OPTIMALISASI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN 60...

16
OPTIMALISASI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN SWAT: SUATU STUDI DI DAS CIJALUPANG, BANDUNG, JAWA BARAT 1 Erna Suryani, 2 Muhammad Ardiansyah, 2 Surya Darma Tarigan, dan 3 Fahmuddin Agus 1 Peneliti Badan Litbang Pertanian pada Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 12, Cimanggu Bogor 2 Staf Pengajar Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Jl. Raya Darmaga Kampus IPB Darmaga Bogor 3 Peneliti Badan Litbang Pertanian pada Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12,Cimanggu Bogor Abstract. The land use of an area will influence the hydrological processes of a watershed. Changing of the proportion and the type of land cover will influence its hydrological systems. This research, conducted in Cijalupang Watershed – Bandung, West Java in 2004 aimed to analyze the land use change occurred in Cijalupang Watershed and its influence on the hydrological characteristic, and designs the land use which is based on land quality and its hydrological aspects. The optimization process supported by the Soil and Water Assessment Tool (SWAT) 2000 and Geographic Information Systems tools. The analysis showed that SWAT is capable to predict properly the total annual water yield of the watershed. The changes in land use by reducing the total area of mixed garden (7. 3%) and forest (2.3%) followed by the increasing upland area (5.7%) and settlement area (5.1%) within a period from 1990 – 2002, tended to increase the total annual water yield even it was not significant (0.90%). The significant changes occurred in the increase of total surface runoff (20.42%) and reducing base flow and lateral flow 4.50% and 1.28%, respectively. The increase of the total runoff is attributable to the lowering the watershed capability to preserve water retention capacity, hence, the rainy season (November – June) flow increased and the dry season (July – October) flow decreased. The simulation process conducted using several land use scenarios. The first scenario is land use design based on the suitability classes. The second scenario, upland which have slope 30 – 45% change into mixed garden and slope >45% change into forest. For bushes which have slope 0 – 30% change into mixed garden and slope >30% change into forest. The third scenario all bushes change into forest. Simulation results showed that land use base on land suitability improve better hydrological condition in Cijalupang Watershed. This indicated by the reduction total runoff and increase total base flow and total lateral flow at annual period. To optimize land use Cijalupang watershed should be considered land quality and hydrological aspect, as well as the people dependence to the agriculture. Based on the analysis, scenario 3 is the optimum land use in Cijalupang Watershed. Hydrologically scenario 3 is able to reduce annual runoff up to 2.12%. This research proved that land use influence water yield and proportion of flow components. The increase runoff indicated increase flooding hazard in wet season and drought in dry season. This condition will threat the sustainability of agriculture and surrounding environments. Thus, the future land use planning should employ the water yield as a basis, as well as its land suitability. SWAT 2000 is useful tools to predict the optimizing of land use 60 691

Transcript of OPTIMALISASI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN 60...

OPTIMALISASI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN SWAT: SUATU STUDI DI DAS CIJALUPANG, BANDUNG, JAWA BARAT

1Erna Suryani, 2Muhammad Ardiansyah, 2Surya Darma Tarigan, dan 3Fahmuddin Agus 1Peneliti Badan Litbang Pertanian pada Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 12, Cimanggu Bogor 2Staf Pengajar Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Jl. Raya Darmaga Kampus IPB Darmaga Bogor 3Peneliti Badan Litbang Pertanian pada Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12,Cimanggu Bogor

Abstract. The land use of an area will influence the hydrological processes of a watershed. Changing of the proportion and the type of land cover will influence its hydrological systems. This research, conducted in Cijalupang Watershed – Bandung, West Java in 2004 aimed to analyze the land use change occurred in Cijalupang Watershed and its influence on the hydrological characteristic, and designs the land use which is based on land quality and its hydrological aspects. The optimization process supported by the Soil and Water Assessment Tool (SWAT) 2000 and Geographic Information Systems tools. The analysis showed that SWAT is capable to predict properly the total annual water yield of the watershed. The changes in land use by reducing the total area of mixed garden (7. 3%) and forest (2.3%) followed by the increasing upland area (5.7%) and settlement area (5.1%) within a period from 1990 – 2002, tended to increase the total annual water yield even it was not significant (0.90%). The significant changes occurred in the increase of total surface runoff (20.42%) and reducing base flow and lateral flow 4.50% and 1.28%, respectively. The increase of the total runoff is attributable to the lowering the watershed capability to preserve water retention capacity, hence, the rainy season (November – June) flow increased and the dry season (July – October) flow decreased. The simulation process conducted using several land use scenarios. The first scenario is land use design based on the suitability classes. The second scenario, upland which have slope 30 – 45% change into mixed garden and slope >45% change into forest. For bushes which have slope 0 – 30% change into mixed garden and slope >30% change into forest. The third scenario all bushes change into forest. Simulation results showed that land use base on land suitability improve better hydrological condition in Cijalupang Watershed. This indicated by the reduction total runoff and increase total base flow and total lateral flow at annual period. To optimize land use Cijalupang watershed should be considered land quality and hydrological aspect, as well as the people dependence to the agriculture. Based on the analysis, scenario 3 is the optimum land use in Cijalupang Watershed. Hydrologically scenario 3 is able to reduce annual runoff up to 2.12%. This research proved that land use influence water yield and proportion of flow components. The increase runoff indicated increase flooding hazard in wet season and drought in dry season. This condition will threat the sustainability of agriculture and surrounding environments. Thus, the future land use planning should employ the water yield as a basis, as well as its land suitability. SWAT 2000 is useful tools to predict the optimizing of land use

60

691

Suryani et al.

