Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus & ABA
-
Upload
ignatius-dharta-ranu-wijaya -
Category
Documents
-
view
44 -
download
4
description
Transcript of Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus & ABA
Behaviorisme Dan Applied Behavior Analysis (ABA) Dalam Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Ignatius Dharta Ranu Wijaya
The experimental analysis of operant behavior has led to a technology often called behavior modification. It usually consists of changing the consequences of behavior, removing consequences, which have caused trouble, or arranging new consequences for behavior which has lacked strength (BF Skinner, tahun & tanggal tidak diketahui).
Pendahuluan
Pada tahun 1938 seorang behavioris dari America bernama B.F. Skinner
mempublikasikan teorinya yang disebut sebagai Operant Conditioning dalam bukunya
yang bertama berjudul The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis. Dalam
bukunya ia meneliti mekanisme dasar perubahan perilaku (pembelajaran). Dia menulis;
konsekuensi-konsekuensi terhadap perilaku mempengaruhi pertimbangan terjadinya
kembali perilaku dikemudian hari. Dalam laboratorium penelitiannya, Skinner
menunjukkan bahwa perilaku akan meningkat bila diikuti oleh adanya imbalan (reward)
berupa sesuatu yang sangat diinginkan. Perilaku akan berkurang / menurun frekuensinya
bila diikuti oleh adanya hukuman, seperti; penolakkan social dan hilangnya hak-hak
tertentu.
Pada saat itu disebutkan bahwa psikologi merupakan pengetahuan yang relatif
baru. Pengetahuan pada saat itu dikatakan didominasi oleh perhatian yang besar terhadap
kesehatan jiwa dan mental individu. Baru pada tahun 1913, diceritakan bahwa John B.
Watson merupakan salah seorang yang menolak pendekatan mentalistik dalam psikologi.
Tahun 1913 melalui tulisannya yang kemudian dikenal sebagai "behaviorist manifesto",
ia menentang psikologi yang hanya menekankan introspeksi dan interpretasi dari kondisi
kejiwaan dan mendorong berkembangnya psikologi sebagai suatu pengetahuan yang
mendasarkan pada perilaku yang dapat diamati dan dapat diukur. Pada akhirnya
muncullah era behaviorisme yang kemudian mendominasi psikolog-psikolog di Amerika
pada pertengahan tahun 1950.
Watson dan para behavioris terdahulu menjelaskan perilaku sebagai suatu respon
dari kondisi lingkungan atau kejadian-kejadian (stimuli). Konsep ini semakin
berkembang melalui "radical behaviorism" dari Skinner dengan teorinya yang dikenal
sebagi Operant Conditioning Theory of Behavior. Skinner meletakkan prinsip-prinsip
dasar dari pengetahuan mengenai perilaku; reinforcement, prompting, fading,
reinforcement schedules, extinction, shaping, discrimination, differentiation, dan lain
sebagainya. Ini kemudian menjadi dasar-dasar teoretis Applied Behavior Analysis
(ABA).
Di tahun 1960, kaum behavioris mulai mengaplikasikan teori Skinner dalam
mengembangkan metoda-metoda pengajaran. Satu diantaranya, yaitu Ivar Lovaas di
UCLA membuat program-program secara khusus bagi anak-anak penyandang autis.
Hingga saat itu, penanganan autisme secara umum didasarkan pada model
psikodinamika; Offering some hope for recovery through experiential manipulations. By
the mid-1960s, an increasing number of studies reported that psychodymanic
practitioners were unable to deliver on that promise (Rimland dikutip dari Lovaas,
1987). Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak penyandang autis mendapatkan
program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam
jurnal-jurnal psikologi.
Tahun 1993 Catherine Maurice menerbitkan sebuah otobiographi mengenai
pengalamannya yang berhasil dalam mengikuti program intensif behavioral intervention
yang dikembangkan Lovaas. Bukunya berjudul, Let Me Hear Your Voice, bersama
dengan publikasi buku yang ditulis Lovaas sebelumnya; ME BOOK (Lovaas, 1981)
memberikan harapan bagi para keluarga dan juga arah bagi berkembangnya penelitian-
penelitian ilmiah. Pada akhir tahun 2000, di Amerika ABA mendapatkan berbagai
macam subsidi secara resmi baik dari negara maupun pemerintahan federal. Semenjak
saat itulah kemudian metodologi ABA sebagai pilihan dalam memberikan treatment pada
anak autis berkembang pesat tidak hanya di Amerika sendiri tetapi juga menyebar ke
wilayah Eropa dan Asia.
Mengapa ABA?
Pada tahun 1996, Departemen Kesehatan di Amerika Serikat mengkaji secara
cermat Program Intervensi Dini yang diberikan dalam menangani permasalahan autisme.
Hasil dari kajian tersebut adalah Report of the Recommendations of the Clinical Practice
Guideline- Autism/Pervasive Development disorders: Evaluation, Assessment, and the
Intervention for Young Children. Mereka merekomendasikan implementasi dari
intervensi bidang pendidikan dan tingkah laku pada anak-anak penyandang autisme
(didalamnya juga tertulis perlunya dilaksanakan intervensi minimal 20 jam per
minggunya setelah anak mendapat diagnosa). Pedoman tersebut juga secara tegas
merekomendasikan digunakannya prisip-prinsip ABA (applied behavioral analysis)
sebagai unsur penting dari setiap program intervensi yang diberikan pada anak-anak
autis. Disebutkan pula pentingnya keterlibatan orang tua secara aktif dalam proses
intervensinya, melalui latihan-latihan yang diberikan kepada orang tua maka keluarga
akan mengadopsi teknik-teknik tersebut dalam rutinitas sehari-hari anak. Statregi dan
teknik-teknik dalam perubahan perilaku harus digunakan dalam mendukung proses
pembiasaan (generalisasi) dari keterampilan yang telah diajarkan.
