Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia...

22
PENERAPAN POLA ASUH ORANGTUA YANG KONSISTEN SEBAGAI UPAYA PREVENTIF BAGI GANGGUAN SCHIZOPHRENIA PARANOID Denrich Suryadi Email: [email protected] Dosen tetap Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Paranoid Schizophrenia Disorder is a psychological disorder that easily found on various institutional and mental rehabilitation in Jakarta. Based on various studies and theories that obtained under the benchmark internationally and in Indonesia, this disorder is more dominated on several factors, including economic factors, heredity, and family stressors. Family stressor factor is one major factor which involves is ambiguous parental upbringing role. The family itself is a core part of society and in Indonesia, the family is an important factor in forming the character and personality of children. Heredity factors have contributed to how the individual will have a tendency to experience disorder Schizophrenia, but the factor of ambiguous parenting styles will act as a trigger of these disorder. Currently efforts are needed such as socialization to how family factors impact the community on ways to teach parents the importance of the type of authoritative (democratic) consistently as well as communication patterns and the close relationship between parents and children in order to prevent increased predisposition of Paranoid Schizophrenia in Indonesia. This preventive program can be implemented through public seminars and counseling for parents, teachers and counselors, as well as articles that appeared in the media as a means of socialization of Schizophrenia disorders, particularly Paranoid Schizophrenia. Keywords: Paranoid Schizophrenia Disorder, parenting styles 1

description

PENERAPAN POLA ASUH ORANGTUA YANG KONSISTEN SEBAGAI UPAYA PREVENTIF BAGI GANGGUAN SCHIZOPHRENIA PARANOIDParanoid Schizophrenia Disorder is a psychological disorder that easily found on various institutional and mental rehabilitation in Jakarta. Based on various studies and theories that obtained under the benchmark internationally and in Indonesia, this disorder is more dominated on several fac

Transcript of Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia...

Page 1: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

PENERAPAN POLA ASUH ORANGTUA YANG KONSISTEN SEBAGAI

UPAYA PREVENTIF BAGI GANGGUAN SCHIZOPHRENIA PARANOID

Denrich Suryadi

Email: [email protected]

Dosen tetap Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Paranoid Schizophrenia Disorder is a psychological disorder that easily found on various institutional and mental rehabilitation in Jakarta. Based on various studies and theories that obtained under the benchmark internationally and in Indonesia, this disorder is more dominated on several factors, including economic factors, heredity, and family stressors. Family stressor factor is one major factor which involves is ambiguous parental upbringing role. The family itself is a core part of society and in Indonesia, the family is an important factor in forming the character and personality of children. Heredity factors have contributed to how the individual will have a tendency to experience disorder Schizophrenia, but the factor of ambiguous parenting styles will act as a trigger of these disorder. Currently efforts are needed such as socialization to how family factors impact the community on ways to teach parents the importance of the type of authoritative (democratic) consistently as well as communication patterns and the close relationship between parents and children in order to prevent increased predisposition of Paranoid Schizophrenia in Indonesia. This preventive program can be implemented through public seminars and counseling for parents, teachers and counselors, as well as articles that appeared in the media as a means of socialization of Schizophrenia disorders, particularly Paranoid Schizophrenia.

Keywords: Paranoid Schizophrenia Disorder, parenting styles

Latar Belakang Permasalahan

Semakin tingginya persaingan dan tuntutan dalam memenuhi kebutuhan dapat

menyebabkan seseorang mengalami stress atau merasa tertekan. Jika seseorang

mengalami stress maka ia akan cenderung mengalami atau menunjukkan gejala

gangguan kejiwaan sehingga ia menjadi maladaptif terhadap lingkungan. Gangguan

kejiwaan merupakan masalah klinis dan sosial yang harus diatasi karena gangguan

1

Page 2: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

sangat meresahkan masyarakat baik dalam bentuk dampak penyimpangan perilaku

maupun semakin tingginya jumlah penderita gangguan jiwa.

