah. Rambu-rambu sosial dari kultur kelas menengah Australia lah yang telah memotivasinya, dua tahun sebelum ia bergabung dalam AA, untuk mencari pertolongan atas alkoholismenya (mencari bantuan dari dokter lokal dan kemudian psikiater) ketika ia memiliki kesulitan-kesulitan dalam fungsi-fungsi sosialnya (di rumah, di tempat kerja). Bila saja sosialisasi awalnya berbeda (habitus dan medan sosial yang berbeda), mungkin saja Julian tidak akan pernah melihat kesulitan-kesulitan yang dialaminya sebagai sesuatu yang serius, atau malahan mungkin memandang dirinya sebagai laki-laki biasa yang mengalami “sedikit rangkaian kesulitan”. Ketika ia berdiri di sebuah jalan dan mengalami panik, pengalaman subjektif ini terkait dengan rambu-rambu sosial (yang menimbulkan practical sense) tertentu yang relevan yang muncul dalam diri, misalnya, “Orang seharusnya tidak diusir keluar dari rumahnya oleh istrinya karena kemabukannya,” “Orang seharusnya tidak bergantung pada tumpangan temannya,” “Orang hendaknya tidak mundur dalam karier profesionalnya,” “Orang hendaknya tidak berada di jalan tanpa arah,” dan sebagainya. Kalau saja Julian tersosialisasikan akan kehidupan jalanan (terlalu sering “tidak memiliki tujuan untuk dituju”), ia tidak akan mengalami panik. Maka, kita melihat adanya sejumlah rambu-rambu konkret yang relevan terhadap pengalaman paniknya dan yang berasal dari dunia-dunia sosial tempat ia diasuh. Namun demikian, dunia sosial Julian (orang-orang yang signifikan dalam kehidupan Julian) dapat saja tidak “teraktivasi” dalam rambu-rambu sosial yang relevan dari Julian, terkecuali dunia sosial ini beroperasi dalam diri Julian dan memberikan Julian dorongan. Hal ini disebabkan karena rambu-rambu sosial tidak

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

73

Page 16: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

akan bekerja otomatis dan memiliki kekuatan untuk membingkai ulang pengalaman seseorang, kecuali terdapat disposisi-disposisi yang sudah membadan (embodied dispositions) yang memungkinkan proses ini. Wacana kognitif saja tidak akan berarti apa-apa; sebab kalau wacana kognitif efektif, maka cukup dengan diberitahu oleh dokter, “Anda adalah seorang alkoholik, seorang yang terjebak dalam alkohol”, atau cukup dengan membaca buku atau mendengar radio yang mengingatkan bahaya alkohol dan anjuran untuk mengubah perilakunya, Julian akan berhenti minum miras. Yang diperlukan dalam hal ini adalah pengerahan embodied disposition melalui experiential learning dan pengkontemplasian pengalaman-pengalaman yang lalu, guna membangun habitus baru. Kalau kita melihat bahwa medan sosial Julian bersifat menguntungkan (menunjangnya untuk memulihkan diri dari alkoholisme melalui AA), maka dapat terjadi sebaliknya, bersifat sebagai embodied dispositions bagi seseorang untuk terjerumus dalam lingkaran setan alkohol/napza. Mari kita ambil kasus mengenai “budaya instan”. Jelas bahwa budaya instan telah hadir mengepung kita, sebagai salah satu efek dari gejala globalisasi dan modernisasi dunia (lihat saja, misalnya, fenomena Indonesian Idol yang terinspirasi American Idol; Pildacil; Super Mama Seleb Show). Budaya instan adalah keinginan serba cepat yang memang tidak dapat dipisahkan dari semakin suntuknya orang dijebak oleh kesibukan dan rutinitas yang melelahkan. Namun, embodied dispositions (bila kita merujuk konsep Bourdieu) yang rentan muncul dalam penghargaan terhadap kecepatan adalah terdapat kemungkinan miskonsepsi bahwa semuanya terjadi dalam sekejap (tanpa mengingat proses yang mendahuluinya) yang membuat para remaja dan pemuda berpendapat bahwa keinginan-keinginan karier mereka dapat terpenuhi secara instan pula, yang telah meluluh-lantakkan prestasi Ben Johnson, Maradona, dan Peter Korda (kasus doping) (A.B. Susanto, 2001). Kendati demikian, perubahan-perubahan struktur bukan mustahil, meskipun lebih mudah memahami struktur daripada mengubahnya (Andreasson, 2006). Perubahan struktur-struktur ini bergantung pada aksi-aksi yang diambil oleh para partisipan untuk membuat perubahan, untuk memecah/membongkar pola-pola yang ada, dan menunjukkan arah-arah baru. Perubahan struktur “budaya instan” adalah dengan ajakan untuk mengontemplasikan bersama “sisi positif budaya instan”, yaitu: sebuah persiapan yang panjang dan terencana, dengan dukungan manajemen yang baik untuk menyiapkan sebuah momentum yang berlangsung dalam sekejap. Fastfood, misalnya, siap disajikan dalam hitungan menit, tetapi di balik itu, Persiapannya membutuhkan waktu yang cukup lama, standarisasi yang ketat, dan manajemen yang baik. Film Jurassic Park, yang dikonsumsi