Keywords: Land use changes, SWAT, land suitability, hydrological characteristics, watershed

PENDAHULUAN

Penggunaan lahan suatu kawasan sangat mempengaruhi hidrologi kawasan tersebut. Kegiatan yang bersifat merubah tipe maupun jenis penggunaan lahan dapat memperbesar atau memperkecil hasil air (water yield). Konversi lahan dengan memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah (recharge) dan meningkatkan aliran permukaan. Peningkatan aliran permukaan secara langsung mempengaruhi peningkatan debit.

Penelitian yang dilakukan Apriyanto (2001) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung menunjukkan bahwa dalam periode 1987 – 1999 perubahan penggunaan lahan telah menurunkan kapasitas infiltrasi air hujan DAS tersebut yang mengakibatkan menurunnya debit minimum harian dan meningkatnya debit maksimum harian. Studi serupa oleh Pawitan (2002) menemukan bahwa di setiap daerah tangkapan di DAS tersebut terjadi peningkatan puncak aliran (peak discharge) 2–216%. Peningkatan puncak aliran tersebut menurut Agus et al. (2003a) mengindikasikan meningkatnya ancaman banjir.

Dalam siklus hidrologi terjadi transformasi hujan menjadi debit melalui sistem DAS. Jumlah hujan yang ditransformasikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : tanah, iklim, topografi dan penggunaan lahan. Penggunaan lahan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi proses hidrologi merupakan faktor yang dapat dikelola untuk menciptakan kondisi hidrologi yang lebih baik. Merubah penggunaan lahan berarti merubah tipe dan proporsi penutupan lahan yang selanjutnya akan merubah debit. Debit sebagai keluaran (output) dari proses hidrologi dapat dijadikan sebagai indikator untuk menilai kualitas penggunaan lahan suatu DAS. Debit yang sangat tinggi di musim hujan dan rendah di musim kemarau menunjukkan adanya kerusakan di DAS tersebut.

Banyak penelitian melaporkan bahwa telah terjadi kerusakan lahan dan hidrologi DAS disebabkan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan tingkat kesesuaiannya, penggunaan sumberdaya lahan yang tidak atau kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi dan konversi lahan yang semestinya dipertahankan sebagai daerah penyangga bagi ekologi dan hidrologi DAS. Kerusakan sumberdaya lahan DAS menuntut usaha-usaha perbaikan untuk meningkatkan kembali kualitas lahannya. Perencanaan penggunaan lahan secara optimal berdasarkan kesesuaian lahan dan aspek hidrologi menjadi penting dan perlu dilakukan. Untuk dapat membuat suatu perencanaan dan keputusan yang tepat diperlukan suatu alat bantu (tool) yang dapat mengintegrasikan berbagai data sumberdaya lahan dan mampu memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap hidrologinya.

692

Optimalisasi Perencanaan Penggunaan Lahan Menggunakan SWAT

Soil and Water Assesment Tool (SWAT) adalah model hidrologi yang dikembangkan untuk memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air, sedimen, muatan pestisida dan kimia hasil pertanian. SWAT dikembangkan oleh Agricultural Research Service (ARS), USDA yang merupakan gabungan beberapa model, seperti: Simulator for Water Resources in Rural Basins (SWRRB); Chemicals, Runoff, and Erosion from Agricultural Management Systems (CREAMS); Groundwater Loading Effects on Agricultural Management Systems (GREAMS) dan Erosion-Productivity Impact Calculator (EPIC).

Penelitian yang dilakukan Neitsch et al. (2001a); Fohrer dan Frede (2002) membuktikan bahwa SWAT mampu menggambarkan pengaruh pengelolaan lahan terhadap hidrologi DAS. Girolamo et al. (2003) menyimpulkan bahwa integrasi SIG dan SWAT sesuai untuk mengevaluasi kondisi hidrologi penggunaan lahan pertanian. Dengan demikian kombinasi SIG dan SWAT dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menyusun perencanaan penggunaan lahan suatu DAS.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Cijalupang, 2) mengevaluasi kemampuan SWAT memprediksi pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS tersebut dan 3) menyusun rancangan penggunaan lahan yang sesuai dengan kualitas lahan dan aspek hidrologi DAS Cijalupang.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di DAS Cijalupang dari bulan April – Desember 2004. DAS ini berada di kawasan DAS Citarum Hulu. Secara geografis daerah penelitian terletak pada 06°59’30”–07°04’00” LS dan 107°49’30”– 107°53’00” BT dan secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Luas areal penelitian ± 2.791,70 ha. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Penelitian terdiri atas 4 tahapan analisis, yaitu: 1) analisis perubahan penggunaan lahan, 2) analisis hidrologi, 3) penilaian kesesuaian lahan dan 4) optimasi perencanaan penggunaan lahan.

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan diperoleh melalui interpretasi citra Landsat TM path 121 row 065 tahun perekaman 1990 dan 2002 menggunakan ER Mapper 6.4. Metode klasifikasi menggunakan Maximum Likelihood Supervised Classification. Perubahan penggunaan lahan (1990-2002) diketahui dengan mengoverlaykan peta penggunaan lahan tahun 1990 dengan 2002 menggunakan Arc View 3.2.

693

Suryani et al.