Pedoman praktik tersebut di atas, juga merujuk pada penelitian Ivar Lovaas
(1987) yang telah menggunakan dan mendasarkan proses intervensinya pada prinsip-
prinsip dan metoda-metoda perilaku bagi anak-anak autis. Lovass dengan teamnya di
UCLA telah membuktikan bahwa anak-anak autis yang diberikan treatment secara
intensif (40 jam per minggunya selama lebih dari 2 tahun) mendapatkan hasil yang sangat
baik dibandingkan anak-anak yang hanya menerima 10 jam per minggunya. Di Indonesia
memang belum ada buku penuntun dalam praktik intervensi yang diberikan pada anak-
anak autis. Kita sedang menunggu hasil penelitian dan pengkajian yang mungkin dapat
menjadi referensi bagi pemerintah sehingga mereka pun dapat merekomendasikan
bahkan menyusunnya sebagai suatu sistem intervensi yang menjadi standar
penangananan masalah autisme di Indonesia.
Model-Model Applied Behavior Analysis (ABA) dalam Penanganan Autisme
Di tahun 1970, Ivar Lovaas seorang behaviorist memulai sebuah eksperimen
dimana ia mengaplikasikan teori dari B.F. Skinner bagi treatment yang dilakukannya
terhadap anak-anak autis. Lovaas mempublikasikan penemuannya di tahun 1987
(Behavioral Treatment and Normal Educational and Intellectual Functioning in Young
Autistic Children) dan mendokumentasikan hasil-hasil yang luar biasa dalam
penelitiannya. Hal ini kemudian diakui sebagai awal dari sebuah seri penelitian yang
mendasarkan pada dukungan Applied Behavior Analysis (ABA) sebagai suatu treatment
yang efektif terhadap anak-anak penyandang autis.
Hingga saat ini, penelitian mengenai modifikasi perilaku yang telah dilakukan
oleh Lovaas merupakan pendorong munculnya berbagai penelitian terhadap intervensi
yang diberikan kepada anak-anak penyandang autis. Aplikasi dari prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan mengenai perilaku menjadi kerangka kerja dari beberapa model-model ABA
yang diapakai dalam menangani autisma.
Efektivitas dari treatment yang mendasarkan pada ABA telah berkembang sejalan
dengan penerimaan para orang tua yang memiliki anak autis dan juga dari para
professional dan para pendidik. Berbarengan dengan keputusan untuk melaksanakan
intervensi yang mendasarkan pada ABA muncul juga kesimpangsiuaran terhadap
berbagai model yang berkembang. Bagian ini akan memberikan penjelasan singkat
terhadap originalitas dari ABA yang digunakan sebagai treatment terhadap anak-anak
autis, yaitu; survey dari UCLA Young Autism Project (Lovaas, 1970) dan penjelasan
umum dari model-model ABA lainnya. Model- model yang akan dibicarakan dalam
bagian ini adalah:
1. The UCLA Model dari O. Ivar Lovaas, Ph.D.
2. Autism Partnership dari Ron Leaf, Ph.D. & John Mc Eachin, Ph.D.
3. PECS and the Pyramid Model dari Andrew Bondy, Ph.D. & Lori Frost,
MS,CCC/SLP
4. The Eden Model dari David Holmes, Ph.D.
5. Verbal Behavior/ DTT-NET dari Mark Sundberg Ph.D. & James Partington,
Ph.D
6. TEACCH (Teaching and Educating Autistic Children and Communication
Handycap) dari Eric Schopler, Garry Mesibov & Baker, 1982.
1. The UCLA Young Autism Project
I don’t claim a cure because we haven’t gotten to the organic variable that is causing the autism. But the nervous system is pretty adaptable, and with intensive therapy the child may be able to work around his organic deviation. (O. Ivar Lovaas dikutip oleh Johnson, 1994)
Semenjak tahun 1960, Ivar Lovaas telah memulai penanganan kasus autisme
dengan menggunakan modifikasi perilaku. Pada tahun 1970 ia memulai sebuah inovasi
mengenai program intensive behavioral intervention bagi anak-anak penyandang autis.
Hasil penelitiannya tersebut dipublikasikan pada tahun 1987 dalam bukunya “Behavioral
Treatment and Normal Educational and Intellectual Functioning in Young Autistic
Children”. Hampir setengah dari seluruh anak yang menerima terapi setelah 2 tahun
secara intensif (40 jam atau lebih setiap minggunya) dapat berfungsi secara normal; dapat
menyelesaikan kelas 1 dalam sekolah regular tanpa bantuan pendidik yang khusus di
dalam kelas (Lovaas, 1987). Sebagai besar anak mendapatkan kemajuan yang signifikan.
Penelitian ini menyertakan tiga kelompok anak-anak yang telah di-diagnosa secara
terpisah oleh pskiater atau psikolog yang terdaftar. Semua anak dibawah usia 4 tahun
ketika penelitian dimulai, hasil penelitian Lovaas setelah 3 tahun selanjutnya akan
disarikan dalam table di halaman berikut.
Tabel 1. Ringkasan Penelitian Lovaas (Lovaas, 1987)
Treatment Rata-rata Peningkatan IQ
(seluruh group)
Penempatan di sekolah Mean IQ
Experimental Group
N=19
40 jam per minggu intervensi perilaku 1:1 (selama kurang lebih 2 tahun), juga dilakukan intervensi di lingkungan rumah (carryover);
Pengajaran dilaksanakan hampir seluruhnya pada waktu-waktu aktif (waking hours) anak.
20 Point. 9 anak sukses menyelesaikan kelas 1 umum tanpa bantuan
mencapai fungsi yang normal (normal functioning)
rata IQ meningkat = 30 point.
