PFM_Aceh_full_bhs

download PFM_Aceh_full_bhs

of 110

Transcript of PFM_Aceh_full_bhs

PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI ACEHMengukur Kinerja Pemerintah Daerah di Aceh

WORLD BANK OFFICE JAKARTA Jakarta Stock Exchange Building Tower II/12 th floor Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12910 Tel: (+62-21) 5299-3000 Fax: (+62-21) 5299-3111 Website: www.worldbank.or.id Website: www.decentralizationindonesia.org Dicetak pada bulan Maret 2007Laporan ini disusun oleh staf Bank Dunia. Penemuan, interpretasi dan kesimpulan yang terdapat dalam laporan ini tidak selalu mencerminkan pandangan dari Dewan Eksekutif Direktur Bank Dunia atau pemerintah-pemerintah yang mereka wakili.

PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI ACEHMengukur Kinerja Pemerintah Daerah di Aceh

Pengelolaan Keuangan Publik di AcehMengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

Ucapan Terima KasihLaporan ini disusun oleh Bank Dunia bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Laporan ini ditulis oleh Peter Rooney (Bank Dunia, Jakarta) dengan bimbingan Ahya Ihsan dan Enrique Blanco Armas (Bank Dunia, Banda Aceh). Proses pembuatan laporan ini berada dibawah pengarahan Wolfgang Fengler (Bank Dunia). Kami ingin berterima kasih kepada Victor Bottini (Bank Dunia, Resident Representative, Banda Aceh) atas dukungan dan bantuan yang diberikan terhadap penelitian dan diseminasi laporan, juga kepada Cut Dian Rahmi, Ahmad Zaki, Sylvia Njotomihardjo dan Niltha Mathias atas kontribusi yang telah diberikan. Selain itu kami ingin berterima kasih kepada fotographer Ramli, Damrudin, Athaillah dan YanAli Zebua. Kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kami kepada BRR atas segala dukungan yang telah diberikan, terutama kepada Tedy Jiwantara Sitepu dan Sudirman Said. Kami juga berterima kasih kepada USAID-LGSP, terutama kepada Andrew Urban, untuk dukungan beliau, atas pelatihan untuk para peneliti dan atas pengorganisiran tahap pertama dari penelitian. Task Manager untuk persiapan kerangka PKP adalah Rajiv Sondhi, Senior Financial Management Specialist di Bank Dunia. Jessica Ludwig berperan sangat penting dalam pembuatan kerangka dan masukan-masukan beliau dalam pelaksanaan sangat berharga. Kami berterima kasih atas dukungan dan masukan yang telah diberikan oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, AusAID, Asian Development Bank, Canadian International Development Agency, GTZ, USAID dan DSF.

v

Pengelolaan Keuangan Publik di AcehMengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

Kata PengantarPemerintah daerah memainkan peran yang semakin penting dalam pelayanan publik di Indonesia. Dengan semakin banyaknya tanggung jawab fiskal yang diserahkan ke daerah saat ini, pemerintah daerah memiliki peran yang jauh lebih besar dalam pelayanan publik. Di Aceh, pemerintah daerah memainkan peranan penting. Sejak penandatanganan kesepakatan perdamaian pada bulan Agustus 2005 dan pemilihan kepala daerah yang telah berhasil dilaksanakan pada Agustus 2006, dua puluh satu pemerintah daerah di Aceh memiliki momentum berharga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui perbaikan akses terhadap pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang lebih baik dan kesempatan untuk pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah Aceh, bersama-sama dengan pemerintah propinsi, mengendalikan dana dalam jumlah besar. Sekarang adalah saatnya untuk memastikan bahwa dana tersebut dikelola dengan bijaksana untuk kepentingan semua masyarakat Aceh. Dengan pengelolaan sumber daya publik yang efisien, transparan, dan efektif pada tingkat daerah, dana ini memiliki potensi untuk merubah Aceh. Laporan penelitian ini merupakan hasil kerjasama antara BRR NAD-Nias, Bank Dunia, Unsyiah dan USAID-LGSP. Laporan ini mewakili sebagian dari upaya kolektif yang tengah dijalankan untuk membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik. Laporan ini disusun terutama untuk pemerintah-pemerintah daerah di Aceh, yang merupakan pemimpin perubahan. Dengan adanya laporan ini diharapkan pemerintah daerah dapat mengidentifikasi dan menangani aspek-aspek pengelolaan keuangan yang membutuhkan perhatian segera. Nilai yang buruk tidak berarti kegagalan, namun suatu kesempatan untuk memperbaharui upaya dan mencari cara untuk memperbaiki kinerja. Dengan pendekatan ini, kita dapat bergerak dari penelitian ke rencana kerja yang komprehensif. BRR berterima kasih atas dukungan dari semua pihak yang terlibat, dan khususnya kepada pemerintah-pemerintah daerah Aceh sendiri yang telah banyak memberikan kontribusi dalam laporan ini. Assalamu alaikum.

Deputi Kelembagaan dan Pengembangan SDM

vi

Pengelolaan Keuangan Publik di AcehMengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

Daftar IsiBab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4 Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh ........................................................................ 1 Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil, dan indikator................................................. 3 Survei PKP di Aceh........................................................................................................ 9 Rincian Hasil dan Analisis ..........................................................................................194.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 Bidang Strategis 1: Kerangka peraturan perundangan daerah .....................................21 Bidang Strategis 2: Perencanaan dan Penganggaran ....................................................23 Bidang Strategis 3: Pengelolaan kas ...............................................................................25 Bidang Strategis 4: Pengadaan barang dan jasa............................................................27 Bidang Strategis 5: Akuntansi dan pelaporan.................................................................29 Bidang Strategis 6: Audit Internal ....................................................................................30 Bidang Strategis 7: Hutang dan Investasi .......................................................................32 Bidang Strategis 8: Pengelolaan Aset..............................................................................33 Bidang Strategis 9: Audit Eksternal..................................................................................35

Bab 5 Bab 6

Isu-isu Utama ..............................................................................................................37 Langkah ke depan ......................................................................................................43Kerangka Pengukuran Bidang Strategis dan Indikator ...............................................47 Kerangka Pengukuran, Bidang, Hasil Dan Indikator.......................................................49 Hasil PKP di setiap kabupaten/kota................................................................................70 Metodologi .........................................................................................................................93 Universitas dan Peneliti ....................................................................................................95 Hasil PKP di setiap pemerintah daerah di Aceh..............................................................96

Lampiran 1: Lampiran 2: Lampiran 3: Lampiran 4: Lampiran 5: Lampiran 6:

Daftar Gambar, Tabel dan DiagramGambar 1. Tabel 1. Tabel 2. Diagram 1. Diagram 2. Diagram 3. Diagram 4. Diagram 5. Diagram 6. Diagram 7. Diagram 8. Diagram 9. Diagram 10. Diagram 11. Diagram 12. Diagram 13. Diagram 14. Struktur kerangka PKP.............................................................................................. 6 Pedoman penilaian kerangka PKP...........................................................................12 Nilai PKP berdasarkan bidang strategis untuk pemerintah daerah di Aceh ...............13 Jumlah indikator pada setiap bidang strategis ........................................................... 6 Nilai PKP untuk masing-masing 21 Pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi ........12 Pebandingan Pemerintah Daerah dengan Kinerja Terbaik dan Kinerja Terburuk ......15 Perbandingan Kinerja Pemerintah Daerah yang sudah lama terbentuk dengan Pemerintah Daerah yang baru terbentuk .................................................................16 Rata-Rata nilai PKP berdasarkan bidang strategis ...................................................14 Kerangka Peraturan Perundangan Daerah ..............................................................22 Perencanaan dan Penganggaran ............................................................................23 Pengelolaan Kas .....................................................................................................26 Pengadaan .............................................................................................................28 Akuntansi dan Pelaporan ........................................................................................29 Audit Internal ..........................................................................................................31 Hutang dan Investasi publik ....................................................................................32 Pengelolaan aset ....................................................................................................34 Audit eksternal dan pengawasan ............................................................................36

vii

Pengelolaan Keuangan Publik di AcehMengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

Daftar Istilah: Akronim dan SingkatanAPEA BPK BPKP Bappeda Bawasda BPKD BUMD DAU Dana Otsus Dispenda DPRD DSF Inpres Juknis/Juklak Kepmendagri Keppres KPPU LGSP LKPJ Depkeu Depdagri Musbangdes PAD PDAM Perda PKP Qanun Renstra RKA-SKPD RPJMD Sekda SK Bupati SKPD SKO SPM SPP USAID Kajian Pengeluaran Publik Aceh (Aceh Public Expenditure Analysis) Badan Pengawasan Keuangan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Pengawasan Daerah Badan Pemeriksa Keuangan Daerah Badan Usaha Milik Daerah Dana Alokasi Umum Dana Otonomi Khusus Dinas Pendapatan Daerah Dewan Perwakilan Raykat Daerah Decentralized Support Facility Instruksi Presiden Petunjuk Teknis/Petunjuk Pelaksana Keputusan Menteri Dalam Negeri Keputusan Presiden Komite Pengawas Persaingan Usaha Local Government Support Program Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Departemen Keuangan Departemen Dalam Negeri Musyawarah Pembangunan Desa Pendapatan Asli Daerah Perusahaan Daerah Air Minum Peraturan Daerah Pengelolaan Keuangan Publik Peraturan Daerah (Syariah Islam) Rencana Stategis Rencana Kerja dan Anggaran-Satuan Kerja Pemerintah Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Sekretariat Daerah Surat Keputusan Bupati Satuan Kerja Perangkat Daerah Surat Keputusan Otorisasi Surat Perintah Membayar Surat Permohonan Pembayaran United States Agency for International Development

viii

Pengelolaan Keuangan Publik di AcehMengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

IkhtisarKapasitas pengelolaan keuangan di Aceh sangat beragam antar pemerintah daerah yang satu dengan yang lain. Beberapa pemerintah daerah memiliki hasil yang cukup baik dalam kapasitas pengelolaan keuangan, sementara beberapa pemerintah daerah lainnya masih tertinggal. Perbedaan kapasitas pengelolaan keuangan juga ditemui di dalam masingmasing pemerintah daerah. Hasil rata-rata menunjukkan kelemahan, terutama di dalam bidang akuntansi dan pelaporan, pengelolaan kas dan audit eksternal.

Kerangka Pengelolaan Keuangan Publik (PKP)Survei Pengelolaan Keuangan Publik dilaksanakan di setiap pemerintah daerah di Aceh antara Mei sampai November 2006. Penilaian kapasitas didasarkan pada sembilan bidang utama pengelolaan keuangan: (1) Kerangka peraturan perundangan daerah; (2) Perencanaan dan penganggaran; (3) Pengelolaan kas; (4) Pengadaan; (5) Akuntasi dan pelaporan; (6) Audit internal; (7) Hutang dan investasi publik; (8) Pengelolaan aset; dan (9) Audit eksternal dan pengawasan. Setiap bidang strategis dibagi menjadi satu sampai lima hasil dan terdapat serangkaian indikator yang membutuhkan jawaban ya/tidak untuk setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang strategis dan indikator digunakan untuk menilai sejauh mana keberhasilan pemerintah kabupaten dalam mencapai hasil tersebut. Kerangka PKP memberikan gambaran sekilas atas kapasitas pengelolaan keuangan untuk setiap pemerintah daerah, dengan fokus terhadap kebijakan, prosedur dan peraturan, dalam arti lingkungan pengelolaan keuangan dalam pemerintah daerah. Bidang-bidang yang menjadi kelemahan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan sengaja di garis bawahi, sehingga dapat menunjukkan aspekaspek apa saja yang perlu diperbaiki. Sebelum survei PKP dilaksanakan, pengetahuan mengenai kapasitas pemerintah daerah sangat terbatas. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya laporan ini beserta analisisnya dapat memberikan masukan untuk penilaian kapasitas keuangan yang lebih efektif di Aceh dan dampaknya terhadap proses desentralisasi dalam propinsi.