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

74

Page 17: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

sebagai hiburan sepanjang satu setengah jam, membutuhkan persiapan yang cukup lama, teknologi yang canggih, melibatkan banyak orang dan kreativitas yang luar biasa. Hal inilah yang dapat dijadikan modal kultural untuk mencegah dan menanggulangi dampak penyalahgunaan napza, yakni “Kecepatan menjadi tujuan, tetapi jangan tergoda jalan pintas!” (A.B. Susanto, 2001). Permainan Adiksi Permainan adiksi (addiction games) merupakan salah satu pengembangan konsep dari Analisis Transaksional Eric Berne. Menurut Eric Berne, berkat transaksi-transaksi kehidupan [transaksi di sini berarti pertukaran sosial, bukan transaksi bisnis!] antara diri dengan orang lain, dalam diri setiap orang terdapat tiga realita psikis: (1) Si “manusia kecil”, yakni diri seseorang ketika baru berusia tiga tahun; (2) Si “ayah dan ibu”, yakni rekaman dalam otak dari pengalaman konkret atas peristiwa-peristiwa lahir dan batin, terutama yang terjadi sebelum usia lima tahun; (3) Tingkatan ketiga, yang berbeda dari kedua tingkatan tersebut. Kedua tingkatan yang pertama disebut “Kanak-kanak” (K) dan “Orangtua” (O), sedangkan yang ketiga disebut “Dewasa” (D). Analisis transaksional mampu menjelaskan dinamika perilaku orang yang jatuh-bangun dalam kecanduan napza dengan konsep “permainan adiksi” (addiction games) (Carter, 2008). Permainan adiksi hakikatnya dimainkan oleh aspek Kanak-kanak dari diri seseorang yang dimanjakan (spoiled child), yang memiliki motto, "I want what I want when I want it... and I want it NOW!". Setiap orang memiliki dambaan/kebutuhan, yakni: (1) dambaan akan struktur (kebutuhan untuk menstrukturkan waktu dan kegiatan kita), (2) dambaan akan rangsangan (cinta, dukungan, pengalaman intensif); (3) dambaan akan posisi (validasi/pembenaran atau konfirmasi/peneguhan mengenai posisi eksistensial kita, apakah OK atau tidak OK). Pada permainan adiksi: (1) Si “Profesor Kecil” (K) menggunakan kekuatan intuitifnya

