PENGARUH FAKTOR INDIVIDU TERHADAP PENGAMBILAN …
Transcript of PENGARUH FAKTOR INDIVIDU TERHADAP PENGAMBILAN …
1
PENGARUH FAKTOR INDIVIDU TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
ETIS KONSULTAN PAJAK DALAM MELAKUKAN TAX PLANNING
(STUDI KASUS PADA KONSULTAN PAJAK DI KOTA MALANG)
Betari Citra Hutami
Prof. Dr. Unti Ludigdo, SE., M.Si., Ak.
Program Sarjana Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
ABSTRACT
This research is modification from research conducted by Shafer and Simmons (2008),
Richmond (2001) and Jiwo (2011). The aim of this research is to test the effects of three
individual factors, namely perceived role of ethics and social responsibility, machiavellian
behaviour, and ethical reasoning on the ethical decision-making by tax advisors.
The survey method was conducted on this research, based on a survey of tax consultant
firms in Malang, which are listed as the members of the Indonesia Tax Consultant Association
(IKPI) of the Malang branch. This research used purposive sampling method, with a sample
total of 66 respondents. Hypothesis testing used the SPSS regression analysis.
The results showed that from the three individual factors tested on this research, that
perceived role of ethics and social responsibility, machiavellian behavior, and ethical
reasoning all have significant effects on the ethical decision-making by tax consultants.
Keywords: Perceived Role of Ethics and Social Responsibility, Machiavellian Behaviour,
Ethical consideration, Ethical Decisions Making
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian Shafer dan Simmons (2008),
Richmond (2001) dan Jiwo (2011). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh
dari tiga faktor individual, yaitu persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab sosial, sifat
machiavellianisme, serta pertimbangan etis terhadap pengambilan keputusan etis oleh
konsultan pajak.
Metode survei digunakan dalam penelitian ini, yang ditujukan kepada kantor konsultan
pajak anggota terdaftar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Malang. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, dengan jumlah total sampel
66 responden. Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi linier berganda menggunakan
bantuan program SPSS 20.0.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tiga faktor individual yang diuji dalam
penelitian ini, bahwa faktor individu yaitu persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab sosial,
sifat machiavellianisme, serta pertimbangan etis berpengaruh signifikan terhadap pembuatan
keputusan etis oleh konsultan pajak
Kata Kunci: Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial, Sifat Machiavellian,
Pertimbangan Etis, Pembuatan Keputusan Etis.
2
PENDAHULUAN
Dalam rangka menyejahterakan masyarakat, pemerintah Indonesia terus mengupayakan
pembangunan negara secara maksimal. Untuk dapat melakukan pembangunan secara kontinu,
suatu negara membutuhkan pendapatan atau penghasilan. Saat ini sumber pendapatan negara
berasal dari sektor internal dan eksternal, pendapatan negara yang berasal dari sektor internal
salah satu nya berasal dari pajak, sedangkan sumber pendapatan negara yang berasal dari sektor
eksternal yaitu pinjaman luar negeri. Untuk meminimalkan ketergantungan dari pinjaman luar
negeri, pemerintah berusaha memaksimalkan pendapatan yang berasal dari sektor internal
(Arum, 2012).
Pajak merupakan sektor yang mempunyai peran vital dalam penerimaan negara.
Prosentase penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap
tahunnya selalu meningkat. Kontribusi penerimaan negara terbesar berasal dari sektor pajak
dalam APBN dapat dibuktikan dalam tabel 1.1 yang menunjukan pendapatan dari sektor pajak
yang mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Tabel 1. Prosentase Penerimaan Pajak Dalam Negeri 2012 - 2017
Tahun Penerimaan Dalam Negeri (Rp Milyar) Penerimaan Pajak (Rp Milyar) %
2012 1.332.322,90 980.518,10 73,59 %
2013 1.432.058,60 1.077.306,70 75,23 %
2014 1.545.456,30 1.146.856,80 74,21 %
2015 1,496,047.33 1.240.418,86 82,91 %
2016 1.784.249,90 1.539.166,20 86,26 %
2017 1.736.256,70 1.495.893,80 86,16 %
Sumber: Departemen Keuangan
Beberapa pihak berperan dalam penerimaan pajak, antara lain: Wajib Pajak (WP), petugas
pajak (fiskus), dan konsultan pajak. WP menjadi subjek utama karena baik pemungutan atau
perolehan pajak berasal dari WP, baik Orang Pribadi maupun Badan. Petugas pajak berperan
menarik pemasukan pajak demi memenuhi target pajak yang setiap tahunnya sudah dipastikan
mengalami peningkatan. Konsultan pajak berperan sebagai agen perpajakan dan juga
penghubung antara WP dan fiskus yang merepresentasikan Wajib Pajak. WP membutuhkan
jasa konsultan pajak karena beberapa pertimbangan diantaranya untuk mengefisiensikan
jumlah pembayaran pajak, mengurus administrasi pembayaran pajak, hingga menyelesaikan
sengketa perpajakan antara WP dan fiskus sebagai kuasa WP. Tidak jarang kepentingan
konsultan pajak yang dipengaruhi klien (WP) berlawanan dengan kepentingan otoritas pajak
(fiskus).
Erard (1993) menyatakan bahwa konsultan pajak memiliki kemampuan untuk
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kepatuhan perpajakan wajib pajak
dikarenakan pengetahuan konsultan pajak atas sistem perpajakan yang lebih dibandingkan
wajib pajak sehingga wajib pajak memiliki ekspektasi bahwa dengan menggunakan jasa
konsultan pajak maka wajib pajak dapat memenuhi kewajibannya dengan jumlah seminim
mungkin. Fakta ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian Shafer dan Simmons (2008)
yang menjelaskan bahwa sebagian konsultan pajak telah mengabaikan kepentingan umum
demi kepentingan klien dan komersial dengan cara memfasilitasi tindakan-tindakan terkait
penggelapan pajak.
3
“Posisi konsultan pajak berada dalam dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan
negara dalam meningkatkan jumlah penerimaan negara serta kepentingan klien dalam
meminimalkan beban pajak” (Inside Tax, 2013:11). Kepentingan terhadap negara bahwa
konsultan pajak memiliki kewajiban untuk mendorong WP dalam membayar pajak dengan
benar sesuai dengan peraturan pajak, sedangkan kepentingan terhadap klien bahwa konsultan
pajak harus memenuhi keinginan klien untuk meminimalisir dalam membayar pajak. Kedua
pernyataan tersebut memiliki arah yang berlawanan, di satu sisi seorang konsultan pajak harus
patuh terhadap peraturan untuk meningkatkan pemasukan pajak negara, sedangkan di sisi lain
konsultan pajak juga harus memenuhi keinginan klien untuk membayar pajak seminim
mungkin pada saat yang bersamaan.
Blanthorne, Burton, dan Fisher (2005) menyebutkan bahwa konsultan pajak menghadapi
suatu kondisi dilema. Konsultan pajak perlu membina hubungan yang baik dengan klien dan
di sisi lain konsultan pajak mempunyai kewajiban untuk memenuhi peraturan perpajakan.
Selanjutnya, berdasarkan Doyle, Hughes, dan Summer (2012) mengemukakan bahwa kondisi
ini menyebabkan konsultan pajak dihadapkan pada isu yang membutuhkan sebuah
pengambilan keputusan etis.