Di Indonesia, berdasarkan profil kesehatan nasional tercatat bahwa jumlah penderita

gangguan jiwa selama tahun 1989 sampai dengan 1991 berkisar sekitar 1,8% penduduk

Indonesia. Sedangkan pada tahun berikutnya 1992 sampai dengan 1993 meningkat

menjadi 2,1 % (Departemen Kesehatan, 1994). Menurut Sensus Kesehatan Mental

Rumah Tangga (SKMRT) yang dilakukan oleh Jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia

menemukan bahwa 185 dari 1000 penduduk menunjukkan gejala-gejala gangguan jiwa

(BPS, 2000). Dalam sebuah terbitan Kompas (2003), sebuah sensus yang diadakan

oleh Dinas Bina Mental dan Kesehatan Sosial DKI Jakarta mencatat bahwa penderita

cacat mental psikotik di Jakarta memang terus bertambah. Sebagai perbandingan, pada

tahun 2001, tercatat ada 2010 penderita psikotik atau tuna laras. Pada tahun 2002,

jumlah tuna laras menjadi 2337 orang atau meningkat sebanyak 327 orang.

Data ini juga diperoleh Warner dan Girolamo melalui survei pada tahun 1995 bahwa

dari segi usia, gangguan mental awal pemicu SPD diperkirakan terjadi pada usia 24,3

tahun untuk pria dan usia 27,5 tahun untuk wanita. Sedangkan gejala awal SPD muncul

pada usia 26,5 tahun bagi pria dan 30,6 tahun bagi wanita. Fakta ini menyebabkan

keprihatinan yang sangat membutuhkan perhatian sebab terlihat bahwa gangguan ini

muncul pada usia produktif sehingga kemampuan individu yang seharusnya dapat

berfungsi secara efektif dalam segala aspek kehidupan seperti perawatan diri, hubungan

dengan keluarga, pekerjaan, pendidikan, serta kehidupan sosial menjadi menurun

bahkan tidak berfungsi sama sekali. Ketiadaan fungsi kehidupan seperti ini

dikhawatirkan akan memengaruhi kualitas kesejahteraan yang seharusnya diperoleh

oleh setiap individu. Individu yang mengalami gejala skizofrenia akan menyebabkan

individu mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain secara normal karena

2

Page 3: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

adanya hambatan bagi mereka untuk melibatkan diri dalam percakapan,

mempertahankan hubungan, dan untuk menjalani pekerjaan (Nolen-Hoeksema, 2000).

Definisi Schizophrenia

Definisi Schizophrenia yang diperkenalkan oleh Eugen Bleuer (Nolen-Hoeksema,

2000) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata Schizein yang berarti “to split“

(terpisah) dan Phren yang berarti “mind“ (pikiran). Bleuer meyakini bahwa gangguan ini

melibatkan terpisahnya fungsi psikis yakni asosiasi mental, pemikiran, dan emosi yang

seharusnya terintegrasi. Menurut Alloy, Jacobson, dan Acocella (1999), Skizofrenia

merupakan label yang diberikan pada suatu kelompok psikosis, di mana terjadi

penurunan fungsi-fungsi yang ditandai dengan kekacauan pikiran, persepsi dan suasana

hati, tingkah laku yang aneh, dan penghindaran sosial. Sedangkan menurut Neale,

Davison, dan Haaga (1996), Skizofrenia adalah suatu kelompok gangguan psikosis

yang dikarakterisasikan dengan adanya gangguan pikiran, emosi dan tingkah laku,

pikiran yang tidak terhubungkan, persepsi dan perhatian yang keliru, hambatan dalam

aktivitas motorik, emosi yang datar dan tidak sesuai, dan kurangnya toleransi terhadap

stres dalam hubungan interpersonal. Gangguan ini diikuti dengan gejala penarikan diri

terhadap lingkungan dan realitas menuju sebuah kehidupan delusi dan halusinasi.

Salah satu gangguan kejiwaan Skizofrenia yang banyak ditemui kasusnya pada

berbagai rumah sakit jiwa adalah Skizofrenia Paranoid Disorder. Secara khusus, Neale,

et al. (1996) mendefinisikan Skizofrenia Paranoid Disorder (SPD) adalah individu

skizofrenia mengalami delusi tersistematisasi, seperti grandiose delusions (melebih-

lebihkan), delusional jealousy (tuduhan tidak beralasan), halusinasi dan acuan ide yang

menghubungkan keadaan pribadi dengan hal-hal di luar diri yang sama sekali tidak

berhubungan.