Gambar 1. Lokasi penelitian

Analisis Debit

Pengaruh pengelolaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS Cijalupang dilakukan menggunakan model SWAT 2000. Karakteristik hidrologi yang diprediksi meliputi hasil air (water yield), aliran permukaan (run off), aliran dasar (base flow) dan aliran lateral (lateral flow) dalam periode bulanan dan tahunan.

Penggunaan model perlu memperhatikan faktor validitasnya, hal ini disebabkan masing-masing DAS mempunyai karakteristik yang berbeda. Untuk itu model perlu di kalibrasi dan divalidasi. Kalibrasi adalah pengujian model agar dapat menggambarkan keadaan sebenarnya, sedang validasi adalah membandingkan secara visual kurva debit (hidrograf) hasil simulasi dengan kurva debit hasil pengukuran stasiun pengamat. Model dianggap valid bila model dapat menggambarkan keadaan sebenarnya yang dapat diukur dengan nilai standar deviasi dan efisiensi model yang tinggi.

Untuk tujuan kalibrasi, debit hasil pengukuran dipisahkan atas aliran permukaan, aliran dasar dan aliran lateral menggunakan Straight Line Method sedangkan prosedur kerja kalibrasi mengikuti Neitsch et al. (2001b).

Sumber : US Geology Survey

694

Optimalisasi Perencanaan Penggunaan Lahan Menggunakan SWAT

Penilaian Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan dilakukan dengan cara membandingkan kualitas lahan (Land Quality) dengan persyaratan tumbuh tanaman (Land Use Requiretment). Tanaman yang dievaluasi meliputi kelompok tanaman pangan, hortikultura (sayur-sayuran dan buah-buahan), industri dan perkebunan. Kriteria persyaratan tumbuh tanaman mengacu kepada Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian (Djaenudin et al. 2003). Komoditas yang direkomendasikan adalah komoditas yang mempunyai faktor pembatas terkecil atau kelas kesesuaian lahan tertinggi.

Optimasi Penggunaan Lahan

Optimasi perencanaan penggunaan lahan merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya lahan secara berkelanjutan berdasarkan kesesuaian lahan dan aspek hidrologi. Ada 3 skenario (skenario 1, 2 dan 3) yang digunakan untuk optimasi perencanaan penggunaan lahan, seperti yang disajikan pada Tabel 1, dan 2 (skenario 4 dan 5) sebagai skenario pembanding. Beberapa pertimbangan dalam optimasi penggunaan lahan, yaitu penggunaan lahan berupa hutan, sawah, perkebunan, jenis dan pola penggunaan lahan yang sekarang secara “mantap” diusahakan oleh petani tetap dipertahankan.

Skenario 1 merupakan rancangan penggunaan lahan yang ditetapkan berdasarkan kelas kesesuaian lahan. Pada skenario 1 ini, tegalan, kebun campuran dan semak belukar dengan lereng >30% berdasarkan evaluasi lahan tidak sesuai untuk budidaya pertanian (N) dijadikan hutan, semak belukar pada lereng 0–30% berdasarkan evaluasi lahan sesuai untuk budidaya pertanian (S) dijadikan tegalan. Pada skenario 2, tegalan dengan lereng 30–45% ditumpangsarikan dengan tanaman tahunan dan >45% menjadi hutan, sedangkan semak belukar pada lereng 0–30% berdasarkan evaluasi lahan sesuai untuk budidaya pertanian (S) dijadikan kebun campuran dan >30% menjadi hutan. Sedangkan skenario 3, semua semak belukar dikembalikan menjadi hutan.

Skenario 4 adalah penggunaan lahan tahun 1969 dan skenario 5 adalah penggunaan lahan 25 tahun yang akan datang. Penggunaan lahan ini disusun berdasarkan trend perubahan penggunaan lahan tahun 1990–2002. Kelima skenario penggunaan lahan tersebut disimulasi menggunakan model SWAT yang telah dikalibrasi dan divalidasi untuk daerah penelitian. Penggunaan lahan dinyatakan optimal apabila penggunaan lahan menghasilkan aliran permukaan terendah dan aliran dasar tertinggi. Hal ini disebabkan kedua komponen aliran tersebut menentukan distribusi debit. Semakin tinggi aliran permukaan, maka semakin tinggi debit di musim hujan dan semakin rendah debit di musim kemarau. Akibatnya distribusi debit semakin tidak merata.

695

Suryani et al.

Tabel 1. Skenario optimasi perencanaan penggunaan lahan DAS Cijalupang

Penggunaan lahan saat ini

% Lereng Skenario penggunaan lahan* 1 2 3

Hutan - Hutan Hutan Hutan Pemukiman - Pemukiman Pemukiman Pemukiman Sawah - Sawah Sawah Sawah Perkebunanan teh - Perkebunan teh Perkebunan teh Perkebunan teh

Tegalan 0 – 30 Tegalan Tegalan Tegalan 30 – 45 Hutan Kebun campuran Kebun campuran

>45 Hutan Hutan Hutan Kebun campuran 0 – 30 Kebun campuran Kebun campuran Kebun campuran