Hasil PKPSecara keseluruhan, pemerintah daerah dengan nilai tertinggi adalah Aceh Utara (69 persen) dan yang terendah adalah Aceh Jaya (15 persen); sehingga nilai berada dalam rentang baik sampai dengan sangat buruk, berdasarkan panduan kerangka penilaian. Nilai rata-rata adalah 41 persen. Delapan pemerintah daerah mendapatkan nilai antara 39 sampai 42 persen dan enam pemerintah daerah mendapatkan nilai di bawah 39 persen. Semua pemerintah daerah, kecuali tiga diantaranya, mendapat nilai yang buruk pada sedikitnya satu bidang strategis. Selama lebih dari lima tahun, setelah pelaksanaan desentralisasi, kapasitas pengelolaan keuangan di empat belas pemerintah daerah di Aceh masih relatif lemah.

ix

Pengelolaan Keuangan Publik di AcehMengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

Implikasi KebijakanHasil PKP ini memiliki empat aplikasi potensial. Pertama, dan yang paling penting, kerangka PKP ini beserta hasil PKP untuk masing-masing pemerintah lokal, dapat membantu pemerintah daerah dalam mengatasi kelemahan mereka dalam pengelolaan keuangan. Dengan mengidentifikasi bidang-bidang yang menjadi kelemahan mereka, pemerintah daerah dapat mengembangkan strategi untuk meningkatkan kapasitas pada bidang-bidang tersebut. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus diambil oleh pemerintah daerah adalah memastikan bahwa kebijakan, prosedur dan peraturan sudah tersedia dan kemudian memastikan hal-hal tersebut ditaati dan praktek-praktek pengelolaan keuangan yang baik dilembagakan dan dikembangkan lebih jauh lagi. Tanpa adanya ketaatan dan pelembagaan, upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas akan menjadi tidak efektif. Hasil PKP ini juga akan memungkinkan pembelajaraan sesama pemerintah lokal. Lembaga non-pemerintah dapat mendukung pemerintah daerah dalam mengembangkan kapasitas mereka dengan cara memberikan bantuan teknis dan pelatihan untuk peningkatan kapasitas, apabila diperlukan. Pemerintah propinsi bisa mengambil peran utama dalam mengembangkan strategi untuk semua pemerintah daerah di Aceh. Kedua, dengan menggaris bawahi bidang-bidang utama yang memiliki kelemahan kapasitas,, akan memungkinkan badan-badan yang merencanakan untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengikutsertakan kapasitas pengelolaan keuangan dan pemerintah daerah tertentu dalam bentuk kerja sama yang spesifik.. Ketiga, dalam rangka mendorong pendekatan yang pro-aktif oleh pemerintah daerah perlu diberikan insentif untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan keuangan, sebagai contoh dengan mengaitkan sebagian alokasi dana otonomi khusus dengan perbaikan kapasitas. Yang terakhir, dengan mengikuti perubahan kapasitas pengelolaan keuangan, pemerintah Indonesia dapat membuat penilaian yang lebih akurat terhadap dampak desentralisasi di Aceh. Dengan demikian, hal kebijakan dan peraturan dalam konteks desentralisasi dapat lebih diidentifikasi, juga dalam kemajuan reformasi dan pelayanan publik dapat dipantau lebih baik.

x

Bab 1Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh

Bab 1: Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh

Sejak tahun 2001, Indonesia telah menjalani transformasi yang mendasar dari pemerintahan yang tersentralisasi menjadi pemerintahan yang terdesentralisasi. Namun, sampai saat ini, pemahaman mengenai transisi kekuasaan dan tanggung jawab menyangkut sumber daya publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam berbagai kapasitas masih sangat terbatas. Terutama, status otonomi khusus Aceh telah memberikan propinsi ini persentase sumber daya keuangan yang bahkan lebih besar lagi bagi pemerintah daerah. Ketiadaan informasi yang sistematis baik kualitatif maupun kuantitatif mengenai bagaimana desentralisasi fiskal ini dikelola oleh kabupaten telah menjadi pemicu untuk mengembangan kerangka pengukuran untuk pemerintah daerah di Indonesia. Kerangka PKP merupakan salah satu dari empat pilar kerangka pengukuran pemerintah daerah. Pilar-pilar lainnya adalah pemberian layanan publik, iklim investasi, dan kesehatan fiskal. Dengan mengukur kinerja dalam empat bidang utama ini, penilaian yang sistematis terhadap kinerja pemerintah daerah dapat dilakukan. Untuk Aceh, kapasitas pengelolaan keuangan yang efektif di tingkat pemerintah daerah penting untuk pencapaian tujuantujuan pembangunan jangka panjang. Beberapa faktor telah membatasi kapasitas pengelolaan keuangan di Aceh. Pertama, desentralisasi yang dilakukan secara cepat di Indonesia yang merupakan pengalihan tanggung jawab fiskal dan penyerahan sumber daya keuangan kepada pemerintah daerah tidak diikuti oleh peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya tersebut. Mengingat sebelum desentralisasi tugas utama pemerintah daerah hanyalah menjalankan proritas pembangunan pemerintah pusat, sistem pengelolaan keuangan tidak dirancang untuk mengatasi perubahan pengaturan fiskal. Kedua, Aceh telah mengalami peningkatan jumlah pemerintah daerah sejak tahun 2000. Sampai bulan November 2006, dari 21 pemerintah daerah yang ada, 11 diantaranya dibentuk setelah tahun 2000. Walaupun hal ini tidak serta merta berarti kapasitas pengelolaan keuangan akan selalu lebih rendah pada pemerintah daerah yang baru dibentuk, hasil dari survei PKP mengindikasikan bahwa, secara rata-rata, hasil pengelolaan keuangan lebih rendah pada pemerintah daerah yang baru, Sebelum diadakannya survei PKP, pengetahuan mengenai kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah di Aceh dan di seluruh Indonesia pada umumnya masih kurang. Apabila keefektivitasan atas desentralisasi hendak dinilai secara efektif, salah satu komponen utama penilaian ini adalah kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola keuangan mereka. Jika pengelolaan keuangan masih lemah setelah lima tahun sejak perubahan yang dibawa oleh desentralisasi, hal ini berarti tujuan-tujuan desentralisasi masih belum tercapai di Aceh. Yang lebih penting dari penilaian pengelolaan keuangan secara keseluruhan adalah tujuannya untuk membuat gambaran yang rinci mengenai kapasitas pengelolaan keuangan masing-masing pemerintah daerah di seluruh Aceh, dan di Indonesia pada umumnya, karena pada saat ini pemerintah daerahlah yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kehidupan masyarakat. Berangkat dari argumen ini, kerangka PKP dibuat untuk menfasilitasi penilaian dan analisis kapasitas pengelolaan keuangan pada tingkat daerah. Pengetahuan ini memiliki beberapa aplikasi. Pertama, hasil dan analisis akan disebarkan kepada pemerintah daerah itu sendiri. Sehingga, pemerintah daerah akan mendapatkan penilaian yang akurat dan independen mengenai kapasitas pengelolaan keuangan mereka sendiri dan dapat berfokus untuk memperbaiki bidang-bidang utama yang menjadi kelemahan mereka. Kedua, badan-badan pemerintah lainnya, seperti BRR dan pemerintah propinsi, dapat menggunakan hasil yang diperoleh untuk merancang intervensi peningkatan kapasitas dan juga untuk merancang program yang lebih baik dengan memperhitungkan

1

Bab 1: Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh

kekuatan dan kelemahan tertentu dalam kapasitas pengelolaan keuangan. Begitu juga donor akan dapat merancang intervensi peningkatan kapasitas dan mengakomodasi kapasitas pemerintah daerah dalam berbagai bentuk program secara lebih baik. Ketiga, hasil dan analisis juga dapat digunakan untuk memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas PKP mereka. Sebagai contoh, apabila survei ini diadakan kembali setiap tahun atau setiap dua tahun, perubahan kapasitas PKP dapat diidentifikasi. Pemerintah daerah dengan kinerja yang bagus dapat diberikan penghargaan berupa tambahan pendapatan melalui dana otonomi khusus untuk mendorong perbaikan yang lebih jauh, sementara pemerintahan yang terus menerus berkinerja buruk dapat dikecualikan dari menerima sumber tambahan pendapatan ini. Hal ini dapat menjadi bagian dari keseluruhan strategi untuk memberikan bantuan bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kapasitas pengelolaan keuangan mereka.

2

Bab 2Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil, dan indikator

Bab 2: Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil dan indikator

Kerangka PKP dikembangkan oleh Bank Dunia dan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia untuk menilai kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Kerangka ini terbagi menjadi sembilan bidang strategis yang utama untuk pengelolaan keuangan publik yang efektif pada tingkat pemerintah daerah: (1) kerangka peraturan perundangan daerah; (2) perencanaan dan penganggaran; (3) pengelolaan kas; (4) pengadaan; (5) akuntasi dan pelaporan; (6) audit internal; (7) hutang dan investasi publik; (8) pengelolaan aset; dan (9) audit eksternal dan pengawasan. Setiap bidang stragis terbagi atas satu hingga lima hasil, dan sebuah daftar indikator diberikan untuk setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang strategis dan indikator-indikator digunakan untuk menilai sejauh mana pemerintah daerah telah berhasil mencapai hasil-hasil ini. Walaupun kerangka ini menggunakan beberapa konsep dan perangkat dari PKP nasional dan internasional, kerangka PKP ini telah khusus dirancang untuk pemerintah daerah di Indonesia. Sehingga, walaupun standar minimum internasional telah ditetapkan, standar tersebut tidak dijadikan dasar dalam mengidentifikasi hasil-hasil yang ideal, atas pertimbangan bahwa standarstandar tersebut terlalu tinggi untuk membuat penilaian yang valid terhadap pemerintah daerah dalam konteks Indonesia. Responden diminta untuk memberikan jawaban ya atau tidak untuk setiap pernyataan pada masing-masing indikator. Respon positif dijumlahkan pada setiap hasil dan nilai diperhitungkan berdasarkan persentase atas jawaban ya. Persentase nilai kemudian diberikan untuk setiap hasil yang diinginkan yang mencerminkan sejauh mana pemerintah daerah telah berhasil mencapai hasil ini. Dengan menjumlahkan semua jawaban positif pada setiap bidang strategis, didapatkan nilai yang mencerminkan kapasitas pemerintah daerah pada aspek pengelolaan keuangan tersebut. Hasil penilaian didapatkan melalui wawancara dan kelompok diskusi terarah dengan perwakilan pemerintah daerah pada departemen-departemen terkait. Perwakilan pemerintah termasuk: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), bagian keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dinas pendapatan daerah, kantor kas daerah dan Badan Pengawasan Daerah (lihat Lampiran 4). Untuk memastikan keakuratan data jawaban ya harus didukung oleh dokumen yang relevan atau/dan diperiksa silang dengan responden tambahan. Sebagian besar hasil dapat dikumpulkan dalam tempo tiga atau empat hari.

5

Bab 2: Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil dan indikator

Gambar di bawah ini menunjukkan struktur kerangka, dengan fokus pada salah satu bidang strategis sebagai contoh. Gambar 1. Struktur Kerangka PKP Pemerintah Daerah Kapasitas Pengelolaan Keuangan

Bidang Strategis 1: Kerangka peraturan perundangan daerah

2

3

4

5

6

7

8

9

Hasil 1: Kerangka peraturan daerah menyediakan dasar penegakan hukum dan struktur organisasi yang efektif

Hasil 2: Kerangka peraturan daerah yang komprehensif diharuskan oleh perundangan nasional mengenai pengelolaan keuangan daerah

Hasil 3: Kerangka peraturan daerah mencakup pengukuran untuk meningkatkan tranparansi dan partisipasi masyarakat

12 indikator

7 indikator

6 indikator

Beberapa bidang strategis memiliki lebih banyak indikator dibanding bidang strategis lainnya. Sebagai contoh, perencanaan dan penganggaran memiliki 53 indikator, sedangkan hutang dan investasi publik hanya memiliki 8 indikator. Nilai keseluruhan untuk masing-masing pemerintah daerah adalah perhitungan rata-rata dari sembilan bidang strategis, sehingga, setiap bidang strategis memiliki bobot yang sama dalam perhitungan.