3

Page 4: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

Schizofrenia Paranoid Disorder menurut Neale, et al. (1996) adalah skizofrenia di

mana individu mengalami delusi tersistematisasi, seperti grandiose delusions (melebih-

lebihkan), delusional jealousy (tuduhan tidak beralasan), halusinasi dan acuan ide yang

menghubungkan keadaan pribadi dengan hal-hal di luar diri yang sama sekali tidak

berhubungan. Sedangkan kriteria berdasarkan DSM IV TR (2000) yaitu pemenuhan

kriteria nomor A pada Skizofrenia terpenuhi, adanya keterpakuan dengan satu atau lebih

delusi yang disertai halusinasi auditori, serta tidak ada gejala yang menonjol seperti:

bicara tidak terorganisir, perilaku katatonik dan tidak terorganisir, dan afek datar atau

tidak sesuai.

Gejala paranoia terdiri atas pola kognitif yang berbeda dan menunjukkan perilaku

yang tertuju pada lingkungan, sehingga individu yang paranoid akan terlihat lebih

waspada dan selalu berjaga-jaga agar dapat mengamati lingkungan sekitar mereka

secara hati-hati, kaku, dan menggunakan pikiran yang pendek. Weiner (1982)

mengemukakan bahwa individu paranoid akan melihat dunia sebagai tempat yang

penuh permusuhan dan berbahaya sehingga ia harus selalu berhati-hati dan mencurigai

akan cara mereka menghadapi dunia itu.

Sedangkan menurut Nolen-Hoeksema (2001), SPD memiliki gejala delusi dan

halusinasi yang dominan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penganiayaan dan

waham kebesaran. Individu dengan SPD juga akan kadang terlihat bijaksana dan

bersungguh-sungguh ketika menceritakan bahwa ada seseorang yang merencanakan

untuk melawan dirinya. Mereka sangat sensitif terhadap pernyataan yang menentang

delusi yang dimilikinya. Kadang individu SPD terlihat bersikap sombong, merasa lebih

daripada orang lain atau terlihat menyendiri dan penuh kecurigaan. Mereka bahkan

dapat melakukan percobaan bunuh diri atau melakukan tindak kekerasan terhadap

orang lain. Kombinasi antara gejala paranoid dan perilaku skizofrenia akan

memperlihatkan gangguan berpikir dan persepsi yang dihasilkan menunjukkan gejala

4

Page 5: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

yang dramatis sama dengan adanya delusi penganiayaan/pengejaran seperti: “Makanan

saya diracuni” atau “Semua orang mengejar saya”. Weiner (1982) juga mencatat gejala-

gejala lain yang muncul pada gejala SPD adalah delusi grandiose (kebesaran) seperti

“Misi saya di dunia adalah untuk menyelamatkan umat manusia” atau “Saya memiliki

penglihatan dan pendengaran manusia super”. Sementara halusinasi mengenai

penganiayaan atau grandiose yang ditemukan oleh Weiner (1966); Arietti (1974) berupa:

“Suara-suara itu selalu mengatakan bahwa ada sesuatu buruk menimpa saya” atau

“Saya diberitahukan bahwa saya akan dipermalukan” (dikutip oleh Weiner, 1982).

Awal kecenderungan timbulnya gejala SPD biasanya muncul lebih lama

dibandingkan dengan gejala bentuk skizofrenia lainnya. Beberapa episode gejala SPD

biasanya sering dipicu oleh adanya stres/tekanan yang dialami individu pada masa

remisi/rawat jalan. Dengan demikian, Nolen-Hoeksema (2001) memandang bahwa pada

pasien SPD, dugaan prognosis lebih baik karena pasien SPD lebih mampu untuk hidup

secara mandiri, memiliki pekerjaan, dan masih dapat menjalani fungsi kognitif dan sosial

dengan lebih baik.

Predisposisi Gejala Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia dapat terjadi pada setiap orang pada titik tertentu hidupnya, namun lebih

banyak ditemui pada individu yang secara genetik memiliki predisposisi terhadap

skizofrenia. Gejala awal psikotik umumnya muncul pada masa remaja akhir sampai

masa dewasa awal (Susic, 2004). Hal yang sama juga dicatat oleh sensus yang

diadakan di Kanada (2002) bahwa awal gejala skizofrenia dimulai pada masa dewasa

awal dengan perkiraan antara remaja akhir sampai dengan pertengahan usia 30-an.