untuk memanipulasi “Dewasa” (D) dan “Orangtua” (O) mengenai struktur kehidupannya, misalnya, “Saya sudah mau berhenti merokok (D), tetapi saya tidak bisa hidup kalau tidak merokok (K).” Kontaminasi Kanak-kanak terhadap Dewasa ini merupakan warisan masa kecil; misalnya, anak yang semasa kecil sering dihina oleh kakak dan orangtuanya, pada umur lanjut masih dapat terbawa oleh rasa minder dan tak berdaya. Ini disebabkan karena Dewasa-nya tidak berdaya untuk berbuat apa-apa, karena dilemahkan oleh Kanak-kanak. Dalam hal ini, langkah pertama yang penting dalam mengatasi adiksi adalah mengubah tempat “bermain”, teman bermain, dan "permainan” (nikotin,

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

75

Page 18: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

(2) Ketiadaan kesenangan dan kegembiraan selama periode transisi dari gaya hidup adiktif (workaholic, kecanduan play station, napza, dsb) ke gaya hidup yang lebih sehat merupakan penyebab penting kekumatan adiktif. Maka, penting bagi aspek “Dewasa” untuk mencarikan sarana-sarana atau permainan alternatif (sebagai pengganti permainan adiksi) guna merangsang secara sehat ego state Kanak-kanak, sehingga orang yang kecanduan merasa bahwa dirinya “OK” dan diterima apa adanya;

(3) Sebagai konsekuensi negatif dari gaya hidup adiktif, seseorang dapat mengalami perasaan malu. Sumber utama dari rasa malu adalah pembicaraannya dengan dirinya sendiri (self-talk) yang bersumber dari ego state “Orangtua Kritis”-nya. Ia mungkin mendengar hal-hal, seperti, “Lihat, apa yang telah kamu lakukan sekarang!”, “Inilah bukti bahwa kamu tidak pernah menjadi apa-apa!”, “Kamu hanyalah seorang yang payah, kalah dan buruk!”. Betapapun “sentuhan yang negatif” (teguran Orangtua Kritis) lebih baik daripada tidak ada sentuhan sama sekali, namun demikian, perlu dibuat suatu kontrak (perjanjian) antara Kanak-Kanak dan Orangtua serta Dewasa untuk menjalani rehabilitasi/pemulihan setiap kali jatuh dalam permainan adiksi, dan bahwa Orangtua selalu menerimanya dengan kasih tanpa syarat.

Lingkungan Mikrofisik Galizio dan Maisto (1985), berdasarkan penyelidikannya berdasarkan sejumlah hasil riset, menemukan bahwa lingkungan mikrofisik (ruang, lokasi, pencahayaan, suhu, perabot seperti meja, dan pernak-pernik ruangan), dalam interaksinya dengan karakteristik dan sikap seseorang serta pengaruh sosial orang-orang di sekitar dan standar normatif (kehadiran orang-orang lain sebagai ko-partisipan pengguna napza, baik dalam kuantitas orang yang terlibat maupun kualitas pemodelan; harapan teman sebaya dan norma orangtua), dapat mendorong atau pun menghambat perilaku penyalahgunaan napza. Sebagai contoh, aspek-aspek fisik dari sebuah bar atau kedai minuman, seperti desain interior (adanya iklan, pencahayaan, cermin, jam, dan tanda-tanda lain), harga minuman (adanya “happy hour”, adanya diskon), hiburan