_________________
8 anak mencapai kemajuan subtansial namun membutuhkan bantuan dalam prosesnya
menyelesaikan kelas 1 dalam kelas khusus atau kelas anak-anak yang mengalami hambatan bahasa (language
107
70
< 30
delayed)
____________________
2 anak ditempatkan dalam kelas bagi anak autistik atau retardasi mental
Control Group 1
N=19
Intervensi perilaku 10 jam atau kurang setiap minggunya;
Intervensi dengan treatment lainnya (pendidikan khusus)
0 8 anak mencapai kemajuan subtansial namun membutuhkan bantuan dalam prosesnya
8 anak menyelesaikan kelas 1 dalam kelas khusus atau kelas anak-anak yang mengalami hambatan bahasa (language delayed)
____________________
1 anak ditempatkan dalam kelas bagi anak autistik atau retardasi mental
74
36
Control Group 2
N=21
Diluar group; tidak ditangani Lovaas
0 1 anak sukses menyelesaikan kelas 1 umum tanpa bantuan
_________________
10 anak menyelesaikan kelas 1 dalam kelas khusus atau kelas anak-anak yang mengalami hambatan bahasa (language delayed)
__________________
10 anak ditempatkan dalam kelas bagi anak autistik atau retardasi mental
99
67
36
Studi lanjutan untuk anak berusia sekitar 12 tahun (McEachin, Smith & Lovaas,
1993) menjelaskan bahwa anak-anak dalam kelompok eksperimental menunjukkan hasil
yang konsisten dibanding anak-anak dalam control group. Sembilan anak yang tampak
mencapai fungsi normal diberikan evaluasi secara ekstensif oleh professional dan
ternyata 8 diantaranya tidak dapat dibedakan dengan anak-anak pada umumnya dalm tes
intelegensi dan penyesuaian perilakunya. Behavioral treatment may produce long-lasting
and significant gains for many young children with autism (McEachin ,dkk., 1993).
Melalui pengaplikasian prinsip-prinsip operant learning principles pada intervensi
autis, Lovaas mengesampingkan pendekatan treatment terhadap gangguan kesehatan
mental dan menggantikannya dengan pengajaran perilaku yang dapat diamati dan yang
terukur. The focus of intervention was changed from treatment to teaching (Lovaas,
1981:xi).
There were several other developments that emerged as we moved away from the traditional disease model of service delivery. We broke down the large hypothetical constructs of "autism", "aphasia", "retardation", etc. into more manageable components or behaviors . We were teaching the children specific behaviors such as language, play, and affection. These teaching programs were "interchangeable" across diagnostic categories in the sense that what we had learned about teaching language to retarded children could just as easily be applied to teaching language to aphasic or autistic children (Lovaas, 1981: x).
Tujuan-tujuan pengajaran dipecah dalam beberapa kategori perilaku yang
dipresentasikan dalam rencana pencapaian di bawah ini (Lovaas, 1987):
Tahun Pertama Tahun Kedua Tahun Ketiga
Mengajarkan kemampuan imitasi
Membangun kepatuhan
Mengajarkan kemampuan bermain yang wajar
Mengurang perilaku stimulasi diri dan perilaku-perilaku agresif
Mendukung pencapaian proses generalisasi
Mengajarkan kemampuan bahasa (ekspresif)
Mengajarkan kemampuan awal dalam bahasa yang abstrak
Memantapkan kemampuan bermain interaktf dengan teman sebaya
Integrasi yang berarti dengan kelompok anak prasekolah yang tipikal *
Mengajarkan berbagai ekspresi emosi yang wajar
Tugas-tugas praakademis
Penggabungan kategori dalam tahun 1 hingga ke-3
Belajar melalui observasi (Observational learning)
* Dalam poses integrasinya, penempatan awal dalam kelas khusus dihindari dengan pertimbangan adanya efek detrimental bila digabungkan dengan anak-anak autis lainnya.
Kunci keberhasilan dari UCLA Pilot Project ini kemudian dapat disebutkan
sebagai:
Intensitas Intervensi
Hipotesa dari Lovaas bahwa intensitas pemberian instruksi 1 to 1 bagi anak-anak
autis 40 jam setiap minggunya ditambah dengan adanya perluasan instruksi di rumah
(carryover) oleh orang tua akan mendekati pengaruh lingkungan alamiahnya seperti pada
anak yang berkembang secara normal. Rata-rata anak menghabiskan waktunya dengan
belajar melalui lingkungan sekitarnya dan kondisi ini jelas tidak dapat dilakukan oleh
anak-anak autis. The average, or common environment that does so well for the average
child does not fit the needs nor provide the structure necessary to be a good teaching /
learning environment for these exceptional children (Lovaas, 1981: xi). Salah satu tujuan
dari kelompok ekperimental adalh membangun sebuah program dimana anak autis
memiliki kesempatan untuk terus belajar sama seperti anak pada umumnya. We
hypothesized that construction of a special, intense, and comprehensive learning
environment for very young autistic children would allow some of them to catch up with
their normal peers by first grade (Lovaas, 1987).
Tempat Intervensi
Tempat dilaksanakannya intervensi dipindahkan dari institusi menuju rumah dan
lingkungan alami anak sendiri. Tujuannya adalah untuk mengajarkan anak agar berfungsi
secara wajar dalam dunia nyata mereka. Sebelumnya Lovaas pernah menggunakan
metoda pengajaran yang dilakukannya dalam institusi dan memeang anak-anak autis
mengalami kemajuan yang signifikan setelah terapi selama 1 tahun tetapi setelah
dikembalikan ke rumah dan program dihentikan merea umumnya mengalami regresi.
Pentingnya lingkungan untuk memelihara dan menjaga pola-pola perilaku yang telah
dipelajari pada awalnya belum diindahkan oleh Lovaas sebagai variable yang
berpengaruh.