Perilaku (praktik) konsultan pajak banyak dipengaruhi faktor-faktor dalam menjalankan
profesinya. Faktornya bisa berasal dari dalam diri (individual) maupun faktor dari luar
(situasional). Menurut Jiwo (2011:29) “faktor individual antara lain persepsi pentingnya etika
dan tanggung jawab sosial, sifat machiavellian, dan pertimbangan etis”. Menurut Sari (2013:9)
“faktor situasional antara lain preferensi risiko, dominasi profesional, kekinian informasi, dan
hubungan profesional”. Faktor-faktor tersebut nantinya dapat mempengaruhi perilaku
konsultan pajak dalam mengambil keputusan etis. Keputusan etis dianggap penting dalam
siklus perpajakan karena nantinya mempengaruhi besar kecilnya penerimaan negara dari sektor
perpajakan.
Richmond (2001) menjelaskan bahwa kepribadian individu mempengaruhi keputusan etis.
Richmond meneliti hubungan antara sifat yaitu machiavellian dan pertimbangan etis terhadap
kecenderungan perilaku individu ketika menghadapi dilema-dilema etika. Machiavellian
adalah sebuah sifat agresif, dan kecenderungan untuk mempengaruhi serta mengendalikan
orang lain untuk mencapai tujuan pribadinya. Hasil penelitian menyatakan bahwa semakin
tinggi kecenderungan sifat machiavellian seorang individu, semakin mungkin untuk berprilaku
tidak etis dan semakin tinggi tingkat pertimbangan etis seseorang, makan individu tersebut
akan semakin berprilaku etis.
Menurut Lynch (1995), praktik perpajakan tidak jauh beda dari mencoba berlaku
professional, yang harus disesuaikan dengan standar etika yang tinggi. Lynch juga mengatakan
bahwa akuntan harus memberikan saran dan menekankan sebagaimana kewajiban mereka
bahwa adanya resiko dan ketidakpastian itu saling terkait. Etika sendiri sifatnya tidak mengikat
secara hukum dibandingkan dengan undang-undang, sehingga pelanggaran terhadap etika
banyak dilakukan oleh beberapa pihak untuk melancarkan kepentingannya. Bagaimanapun
juga, perencanaan pajak yang dilakukan oleh akuntan pajak sebagai strategi untuk
penghematan pajak tidak boleh melanggar undang-undang yang berlaku.
Terungkapnya kasus mengenai pelanggaran etika konsultan pajak menimbulkan
kekhawatiran mengenai kurangnya penerapan terhadap etika konsultan pajak. Contoh kasus
yang menimpa konsultan pajak di Indonesia adalah mengenai kasus konsultan pajak PT. Ditax
4
Management Resolusindo (Hendro Tirtawijaya) pada tahun 2012, Hendro Tirtawijaya yang
ditahan oleh tim penyidik tindak pidana khusus Kejaksaan Agung sebagai tersangka baru kasus
dugaan korupsi pajak dan pencucian uang Dhana Widyamitka. Hendro diduga sebagai makelar
dalam mengurus masalah pajak PT Mutiara Virgo yang menerima uang sebesar Rp. 20,8 miliar
dari Direktur Utama Mutiara Virgo (Johny), untuk diserahkan ke Herly Isdiharsono yang sudah
berstatus tersangka (atasan Dhana dan merupakan rekanan Hendro di kantor pelayanan pajak)
dalam mengurus restitusi pajak PT. Mutiara Virgo (beritasatu.com). Selain itu kasus konsultan
pajak Perusahaan Retail pada tahun 2011yang menyuap pegawai Dirjen Pajak yang digunakan
untuk memuluskan pengurusan keberatan dan banding atas PPh (Pajak Penghasilan) dan PPN
(Pajak Pertambahan Nilai) di Pengadilan Pajak (news.detik.com).
Guna mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penentu dalam pengambilan
keputusan etis, terdapat penelitian-penelitian sejenis mengenai faktor yang mempengaruhi
pengambilan keputusan etis. Shafer dan Simmons (2008) telah melakukan penelitian mengenai
hubungan antara persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab sosial (Perceived Role of Ethics
and Social Responsibility) serta Machiavellianism terhadap keinginan praktisi pajak untuk
melakukan penghindaran pajak yang agresif demi kepentingan klien. Hasil penelitian Shafer
dan Simmons menyatakan bahwa praktisi pajak yang memiliki persepsi terhadap etika dan
tanggung jawab sosial yang tinggi, memiliki kecenderungan untuk berlaku etis dengan tidak
setuju atas perbuatan penghindaran pajak secara agresif. Sedangkan praktisi pajak dengan
orientasi Machiavellianism yang tinggi mempunyai pandangan bahwa etika dan
tanggungjawab sosial merupakan hal yang kurang penting, sehingga memiliki kecenderungan
yang lebih besar untuk berperilaku tidak etis (melakukan penghindaran pajak secara agresif).
Alasan mengapa peneliti memilih konsultan pajak di kota Malang sebagai objek penelitian
karena kota Malang memiliki jumlah konsultan pajak yang terdaftar di IKPI cukup banyak
berdasarkan data online dari website resmi IKPI. Kota Malang memiliki jumlah konsultan
pajak relatif lebih banyak dibanding beberapa ibukota provinsi, antara lain: Banjarmasin,
Makassar, Pekanbaru, Pontianak, Yogyakarta, Lampung, Manado.
Tabel 2. Rincian Jumlah Konsultan Pajak Anggota IKPI
Kantor Cabang Jumlah Anggota Kantor Cabang Jumlah Anggota
Jakarta Barat 358 Malang 36
Jakarta Selatan 276 Banjarmasin 31
Jakarta Timur 202 Makasar 31
Surabaya 183 Pekanbaru 24
Tanggerang 152 Surakarta 22
Jakarta Pusat 139 Cirebon 18
Jakarta Utara 139 Pontianak 17
Bekasi 133 Yogyakarta 16
Medan 107 Lampung 13
Semarang 107 Pematang Siantar 12
Bandung 94 Tegal 10
Palembang 71 Manado 7
Bali 61 Bintan 5
Bogor 43 Balikpapan 2
Batam 41
Sumber: Daftar Anggota IKPI (http://www.ikpi.or.id)
5
Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji apakah dengan teori yang sama dan untuk
menjawab permasalahan yang sama dengan penelitian sebelumnya, namun dengan lokasi yang
berbeda akan menunjukan hasil yang sama atau tidak. Sehingga hasil penelitian ini dapat
memperkuat atau memperlemah teori dan hasil penelitian sebelumnya. Di Indonesia sendiri
penelitian ini sangat penting dengan petimbangan bahwa kondisi persaingan usaha di Indonesia
yang tinggi dan budaya etis yang masih rendah dengan banyaknya kasus-kasus penghindaran
pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan (Sari, 2013). Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya adalah dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Perbedaan
dimensi waktu yang dimaksud adalah penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2018, dan
perbedaan dimensi tempat adalah penelitian ini dilakukan di kota Malang.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsultan Pajak
Menurut Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan ayat 3 berbunyi: Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa
dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perudang-undangan perpajakan. Pasal 3a berbunyi: Persyaratan serta
pelaksaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Sesuai isi pasal 32 ayat 3a maka, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 tentang perubahan kedua atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 485/KMK.03/2003 tentang konsultan pajak Indonesia, menyatakan bahwa
Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib
Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan
peraturan perundang- undangan perpajakan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 111/PMK.03/2014
Pasal 2 ayat 1 Persyaratan Konsultan Pajak, setiap orang harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Warga Negara Indonesia;
2. Bertempat tinggal di Indonesia;
3. Tidak terikat dengan pekerjaan atau jabatan pada Pemerintah/ Negara dan/ atau Badan
Usaha Milik Negara/Daerah;
4. Berkelakuan baik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang;
5. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
6. Menjadi anggota pada satu Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar di Direktorat Jenderal
Pajak; dan
7. Memiliki sertifikat konsultan pajak.
Untuk melakukan praktik jasa profesi Konsultan Pajak, seorang Konsultan Pajak yang
telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud diatas, wajib mempunyai Izin Praktik
Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berlaku di seluruh
wilayah Republik Indonesia.
Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Perencanaan pajak (tax planning) menurut Crumbley, Friedman, dan Anders dalam
Suandy (2013:7) adalah analisis sistematis menangguhkan pajak ditunjukan untuk
6
meminimalkan kewajiban pajak di masa pajak saat ini dan masa depan. Menurut Lynos dalam
Suandy (2013:7) perencanaan pajak adalah skema atas usaha perorangan dan atau perusahaan
privat untuk meminimalkan kewajiban pajak. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
perencanaan pajak (tax planning) merupakan suatu usaha meminimalkan beban pajak melalui
analisis sistematis untuk menyusun skema perpajakan yang dilakukan dalam bisnis baik orang
pribadi maupun perusahaan.
Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui
manajemen pajak. Menurut Lumbantoruan (1996), tujuan manajemen pajak dapat dibagi
menjadi dua, sebagai berikut:
1. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar
2. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya
Penghematan pajak hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur
(loopholes). Rencana meminimalkan pajak dapat ditempuh misalnya dengan mengambil
ketentuan mengenai pengecualian dan pemotongan atau pengurangan yang diperkenankan.
Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan suatu transaksi atau
fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan
untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak
dimaksud dapat ditunda pembayarannya, dan lain sebagainya (Suandy, 2013).
Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani dari kata ethos (bentuk tunggal) yang memiliki arti:
kebiasaan, adat, watak, sikap dan cara berpikir. Menurut Kater dalam Agoes (2014: 26) secara
etimologis, etika dapat diartika sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang
adat kebiasaan yang berkenaan dengan perbuatan baik dan yang buruk. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1998), etika dirumuskan dalam pengertian sebagai berikut:
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak)
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etika merupakan suatu pemahaman tentang
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di dalam kelompok atau masyarakat atas apa yang
boleh dilakukan, pantas maupun tidak pantasnya suatu perilaku.
Terdapat banyak teori-teori yang membahas etika. Salah satu teori yang sering digunakan
untuk menjelaskan etika ialah teori deontology. Menurut Bertens dalam Agoes (2014: 47),
istilah deontology berasal dari kata Yunani deon yang artinya kewajiban. Paha mini dipelopori
oleh Kant (1724-1804). Paham deontology mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan
tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut.
Suatu perbuatan tidak pernah menjai baik karena hasilnya baik. Hasil baik tidak pernah menjadi
alasan untuk membenarkan suatu tindakan, melainkan karena kita wajib melaksanakan
tindakan tersebut demi kewajiban itu sendiri. Dari pengertian teori deontology di atas, dapat
disimpulkan bahwa suatu tindakan disebut etis apabila seseorang melaksanakan kewajibannya.
Dalam dunia bisnis, suatu perusahaan memiliki kewajiban perpajakan terhadap
pemerintah berupa pembayaran pajak yang sesuai dengan ketentuan. Akuntan pajak yang
bekerja di suatu perusahaan wajib menaati setiap kebijakan yang dkeluarkan oleh pemerintah.
7
Namun adakalanya pihak perusahaan menetapkan kebijakan yang berlawanan dengan
kebijakan pemerintah, sehingga menyebabkan akuntan pajak perusahaan menghadapi dilema
etis.
Konsep Etika dalam Perencanaan Pajak
Untuk meminimalkan beban pajak perusahaan, akuntan pajak melakukan perencanaan
pajak (tax planning) baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) atau yang
disebut dengan tax avoidance, maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful) atau
yang disebut dengan tax evasion.
Tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak terutang dengan cara
melanggar ketentuan perpajakan (ilegal/ unlawful) seperti dengan cara tidak melaporkan
sebagian penjualan atau dengan memperbesar biaya dengan cara fiktif (Darussalam dan
Septriadi, 2009). Vanistendael dalam Slamet (2007:9) menyatakan bahwa tax evasion adalah
tindakan melanggar hukum dan dikenakan sanksi pidana.
Berbeda dengan tax evasion, beberapa ahli menyatakan bahwa tax avoidance adalah
kegiatan yang sah (legal/ lawful) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Darussalam
dan Septriadi (2009) mengartikan tax avoidance sebagai skema transaksi yang ditujukan untuk
meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loopholes)
ketentuan perpajakan suatu negara. Menurut Kessler dalam Slamet (2007: 9), tax avoidance
adalah tindakan mengurangi atau menghindari pajak dengan cara yang masih sesuai dengan
tujuan dari pembuat Undang-Undang. Menurut Kessler dalam Slamet (2007:9) bentuk tax
avoidance yang dilarang adalah jika tindakan wajib pajak benar menurut UU tapi tidak benar
atau tidak sesuai dengan maksud dari pemerintah sebagai pembuat UU. Praktik tax avoidance
ini memunculkan suatu dilema bagi pemerintah, karena wajib pajak memanfaatkan kelemahan-
kelemahan pemerintah untuk melakukan pengurangan jumlah pajak yang harus dibayar. Hal
ini menimbulkan pendapat yang kontra atas praktik tax avoidance.
Adanya perbedaan pendapat dalam praktik tax planning ini mengharuskan praktisi pajak
harus berhati-hati dalam pengambilan keputusannya. Perencanaan pajak (tax planning) yang
baik menurut Suandy (2013:9) setidak-tidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan,
antara lain:
a. Tidak melanggar kewajiban dan ketentuan perpajakan.
b. Secara bisnis perencanaan pajak masuk akal.
c. Bukti-bukti pendukungnya yang memadai, misalnya dukungan perjanjian (agreement),
faktur (invoice), dan lain sebagainya.
Faktor Individu dalam Pengambilan Keputusan Etis
1. Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Sosial
Secara etimologis, persepsi berasal dari bahasa Latin percipare yang bermakna menerima.
Menurut Leavit dalam Sobur (2003) persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana
cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas persepsi adalah pandangan atau
pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi
mempunyai sifat subjektif karena bergantung pada kemampuan dan keadaan dari masing-
masing individu, sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh individu yang satu dengan yang lain.
8
Menurut Wisesa (2011), suatu profesi tidak hanya didasarkan pada keahlian dan
keterampilan, melainkan yang tidak kalah penting adalah mengutamakan nilai-nilai moral
berupa tanggung jawab, kejujuran, dan integritas. Selain pentingnya etika, akuntan juga harus
memiliki kesadaran tanggung jawab sosial. Menurut Post dalam Nur Aini (2013) social
responcibility merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan para pemangku
kepentingan. Social responsibility menjadi satu tuntutan ketika operasional perusahaan
mempengaruhi pihak eksternal, terutama ketika terjadi externalisties dis-economic yaitu
tindakan pelaku ekonomi yang satu merugikan yang lain. Hal itu, memunculkan penolakan
sosial yang dapat memicu adanya konflik sosial. Dari uraian pendapat ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa tanggung jawab sosial adalah kesadaran atas tindakan/perbuatan dan
dampak yang dihasilkan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya terhadap lingkungan dimana
perusahaan itu berada.
Penelitian dalam etika bisnis menunjukkan bahwa sikap terhadap pentingnya kode etik
perusahaan dan tanggung jawab sosial memiliki pengaruh penting terhadap proses
pengambilan keputusan etis. Singhapakdi (1996) berpendapat bahwa sikap seperti itu menjadi
penentu utama ada atau tidaknya permasalahan etika yang mungkin timbul di dalam situasi
tertentu. Sikap terhadap etika perusahaan dan tanggung jawab sosial perusahaan harus
berpengaruh baik secara deontologis (penilaian suatu tindakan apakah moral atau etis secara
prinsip) dan teleologis (penilaian pragmatis berdasarkan tindakan).