Diagram 1. Jumlah indikator pada setiap bidang strategis

22 8 18

9

25

Kerangka peraturan perundangan daerah Perencanaan dan penganggaran Pengelolaan kas53

Pengadaan Akuntansi dan pelaporan Audit internal Hutang dan investasi Pengelolaan aset50 44

27

Audit dan eksternal dan pengawasan

6

Bab 2: Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil dan indikator

Keterbatasan kerangka iniKerangka pengukuran ini dirancang untuk menjadi sekomprehensif mungkin. Namun, beberapa kekurangan tidak dapat dihindari. Kerangka ini tidak dapat mengukur semua hal yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan akuntabilitas pemerintah daerah. Kerangka ini mempertimbangkan apa yang mungkin dan yang realistis untuk dilakukan dalam pemerintah daerah Indonesia. Oleh sebab itu, indikator-indikator mengarah kepada dasar yang bukan saja dibutuhkan tetapi juga dinilai memungkinkan untuk dicapai. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan model terhadap perbaikan yang relatif kecil dalam bidang PKP yang kemungkinan dapat direalisasikan oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia, setidaknya dalam jangka pendek. Kerangka ini dirancang agar mudah digunakan. Tingkat selektivitas tertentu diterapkan dalam mengikutsertakan hasil, indikator, dan pertanyaan-pertanyaan diagnostik tertentu dan mengesampingkan yang lainnya, sehingga kerangka ini dapat dengan mudah digunakan oleh surveyor. Lingkungan kontrol internal di beberapa institusi kunci PKP tidak tercakup sepenuhnya dalam model ini. Melaksanakan penilaian atas kontrol/pengendalian internal bisa menjadi suatu latihan yang sangat rumit. Oleh sebab itu, pada institusi-institusi utama PKP regional, seperti bagian akuntansi dan kas daerah hanya beberapa pertanyaan utama yang dimasukkan yang mencerminkan indikator-indikator secara luas di bidang pengendalian. Selain penting untuk memiliki prosedur dan kebijakan yang benar di tempat, penting juga untuk memastikan bahwa prosedur dan kebijakan ini benar-benar dijalankan di lapangan. Kerangka ini lebih mengarah kepada penilaian mengenai apakah kebijakan dan prosedur yang ada telah memadai, dan secara umum bergantung pada diskusi antara enumerator dan pegawai pemerintahan daerah. Terdapat kesulitan dalam mengindentifikasi praktekpraktek yang tidak sejalan dengan peraturan, kebijakan dan prosedur yang mengatur pengelolaan keuangan. Sehingga, hal ini berarti, nilai yang tinggi untuk misalnya audit internal tidak selamanya berarti audit internal dijalankan dengan tepat atau secara efektif. Melainkan, hal ini hanya berarti bahwa terdapat kebijakan dan prosedur untuk melakukan audit internal secara tepat. Perlu untuk dicatat bahwa pembuatan kerangka pengukuran disiapkan tanpa adanya informasi pendukung yang lengkap mengenai proses PKP yang saat ini dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia. Karena pada saat kerangka ini dibuat informasi-informasi tersebut tidak tersedia. Sehubungan dengan pengalaman mengaplikasikan kerangka ini di seluruh Aceh, penyesuaianpenyesuaian perlu untuk dilakukan pada masa yang akan datang agar kerangka ini lebih sesuai dengan konteks Indonesia dan lebih fokus untuk mendapatkan hasil-hasil PKP yang dapat diukur.

7

Bab 3Survei PKP di Aceh

Bab 3: Survei PKP di Aceh

Survei PKP di Aceh dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama melibatkan lima pemerintah daerah: Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya. Survei dilakukan selama bulan Mei sampai bulan Juni 2006. Kelima wilayah ini dipilih karena USAID-LGSP (Local Governance Support Program) memiliki program di lima pemerintahan daerah yang terkena dampak tsunami ini. LGSP mendanai survei tahap pertama ini dan memberikan pelatihan bagi para peneliti (suatu lokakarya tiga hari dilaksanakan di Medan pada bulan April 2006). LGSP dan Bank Dunia mengkoordinasikan kegiatan survei dan mengawasi pelaksanaan survei tersebut. Tahap kedua dilakukan pada empat pemerintah daerah: Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie dan Bireuen. Bank Dunia mendanai dan mengorganisir survei tahap kedua ini, yang dilakukan pada bulan Juli 2006. Tahap ketiga dilaksanakan pada 12 pemerintah daerah lainnya serta pemerintah propinsi pada bulan November 2006. Survei tahap ke-tiga ini didanai oleh BRR dan diorganisir oleh Bank Dunia. Laporan ini berfokus pada 21 pemerintah kabupaten maupun kota. Survei ini dilaksanakan oleh peneliti dari empat universitas di Indonesia: UNSYIAH di Banda Aceh, USU di Medan, dan UNHAS di Makassar dan UNAND di Padang. Beberapa peneliti juga dikontrak dari LSM-LSM yang ada di Aceh. Peneliti-peneliti ini memiliki latar belakang akademis yang solid di bidang pengelolaan keuangan, sebagian besar dengan gelar MSc yang relevan, dan beberapa diantara mereka bergelar PhD. Hasil awal telah dipublikasikan pada Analisa Pengeluaran Publik Aceh1 yang diterbitkan oleh Bank Dunia dan Aceh and Nias Two Years after the Tsunami2 yang diterbitkan oleh BRR. Diharapkan bahwa pelaksanaan kerangka PKP di masa yang akan datang dapat mencakup semua wilayah Indonesia. LGSP juga telah melakukan survei terhadap beberapa pemerintah daerah di luar Aceh, dengan fokus kepada bidang-bidang strategis yang berkaitan dengan program-program peningkatan kapasitas yang dimiliki oleh LGSP.

Hasil-hasil PKP di AcehRadar di bawah ini (Diagram 2) menunjukan perbedaan kapasitas pengelolaan keuangan di Aceh. Nilai rata-rata untuk semua 21 pemerintah daerah di Aceh adalah 41 persen. Yang segera menjadi perhatian adalah sembilan pemerintah daerah mendapatkan nilai di bawah 40 persen dan lima pemerintah daerah mendapatkan nilai antara 40 sampai 42 persen. Hanya satu, Aceh Utara yang mendapatkan nilai di atas 60 persen. Banyak faktor yang dapat menyebabkan hasil yang kurang baik dalam pengelolaan keuangan, seperti kabupaten dipimpin oleh seorang pejabat bupati sementara, kualitas pegawai di daerah terpencil, insiden konflik di masa lalu, dampak langsung dari tsunami, sejarah pengelolaan yang kurang baik dari pemerintahan sebelumnya, dan kurangnya sumber daya keuangan. Rendahnya tingkat kapasitas pengelolaan keuangan di beberapa pemerintah daerah saat ini perlu mendapatkan perhatian segera dan berkelanjutan. Kelemahan-kelemahan tertentu menunjukkan bidang-bidang yang memerlukan upaya peningkatan kapasitas. Perubahan yang diharapkan nanti, dapat dikaitkan dengan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab. Perbaikan-perbaikan tersebut harus mendapatkan pengakuan dan diberikan penghargaan, sebaliknya, kegagalan juga perlu disadari dan dipertanggung jawabkan.

1 2

Analisa Pengeluaran Publik Aceh Belanja untuk rekonstruksi dan pengentasan kemiskinan. Bank Dunia, 2006. Aceh and Nias Two Years after the Tsunami, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, 2006.

11

Bab 3: Survei PKP di Aceh

Ringkasan hasilNilai PKP untuk semua 21 pemerintah daerah dan pemerintah propinsi disajikan di bawah ini. Panduan penilaian juga diberikan untuk menunjukkan tingkatan nilai dari sangat baik sampai sangat buruk. Tabel 1: Pedoman penilaian kerangka PKP Pedoman penilaian81 - 100% 61 - 80% 41 - 60% 21 - 40% 0 - 20% Sangat baik/Dapat diterima sepenuhnya Baik/Secara umum dapat diterima Sedang/Sebagian dapat diterima Buruk/Sebagian besar tidak dapat diterima Sangat buruk/Tidak dapat diterima

Diagram 2: Nilai PKP untuk masing-masing 21 pemerintah kabupaten/kota dan propinsi100

80

60 hasil (%) 40 20

0

12

g Av er ag Te e ng Ac ga eh r Se a la ta n Bi re ue A. n Ta m ia Ac ng eh Ba Ac ra eh t Te ng N ag ah an Lh Ra ok ya se um A. aw Ba e ra t Be D ay ne a r M er ia Ac h eh Ja ya A.

Ac eh U ta Ba ra nd a Ac Ac eh eh Be Ac sa eh r Ti m ur La ng sa Si m eu lu e Si ng ki l N AD G ay o Lu es

Pi di

e Sa

ba n

Bab 3: Survei PKP di Aceh

Tabel 2: Nilai PKP berdasarkan bidang strategis untuk pemerintah daerah di Aceh

Bidang StrategisPemerintah Hasil terakhir Kerangka peraturan perundangan daerah 68 48 56 68 56 36 44 36 32 36 48 24 32 44 8 32 12 24 24 20 20 37 36 Perencanaan dan penganggaran 74 53 42 51 55 51 51 51 36 34 49 49 47 30 26 40 25 33 42 30 25 43 46 Pengelolaan kas Pengadaan Akuntansi dan pelaporan 63 59 59 52 48 52 33 74 41 59 19 22 41 37 19 30 19 33 15 15 11 38 56 Audit internal Hutang dan investasi 63 50 38 50 50 25 50 25 0 0 38 38 12 38 50 13 12 0 25 13 0 28 0 Pengelolaan aset Audit eksternal dan pengawasan 67 67 67 33 33 56 56 33 33 56 22 56 33 33 0 44 0 33 11 33 11 37 56

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Aceh Utara Banda Aceh Aceh Besar Aceh Timur Langsa Simeulue Singkil Gayo Lues Pidie Sabang A. Tenggara Aceh Selatan Bireuen A. Tamiang Aceh Barat Aceh Tengah Nagan Raya Lhokseumawe A. Barat Daya Bener Meriah Aceh Jaya Rata-rata NAD

69 56 54 52 50 49 47 42 42 41 40 40 39 39 39 33 29 29 26 25 15 41 43

57 61 48 34 43 43 39 34 48 41 27 16 36 39 50 23 23 36 14 18 14 35 41

78 68 62 64 66 76 68 58 72 54 74 58 72 58 70 56 64 32 48 38 34 60 52

78 56 67 78 61 56 50 39 67 50 50 44 44 44 61 33 67 50 44 33 11 52 61

68 41 45 36 36 50 36 32 50 41 32 50 36 27 64 27 41 18 14 27 14 37 41

13

Bab 3: Survei PKP di Aceh

Radar di bawah ini menunjukkan nilai rata-rata pada sembilan bidang strategis untuk seluruh 21 pemerintah daerah. Rentang nilai rata-rata untuk bidang strategis jauh lebih sempit dibandingkan dengan rentang nilai untuk pemerintah daerah. Nilai rata-rata tertinggi adalah untuk pengadaan (60 persen) disusul oleh audit internal (52 persen). Nilai paling rendah terdapat pada hutang dan investasi publik (28 persen) disusul oleh pengelolaan kas (35 persen) Diagram 5: Rata-rata nilai PKP berdasarkan bidang strategisKerangka peraturan perundangan daerah100

Audit dan pengawsan eksternall

80 60 40 20 0

Perencanaan dan penganggaran

Pengelolaan aset

Pengelolaan kas

Hutang dan investasi

Pengadaan

Audit internal

Akuntansi dan pelaporan

Pemerintah daerah dengan kinerja terbaik dan kinerja terburukNilai keseluruhan tertinggi untuk pengelolaan keuangan diraih oleh Aceh Utara (69 persen), sementara nilai paling rendah dihasilkan oleh Aceh Jaya (15 persen). Radar di bawah ini membandingkan nilai-nilai untuk pemerintah daerah dengan nilai tertinggi dan terendah, menunjukkan perbedaan besar dalam hasil pengelolaan keuangan di antara pemerintahpemerintah daerah di Aceh.