30 – 45 Hutan Kebun campuran Kebun campuran >45 Hutan Hutan Hutan

Semak 0 – 30 Tegalan Kebun campuran Hutan 30 – 45 Hutan Hutan Hutan

>45 Hutan Hutan Hutan

Keterangan: * skenario disusun berdasarkan evaluasi penggunaan lahan tahun 2002

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Cijalupang

Analisis Citra Landsat TM tahun 1990 dan 2002 menunjukkan bahwa kebun campuran merupakan jenis penggunaan lahan yang paling luas mengalami pengurangan, yaitu sekitar 7,3% dari total DAS. Pengurangan yang cukup besar lainnya terjadi pada hutan, yaitu sebesar 2,3% dari luas 344,0 ha pada tahun 1990 menjadi 278,5 ha pada tahun 2002. Pengurangan luas lahan lainnya terjadi pada sawah sebesar 0,9% dan semak sebesar 0,8%. Seiring dengan berkurangnya kebun campuran, hutan, sawah dan semak terjadi penambahan luas tegalan dan pemukiman masing-masing 5,7% dan 5,1%. Perubahan penggunaan lahan di DAS Cijalupang tahun 1990 – 2002 disajikan pada Tabel 2.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa tegalan merupakan penggunaan lahan dominan daerah penelitian. Penggunaan lahan ini diusahakan mulai dari lereng agak datar (3%) sampai lereng sangat curam (45%). Tanaman yang diusahakan adalah jagung, ubikayu, tembakau ,dan kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau). Di beberapa tempat khususnya di bawah kaki Gunung Mandalawangi bagian utara lahan diusahakan untuk tanaman sayuran seperti tomat, wortel, cabai dan kubis.

696

Optimalisasi Perencanaan Penggunaan Lahan Menggunakan SWAT

Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan DAS Cijalupang tahun 1990 – 2002

Penggunaan Lahan Tahun 1990 Tahun 2002 Perubahan* Ha % Ha % Ha %

Hutan 344,0 12,3 278,5 10,0 -65,5 -2,3 Semak 309,4 11,1 290,7 10,3 -18,7 -0,8

Perkebunan teh 23,5 0,8 36,4 1,3 +12,9 +0,5 Kebun campuran 719,6 25,8 516,6 18,5 -203,0 -7,3

Tegalan 790,7 28,3 948,3 34,0 +157,6 +5,7 Sawah 396,4 14,2 370,3 13,3 -26,1 -0,9

Pemukiman 208,1 7,5 350,9 12,6 +142,8 +5,1 Total 2791,7 100,00 2.791,7 100,00 - -

*Perubahan penggunan lahan tahun 1990 ke tahun 2002 Sumber : Interpretasi Citra Landsat TM tahun perekaman 1990 dan 2002.

Penggunaan lahan tegalan terus mengalami peningkatan luas dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian lahan kering memegang peranan penting dalam menopang kehidupan masyarakat. Dari analisis citra landsat yang dilakukan perubahan luas tegalan sebagian besar berasal dari kebun campuran, sebagian lainnya dari semak belukar dan hutan. Sedangkan peningkatan luas pemukiman berasal dari lahan sawah, tegalan dan kebun campuran.

Hidrologi DAS Cijalupang

Kalibrasi dan Validasi Model SWAT

Dalam penelitian ini masing-masing jenis tanaman pada setiap penggunaan lahan disesuaikan dengan jenis tanaman dalam SWAT Database (Land Cover/Plant Growth Database). Tanaman hutan menggunakan nilai pertumbuhan tanaman Oak (Quercus), teh dan semak belukar menggunakan nilai pertumbuhan Little Bluestem (Schizachyrium scoparium (Michaux) Nash) masing-masing dengan Leaf Areal Index (LAI) 2,0 dan 2,5. Padi sawah menggunakan tumbuhan Bermudagrass (Cynodon dactylon). Jagung yang diusahakan pada tegalan menggunakan tumbuhan Eastern Gamagrass (Tripsacum dactyloides (L.) L.), kebun campuran menggunakan tumbuhan Apple (Malus domestica Borkh.) untuk tanaman tahunan dan Eastern Gamagrass untuk tanaman semusim. Padi dan jagung diusahakan 2 kali dalam setahun, dengan pola tanam padi/jagung – padi/jagung – bera. Pemukiman mengacu kepada Urban Database. Pengamatan lapang menunjukkan pemukiman di daerah penelitian termasuk ke dalam tipe pemukiman tingkat kepadatan sedang sampai tinggi (Residential Medium – Hight Density).

Kalibrasi dan validasi dilakukan terhadap total hasil air, aliran permukaan, aliran dasar dan aliran lateral pada periode bulanan dan tahunan tahun 1990 (Tabel 3). Hasil pengujian ini selanjutnya digunakan untuk memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS Cijalupang .

697

Suryani et al.

Tabel 3. Kalibrasi karakteristik hidrologi DAS Cijalupang pada periode bulanan dan tahunan tahun 1990

Bulan Curah hujan tahun 1990*

Debit Hasil pengukuran Hasil simulasi

....................... (mm) ......................... Januari

Pebruari Maret April Mei Juni Juli

Agustus September Oktober

November Desember

136,01 279,44 124,24 196,77 112,24 91,84

3,12 71,10 16,98

4,24 186,24 123,30

49,49 73,35 89,29

117,57 42,28 36,83 23,68 26,83 25,04 28,38 37,70 83,31

29,67 104,38 99,32 97,49 76,03 48,20 30,59 25,68 12,32

6,23 30,74 49,45

Hasil air 1346,12 633,74 610,10 Runoff

Lateral flow Base flow

- - -

128,83 (20,33%) 117,78 (18,59%) 387,13 (61,09%)

129,68 (20,40%) 120,65 (18,98%) 385,33 (60,62%)

* Curah hujan hasil analisis model SWAT.

