Patient's Autonomy and Role Doctor
-
Upload
erwin-wahid -
Category
Documents
-
view
81 -
download
3
description
Transcript of Patient's Autonomy and Role Doctor
Perspektif inMedical Sociology
PATIENT’s AUTONOMY
with ROLE
DOCTOREdited by Erwin Wahid, M.D. [email protected]
1
PATIENT’S AUTONOMY WITH ROLE DOCTOR
Erwin Wahid, M.D., F.Ina.C.S.
1. Introduction
Doctor-Patient Relationship, New Paradigm in the World.(figure: egg-shaped layers model, closed authority role theory)
Table: Doctor-Patient Relationship Difference
-------------------------------------------------------------------------------------
Old Paradigm 500 BC New Paradigm 2000 AD
-------------------------------------------------------------------------------------- Doctor-Centered/Disease-Centered Patient-Centered
Parent-Child Model/Biomedical model Egg-shaped layers model Paternalism Autonomy
Boundary maintenance: Belief/Trust Believe Vertical Dyadic On care/decision-making asymmetrical Patient decides Doctor as expert Doctor presents option
2
Role Doctor
Patient Autonomy
Covert-role taking: Social Norms
Boundary- Maintenance: trust. fiduciary and believe
Not autonomy Max. autonomy for patient The dignity of the person Professional Covert role-taking: with role distance; No role distance; Social norms not Social norms yes Oriented: oath, ethic add Communication Malpractice doctor: yes No-----------------------------------------------------------------------------------------
Contents
1. Introduction
2. Changing Paternalism Doctor to Autonomy
3. Patient Autonomy
4. Patient Autonomy and Informed Consent
5. Patient Autonomy and effective Communication
6. Patient Autonomy and Social Norms
7. Conclusion
2. Pertukaran Dokter dari Paternalistik ke Otonomi
Pandangan umum paternalistik sebagai dokter yang serba tahu serta paling baik merawat pasien
(doctor knows best). Dokter memeriksa dan memutuskan pengobatan kepada pasien mereka
(decision-making asymmetrical). Paling penting semua ini, pasien menerima hubungan ini dan
apa yang dikatakan dokter berorientasi penyakit (biomedical model).
Zaman dahulu seorang dokter sangat dihormati oleh pasien, meskipun pasien mempunyai
harapan dari hasil kerja dokter adalah rendah. Hari ini, meskipun, dokter tetap memegang
tanggungjawab jika berlaku kesilapan, sikap perbuatan dokter terhadap pasien masih sama
(paternalism). Mulai pada abad ke 20, dalam kata pengantar sebuah karya bukunya ‘The
Doctor’s Dilemma’, George Bernard Shaw menulis bahwa seluruh profesi adalah berkomplot
melawan masyarakat umum. Pada 1964, Pedro Lain Entralgo, mengaitkan sejarah kedokteran
orang-orang Spanyol dengan menyatakan dalam buku klasiknya ’Larelacion medico-inferno’
(The doctor-patient relationship) bahwa sedikit dari elemen dalam hubungan ini telah
mempunyai pergeseran selama 25 abad yang lalu. Meskipun, beberapa tahun kemudian dia
berhasil menyatakan bahwa dalam akhir 35 tahun dari abad ke 20, hubungan antara doktor dan
pasien barangkali telah terjadi pergeseran lebih selama 25 abad yang lalu.
3
Keprihatin masyarakat telah meningkat dengan adanya pelaporan media masa pada kasus
dimana dokter dituntut berhadapan hasil displiner, atau aksi perdata dan kriminal dalam
pengadilan tlnggi atau Mahkamah Agung (crisis of malpractice doctor).
Perbincangan kumpulan sosial sekitar pengalaman mereka berjumpa dokter. Setiap orang
mempunyai pengalaman tersendiri terhadap layanan dokter yang berbeda. Tuntutan pasien
hasilnya sia belaka bahwa dokter menyembunyikan faktor kebenaran dan selalu menjadi
pelindungnya.