14

Bab 3: Survei PKP di Aceh

Diagram 3: Pebandingan pemerintah daerah dengan kinerja terbaik dan kinerja terburuk

Regulatory framework 100 External audit & oversight 80 60 40 20 0 Planning & budgeting

Asset management

Cash management

Public debt & investment

Procurement

Internal audit

Accounting & reporting

Aceh Utara

Aceh Jaya

Tim peneliti untuk Aceh Utara mengidentifikasi kemauan politik dan komitmen bupati merupakan pendorong utama kinerja pengelolaan keuangan yang baik. Memiliki pegawai dengan kualifikasi baik mendukung upaya peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan. Selain itu, dukungan dari dewan perwakilan rakyat daerah, LSM dan kelompok masyarakat, mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerjanya. Kinerja buruk Aceh Jaya sebagian disebabkan karena status kabupaten yang relatif baru, sehingga menyebabkan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang dimiliki oleh daerah ini kurang memadai. Sebagai tambahan, dampak tsunami yang memprihatinkan di Aceh Jaya, (ibukota Aceh Jaya, Calang, hancur sepenuhnya) tentu saja berdampak pada hasil pengelolaan keuangan dalam jangka menengah.

Kinerja PKP di pemerintahan daerah yang sudah lama terbentuk dan yang baru terbentukPemerintah daerah yang banyak baru terbentuk belakangan ini mendapatkan nilai lebih rendah, secara rata-rata, untuk masing-masing sembilan bidang strategis. Sebelas dari 21 kabupaten/kota baru dibentuk setelah tahun 2000. Hal ini merupakan bagian dari pola pemekaran kebupaten yang terjadi di seluruh Indonesia serta pembentukan administrasi kota yang secara fiskal independen sebagai akibat dari desentralisasi. Di Aceh terdapat sembilan kabupaten dan dua kota yang baru terbentuk. Kapasitas pengelolaan keuangan yang lebih rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor: kurangnya pra-sarana pemerintah dalam kabupaten/kota yang baru untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif (atau setidaknya, sama baiknya dengan sebelum pemekaran) di kabupaten baru; kurangnya tenaga-tenaga terlatih apabila kebanyakan pegawai negeri tetap berada pada kabupaten asal; kurangnya waktu untuk mengembangkan praktek-praktek

15

Bab 3: Survei PKP di Aceh

pengelolaan keuangan; dan tidak cukupnya waktu untuk mengesahkan peraturan-preaturan yang mendukung. Namun, kabupaten/kota yang baru terbentuk tidak semuanya mendapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan kabupaten asal. Jelas bahwa, pemekaran daerah memerlukan pertimbangan yang seksama untuk memastikan standarstandar pengelolaan keuangan setidaknya dapat dipertahankan. Beberapa dari pemerintah daerah yang baru terbentuk mendapatkan hasil yang sangat buruk, mengindikasikan kurangnya persiapan untuk memastikan bahwa standar-standar dapat dipertahankan. Bahkan tiga sampai lima tahun setelah pemekaran, kapasitas beberapa pemerintah daerah yang baru dibentuk masih jauh lebih rendah dibandingkan kabupaten asal. Diagram 4: Perbandingan kinerja pemerintah daerah yang sudah lama terbentuk dengan pemerintah daerah yang baru terbentuk

Kerangka peraturan perundangan daerah 100 Audit eksternal dan pengawasan 80 60 40 Pengelolaan aset 20 0 Pengelolaan kas Perencanaan dan penganggaran

Hutang dan investasi

Pengadaan

Audit internal

Akuntansi dan pelaporan

Pemerintah lama

Pemerintah baru

Kinerja PKP di kabupaten dan kotaSebelum diadakannya survei, kota diharapkan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan kabupaten karena beberapa alasan. Pertama, sebagai pusat perkotaan, kota-kota dapat menarik lebih banyak pegawai yang berkualitas yang lebih memilih untuk hidup dan bekerja di pusat-pusat keramaian. Kota memiliki pra-sarana yang lebih baik untuk menjalankan fungsi pemerintahan, terutama apabila dibandingkan dengan pemerintahan kabupaten di sekitarnya yang relatif baru terbentuk. Hasil survei PKP mangindikasikan bahwa kota, secara rata-rata, memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan kabupaten, walaupun terdapat satu perbedaan yang jelas. Empat dari pemerintah daerah di Aceh merupakan kota. Banda Aceh dan Sabang telah memiliki administrasi yang terpisah untuk cukup lama sedangkan Langsa dan Lhokseumawe keduanya baru terbentuk pada tahun 2001 ketika desentralisasi baru dimulai. Perbandingan

16

Bab 3: Survei PKP di Aceh

antara kota dan kabupaten tidak menunjukkan perbedaan yang besar, walaupun rata-rata nilai PKP untuk kota jauh lebih rendah dari yang seharusnya disebabkan kinerja Lhokseumawe yang buruk (29 persen). Kebalikannya, Langsa, mendapatkan nilai yang lebih tinggi pada setiap bidang strategis kecuali audit eksternal, dengan nilai keseluruhan sebesar 50 persen.

17

Bab 4Rincian Hasil dan Analisis

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Nilai-nilai yang ditunjukkan di atas untuk ke sembilan bidang strategis di dalam pemerintahan daerah hanya menunjukkan selintas dari kapasitas PKP di bidang-bidang kunci ini. Gambaran yang lebih rinci menunjukkan perbedaan signifikan pada indikator tingkat individual dan hasil (outcome). Bagian berikutnya akan menganalisis masing-masing bidang strategis secara mendetil dan membandingkan nilai pemerintah daerah pada tingkat hasil dan juga indikator, apabila dipandang berarti. Mengingat analisis mendetail untuk bidang strategis di setiap pemerintah daerah akan terlalu berlebihan mengingat jumlah pemerintah lokal yang ada (21) dan jumlah indikator-indikator (256), perbandingan antara nilai tertinggi dan terendah untuk setiap bidang merupakan bagian terbesar dari analisis. Dengan jalan ini, diharapkan bahwa pemerintah daerah dengan kinerja terburuk akan menyadari sejauh mana kapasitas pengelolaan keuangan perlu untuk ditingkatkan.

4.1

Bidang Strategis 1: Kerangka peraturan perundangan daerah

Baik di Aceh maupun di daerah-daerah lain di Indonesia, kerangka hukum untuk pengelolaan keuangan yang komprehensif, yang sejalan dengan perundang-undangan nasional dan ditegakkan secara efektif, merupakan hal yang penting dalam konteks desentralisasi di Indonesia. Sejak desentralisasi, pemerintah daerah diwajibkan (UU No. 22/ 1999 dan UU No. 17/ 2003) untuk memiliki peraturan daerah yang mengatur pengelolaan keuangan pada pemerintah daerah. Sebelum desentralisasi, undang-undang nasional menjadi payung hukum bagi administrasi keuangan tetapi dengan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab fiskal ke pemerintah daerah, peraturan-peraturan baru yang mendukung diperlukan keberadaannya. Pemerintah daerah telah menjawab kebutuhan ini dengan berbagai cara. Beberapa di antaranya bergegas dan menerbitkan Perda sesuai dengan kewajiban nasional, sementara yang lainnya menerbitkan SK Bupati (Surat Keputusan Bupati) untuk menjawab keperluan yang sama, sedangkan yang lainnya masih bergantung pada peraturan tingkat nasional yang ada sekarang. Perbedaan utama antara Perda dengan SK Bupati adalah Perda perlu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sementara SK Bupati, sesuai dengan namanya, diterbitkan oleh badan eksekutif tanpa adanya persetujuan legislatif. Pada prakteknya, SK Bupati memiliki beban hukum yang lebih ringan dan hal ini berdampak pada ketaatan dan penegakan hukum. Tujuan strategis secara keseluruhan adalah untuk menciptakan kerangka peraturan perundangan daerah yang mendukung untuk mendorong tata kelola keuangan yang efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional. Bidang strategis kerangka peraturan perundangan daerah terbagi menjadi tiga hasil yang diiginkan: (1) terdapat kerangka peraturan perundangan daerah yang komprehensif mengenai pengelolaan keuangan daerah; (2) kerangka ini memfasilitasi penegakan hukum dan struktur organisasi yang efektif; dan (3) kerangka ini meliputi cara-cara untuk meningkatkan transparansi dan keterlibatan publik. Sementara bidang strategis ini berfokus pada peraturan daerah, termasuk Perda dan SK Bupati, bidang strategis lainnya lebih berfokus pada kebijakan dan prosedur. Sebagai contoh, Hasil Satu, meliputi indikator-indikator mengenai keberadaan peraturan daerah mengenai Rencana Pembangunan Jangka Mengenah Daerah (RPJMD) dan peraturan daerah mengenai dana cadangan dan perubahan anggaran tahunan. Hasil Tiga meliputi indikatorindikator yang menyangkut transparansi dan proses konsultasi.

21

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Diagram 6: Kerangka peraturan perundangan daerahAceh Utara 100 80 60 40 20 Nagan Raya 0 Simeulue

Aceh Jaya Bener Meriah A. Barat Daya

Banda Aceh Aceh Besar Aceh Timur

Lhokseumawe

Langsa

Aceh Tengah

Singkil

Aceh Barat A. Tamiang Bireuen Aceh Selatan Pidie Sabang A. Tenggara

Gayo Lues

Kerangka peraturan perundangan daerah

Rata rata

Nilai rata-rata untuk bidang strategis ini bagi 21 pemerintah daerah yang disurvei adalah 37 persen, di bawah rata-rata keseluruhan 41 persen. Tiga belas pemerintah daerah mendapatkan nilai buruk atau sangat buruk. Hanya dua pemerintah daerah yang mendapatkan nilai baik.

Kerangka peraturan perundangan daerah yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikAceh Utara, pemerintah daerah dengan nilai tertinggi, mendapatkan nilai 68 persen untuk bidang strategis ini. Untuk hasil yang pertama semua, kecuali dua, dari ke dua belas indikator terpenuhi. Telah ada Perda kecuali untuk peraturan obligasi daerah, dan investasi publik dan swasta. Untuk hasil yang kedua mengenai penegakan hukum dan struktur organisasi, empat dari tujuh indikator terpenuhi. Dari ketiga indikator-indikator yang tidak tercapai, kekurangan meliputi ketiadaan pengukuran kinerja dan ketiadaan struktur insentif/ sanksi bagi para pegawai. Untuk hasil ketiga mengenai transparansi dan partisipasi publik, Aceh Utara mendapatkan nilai sebesar 50 persen. Walaupun terdapat tanda-tanda mengenai keberadaan prosedur keterlibatan publik dalam penganggaran dan proses pembuatan kebijakan, tidak ada prosedur formal untuk partisipasi bottom-up dalam perencanaan dan tidak ada peraturan mengenai proses konsultasi atau transparansi. Perlu untuk dicatat bahwa walaupun secara formal masyarakat mendapatkan akses terhadap sesi-sesi anggaran di DPRD, kerangka ini tidak menegaskan sejauh mana masyarakat dapat melakukan observasi atas sesi-sesi anggaran. Aceh Jaya baru mensahkan peraturan mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan baru mensahkan dua SK Bupati sebagai pengganti Perda yang berkaitan dengan ke sebelas indikator pada hasil satu. Hal yang serupa juga terjadi untuk hasil dua, hanya satu SK Bupati yang tercatat, yang hanya membahas aspek teknis dari pengelolaan

22

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

keuangan secara parsial. Hasil tiga mendapatkan nilai nol, karena tidak ada satupun dari ke enam indikator yang dicapai. Kekurangan kerangka hukum untuk memastikan adanya transparansi dan keterlibatan masyarakat perlu mendapatkan perhatian segera. Status Aceh Jaya sebagai kabupaten yang baru dibentuk mungkin dapat dijadikan sebagian dari penjelasan mengenai rendahnya nilai yang didapatkan (20 persen) untuk kerangka peraturan perundangan daerah, tetapi ketiadaan SK Bupati sebagai pengganti Perda menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak memberikan tekanan untuk pembuatan dan pengesahan peraturan-peraturan pendukung bahkan setelah enam tahun setelah desentralisasi atau pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan peraturan. Terdapat kasus-kasus di mana pemerintah daerah bergantung pada Keppres (Keputusan Presiden). Sebagai contoh, Aceh Barat masih menggunakan Keppres untuk pengadaan barang dan jasa. Di Aceh Barat dan Nagan Raya hanya tiga indikator yang dipenuhi untuk hasil yang berkaitan dengan kerangka peraturan perundangan daerah untuk pengelolaan keuangan. Hambatan dan penghalang perlu untuk diidentifikasi dan diatasi secara komprehensif, apakah karena kurangnya dorongan dari pemimpin, kekurangan keahlian teknis atau hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah daerah dengan DPRD.

