PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi...

23
_____________________ * Sugiyanto, STPMD “APMD” Yogyakarta and A Student of Doctoral Program, Tjahjono, H.K., Dept. of Management Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Hartono, A., Dept. of Management Universitas Islam Indonesia; Khuluq, L., Universitas Islam Negeri Sunankalijaga Yogyakarta corresponding author: [email protected] [email protected] ; [email protected] ; [email protected] PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD CORPORATE GOVERNANCE LEMBAGA KESEJAHTERAN SOSIAL DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Sugiyanto 1 , Heru Kurnianto Tjahjono 2 , Arief Hartono 3 , Lathiful Khuluq 4 ABSTRACT: Penelitian responsibitas dalam kerangkan good corporate governance bertujuan untuk mengetahui prinsip responsibilitas dalam kerangka good corporate governance dan model governance lembaga kesejahteraan sosial di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tipe penelenitian bersifat studi kasus. Jenis penelitian yang dilakukan adalah diskriptif kualitatf, yaitu peneliti memberikan gambaran mengenai prinsip responsibilitas dalam kerangka good corporate governance lembaga kesejahteraan sosial di DIY. Hasil penelitian menunjukan ada lima prinsip responsibilitas yang terjadi pada lembaga kesejahteraan sosial di DIY dan ada lima model governce lembaga kesejahteraan sosial di DIY. Walapun penelitian dilakukan selama 8 tahun, penelitian ini masih ada kelemahan, maka disarankan penelitian lanjutan menganalisis hubungan antar indicator good corporate governance. Implikasi penelitian menjadi bahan refleksi bagi pengambil kebijakan, pengelola LKS dan para donatur. Key Words: Prinsip Responsibilitas, Good Corporate Governance, Lembaga Kesejahteraan Sosial. PENDAHULUAN Cadbury (1992) memberikan pengertian corporate governance yaitu keseimbangan antara tujuan ekonomi dan sosial serta tujuan individu dan tujuan komunitas. Di samping itu juga menekankan akuntabilitas dalam pengelolaan segala sumber daya yang memperhatikan seluruh kepentingan, baik individu, organisasi dan masyarakat. Kedudukan lembaga kesejahteraan sosial (LKS) di Indonesia secara hukum diatur oleh Kementrian Hukum dan HAM RI, dan secara operasional LKS diatur oleh Kementrian Sosial RI. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011-2017, sampai penelitan ini berakhir Kementrian Sosial Republik Indonesia (RI) belum mengatur good corporate governance LKS. Untuk mendalami prinsip responsibilitas good corporate governance LKS peneliti mengadop Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117 / M-MBU / 2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan Good Corporate

Transcript of PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi...

Page 1: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

_____________________

* Sugiyanto, STPMD “APMD” Yogyakarta and A Student of Doctoral Program, Tjahjono,

H.K., Dept. of Management Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Hartono, A., Dept. of

Management Universitas Islam Indonesia; Khuluq, L., Universitas Islam Negeri

Sunankalijaga Yogyakarta

corresponding author: [email protected]

[email protected] ; [email protected] ; [email protected]

PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD

CORPORATE GOVERNANCE LEMBAGA KESEJAHTERAN SOSIAL

DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Sugiyanto1, Heru Kurnianto Tjahjono

2, Arief Hartono

3, Lathiful Khuluq

4

ABSTRACT: Penelitian responsibitas dalam kerangkan good corporate governance bertujuan

untuk mengetahui prinsip responsibilitas dalam kerangka good corporate governance dan

model governance lembaga kesejahteraan sosial di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tipe

penelenitian bersifat studi kasus.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah diskriptif kualitatf, yaitu peneliti memberikan gambaran

mengenai prinsip responsibilitas dalam kerangka good corporate governance lembaga

kesejahteraan sosial di DIY. Hasil penelitian menunjukan ada lima prinsip responsibilitas yang

terjadi pada lembaga kesejahteraan sosial di DIY dan ada lima model governce lembaga

kesejahteraan sosial di DIY.

Walapun penelitian dilakukan selama 8 tahun, penelitian ini masih ada kelemahan, maka

disarankan penelitian lanjutan menganalisis hubungan antar indicator good corporate

governance. Implikasi penelitian menjadi bahan refleksi bagi pengambil kebijakan, pengelola

LKS dan para donatur.

Key Words: Prinsip Responsibilitas, Good Corporate Governance, Lembaga Kesejahteraan

Sosial.

PENDAHULUAN

Cadbury (1992) memberikan pengertian corporate governance yaitu

keseimbangan antara tujuan ekonomi dan sosial serta tujuan individu dan tujuan

komunitas. Di samping itu juga menekankan akuntabilitas dalam pengelolaan segala

sumber daya yang memperhatikan seluruh kepentingan, baik individu, organisasi dan

masyarakat.

Kedudukan lembaga kesejahteraan sosial (LKS) di Indonesia secara hukum

diatur oleh Kementrian Hukum dan HAM RI, dan secara operasional LKS diatur oleh

Kementrian Sosial RI. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011-2017, sampai

penelitan ini berakhir Kementrian Sosial Republik Indonesia (RI) belum mengatur

good corporate governance LKS. Untuk mendalami prinsip responsibilitas good

corporate governance LKS peneliti mengadop Surat Keputusan Menteri BUMN No.

Kep-117 / M-MBU / 2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan Good Corporate

Page 2: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

2

Governance (GCG) pada BUMN. Corporate Governance adalah suatu prosedur

struktur yang digunakan oleh organ organisasi untuk meningkatkan keberhasilan usaha

dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka

panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan

peraturan perundangan dan nilai-nilai etika. Definisi ini menekankan pada keberhasilan

usaha dengan memperhatikan akuntabilitas yang berlandaskan pada peraturan

perundangan dan nilai-nilai etika serta memperhatikan stakeholders yang tujuan jangka

panjangnya adalah untuk mewujudkan dan meningkatkan nilai moral para stakeholder.

moral hazard.

Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dimaksud di sini merupakan organisasi

sosial seperti tersirat dalam Undang-Undang RI. Nomor 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial. Organisasi sosial seperti dimaksud pada Undang-Undang No.11

Tahun 2009 tersebut mengandung makna spesifik kesejahteraan sosial sehingga lebih

merupakan istilah teknis. Pengertian demikian berbeda dengan makna “organisasi

sosial” dalam arti umum, seperti digunakan dalam ilmu sosiologi dan ilmu lainnya.

Mengapa penelitian ini memilih lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY)?, karena di DIY memiliki 366 LKS (Dinas Sosial DIY 2015), LKS DIY sebagai

barometer LKS secara nasional, LKS di DIY dari tahun 2010-2017 selalu mendapat

penghargaan dari Pemerintah sebagai LKS berprestasi tingkat nasional, lebih dari 25%

LKS di DIY lahir sebelum Indonesia Merdeka 1945 dan angka kesenjangan atau gini

rasio kota Yogyakarta 4.2% dan nasional 3.94%. Tim monitoring standar nasional

pengasuhan anak (SNPA) menemukan data tentang LKS di DIY bahwa manajemen

cenderung bersifat tradisional dan tertutup: (a) SDM belum profesional dan lebih

banyak didominasi relawan daripada pegawai LKS, (b) jabatan rangkap: ada pengurus

merangkap jabatan, (c) nepotisme: pendiri memaksakan anggota keluarga dan pejabat

publik serta teman dicantumkan dalam struktur organisasi LKS.

KAJIAN TEORI

Responsibilitas, artinya para pengelola wajib memberikan pertanggungjawaban

atas semua tindakan dalam mengelola organisasi kepada para pemangku kepentingan

(Pierre and Peters, 2000). Unsur pengelola pada LKS terdiri dari dari.

Apabila LKS dilihat melalui pendekatan teori, LKS grand teorinya berada

pada ranah organisasi. Dalam hal ini, Taylor (1967) berpendapat bahwa organisasi

merupakan suatu pola hubungan melalui orang-orang di bawah pengarahan atasan

untuk mengejar tujuan bersama, dan Voos (1976), menyatakan bahwa organisasi

adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah

batasan yang relatif dapat diidentifikasi, dan bekerja atas dasar relatif secara terus-

menerus untuk mencapai tujuan bersama.