Sebanyak 75% dari populasi individu yang mengidap skizofrenia mengalami gejala-

gejala awal antara usia 16 sampai dengan 25 tahun (Susic, 2004). Gejala ini tidak biasa

terjadi pada usia setelah 30 tahun dan biasanya jarang terjadi setelah usia 40 tahun.

5

Page 6: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

Kecenderungan ini juga didukung oleh Nolen-Hoeksema (2001) bahwa individu yang

mengalami skizofrenia pada umumnya mulai memperlihatkan gejala pada masa remaja

akhir atau dewasa awal.

Menurut Weiner (1966); Abrietti (1974), gejala SPD lebih sering terdiagnosis pada

pria dibandingkan wanita dan indikasi status paranoid yang kronis akan jelas terlihat

lebih banyak pada orang yang berusia lebih lanjut dibandingkan pada remaja (dikutip

oleh Weiner, 1982). Individu yang mengalami skizofrenia pada berbagai tipe akan

membutuhkan perawatan medis secara terus-menerus sepanjang hidup mereka (Nolen-

Hoeksema, 2001). Hal ini diakibatkan karena skizofrenia dipandang sebagai gangguan

yang akan dialami seumur hidup.

Dari segi usia, gangguan mental awal pemicu SPD diperkirakan terjadi pada usia

24,3 tahun untuk pria dan usia 27,5 tahun untuk wanita (Warner & Girolamo, 1995).

Sedangkan gejala awal SPD muncul pada usia 26,5 tahun bagi pria dan 30,6 tahun bagi

wanita. Iacono dan Besier (1992) menemukan kecenderungan signifikan munculnya

gejala SPD pada pria lebih besar dibandingkan dengan wanita (dikutip oleh Warner &

Girolamo, 1995).

Banyak penelitian dilakukan untuk berusaha menemukan faktor-faktor penyebab

munculnya SPD selain faktor genetika (bawaan/herediter) yang diturunkan oleh

orangtua skizofrenia kepada anaknya. Di antaranya ditemukan bahwa adanya faktor

tekanan sosial ekonomi yang berhubungan dengan kemiskinan dan kondisi hidup serba

tertekan memicu munculnya gejala tersebut (Eaton, 1985 dalam Warner & Girolamo,

1995; Weiner, 1982 ), faktor hambatan dalam hubungan sosial dan afek antara orangtua

dan anak (Mishler & Waxler, 1975; Surtiyana, 1982/1983), faktor penganiayaan pada

anak (Stevenson, 1989), faktor ketidakharmonisan keluarga, hambatan komunikasi,

serta kemungkinan terjadinya early life trauma (Weiner, 1982). Dari berbagai penelitian

mengenai SPD ini, dilaporkan bahwa sebagian besar penderita gangguan ini mengalami

6

Page 7: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

pengalaman hidup sebagai anak yang teraniaya, mengalami penolakan dan kritik secara

berlebihan dari orangtua, permusuhan secara nyata maupun tidak langsung (Mishler &

Waxler (1975); Ross, Roff & Knight (1981); (Hefner & De Heiden (1997)), mengalami

tekanan sosial ekonomi, mengalami hambatan komunikasi dengan orangtua,

menghadapi perceraian atau ketidakharmonisan keluarga (Weiner, 1982), sikap

orangtua yang kasar dan tidak memperhatikan kebutuhan afeksi anak (Surtiyana,

1982/1983; Andersen & Clark (2002)).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang mengalami SPD

dalam hidupnya. Gejala SPD yang mereka munculkanpun terjadi dalam bebagai

periode waktu yang berbeda. Hal ini dapat berbeda karena setiap orang akan memiliki

latar belakang dan jalan kehidupan yang berbeda satu sama lainnya. Dari berbagai

periode waktu kehidupan para pasien yang berbeda satu sama lain, akan dapat terlihat

bagaimana berbagai peristiwa yang memengaruhi mereka secara psikologis secara

langsung akan memengaruhi kondisi psikis mereka pada saat ini.

Tahapan perkembangan mulai dari timbulnya gejala SPD sampai dengan

terdiagnosanya para responden secara posistif terhadap SPD mengalami tahap-tahap

perubahan gejala psikis yang beragam. Beberapa faktor perkembangan sangat umum

ditemui sepanjang tahapan perubahan pemikiran dan perilaku yang bersifat paranoid.