Pasien yang berjumpa dokter dikarena mereka menderita badannya sakit, dan mereka
berharap bahwa dokter bisa menolong mereka sembuh. Dokter akan melakukan perawatan
pesakit. Seperti semua doktor adalah manusia dan mudah mendapat membuat kelalaian,
kesalahan yang tak dapat dielakkan dalam praktek kedokteran. Jarak dari kelalaian atau
kesalahan adalah lebar dan mungkin dapat mengisi buku sebagai bandingkan dengan sebuah
buku pelajaran.
Kelalaian berbeda-beda dan kesungguhan mereka mendapat hasil dalam perkara hukum
atau bahkan bertambah buruk, hilang izin untuk berpraktek. Beberapa kelalaian hasil dari
kedokteran yang melekat sifat risiko tinggi dan ketidaktentuan.
Pendekatan kedokteran hari ini lebih berfokus pasien (patient-centered). Zaman sekarang
jalan pikiran sangat meningkat penolakan dokter paternalistik, sebagai dokter sangat luas
memandang sikap acuh tak acuh dari moral pasien dan menurut undang-undang baik dari status
kesehatannya. Doktor zaman dulu, bermatabat tinggi (the dignity of the person), dan mempunyai
kewenangan penuh membuat keputusan apa paling baik untuk pasiennya (doctor-centered);
dokter sekarang butuh keterangan pasiennya untuk memberikan pilihan pengobatan (doctor
presents option), menyerahkan keputusan kepada pasien untuk membuat memilih pilihan (patient
decides). Selanjutnya, dokter tidak lama berhubungan kekebalan dengan pengadilan, karena
dokter meningkat kena panggilan oleh hakim untuk memberi jawaban tuntutan dari tidak
kepuasan pasien.
Sebagai profesional dokter mempunyai hak untuk transaksi terapeutik dengan apa saja
Dokter akan melakukan koreksi segera daripada terlambat, akibat mempunyai kesan kekeliru
hubungan antara dokter dan pasien. Dokter mampu memberikan perbaiki bila terjadi keliruan,
dokter boleh berbuat kebetulan saja, inilah diperlukan dari kualitas praktek.
4
3. Otonomi Pasien
Otonomi pasien telah mempunyai batas tegas sebagai inti yang legal dan dasar etika bahwa
menekankan semua interaksi manusia dalam perawatan kesihatan. Setiap orang dewasa berbuat
dalam suara pikiran yang baik pada arah apa yang akan dilakukan diri sendiri dan dia
mempunyai tanggungjawab untuk membuat keputusan perawatan kesihatan (kebebasan
terapeutik). Otonomi orang dapat berkelakuan, memilih dan berpikir sebagai dia berharap.
Bagaimanapun, otonomi berbuat menekan individu-individu pintar menunjukkan haluan hidup
mereka, sejauh tidak ada sekatan terhadap otonomi yang lain.
Otonomi adalah sebuah kata asli dari Greek, berasal dari kata Greek iaitu ’eautos,’ yang
mana arti diri, dalam gabungan dengan kata ’nomos,’ yang mana arti peraturan, tatanegara atau
hukum. Otonomi dipergunakan dalam bahasa Inggris untuk menjelaskan upaya orang untuk
menyatakan dirinya bebas, dan kebebasan tindakan dalam masyarakat tertentu. Otonomi
mempunyai kompleksitas dan variasi percobaan pada definisi yang telah dibuat.
Dalam pertengahan tahun ’80s Gillon (1985) berpendapat bahwa konsep otonomi
menggabungkan latihan kepada apa Aristoteles katakan spesifik sifat manusia, memberi
penjelasan yang rasional. Osman dan Perlin (1994) memberi definisi otonomi sebagai pilihan
membuat pertimbangan. Smith (1994) menjelaskan serba luas definisi dengan merujuk kepada
otonomi sebagai sebuah tekad berbagai tanggapan termasuk tatanegara, kebebasan sempurna,
’privacy,’ pilihan individu, kebebasan mengikuti sesuatu, sebab berkelakuan sesuatu dan orang
berbuat sesuatu.