Page 3: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

3

Organisasi nonprofit seperti organisasi sosial, NGO, dan LSM di Indonesia

melalui pendekatan hukum ada dua yang menaungi organisasi nonprofit, yaitu yayasan

dan badan sosial. LKS dalam hal ini merupakan salah satu bentuk badan sosial bersifat

formal dan fungsi utamanya menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial yang

bertujuan memecahkan masalah dan atau memenuhi kebutuhan masyarakat, pernyataan

tersebut sesuai hasil studi Zulkhibri (2014), Dalam kaitan ini, LKS berperan sebagai

mediator antara kepentingan pemerintah dan kepentingan masyarakat, khususnya

penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dan kepentingan stakeholder lain

yang terkait.

Mengadop pendapat Chonyngton (1910) LKS sebagai organisasi formal

memiliki unsure: pendiri, pembina, pengawas, pengurus, pengelola, pemegang saham

(pasar filantropi), dan klien. Berpijak pada keberadaan unsur-unsur tersebut dalam

sebuah organisasi, standar kerja LKS bukan pada efisiensi, melainkan lebih pada

efektifitas yang mengandalkan tenaga profesi pekerja sosial, tenaga kesejahteraan

sosial dan relawan sosial. Farahmand (2011) menegaskan ketiga sumber daya manusia

ini pun bukanlah merupakan sebuah teknologi hardware, melainkan humanware.

Keuntungan yang didapatkan pun bukan berupa materi dan tidak dibagikan kepada

pemegang saham, melainkan keuntungan berwujud “trust” dan dikembangkan untuk

peningkatan dan perluasan pelayanan kepada klien.

Menurut Financial Accounting Standards Board (FASB 1980), menjelaskan

bahwa jenis donor pada organisasi nonprofit ada dua, yaitu institusi dan individu.

Kelompok pertama dapat terdiri dari beberapa macam, misalnya LSM, instansi

pemerintah, lembaga derma/filantropi, badan internasional, atau lembaga-lembaga

keuangan, serta bank; semua institusi ini dapat berupa, institusi lokal maupun institusi

asing. Kelompok kedua adalah donor individual, yakni perseorangan dapat berasal dari

masyarakat atau usaha komersial dan lokal maupun asing.

Penjelasan di atas menunjukan bahwa organisasi nir laba salah satu fungsinya

menghimpun donatur dari public dan menyalurkan kepada klien, maka public layak

untuk mengetahui tatakelola kususnya resposibilitas dan transparansi dalam mengelola

donatur tersebut.

Sejarah Good Corporate Governance

Istilah corporate governance pertama sekali digunakan di Amirika Serikat

pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak

sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance merupakan suatu korporasi

dipengaruhi oleh faktor korporasi yang dianut budaya, dan sistem hukum yang berlaku

sehingga aplikasinya di setiap perusahaan dan negara berbeda (Antonella, 2001).

Dalam hal tersebut, Antonius dan Subarto (2004) berpendapat bahwa corporate

governance diartikan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan

Page 4: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

4

yang efektif dan bersumber dari budaya perusahaan, etika, sistem, nilai, proses bisnis,

kebijakan dan struktur organisasi yang bertujuan mendorong pertumbuhan kinerja

perusahaan, pengelolaaan sumberdaya dan risiko yang efisien dan efektif, serta

pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stakeholders lain.

Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000, merumuskan good governance

sebagai “pemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip

profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi,

efektifitas, supremasi hukum, dan dapat diterima seluruh masyarakat”. Dengan

demikian Corporate governance akan membatasi dan mengatur perilaku pribadi dalam

sistem agar budaya serakah yang menggambarkan pertarungan kebebasan pribadi dan

tanggungjawab kolektif tidak terjadi, sebab dalam organisasi apapun konflik

kepentingan pribadi dan kepentingan bersama akan selalu muncul dan saling

mendahului. Akibatnya, antara pemilik dan agen saling hidden information (Berle

and Means, 1932).

Tatakelola organisasi merupakan subyek sangat penting, awalnya diterapkan

pada perusahaan berkembang pada tatapemerintahan dan selanjutnya mengalir di

semua organisasi, termasuk organisasi nonprofit. Oleh karena itu, organisasi nonprofit

juga dituntut menjadi organisasi profesional dengan menerapkan prinsip-prinsip good

corporate governance (Dwi Sektiono, 2016). Mengingat bahwa di dalam organisasi

nonprofit dapat timbul sebuah fenomena sehingga hal ini semakin menguatkan

tuntutan pelaksanaan akuntabilitas oleh organisasi secara keseluruhan. Tuntutan

tersebut terkait dengan perlunya dilakukan transparansi dan pemberian informasi

dalam upaya pemenuhan hak-hak publik.

Alinjoyo dan Zaini (2004) memformulasikan dimensi tatakelola yang baik

terdiri dari transparansi, akuntabiltas, responsibility, independence, fairness (kewajaran

dan kesetaraan). Dimensi ini digambarkan dalam wujud keadilan dan kesetaraan dalam

memenuhi hak-hak shareholder dan stakeholder berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan hal demikian juga dapat diterima atau berlaku

pada tatakelola LKS. Situasi ini juga sesuai dengan teori stakeholder yang diajukan

Mason dan Mahoney (2008); Charron (2007); dan Kooskora (2008). Organisasi yang

baik dan ideal, pastilah dalam penyelenggaraan sebuah kegiatan digunakan asas-asas

good governance tersebut. Asas-asas ini dipakai untuk menjaga agar tindakan

organisasi sesuai dengan tujuan dan tindakan yang diambil tidak menyengsarakan

anggota organisasi yang dilayaninya.

Good Corporate Governance LKS

Corporate governance lembaga kesejahteraan sosial adalah seluruh upaya

untuk memelihara keseimbangan, keikhlasan, kejujuran, tanggungjawab, dan

kehormatan seluruh stakeholder dilakukan dengan cara membangun sistem nilai untuk

Page 5: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

5

mewujudkan keadilan melalui peraturan formal dan informal serta modal kerelaan

pasar filantropi sebagai nilai moral untuk kepentingan terbaik bagi penerima manfaat

secara kaaffah (Sugiyanto 2018).

Secara nasional payung hukum tertinggi yang mengatur tentang LKS di

Indonesia sampai saat ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 ini masih

memiliki kelemahan, sehingga pemerintah berusaha melengkapi untuk memperkuat

undang-undang tersebut dengan: 1) Peraturan Menteri Sosial RI nomor 184 tahun 2011

tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), 2) Peraturan Menteri Sosial RI nomor

17 tahun 2012 tentang Akriditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial, 3) Peraturan

Pemerintah nomor 39 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dan

4) Peraturan Menteri Sosial RI nomor 22 tahun 2016 tentang Standar Nasional

Lembaga Kesejahteraan Sosial. Dari kelima peraturan hukum tersebut teryata belum

mengatur tentang perangkat organisasi LKS yang fokus pada tatakelola LKS, sebagai

contoh perlindungan bagi LKS yang tidak berbadan hukum, dan tipologi yang disusun

bukanlah untuk mengatur tatakelola, melainkan tipologi untuk memenuhi persyaratan

fisik dan nonfisik keberdaan LKS. Sehingga sampai saat ini masih memiliki celah

kelemahan, sebab di dalamnya belum terdapat aturan tentang tatakelola (pemerintahan

LKS). Situasi serta kondisi seperti itu diduga sengaja diserahkan pemerintah

sepenuhnya kepada pihak masyarakat, mengingat isi Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan peraturan lain yang menyertainya

tidaklah tersirat. Berdasarkan atas hal ini, sudah seharusnya pada AD-ART setiap LKS

tersirat mengenai batas kekuasaan pendiri, hubungan pendiri dengan pengelola,

mekanisme hubungan pengelola dengan penerima manfaat, hubungan pendiri dengan

penerima manfaat, dan hal-hal lain yang diperlukan LKS.

Perihal mekanisme implementasi kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh

pendiri, model eksekusi LKS dilaksanakan oleh pengurus yang berperan sebagai

pemegang kuasa dalam operasional, hal ini diperlukan mekanisme

pertanggungjawaban pengurus kepada pemegang kekuasan tertinggi. Mengenai

mekanisme pertanggungjawaban perangkat organisasi mulai dari pendiri, pengawas,

pembina pengelola, pegawai, para profesional dan klien sampai dengan posisi

kedudukan, serta kewenangan masing-masing LKS yang diperkirakan sangat beragam

bentuk dan sistemnya. Di samping itu, dipentingkan pula penjelasan mengenai

wewenang dan kuasa, karena kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki organ LKS

merupakan material untuk mengukur kinerja LKS, dan akhirnya dapat diformulasikan

untuk mengetahui hubungan keterikatan serta sehat tidaknya LKS tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas tentang payung hukum LKS yang belum

mengatur tatakelola LKS maka berdasarkan studi empiris peneliti ditemukan bahwa

para pengiat LKS dalam praktek tatakelola di organisasinya meminjam payung hukum

Page 6: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

6

Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan. Kebijakan pengiat LKS

mengunakan payung hukum undang-undang yayasan dilegalkan oleh pemerintah,

dalam hal ini semua akte pendirian LKS yang dibuat dan disyahkan oleh pihak yang

berwenang dalam bentuk yayasan dan atau badan sosial.