Intervensi yang dipusatkan di rumah (Home based) juga mampu menghilangkan
adanya kemungkinan anak meniru dan mengambil perilaku yang tidak wajar dari anak-
anak autis lainnya bila mereka diinstitusionalkan.
Usia Pada Waktu Intervensi
Semua anak dalam UCLA Young Autism Project berusia di bawah 4 tahun ketika
program dilaksanakan. Spekulasi dari Lovaas pada waktu itu adalah bahwa anak dengan
usia dini akan lebih muda dipelihara perilakunya serta mudah menggeneralisasikan
kemampuan yang telah diajarkan dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua; … they
would be less likely to discriminate between environments . . . it was assumed it would be
easier to successfully mainstream . . . into preschool than to attempt mainstreaming an
older child into a higher grade (Lovaas, 1987).
Peran Orang Tua dan Orang-orang Yang Berpengaruh
Orang tua dan orang dewasa lainnya yang berpengaruh dalam komunitas anak
dilatih untuk mampu secara aktif terlibat dalam prose pengajarannya. Dengan cara ini
keluarga dapat mendukung dan memelihara hasil yang telah dicapai anak. Semua orang
yang berperan dalam kehidupan anak diikutsertakan dalam program Lovaas ini. Orang
tua dan para guru menjadi pelaku utama dalam pelaksanaan program sementara
professional bertindak selaku konsultan, staf pengajar dan koordinatar program.
Mengajarkan Perilaku Dalam Unit-Unit Kecil: "Discrete Trials"
Seluruh tugas (target-target perilaku) dipecah dalam tahap-tahap yang kecil.
Setiap "discrete trial" diajarkan secara terpisah menggunakan penguatan-penguatan
(reinforcers) yang dapat memotivasi anak belajar sebagai konsekuensi terhadap perilaku
mereka (respon-respon yang benar).
Spontanitas Pengajaran Dan Proses Belajar yang Menyenangkan
Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam program yang dilaksanakan oleh
Lovaas adalah; to make it more fun to tune in and learn than to spin or flap or wander
around the room . . . the two fundamental goals, apart from the content being taught, are
to make the child want to learn and to make the child feel that he can learn. That he is
competent. (Johnson mengutip Lovaas, 1994.)
Pencatatan Data Secara Sistematis
Pengambilan data secara intensif digunakan sebagai sarana dalam
mendokumentasikan pengaruh-pengaruh treatment yang tampak dalam kehidupan sehari-
hari anak.
Mengembangkan Petunjuk Pelaksanan Pembelajaran (Training Manual)
Sumbangan yang berarti lainnya dari UCLA Early Autism Project adalah
dipublikasikannya sebuah buku yang komprehensif dan komunikatif berisi tentang
keseluruhan proses pengajaran melalui perilaku. Buku tersebut berisi berbagai contoh
yang jelas dan aplikatif baik mengenai sessi 1 to 1 maupun pengajaran dalam lingkungan
hidup anak yang umum. Teaching Developmentally Disabled Children, disebut juga The
ME Book, pertama kali diterbitkan pada tahun 1981 (PRO-ED, Inc) dan hingga saat ini
terus mampu memberikan gambaran yang tepat mengenai keseluruhan proses belajar
anak autis melalui perubahan perilaku yang diharapkan.
The groundbreaking research by Lovaas and his colleagues raises several intriguing possibilities. First, it suggests that intensive teaching that requires young children with autism to engage actively with their physical and social environments and provides them with consistent, differential consequences can result in completely normal functioning for many . . . Second, that intensive behavioral intervention produces
substantially better outcomes than other treatments for young children with autism (Green, 1996:32).
Pertanyaan kemudian yang muncul dari keseluruhan hasil diatas adalah;
Bagaimana anak-anak lainnya dalam proyek UCLA yang tidak mencapai
keberfungsiannya secara social? Variabel-variabel apa sajakah yang dapat menjelaskan
mengapa sebagian anak mencapai fungsi yang normal sementara yang lainnya tidak?
Persoalan ini mungkin membutuhkan etiologi yang berbeda atau mungkin adanya
kebutuhan proses pengajaran yang berbeda dari yang telah dilaksanakan oleh Lovaas dan
mungkin lebih terfokus pada program bahasa. Lovaas dan para peneliti lainnya meyakini
bahwa anak-anak yang tidak mencapai keberfungsian social mereka mungkin memiliki
pola belajar secara visual /visual learners (Johnson, 1994). Hingga saat ini berbagai
penelitian dan usaha untuk memahami kondisi tersebut terus dilakukan. Program-
program, seperti; Picture Exchange Communication System (PECS) atau dari Princeton
Child Developmente Institute (PCDI) yang mengoptimalkan penggunaan pendekatan
visual untuk mengajarkan komunikasi menjadi bagian terpenting dari usaha di atas,
sebagaimana pendapat Lovaas sendiri: These techniques have been built up by many
behaviorists working with many children over many years’ time. It is a constantly
developing system. (Johnson mengutip dari Lovaas, 1994)
2. The Autism Partnership Model
A Work In Progress: Behavior Management Strategies and a Curriculum for Intensive Behavioral Treatment of Autism (Ron Leaf & John McEachin, 1999)
Discrete trial teaching is a specific methodology used to maximize learning. It is a teaching process used to develop most skills, including cognitive, communication, play, social and self-help skills. Additionally, it is a strategy that can be used for all ages and populations. The technique involves: 1) breaking a skill into smaller parts; 2) teaching one sub-skill at a time until mastery; 3) providing concentrated teaching; 4) providing prompting and prompt fading as necessary; and 5) using reinforcement procedures.