Hasil pencatatan debit sungai Cijalupang tahun 1990 bahwa 1346,12 mm curah hujan yang jatuh di DAS tersebut menghasilkan total air sebesar 633,74 mm. Dari total hasil air tersebut sebesar 128,83 mm (20,33%) merupakan aliran permukaan, sebesar 117,78 mm (18,59%) adalah aliran lateral dan 387,13 mm (61,09%) adalah aliran dasar. Simulasi model SWAT menghasilkan total air sebesar 610,10 mm. Dari total hasil air tersebut sebesar 129,68 mm (20,40%) adalah aliran permukaan, sebesar 120,65 mm (18,98%) adalah aliran lateral, sebesar 385,33 mm (60,62%) aliran dasar dan air yang hilang dari sungai (tloss) sebesar 25,56 mm (4,02%).

Hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa SWAT sangat baik memprediksi hasil air tahunan. Hal yang sama juga dikemukakan Watson et al. (2003). Uji validitas model terhadap hasil air bulanan mempunyai nilai efisiensi Nash Sutcliffe sebesar 0,52 dan standar deviasi (α) sebesar 14,52 mm. Indeks tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan yang dikemukakan oleh Fohrer dan Frede (2002).

Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Cijalupang

Hasil simulasi pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS Cijalupang disajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan 1990 – 2002 meningkatkan total hasil air meskipun tidak signifikan (+0,90%). Perubahan yang cukup signifikan terjadi pada proporsi komponen

698

Optimalisasi Perencanaan Penggunaan Lahan Menggunakan SWAT

aliran. Total aliran permukaan meningkat sebesar 20,42%, sedangkan aliran dasar dan aliran lateral menurun masing-masing 4,50% dan 1,28%.

Meningkatnya aliran permukaan disebabkan berkurangnya kemampuan DAS meretensi air. Hal ini terlihat dengan meningkatnya bilangan kurva aliran permukaan DAS tersebut (Tabel 5). Semakin besar bilangan kurva aliran permukaan, maka semakin sedikit air yang dapat diretensi, akibatnya semakin banyak hujan yang berubah menjadi debit. Debit akan semakin tinggi di musim hujan dan rendah di musim kemarau. Rendahnya debit di musim kemarau disebabkan kurangnya pengisian air bawah tanah.

Berdasarkan analisis, rata-rata bilangan kurva aliran permukaan DAS Cijalupang tahun 1990 adalah 59,70. Dengan bilangan kurva aliran permukaan tersebut kemampuan rata-rata DAS meretensi air hujan adalah 34,29 mm dan aliran permukaan terjadi pada saat curah hujan melebihi kemampuan meretensi air tersebut. Pada tahun 1990 jumlah curah hujan yang berubah langsung menjadi debit mencapai 9,63%.

Tabel 4. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS Cijalupang

Bulan Curah hujan tahun 1990*

Debit Simulasi tahun

1990 Simulasi tahun

2002 Perubahan 1990-2002

......................... (mm) ......................... Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

136,01 296,44 124,24 196,77 112,24 91,84

3,12 71,70 16,98

4,24 186,24 123,30

29,67 104,38 99,32 97,49 76,03 48,20 30,59 25,68 12,32 16,23 30,74 49,45

30,83 107,77 97,92 98,64 74,96 48,36 29,14 25,84 12,09 16,02 34,88 49,16

Hasil air 1346,12 610,10 615,62 +0,90% Runoff

Lateral flow Base flow

- - -

129,68 120,65 385,33

156,16 119,10 368,00

+20,42% -1,28% -4,50%

* Curah hujan hasil analisis model SWAT.

Tahun 2002 rata-rata bilangan kurva aliran permukaan meningkat menjadi 59,83 dan kemampuan rata-rata DAS meretensi air hujan menurun menjadi 34,11 mm. Pada kondisi tersebut aliran permukaan terjadi saat curah hujan besar dari 34,11 mm. Dengan menurunnya kemampuan DAS meretensi air hujan, maka jumlah curah hujan yang langsung menjadi debit meningkat menjadi 11,60%. Peningkatan debit sungai Cijalupang

699

Suryani et al.

terlihat pada musim hujan bulan November – Juni dan penurunan debit terlihat pada musim kemarau bulan Juli – Oktober.

Meskipun terjadi penurunan debit di musim kemarau, namun jumlah curah hujan yang menjadi aliran dasar mencapai 59,78% yang mengindikasikan kemampuan menyimpan air (storage) DAS Cijalupang masih cukup baik. Pada Tabel 5 terlihat bahwa hutan merupakan penggunaan lahan yang mempunyai bilangan kurva aliran permukaan terendah yang mengindikasikan kemampuan penggunaan lahan ini meretensi air hujan paling tinggi. Kemampuan meretensi air hujan cukup tinggi dijumpai pada penggunaan lahan kebun campuran, semak dan perkebunan teh, kemudian diikuti oleh sawah. Tegalan mempunyai kemampuan meretensi air hujan rendah, sedangkan pemukiman paling rendah.