Dengan demikian payung hukum LKS sampai saat ini menjadi ganda antara

Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-

Undang RI Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan. Dengan payung hukum ganda

dan masih dilengkapi dengan peraturan hukum lain yang menyertainya diduga praktek

tatakelola dimasing-masing LKS akan mengalami perbedaan dan keunikan. Perbedaan

dan keunikan tatakelola setiap LKS layak dicuragai secara positif untuk mengkaji lebih

dalam untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang organisasi non profit dan

secara praksis dapat diterapkan para pengiat LKS dalam menjalankan roda organisasi

tersebut.

Penelitian ini menelusuri melalui pemeran kunci LKS dengan panduan

Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional LKS atau

ada faktor lain yang menciptakan LKS tersebut menjadi baik. Berdasarkan pada uraian

tersebut di atas, pemeran kunci tatakelola organisasi nirlaba ”LKS” terdiri dari pendiri,

pembina, pengawas, pengurus yayasan dan pengelola, serta pihak eksternal yang terdiri

dari pemerintah cq Dinas Sosial, badan koordinasi kegiatan kesejahteraan sosial

(BK3S), lembaga kegiatan keseahteraan sosial (LKKS) dan donatur. Sedangkan forum

tertinggi pada LKS ada dua jenis, pertama berkaitan dengan manjemen LKS, yakni

pada rapat pleno tahunan (RPT); dan kedua berkaitan dengan pelayanan klien terletak

pada case conference.

Inti dari konsep good governance adalah mekanisme relasi antar kelompok dan

struktur kekuasaan pada proses membuat kebijakan. Kelompok dalam hal ini adalah

kelompok pengurus dan kelompok pengelola (agen). Central pedoman berperilaku

pengelola dan pengurus adalah tata nilai kesepakatan yang dituangkan dalam anggaran

dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) organisasi yang telah disyahkan oleh

notaris. Ada enam kemungkinan interaksi dan relasi yang terjadi pada LKS antara lain

:

1. Pengelola (Pl) sebagai aktor utama berelasi tinggi (Rt) terhadap stakeholder (S).

2. Pengelola (Pl) sebagai aktor utama berelasi rendah (Rr) terhadap stakeholder (S)

3. Pengurus (Pr) sebagai aktor utama berelasi tinggi (Rt) terhadap stakeholder (S)

4. Pengurus (Pr) sebagai aktor utama berelasi rendah (Rr) terhadap stakeholder (S)

5. Pengelola (Pl) dan Pengurus (Pr) sebagai aktor utama berelasi tinggi (Rt) terhadap

stakeholder (S)

6. Pengelola (Pl) dan Pengurus (Pr) sebagai aktor utama berelasi rendah (Rr) terhadap

stakeholder (S)

Page 7: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

7

Untuk mengetahui praktek responsibilitas good corporate governance LKS,

maka dirumuskan pedoman sebagai berikut :

1. Responsibilitas sangat baik (SB) dibuktikan dengan interaksi dan relasi “melebihi”

dari tata nilai dalam AD-ART dan peraturan lain yang disyahkan.

2. Responsibilitas baik (B) dibuktikan dengan interaksi dan relasi sesuai dengan tata

nilai dalam AD-ART dan peraturan lain yang disyahkan.

3. Responsibilitas cukup baik (CB) dibuktikan dengan interaksi dan relasi tidak sesuai

dengan tata nilai dalam AD-ART dan peraturan lain yang disyahkan.

4. Responsibilitas kurang baik (KB) dibuktikan dengan interaksi dan relasi

menyimpang dari tata nilai dalam AD-ART dan peraturan lain yang disyahkan.

METODE PENELITIAN

Studi prinsip responsibilitas dalam kerangka good corporate governance LKS

di DIY dilakukan melalui studi literature dan focus group diskusi kelompok supra LKS

dilanjutkan pengujian dilapangan melalui case studi. Studi literature pada jurnal-jurnal

internasional seperti Journal of Healthcare Management, VOLUNTAS: International

Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations., International Journal of Law and

Management, Journal of Knowledge Management University of Alabama, USA,

International Journal of Social welfare, dll.

Selanjutnya diskusi melibatkan 8 personal sebagai tim di Dinas Sosial DIY,

profesi anggota tim terdiri dari peneliti bidang manajemen dan bidang sosial, praktiksi

NGO, Dinas Sosial, Balai Besar Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementrian Sosial RI

Region III, Akademisi Ilmu Kesejahteraan Sosial. Diskusi membahas responsibilitas

good corporate governance pada lembaga kesejahteraan sosial di daerah DIY.

Action research dilakukan melalui analisis hasil sensus LKS tahun 2015,

borang akriditasi LKS dan kegiatan bimbingan teknis yang diselenggarakan Dinas

Sosial dan berbagai pelatihan penguatan kapasitas LKS yang diselenggarakan BK3S

DIY.

HASIL DISKUSI

LKS berfungsi untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan

kesejahteraaan sosial individu, kelompok dan masyarakat melalui pemahaman,

pembentukan atau mengubah atribut. Karakteristik LKS berbasis amal,

mempekerjakan pekerja sosial, relawan sosial dan tenaga kesejahteraan sosial,

sumberdaya berpusat pada pasar filantropi yang tidak mengharapkan keuntungan.

Hasil produksi organisasi berwujud jasa dalam bentuk “nilai moral”, dan sumberdaya

Page 8: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

8

utama organisasi nirlaba adalah manusia sebagai aset yang paling berharga sebab

prinsip kerja organisasi nirlaba adalah “dari-oleh-untuk manusia”.

Bibiografi LKS di DIY

Sejarah berdirinya LKS di DIY bersifat bottom up, artinya LKS didominasi

oleh individu dan keluarga dengan semangat filantropi dan charity. Kondisi ini

disebabkan banyak warga di daerah Yogyakarta dalam keadaan: miskin, terlantar,

disabilitas, tuna sosial atau penyimpangan perilaku, korban bencana, korban tindak

kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi (Sukaryadi, 2014). Dampak dari kondisi

tersebut, governance LKS menjadi bervariasi sesuai dengan kemampuan kapasitas

sumberdaya keluarga, tetapi juga tidak menutup kemungkinan melahirkan berbagai

permasalahan, baik masalah dari internal LKS maupun masalah eksternal LKS.

Sebaran hasil sensus LKS DIY Tahun 2015 tabel 1. berikut.

Tabel 1. Data LKS di Daerah DIY Tahun 2015

No. Dinas Sosial Kabupaten/Kota Jumlah

LKS

Tipologi

A B C D E

1 Kota Yogyakarta 68 - 10 31 24 3

2 Kabupaten Bantul 85 - 21 38 18 8

3 Kabupaten Kulonprogo 47 - 3 25 15 4

4 Kabupaten Gunungkidul 51 - 1 31 19 -

5 Kabupaten Sleman 115 2 29 44 16 24

Jumlah 366 2 64 169 92 39

Sumber: Laporan Tim Verifikasi LKS tahun 2015.

Keterangan Tabel 1. Data LKS di Daerah DIY Tahun 2015; Tipologi A:

mandiri; B: berkembang; C: tumbuh; D: embrio; dan E: bermasalah.

Tabel 1. di atas menunjukan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam

penanganan masalah kesejahteraan sosial cukup tinggi. Keberadaan dan peran LKS

sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan data LKS tersebut merupakan aset

Page 9: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

9

serta peluang bagi pemerintah untuk mengentaskan berbagai permasalahan sosial yang

ada.

Bertolak dari uraian di atas, pemerintah melalui Kementrian Sosial Republik

Indonesia berupaya mendorong peningkatan kualitas LKS melalui berbagai regulasi

agar mutu tatakelola LKS bertambah baik sehingga dapat mencapai program kegiatan

LKS yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan. Karena, tatakelola yang baik sangatlah

dibutuhkan sehingga LKS mampu bergerak pada arah yang ideal.