Discrete trial teaching ensures that learning is an active process. We cannot rely on autistic children to simply absorb information through passive exposure. (Leaf & McEachin, 1999:131)
Rob Leaf dan John McEachin melakukan studi dibawah program yang dilaksanakan
oleh Lovaas, mereka terlibat secara langsung dalam UCLA Young Autism Project selama
kurang lebih 12 tahun sejak pertengahan tahun 70-an. Mereka berdua menerima
pengajaran dan pengarahan langsung dari Lovaas hingga mencapai gelar doktoral. Karya
mereka saat ini tidak terbatas pada jasa atau pelayanan yang diberikan pada penyandang
autis berusia dini saja tetapi meliputi berbagai usia dan setting yang berbeda meskipun
model treatment yang dilakukan tetap berdasar pada model UCLA. Pengalaman mereka
bekerja dengan anak-anak di atas prasekolah juga memberikan pengaruh dan kontribusi
terhadap model yang mereka kembangkan hingga saat ini. Mereka telah mengembangkan
kerjasama yang baik dengan para ahli di bidang pendidikkan khusus, ahli bahasa,
pendidik dan orang tua dalam menemukan model intervensi yang tepat bagi para
penyandang autis.
Metoda Pengajaran Utama
Metoda pengajaran utama yang digunakan adalah 1 to 1 discrete trial. Penekanan
utama ditempatkan pada bagaimana menciptakan lingkungan yang intensif tempat anak
belajar secara berkesinambungan seperti halnya anak ‘tipical’ berkembang dan belajar
dari lingkungannya. Model treatment yang mereka miliki adalah minimal dilaksanakan
selama 2 tahun dan minimum 30 jam instruksi langsung termasuk bermain secara
terstruktur dan istirahat direkomendasikan oleh mereka. Struktur sangat ditekankan
selain waktu pelaksanaan terapi yang menjadi bagian dari tuntutan program dan
pendekatan perilaku secara konsisten di setiap setting;
”The child’s entire day becomes part of the therapy process and the parents become an integral part of the team” (Leaf & McEachin, 1999:11).
Melalui cara yang mereka usahakan, anak banyak menghabiskan waktu tidak hanya
bereaksi tetapi juga berinteraksi terhadap lingkungan sekitar mereka seperti yang dialami
oleh anak-anak ‘normal’ lainnya. Mereka diusahakan untuk tuidak menjadi asyik dengan
diri mereka sendiri atau melakukan stimulasi diri (self-stimulatory behaviors) yang
berlebihan. Untuk memulai intervensi diperlukan waktu kurang lebih 1 bulan lamanya
untuk membangun dan memantapkan interaksi antara anak dan terapisnya. Reinforcer
juga diidentifikasikan dan digunakan secara efektif selama masa itu sehingga anak dan
terapis umumnya banyak meluangkan waktu bersama dengan bermain. Reinforcement
diberikan secara bebas, tidak secara kontingen sehingga pengajaran yang diberikan para
terapis sungguh-sungguh menjadi suatu yang reinforcing (menyenangkan). Secara
bertahap latihan-latihan diskret dikenalkan sebelum ditingkatkan intensitasnya secara
efektif. Semua kemudian menjadi metoda terapi yang utama. Pada akhir tahapan
intervensi, waktu untuk belajar diskret dikurangi untuk dialokasikan pada proses
pengajaran incidental dan latihan-latihan dalam kelompok.
Tahapan Dalam Terapi
Tahapan terapi didasarkan pada petunjuk umum (Leaf & McEachin, 1999) di bawah ini:
Beginning Stage - "Learning to learn"
Sitting
Attending
Compliance
Remaining on task
How to process feedback
Understanding cause and effect
Middle Stage
Communication skills
Play skills
Self-help
Social skills
Advanced Stages
Subtle social skills
Higher level play skills
Advanced cognitive and communication skills
Integration of skills to everyday environments (school)
Perilaku-Perilaku yang Mengganggu
Program secara tegas ditekankan juga pada adanya perubahan dari perilaku-
perilaku yang mengganggu. Perubahan ini menurut Leaf & McEachin membutuhkan
kesabaran yang tinggi dan keterampilan yang lebih dibandingkan dengan mengajarkan
sesuatu yang kompleks seperti kemampuan bahasa. Adanya perilaku yang mengganggu
(disruptive behavior) sering menjadi penghalang utama dalam proses belajar dan proses
integrasi semua skills dalam lingkungan yang umum. Perilaku-perlaku detrimental
lainnya yang membutuhkan treatment secara intensif meliputi juga; gangguan
memusatkan perhatian, minimnya partisipasi dan inisiatif dan keinginan untuk
memisahkan diri dengan orang lain serta menghindari tugas-tugas yang diberikan.
Tempat Intervensi
Intervensi dilaksanakan dalam keseharian anak dan meliputi semua setting dalam
kehidupan mereka. Pusat lokasi dari program yang dilaksanakan dapat berlangsung di
center atau di rumah tetapi tampaknya intervensi yang dipusatkan di rumah (home based)
memiliki sisi positif khususnya bagi anak yang berusia muda (2 – 8 tahun) karena
pengaturan waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan anak sendiri, seperti; waktu terapi
setelah tidur siang.
Usia Saat Intervensi
Usia ketika intervensi tidak dibatasi pada usia prasekolah saja; research on
intensive behavioral treatment has been done exclusively with very young children, our
experience has demonstrated that older children can benefit substantially from a similar
treatment format (Leaf & McEachin, www.autismpartnership.com). Autism Partnership
telah memberikan perhatian yang khusus pada kebutuhan anak autis berusia dewasa yang
unik. Penyesuaian pada model yang umum dilakukan di Autism Partenership dengan
pertimbangan hasil penelitian terdahulu dan adanya kebutuhan disetiap usia untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuan yang khusus. Anak berusia dewasa seringkali
memiliki tingkat gangguan perilaku yang tinggi dan mampu mempengaruhi proses
belajar sehingga program pertamakali dipusatkan pada adanya perubahan perilaku
tersebut.