Selanjutnya Singhapakdi et al. (1996) mengembangkan sebuah instrument untuk
mengukur persepsi peran etika dan tanggung jawab sosial/Perceived Role of Ethics and Social
Responsibility (PRESOR) dalam sebuah organisasi yang efektif. Skala ini telah digunakan
dalam beberapa studi sebelumnya dan beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa sikap
terhadap etika dan tanggung jawab sosial perusahaan akan memiliki dampak yang signifikan
terhadap proses pembuatan keputusan etis.
Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang
dilayani oleh anggota (konsultan pajak). Dengan kata lain, tanggung jawab konsultan pajak
tidak semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan klien/pemberi kerja semata. Tanggung
jawab konsultan pajak bukan hanya terhadap kepentingan klien dengan mencari keuntungan
semata, melainkan juga kepada pihak stakeholder perusahaan, masyarakat, dan juga
pemerintah.
2. Sifat Machiavellian
Paham machiavellianis diajarkan oleh seorang ahli filsuf politik dari Italian bernama
Niccolo Mahiavelli (1469-1527). Teori ini menggambarkan tentang penguasa menggunakan
cara-cara tak terpuji tapi itu memberikan kemakmuran kepada rakyat dan negaranya maka hal
itu dinilai lebih baik bila dibandingkan dengan bersikap sopan dan banyak pertimbangan tapi
tidak memberi keamanan pada rakyat.
Sayangnya konsep ini sering digunakan secara tidak tepat dan bertentangan dengan teori
etika. Banyak individu yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan akhirnya tanpa
memperhatikan nilai moral/ etika yang berlaku. Dalam bidang ekonomi sendiri, banyak ahli
yang meneliti pengaruh sikap machiavellianism terhadap pengambilan keputusan etis.
Machiavellianisme oleh Christie dan Greis (1970) didefinisikan sebagai sebuah proses
dimana manipulator mendapatan lebih banyak reward dibandingkan yang dia peroleh ketika
9
tidak melakukan manipulasi, ketika orang lain mendapatkan lebih kecil, minimal dalam jangka
pendek. Christie dan Geis (1970) menyatakan bahwa Machiavellian merupakan sebuah
kepribadian yang antisosial, tidak memperhatikan moralitas konvensional dan mempunyai
komitmen ideologis yang rendah. Individu yang memiliki kepribadian Machiavellian yang
tinggi melakukan apapun yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.
Menurut Richmond (2001), sifat machiavellian adalah sebuah sifat agresif, dan
kecenderungan untuk mempengaruhi serta mengendalikan orang lain untuk mencapai tujuan
pribadinya. Kepribadian machiavellian selanjutnya dideskripsikan oleh Richmond (2001)
sebagai kepribadian yang kurang mempunyai afeksi dalam hubungan personal, mengabaikan
moralitas konvensional, dan memperlihatkan komitmen ideologi yang rendah. Kepribadian
machiavellian mempunyai kecenderungan untuk memanipulasi orang lain, sangat rendah
penghargaannya pada orang lain. Shafer dan Simmons (2008) menyatakan bahwa seseorang yang cenderung menggunakan
taktik manipulatif dan kurang peduli terhadap moral akan terlibat dalam tindakan tidak etis
dalam berbagai situasi. Shafer dan Simmons mengidentifikasi tiga hal yang mendasari
machiavellianisme, yaitu:
a. Advokasi pada taktik manipulatif seperti tipu daya atau kebohongan;
b. Pandangan atas manusia yang tak menyenangkan, yaitu lemah, pengecut, dan mudah
dimanipulasi; dan
c. Kurangnya perhatian dengan moralitas konvensional.
3. Pertimbangan Etis
Pertimbangan etis memiliki pengertian pembuatan sebuah pemikiran/ pertimbangan
mengenai kebenaran yang pasti dari tindakan secara etis seperti apa yang seharusnya dilakukan.
Pertimbangan etis yang didefinisikan oleh (Wibowo, 2007) berarti sebagai pertimbangan-
pertimbangan apa yang harus diputuskan serta dilakukan untuk mengatasi dilema etis.
Pertimbangan etis mengarah pada suatu pertimbangan mengenai apakah kebenaran secara pasti
dari tindakan-tindakan secara etis seperti apa yang seharusnya memang dilakukan. Proses dari
tahapan-tahapan pertimbangan etis yaitu meliputi pemikiran etis dari pertimbangan
profesionalnya dalam sebuah pemecahan yang ideal untuk dilema etis (Thorne, 2000).
Ponemon (1992) menyatakan bahwa level pertimbangan etis yang tinggi akan lebih
meningkatkan sensitivitas seorang individu untuk lebih meningkatkan sensitivitas seorang
individu untuk lebih mengkritisi kejadian, masalah dan konflik. Konsultan pajak dengan
kapasitas pemikiran etis yang tinggi akan lebih baik dalam menghadapi konflik dan dilema
etika dan lebih independen dalam membuat keputusan yang terkait dengan dilema etika.
Penelitian Richmond (2001) menunjukan individu yang berkembang dengan pertimbangan
moral yang lebih baik, kecil kemungkinannya berperan dalam kepribadian yang tidak etis.
Pengambilan Keputusan Etis
Pengambilan keputusan menurut Terry dalam Talloo (2008: 69) ialah suatu pemilihan
alternatif tingkah laku tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada. Menurut McFarland
dalam Talloo (2008: 69), pengambilan keputusan merupakan suatu tindakan mengambil
kesimpulan tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu. Dari pengertian di atas,
10
dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu tindakan mengambil
kesimpulan atas apa yang harus dilakukan dari sejumlah alternatif yang ada.
Ferrel dan Gresham (1985) menyusun sebuah kerangka untuk memahami proses
pengambilan keputusan etis dalam bidang pemasaran. Meskipun model ini diterapkan pada
profesional pemasaran, namun juga bisa diaplikasikan pada profesi fungsional dalam
organisasi seperti akuntan, manajemen dan lain sebagainya.
Dalam kerangka proses pengambilan keputusan tersebut, ketika seseorang menghadapi
dilema etis, maka pengambilan suatu keputusan akan dipengaruhi oleh faktor individu dan
situasional. Faktor individu yang digambarkan pada model Ferrel dan Gresham (1985) terdiri
dari latar belakang personal yaitu pengetahuan, nilai individu, sikap, dan niat, serta
karakteristik sosial seperti pendidikan dan pengalaman bisnis. Faktor diluar faktor individu
pada model tersebut yaitu karakteristik organisasi, yang terdiri dari kondisi eksternal organisasi
(pelanggan dan perusahaan lain) serta kondisi dalam organisasi (rekan kerja dan atasan).
Evaluasi atas keputusan yang diambil (etis/tidak etis) akan kembali lagi dipengaruhi oleh
faktor-faktor baik dari individu maupun situasional.
Melengkapi model pembuatan keputusan etis dari Ferrel dan Gresham (1985), Jones
(1991) mendefinisikan tiga hal dalam memahami model pembuatan keputusan etis, yaitu:
a. Moral Issue
Permasalahan moral timbul ketika ada tindakan seseorang yang mungkin dapat merugikan
atau menguntungkan orang lain.
b. Moral Agent
Agen moral adalah orang yang membuat keputusan moral.
c. Ethical Decision
Keputusan etis sebagai keputusan yang baik secara legal maupun moral diterima dalam
masyarakat luas. Sebaliknya, keputusan yang tidak etis (unethical decision) adalah
keputusan yang tidak diterima oleh masyarakat luas baik secara moral maupun legal.