Berbicara mengenai pendanaan, LKS belum memiliki kemandirian dana dan

masih bergantung pada bantuan pasar filantropi serta bantuan negara. Dengan begitu,

pendanaan anggaran operasional LKS mengandalkan donasi. Akan tetapi, adanya

pengurus LKS yang berbasis keluarga dan SDM yang terbatas menyebabkan pihak

eksternal mengalami kesulitan melakukan pengawasan; situasi seperti ini layak

dicurigai akan terjadi kecurangan, tidak transparan, sistem akuntabilitas yang dibangun

menimbulkan rawan konflik, dan terjadi moral hazard yang merugikan berbagai pihak

karena hak-haknya tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Akhirnya, kepercayaan

publik terhadap LKS berkurang (lihat tabel1.); seperti ditunjukkan Data LKS di Daerah

DIY pada tabel tersebut, bahwa LKS tipologi E berjumlah 39, artinya LKS dalam

kondisi bermasalah dan sudah seharus secara serius mendapatkan perhatian

pemerintah.

Atas dasar itu, baik berbagai elemen yang terorganisasi dalam LKS maupun

secara perseorangan berkeinginan membantu pemerintah sesuai dengan kemampuan

dan pengetahuan masing-masing. Dalam kaitan ini, para pemilik LKS cenderung

beranggapan bahwa LKS bersifat universal sehingga kurang disadari bahwa kehadiran

LKS diatur oleh negara; seperti perizinan, standarisasi fasilitas, standarisasi SDM,

pengelompokan sasaran layanan, serta akreditasi lembaga dan pemberian penghargaan

melalui kegiatan pemilihan LKS berprestasi.

Model Governance LKS

Dari 366 LKS setelah diteliti terdapat lima model governance, model tipologi

tidak berpasangan (misalnya tipologi mandiri model governance birokrasi), tetapi dari

setiap model ada kemungkinan menyebar diberbagai tipologi. Kelima model tersebut

dijelaskan sebagaiberikut:

1. Model governance demokrasi

Model governance demokrasi ada 31% LKS. Model ini ditemukan pada KLS

pusat dan LKS yang berbasis universal. LKS pusat adalah LKS yang sengaja tidak

membuka cabang, dan jika membuka semua konsep, aturan dan kebijakan ada di

pusat cabang tinggal pelaksanakan. Untuk LKS bersifat universal yang masuk

Page 10: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

10

dalam kotegogori governance birokrasi dicirikan dengan LKS-LKS yang tatakelola

sudah mapan, SDMnya professional dan stakeholdersnya berfungsi secara

maksimal.

2. Model governance otoriter

Model governance otoriter ada 9% LKS. Model ini ditemukan pada LKS berbasis

agama. Kususnya berbasis agama islam dan awalnya dikembangkan dari pondok

pesantren. Para staf dan relawan seolah-olah sebagai obyek yang harus bekerja dan

konsep serta kebiakan berada pada pimpinan. Governance otoriter kebanyakan

pengurus rangkap jabatan, dan cenderung semua keputusan ada pada abatan

puncak. Jabatan puncak ada pada pendiri atau organ yayasan.

3. Model governance birokrasi.

Model governance birokrasi ada 33% LKS. Model ini temukan pada LKS-LKS

yang telah memiliki unit produksi yang kuat, sehingga dana operasional untuk

pelayanan klien tidak mengantungkan dari donatur ansih, contoh LKS Mardi Wuto,

LKS Anur Serimpi dan LKS-LKS cabang yang keberadaannnya diatur oleh pusat,

seperti LKS Rumah Yatim, PKPU, Santa Maria dan Rumah zakat.

4. Model governance laissez faire.

Model governance laissez faire ada 10.8% LKS. Model ini ditemukan pada LKS-

LKS yang anggaran dasarnya belum kuat dan belum dibuat secara bersama antar

stakeholder. AD-ART ada cenderung dibuat sebagai persyaratan administrative

belum sebagai landasan kerja, sebagai contoh LKS yang mengabungkan

aktivitasnya antara lembaga pengasuhan anak dengan pondok pesantren dan pada

LKS-LKS yang sifatnya masih baru atau embrio dan sebagain LKS sedang

mengalami masalah, sehingga donaturpun sumbernya belum jelas dan tidak

diselektif. Jika ditemukan masalah model governance laissez faire seolah-olah di

dalam LKS ada shadow state (Hayden and Court, 2004). Model governace ini relasi

dan interaksi pemangku kepentingan tampak belum memiliki kebijakan program

startegis, sehingga setiap aktivitas sulit diklasifikasikan pada kegiatan preventif,

kuratif dan rehabilitative.

5. Model Governance pragmatis.

Model governace pragmatis ada 16.2% LKS. Model ini ditemukan pada LKS-LKS

yang jenis layananya universal, artinya LKS ini memiliki banyak layanan, sehingga

kliennya holistic missalnya satu LKS melayani lanjut usia, anak terlantar, KDRT,

dll. Model governance pragmatis tampaknya selalu memanfaatkan peluang yang

datang baik dari donatur pemerintah, masyarakat ataupun perusahaan. Model

governance pragmatis cenderung lemah pada konsep sehingga hanya

mementingkan kepraktisan, dibandingkan sisi manfaat, mementingkan hasil akhir

Page 11: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

11

dari pada nilai-nilai yang dianut, kelemhannya kurang meperhatikan hukum yang

mengatur dan mengesampingkan keberlanjutan.

Berpijak pada teori corporate governance yang berkembang di Amerika dan

Eropa dapat diketahui bahwa faktor yang menjadi potensi konflik pada organisasi

nirlaba ada tiga, pertama bentuk organisasi, kedua ukuran organisasi, dan ketiga

sumberdaya yang dimiliki organisasi. Apabila dilihat dari sumbernya, konflik

organisasi nirlaba ada dua macam: bersumber dari internal organisasi, dan bersumber

dari eksternal organisasi.

Konflik internal organisasi merupakan konflik antar stakeholders internal

(pendiri, pembina, pengawas, pengurus, staf/pelaksana, dan para profesional) karena

kepemilikan wewenang dan kekuasaan yang berbeda dalam pengambilan keputusan

dan pengunaan sumberdaya organisasi. Dalam kaitan ini, sumber konflik internal

organisasi nirlaba, terdiri atas 4 macam: a. Faksionalisasi kepentingan, pada

faksionalisasi dapat dilihat melalui beberapa hal, yakni sumber, motivasi, dan durasi.

Sumber faksionalisasi dapat terbentuk karena aspek historis, ideologis, dan pragmatis.,

b. Ketegangan antarlapisan kekuasaan dalam organisasi. Konflik dalam organisasi

nirlaba hanya dikenal oleh orang-orang yang pernah bekerja di dalamnya. Bagi orang

yang berada di dalamnya, soal konflik merupakan bahan perbincangan sehari-hari;

dalam banyak kasus, soal konflik organisasi nirlaba jarang mengemuka kepada publik,

sering dipendam atau bahkan sengaja ditutupi demi kepentingan citra organisasi.

Sebagian stakeholders internal beranggapan bahwa konflik merupakan sebuah aib,

apabila organisasi yang mengusung nilai moral dalam bentuk nilai luhur dan misi

sosial terjadi konflik di dalamnya. Pada batas tertentu konflik ini merupakan salah satu

faktor penting sebagai penghambat organisasi nirlaba dalam mencapai tujuan

organisasi. Apabila terjadi ketegangan antara lapis pengawas dan pengurus, pengurus

dan para profesional, pengurus dan staf, staf dan para profesional akan terjadi konflik

sangat berbahaya; padahal, konflik jika didekati dengan cara berpikir positif akan

bermanfaat bagi organisasi nirlaba, yakni sebagai bahan dan media pembelajaran

terhadap masalah tatakelola, menjadi sarana bagi perbaikan kerja dunia organisasi

nirlaba, sebagai salah satu pilar demokrasi dan transformasi sosial., c. Tipologi

kepemimpinan, ada beberapa model tipe kepemimpinan dalam organisasi nirlaba,

yakni otoriter, demokratis, pragmatis dan dimensional atau situasional. Model

pemimpin ini juga tidak bebas konflik, sebab dapat mengakibatkan lemahnya

penegakan aturan dan kelambanan dalam pengambilan keputusan karena

mengutamakan proses., d. Subtansi gerak organisasi (sedikit banyaknya jenis layanan

yang diberikan kepada klien), artinya makin banyak jenis layanan yang diberikan

kepada klien/penerima manfaat maka semakin tinggi peluang konflik dan semakin

membatasi layanan sehingga peluang konflik juga akan mengecil.

Page 12: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

12

Konflik eksternal organisasi merupakan tekanan dari faktor kebijakan dan

sumberdaya eksternal, utamanya adalah kebijakan donor dan keterbatasan sumberdaya.