Team, Pelatihan dan Supervisi
Team umumnya berjumlah 2 – 5 dan terdiri dari para pengajar yang telah dilatih
dalam teknik pengajaran diskret, orang tua yang telah dilatih secara sistematis untuk
mengimplementasikan target-target pengajaran dalam kehidupan sehari-hari, seorang
supervisor program untuk mengadakan managemen terhadap kasus yang dihadapi dan
juga memberikan supervisi serta pelatihan bagi orang tua 2 hingga 3 jam setiap
minggunya. Disamping itu ada juga seorang Supervisor klinik yang memberikan
supervise secara umum terhadap program dan perkembangan anak.
Cara belajar dengan menggunakan latihan diskret merupakan metoda pengajaran
yang tepat dan melibatkan aplikasi yang kompleks dari penguatan-penguatan dan teknik-
teknik pemberian bantuan. Mengurangi perilaku yang berlebihan juga membutuhkan
keterampilan dan latihan-latihan yang intensif. Pendidik yang berpengalaman dan terlatih
wajib memberikan supervise terhadap program yang dilaksanakan. Tingkatan
pengawasan atau supervise yang diberikan bergantung pada berbagai variable termasuk
didalamnya pengalaman dan kemampuan seluruh anggota di dalam team serta jumlah
jam terbang mereka dalam melaksanakan berbagai program intervensi yang kompleks.
Pemberian Pelatihan
Leaf dan McEachin telah menyusun program-program pelatihan yang sangat
komprehensif dan bagi para pembaca juga telah disediakan melalui buku mereka yang
berjudul A Work In Progress. Di dalam buku tersebut dijelaskan secara detail konsep-
konsep dan teknik-teknik serta berbagai informasi penting yang bermanfaat tidak hanya
bagi orang tua tetapi juga para pendidik yang memiliki keinginan untuk memahami dan
menjalankan terapi perilaku secara intensif. Dua komponen penting dalam efektifitas
terapi ABA yang mendapatkan perhatian dalam buku tersebut, yaitu; reinforcement dan
permaslahan-permasalahan perilaku dijelaskan secara detail bersama petunjuk-petunjuk
praktis dalam melaksanakan latihan diskret. Kurikulum Discrete Trial Teaching yang
diberikan pada anak-anak autis dijelaskan secara sistematis disertai dengan contoh-
contoh pengumpulan data untuk membantu mempersiapkan program berdasarkan model
dari Autism Partnership.
Sebagai tambahan informasi, melalui internet dapat ditemukan pula bahwa
Autism Partnership juga menawarkan berbagai pelatihan atau workshops bagi para
keluarga, guru dan terapis-terapis. Supervisi program dan pelayanan managemen kasus
ditawarkan bagi para keluarga yang berdomisili di Connecticut dan daerah-daerah lainnya
di Amerika. Autism Partnership juga meberikan pelayanan evaluasi program-program
ABA dan jasa konsultasi bagi sekolah-sekolah yang menyertakan anak autis dalam proses
pendidikan mereka.
3. PECS and The Pyramid Approach to Education
PECS: The Picture Exchange Communication Training Manual (Andrew Bondy and Lori Frost, 1994)
One of the principal advantages of PECS is the integration of theoretical and practical perspectives from the fields of applied behavior analysis and speech/language pathology (Bondy & Frost, 1999)
Andrew Bondy sebagai seorang behavioris merancang rencana pendidikan ABA
bagi anak-anak autis yang menekankan pada adanya kesempatan berkomunikasi di setiap
kesempatan dalam hidup mereka. Proses pengajaran dianggap sebagai suatu proses
pemahaman terhadap lingkungan alamiah setiap anak, seperti; sekolah dan tempat umum
lainnya.
Strategi dasar pengajaran diturunkan dari ABA, hal ini dibuktikan dengan
penggunaan; powerful reinforcers, prompting, fading, shaping, dan lain sebagainya.
Picture Exchange Communication System (PECS) dikembangkan di Universitas
Delaware yang menyelenggarakan progam pendidikan bagi anak autis di bawah arahan
dari Bondy.
Awalnya, PECS dibangun sebagai sarana pembantu untuk berkomunikasi pada
anak-anak dengan spectrum autis yang duduk di taman kanak-kanak. Sejak saat itu
kemudian berkembang dan pada akhirnya diadaptasi juga penggunaannya bagi anak-anak
yang mengalami permasalahan bahasa dan bicara.
Pertimbangan bagi Bondy dan Frost dalam mengembangkan PECS adalah adanya
proses yang relatif lama untuk menunggu hasil dari terapi wicara dan adanya
kompleksitas kemampuan motorik yang diperlukan untuk menguasai bahasa isyarat maka
PECS disusun sebagai suatu sistem komunikasi social yang interaktif dan dapat
diterapkan secara dini. Mereka menekankan akan pentingnya; having children learn to
approach their communicative partner from the beginning of training rather than solely
waiting for specific clues from the partner (Bondy & Frost, 1999).
The Pyramid Education Model (Bondy & Frost, 1999)
Pendekatan ini menekankan pada 4 elemen structural penting yang secara
bersamaan membangun dasar dari program PECS, yaitu:
komunikasi yang fungsional
aktivitas-aktivitas fungsional
imbalan yang kuat ( "no reinforcer = no lesson")
intervensi perilaku yang direncanakan dengan matang
Bondy dan Frost juga menambahkan metoda-metoda instruksional dari priramida
diatas dengan:
format-format rencana pengajaran
berbagai startegi pemberian bantuan (prompt)
startegi ‘error correction’
perencanaan proses generalisasi
Unsur-unsur struktural dasar di atas dan metoda intruksional yang spesifik sangat
penting untuk implementasi program pendidikan yang efektif. Bondy juga
merekomendasikan; intervensi yang bersifat individual, program yang berdasarkan data
dan pengembangan kurikulum. Pendekatan ini bersandar pada penetapan suatu proses
komunikasi yang fungsional, bahkan untuk anak yang nonverbal. Bondy sungguh-
sungguh menentang terhadap pengajaran tanpa sistem seperti yang digambarkannya di
atas.