Yang banyak ditemui menurut Meyer dan Salmon (1988) adalah perilaku orangtua yang

memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung, yaitu ketika saat

berusaha untuk membela diri secara proyektif, menyalahkan sang anak, maupun

pengalaman lingkungan seperti isolasi sosial dan perbedaan bahasa yang dapat

menyebabkan pola perilaku paranoid.

Gangguan ini muncul berdasarkan urutan tahap transisi perubahan perilaku dan

karakteristik gejala sebagai berikut (Meyer & Salmon, 1988) sebagai berikut, tahap

pertama adalah General Distancing. Pada tahap ini, anak akan mengalami dan

7

Page 8: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

menerima sebuah konsep mengenai dirinya bahwa ia ditolak dengan dipermalukan

ketika masih kanak-kanaknya, mengalami penyiksaan, maupun trauma lingkungan yang

menciptakan adanya jarak emosional terhadap orang lain.

Tahap kedua, Distrust yaitu adanya masa kurangnya perhatian secara emosional

dan interpersonal yang seharusnya didapatkan dalam suatu hubungan/relasi yang

normal, mengembangkan sikap ketidakpercayaan terhadap orang lain dan dunia secara

umum. Selanjutnya tahap ketiga, yaitu Selective Perception and Thinking yaitu adanya

rasa tidak percaya (distrust) akan menyebabkan pemisahan persepsi mengenai

informasi yang diterima secara lebih selektif dan melalui tahap pemrosesan informasi,

maka hubungan individu SPD dengan dunia menjadi semakin ‘jauh’.

Tahap keempat yaitu Anxiety and anger ketika individu berupaya menekan

kecemasan dan ketidakpastian yang dialaminya secara disadari dengan memandang

orang lain sebagai sumber permasalahan. Alam tahap ini, akan ada kecenderungan

perilaku permusuhan (hostile) yang dipenuhi dengan perasaan marah dan curiga

sehingga pola interpersonalnya secara langsung akan semakin menjauh.

Tahap kelima, Distorted insight di mana terjadi pemisahan jarak dan sikap

permusuhan akan menjadi lebih terfokus dengan berkembangnya perasaan “melihat

segalanya dengan lebih jelas” sebagai iluminasi paranoid. Tahap yang terakhir yaitu

Deterioration ditandai dengan munculnya spesifikasi target dan penerimaan memicu

berpisahnya pemikiran individu SPD dengan realitas sehingga mengakibatkan delusi

sehingga lebih membuatnya terisolasi secara emosional dan kognitif.

Hasil penelitian terkait dengan faktor stressor utama penyebab Schizophrenia

Paranoid Disorder

Penelitian yang dilakukan oleh Suryadi dan Satiadarma (2005) mengambil data dari

10 responden yang terdiri dari 6 responden pria dan 4 responden wanita dengan metode

8

Page 9: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

wawancara (alloanamnesa, autoanamnesa), tes psikologis, dan observasi. Berdasarkan

taraf pendidikan, 4 responden memiliki taraf pendidikan tingkat SMP (baik lulus/belum

lulus); 5 responden dengan taraf pendidikan tingkat SMA (baik lulus/belum lulus); dan 1

responden yang memiliki pendidikan tingkat sarjana (S1). Berdasarkan status sosial

ekonomi, 8 responden berasal dari kalangan sosial ekonomi bawah sedangkan 2

responden lainnya berasal dari kalangan status ekonomi menengah ke atas, sehingga

dikatakan bahwa faktor sosioekonomik dapat memberikan kontribusi kemunculan gejala

SPD namun tidak dapat dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan. Berdasarkan data

demografis juga terlihat bahwa kemunculan gejala SPD awal pada responden terjadi

antara rentang usia 18 sampai dengan 29 tahun dan rentang usia antara 32 sampai

dengan 40 tahun yang terbilang dalam rentang usia produktif..

Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa adanya faktor stresor yang

berasal dari keluarga merupakan faktor penyebab dominan gangguan SPD pada 10

responden ini (Suryadi & Satiadarma, 2005). Faktor stresor keluarga ini bervariasi yaitu:

adanya trauma yang dialami pada masa awal kehidupan, pola asuh orangtua yang

otoriter maupun permisif, hubungan interpersonal antara anggota keluarga, serta pola

komunikasi dalam keluarga yang kurang baik. Stresor keluarga dikatakan sebagai faktor

penyebab dominan karena berdasarkan pengumpulan data, para responden seluruhnya

mengalami masa kanak-kanak yang diliputi dengan pengalaman traumatis dan

sepanjang perjalanan hidupnya saat ini pada masa dewasa, mereka berada dalam

lingkungan keluarga yang kurang kondusif, seperti kurangnya komunikasi,

ketidakkonsistenan pola asuh yang diterapkan ayah dan ibu, kurangnya pemenuhan

kebutuhan afeksi disertai dengan pola asuh permisif, serta pola asuh otoriter yang

membuat mereka hidup dalam tuntutan /harapan orangtua yang ketat dan tinggi.

Pengkondisian Anak Resilien untuk Mencegah SPD

9

Page 10: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

Secara umum, Papalia, et.al (2004) mengutip Masten dan Coatsworth (1998) yang

memaparkan temuan mengenai karakteristik anak dan remaja yang memiliki resiliensi.

Dengan kemampuan resiliensi ini, anak dan remaja mampu mempertahankan

ketenangan dan kompetensi mereka menghadapi tantangan maupun ancaman, atau

bahkan kejadian-kejadian traumatis. Mereka mampu mengarahkan, membalikkan

keadaan, bertahan pada apa yang menjadi keyakinannya untuk mengupayakan

perkembangan positif bagi dirinya. Faktor protektif yang terpenting untuk membantu

anak dan remaja mengatasi stres dan memiliki resiliensi adalah faktor hubungan

keluarga dan fungsi kognitif yang baik.

Dengan mengasah kemampuan resiliensi anak, diharapkan mereka akan lebih

tangguh dalam mengadapi segala tantangan, hambatan, serta tekanan baik secara

internal maupun eksternal yang mungkin akan mereka hadapi di lingkungannya. Berikut

karakteristik anak dan remaja yang memiliki resiliensi menurut Masten dan Coatsworth

(1998, h.212 seperti dikutip oleh Papalia, et.al., 2004) yaitu, bahwa secara individual,

anak harus memiliki fungsi intelektual yang baik, mampu menampilkan diri, mudah

bergaul, supel, memiliki self-efficacy dan self-esteem yang tinggi yang tertampilkan

melalui adanya rasa percaya diri. Dari keluarga, seorang anak membutuhkan hubungan

dekat dengan figur orangtua yang penuh perhatian dan penerapan pola asuh

Authoritative yang memberikan kehangatan namun juga mengkondisikan anak dengan

pengharapan untuk berprestasi serta kontrol disiplin dan moral yang baik. Berdasarkan

konteks eksternal keluarga, faktor yang mampu memengaruhi pembentukan resiliensi

anak adalah adanya jejaring sosial anak yang lebih luas pada keluarga besarnya,

jejaring sosial di sekolah maupun wadah keagamaan, serta menekankan pentingnya

faktor pendidikan bagi anak khususnya dalam membina fungsi kognitif dan mental anak.

Faktor protektif lainnya menurut Eisenberg, et.al, 1997; Masten, 2001; Masten, et.al,

1990; Masten & Coatsworth, 1998; E.E. Werner, 1993 yang dapat dijadikan acuan bagi

10

Page 11: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

para orangtua sebagai langkah preventif membentuk mental anak yang lebih stabil

(dikutip oleh Papalia, et.al, 2004) yaitu, kepribadian anak. Anak-anak yang memiliki

resiliensi mudah menyesuaikan diri, ramah, disukai, mandiri, serta peka terhadap orang

lain. Mereka cukup kompeten dan memiliki self-esteem yang tinggi. Mereka juga kreatif,

berdayaguna, mandiri, mampu mengatur dan memotivasi diri sendiri. Dalam hal ini, pola

asuh demokratis merupakan pola asuh yang sesuai karena melibatkan adanya

penerapan disiplin dengan tanpa mengabaikan kemauan, pendapat, maupun perasaan

anak.

Faktor kedua yaitu pengurangan risiko. Anak-anak yang menghadapi hanya salah

satu faktor signifikan sebagai penyebab gangguan psikiatris (seperti putusnya hubungan

orangtua, status sosial rendah, ibu yang mengalami gangguan, seorang ayah yang

kriminal, dan lain-lain) biasanya lebih mampu mengatasi stres daripada anak yang

menghadapi lebih dari satu faktor risiko tersebut.