Sebagai contoh kebijakan donor: dalam hal pengalihan donor dari negara asing kepada

negara yang dipandang tingkat kesejahteraannya lebih rendah daripada negara

Indonesia; kebijakan pemerintah, contohnya kebijakan global dalam bentuk tuntutan

global kepada organisasi nirlaba (NGO-LKS) harus tunduk pada kebijakan MDGs, isu-

isu HAM, Global Compact, ISO, dan lain-lainnya.

Berdasarkan pada penjelasan di atas diduga akan timbul ketidakharmonisan di

antara pemeran organisasi nirlaba sehingga relasi antarpemeran organisasi nirlaba

tersebut perlu dibangun berdasarkan atas nilai moral, meliputi kejujuran, efisiensi,

kepercayaan, saling menghormati, dan kesetaraan. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi

antara pendiri, penggagas, pengelola, staf, dan para profesional, serta pasar filantropi,

tetapi hal serupa juga dapat terjadi antara stakeholder internal dan stakeholder

eksternal, serta antara stakeholders internal dan penerima manfaat sehingga relasi yang

dibangun pada lembaga kesejahteraan sosial tersebut menunjukkan upaya

mempertahankan keseimbangan antar berbagai pihak yang berkepentingan dan

berdampak pada tataran publik yang lebih luas.

Berdasarkan pada uraian tersebut, orientasi corporate governance yang utama

adalah memelihara keseimbangan antara hak seluruh stakeholders dan membangun

sistem nilai untuk mewujudkan nilai moral antar stakeholders. Hal sangat penting

dalam LKS tersebut berupa reputasi nilai moral, sebab tatkala lembaga dengan atribut

nilai moral baik, pasar filantropi akan terbetuk dengan sendirinya (Fadillah, 2011).

Dalam kaitan itu, sistem yang dibangun bertujuan menjaga kepentingan

seluruh stakeholder berkomitmen, mengembangkan, dan mengintegrasikan nilai moral

dengan peraturan formal dan peraturan nonformal secara efektif. Kedua pengaturan

tersebut bertujuan agar tidak timbul konflik antarsesama stakeholder.

Mengacu pada penjelasan ringkas di atas, dapat dirumuskan bahwa definisi

corporate governance versi lembaga kesejahteraan sosial bahwa, "seluruh upaya untuk

memelihara keseimbangan, keikhlasan, kejujuran, tanggungjawab, dan kehormatan

seluruh stakeholder dilakukan dengan cara membangun sistem nilai untuk

mewujudkan keadilan melalui peraturan formal dan informal serta modal kerelaan

pasar filantropi sebagai nilai moral untuk kepentingan terbaik bagi penerima manfaat

secara kaaffah".

Bentuk Responsibilitas

Tatakelola organisasi yang baik dan sehat dapat dideteksi dari penerapan

prinsip-prinsip good governance, kususnya transparansi dan akuntabilitas. Organ

Page 13: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

13

pemegang kuasa organisasi ditangan BOD dan Pengelola. Maka para pengelola wajib

memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola organisasi

kepada para pemangku kepentingan.

Bila kita mengadop pada organisasi profit maka responsibilitas dimaknai

pertanggungjawaban perseroan baik kepada shareholders maupun stakeholder dengan

tidak merugikan kepentingan para shareholders maupun anggota masyarakat secara

luas. Dalam kontek ini di ditekankan dalam Undang- Undang perseroan haruslah

berpegang pada hukum yang berlaku atas 1). hak-hak pemegang saham., 2). perlakuan

yang adil terhadap seluruh pemegang saham., 3). peran stakeholder dalam corporate

governance., 4). kewajiban pengungkapan (disclosure) dan transparency., 5).

tanggungjawab direksi dan komisarit.

Secara eksplisit dan implisit ada indikasi bahwa teori corporate governance

tersebut di atas cenderung memakai pendekatan yang dilandasi dengan anggapan

"kecurigaan terhadap perilaku tidak bertanggungjawab pihak dalam" terhadap

kepentingan stakeholder (Sheffied dan White 2004). Hal tersebut dapat terjadi karena

sebagian besar alasan utama yang diajukan berkaitan dengan adanya pemisahan antara

manajemen dan pemilik sehingga meningkatkan masalah agensi. Upaya mengatasi hal

tersebut dilakukan dengan: mekanisme pasar, nilai sosial dan lingkungan, peraturan

dan supervisi yang efektif, integritas dan efisiensi penegakan hukum, struktur

kepemilikan serta kekuasaan politik yang dapat melakukan kinerjanya secara efektif

(La Porta et al, 1999).

Berkaitan dengan hal tersebut, John (1977) berpendapat bahwa permasalahan

lembaga nirlaba lebih kompleks sebab dalam organisasi bisnis yang mempunyai

keuntungan berwujud materi atau uang adalah pemegang saham, sedangkan pada

organisasi nirlaba yang mempunyai keuntungan adalah stakeholders, “pemilik moral”,

dan penerima manfaat memiliki keuntungan berwujud “reputasi nilai moral”. Terlebih

pada lembaga kesejahteraan sosial, permasalahan akan makin kompleks karena

semakin beragam yang dilayani dengan varian berjumlah 26 penyandang masalah

kesejahteraan sosial (PMKS). Mengingat aktivitas utama bahwa situasi apapun harus

satu suara dalam tujuan, karakter, dan arah sehingga tujuan organisasi itu dibentuk

untuk menghasilkan dan menyukseskan organisasi. Hal ini dilakukan karena

reputasinya sering berubah, dan di sisi lain pengoperasionalan lembaga mengandalkan

"pasar filantropi”.

Hal tersebut berkaitan dengan asumsi bahwa posisi stakeholders, khususnya

pengelola (agen) ditentukan oleh nilai moral sebagai budaya perusahaan (corporate

caltur) sehingga harus dapat menjadi aspirasi paling inovatif. Dengan cara sama

menghormati pula nilai pribadi dan nilai umum, serta mematuhi nilai secara konsisten

dalam semua aspek operasional. Karena, sesuatu yang mendasar adalah bahwa “nilai

Page 14: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

14

akan berbicara”, baik di seluruh area stakeholders maupun bagi penerima mafaat dan

publik yang tidak terbatas.

Atas dasar itu, stakeholders internal (dewan pengawas, pengurus, staf, dan

para profesional) di dalam organisasi nirlaba harus memahami pasar filantropi,

penerima manfaat dalam bingkai satu suara, satu langkah, dan satu hati. Dengan

demikian, tuntutan yang tersirat adalah harus mengerti, bertanggungjawab dan

melaksanakan tupoksi masing-masing; apabila salah atau lemah, overlod dan over

acting dalam menjalakan tupoksinya akan terbuka peluang terjadi konflik kepentingan

antar stakeholders internal (dewan pengawas, pengurus, staf, dan para profesional).

Landasan sistem nilai corporate governance LKS

Sumberdaya manusia LKS sebagian besar terdiri dari kumpulan para relawan.

Oleh karena itu, LKS berupaya melindungi kepentingan seluruh stakeholder dan

penerima manfaat secara seimbang dengan landasan yang sangat kuat sebagai sistem

nilai, yakni nilai moral berbasis ikatan hati.

Akan tetapi, perlu menjadi pertanyaan pula bahwa upaya kesungguhan LKS

untuk melakukan implementasi sistem nilai tersebut tanpa harus banyak syarat dan

bersiasat secara bertanggungjawab. Karena, implementasi sistem nilai sebenarnya

sebuah kewajiban bersifat personal dan memiliki konsekuensi besar serta mengikat

segenap individu yang melakukan interaksi dengan apa adanya dalam membangun

relasi tersebut. Apabila hal ini tidak diimplementasikan, secara nilai moral

membuktikan bahwa kumpulan para relawan itu termasuk bukan kelompok (seorang)

relawan (Meth. Kusumahadi, 2011).