Dalam tahun 1994, dalam Journal Lancet, hubungan antara pasien pintar dan otonomi,
menekankan bahwa masyarakat melakukan membenarkan ketentuan diri dan memerintah diri
sendiri, termasuk penentuan keutamaan kesehatannya.
Nessa dan Malterud (1998) menjelaskan otonomi sebagai jenis kesiapan mental bahwa
ketentuan kedua-kedua bagian kelakuan ke dalam dan ke luar.
Leino-Kilpi et al. (2000) berpendapat bahwa ada tiga konsep sentral pada otonomi: 1)
Tatanegara-diri, 2) Realisasi-diri dan 3) Otonomi aktual dan definisi otonomi sebagai seni
kemampuan berpikir membuat keputusan. Dalam tahun 2002, Vaughan dan Leddy menyokong
bersama ide-ide bahwa otonomi dalam akal orang sebagai kebebasan orang, kebebasan membuat
keputusan diri sendiri.
5
Otonomi berarti pasien pintar membuat keputusan mereka sejauh keputusan tidak masuk
campur kepada orang yang lain. Barangkali otonomi pasien maklum kepada individu membuat
keputusan perawatan kedokteran mereka dan menandakan batas garis untuk campur tangan
bidang kedokteran.
Leino-Kilpi et al., (2000) berpendapat, untuk perlindungan otonomi pasien, profesional
kesihatan selalu mencoba memastikan bahwa orang tidak mengobati dirinya lagi, bahwa mereka
melibatkan perawatan kesehatan dalam proses membuat keputusan.
Konsep otonomi adalah komplek, banyak variasi penulis telah mencoba kepada analisis
otonomi pasien, oleh pemikiran komponen individu. Untuk contoh, Boladeras (1998),
mendekati dasar otonomi oleh memisalkan dua ide: 1) kesadaran pada nilai dasar sesuatu pilihan
individu bebas selama mereka hidup, rancangan dan pengadaptasian kepada ide manusia yang
cermelang, dan 2) menyatakan individu lain harus tidak ikut campur tangan dalam pilihan orang.
Setelah mengkaji ulang perpustakaan perawatan kesehatan hubungan otonomi pasien.
Dowrkin (1998) pengenalpastian dua wajah bahwa biasa hampir-hampir semua definisi kepada
otonomi. 1) Otonomi hubungan kepada individu, dan 2) Otonomi menjadi sebuah sifat idaman.
Leino-Kilpi et al (2000) membedakan otonomi pasien ke dalam tiga tahap: 1) Otonomi
pada tahap physiologis melibatkan sesuatu proses berotonomi dan kebebasan dari proses
berotonomi lain (social control). 2) Otonomi tahap pribadi melibatkan menentukan dan
menjelaskan pada diri (autonomous). Dia mencadangkan sebuah kebebasan berkelakuan menurut
seseorang, mempunyai pikiran bebas dan kawalan semasa pilihan, dan 3) Otonomi tahap sosial,
melibatkan suatu model otonomi memberi faktor memaksa ke dalam sesuatu pertimbangan
(social contract). Ikonomidis dan Singer (1999) menekankan keprihatinan selama membendung
otonomi dari kepentingan individu dalam membuat keputusan penting, tinggal mereka
menyesuaikan pada nilai atau konsep dari kehidupan yang baik.
Barer (1997) menyokong bahwa hormat otonomi pasien mengisyaratkan pasien maklum
memilih pengobatan alternatif, sementara Haddad dan Vernarec, (2001) berpendapat bahwa
profesional perawatan kesehatan memastikan menghormati otonomi pasien, bersetuju dengan
pengalaman personal mereka dan membenarkan pasien pada keputusan atau tidak mahu
mendengarnya.
Walaupun perpustakaan mengembangkan dan berusaha, pasien selalu mengecualikan
proses keputusan perawatan kesehatan dan biasanya profesional perawatan kesihatan datang
6
pertama`untuk persetujuan pengobatan atau perawatan dan mereka segera membincangkan
dengan pasien.