Pengambilan keputusan etis melibatkan proses penalaran etis yang di dalamnya
mengolaborasi kesadaran moral dan kemampuan kognitif seseorang. Kesadaran moral tidak
ditentukan oleh perasaan, melainkan oleh kemampuan intelektual, yaitu kemampuan untuk
memahami dan mengerti sesuatu secara rasional (Suseno, 2000). Kohlberg dalam Wisesa
(2011), menekankan pentingnya perhatian kepada kesadaran moral ini untuk memahami
bagaimana keputusan etis diambil.
Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan etis
merupakan pengambilan keputusan yang secara legal maupun moral diterima oleh masyarakat
luas yang melibatkan proses penalaran etis dengan kesadaran moral dan kemampuan kognitif
dalam memahami isu etis.
Kerangka Konseptual dan Pengembangan Hipotesis
Studi ini menggabungkan faktor-faktor yang menjadi determinan pengambilan keputusan
etis oleh konsultan pajak dengan menggabungkan variabel-variabel penelitian yang dilakukan
oleh Shafer dan Simmons (2008), Richmond (2001) dan Jiwo (2011). Faktor Individu dan
diteliti sesuai dengan penelitian Shafer dan Simmons (2008) yaitu persepsi pentingnya etika
dan tanggung jawab sosial dan sifat machiavellian serta faktor individu dari penelitian
Richmond (2001) yaitu sifat machiavellian dan pertimbangan etis.
11
Model Penelitian
Pengaruh Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial (X1) terhadap
Pengambilan Keputusan Etis (Y)
Singhapakdi et al. (1995) meneliti pengaruh nilai-nilai etika perusahaan dan filosofi moral
pribadi terhadap pentingnya etika dan tanggung jawab sosial dari profesional pemasaran. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara nilai-nilai etika perusahaan
pemasar dan persepsi-persepsinya mengenai pentingnya etika dan tanggung jawab sosial. Hasil
penelitiannya juga mengungkapkan bahwa persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab
sosial pemasar (marketers) sebagian dapat dijelaskan oleh filsafat moral mereka (idealisme dan
relativisme). Singhapakdi et al. (1996) mengembangkan intrumen yang handal dan valid untuk
mengukur bagaimana para pemasar (marketer) mempersepsikan peran etika dan tanggung
jawab sosial dalam sebuah organisasi yang efektif.
Kurpis et al. (2008) mencatat bahwa karena sifat khusus dari bisnis, profesional bisnis
cenderung menghadapi dilema etika yang unik untuk profesi mereka. Demikian juga dengan
profesi konsultan pajak. Isu pengambilan keputusan etis konsultan pajak sebagai akibat dari
adanya masalah dual agency pada hubungan antara konsultan pajak dengan klien; di satu sisi
konsultan pajak perlu membina hubungan baik dengan klien, namun disisi lain konsultan pajak
memiliki kewajiban untuk mematuhi peraturan pajak (Blanthorne et al., 2014).
Shafer dan Simmons (2008) mengkaji pengaruh perilaku terhadap persepsi pentingnya
etika perusahaan dan tanggung jawab sosial pada kesediaan praktisi pajak profesional untuk
mengadvokasi skema penghindaran agresif atas nama klien perusahaan. Studi Shafer dan
Simmons (2008) berhipotesis bahwa praktisi yang mempersepsikan etika perusahaan dan
tanggung jawab sosial tersebut lebih penting akan menilai penghindaran (avoidance) agresif
kurang menguntungkan, dan karenanya akan memperkirakan kemungkinan yang lebih rendah
dari persetujuan dalam skema tersebut. Temuan, berdasarkan survei dari para profesional pajak
di Hong Kong, mendukung hipotesis. Jiwo (2011) menjelaskan bahwa konsultan pajak di
Kantor Akuntan Publik (KAP) Semarang memiliki pemahaman etika yang baik dalam
Persepsi Pentingnya Etika dan
Tanggung Jawab Sosial (X1)
Shafer dan Simmons (2008), Jiwo (2011)
Sifat Machiavellian (X2)
Shafer dan Simmons (2008),
Richmond (2001), Jiwo (2011)
Pertimbangan Etis (X3)
Richmond (2001), Jiwo (2011)
Pengambilan Keputusan Etis (Y)
Shafer dan Simmons (2008),
Richmond (2001), Jiwo (2011)
12
menjalankan pekerjaannya konsultan pajak mempunyai persepsi terhadap pentingnya etika dan
tanggung jawab sosial yang tinggi dan baik. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menguji
bagaimanakah pengaruh persepsi konsultan perpajakan atas pentingnya etika dan tanggung
jawab sosial terhadap pengambilan keputusan etis. Berdasarkan penjelasan-penjelasan
tersebut, maka hipotesis satu yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
H1: Persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab sosial berpengaruh positif terhadap
pembuatan keputusan etis oleh konsultan pajak
Pengaruh Sifat Machiavellian (X2) terhadap Pengambilan Keputusan Etis (Y)
Teori pengambilan keputusan etis yang dimodelkan Ferrell dan Gresham (1985)
menjelaskan bahwa apabila seseorang menghadapi sebuah dilema etis, maka perilaku yang
muncul dipengaruhi oleh interaksi antara karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan
individu. Individu machiavellian digambarkan sebagai kurang melibatkan emosi dengan orang
lain, memiliki sedikit hubungan interpersonal, dan cenderung lebih menolak normanorma etika
untuk mencapai tujuan pribadi (Christie dan Geis, 1970).
Machiavellianism merupakan konstruk yang melambangkan serangkaian perilaku yang
meliputi kurangnya moralitas, sikap negatif dan detasemen emosional. Richmond (2001)
menjelaskan bahwa kecenderungan sifat machiavellian yang semakin tinggi maka seseorang
akan cenderung untuk berperilaku tidak etis. Sebaliknya, jika kecenderungan sifat
machiavellian rendah maka seseorang akan cenderung untuk berperilaku etis. Murphy (2012)
menemukan bahwa akuntan yang memiliki sifat machiavellian lebih cenderung melaporkan
laporan keuangan secara keliru dibandingkan dengan yang memiliki sifat Machiavellian yang
lebih rendah. Purnamasari (2006) menjelaskan bahwa individu dengan sifat machiavellian
tinggi cenderung memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan lebih
memiliki keinginan untuk tidak taat pada aturan. Penelitian yang ada secara konsisten
menemukan bahwa machiavellian menunjukkan nilai-nilai etika yang rendah.
Studi Shafer dan Simmons (2008) berhipotesis bahwa praktisi pajak profesional dengan
orientasi machiavellian kuat akan cenderung merasa bahwa etika perusahaan dan tanggung
jawab sosial itu penting, dan lebih cenderung menilai skema penghindaran pajak agresif
menguntungkan. Temuan, berdasarkan survei dari para profesional pajak di Hong Kong,
mendukung hipotesis tersebut. Berangkat dari temuan tersebut maka studi ini berupaya
menguji bagaimana pengaruh sifat machiavellian terhadap pembuatan keputusan etis oleh
konsultan pajak di kota Malang. Sehingga hipotesis kedua dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
H2: Sifat machiavellian berpengaruh negatif terhadap pembuatan keputusan etis oleh
konsultan pajak.