Mekanisme interaksi yang tejadi pada LKS memiliki relevansi tinggi dengan

landasan nilai moral tersebut, khususnya berkaitan dengan skema kenyakinan,

keikhlasan, dan kekuasaan yang mengunakan pembiayaan pasar filantropi dengan

menggunakan prinsip terbaik bagi penerima manfaat. Pembiayaan tersebut

memberikan kepercayaan penuh kepada pasar filantropi atau donasi yang tidak pernah

meminta hak dari keuntungan atau bagi hasil. Keuntungan dari pasar filantropi oleh

pengelola digunakan untuk kegiatan produktif dengan hasil akhir berwujud reputasi

nilai moral, dan bagi hasil yang akan diterima oleh masing-masing stakeholders

tergantung dari akad keikhlasan yang disepakati saat kontrak personal dengan lembaga

tersebut. Akad keikhlasan diikat oleh ikatan hati, bukan ikatan materi sehingga pamrih

materi sama sekali tidak tampak atau dengan lain perkataan tidak ada. Sistem nilai

yang memiliki dimensi moral berkaitan dengan perlunya disiplin diri sebagai konsep

moral dalam layanan kesejahteraan sosial, seperti tercantum di dalam moral spiritual

masing-masing stakeholders, antara lain kerja amal dan kerja filantropi dengan prinsip

kenyakinan (belief) dan sukarela (kerelawanan). Hal senada berkaitan dengan itu

Page 15: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

15

disebutkan Dani Vardiansyah (2008), bahwa keyakinan merupakan suatu sikap yang

ditunjukkan oleh manusia saat merasa cukup mengetahui dan menyimpulkan bahwa

dirinya telah mencapai kebenaran. Pendapat ini dipertegas Schwitzgebel (2006) bahwa

kepercayaan merupakan suatu keadaan psikologis di saat seseorang menganggap

suatu premis benar. Hal kenyakinan, keikhlasan, dan kepercayaan yang diakui masing-

masing stakeholders LKS sebagai tanda bukti patuh pada Firman Tuhan menurut kitab

suci agama masing-masing; sedangkan kerelawanan, kesetiakawanan, kemitraan,

akuntabilitas, profesionalisme, partisipasi, keterbukaan, keterpaduan, keadilan, dan

keberlajutan diakumulasi oleh pemerintah, seperti tersirat pada Pasal 2 UU No 11

Tahun 2009.

Pedoman sistem nilai yang dinyakini di atas dapat menjadi benteng moral yang

tangguh bagi manusia untuk melakukan pekerjaan amal dan pekerjaan kemanusiaan.

Apabila kedua pekerjaan tersebut tidak sejalan dengan kenyakinannya, LKS tersebut

akan ditinggalkan; dan sebaliknya, kedua pekerjaan tersebut dinyakini sejalan dengan

kenyakinannya maka sistem nilai tersebut benar-benar secara sungguh-sungguh

diimplementasikan. Namun, tatkala nilai moral tersebut hanyalah sekedar sampai pada

tahapan wacana, terlebih jika hanya menjadi suatu sistem nilai yang mengikat segenap

pihak di dalam suatu LKS atau organisasi, maka sistem nilai moral sebaik apapun tidak

akan berdampak pada perilaku manusia secara individual. Pengimplementasian sistem

nilai pada kehidupan lembaga sehari-hari memerlukan beberapa prasyarat, yaitu:

adanya motivasi yang kuat, nilai moral dibangun secara sistematik dengan dilandasi

dasar keyakinan yang kuat, sistem nilai dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan

ekonomi, serta perlu didukung oleh sistem hukum dan pengawasan yang efektif

(Chapra dan Ahmed, 2002).

Sistem nilai moralitas yang disebutkan sebelumnya itu berkaitan dengan

kesadaran terhadap kewajiban berbagi, dan beramal dinyakini sebagai pilihan

perbuatan terbaik. Hal ini “terpola bahwa harta kita sebagian menjadi hak orang lain”,

serta prinsip hidup membantu orang lain sebelum kita kaya tersirat dalam Firman

Allah SWT. dan Hadis Nabi SAW. Dan Bagi keluarga Nasrani hal penghimpunan

persembahan sukarela bagi kepentingan orang miskin, tercatat dalam Kitab Injil bahwa

penghimpunan persembahan sukarela yang ikhlas-bebas-pantas tersebut dapat

disalurkan melalui kolekte mingguan dan persembahan sukarela kepada: Gereja

Paroki, lembaga-lembaga sosial, posko bencana, seminari, dan lain-lainnya. Bagi umat

Hindu Kitab Sarasa Muccaya Dana-punya merupakan dasar berperilaku memberikan

donasi untuk kepentingan sesame (Kanjeng, 1977).

Melalui aspek internal dapat dibangun sistem bermakna, bahwa diperlukan

batasan tegas berkaitan dengan cakupan tanggungjawab, seperti mekanisme berkenaan

dengan target kerja yang dapat mempengaruhi imbalan, penghargaan, dan hukuman

pada semua pihak yang terlibat dalam sistem tersebut (Syalan, 2013). Sistem akan

Page 16: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

16

menjadi efektif tatkala para pelaku yang terlibat memiliki dasar keyakinan sama,

bahwa segala apa yang menjadi tanggungjawabnya harus dipertanggungjawabkan tidak

hanya pada level dunia, melainkan juga sampai dengan perihal yang bersifat

ukhrowiah pada kehidupan akhirat.

Dalam hal ini, faktor eksternal sistem harus disadari sejak awal meskipun

aspek internal sudah kondusif, tetapi tetap perlu memperhatikan lingkungan sosial,

politik, dan ekonomi karena akan mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak

langsung kondisi internal sistem yang dibangun tersebut. Berkaitan dengan hal ini,

fenomena sangat lemahnya norma perilaku dan penegakan norma di dalam LKS

disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, keterbatasan ilmu pengetahuan, keterbatasan

pemahaman ilmu agama, dan keterbatasan relasi. Akibatnya, terjadi patologis birokrasi

secara sistemik sehingga mempengaruhi penurunan layanan kesejahteraan dan

degradasi moral. Kondisi lingkungan seperti itu perlu dibuatkan mekanisme regulasi

dan supervisi yang lebih efektif (Chapra dan Ahmed, 2002).

Stakeholder pemeran kunci korporasi LKS

Faktor penting yang diperlukan untuk mewujudkan mekanisme korporasi

tatakelola yang efektif di lembaga kesejahteraan sosial memiliki unit-unit yang

berkaitan dengan: pengurus/Board of Director (BOD) dengan manajemen, kontrol

internal, manajemen risiko yang efektif, dan tingkat transparansi yang tinggi, serta

standar akunting dan audit. Menurut Chapra dan Ahmed (2002), bahwa BOD memiliki

peran penting pada korporasi tatakelola yang penekanannya lebih pada integritas moral

daripada kemampuan teknis, tetapi harus paham dengan risiko dan kompleksitas pasar

filantropi serta upaya untuk meningkatkan kapasitas berkaitan dengan profesi tersebut

maupun dengan landasan kerja amal dan landasan kerja kemanusiaan.

Berbicara mengenai tugas BOD, antara lain 1) melakukan pertemuan secara

regular, 2) melakukan kontrol efektif tentang kondisi layanan, sarana prasarana

layanan, keuangan LKS, 3) diskusi secara intensif dengan senior manajemen dan

internal audit, 4) membuat aturan main, memonitor perkembangan pencapaian tujuan

lembaga keuangan.

Selain itu, BOD juga melakukan, pengawasan sesuai dengan tupoksi yang

dikeluarkan oleh otoritas pengawasan dan melakukan modifikasi jika dianggap perlu,

mampu menjelaskan tujuan strategis secara spesifik, memandu pasar filantropi, kode

etik untuk senior manajemen dan standar kerja staf. Eksistensi BOD ditentukan oleh

kemampuannya membangun sistem kontrol internal yang kuat, manajemen risiko yang

efektif, membuat semua prosedur dan regulasi serta peraturan yang penting khususnya

berkaitan dengan rekruitmen senior manajemen yang bebas dari nepotisme dan

favoritisme berdasarkan kemampuan real yang terukur (merit sistem).

Page 17: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

17

Adapun tugas senior manajemen bertanggungjawab atas fungsi keseharian

lembaga agar dapat beroperasi secara sehat dan efektif dengan membuat sistem internal

audit, prosedur kontrol, dan manajemen risiko. Sistem internal auditor dibuat oleh

senior manajer berdasarkan atas keterampilan dan kompetensi teknis yang cukup, serta

bersikap independen sehingga dibebastugaskan dari pekerjaan yang bersifat

operasional. Internal auditor secara regular melaporkan kinerja lembaga kepada BOD

maupun manajemen, dan BOD harus berperan agar internal audit tidak di bawah

tekanan manajemen. Apabila hasil audit internal menunjukkan hal-hal yang perlu

ditindaklanjuti oleh manajemen, BOD harus mendorong manajemen untuk

melakukannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas Syaflan (2013) menyebutkan tiga kriteria

minimum bagi manajemen yang baik dalam bahasa agama, yaitu siddik, amanah,

fathonah, dan terhindar dari tiga sifat munafik. Pada prinsipnya ketika manajemen

mulai melakukan penipuan atau penyimpangan, maka mereka mulai merajut suatu

keruwetan di sekitar dirinya sendiri, oleh karena itu upaya peningkatan kejujuran perlu

dilakukan, seperti sikap disiplin dan dapat dipercaya, para petugas dan staf hemat serta

cermat, internal kontrol yang efektif karena dapat menekan benih kecurangan dan

mendorong tumbuhnya whistle blowers (pelaporan malpraktik/kebohongan).

Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem

yang mengharuskan orang tunduk pada keputusan dan perintah serta peraturan yang

berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang

telah ditetapkan tanpa pamrih.

Internal kontrol yang efektif, selain dapat menekan benih kecurangan juga

dapat memahami permasalahan dan kekurangan yang terjadi di dalam lembaga,

kemudian memacu pihak manajemen menyusun strategi untuk menyelesaikan masalah.

Tatkala sistem ini berlangsung akan mendorong pihak manajemen menyusun strategi

perencanaan dan kesiapan diri serta kebersamaan yang lebih berorientasi pada

pertimbangan jangka panjang daripada tujuan jangka pendek untuk kesuksesan dan

antisipasi permasalahan di waktu yang akan datang. Dalam kaitan ini, Olsen dan Eadie

(1982) mengatakan bahwa dukungan dan komitmen orang-orang penting pembuat

keputusan merupakan hal yang vital. Salah satu indikasinya rencana strategis

berorientasi pada pertimbangan jangka panjang adalah manajemen memberikan

prioritas tinggi untuk kegiatan peningkatan kapasitas, baik untuk pendidikan dan

pelatihan maupun bagi investasi untuk mengadopsi teknologi dalam rangka

meningkatkan pelayanan kepada pelanggan sehingga terbangun citra yang baik bagi

lembaga (Chapra & Ahmed, 2002).

Mendorong terbangun serta tumbuhnya whistle blowers berkaitan dengan

kesadaran bersama untuk saling mengingatkan agar pihak internal tidak berupaya

melakukan tindakan menyimpang dari ketentuan yang berlaku, karena hal itu akan

Page 18: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

18

menimbulkan keberanian pihak internal lainnya untuk menyuarakan indikasi atau

penyimpangan tersebut. Dengan demikian, diperlukan kebijakan khusus untuk

membangun suasana kondusif bagi tumbuhnya whistle blower tersebut karena dapat

menimbulkan situasi tidak nyaman, kekerasan, dan bahkan sampai dapat

menghilangkan pekerjaan seseorang.

Pada lembaga LKS pemegang saham adalah pasar filantropi yang

mendonasikan sebagian hartanya, para donatur tidak pernah berpikir tentang risiko

apabila tidak mengharapkan keuntungan materi atau menarik modal sehingga tidak

memiliki risiko apapun, dan sesama donatur belum tentu saling mengenal satu sama

lain. Atas dasar itu, LKS sebagai lembaga yang dipercaya oleh para donatur melalui

agen yang dipercaya untuk mengelola donasi tersebut, perlu membangun transparansi

yang tinggi kepada pasar filantropi, dan jika diketahui terjadi whistle blower di LKS

akan dihentikan donasinya. Kondisi seperti ini apabila tidak segera diantisipasi secara

dini sangatlah berisiko karena dapat mempengaruhi secara sistemik ketika terjadi

penghentian masal, sebab dana LKS sebagian besar berasal dari pasar filantropi.

Namun, selama ini hak pasar filantropi tersebut relatif diabaikan, artinya para donatur

belum pasti mendapatkan laporan atau informasi tentang operasional donasinya.

Dengan demikian, peningkatan kualitas korporasi tatakelola pada lembaga

kesejahteraan sosial dapat dilakukan dengan memperhatikan aspek keterbukaan pada

model keterwakilan para donatur tersebut di BOD. Perihal mekanisme penyerahan

donasi serta mekanisme penyaluran donasi semestinya transparan dan akan lebih baik

jika setiap kelompok pasar filantropi memahaminya dan mendapatkan informasi atau

laporan perjalanan donasi tersebut, walaupun sebagian donatur tidak ingin mengetahui

perjalanan donasinya sebab percaya bahwa LKS akan menyalurkan donasinya secara

benar (BK3S DIY, 2005).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, pemeran kunci pada LKS terdiri dari

kelompok Bord yang terdiri dari Pendiri, Pembina, Pengawas dan Pengurus Yayasan,

Kelompok Eksekutif LKS terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara, dan urusan bidang

sesuai dengan kebutuhan LKS masing-masing, Pihak eksternal terdiridari pasar

filantropi, Pemerintah, masyarakat dan keluarga klien.

Penghambat Responsibilitas

Ditemuka enam kelemahan penerapan prinsip good corporate governance

pada lembaga kesejahteraan sosial di DIY, yaitu :

1. Lemahnya pemerintah dan supra LKS dalam melakukan control terhadap LKS.

2. Tingginya tolerensi masyarakat di sekitar LKS, dalam hal ini masyarakat kurang

peduli terhadap keberdaan LKS.

Page 19: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

19

3. Lemahnya peranan the board of directors dalam mengendalikan pengelolaan

organisasi. Board of directors kurang aktif dalam menganalisis startegi

management organisasi.

4. Sebagian merasa bebas mengelola donatur, karena donatur tidak pernah melakukan

audit, mereka percaya bahwa donasinya disalurkan secara baik dan benar. Sehingga

pengambilan keputusan–keputusan penting yang bersangkutan dengan

kelangsungan hidup organisasi.

5. Tidak transparan, akurat dan tepat waktunya pengungkapan laporan perkembangan

organisasi dan keuangan oleh board of directors kepada pendiri dan pasar

filantropi.

6. Problem auditor, banyak LKS yang belum melakukan melakukat audit atas donatur,

baik donatur tetap maupun donatur tidak tetap. Ketakutan pengurus akan kelemhan

atau penyimpangan atas pengunaan donasi.

Pendorong Responsibilitas

Corporate governance menurut John dan Alan (2011) adalah subjek yang

memiliki banyak aspek. Tema utama dari corporate governance adalah masalah

akuntabilitas dan tanggung jawab mandat. Aspek lain dari corporate governance

seperti sudut pandang pemangku kepentingan atau stakeholders yang menuntut

perhatian, transparansi, pertanggungjawaban atau responsibilitas serta keadilan lebih

terhadap pihak-pihak selain pasar pilantropi misalnya terhadap karyawan, masyarakat,

relawan dan lingkungan. Perhatian terhadap praktik tata kelola organisasi nonprofit

telah meningkat, sebagi bukti adanya kekwatiran terhadap:

1. Kebutuhan internal, adanya kesadaran BOD dan Ketua LKS atas upaya pemenuhan

tuntutan eksternal, kesadaran meningkatkan kualitas SDM, berupaya memenuhi

standar pelayanan dan standar fasilitas. Sebagai contoh ada kesadaran BOD

menyekolahkan atau staf untuk memenuhi atauran atas tuntutan eksternal dan

berupaya memenuhi hak-hak klien.

2. Tekanan eksternal

Idealnya LKS yang sehat BOD dan manager tidak ada yang menyembuyikan

informasi dan informasi dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan

dengan tetap memperhatikan etik, atas kewenangan masing-masing. Kenyataan

beberapa LKS belum berani memberikan informasi secara transparan kepada pihak-

pihak yang membutuhkan sebagi bukti ketika LKS diberi burang banyak yang diisi

tidak sesuai dengan fakta dilapangan., ketika ada kebijakan baru untuk menata LKS

masih ada beberapa LKS yang menolak atau kontra, contoh mensosialisasikan

standar nasional anak (SNPA) butuh waktu dua tahun.

Page 20: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

20

3. Negara butuh untuk mengatur LKS

Kebijakan Negara yang dibebankan kepada LKS ditanggapi secara pro kontra,

bentuk pro pengelola LKS bersikap aktif mendiskusikan dan mengutarakan

kesulitan selanjutnya mencari jalan keluar bersama. LKS yang kontra tidak

merespon dan pura-pura tidak tahu, bahkan di undang ke Dinas Sosial atau BK3S

tidak hadir tanpa informasi. Disisi lain Dinas Sosial dan BK3S mengundang dalam

rangka memiliki tanggungawab sebagi kebutuhan untuk mengatur dan

mensosialisasikan aturan yang seharusnya dikerjakan para pengelola dalam sifat

yang wajib, contoh LKS waib membuat laporan pertanggugjawaban kepada

pemerintah setiap 4 bulan sekali, enam bulan dan laporan tahunan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Organisasi nirlaba sebagai wujud dari organisasi masyarakat yang berangkat

dari masyarakat dan kembali kepada masyarakat itu sendiri dituntut untuk dapat

menyajikan laporan keuangannya secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kepentingan pengguna laporan adalah untuk menilai jasa organisasi dan kemampuan

going concern dan menilai cara manajer melaksanakan tanggungjawab dan aspek

kinerja manajer. Selain itu dengan adanya laporan keuangan yang jelas dan transparan

memberikan kemudahan manajer untuk membuat suatu pertanggungjawaban kepada

pengguna laporan.