Prioritas tertinggi ditempatkan pada penetapan dan identifikasi yang berkelanjutan
dari ‘powerful reinforcers’. Hal ini juga selalu disampaikan oleh Bondy di setiap sesi
pelatihan yang diberikannya, " tidak ada reinforcer berarti tidak ada pelajaran."
Model Intervensi dari PECS:
1. Sarana Utama Dalam Pemberian Instruksi
2. Lebih Dari Sekedar ‘Meminta’
3. Penggunaan Pendekatan Visual Dalam Berkomunikasi
4. Perluasan dari Aplikasi Modalitas Secara Visual
5. Pelatihan Staf dan Implementasi Program
Kita dapat memperoleh informasi lengkap mengenai system ini melalui internet
dengan web site: www.pecs.com. Konsultasi program dan jasa-jasa lainnya juga
diberikan di dalam web site tersebut.
4. The Eden Model
Autism through the Lifespan: The Eden Model (David Holmes, 1997)
Eden’s programming is based on applied behavior analysis. Teachers work in small groups or one-on-one. They modify behavior and teach skills through a wide variety of reinforcement and aversive techniques and keep careful data on each session. Eden does integrate elements of other treatment approaches, such as sensory integration therapy, but these remain secondary to applied behavior analysis.
Eden Institute memulai pendidikan privat bagi anak-anak autistik pada tahun
1975. Pengaruh dari hasil penelitian Lovaas ditunjukkan dalam filosofis dan system yang
diterapkan oleh David Holmes di Eden.
Misi-Misi Eden:
Eden Institute Year round educational services for children and adolescents.
Eden ACREs Community based residential services for adults with autism.
Eden WERCs Supported employment opportunities for adults.
Outreach and Support Services
Consultations, diagnostic and evaluative services, parent training, professional training, program support and curriculum resources.
Wawa House Services Early intervention services for infants and toddlers.
Supplemental clinic therapy for older students.
Eden Florida Educational and outreach services for children and adults.
Eden Connecticut Educational and outreach services for children and adults.
Model intervensi dari Eden:
1. Teaching Formats
2. Teaching Goals
3. Behavior Reduction
4. Outreach and Support Services
Eden Institute juga membagi program dalam lima kategori program, yaitu:
1. The Early Childhood Program
2. Middle Childhood Program
3. Transition Program
4. Pre-Vocational Program &Vocational Program
5. Behavior Reduction
Kategori tersebut di atas menjadi pertimbangan dalam memberikan prioritas serta
fungsionalitas program bagi para penyandang autistik yang ada di Eden Institute. Dalam
prosesnya, Eden Institute juga menggunakan Discrete Trial Teaching (DTT) meski tidak
sekaku yang diimplementasikan oleh Lovaas sebelumnya.
5. Applied Verbal Behavior/ (DTT-NET)
Teaching Language to Children With Autism Or Other Developmental Disabilities,
(Mark Sundberg and James Partington, 1998)
At present it is not exactly clear why some children fail to acquire language. However, it is clear that if language does not develop in a timely manner it is reasonable to expect that various forms of negative or inappropriate behaviors will . . . come to function as the child’s main form of communication (Sundberg & Partington, 1998)
Sundberg dan Partington sangat mendasarkan model intervensi mereka pada hasil
penelitian B.F. Skinner di tahun 1957. Skinner meyakini bahwa bahasa adalah suatu hasil
dari operant conditioning sama halnya dengan perilaku-perlaku lain yang dipelajari.
Anak-anak belajar berbicara melalui konsekuensi-konsekuensi yang didapat (operant
conditioning). Namun perilaku verbal (verbal behavior) menurut Skinner membutuhkan
analisa yang berbeda. “With verbal behavior, the child does not operate directly on his
environment. The behavior of others in a verbal community is an additional event that
must be considered (Skinner, 1957 dikutip dari B.F. Skinner Foundation Web Site).
Verbal behavior (VB) berbeda dari model-model ABA lainnya karena hanya
terfokus pada analisa Skinner mengenai bahasa sebagai keterampilan yang dipelajari.
Skinner mengusulkan that language is behavior that is primarily caused by
environmental variables such as reinforcement, motivation, extinction and punishment.
This view of language differs substantially from others that assume language is primarily
caused by cognitive or biological variables (Sundberg & Partington, 1998). Model intervensi:
1. Teaching Format
2. Comprehensive Language Assessment as a Basis of Individualized Curriculum
3. Basic Learner Skills
4. Behavior Reduction
5. Direct Instruction
6. Augmentative Communication
7. Treatment Team and Training
6. TEACCH (Teaching and Educating Autistic Children and Communication
Handycap):
(Schopler, Mesibov & Baker, 1982)
Prinsip-prinsip program TEACCH (Teaching and Educating Autistic Children and
Communication Handycap) telah diimplementasikan kurang lebih selama 20 tahun ini.
Prinsip ini umumnya diadaptasikan dalam setting kelas untuk meningkatkan kemandirian
anak-anak autistik di sekolah. TEACCH dirancang untuk meningkatkan proses adaptasi
pada anak-anak autistik terhadap lingkungan sekitar mereka. Model dari TEACCH
dilaksanakan melalui pengajaran-pengajaran yang distrukturkan dengan;
a) Memodifikasi lingkungan sekitar anak untuk mengakomodasikan kebutuhan
individual setiap anak autistik.
b) Mengajarkan keterampilan-keterampilan yang spesifik.