Bagaimanapun, pasien dan profesional perawatan kesehatan mempunyai realisasi sasaran
umum mereka dan pemeliharaan mengupayaan pasien kepada kebebasan dan berotonomi. Oleh
itu, profesional perawatan kesehatan membuat yakin pasien mengerti dasar diagnosis mereka dan
mencadangkan pengobatan mereka dan mereka telah menolongnya perasaan selamat, menolak
cadangan profesional jika mereka mau.
Ada beberapa peristiwa bilamana dokter boleh menentukan mengupayaan membuat
keputusan merusakkan. Kemudian, suatu pengganti akan melibatkan dalam membuat keputusan
mengikuti arah, nilai, keinginan pasien.
Leino et al. (2000) berpendapat bahwa konsep otonomi telah berbeda arti dalam berbeda
budaya. Dalam Etika Amerika Syarikat, otonomi adalah suatu konsep emperik mengupayaan
definisi kepada berkelakuan dengan sengaja, pemahaman dan tanpa kontrol pengaruh. Etika
Eropah mentafsirkan dasar otonomi sebagai mengupayaan pada perbuatan manusia
menyusahkan hukum moral mutlak diatas dia sendiri sambil di budayakan, beberapa masa
keterangan dan membuat keputusan tidak hanya tanggungjawab pasien tetapi merupakan
tanggungjawab keluarganya.
Kottow MH. (1994) telah mengkaji kapan seorang pasien memberikan seluk beluk
keterangan pribadi pada dokter, dia mencurigakan otonominya. Bilamana dia mengizinkan
campur tangan, dia telah mengantisipasi bantuannya. Hubungan kepercayaan memberikan
jaminan tidak membocorkan rahasia, dan hingga sekarang otonomi bersama disetujui.
Beauchamp Tl (1994) telah mengkaji individu sendiri menunjukkan nilai-nilai baik
sangat tinggi dalam tradisi Amerika. Para pasien pintar menerima atau menolak pengobatan.
Seorang harus hormat otonomi dengan prinsip pertama hukum moral dan kesucian hidup.
Beaucham TL (2001) ada empat arti penting dari otonomi: 1) mengupayaan ciptaan ide dan
tujuan hidup (norma kesopanan); 2) mengupayaan wawasan moral (norma etika); 3)
mengupayaan pembuatan undang-undang dan kebebasan pribadi (norma hukum); 4)
mengupayaan keputusan rasional dan tindakan tanpa paksaan (patient decides); 5) mengupayaan
memberikan ’informed consent.’
Daryl Pullman (2002) mempunyai pikiran paternalistik berbanding terbalik dengan
otonomi. Dalam arti yang luas berkurang kebebasan profesional dokter akan menambah
7
kebebasan terapeutik pasien. Inilah menjadi kecemasan para dokter takut akan kehilangan
wewenangnya yang telah lama menikmati kebebasan profesional.
4. Otonomi pasien dan ‘Informed consent’
Dasar pasien pintar adalah otonomi dan ‘informed consent,’ Otonomi pasien menjelaskan
landasan prinsip dalam perawatan kesehatan. Pasien pintar menunjukkan isu-isu kesehatannya.
Pasien pintar melakukan proses membuat keputusan perawatan kesehatannya dan profesional
kesehatan selalu mencoba melarang orang tidak mengobati diri sendirinya. ‘Informed consent’
adalah kesadaran tidak ada paksaan membuat keputusan oleh individu berotonomi kompeten
kecuali atau penolakan beberapa aksi tindakan. Pasien pintar memberikan informasi tentang
pengobatannya dan perawatan dan memberi persetujuan kepada dokter perawatan kesehatan
sebelum regimen pengobatan dapat dimulai.