Tabel 5. Bilangan kurva aliran permukaan penggunaan lahan tahun 1990 – 2002 Tipe

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan Tahun 1990 Tahun 2002

CN I (mm) CN I (mm) Hutan 52,57 45,83 52,66 45,67

Kebun campuran 58,20 36,49 58,80 35,59 Semak 59,12 35,13 59,16 35,07

Perkebunan teh 59,39 34,74 59,49 34,59 Sawah 59,50 34,58 59,50 34,58

Tegalan 63,25 29,52 63,25 29,52 Pemukiman 65,90 26,29 65,94 26,24

Rata-rata 59,70 34,29 59,83 34,11

Keterangan: I = kemampuan meretensi air (mm), CN = curve number

Penilaian Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan yang dilakukan terhadap komoditas kelompok tanaman pangan, hortikultura (sayur-sayuran dan buah-buahan), perkebunan dan industri menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan daerah penelitian adalah sesuai marginal (S3), kecuali manggis yang cukup sesuai (S2). Hasil evaluasi lahan tersebut disimpulkan pada Tabel 6. Faktor yang menghambat pengembangan komoditas tersebut di daerah penelitian adalah iklim dan tanah. Faktor iklim meliputi temperatur (tc) dan ketersediaan air (wa). Sedangkan faktor tanah adalah sifat fisik dan kimia berupa ketersediaan oksigen (oa), media perakaran (rc) dan retensi hara (nr).

Faktor iklim berupa temperatur rata-rata tahunan (tc) membatasi perkembangan komoditas manggis. Daerah penelitian mempunyai suhu maksimum rata-rata tahunan 28,7°C dan suhu minimum rata-rata tahunan 19,6°C. Menurut Djaenudin et al. (2003) komoditas manggis akan tumbuh optimum pada kisaran temperatur rata-rata tahunan 20 – 23 °C.

700

Optimalisasi Perencanaan Penggunaan Lahan Menggunakan SWAT

Ketersediaan air (wa) berupa kelembaban udara menghambat perkembangan tanaman tembakau. Kelembaban udara rata-rata DAS Cijalupang adalah 94%. Untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik, tembakau memerlukan kelembaban udara 24 – 75%. Tembakau merupakan komoditas utama yang diusahakan masyarakat di lahan kering selain jagung. Keragaan tanaman kurang baik, namun karena nilai ekonomi komoditas ini cukup tinggi, maka komoditas ini tetap diusahakan.

Tabel 6. Kelas kesesuaian lahan dan kendala pengembangan komoditas pertanian di DAS Cijalupang

Kelompok tanaman

Jenis komoditas yang direkomendasikan

Kelas kesesuaian lahan

Kendala pengembangan

Pangan padi gogo, jagung, gandum, ubi kayu, talas, kacang tanah dan kacang tunggak

S3rc, S3rcnr, S3oa, S3oarc S3nr

media perakaran (rc), ketersediaan oksigen (oa) dan retensi hara (nr).

Hortikultura - Sayuran

- Buah-buahan

bawang merah, bawang putih, cabe, paprika, kubis, brokoli dan asparagus. mangga, sirsak, klenteng, sawo, petai, salak, manggis, nanas, anggur dan trawberry.

S3oa, S3nr S2tcnr, S3oa, S3oarc, S3rc, S3rcnr, S2nr, S3nr

ketersediaan oksigen (oa) dan retensi hara (nr). temperatur (tc), ketersediaan oksigen (oa), media perakaran (rc), retensi hara (nr).

Industri/ perkebunan

tembakau, kina, kemiri S3waoa, S3wanr, S3warcnr, S3oa, S3rc, S3rcnr, S3nr

ketersediaan air (wa), ketersediaan oksige (oa), media perakaran (rc), retensi hara (nr).

Keterangan: S2 = cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, tc = temperatur, oa = ketersediaan oksigen, rc = drainase, tekstur dan bahan kasar, nr = retensi hara.

Faktor tanah yang menghambat perkembangan komoditas tersebut adalah rendahnya kesuburan tanah, terbatasnya oksigen karena drainase tanah yang buruk dan tekstur tanah yang sangat halus serta bahan kasar di beberapa pedon. Rendahnya kesuburan tanah dijumpai hampir di semua pedon yang diteliti. Terbatasnya oksigen karena drainase tanah yang buruk menghambat perkembangan semua kelompok tanaman pada fisiografi Dataran Aluvial. Tekstur tanah sangat halus menghambat perkembangan tanaman di lereng bawah dan tengah Gunung Mandalawangi, sedangkan bahan kasar pada lereng atasnya. Untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimum, perlu dilakukan perbaikan terhadap kualitas tanah, baik sifat fisik maupun kimia.

701

Suryani et al.

Optimasi Perencanaan Penggunaan Lahan DAS Cijalupang

Optimasi perencanaan penggunaan lahan merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya lahan secara berkelanjutan (sustainable) berdasarkan kesesuaian lahan dan aspek hidrologi. Pada Tabel 7 terlihat bahwa skenario 1 merupakan penggunaan lahan yang menghasilkan aliran permukaan terendah dan aliran dasar tertinggi dibandingkan dengan skenario penggunaan lahan 2 dan 3. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang didasarkan kepada kelas kesesuaian lahan dapat menciptakan kondisi hidrologi DAS yang lebih baik.