Empat komponen pengajaran yang di-strukturkan dalam TEACCH:
1. Struktur Fisik
2. Jadwal Harian
3. Sistem Kerja Individual
4. Struktur Visual
TEACCH juga menambahkan perlunya Anxiety Management untuk mengatasi
presoalan-persoalan perilaku pada anak-anak autistik.
Kesamaan Dan Perbedaan Model-Model ABA
Pendekatan ABA sangat konsisten dalam menggunakan prinsip-prinsip dan
teknik-teknik dari operant conditioning (reinforcement, shaping, prompting, chaining,
behavior extinction, dsb).
Dalam setiap model, target perilaku dipecah dalam unit-unit informasi yang kecil
dan dilatih secara berulang-ulang. Keseluruhan model di atas juga sangat
memprioritaskan pada pencatatan data dan interpretasi yang akurat dari data yang ada
sehingga program dapat dikembangkan. Semua menekankan pada pentingnya perhatian
anak terhadap tugas.
Perbedaan model-model di atas sangat terlihat dari penggunaan teknik pengajaran,
yaitu; discrete trial teaching yang intensif secara one-on-one dalam UCLA dan Autism
Partnership, sementara PECS dan TEACCH menggunakan pengajaran yang lebih natural
sedangkan Verbal Behavior dan Eden model mengkombinasikan keduanya sebagai
wahana instruksional. Perbedaan signifikan lainnya juga terlihat pada intensitas dari
metoda yang digunakan, hirarki tahapan program, program dalam mereduksi perilaku,
filosofi dan peran dari para keluarga.
Mungkin model-model ABA di atas dapat dipisahkan menjadi dua kategori besar,
yaitu: Model-model treatment yang menggunakan ABA dan Model-model pendidikan
ABA, meskipun berbeda dalam pendekatannya keduanya saling melengkapi. Fokus pada
intensitas, jangka pendek intervensi (2-3 tahun) dengan tujuan mengarahkan anak autistik
pada pola-pola perkembangan yang ‘umum’ dapat ditempatkan pada kategori model
treatment yang menggunakan ABA. Model pendidikan ABA terlihat melalui tujuan
jangka panjang yang difokuskan pada pengembangan metoda-metoda dalam;
penyesuaian diri, pendidikkan dan kemandirian anak-anak dengan kebutuhan khusus
(tidak hanya autisme).
Akhirnya, melalui overview model-model ABA di atas, tentu sangat menarik
untuk melihat dan menunggu perkembangan ilmu dan penelitian di masa depan mengenai
efektivitas treatment bagi anak-anak dengan spektrum autisme dan anak dengan
kebutuhan khusus lainnya bila dihubungkan dengan perkembangan neurologis anak.
Bahan Bacaan
Ashcraft, M. H., (1998). Fundamentals of Cognition, New York: Addison Wesley
Longman, Inc.
Bondy, A. & Frost, L. (1994) The Picture Exchange Communication System. Focus on
Autistic Behaviior, 9:1 – 19
Berk, L., (1996). Infants, Children and Adolescents, Boston: Allyn & Bacon
Frost, L. & Bondy, A., (1994). Picture Exchange Communication System Training
Manual. Cherry Hill, NJ: Pyramid Educational Consultants, Inc.
Frost, L. & Bondy, A., (1999). Paper for Autism 99 Conference
Green, G.,(1996). Evaluating Claims About Treatment for Autism. In Maurice et al. (Ed.)
Behavioral Intervention for Young Children With Autism (pp. 29-43), Austin, TX : Pro-
Ed Inc.
Holmes, David L., (1997). Autism Through the Life Span :The Eden Model, Bethesda,
MD: Woodbine House
Johnson, C., (1994). Interview With Ivar Lovaas, The Advocate (Autism Society of
America), Nov-Dec 1994
Leaf, R., and McEachin, J., (1999). A Work In Progress: Behavior Management
Strategies and a Curriculum for Intensive Behavioral Treatment of Autism, New York:
DRL Books
Lovaas, O.I., (1981). Teaching Developmentally Disabled Children: The Me Book.
Baltimore : University Park
Lovaas, O. I., (1996). The UCLA Young Autism Model of Service Delivery. In Maurice
et al. (Ed.) Behavioral Intervention for Young Children With Autism (pp. 241-248),
Austin, TX : Pro-Ed Inc.
Lovaas, O.I., (1987), Behavioral Treatment and Normal Educational and Intellectual
Functioning in Young Autistic Children. Journal of Consulting and Clinical Psychology,
55, 3-9
Lovaas, O.I., & Smith, T., & McEachin, J.J. (1989) Clarifying Comments on the Young
Autism Study. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 57, 165-167
McEachin, J.J., Smith, T., & Lovaas, O.I. (1993) Long Term Outcome for Children With
Autism Who Received Early Intensive Behavioral Treatment. American Journal on
Mental Retardation, 4: 359-372
McClannahan, L. E., and Krantz, P. J., (1999). Topics In Autism: Activity Schedules for
Children With Autism: Teaching Independent Behavior, Bethesda, MD : Woodbine
House
Satcher, D. (1999). Mental Health: A Report From the Surgeon General.
[http://www.surgeongeneral.gov/library/mentalhealth/chapter3/sec6.html#autism]
Skinner, B.F. (date unknown) A Brief Survey of Operant Behavior. B.F. Skinner
Foundation Web Site [http://www.bfskinner.org/Operant.asp]
Smith, T., (1999). Outcome of Early Intervention for Children With Autism. Clinical
Psychology and Practice, 6, 33-49.
Sundberg, M, & Partington, J, (1998). Teaching Language to Children with Autism or
Other Developmental Disabilities, Danville, CA: Behavior Analysts
Sundberg, M, & Partington, J, (1998). The Assessment of Basic Language and Learning
Skills, Danville, CA: Behavior Analysts