Kata ‘consent’ berasal dari bahasa latin ‘consensio’ atau ‘concentio’ kemudian dalam
bahasa Inggris menjadi ‘consent’ yang berarti persetujuan, izin, menyetujui, persetujuan,
memberi wewenang. ‘Informed consent’ atau ‘real consent’ berarti pernyataan setuju dari pasien
yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapat informasi dari dokter dan sudah
dimengerti oleh pasien. ‘Informed consent’ tidak hanya diperlukan sebelum dilakukan tindakan
medik karena ‘Informed consent’ adalah suatu proses bukan suatu yang sekali selesai. Jenis
‘Informed consent’ adalah dinyatakan secara lisan atau tertulis atau tersirat dalam keadaan biasa
atau darurat. Dalam perkembangan terakhir ‘Informed consent’ dibuat penjelasan secara tertulis
dalam hal-hal tertentu informasi tertulis diwajibkan oleh hukum. Secara yuridis, kewajiban
memberikan informasi kepada pasien dibebankan kepada dokter untuk memperoleh persetujuan
sebelum melakukan tindakan medik.
Kesaktian ‘informed consent’ memang sangat menajubkan kerana dengan memberikan
‘informed’ yang jelas sudah terpenuhi norma etika, kemudian dengan menandatangani ‘consent’
terpenuhi syarat hukum berarti telah melakukan norma hukum dan jangan lupa waktu melakukan
proses ‘informed consent’ harus komunikasi efektif bersikap santun, empati, hormat dan lain-
lain, berarti telah menjunjung norma kesopanan.
Tetapi orang-orang bergerak dalam bidang hukum (contoh, lawyer) memandang kurang
berarti nilai hukum ‘informed consent,’ kerana mereka mengira pasien dalam kondisi sakit, jadi
8
tidak seimbang terjadi berat sebelah dan bagaimana pula pasien dalam keadaan
darurat/kecemasan tidak perlu minta persetujuan kerana dilindungi undang-undang, berarti bias
dalam keadaan sulit bisa. Apakah seorang ‘lawyer’ dapat pasti memenang perkara, begitu
apakah dokter dapat pasti menyembuh pasien, jawab kedua-duanya tidak.
Sebetulya profesi dokter itu sangat mulia, dihormati masyarakat, bahkan dulu sampai
dianggap wakil tuhan di dunia (Yesus/Nabi Isa), maka dokter kembalilah ke fitrah Hippcrates,
tidak ada dalam lafal sumpah Hippocrates istilah malpraktek, jangan sekali sampai
mengasuransikan profesi (malpractice doctor insurance), berarti seorang dokter telah
mengasuransi profesi dokter bahwa dia telah mengakui profesi dokter sebagai sarang tempat
malpraktek dokter, maka berkerjalah praktek dokter yang baik menggunakan komunikasi efektif.
5. Otonomi Pasien dan Komunikasi Efektif
Hubungan komunikasi antara dokter dan pasien yang berlangsung antara dokter dengan
pasiennya selama proses praktek yang terjadi di ruang rumah sakit dalam rangka membantu
menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
Pengembangan komunikasi efektif hubungan antara dokter dan pasien secara efektif yang
berlangsung secara efisien, dengan tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian
penjelasan yang diperlukan dalam rangka membangun kerja sama antara dokter dengan pasien
(shared model). Komunikasi yang dilakukan secara verbal dan non-verbal menghasilkan
pemahaman pasien terhadap keadaan kesehatannya, peluang dan kendalanya, sehingga dapat
bersama-sama dokter mencari alternatif untuk mengatasi permasalahannya (reciprocal
asymmetris relationship; Surbone, 2004).
Komunikasi efektif dalam hubungan antara dokter dan pasien diharapkan dapat
mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang
menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu
dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan
komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat
mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya
kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya.
Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk
dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya.
9
Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama.
Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali
kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medik, adanya
komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga
dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan
kebutuhan pasien. Namun disadari bahwa dokter belum disiapkan untuk melakukannya. Dalam
kurikulum kedokteran,membangun komunikasi efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas.
Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman untuk dokter guna memudahkan
berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting
dalam pengembangan komunikasi antara dokter dan pasien diharapkan terjadi perubahan sikap
dalam hubungan dokter-pasien. Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya
adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih
memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya
(Kurtz,1998).