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

76

Page 19: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

(adanya lagu, permainan piano, game, musik), dan pengelolaan bar (seperti perilaku bartender dan pelayan) memiliki pengaruh terhadap perilaku minum alkohol. Misalnya, dalam hal pengiklanan, iklan di dinding atau di meja di bar, dapat menciptakan sebuah setting yang menyugesti seseorang bahwa konsumsi alkohol yang lebih berat lagi dapat diterima, bahwa semakin banyak minum semakin jantan/maskulin. Dalam hal ini, apabila kita merujuk pada semiotika komunikasi, maka fenomena tersebut menunjukkan bahwa pelbagai relasi dalam kultur konsumen tak lagi ditopang oleh nilai guna/manfaat suatu komoditas. Batas antara logika sosial (logika kebutuhan) dan logika hasrat (logika keinginan) menjadi kabur. Yang muncul adalah permainan tanda-tanda yang semuanya bermuara pada bujuk rayu untuk mengkonsumsi suatu komoditas (Sobur, 2003b). Selanjutnya, dalam hal hiburan, diketahui bahwa tempo musik country yang cepat berkorelasi negatif dengan kecepatan menenggak-kecil minuman. Hal ini diduga karena musik yang lambat dapat menghasilkan perasaan depresif sehingga mendorong orang untuk minum lebih; sebaliknya, musik yang cepat lebih bersifat menghibur, sehingga orang lebih terlibat dalam musik tersebut dan minum lebih sedikit. Galizio dan Maisto (1985) menunjukkan kesimpulan umum yang penting bahwa microsetting tidak hanya mempengaruhi respons psikologis dan interpretasi seseorang mengenai efek napza, namun juga berkontribusi secara langsung terhadap pengembangan toleransi dan ketergantungan terhadap napza. Hal yang penting juga adalah bahwa variabel-variabel lingkungan mikrofisik ini dapat diatur atau diubah, baik di bar maupun di rumah tinggal, untuk mencegah atau pun menurunkan tingkat perilaku penyalahgunaan napza. Penutup Sebagai catatan penutup dari seluruh uraian di atas, penulis mengajak kita semua mengingat kembali bahwa penggunaan atau penyalahgunaan napza merupakan hasil interaksi antara faktor natur (bawaan) dan nurtur (lingkungan), serta hasil kerjasama antar faktor-faktor individu dan komunitas/masyarakat serta Pemerintah. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan napza, merupakan contoh kasus “perbatasan” yang menarik, ketika: (1) Pada orang yang sudah kecanduan napza, perubahan pada otak menjadi basis bagi ketergantungan napza dan bagi reaksi otomatis terhadap drug cues (seperti, bubuk putih), bahkan secara tak sadar, dan perusakan kognitif (Kuhar, 2009). Orang-orang ini tidak

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

77

Page 20: Psikologi Sosial Napza, Sept-2009, 61-78

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/3/September 2009, 61-78

78

mampu (bukannya tidak mau!) mengikuti pesan kampanye untuk berkata “TIDAK!” pada napza (rujuk Psikoneuorologi). Oleh karena itu, persoalan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan napza tidaklah sesederhana anjuran yang sering kita dengar (“Perangi Napza!”, “Perkuat iman!”, “Cukup katakan TIDAK pada napza!”); (2) Kari kambing dan dodol Aceh yang bertabur dengan biji dan daun-daun ganja (narkotika golongan I menurut UU 22/1997) menjadi objek wisata kuliner tersendiri di Aceh (Murizal Hamzah, 2009). Dalam kasus-kasus itulah, dalam dinamika saling mempengaruhi antara pra-anggapan-pra-anggapan kekuatan situasi (the power of the situation) dan kekuatan individu (the power of the person), antara lain ruang di mana psikologi sosial bermain. Pengetahuan psikologi sosial, sebagaimana nampak dalam seluruh tulisan ini, dapat digunakan sebagai kekuatan pendorong agar kebijakan Pemerintah (baik dari lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif) dalam berbagai peraturan yang dihasilkan dan/atau dilaksanakannya mengakomodasi secara serius kondisi-kondisi “wilayah abu-abu” seperti di atas, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut justru tidak menjadi suatu “kejahatan” Pemerintah terhadap warganegaranya sendiri. Sebaliknya, Pemerintah dapat membangun relasi sosioterapeutis dengan masyarakat warga terkait napza, dan kita semua, pembaca Psikologi Plus, bertindak sebagai agen-agennya.