Faktor ketiga yaitu pengalaman sebagai kompensasi. Lingkungan sekolah yang

mendukung atau keberhasilan dalam belajar, olahraga, musik, atau dengan anak

maupun orang dewasa lainnya dapat membantu untuk memperbaiki kehidupan

rumah/keluarga yang tidak harmonis. Dalam tahap dewasa, sebuah pernikahan yang

harmonis mampu berperan sebagai kompensasi hubungan yang buruk pada awal

kehidupan sebagai anak-anak.

Peran Orangtua dalam Mencegah SPD

Orangtua seharusnya menyadari bahwa peran mereka sangat penting (sebagai agen

utama) melalui pemberian dukungan, penerimaan, serta perubahan pada pola asuh,

komunikasi, serta hubungan interpersonal antar anggota keluarga. Hal ini memang

didukung dengan adanya fakta bahwa pada individu yang mengalami SPD, terapi yang

diberikan secara lengkap berupa terapi individual maupun mengikutsertakan keluarga

11

Page 12: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

pasien (terapi keluarga), yang diberikan oleh tenaga profesional yang kompeten seperti

psikolog karena memang faktor stressor keluarga sebagai faktor penyebab dominan

SPD seharusnya didiskusikan dan dipertanggungjawabkan bersama dalam suatu

keluarga sehingga individu memperoleh lingkungan kondusif untuk ‘sembuh’.

Sebagai upaya preventif, para orangtua agar lebih mempersiapkan lingkungan

keluarga yang kondusif bagi pertumbuhan mental anak-anak mereka. Dengan

perbedaan karakteristik serta sifat yang dimiliki anak-anak, kita sebagai orangtua

sebaiknya waspada dengan segala kemungkinan seperti pemberian kebutuhan afeksi,

pola asuh, cara berkomunikasi, serta jalinan hubungan interpersonal yang memiliki

dampak baik atau buruk bagi kerentanan kondisi psikologis mereka. Orangtua juga

sebaiknya mampu untuk introspeksi diri dan peka terhadap kebutuhan anak sehingga

mampu menyeimbangkan antara pemenuhan kebutuhan dengan pendidikan/penerapan

disiplin yang baik.

Pola asuh yang diterapkan orangtua seharusnya bersifat konsisten antara ayah dan

ibu. Kekonsistenan dimulai dari adanya kesepakatan antara ayah dan ibu dalam

mengasuh anak, tipe pola asuh Autoritative sangat dianjurkan mengetahui bahwa pola

asuh ini memberikan kebebasan yang bertanggungjawab sehingga di satu sisi, anak

memperoleh kebutuhan afeksi dan di sisi lain, mereka juga dilatih untuk

mengembangkan rasa percaya diri dan tanggungjawabnya sebagai individu baik secara

kognitif maupun moral. Hal yang sangat dihindari adalah ketika masing-masing orangtua

memiliki pola asuh yang berbeda sehingga anak akan mempersepsikan dan belajar

moral secara ambigu. Kekonsistenan juga dibutuhkan ketika ayah dan ibu menerapkan

pola asuh tersebut pada anak. Sebaiknya orangtua sepakat akan penerapan

aturan/disiplin maupun pemerolehan afeksi bagi setiap anak. Jika ayah memberikan

hukuman maka ibu akan berlaku sama, demikian pula sebaliknya. Tidak ada

kesenjangan antara orangtua serta perlakuan yang diterima bagi setiap anak.

12

Page 13: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

Penerapan pola asuh yang buruk dan inkonsisten adalah apabila ayah bersikap sangat

otoriter sedangkan ibu bersikap permisif, tidak peduli. Hal tersebut akan menyebabkan

anak menjadi bingung sehingga fungsi kognitif serta persepsinya akan menjadi ambigu.

Demikian pula dengan pola komunikasi antara orangtua dan anak yang seharusnya

terjalin dengan baik dan konsisten. Ayah maupun ibu sebaiknya memiliki porsi yang

sama dalam berkomunikasi dengan anak. Hal yang dapat dilakukan orangtua adalah

dengan membiasakan diri berkomunikasi atau berdiskusi dengan anak. Masing-masing

ayah dan ibu dapat memiliki pendekatan komunikasi yang berbeda namun keduanya

harus menyediakan waktu untuk mendengarkan anaknya.