Dalam komunikasi dokter-pasien diperlukan kemampuan berempati, yaitu upaya
menolong pasien dengan pengertian terhadap apa yang pasien butuhkan. Menghormati dan
menghargai pasien adalah sikap yang diharapkan dari dokter dalam berkomunikasi dengan
pasien, siapa pun dia, berapa pun umurnya, tanpa memerhatikan status social ekonominya.
Bersikap adil dalam memberikan pelayanan medis adalah dasar pengembangan komunikasi
efektif dan menghindarkan diri dari perlakuan diskriminatif terhadap pasien. Ahkir kata tujuan
komunikasi efektif hubungan antara dokter dan pasien agar pasien dapat memahami/mengerti
antara kelalaian medik dengan risiko medik, karena setiap dokter harus berbuat baik, berlaku adil
(justice) dan menjaga privacy pasien (otonom).
6. Otonomi Pasien dan Norma-norma Sosial
Dalam kurun yang lama dari abad ke abad dokter menikmati kebebasan profesional menentukan
membuat keputusan atas dasar keyakinan sendiri (doctor-centered), mau tidak mau, suka tidak
suka, pasien mulai terbuka mata kepala, kesadaran masyarakat meningkat, dengan berkembang
isu hak azasi manusia untuk menentukan nasib sendiri, pasien merasa ada ketidakpuasan atas
pelayanan dokter, bahkan menuntut sampai kemuka pengadilan (malpractice doctor).
10
Dari dulu terdapat tiga dasar stratifikasi dalam institusi kedokteran menurut Waitzkin
(1993) yaitu: 1. Profesionalisme, 2. Elitisme dan 3. Keterbatasan komunikasi. Ketiga dasar ini
yang menjadi penyebab konflik berkepanjangan hubungan antara dokter dan pasien seantero
dunia ini, menyebabkan pelayanan dokter kurang memuas dirasakan pasien. Jadi kita mesti
menekan strata itu seminimal mungkin karena dokter dan pasien di era globalisi kedudukkan
mereka sederajat (dyadic), hampir serupa dengan teori Homans (1961) yakni teori tingkah sosial
dasar (elementary social behavior theory) tapi teori ini tidak mengguna norma-norma sosial dan
hubungan peranan terbuka (open role). Aneh para pakar dalam kepustakaan membicara
hubungan antara dokter dan pasien (transaksi terapeutik) melihat dari kaca mata pandangan
masing-masing: hubungan medik, hubungan sosial dan hubungan hukum saja sehingga tidak
ketemu titik penyelesaian malapraktek dokter. Contoh, Szazs dan Hollender (1978),
mengemukakan bentuk komunikasi beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter dengan
didasari analogi hubungan orang tua dan anak, hubungan orang tua dan remaja, dan hubungan
antara orang dewasa. Terdapat 3 pola hubungan dasar dokter dan pasien yaitu: Pola dasar
hubungan aktif-pasif. Dalam keadaan ini pasien tidak dapat berbuat sesuatu dan hanya
menerima. Dokter ditempatkan dalam keadaan yang superior (paternalistik). Menurut Jones
(1951) dan Marmor (1953) para dokter tidak lagi mengidentifikasikan pasien sebagai manusia,
namun hanya sebagai benda biomedik (biomedical model) dan Jones mengistilahkan sebagai
keadaan ‘the god complex.’ Ditemukan pada keadaan ketika sakit darurat. Pola dasar hubungan
membimbing-kerjasama. Dokter masih menjadi tokoh sentral dalam membuat keputusan tetapi
tidak melakukan disidentifikasi terhadap pasien, yang menganggap sebagai benda biomedis
(doctor-centered). Dokter menganggap bahwa dia hanya sekedar membimbing pasien untuk
menjadi sehat. Szasz dan Hollender mengistilahkan ‘pygmalion complex’ biasanya pada kasus
sakit yang tidak berat, misalnya pada sakit alergi atau penyakit akut. Pola dasar hubungan saling
berperan serta. Hubungan ini didasarkan pada struktur sosial yang demokratis (collegium
model). Ditemukan pada kasus pasien sehat yang melakukan medical check-up rutin.