Tabel 7. Pengaruh skenario penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS Cijalupang

Bulan Curah hujan tahun 1990*

Debit

Sken_1 Sken_2 Sken_3 Sken_4 Sken_5

................................... (mm) ................................... Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

136,01 296,44 124,24 196,77 112,24 91,84 3,12

71,70 16,98 4,24

186,24 123,30

30,66 106,58 98,68 96,90 74,86 47,94 29,41 25,63 12,28 16,14 34,43 49,16

30,67 106,99 98,30 97,30 74,56 48,23 19,40 25,87 12,29 16,15 34,58 49,29

30,64 106,85 98,35 97,26 74,54 48,20 29,42 25,83 12,30 16,15 34,46 49,27

29,09 101,45 101,31 93,07 75,98 47,75 32,05 25,81 12,73 6,42

27,09 50,73

34,18 117,64 96,54 98,90 73,13 49,52 26,23 26,92 11,51 5,70

45,60 49,73

Hasil air 1346,12 612,68 613,63 613,27 603,49 635,59 Runoff

Lat. flow Base flow

- - -

150,48 120,28 370,21

153,38 119,51 369,27

152,85 119,58 369,53

102,63 125,37 397,71

202,04 115,21 331,34

*Curah hujan hasil analisis model SWAT

Keterangan : Sken_1, 2, 3, 4, 5 = Skenario penggunaan lahan 1, 2, 3, 4, 5.

Hasil simulasi SWAT menunjukkan bahwa 1346,12 mm hujan yang jatuh di DAS Cijalupang menghasilkan total air sebesar 612,68 mm. Dari total hasil air tersebut sebesar 150,48 mm (23,48%) merupakan aliran permukaan, sebesar 120,28 mm (18,77%) aliran lateral dan 370,21 mm (57,76%) aliran dasar. Berdasarkan hasil simulasi tersebut, skenario 1 dapat menurunkan total hasil air sebesar 0,48% dan aliran permukaan sebesar 3,64%. Aliran lateral meningkat sebesar 0,99% dan aliran dasar sebesar 0,60% dibandingkan penggunaan lahan tahun 2002 (Tabel 4).

Skenario 2 menghasilkan total air sebesar 613,63 mm dari total hujan yang jatuh di DAS tersebut. Dari total hasil air tersebut 153,38 mm (23,89%) merupakan aliran

702

Optimalisasi Perencanaan Penggunaan Lahan Menggunakan SWAT

permukaan, sebesar 119,51 mm (18,61%) aliran lateral dan sebesar 369,27 mm (57,50%) aliran dasar. Jika dibandingkan dengan penggunaan lahan saat ini (2002), skenario 2 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 1,78% dan meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar masing-masing 0,34% dan 0,35%. Skenario 3 dapat menurunkan aliran permukaan sebesar 2,12% dari 156,16 mm pada tahun 2002 menjadi 152,85 mm. Aliran lateral dan aliran dasar meningkat masing-masing 0,40% dan 0,42% dari 119,10 mm pada tahun 2002 menjadi 119,58 mm dan 368,00 pada tahun 2002 menjadi 369,53 mm.

Jika dibandingkan dengan penggunaan lahan tahun 1969, jumlah curah hujan yang langsung menjadi debit pada tahun 2002 meningkat menjadi 52,16% dan 96,86% pada penggunaan lahan 25 tahun yang akan datang. Aliran lateral menurun masing-masing 5,00% dan 8,10%, demikian juga dengan aliran dasar menurun sebesar 7,47% pada tahun 2002 dan 16,69% pada 25 tahun yang akan datang. Gambaran pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air di DAS Cijalupang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air DAS Cijalupang.

Berdasarkan gambar tersebut penggunaan lahan tahun 1969 menghasilkan aliran dasar paling tinggi dan aliran permukaan paling rendah. Berkurangnya luas hutan dan meningkatnya tegalan dan pemukiman merubah hasil airnya. Diperkirakan 25 tahun yang akan datang, aliran dasar <50% dan aliran permukaan >30% dari total hasil airnya. Meningkatnya aliran permukaan, menurut Agus et al. (2003a) mengindikasikan peningkatan ancaman banjir.

Penggunaan lahan DAS Cijalupang tahun 1990 dan 2002 yang disajikan pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa tegalan merupakan penggunaan lahan terluas yang dijumpai di daerah penelitian, diikuti oleh kebun campuran. Hal ini menunjukkan bahwa

703

Suryani et al.

usaha pertanian lahan kering memegang peranan penting dalam menopang kehidupan masyarakat. Namun, banyak usaha pertanian lahan kering tersebut diusahakan pada lereng-lereng yang curam, bahkan di kawasan hutan yang seharusnya menjadi daerah konservasi bagi daerah hilirnya.

Evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa lahan-lahan dengan lereng >30% tidak sesuai (N) untuk budidaya pertanian karena tidak saja dapat menimbulkan degradasi lahan, yaitu terkikisnya lapisan tanah (erosi), tetapi juga dapat mempengaruhi kondisi hidrologi DAS, selanjutnya akan mengancam keberlanjutan usaha pertanian lahan kering tersebut. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, maka pada lahan-lahan dengan lereng >30% disarankan untuk dihutankan (skenario 1). Berdasarkan analisis hidrologi, skenario 1 menciptakan kondisi hidrologi yang lebih baik, terlihat dari aliran permukaan yang lebih rendah dan aliran lateral serta aliran dasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan tahun 2002. Skenario 1 memperlihatkan keberlanjutan usahatani ditinjau dari aspek lahan dan hidrologis. Namun penghutanan kembali lahan-lahan usahatani akan menghilangkan mata pencarian sebagian masyarakat dan secara sosial akan memberikan dampak yang kurang baik.