4.2

Bidang Strategis 2: Perencanaan dan Penganggaran

Perencanaan dan penganggaran yang efektif merupakan inti dari pengelolaan keuangan yang efektif. Pemerintah daerah tidak akan dapat mengelola keuangannya secara efektif apabila sistem perencanaan dan penganggaran yang dimiliki buruk. Tujuan strategisnya adalah untuk pembuatan anggaran daerah multi tahun yang seksama yang secara jelas terkait dengan rencana daerah. Dari enam hasil, hasil yang pertama mengenai konsistensi antara proses perencanaan partisipatif bottom-up, pembangunan daerah, perencanaan sektoral dan APBD merupakan sepertiga dari total nilai bidang strategis ini. Diagram 7: Perencanaan dan PenganggaranAceh Jaya Bener Meriah Aceh Utara 100 Banda Aceh Aceh Besar

80

A. Barat Daya

60

Aceh Timur

Lhokseumawe

40

Langsa

20 Nagan Raya 0 Simeulue

Aceh Tengah

Singkil

Aceh Barat

Gayo Lues

A. Tamiang Bireuen Aceh Selatan Sabang A. Tenggara

Pidie

Perencanaan dan penganggaran

Rata rata

23

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Perencanaan dan Penanggaran: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikNilai rata-rata untuk bidang strategis ini adalah 43 persen. Sembilan pemerintah daerah mendapatkan angka buruk atau sangat buruk. Aceh Utara adalah satu-satunya pemerintah daerah yang mendapatkan nilai di atas 60 persen, dengan nilai 74 persen untuk perencanaan dan penganggaran. Aceh Utara mendapatkan nilai yang baik untuk dua di antara empat hasil. Untuk hasil yang pertama mengenai konsistensi antara proses perencanaan partisipatif bottom-up, perencanaan sektoral dan APBD Aceh Utara memenuhi 14 dari total 17 indikator. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dinilai realistis, dengan strategi yang jelas dan program-program yang berdasarkan target. Perencaaan sektoral didasarkan pada RPJMD dan mencerminkan prioritas-prioritas pembangunan. Standar pelayanan minimum digunakan untuk keperluan penganggaran dan dokumen-dokumen perencanaan dan kegiatan-kegiatan di APBD menggunakan struktur yang konsisten. Namun dokumen perencanaan tidak didukung oleh biaya proyek sejalan dengan keterbatasan anggaran dan dokumen perencanaan tidak meliputi kegiatan-kegiatan yang didanai di luar APBD. Untuk catatan, dalam bidang strategis kerangka peraturan perundangan daerah, proses perencanaan bottom-up tidak dimasukkan ke dalam peraturan daerah. Hasil dua mengenai penganggaran jangka menengah tidak mendapatkan nilai yang baik (hanya satu dari antara tiga indikator yang dicapai). Laporan pertanggung jawaban lima tahunan diserahkan kepada DPRD tetapi kerangka pengeluaran jangka mengenagan tidak dilaksanakan dan tataran waktu multu tahun tidak digunakan dalam perencanaan dan proyeksi anggaran. Hasil tiga mengenai proses pembuatan anggaran yang realistis mendapatkan nilai yang relatif buruk, hanya empat dari sebelas indikator yang terpenuhi. Seringkali anggaran belum disetujui pada tanggal 31 Desember, strategi untuk meningkatkan pendapatan yang sejalan dengan peraturan nasional tidak ada, dan perbedaan antara pengeluaran dan pendapatan yang direncanakan dan yang terealisasi melebihi 10 persen. Perencanaan partisipatif bottom-up mendapatkan nilai yang baik, dengan bukti bahwa RPJMD merupakan suatu usulan yang realistis, sementara dokumen perencanaan yang didasarkan pada RPJMD mencerminkan prioritas-prioritas pembangunan. Anggaran sepertinya memihak kelompok miskin dan semua indikator dipenuhi. Data-data kualitatif dan kuantitatif mengenai kemiskinan dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan partisipatif dan kebijakan yang memihak kepada kelompok miskin dicerminkan pada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah, atau Dinas, anggaran rencana kerja) dan RPJMD. Prioritasprioritas anggaran juga secara umum memihak kepada kelompok miskin dengan pengeluaran pada layanan publik meningkat dari tahun sebelumnya dan pengeluaran pada sektor kesehatan, pendidikan dan infrastruktur merupakan 50 persen dari total anggaran. Walaupun masih terdapat aspek-aspek perencanaan dan penganggaran yang perlu ditingkatkan, terutama dalam perencanaan dan peanggaran jangka menengah, nilai Aceh Utara yang tinggi secara keseluruhan dapat dijadikan standar bagi pemerintah-pemerintah daerah lainnya di Aceh untuk aspek utama pengelolaan keuangan ini. Kebalikannya Aceh Jaya dan Nagan Raya, mendapatkan nilai terendah untuk perencanaan dan penganggaran (25 persen). Dari enam hasil, Nagan Raya hanya mendapatkan nilai baik pada hasil enam mengenai pengendalian pengeluaran untuk memastikan output anggaran. Hasil satu mengenai konsistensi antara proses perencanaan partisipatif bottom-up, perencanaan sektoral dan APBD mendapatkan nilai yang sangat buruk, hanya berhasil

24

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

memenuhi dua dari total 17 indikator. Responden mengindikasikan bahwa Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat , dan usulan perencanaan bottom-up berisikan jumlah item yang tidak realistis dan perencanaan sektoral tidak didasarkan pada RPJMD dan tidak mencerminkan prioritas-prioritas pembangunan. Kelemahan lainnya meliputi inkonsistensi pada struktur dokumen perencanaan dan kegiatan di APBD dan ketiadaan indikator-indkator yang dapat diukur. Hasil dua mengenai perencanaan jangka menengah mendapatkan nilai nol dan untuk hasil tiga mengani proses pembuatan anggaran yang realistis hanya satu dari 11 indikator yang berhasil dipenuhi. Anggaran tidak disetujui pada waktunya (anggaran tahun 2006 disetujui pada bulan Mei 2006, terlambat lima bulan), proyeksi pendapatan bulanan dan catur wulan tidak terdapat pada anggaran, tidak ada strategi untuk meningkatakan pendapatan dan peraturan mengenai penggunaan dana darurat dan penggunaan dana non-bujeter tidak jelas. Sebagian dari anggaran memihak pada kelompok miskin, Nagan Raya memenuhi empat dari sembilan indikator. Data mengenai kemiskinan sedikit, walaupun kebijakan-kebijakan yang memihak pada kelompok miskin tercermin dalam Renstra (Rencana Strategis) SKPD dan RPJMD. Pengeluaran pada pelayanan publik telah meningkat dalam tiga tahun terakhir dan pengeluaran pada sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur merupakan bagian terbesar anggaran.3 Hasil lima mengenai pengawasan partisipatori dan sistem evaluasi yang komprehensif untuk proses perencanaan dan penganggaran mendapatkan nilai buruk, hanya memenuhi dua dari sembilan indikator. Masyarakat tidak dilibatkan dalam pengawasan dan evaluasi kegiatan, tidak ada peraturan daerah mengenai sistem evaluasi perencanaan dan pengawasan, dan dokumen perencanaan dan kegiatan tidak dibuka untuk publik atau tidak dibuat mudah untuk diakses oleh publik. Dengan sembilan pemerintah daerah mendapatkan nilai di bawah tingkat sedang, komponen utama pengelolaan keuangan ini merupakan prioritas apabila hasil-hasil pengelolaan keuangan akan ditingkatkan. Pedoman yang jelas perlu dibuat untuk pemerintah daerah yang berisikan strategi untuk meningkatkan hasil-hasil di bidang perencanaan dan penggangaran sejalan dengan hasil-hasil yang diharapkan. Reformasi di bidang ini tidak mudah dilakukan dan membutuhkan perbaikan bukan hanya pada proses tetapi juga pada sikap-sikap pemerintah daerah. Kenyataan bahwa anggaran sering tidak disetujui pada waktunya, dengan penundaan terkadang sampai tahun berikutnya, menunjukkan bahwa hal ini perlu untuk segera diatasi. Hal ini tidak hanya menimbulkan masalah dalam perencanaan dan pelaksanan tetapi juga mengurangi kepercayaan publik terhadap proses anggaran. Transparansi perlu untuk berubah dari hanya sekedar kata-kata mutiara di lingkungan pemerintah daerah menjadi suatu kenyataan. Pemberian informasi secara berkala pada waktu-waktu yang tepat, membuat informasi ini dapat diakses dengan mudah dan memberikan ruang untuk diskusi dan perbedaan pendapat akan menjadi langkah maju ke depan yang besar.

4.3

Bidang Strategis 3: Pengelolaan kas

Penempatan pengelolaan kas sebagai bidang strategis yang terpisah mencerminkan pentingnya menginstitusionalisasikan praktek-praktek penanganan kas yang tepat di pemerintah daerah. Hal ini dapat menjadi bidang strategis yang paling mudah untuk3

Data anggaran tidak tersedia untuk Kabupaten Nagan Raya, Bener Meriah, Aceh Jaya dan Aceh Singkil (APEA, 2006); sehingga jawaban ini tidak dapat diverifikasi.

25

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

mendapatkan nilai baik, karena pengelolaan kas yang efektif dan tepat merupakan komponen dasar pengelolaan keuangan yang mantap. Namun, ke 21 pemerintah daerah hanya mendapatkan nilai rata-rata 35 persen (buruk), dengan 14 pemerintah daerah mendapat nilai buruk/ sangat buruk dan hanya satu yang mendapat nilai baik. Diagram 8: Pengelolaan KasAceh Jaya Bener Meriah Aceh Utara 100 Banda Aceh Aceh Besar

80

A. Barat Daya

60

Aceh Timur

Lhokseumawe

40

Langsa

20 Nagan Raya 0 Simeulue

Aceh Tengah

Singkil

Aceh Barat

Gayo Lues

A. Tamiang Bireuen Aceh Selatan Sabang A. Tenggara

Pidie

Pengelolaan kas

Rata rata

Pengelolaan kas: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikBanda Aceh mendapatkan nilai yang paling tinggi untuk pengelolaan kas (61 persen). Banda Aceh mendapatkan nilai yang cukup baik untuk ke empat hasil. Untuk hasil satu, kebijakan, prosedur dan kendali untuk mengelola pengelolaan kas sebagian telah ada, pemerintah daerah memenuhi enam dari 10 indikator. Pedoman tertulis mengenai kebijakan dan prosedur pengelolaan kas tersedia dan didukung oleh peraturan daerah mengenai pengelolaan kas yang sejalan dengan peraturan nasional. Namun, pelatihan pegawai secara rutin dalam pengelolaan kas tidak diadakan dan Bawasda (Badan Pengawasan Daerah) tidak melaksanakan evaluasi kepatuhan pengelolaan kas tahunan. Pemasukan dan pengeluaran kas dikelola dengan cukup efisien, memenuhi delapan dari 11 indikator. Penerimaan kas di simpan pada suatu rekening bank yang ditunjuk pada hari penerimaan atau satu hari setelahnya. Rekonsiliasi harian dibuat untuk penerimaan kas dan penyimpanan, dan pembayaran di atas Rp 5 juta tidak dilakukan secara tunai melainkan ditransfer atau dibayar dengan menggunakan cek. Namun, belum ada sistem yang terkomputerisasi dan rekonsiliasi rekening bank, deposito, piutang dan hutang belum dibuat secara teratur.