Szasz dan Hollender mengemukakan transaksi terapeutik di lihat dari hubungan sosial
saja (komunikasi), berarti hanya satu sratifikasi yaitu keterbatasan komunikasi. Dalam
malpraktek dokter harus kembali ke era otonomi pasien. Maka untuk menekan tiga stratifikasi
kedokteran itu kita harus berbuat: 1. Patient decides (autonomy) versi Profesionalisme. 2.
Effective communication versi Limitation communication. 3. Social norms versi Elitisme. Dulu
11
terjadinya stratifikasi kedokteran karena ada perbedaan yang signikan antara jenjang pendidikan
antara dokter dan pasien, sekarang gap itu telah berasur berkurang kerana kemajuan teknologi
dan informasi serta maju dunia pendidikan sehingga kesadaran masyarakat meningkat. Dokter
yang profesional adalah dokter yang kompeten pada dirinya melekat 6 kompenen
profesionalisme kedokteran (altruism, accountability, excellence, duty, respect for others, honor
and integrity), tetapi sekarang hak azasi manusia untuk menerima atau dasar/azasi untuk
menentukan diri sendiri (the right of self determination), harus diberikan hak pasien untuk
memberikan persetujuan tindakan mediknya (informed consent) terhadap tindakan pelayanan
yang akan dilakukan terhadap dirinya (patient decides). Dari dulu sampai sekarang pendidikan
dokter sangat disanjung, dihormat masyarakat, bahkan kalau keluarga salah satu jadi dokter,
keluarga tersebut menjadi golongan keluarga elite yang dikenal elitisme, seakan dokter menjadi
manusia sombong, angkuh dan arogan dipandang orang, disini diperlu norma kesopanan, tidak
etis dan hanya tahu etika kedokteran dan kadang-kadang melanggar etika seperti dokter
kandungan lebih cepat melakukan sectio Caesar dan menghindari tuntutan jika ada sesuatu yang
salah selama persalinan (Marcones, 2012) , maka disini perlu norma etika, dokter seakan
mempunyai kekebalan terhadap hukum berlaku itupun diperlu juga norma hukum untuk
melindungi dari tuntutan malpraktek. Dulu kesenjangan pendidikan antara dokter dengan pasien,
pasien bodoh dirasakan dokter maka dokter berlaku sedikit membatasi komunikasi, namun
sekarang itu tak boleh terjadi menjadi penyebab kesalah paham pasien, pasien merasa tidak puas
atas pelayanan diberi oleh dokter, terlebih sekarang sangat maju tehnologi informasi elektronik,
hal apapun dapat di ekses cepat, sehingga sekarang dokter harus mempunyai wawasan
berkomunikasi efektif (Amnon Carni, 2004).
Roter (1992) mengkaji hubungan antara dokter dan pasien, dalam bentuk empat model
iaitu: 1) ’Paternalism;’ 2) ’Consumerism;’ 3) ’Mutually;’ dan 4) ’Default.’ Dalam model
paternalistik hubungan antara dokter dan pasien, dokter mendominasi membuat keputusan
tentang keterangan dan pelayanan; pasien pasif dan mengharapkan melakukan sebagai hasil
diskusi mereka. Dokter mempunyai tingkat kontrol tinggi sambil pasien mempunyai kontrol
rendah (doctor centered). Dalam model ’consumerism,’ ciri hubungan ini pasien kontrol tinggi
dan doktor kontrol rendah. Dalam model ini, doktor suka bekerjasama mencapai pasien untuk
memerlukan keterangan dan pelayanan (model provider-consumer). Dalam model ’mutually,’
doktor dan pasien mempunyai kontrol tinggi dalam hubungannya, setiap mereka boleh memiliki
12
memberikan perspektif dan kekuatan. Membuat keputusan bersama (collegium model).
Bilamana pasien dan dokter untuk harapan hubungan berbeda pendapat, satu kemungkinan
hubungan model ’default,’ ciri kontrol rendah untuk kedua-duanya pasien dan doktor. Model ini
boleh berlaku keadaan dalam interaksi tak diduga siapa yang mengadakan tuntutan malpraktik
pada doktornya, tetapi berterusan berbeda pendapat melihat doktor itu.