Pengaruh Pertimbangan Etis (X3) terhadap Pengambilan Keputusan
Etis (Y)
Ponemon (1992) menyatakan bahwa level pertimbangan etis yang lebih tinggi akan
meningkatkan sensitifitas seorang individu untuk lebih mengkritisi kejadian, masalah dan
konflik. Auditor dengan kapasitas pemikian etis yang tinggi akan lebih baik dalam menghadapi
konflik dan dilema etis, dan lebih independen dalam membuat keputusan yang terkait dengan
dilema etis.
13
Purnamasari (2006) menyatakan pertimbangan etis yang tinggi akan lebih baik dalam
menghadapi konflik dan dilema etis, bahwa individu yang lebih berkembang secara moral
(pertimbangan etisnya lebih tinggi) kemungkinannya akan lebih kecil untuk menyetujui
perilaku yang tidak etis dan lebih independen dalam membuat keputusan yang terkait dengan
dilema etis.
Jiwo (2011) menyatakan pertimbangan etis telah menjadi komponen penting dalam studi
mengenai kepribadian dalam profesi akuntansi karena banyak pertimbangan profesional yang
ditentukan berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai individual. Profesi akuntansi, termasuk dalam
perpajakan, selalu berhadapan dengan tekanan untuk mempertahankan standar etika yang
tinggi di tengah kompetisi yang terus meningkat. Beberapa penelitian terdahulu seperti yang
terangkum. Jiwo (2011) menyarankan individu yang berkembang dengan moral yang lebih
baik, kecil kemungkinannya berperan dalam kepribadian yang tidak etis.
Blanthorne et al. (2014) menemukan bahwa pertimbangan moral mempengaruhi
keputusan pelaporan pajak agresif terpisah dari pengaruh tekanan klien. Karena tingkat
pertimbangan moral meningkat, posisi pelaporan agresivitas ditemukan juga menurun. Seorang
konsultan pajak dengan pertimbangan etis yang baik diharapkan dapat membuat keputusan
yang cenderung etis, sehingga hipotesis ketiga penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
H3: Pertimbangan etis berpengaruh positif terhadap pembuatan keputusan etis oleh
konsultan pajak
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian deksriptif kuantitatif. Metode
pendekatan deskriptif adalah metode penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan secara
sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan
cermat yang kemudian akan dianalisis dengan pendekatan kuantitatif yang dengan
menggunakan statistik. Penelitian ini kuantitatif karena penelitian ini bertujuan untuk menguji
data empiris dengan menggunakan dasar kerangka teori yang menggambarkan hubungan antar
variabel, lalu membangun hipotesisnya.
Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini yaitu seluruh konsultan pajak yang bekerja di kantor konsultan
pajak kota Malang yang terdaftar di IKPI Cabang Malang. Berdasarkan data online yang
diakses via internet melalui website resmi IKPI. Alasan mengapa peneliti memilih objek
penelitian tersebut karena IKPI merupakan asosiasi konsultan pajak yang saat ini memiliki
anggota paling banyak di Indonesia. Kota Malang dipilih karena jumlah konsultan pajak yang
terdaftar di IKPI cukup banyak berdasarkan data online dari website resmi IKPI. Kota Malang,
meskipun bukan termasuk kota yang menjadi pusat bisnis utama di Indonesia, tetapi memiliki
jumlah konsultan pajak relatif lebih banyak dibanding beberapa ibukota provinsi, antara lain:
Banjarmasin, Makassar, Pekanbaru, Pontianak, Yogyakarta, Lampung, Manado (Ikatan
Konsultan Pajak Indonesia, 2018).
Penentuan sample pada penelitian ini menggunakan metode non-probabilitas yaitu
purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan sample berdasarkan kriteria
14
tertentu atas sekelompok target. Kriteria tersebut adalah seluruh konsultan pajak yang bekerja
di Kota Malang.
Metode Pengumpulan Data
Metode pemilihan sampel yang digunakan adalah teknik non-probabilitas sampling, yaitu
purposive sampling. Sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang ditentukan
sebagai sampel karena seseorang tersebut dianggap memiliki informasi yang diperlukan dalam
sebuah penelitian.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode survei, yaitu dengan
menyebarkan daftar pertanyaan berupa kuesioner kepada kantor konsultan pajak yang terdaftar
di IKPI cabang Malang. Kuesioner ini terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian pertama berisi
demografi responden, dan bagian kedua merupakan sejumlah kelompok pertanyaan yang telah
terstruktur. Kuesioner pada penelitian ini berasal dari penelitian terdahulu, baik yang dilakukan
oleh Richmond (2001), Shafer dan Simmons (2008) maupun yang dilakukan oleh dan Jiwo
(2011).
Metode Analisis Data
Metode analisis data pada penelitian ini yaitu menggunakan analisis statistik. Metode
analisis data dalam penelitian ini menggunakan bantuan program IBM SPSS Statistics 20.
Penelitian ini menggunakan analisis Regresi Linier Berganda sebagai alat analisis untuk
pengujian hipotesis-hipotesis nya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini diambil sebanyak 66 orang yang telah menjadi responden. Uji
kualitas data dari penelitian yang terdiri atas Uji Validitas dan Uji Realibilitas. Uji Validitas
dapat dilihat dengan nilai signifikasi lebih besar dari r-tabel yang berarti tiap-tiap item variabel
adalah valid, sehingga disimpulkan bahwa item-item tersebut dapat digunakan untuk mengukur
variabel penelitian. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Cronbach’s Alpha yang
dimana setiap variabel ditemukan sudah handal (reliable) karena nilai dari Cronbach’s Alpha
lebih besar dari 0,7.
Uji asumsi klasik yang menjadi pengujian berikutnya, uji asumsi klasik terdiri atas Uji
Normalitas, Uji Multikolinearitas, Uji Heteroskedastisitas. Dimulai dari Uji Normalitas, dapat
dilihat pada tabel Hasil Uji Normalitas yang dimana pengujian dilakukan dengan menggunakan
metode Kolmogorov-Smirnof, dengan nilai signifikan yang dimana nilai tersebut lebih besar
dari 0,05 yang artinya unstandardrized terdistribusi normal. Kemudian uji kedua yaitu uji
Multikolinearitas dengan nilai tolerance masing-masing vaiabel lebih besar dari 0,1 dan nilai
VIF lebih besar dari 10 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar
variable independen. Uji ketiga yaitu uji heteroskedastisitas dengan hasil yang menggunakan
grafik Scatterplot yang menyebar dan tidak membentuk pola tertentu maka tidak terjadi
heteroskedatisitas, sehingga dapat disimpulkan bahwa ragam residual homogen (konstan) atau
dengan kata lain tidak terdapat gejala heteroskedastisitas.
Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menghitung besarnya pengaruh antara
variabel independen, yaitu Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial (X1), Sifat
Machiavellian (X2), Pertimbangan Etis (X3) terhadap variabel dependen yaitu Pengambilan
15
Keputusan Etis (Y). Dengan menggunakan bantuan SPSS 20 didapat model regresi seperti
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Regresi Linier Berganda
Variabel
Dependen
Variabel
Independen
Standardized Coefficients
Beta t Sig. Keterangan
Y
(Constant) 0.658 0.513
X1 0.250 2.188 0.032 Signifikan
X2 -0.275 -2.629 0.011 Signifikan
X3 0.345 2.854 0.006 Signifikan
R : 0.727
R Square : 0.529
Adjusted R Square : 0.506
F hitung : 23.234 F tabel : 2.753
Sig. F : 0.000 t Tabel : 1.999
Sumber: Hasil penelitian; Data diolah dengan SPSS 20 (2018)
Model regresi yang digunakan adalah standardized regression, karena data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data interval yang pengukurannya menggunakan skala
likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau
kelompok. Dalam standardized regression, ukuran variabel atau ukuran jawabannya telah
disamakan. Adapun persamaan regresi yang didapatkan berdasarkan Tabel 3 adalah sebagai
berikut:
Y = 0,250 X1 – 0,275 X2 + 0,345 X3
Dari persamaan di atas dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
- b1 = 0,250, artinya Pengambilan Keputusan Etis (Y) akan meningkat sebesar 0,250 satuan
untuk setiap tambahan satu satuan X1 (Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab
Sosial). Jadi apabila Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial mengalami
peningkatan 1 satuan, maka Pengambilan Keputusan Etis akan meningkat sebesar 0,250
satuan dengan asumsi variabel yang lainnya dianggap konstan.