26

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Hasil tiga berfokus pada sistem penagihan dan pengumpulan pendapatan daerah dan, dengan 17 indikator, aspek ini dianggap penting. Banda Aceh memenuhi 10 indikator mengenai Pendapatan Asli Daerah atau PAD. Kebijakan mengenai retribusi dan pajak daerah diatur dalam peraturan daerah, yang sejalan dengan peraturan nasional. Dasar dari pendapatan daerah dievaluasi setiap tahunnya untuk menghitung kapasitas pendapatan untuk setiap item pendapatan. Konsumen ditagih tepat pada waktunya dan tersedia layanan untuk menangani pertanyaan- pertanyaan dari wajib pajak. Namun sistem pembuatan tanda terima tidak memadai untuk mencegah penggelapan dan sistem ini kurang bisa memberikan kejelasan pada saat timbul masalah. Dan juga sistem penagihan dan pengumpulan tidak terintegrasi dan sanksi-sanksi tidak dijatuhkan kepada debitor yang menunggak. Aceh Jaya dan Aceh Barat Daya mendapatkan nilai paling rendah (14 persen). Aceh Barat Daya tidak berhasil memenuhi indikator manapun mengenai kebijakan, prosedur dan kendali pengelolaan kas. Hal ini dikarenakan karena digunakannya SK Bupati dan bukan peraturan daerah untuk mengatur pengelolaan kas. Sehingga kerangka hukum tersedia walaupun belum terinstitusionalisasi melalui penerbitan peraturan daerah. Hasil dua mengenai penerimaan dan pembayaran kas memenuhi empat dari 11 indikator. Penerimaan kas disimpan di rekening bank khusus dan pembayaran senilai lebih dari Rp 5 juta ditransfer ke sebuah rekening bank. Kontraktor dibayar sesuai dengan persyaratan dan laporan berkala mengenai neraca kas diberikan kepada bupati, bendahara dan kepala bagian keuangan. Namun kas seringkali tidak disetorkan pada hari yang sama dengan penerimaan, tidak ada rekonsiliasi penerimaan dan penyetoran harian, dan kelebihan kas tidak ditempatkan pada investasi jangka pendek secara teratur. Untuk hasil tiga mengenai sistem penagihan dan pengumpulan pendapatan daerah, Aceh Barat Daya hanya memenuhi dua dari 17 indikator. Terdapat kekurangan peraturan dan pedoman mengenai hal ini, sekali lagi karena bergantung pada SK Bupati sebagai pengganti Perda. Pemberitahuan tagihan tidak disampaikan kepada wajib pajak, sistem penerimaan tidak dirancang untuk mencegah penggelapan, seringkali pembayaran tidak diambil tepat pada waktunya, denda tidak dikenakan atas pembayaran yang terlambat dan sistem penagihan dan pengumpulan tidak terintegrasi. Hasil empat mengenai PAD mendapatkan nilai nol.

4.4

Bidang Strategis 4: Pengadaan barang dan jasa

Tujuan strategis secara keseluruhan adalah untuk mendorong pengadaan barang yang jasa yang efisien dan kompetitif melalui kebijakan, prosedur dan kendali. Hasil satu dengan 47 indikator berfokus pada nilai uang pada pengeluaran daerah, transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan pengadaan. Hasil dua, dengan tiga indikator, menyangkut sistem penanganan keluhan.

27

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Diagram 9: PengadaanAceh Jaya Bener Meriah Aceh Utara 100 Banda Aceh Aceh Besar

80

A. Barat Daya

60

Aceh Timur

Lhokseumawe

40

Langsa

20 Nagan Raya 0 Simeulue

Aceh Tengah

Singkil

Aceh Barat

Gayo Lues

A. Tamiang Bireuen Aceh Selatan Sabang A. Tenggara

Pidie

Pengadaan

Rata rata

Pengadaan: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikDengan nilai rata-rata 60 persen pengadaan adalah bidang strategis dengan nilai tertinggi. Dua belas pemerintah daerah mendapatkan nilai dapat diterima atau baik dan hanya dua yang mendapatkan nilai buruk. Aceh Utara sekali lagi mendapatkan nilai tertinggi (78 persen) dan Lhokseumawe mendapatkan nilai terendah (32 persen). Aceh Utara mendapatkan nilai yang sangat tinggi untuk hasil satu. Terdapat sebuah peraturan daerah untuk mengatur pengadaan barang dan jasa, terdapat pedoman formal mengenai tata cara pelaksanaan pengadaan, rencana pengadaan di buat setiap tahunnya, estimasi biaya dibuat dan dokumen-dokumen penawaran dirahasiakan. Namun, indikator-indikator yang belum terpenuhi penting untuk memastikan praktek pengadaan yang baik. Anggota DPRD secara berkala terlibat dalam panitia pengadaan, kurang dari 75 persen pengadaan dilakukan dengan penawaran umum terbuka dan tidak ada aturan dan/atau penegakan yang mengatur keterlibatan anggota panitia pengadaan dan pejabat dengan hubungan keluarga dengan pejabat yang menunjuk mereka. Hasil kedua sepenuhnya dipenuhi menyangkut pelaksanaan prosedur keluhan. Terdapat sebuah Perda yang mengatur prosedur keluhan dan keluhan dicatat dan diproses sejalan dengan Perda. Di Lhokseumawe, tidak ada peraturan yang mengatur pengadaan, tidak ada pedoman mengenai prosedur, biaya rencana pengadaan tidak dibuat dan direvisi setiap tahunnya, dan pegawai bagian pengadaan tidak memenuhi kualifikasi dan kompetensi. Hal-hal yang baik adalah dokumen tender dirahasiakan, sesi pengarahan dilakukan secara terbuka, dan pengumuman mengenai pengadaan diterbitkan di media. Namun, tidak ada sistem untuk menangani keluhan.

28

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Terlepas dari nilai yang seringkali tinggi, hal ini tidak serta merta berarti bahwa proses pengadaan dilakukan secara transparan dan efisien. Kerangka PKP hanya melihat lingkungan dari praktek-praktek pengadaan dan tidak mengevaluasi praktek-praktek pengadaan di setiap kabupaten dan kota. Walaupun terdapat prosedur, kepatuhan masih lemah dan kebocoran dan korupsi masih dapat terjadi walaupun telah ada prosedur formal di lingkungan di mana kepatuhan dan penegakan lemah. Namun, beberapa pemerintah daerah telah melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki bidang kegiatan pemerintahan yang banyak dikritisi ini. Langkah pertama adalah menciptakan kerangka hukum, menegakkan prosedur dan secara ketat menindak lanjuti keanehaan-keanehan yang dicurigai.

4.5

Bidang Strategis 5: Akuntansi dan pelaporan

Akuntansi dan pelaporan merupakan komponen yang tidak dapat dihindarkan pada pengelolaan keuangan. Bidang ini memerlukan prosedur yang tertata dengan baik dan pegawai yang terlatih untuk melakukan pencatatan data-data keuangan. Tujuan strategis adalah untuk membuat sebuah sistem akuntansi yang memastikan akuntansi yang cepat untuk semua transaksi keuangan dan membuat laporan keuangan eksternal dan internal yang terpercaya, berimbang dan tepat waktu. Bidang ini meliputi empat hasil: kapasitas sumber daya manusia dan institusi, sistem akuntansi dan pelaporan yang terintegrasi; pencatatan yang cepat dan akurat untuk semua transaksi keuangan pemerintah daerah; dan, laporan informasi pengelolaan keuangan yang terpercaya.

Diagram 10: Akuntansi dan pelaporanAceh Utara 100

Aceh Jaya Bener Meriah

Banda Aceh Aceh Besar

80

A. Barat Daya

60

Aceh Timur

Lhokseumawe

40

Langsa

20 Nagan Raya 0 Simeulue

Aceh Tengah

Singkil

Aceh Barat

Gayo Lues

A. Tamiang Bireuen Aceh Selatan Sabang A. Tenggara

Pidie

Akuntansi dan pelaporan

Rata rata

29

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Akuntansi dan pelaporan: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikAkuntansi dan pelaporan mendapatkan nilai di bawah rata-rata keseluruhan (38 persen dari 41 persen). Gayo Lues mendapatkan nilai tertinggi (74%) dan Aceh Jaya mendapatkan nilai terendah (11%). Aceh Utara mendapatkan nilai yang cukup tinggi (64%). Aceh Utara membuat perubahan solid, perkembangan yang dicapai oleh Aceh Jaya di bidang ini sangat sedikit, kalaupun ada, sejak pembentukan kabupaten ini pada tahun 2002. Terlepas dari nilai keseluruahn untuk akuntansi dan pelaporan yang tinggi, Aceh Utara tidak memiliki Badan Pengawasan Keuangan Daerah atau BPKD) dan, sehingga kabupaten ini mendapatkan angka nol untuk hasil satu. Namun Aceh Utara mendapatkan angka yang tinggi untuk hasil transaksi dan neraca tercatat secara akurat dan tepat waktu dan juga untuk laporan keuangan dan informasi pengelolaan dapat diandalkan. Aset dinilai secara sesuai dan didokumentasikan, sistem pembukuan double-entry diterapkan dan pencatatan akuntansi dan catatan bank direkonsiliasi secara berkala. Untuk hasil 4, neraca,, realisasi anggaran dan laporan arus kas dan laporan keuangan tahunan dibuat dan diserahkan kepada badan audit secara tepat waktu. Kebalikannya, Aceh Jaya mendapatkan nilai nol untuk tiga hasil. Kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan sangat lemah, sistem akuntansi dan manajemen tidak terintegrasi dan transaksi keuangan dan neraca tidak dicatat secara tepat waktu dan akurat. Dengan sistem akuntansi dan pelaporan yang lemah, Aceh Jaya membutuhkan dukungan untuk membuat sistem yang dibutuhkan dan mendukung pengembangan staf-staf yang terampil. Walaupun Aceh Jaya memberikan gambaran yang sangat bertolak belakang, Aceh Jaya bukanlah satu-satunya pemerintah daerah di Aceh dengan hasil yang buruk untuk akuntansi dan pelaporan. Bener Meriah, Aceh Tenggara, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya semuanya mendapat nilai di bawah 20 percent (sangat buruk).

4.6

Bidang Strategis 6: Audit Internal

Audit internal yang efektif merupakan aspek penting dalam pengelolaan keuangan. Audit internal pemerintah daerah yang efektif memerlukan sistem pencatatan yang tepat dan efisiensi di departemen-departemen yang ada di pemerintahan daerah, dan penurunan korupsi dan kebocoran. Tujuan strategis audit internal adalah pembuatan dan pemeliharaan fungsi-fungsi audit internal yang efektif dan efisien. Untuk menilai sejauh mana tujuan strategis berhasil dicapai dalam hal ini terdapat tiga hasil: (1) badan audit pemerintah daerah terorganisir dan berdaya untuk beroperasi secara efektif; (2) standar dan prosedurprosedur yang digunakan dapat diterima; dan (3) temuan-temuan ditindaklanjuti secara memadai. Kerangka PKP hanya dapat melihat pengaturan formal untuk audit internal. Kerangka PKP tidak mengevaluasi efektifitas audit. Laporan tahunan audit internal, yang tidak menemukan bukti-bukti kejanggalan keuangan atau penyalahgunaan dana, tidak berarti bahwa audit internal dilakukan dengan benar.