Seakan menurut Roter hubungan model ’default’ yang dapat timbul malpraktek,
bagaimana model ’paternalism’ dengan ’desicion-making asymmetrical,’ model ’comsumerism’
boleh ’patient decides’ dengan komunikasi dokter bagaimana, model ’mutually’ dapat
kedudukan sederajat (parnertship) tapi dalam mengambil putusan kerjasama (shared model),
tampak model ini ideal tapi riskan malpraktek kerana masih ada ikut campur tangan dokter.
Jadi bagaimana hubungan antara dokter dan pasien yang model ideal. Szasz dan
Hollander, Roter dan Pakar-pakar lain mengemukakan hubungan antara dokter dan pasien
menggunakan kotak-kotak, sebetulnya kesalahpahaman mengartikan hubungan dokter dan
pasien seperti hubungan bapak dan anak yang selalu diartikan bapak serba tahu (father knows
best) dan anak tak tahu-tahu apa-apa (paternalistik). Sebetulnya hubungan antara dokter dan
pasien adalah merupakan ikatan khusus (relation-based), kembali ke lafal sumpah Hippocrates
antara lain berani menjaga/simpan rahasia kedokteran dan kepentingan pasien paling
diutamakan, berarti hubungan bapak dan anak ini maknanya hubungan peranan tertutup (closed
role) yang tidak bisa dicampur tangan secara logika oleh orang lain berbatas tegas (covert-role
taking) memakai norma-norma sosial tertentu (social norms).
Hubungan peranan tertutup ini seperti terbungkus oleh lingkaran bisa bentuk bulat,
lonjong, persegi atau unit sel. Untuk lebih sederhana hubungan ini digambarkan bentuk telur
(oval) karena variabel ada 2 yaitu dokter (paternalistik) dan pasien (otonomi), kulit telur sebagai
pembungkus ibarat pelindung diberikan nama norma-norma sosial setempat yang berlaku
(covert-role taking): contoh norma mana dipakai, pasien orang Indonesia berobat di Singapura,
lalu operasi robotic di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura dan operator operasi di Amerika.
Karena pasien sekarang telah menjadi fokus (patient-centered) sebagai membuat ’patient
decides,’ maka inti kuning telur di umpamakan sebagai otonomi pasien, putih telur sebagai
peranan dokter memberikan alternatif-alternatif terapi (doctor presents option). Antara bapak dan
anak berbatas tegas yakni hubungan cinta berupa kasih sayang, kerana masalah ini dokter dan
pasien yang kita kenal hubungan kepercayaan, saling percaya dan percaya, digambarkan batas
13
antara putih telur dan inti kuning telur sebagai pertahanan sistem dari serangan luar disebut
’boundary-maintenance.’ Jika hubungan kepercayaan (trust, belief) mana mungkin dokter
diperlakukan seperti menganut suatu agama, bila hubungan saling percaya (fiduciary) mana
mungkin dokter harus percaya dulu pada pasien baru mengobati, bertentangan dengan sumpah
kedokteran dan etika, dan hubungan percaya (believe) ini cukup tepat kerana pasien berobat ke
dokter dia harus percaya dulu keahlian dokter tersebut. Tetapi harus ada teori pendukung model
ini yakni ’ Closed authority role theory,’ dokter dan pasien masing-masing mempunyai
wewenang yang sama kuat kekuatan dan perspektif (seperti model mutually) tapi yang
memutuskan akhirnya tetap pasien (patient decides). Model hubungan baru sekarang ini lagi
trend di dunia (take on the world) dikenal model ’egg-shaped layers.’
7. Kesimpulan
Kalau praktek dokter yang baik melaksanakan norma-norma sosial yang berlaku setempat
dimana ia bekerja secara profesional berkomunikasi efektif, melakukan persetujuan tindakan
medik ‘informed consent,’ kemungkinan kecil terjadinya malpraktek, kerana dokter harus
menjelaskan lebih dulu perbedaan kelalaian medik dan risiko medik setelah diantipasi semua dari
mula A…….. SAMPAI…….Z.
14