- b2 = -0,275, artinya Pengambilan Keputusan Etis (Y) akan menurun sebesar 0.275 satuan
untuk setiap tambahan satu satuan X2 (Sifat Machiavellian), Jadi apabila Sifat
Machiavellian mengalami peningkatan 1 satuan, maka Pengambilan Keputusan Etis akan
menurun sebesar 0.275 satuan dengan asumsi variabel yang lainnya dianggap konstan.
- b3 = 0,345, artinya Pengambilan Keputusan Etis (Y) akan meningkat sebesar 0,345 satuan
untuk setiap tambahan satu satuan X3 (Pertimbangan Etis), Jadi apabila Pertimbangan Etis
mengalami peningkatan 1 satuan, maka Pengambilan Keputusan Etis akan meningkat
sebesar 0,345 satuan dengan asumsi variabel yang lainnya dianggap konstan.
Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk menghitung besarnya pengaruh atau
kontribusi variabel independen terhadap variabel dependen. Dari analisis pada Tabel 3 dapat
dilihat hasil Adjusted R Square (koefisien determinasi) sebesar 0,506. Artinya bahwa 50,6%
variabel Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial (X1), Sifat Machiavellian (X2),
16
dan Pertimbangan Etis (X3). Sedangkan sisanya 49,4% variabel Pengambilan Keputusan Etis
akan dipengaruhi oleh variabel-variabel yang lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini.
Hasil Uji F
Pengujian F atau pengujian model digunakan untuk mengetahui apakah hasil dari analisis
regresi signifikan atau tidak, dengan kata lain model yang diduga tepat/sesuai atau tidak.
Berdasarkan Tabel 3 nilai F hitung sebesar 23,234. Sedangkan F tabel (α = 0.05; df regresi =
3; df residual = 62) adalah sebesar 2,753. Karena F hitung > F tabel yaitu 23,234 > 2,753 maka
model analisis regresi adalah sudah baik. Hal ini berarti H0 ditolak dan Ha diterima sehingga
dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan sudah baik untuk pendugaan.
Hasil Uji t
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen secara parsial
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Berdasarkan Tabel 3
diperoleh hasil sebagai berikut:
- Uji t antara X1 (Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial) dengan Y
(Pengambilan Keputusan Etis) menunjukkan t hitung = 2,188. Sedangkan t tabel (α = 0.05;
df residual = 62) adalah sebesar 1,999. Karena t hitung > t tabel yaitu 2,188 > 1,999 atau
nilai sig t (0,032) < α = 0.05 maka pengaruh X1 (Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung
Jawab Sosial) terhadap Pengambilan Keputusan Etis adalah signifikan.
- Uji t antara X2 (Sifat Machiavellian) dengan Y (Pengambilan Keputusan Etis)
menunjukkan t hitung = 2,011. Sedangkan t tabel (α = 0.05; df residual = 62) adalah sebesar
1,999. Karena t hitung > t tabel yaitu 2,011 > 1,999 atau nilai sig t (0,011) < α = 0.05 maka
pengaruh X2 (Sifat Machiavellian) terhadap Pengambilan Keputusan Etis adalah
signifikan.
- Uji t antara X3 (Pertimbangan Etis) dengan Y (Pengambilan Keputusan Etis) menunjukkan
t hitung = 2,854. Sedangkan t tabel (α = 0.05; df residual = 62) adalah sebesar 1,999. Karena
t hitung > t tabel yaitu 2,854 > 1,999 atau nilai sig t (0,006) < α = 0.05 maka pengaruh X3
(Pertimbangan Etis) terhadap Pengambilan Keputusan Etis adalah signifikan.
PENUTUP
Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor induvidu yang mempunyai pengaruh
terhadap Pengambilan Keputusan Etis seorang konsultan pajak dalam melakukan tax planning.
Berdasarkan pada hasil analisis Regresi Linier Berganda beserta pembahasannya, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengaruh secara simultan (bersama-sama) tiap variabel independen terhadap Pengambilan
Keputusan Etis dilakukan dengan pengujian F-test. Dari hasil analisis regresi linier
berganda diperoleh variabel independen mempunyai pengaruh yang signifikan secara
simultan terhadap Pengambilan Keputusan Etis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pengujian terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa adanya pengaruh secara bersama-
sama (simultan) variabel independen terhadap variabel Pengambilan Keputusan Etis dapat
diterima.
17
2. Untuk mengetahui pengaruh secara individu (parsial) variabel independen (Persepsi
Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial (X1), Sifat Machiavellian (X2), dan
Pertimbangan Etis (X3)) terhadap Pengambilan Keputusan Etis dilakukan dengan
pengujian t-test. Berdasarkan pada hasil uji didapatkan bahwa terdapat tiga variabel
independen tersebut mempunyai pengaruh signifikan terhadap Pengambilan Keputusan
Etis.
3. Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial merupakan faktor individual
seorang konsultan pajak yang memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap
Pengambilan Keputusan Etis dalam melakukan tax planning. Semakin meningkatnya
Presepsi Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial seorang individu, maka
individu tersebut semakin etis dalam melakukan pengambilan keputusan.
4. Sifat Machiavellian merupakan faktor individual seorang konsultan pajak yang memiliki
pengaruh negatif secara signifikan terhadap Pengambilan Keputusan Etis dalam melakukan
tax planning. Semakin meningkatnya Sifat Machiavellian seorang individu, maka individu
tersebut akan menjadi kurang etis dalam melakukan pengambilan keputusan.
5. Pertimbangan etis merupakan faktor individual seorang konsultan pajak yang memiliki
pengaruh positif secara signifikan terhadap Pengambilan Keputusan Etis dalam melakukan
tax planning. Semakin meningkatnya Pertimbangan Etis seorang individu, maka individu
tersebut akan semakin etis dalam melakukan pengambilan keputusan.
Keterbatasan Penelitian
Selama melakukan penelitian ini, peneliti menemui beberapa kendala yang menjadi keterbatasan
penelitian, antara lain:
1. Terdapat beberapa konsultan pajak anggota IKPI Cabang Malang yang kantor praktiknya diluar
kota Malang sehingga sulit dihubungi dan menolak untuk menjadi responden dalam penelitian.
2. Terdapat beberapa konsultan pajak anggota IKPI Cabang Malang yang memiliki kantor praktik
kota Malang dan sekitarnya, namun menolak untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
3. Terdapat beberapa responden dalam penelitian ini yang kurang lengkap dalam melakukan
pengisian kuesioner sehingga ada beberapa kuesioner yang kembali namun tidak dapat
digunakan dalam penelitian.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan dalam penelitian ini, saran yang dapat diberikan yaitu:
1. Pada penelitian ini, hasil pengaruh dari variabel yang diteliti yaitu 50,6% dan sisanya 49,4%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang belum diujikan dalam penelitian ini.