Sebagai orangtua atau anggota keluarga, sudah seharusnya menyediakan

lingkungan keluarga yang kondusif bagi perkembangan psikologis seorang anak.

Lingkungan keluarga yang kondusif dapat dimulai dengan pola hubungan antar suami-

istri atau ayah dan ibu yang baik, pola asuh yang memberikan kasih sayang,

penerimaan, serta disiplin yang baik serta pola komunikasi yang jelas dan selalu terjalin

erat antara orangtua dan anak. Hal lainnya yang juga tidak kalah penting untuk

diperhatikan adanya perlunya untuk menghindari pemberian hukuman fisik yang

termasuk sebagai penganiayaan terhadap anak yang dapat menimbulkan trauma dan

efeknya dalam jangka panjang yang menyebabkan kerentanan psikologis anak yang

bersangkutan.

Dengan adanya pemaparan mengenai karakteristik anak dan remaja yang memiliki

resiliensi, diharapkan setiap anggota masyarakat lebih waspada dan sadar bahwa ada

harapan dan kesempatan untuk mencegah semakin banyaknya gejala gangguan

psikologis seperti SPD khususnya terhadap anak dan anggota keluarga.

13

Page 14: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

Daftar Pustaka

Alloy, L. B., Jacobson, N. S., & Acocella, J. (1999). Abnormal psychology: Current perspectives. (edisi ke-4). Boston: McGraw-Hill College.

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. (edisi ke-4, Text Revision). Washington: APA.

Biro Pusat Statistik (2000). Sensus Kesehatan Jiwa Rumah Tangga Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

Canadian clinical practice guidelines for the treatment of schizophrenia. Canadian Psychiatric Association. Can J Psychiatry, 1998,43:Supp.2.

Childhood abuse and the positive symptoms of schizophrenia. 2002. Ross, C. A., Anderson, G., & Clark, P. Hospital & Community Psychiatry, 45, 489-491.

Epidemiology of schizophrenia. Hafner, H. & Der Heiden, W. Can J Psychiatry, 1997,42:Supp2.

Family Characteristics, childhood symptoms, and adult outcome in schizophrenia. Roff, J. D., & Knight, R. Journal of Abnormal Psychology, 1981, 90, 6, hal.510-520.

Http:// www. Mental Illnesses.com/ Report on mental illnesses in Canada. 2002.

Http: //www. Psychotreatment.com/Schizophrenia:It’s cause and consequences (Paul Susic MA Licensed Psychologist Ph.D Candidate, 1999. revised Feb 5th, 2004).

Metropolitan: Orang gila di tengah stresnya penduduk Jakarta. Ivvaty, S. Kompas, 11 Juli 2003, 14/XXXIX, hal.19.

Meyer, R. G., & Salmon, P. 1988. Abnormal psychology (edisi ke-2). Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Ministry of Health Republic of Indonesia. (1994). Indonesia Health Profile 1994. Jakarta: Centre of Health Data.

Mischler, E. G., & Waxler, N. E. (1975). An experimental study of family processes and schizophrenia. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Neale, J. M., Davison, G. C., & Haaga, D. A. F. (1996). Exploring abnormal psychology. New York: John Wiley & Sons.

Nolen-Hoeksema, S. (2000). Abnormal psychology. (Edisi ke-2). Boston: McGraw-Hill.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human Development (edisi ke-9). New York: McGraw-Hill.

14

Page 15: Penerapan Pola Asuh Orangtua Yang Konsisten Sebagai Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid

Stevenson, O. (1989). Child abuse: Public policy and professional practice. London: Harvester Wheatshef.

Surtiyana, A. (1982/1983). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gangguan paranoid (Suatu penelitian terhadap kasus-kasus dari bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi UI). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (karya tidak diterbitkan).

Suryadi,D. & Satiadarma, M.P. (2005). Faktor stresor keluarga sebagai faktor penyebab dominan schizophrenia paranoid disorder. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara (karya tidak diterbitkan).

Warner, R. & Girolamo, G. (1995). Schizophrenia: Epidemiology of mental disorders and psychosocial problems. Geneva: World Health Organization.

Weiner, I. B. (1982). Child and adolescent psychopatology. New York: John Wiley & Sons, Inc.

World Health Organization. (1975). Schizophrenia: A multinational study (Public Health Paper, hal.63). Geneva: World Health Organization.

15