Jika dibandingkan skenario 2 dan 3, skenario 2 mempunyai lahan pertanian 2,98% lebih luas dari skenario 3. Namun lahan tersebut berada di kawasan hutan yang seharusnya menjadi daerah konservasi bagi daerah hilirnya. Pada skenario 3, dengan menghutankan kembali semak belukar yang berada di kawasan hutan tersebut menciptakan kondisi hidrologi yang lebih baik dari skenario 2. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan dan hidrologi, skenario penggunaan lahan 3 merupakan rancangan penggunaan lahan optimal DAS Cijalupang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pesatnya pembangunan diikuti oleh laju pertumbuhan penduduk di DAS Cijalupang pada periode 1990–2002 telah mengakibatkan berkurangnya luas kebun campuran sebesar 7,3% dan hutan sebesar 2,3% dari total luas DAS. Seiring dengan pengurangan kebun campuran dan hutan terjadi peningkatan luas tegalan sebesar 5,7% dan pemukiman sekitar 5,1%. Peningkatan luas tegalan tersebut menunjukkan pertanian lahan kering memegang peranan penting dalam menopang kehidupan masyarakat.

2. Hasil pengujian model SWAT dalam memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS menunjukkan bahwa SWAT mampu memprediksi dengan baik total hasil air tahunan. Untuk hasil air bulanan mempunyai efisiensi model sebesar 0,52 dan standar deviasi 14,52 mm. Dengan demikian SWAT

704

Optimalisasi Perencanaan Penggunaan Lahan Menggunakan SWAT

dapat digunakan sebagai alat bantu untuk memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air pada periode tahunan dalam rangka optimasi perencanaan penggunaan lahan.

3. Hasil analisis hidrologi menunjukkan bahwa perubahan penggunaaan lahan pada periode 1990–2002 telah mempengaruhi karakteristik hidrologi DAS Cijalupang. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya total hasil air meskipun tidak signifikan yang signifikan terjadi pada peningkatan total aliran permukaan tahunan sebesar 20,42%, penurunan total aliran dasar dan aliran lateral tahunan masing-masing 4,50% dan 1,28%.

4. Simulasi yang dilakukan terhadap beberapa skenario penggunaan lahan menunjukkan bahwa kesesuaian penggunaan lahan dapat menciptakan kondisi hidrologi DAS yang lebih baik ditunjukkan oleh kemampuannya menurunkan total aliran permukaan tahunan dan meningkatkan total aliran dasar serta aliran lateral tahunan.

5. Pemanfaatan lahan DAS Cijalupang secara optimal tidak saja mempertimbangkan kelas kesesuaian lahan dan aspek hidrologi, akan tetapi perlu memperhatikan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pertanian. Berdasarkan analisis skenario 3 merupakan penggunaan lahan optimal DAS Cijalupang. Secara hidrologis rancangan penggunaan lahan ini mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 2,12% dibandingkan dengan penggunaan lahan tahun 2002.

Saran

Analisis pengaruh pengelolaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS Cijalupang masih menggunakan database tanaman untuk daerah subtropis yang secara fisiologis berbeda dengan tanaman daerah tropis. Untuk itu perlu dikembangkan database tanaman daerah tropis (Indonesia) agar hasil simulasi dapat menggambarkan parameter yang diuji.

Model SWAT baru dikalibrasi dan divalidasi untuk satu tahun, yaitu tahun 1990. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik perlu dilakukan pengujian terhadap hasil air pada tahun yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Agus F, Wahyunto, Irianto G. 2003. Evaluation of flood mitigation function of several land use systems in selected areas of Java, Indonesia. Paper presented at Japan/OECD Expert Meeting on Land Conservation Indicators, 13 – 15 May, 2003 Kyoto, Japan.

705

Suryani et al.

Apriyanto H. 2001. Indeks konservasi sebagai instrumen pengendali pemanfaatan ruang kawasan konservasi DAS Ciliwung di Bopunjur (tesis) Bandung: Institut Teknologi Bandung, Bidang Khusus Teknologi Pengelolaan Lingkungan, Program Magister Teknik Lingkungan.

Girolamo de AM, Lo Porto A, Passarella G, Garnier M. 2003. Evaluation of the optimal location of monitoring sites based on hydrologic models and GIS technology. Ed ke-2. International SWAT Conference. Bary, Italy. July 1st – 4th, 2003.

Djaenudin D, Marwan H, Subagjo H, Hidayat A. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Ed ke-1. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Fohrer N, Frede HG. 2002. An integrated modelling approach to sustainable land use concept in a low mountain range area. Institute of Natural Resources Management, Justus-Liebig-University Giessen Heinrich-Buff-Ring 26-32, D-35392 Giessen, Germany.

Laurini B, Thompson D. 1995. Fundamental of Spatial Information Systems. Academic Press. London.

Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2001a. Soil and Water Assessment Tool; Theoretical Documentation Version 2000. Soil and Water Research Laboratory – ARS. Texas.

Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2001b. Soil and Water Assessment Tool; User’s Manual Version 2000. Soil and Water Research Laboratory – ARS. Texas.

Rossiter DG, Wambeke AR van. 1997. Automated Land Evaluation System (ALES). Version 4.65 User’s Manual. Cornell University, Department of Soil, Crop & Atmospheric Science. SCAS Teaching Series No. T93-2 Revision 6. Ithaca, NY USA.

Watson B, Ghafouri M, Selvalingam S. 2003. Predicting catchment water balance in southern australia using SWAT. Ed-2. International SWAT Conference. Bary, Italy. July 1st – 4th, 2003.

706