2. Jumlah anggota konsultan pajak yang terdaftar sebagai anggota IKPI Cabang Malang termasuk
cukup banyak, namun peneliti hanya mampu mendapatkan 19 anggota terdaftar yang bersedia
menerima kuesioner di kantor praktiknya. Pada penelitian selanjutnya diharapkan sampel
penelitian dapat lebih banyak lagi sehingga dapat lebih mewakili populasi yang ada.
18
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Sukrisno dan Ardana, I Cenik. (2014). Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan
Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta: Salemba Empat
Arum, H. (2012). Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Pelayanan Fiskus, dan Sanksi Pajak
Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang Malakukan Kegiatan Usaha
dan Pekerjaan Bebas. Skripsi. Semarang: Universitas Diponogoro.
Blanthorne, C., Burton, H., & Fisher, D. (2005). The Aggressiveness of Tax Professional
Reporting: Examining the Influence of Moral Development. Available at SSRN
649922.
Blanthorne, C., H. A. Burton dan Fisher, D. (2014). The Aggressiveness of Tax Professional
Reporting: Examining the Influence of Moral Reasoning. Advances in Accounting
Behavioral Research, 16, 149 – 181.
Bungin, H.M. Burhan. (2005). Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan
Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group
Christie, R., dan F. L. Geis. (1970). Machiavellianism. Academic Press, Incorporated.
Darmawan, Deni. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Offset.
Darussalam dan Septriadi, Danny. (2009). Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan
Anti Avoidance Rule. Diakses dari http://www.ortax.org pada 23 April 2018
Devaluisa, Titanny. (2009). Hubungan Pertimbangan Etis, Perilaku Machiavellian, dan
Gender dalam Pengambilan Keputusan Etis (Studi pada Mahasiswa S1 dan PPA
Universitas Diponegoro, dan Auditor di Semarang). Skripsi. Program Sarjana. Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang
Doyle, E., Hughes, J. F., & Summers, B. (2012). An Empirical Analysis of The Ethical
Reasoning of Tax Practitioners. Journal of Business Ethics, 114 (2), 325-339.
Erard, B. (1993). Taxation With Representation: An Analysis of The Role of Tax Practitioners
in Tax Compliance. Journal of Public Economics, 52 (2), 163-197.
Ferrel O. C. and L. G. Gresham. (1985). A Contingency Framework for Understanding Ethical
Decision Making in Marketing. Journal of Marketing, Vol. 49 (3), p. 87 – 96
Fleischman, G. M., S. Valentine dan D. W. Finn. (2007). Ethical Reasoning and Equitable
Relief. Behavioral Research in Accounting, 19 (1). 107-132
Inside Tax. (2013). Per[soal]an Konsultan Pajak. Media Tren Perpajakan Edisi 17 September-
Oktober 2013. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.
Jiwo, P. (2011). Analisis Faktor-Faktor Individual Dalam Pengambilan Keputusan Etis Oleh
Konsultan Pajak (Kajian Empiris Pada Konsultan Pajak Di Kap Di Kota Semarang).
Skripsi. Universitas Diponegoro.
19
Jones, Thomas M. (1991). Ethical Decision Making by Individuals in Organizations: An Issue
Contingent Model. Academy of Management Review 1991 Vol. 16 No.2. 366-395
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1998). Jakarta: Pustaka Amani
Kurpis, L. V., M. S. Beqiri dan J. G. Hegelson. (2008). The Effects of Commitment to Moral
Self-improvement and Religiosity on Ethics of Business Student. Journal of Business
Ethics, 80 (3), 447-463
Lumbantoruan, Sophar. (1996). Akuntansi Pajak. Jakarta: Grasindo.
Lynch, T. (1995). “Ethics in Taxation Pratice” in Professional Ethics for Accountants, by L.J.
Brooks, St. Paul, MN. West Publishing.
Murphy, P. R. (2012). Attitude, Machiavellianism and The Rationalization of Misreporting.
Accounting, Organizations and Society, 37 (4), 242-259.
Novius, Andri dan Arifin Sabeni. (2008). “Perbedaan Persepsi Intensitas Moral Mahasiswa
Akuntansi dalam Proses Pembuatan Keputusan Moral”. Proceeding Simposium
Nasional Akuntansi XI, Pontianak
Nur Aini, Siti. (2013). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Bentuk Aktivitas dan Laporan
Akuntansi Studi Kasus pada PT Garam (Persero). Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi –
Volume 1 (Nomor 2, Maret 2013: 265283).
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan
Pajak.
Ponemon, L. A. (1992). Ethical Reasoning and Selection-Socialization in Accounting.
Accounting, Orgaizations and Society, 17 (3-4), 239-258
Purnamasari, St. Vena. (2006). Sifat Machiavellian dan Pertimbangan Etis. Paper
Dipresentasikan ada Acara Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang.
Rest, James R. (1979). Received Manual for The Defining Issues Test: An Objective test for
Moral Judgement Development. Minnepolis: Minnesota Moral Research Project.
Richmond, K. A. (2001). Ethical Reasoning, Machiavellian Behavior, and Gender: The Impact
on Accounting Students’ Ethical Decision Making. Doctoral Dissertation. Virginia
Polytechnic Institute and State University.
Sari, Padma Adriana. (2013). Faktor Individu Dan Faktor Situasional: Determinan
Pengambilan Keputusan Etis Konsultan Pajak. Tesis. Malang: Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya.
Shafer, William E dan Richard S. Simmons. (2008). “Social Responsibility, Machiavellianism,
and Tax Avoidance: A Study of Hong Kong Tax Professionals”. Accounting, Auditing,
and Accountability Journal, Vol. 21, No. 5, pp. 695-720
Singhapakdi, A., K. L. Kraft, S. J. Vitell dan K. C. Rallapalli. (1995). The Perceived
Importance of Ethics dan Social Responsibility on Organizational Effectiveness: A
Survey of Marketers. Journal of the Academy of Marketing Science, 23 (1), 49-56.
20
Singhapakdi, Anusorn., Scott J. Vitell., Kumar C. Rallapalli., dan Kenneth L. Kraft. (1996).
“The Perceived Role of Ethics and Social Responsibility: A Scale Development”.
Journal of Business Ethics, Vol. 15, pp. 1131-1140
Slamet, Indrayagus. (2007). Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion di Mata
Perpajakan Indonesia. Inside Tax: Edisi Perkenalan, hal 8 – 10.
Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Suandy, Erly. (2013). Perencanaan Pajak. Jakarta: Salemba Empat
Suseno, M. F. (2000). 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Sweeney, J. T. dan R. W. Roberts. (1997). Cognitive Moral Development and Auditor
Independence. Accounting, Organizations and Society, 22 (3/4), 337-352
Talloo, Thelma J. (2008). Business Organisation and Management for B.Com Course of
University of Delhi. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited
Thorne, L. (2000). An Analysis of the Association of Demograpic Variables with the Cognitive
Moral Development of Canadian Accounting Students: An Examination of the
Applicability of American-Based Findings to The Canadian Context. Journal of
Accounting Education. Vol.17.
Wibowo. Prof, Dr, SE, M.Phil. (2007). Manajemen Kinerja. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Wisesa, Anggara. (2011). Integritas Moral dalam Konteks Pengambilan Keputusan Etis. Jurnal
Manajemen Teknologi Institut Teknologi Bandung
Yuliana, dan N. Cahyonowati. 2012. Analisis Pengaruh Persepsi Pentingnya Etika Dan
Tanggung Jawab Sosial, Sifat Machiavellian, dan Keputusan Etis Terhadap Niat
Berpartisipasi Dalam Penghindaran Pajak (Studi Empiris pada Konsultan Pajak di
Semarang). Journal of Accounting. Vol. 1 (1)