30

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Diagram 11: Audit InternalAceh Utara 100

Aceh Jaya Bener Meriah

Banda Aceh Aceh Besar

80

A. Barat Daya

60

Aceh Timur

Lhokseumawe

40

Langsa

20 Nagan Raya 0 Simeulue

Aceh Tengah

Singkil

Aceh Barat

Gayo Lues

A. Tamiang Bireuen Aceh Selatan Sabang A. Tenggara

Pidie

Audit internal

Rata rata

Audit Internal: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikSecara keseluruhan audit internal mendapatkan nilai rata-rata 52 persen. Aceh Timur dan Aceh Utara mendapatkan nilai 78 persen dan sekali lagi Aceh Jaya mendapatkan nilai terendah yaitu 11 persen. Di Aceh Timur peran dan tanggung jawab Bawasda terdefinisi dengan jelas dan Bawasda memiliki kewenangan untuk menjalankan fungsinya dan didukung dengan pelatihan pegawai secara berkala. Namun, kualifikasi pegawai berada di bawah rata-rata dan peralatan-peralatan yang ada tidak memadai. Untuk hasil dua mengenai standar dan prosedur yang dapat diterima, Aceh Timur mendapatkan nilai baik karena Aceh Timur melakukan tindak lanjut atas temuan-temuan audit. Sementara Aceh Jaya hanya memenuhi indikator mengenai peran dan tanggung jawab yang terdefinisi dengan baik, dan kewenangan untuk menjalankan tugasnya. Standar dan prosedur yang dapat diterima benar-benar kurang dan temuan-temuan audit internal tidak ditindak lanjuti secara memadai.

31

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

4.7

Bidang Strategis 7: Hutang dan Investasi

Bidang strategis hutang dan investasi hanya memiliki satu hasil dengan delapan indikator. Tujuan strategsinya adalah mengimplementasikan pengelolaan hutang dan investasi pemerintah daerah secara berhati-hati termasuk pengelolaan BUMD. Hasil yang diharapkan adalah pembuatan dan penerapan kebijakan, prosedur dan kendali atas pengelolaan hutang dan investasi daerah. Diagram 12: Hutang dan investasi PublikAceh Utara 100

Aceh Jaya Bener Meriah

Banda Aceh Aceh Besar

80

A. Barat Daya

60

Aceh Timur

Lhokseumawe

40

Langsa

20 Nagan Raya 0 Simeulue

Aceh Tengah

Singkil

Aceh Barat

Gayo Lues

A. Tamiang Bireuen Aceh Selatan Sabang A. Tenggara

Pidie

Hutang dan investasi

Rata rata

Hutang dan investasi hanya mendapatkan nilai 28 persen yang terendah di antara bidangbidang strategis lainnya. Beberapa pemerintah daerah tidak memiliki hutang dan juga tidak memiliki investasi jangka panjang. Sebagai contoh, Aceh Barat Daya, dengan nilai 25 persen, tidak memiliki catatan hutang dan investasi selama masa berdirinya yang relatif baru. Tujuh pemerintah daerah memiliki catatan pinjaman: Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Utara dan Banda Aceh. Ke tujuh pemerintahan daerah itu mendapatkan angka di atas rata-rata kecuali Aceh Tengah. Data Departemen Keuangan tahun 20044 menunjukkan bahwa pemerintah daerah meminjam sebesar Rp 25 milyar, sedangkan pemerintah propinsi meminjam Rp 24 milyar. PDAM di kabupaten dan kota meminjam dana Rp 40 milyar, sedangkan PDAM di propinsi tidak melakukan pinjaman. Beberapa Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM meminjam dana Rp 40 milyar, dari pemerintah daerah masing-masing. Total hutang pemerintah daerah yang ada pada tahun 2004 mencapai Rp 66 milyar. Total pinjaman meningkat dari Rp 55 milyar pada tahun 20014

Departemen Keuangan

32

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

menjadi Rp 90 milyar pada tahun 2004 (gabungan antara pemerintah daerah dan propinsi). Penambahan ini dilakukan oleh pemerintah daerah dan tidak ada penambahan hutang oleh pemerintah propinsi. Terlepas dari peningkatan tersebut, hutang yang diakumulasi masih berada jauh di bawah rata-rata hutang propinsi secara nasional. Undang-undang nasional membatasi jumlah hutang yang diizinkan, beberapa pemerintah daerah dilarang untuk melakukan pinjaman tambahan. Bahkan dengan pembatasan ini, pemerintah daerah Aceh masih dapat meminjam sampai dengan Rp 500 milyar (lihat: Analisis Pengeluaran Publik Aceh, Bank Dunia, 2006).

Hutang dan investasi: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikAceh Utara mendapatkan nilai tertinggi (63 persen) dan Aceh Tengah mendapatkan nilai terendah (13 persen) dari semua pemerintah daerah yang memiliki catatan pinjaman. Lima pemerintah daerah lainnya mendapatkan nilai nol dengan tidak adanya kerangka untuk mengelola hutang dan investasi. Di Aceh Utara, peran dan kewenangan anggota DPRD dan pejabat pemerintah terdefinisi dengan baik, anggaran tahunan (APBD) meliputi usulan pinjaman dan investasi jangka panjang, investasi jangka panjang harus mendapatkan persetujuan dari DPRD terlebih dahulu, dan transaksi-transaksi hutang dan investasi dicatat dengan baik pada laporan keuangan yang ditujukan kepada bupati. Namun, kebijakan pengelolaan tidak konsisten dengan kerangka kebijakan nasional, tidak ada tingkat spesifik pinjaman yang diperbolehkan dan tidak ada kebijakan yang menyebutkan tujuan pinjaman tertentu sehingga pinjaman dan jaminan dapat dilakukan. Di Aceh Tengah hanya satu dari delapan indikator yang dipenuhi: DPRD harus menyetujui transaksi investasi jangka panjang. Mengingat cakupan pinjaman dan investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah (dan pemerintah propinsi), penting bagi pemerintahan-pemerintahan sub-nasional ini untuk memiliki kerangka pengelolaan hutang dan investasi mereka secara efektif. Mengingat cukup tingginya arus keuangan untuk pemerintah daerah di Aceh pada tahun-tahun mendatang, penting bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan strategi yang jelas untuk membuat investasi jangka panjang yang efektif.

4.8

Bidang Strategis 8: Pengelolaan Aset

Tujuan strategis dari pengelolaan aset adalah untuk pengelolan aset daerah secara efektif melalui penggunaan rencana pengelolaan aset jangka panjang. Secara eksplisit penekanan dilektakan pada pengelolaan jangka panjang dan aset-aset ini harus mendukung tujuan pemberian layanan publik daerah. Kerangka penelitian ini tidak mengukur nilai dari aset terhadap ekonomi daerah, atau apakah mereka merupakan kontributor atau penyerap pendapatan tetapi penelitian ini mengevaluasi cara-cara pengelolaan aset-aset ini. Kapasitas pengelolaan aset dibagi menjadi empat hasil: hasil pertama menyangkut prosedur dan mekanisme untuk memastikan BUMD dikelola secara efektif; hasil dua menyangkut kebijakan, prosedur dan kontrol untuk pembelian aset baru dan pengelolaan aset jangka panjang secara efektif; hasil tiga menyangkut dasar informasi untuk mendukung pengelolaan aset; dan hasil empat menyangkut kaitan antara pengelolaan aset dengan rencana dan anggaran.

33

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Diagram 13: Pengelolaan AsetAceh Jaya Bener Meriah Aceh Utara 100 Banda Aceh Aceh Besar

80

A. Barat Daya

60

Aceh Timur

Lhokseumawe

40

Langsa

20 Nagan Raya 0 Simeulue

Aceh Tengah

Singkil

Aceh Barat

Gayo Lues

A. Tamiang Bireuen Aceh Selatan Sabang A. Tenggara

Pidie

Pengelolaan aset

Rata rata

Pengelolaan aset: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikNilai rata-rata adalah 37 persen. Lagi-lagi Aceh Utara mendapatkan nilai paling tinggi untuk pengelolaan aset (68 persen). Aceh Jaya dan Aceh Barat Daya mendapatkan nilai terendah (14 persen). Aceh Utara mendapatkan nilai yang baik untuk hasil satu, dengan adanya konsistensi antara kegiatan yang diusulkan untuk Badan Usaha Milik Daerah dengan rencana pembangunan strategis, rencana bisnis dievaluasi oleh pemerintah daerah untuk mempertimbangkan pembentukan perusahaan baru dan transaksi-transaksi perusahaan dievaluasi oleh auditor internal. Hasil dua mendapatkan nilai buruk dengan dua dari tiga indikator tidak dipenuhi. Aceh Utara tidak memiliki peraturan daerah untuk dijadikan sebagai kebijakan dan rencana pengelolaan aset daerah dan juga tidak memiliki panduan pengelolaan aset dan prosedur untuk dijadikan rujukan pengelolaan aset. Hasil tiga sebagian besar terpenuhi, dengan adanya deskripsi fisik aset yang memadai yang disertakan pada catatan aset-aset secara tepat. Hasil empat, dengan hanya satu indikator rencana dan anggaran kabupaten mencerminkan biaya perawatan aset yang tercatat dalam rencana perawatan tidak terealisasi. Aceh Barat Daya mendapatkan angka nol untuk hasil satu, dua dan empat. Untuk hasil dua yang menyangkut kebijakan, prosedur dan kendali Aceh Barat Daya mendapatkan angka nol karena pemerintah daerah mengunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) dan SK Bupati dan bukan membuat Perda baru. Hasil tiga mendapatkan nilai yang lebih baik, karena aset diberikan nomor pengenal yang berbeda satu dengan yang lain, lokasilokasi aset dicatat dengan baik dan nama pejabat yang bertanggung jawab atas aset tersebut juga dicatat dengan baik. Semua indikator-indikator lainnya untuk bidang strategis pengelolaan aset tidak terealisasi. Sejak pemisahan dengan Aceh Barat, hampir semua aset di kabupaten baru ini masih berada di bawah kewenangan kabupaten asal. Tidak ada34

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

perusahaan daerah yang tercatat walaupun sedang dilakukan pembentukan dan pemilihan. Kota Lhokseumawe juga mendapatkan nilai yang buruk (18 persen) tetapi angka yang rendah ini sebagian disebabkan karena ketiadaan Badan Usaha Milik Daerah sampai dengan akhir tahun 2006 dan dalam rencana pembangunan jangka menengah tidak ada rencana untuk membentuk Badan Usaha Milik Daerah. Aceh Utara, sebagai kabupaten induknya, mempertahankan kendali atas semua Badan Usaha Milik Daerah. Pergantian walikota dan kepala kantor dinas yang sering terjadi mengakibatkan kurangnya perencanaan strategis di wilayah ini. Aset-aset pemerintah yang lain seperti kantor, kurang memadai dan prosedur untuk memastikan perawatan aset kurang. Dua belas pemerintah daerah di Aceh mendapatkan nilai di bawah 40 persen (buruk/ sangat buruk) untuk pengelolaan aset. Hal ini berarti lebih dari separuh dari pemerintahan gagal dalam bidang pengelolaan keuangan ini. Buruknya pengelolaan keuangan aset yang dimiliki oleh kabupaten berarti bahwa aset-aset ini memiliki kinerja kurang. Hal ini perlu dikhawatirkan mengingat skala rekonstruksi di Aceh pada saat ini dan pentingnya merawat aset-aset yang baru didapat ini. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas pada bidang ini dan peraturan dan kebijakan perlu untuk dibuat dan dilaksanakan segera untuk memastikan pemerintah daerah dapat mengelola aset-aset ini dengan baik

4.9

Bidang Strategis 9: Audit Eksternal

Mekanisme audit eksternal yang efektif memainkan peranan penting dalam menciptakan dan mempertahankan pemerintah daerah yang akuntabel. Badan Pemeriksaan Keuangan atau BPK memiliki tugas untuk melaksanakan audit eksternal dan hasil dari audit tersebut diserahkan dan seharusnya dibahas oleh DPRD. Peran utama dari DPRD adalah untuk memberikan pengawasan independen terhadap fungsi pemerintah daerah, eksekutif. Semakin lemah audit internal, semakin penting peran audit eksternal. Audit eksternal memiliki dua hasil dan sembilan indikator. Hasil satu menyangkut pelaksanaan audit eksternal secara berkala untuk memberikan akuntabilitas kepada pemerintah daerah secara efektif. Hasil dua berfokus pada keberadaan pengawasan independen terhadap pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang efektif.