Bentuk-bentuk pelanggaran prinsip pertanggungjawaban (Responsibilitas)

yang teradi pada LKS seperti sulitnya public mengakses informasi donasi dan

pelayanan klien belum memenuhi hak-hak klien sesuai Deklarasi Hak Asasi Manusia

(HAM) atau Universal Independent of Human Righ dicetuskan pada tanggal 10

Desember 1948 dan HAM sesuai dengan UUD 1945.

Pelanggaran dan kejahatan di LKS merupakan pelanggaran dan kejahatan yang

khas yang dilakukan oleh pelaku BOD ataupun manager, sehingga merugian LKS itu

sendiri. Karena dapat menurunkan tingat kepercayaan stakeholder. Pemerintah dan

assosiasi LKS seharusnya memberikan sanksi yang tegas pelaku moral hazard agar

LKS yang menjadi jera Marshall et al (1985), kejahatan korporasi adalah setiap

tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, apakah

di bawah hukum administratif, hukum perdata atau hukum pidana.

Jadi keterbukaan ini merupakan suatu bentuk perlindungan kepada masyarakat

investor para donatur dan stakeholder lain yang semuanya punya hak atas perlindungan

tersebut. Dari segi substansial, keterbukaan memampukan publik untuk mendapatkan

akses informasi penting yang berkitan dengan perusahaan. Ditinjau dari segi yuridis,

keterbukaan merupakan jaminan bagi hak publik untuk terus mendapatkan akses

Page 21: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

21

penting dengan sanksi untuk hambatan atau kelalaian yang dilakukan perusahaan.

Pengenaan sanksi yang termuat dalam Undang – Undang No. 8 Tahun 1995 serta

penegakan hukum atas setiap pelanggaran terhadap ketentuan mengenai keterbukaan

atau transparansi ini menjadikan pemegang saham atau investor terlindungi secara

hukum dari praktik–praktik manipulasi dalam organisasi publik. Karena keterbukaan

sebagai pertanggungjawaban hukum emiten, perusahaan publik dan perusahaan

terbuka dalam menjalankan keterbukaan informasi kepada investor atau publik. Dalam

kode etik profesi Pekerjaan Sosial dijelaskan bahwa Pekerja Sosial Profesional harus

senantiasa bertindak dengan integritas profesional, yaitu: a. Mewaspadai dan menolak

pengaruh-pengaruh dan tekanan-tekanan yang membatasi kebebasan profesionalnya. b.

Tidak menggunakan hubungan profesional demi kepentingan pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

Antonius, A dan Subarto, Z., (2004). Komisaris Independence Pengerak Praktek GCG

Di Perusahaan. Penerbit Kota Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.

Antonella, S., (2001), Debt as a Device for Corporate Control-the Case of Countries in

Transition. Journal on International Banking Law, Vol. 16 (2). Hlm 48.

Berle, A.A., and Means. G.C., (1932), The Modern Corporation and Private Property.

Macmillan Company, New York.

Cadbury, R., (1992), Report of Committee on The Financial Aspects of Corporate

Governance. Great Britain:Gee.

Chapra, M.U., & Ahmed, H., (2002). Corporate Governance in Islamic Financial

Institutions. Islamic Research and Training Institute, Islamic Development

Bank, Jeddah.

Charron, D.C., (2007), Stockholder and Stakeholder: The Battle from Control of The

Corporation. Cato Journal; 27,1.

Dewan Standar Akuntansi Keuangan, (2011), Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

Nomor.45 Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba. Jakarta:IAI.

Fadilah, A., (2012), Konflik Stakeholders : Studi Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Lembaga Pers Mahasiswa Yogyakarta.

Farahmand, Nasser Fegh-hi. (2011). Organizational Technology Management by

Humanware as Important Technology Factor. Research on Humanities and

Social Sciences www.iiste.org ISSN 2224-5766 (Paper) ISSN 2225-0484

(Online) Vol.1, No.3, 2011.

Page 22: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

22

Financial Accounting Standards Board, (1980), Statements of Financial Accounting

Concepts No. 4 Objectives of Financial Reporting by Nonbusiness

Organization. USA:.FASB.

Hayden, G., and Court, J., (2004), Governance and Development: World Governance

Survey Discussion Paper 1: United NationUniversity.

John, L and Alan, D., (2011), Company Law. Edisi ke 7, Oxford, University Press.

John, C., (1977), Reinenting Your Board (san Francisco: Jossey-Baa, 1977), p.18.

Kadjeng, I.N., dkk, (1977), Sarasamuccaya, C.V. Junasco. Jakarta.

Kooskora, M., ( 2008), Corporate Governance from the stakeholder perspective, in the

context of Estonian business organizations. Baltic Journal of Management.

Vol. 3 No. 2, pp.193-217.

La Porta, R., Lopez-de Silanes, F.,& Shleifer, A. (1999). Corporate Ownership Arund

the World . Journal of Finance, 54, 471-517.

Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager., (1985), Corporate Ethics And Crime The

Role Of Middle Management, Sage Publications. USA.

Mason, M., & O’ Mahoney, J., (2008), Post-traditional Corporate Governance. The

Journal of Corporate Citizenship; Autumn 2008;31.

Meth. Kusumahadi, (2011), Posisi dan Langkah Strategis BK3S-DIY Dimasa

Mendatang, Satunama, Yogyakarta.

Zulkhibri, M., (2014), Regulation governing non-profit organizations in developing

countries: A comparative analysis, International Journal of Lawa and

Management, Vol. 56 Issue: 4, pp 251-273.

Olsen, J. B., and Eadie, D.C., (1982), The Game Plan : Governance with Foresight.

Washington : Council of Stare Planning Agencies.

Pierre, J., and Peters, B.G., (2002), Governance, Politics and the State. New York: St.

Martin’sPress-Reno.

Syaflan, M., (2013), Tipologi Governance Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Di Daerah

Istimewa Yogyakarta, Desertasi Fakultas Ekonomi Universitas Islam

Indonesia.

Sektiono, D., and Nugraheni, R., (2016), Implementasi Good Governance Lembaga

Swadaya Masyarakat. Studi Kasus Pada Aksi Cepat Tanggap Cabang

Semarang. Universitas Diponegoro, Semarang Indonesia.

Page 23: PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD …...pada 1970-an sebagai akibat skandal korporasi dengan kegiatan politik yang tidak sehat (Cadbury, 1992). Struktur corporate governance

23

Schwitzgebel, E., (2006), "Belief", di Zalta, Edward, The Stanford Encyclopedia of

Philosophy, Stanford, CA: The Metaphysics Research Lab, diakses tanggal 2-

11-2016.

Sheffied J. and White, S., (2004), Control self-assessment as a route toorganizational

excellence: AScottish Housing Association Case Study Managerial Auditting

Journal: 19,4;pg.484.

Sugiyanto, (2018), Tipologi Governance Lembaga Kesejahteraan Sosial. Studi kasus

di LKS Mardi Wuto dan Hamba DIY. Desertasi Fakultas Ekonomi Universitas

Islam Indonesia.

Sukariyadi, U., (2014), Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi

Sumber Kesejahteraan Sosial DIY, Dinas Sosial Daerah Iistimew Yogyakarta.

Taylor, F.W., (1967), The Principles of Scientific Management, The Narton. Library.

New York.

Thomas, C., (1910), The Modern Corporation, Then Ronald Press. New York.

Vardiansyah, D., (2008), Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta.

Voss, G.L., (1976), Seashore life of florida and the Carribbean. Banyan Books, Inc.

Miami, Florida.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan

Sosial.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000, tentang Pendidikan

dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 184 Tahun 2011 tentang

Lembaga Kesejahteraan Sosial.

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 tentang Akriditasi

Lembaga Kesejahteraan Sosial.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar

Nasional Lembaga Kesejahteraan Sosial.

Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002

tentang Penerapan Good Corporate Governance pada BUMN.