35

Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

Diagram 14: Audit eksternal dan PengawasanAceh Jaya Bener Meriah Aceh Utara 100 Banda Aceh Aceh Besar

80

A. Barat Daya

60

Aceh Timur

Lhokseumawe

40

Langsa

20 Nagan Raya 0 Simeulue

Aceh Tengah

Singkil

Aceh Barat

Gayo Lues

A. Tamiang Bireuen Aceh Selatan Sabang A. Tenggara

Pidie

Audit dan

eksternal dan pengawasan

Rata rata

Audit Eksternal: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baikNilai rata-rata untuk audit eksternal adalah 36 persen. Tiga pemerintah daerah mendapatkan nilai diterima dan 13 mendapatkan nilai buruk/sangat buruk Banda Aceh, Aceh Besar dan Aceh Utara semuanya mendapatkan nilai 67 persen, memenuhi enam dari sembilan indikator. Aceh Barat dan Nagan Raya tidak memenuhi satupun indikator, dan mendapatkan nilai nol untuk audit eksternal. Aceh Besar memenuhi tiga dari empat indikator pada hasil satu. Laporan keuangan tahunan diserahkan untuk pemeriksaan ke BPK dalam batas waktu yang ditetapkan menurut hukum, masyarakat dapat menghadiri sidang DPRD pada saat laporan pemeriksaan dibahas dan laporan audit eksternal berisikan opini pemeriksaan yang dapat dipahami oleh masyarakat awam. Namun laporan audit tidak dipublikasikan di media-media setempat atau dipasang pada papan pengumuman resmi agar dapat dilihat oleh masyarakat. Untuk hasil yang diharapkan mengenai pengawasan independen yang efektif, DPRD mengawasi dan mengevaluasi kinerja pemerintah daerah, memberikan persetujuan kepada laporan tahunan terakhir tanpa catatan, tidak memberikan sanksi atau memastikan sanksi ditegakkan dan laporan audit tidak menyarankan untuk dimulainya investigasi mengenai korupsi. Nagan Raya dan Aceh Barat tidak memiliki sistem audit eksternal. Walaupun nilai untuk audit internal di kedua wilayah ini di atas 60 persen, ketiadaaan mekanisme audit eksternal oleh badan independen perlu untuk dijadikan perhatian.

36

Bab 5Isu-isu Utama

Bab 5: Isu-isu Utama

Kerangka hukum yang tidak lengkap Lima tahun semenjak pelaksanaan desentralisasi, kapasitas pengelolaan keuangan masih lemah di beberapa pemerintah daerah di Aceh. Salah satu prioritas mendesak bagi pemerintah daerah adalah untuk memastikan bahwa mereka memiliki kerangka hukum yang lengkap, tepat secara keseluruhan dan dapat ditegakkan. Praktekpraktek pengelolaan keuangan perlu untuk mematuhi peraturan-peraturan ini dan praktek-praktek yang baik harus dijadikan sebagai norma- bagian dari budaya pemerintah daerah. Penerbitan SK Bupati dan penggunaan Keppres nasional yang telah ada sebelumnya tidak memuaskan, karena hal ini berarti menisbikan DPRPD. Secara khusus, SK Bupati tidak dibahas dan diperdebatkan secara memadai sebelum diterbitkan. Sehingga, kemungkinan besar SK Bupati akan gagal menjadi bagian dari budaya kerangka hukum daerah, terutama karena bupati/ walikota baru mungkin tidak mengakui SK yang diterbitkan oleh Bupati sebelumnya. Oleh karena itulah, SK Bupati merupakan jalan singkat yang tidak memuaskan untuk memenuhi kewajiban hukum yang ditetapkan pada tingkat nasional. Kurangnya tenaga yang memiliki keterampilan dan kualifikasi yang memadai Tenaga yang memiliki kualifikasi dan/atau keterampilan yang tidak memadai merupakan hambatan besar dalam meraih kinerja yang baik. Tim peneliti di Aceh Utara mengidentifikasi kualitas sumber daya manusia yang baik merupakan faktor pendorong utama hasil pengelolaan keuangan yang baik di berbagai bidang-bidang strategis. Pelatihan di tempat kerja dapat berguna untuk memberikan keterampilan sebagai contoh pembukuan dengan sistem komputerisasi. Walaupun pelatihan tambahan yang diberikan oleh pemerintah daerah sendiri ataupun pemerintah pusat bisa memberikan manfaat, permasalahan yang mendasar adalah untuk mendorong dan apabila memungkinkan membantu pemerintah daerah untuk menarik caloncalon pegawai dengan keterampilan teknis yang diperlukan untuk pengelolaan keuangan yang efektif. Solusi jangka panjang adalah untuk melatih kandidatkandidat sampai standar minimum yang diidentifikasi sebelum mereka menjadi pegawai negeri dan juga memastikan bahwa seleksi dan promosi pegawai negeri berdasarkan kemampuan dan kompetensi untuk tugas yang diberikan. Hal ini bahkan lebih penting lagi untuk badan audit internal, yang jelas-jelas membutuhkan tenaga dengan kompetensi tingkat tinggi di bidang pengelolaan keuangan. Berkaitan dengan hal ini, insentif yang terdefinisikan dengan jelas dan struktur sanksi untuk pegawai perlu ditetapkan dan dipatuhi dengan ketat dalam rangka mendorong perbaikan kinerja pegawai. Kurangnya sumber daya keuangan Kekurangan sumber daya keuangan untuk membeli peralatan-peralatan seperti komputer dapat menurunkan cakupan perbaikan dalam kapasitas pengelolaan keuangan. Responden sering mengidentifikasi hal ini sebagai hambatan untuk mencapai hasil pengelolaan keuangan yang baik. Namun, seperti yang diidentifikasi dalam Aceh Public Expenditure Analysis (Bank Dunia, 2006), pengeluaran rutin terus meningkat, sedangkan pengeluaran pembangunan berkurang. Oleh karena itu, pengeluaran rutin harus benar-benar dikaitkan dengan perbaikan kinerja pemerintah daerah. Kurangnya transparansi Satu hal lagi yang penting dalam pengelolaan keuangan yang efektif adalah garis akuntabilitas yang jelas. Bagian utama dari hal ini adalah keterlibatan publik dan pengawasan keuangan oleh publik. Walaupun dijanjikan, informasi keuangan

39

Bab 5: Isu-isu Utama

pemerintah daerah terkadang sulit diakses oleh anggota masyarakat, media dan kelompok-kelompok masyarakat. Walaupun telah terdapat perkembangan dalam mendorong partisipasi publik yang lebih besar, standar yang lebih tinggi tidak dapat ditemukan pada pemerintah daerah. Sementara pemerintah daerah mengatakan telah mendorong partisipasi publik, tidak terlihat adanya keterlibatan yang berarti. Merubah budaya pemerintahan dalam hal ini merupakan suatu proyek jangka panjang dan perkembangan lebih lanjut dapat dicapai dengan memberikan tekanan kepada pemerintah daerah secara internal melalui media setempat dan kelompokkelompok masyarakat. Audit internal yang lemah Audit internal yang lemah mungkin belum terealisasi bahkan di pemerintah daerah dengan nilai PKP yang tergolong baik. Sebagai contoh, salah satu pemerintah daerah mendapat nilai yang cukup baik untuk bidang strategis ini, tetapi berdasarkan pengamatan singkat pada laporan audit tahunan kesan yang dapat ditangkap adalah tidak ada audit internal yang efektif. Tugas untuk memberdayakan badan pemeriksa, untuk merekrut pegawai yang tepat, untuk memastikan pemisahan antara pemeriksa dengan yang diperiksa, untuk memastikan kejanggalan dan penyalahgunaan ditindak lanjuti secara tepat dan sanksi dijatuhkan apabila terbukti bersalah bukanlah tugas yang mudah. Namun perbaikan benar-benar dibutuhkan, terutama di Aceh mengingat skala pendanaan yang besar pada tahun-tahun kedepan, dengan pendapatan minyak dan gas, pendapatan rekonstruksi dan pendapatan DAU tambahan. Kesalahan pengelolaan dana ini akan menimbulkan kehilangan kesempatan yang sangat disayangkan untuk Aceh. Audit internal yang lebih efektif dapat setidaknya memberikan upaya untuk memastikan dana-dana yang ada dicatat dengan baik dan dapat dilacak kembali. Penganggaran yang realistis dan berpihak kepada kelompok miskin Walaupun beberapa pemerintah daerah sepertinya mengalami perkembangan dalam membuat anggaran yang berpihak kepada kelompok miskin, yang lain hanya menjadikan perencanaan dan penganggaran yang memperhatikan kaum miskin sebagai kedok saja dan yang lainnya bahkan tidak melakukan apa-apa. Beberapa pemerintahan daerah tidak memiliki kapasitas untuk melakukan analisis kemiskinan yang mendetil dan kekurangan kapasitas untuk memastikan anggaran benar-benar berpihak pada kaum miskin. Dan juga, seringkali perbedaan besar antara pengeluaran yang direncanakan dan terealisasi pada beberapa siklus anggaran menunjukkan kurangnya kapasitas untuk membuat anggaran yang realistis. Pemekaran daerah Aceh Utara dan Lhokseumawe memberikan perbandingan yang bisa menarik, karena mereka mendapatkan nilai yang sangat jauh berbeda (69 persen dibandingkan dengan 29 persen) walaupun lima tahun yang lalu kedua kabupaten ini membentuk satu kabupaten yang sama. Sebagai tambahan, Aceh Utara, mendapatkan hasil yang relatif baik, terlepas dari tingkat kemiskinan yang relative tinggi. Walaupun survei ini tidak berusaha untuk menghubungkan hasil pengelolaan keuangan dengan tingkat kemiskinan atau indikator-indikator lainnya, bagaimanapun juga, perlu dicatat bahwa hasil yang baik dicapai walaupun tingkat kemiskinan di daerah ini relatif tinggi. Banyak responden yang menyebutkan kemauan dan komitmen politik tingkat tinggi dari pimpinan pemerintah daerah sebagai pendorong utama reformasi pengelolaan keuangan dan bukannya indikator ekonomi yang kuat. Upaya-upaya reformasi pemerintahan telah didukung oleh DPRD, LSM dan kelompok-kelompok masyarakat

40

Bab 5: Isu-isu Utama

berdasarkan temuan-temuan kualitatif tim peneliti. Hal ini bertentangan dengan beberapa pemerintah daerah yang mendapatkan nilai rendah yang, pada saat survei, tidak memiliki bupati definitive. Lhokseumawe belum memiliki walikota definitif setelah lima tahun berpisah dari Aceh Utara. Tarik tambang antara Aceh Utara dan Lhokseumawe, menurut pejabat pemerintah Lhokseumawe, mengakibatkan sedikitnya kebijakan yang dilaksanakan. Bahkan sampai saat ini beberapa dinas daerah tidak memiliki kantor sendiri dan terpaksa menyewa ruang kantor. Sebagai tambahan, semenjak pemisahan administratif dari Aceh Utara telah terjadi pergantian walikota sebanyak tiga kali di Lhokseumawe dan setiap perubahan kepemimpinan mengakibatkan pergantian kepala dinas. Salah satu hambatan yang paling jelas ditimbulkan oleh keadaan ini adalah pengesahan peraturan baru. Secara umum, pergantian kepemimpinan secara terus menerus dari tingkat atas sampai bawah di dinas menurunkan kemampuan untuk menjalankan strategi pembangunan yang koheren secara besar-besaran. Mengingat tingkat pemekaran daerah yang tidak hanya terjadi di Aceh melainkan juga di seluruh Indonesi, hal ini membawa akibat yang besar. Dukungan propinsi dan pusat Pemerintah daerah harus diberikan pedoman yang jelas mengenai bagaimana menjalankan pengelolaan keuangan mereka di masa yang akan datang. Pendekatan sepotong-sepotong saja tidak memadai. Walaupun jelas bahwa peran masingmasing pemerintah daerah untuk melakukan inovasi (dan hal ini harus didukung dan informasi harus disebarluaskan) perlu adanya pedoman d