No 4/Tahun V/Januari 2016

44
INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOK Macroeconomic Dashboard Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Market Confidence No 4/Tahun Iv/Januari 2016

Transcript of No 4/Tahun V/Januari 2016

INDONESIAN ECONOMICREVIEW AND OUTLOOK

Macroeconomic DashboardFakultas Ekonomika dan BisnisUniversitas Gadjah Mada

Market Confidence

No 4/Tahun Iv/Januari 2016

Kata Pengantar

Selamatmembaca

MuhammadE.Purnawan

HeadofResearcher

MacroeconomicDashboard

SelamatdatangdiIEROedisike-4tahun2015.PadaedisikaliinikamimengangkattemaMarketConfidencesejurusdenganprediksikamibahwaekonomiIndonesiaakantumbuhlebihcepatpadakuartalIV-2015.Penyebabdaripercepataniniadalahkenaikanbelanjapemerintahyangcukupsignifikansertaadanyareformasikebijakanpemerintahyangmendoronginvestasi.

IEROiniterbagidalamsepuluhbagian.Padabagianpertamahinggabagianke-6akandisajikanreviewperekonomianIndonesiadalamtigabulanterakhir.Padabagianke-7akanmembahasperkembanganekonomiglobaldanperkembangankomoditas.Padabagianke-8,redaksiakanmenyajikantigaartikelopinidaridosen-dosenJurusanIlmuEkonomiFakultasEkonomidanBisnisyangmembahasisu-isuterkinisesuaidengantemaantaralain,“TheFederalFundsRate,BI,danSiklusBisnis”,“'NawaCita'TakBisaDicapaidenganTergopoh-Gopoh”,dan“MembangunKepercayaanMemperkokohPerkonomian”.Padabagianke-9danke-10,

redaksiakanmembahasproyeksidanprospekperekonomianIndonesia.Secarakhusus,dalamproyeksiekonomiakanmenyajikanGAMALeadingEconomicIndicator(GAMALEI),yangmerupakaninstrumenproyeksiperekonomiansatukuartalkedepanyangdikembangkansecaraautentikolehtimMacroeconomicDashboardyangterusmengalamipenyempurnaanpadasetiapedisi.

Akhirkata,kamiberharaphasilanalisiskamidapatmemberimanfaatdanmenjadisecondopinionuntukparapengambilkebijakan,praktisibisnis,peneliti,akademisi,mahasiswadanmasyarakatsecaraluas.SemogamomentuminidapatmemberikanharapandanoptimismeyangmembangunarahperekonomianIndonesiayangsemakinkuatsertaberkelanjutan.

3Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Daftar Isi

RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................................................................................................................... 1

A. Perkembangan Makroekonomi dan Fiskal

1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Meningkat..................................................................................................... 3

2. APenyerapan Perimaan Pajak Hingga Desember 2015 Masih Rendah...................................................... 6

B. Pasar Finansial dan Sektor Moneter

1. Tekanan Eksternal Mereda, Likuiditas Membaik, dan Suku Bunga Acuan Tetap.................................... 8

2. Pasar Saham Kembali Menguat................................................................................................................................. 12

3. Utang Luar Negeri Indonesia Meningkat, Indikator Sustainibilitas Utang Memburuk,

Persepsi Risiko SBN Meningkat, dan Harga SBN Menurun........................................................................... 13

C. Sektor Perbankan

Ketahanan Sistem Perbankan Perlu Dijaga.................................................................................................................. 16

D. Inflasi dan Kemiskinan

1. Meski Tingkat Harga Desember Melonjak, Inflasi Tahunan Cukup Rendah............................................. 19

2. Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia Memburuk.................................................................................................. 20

3. Kemiskinan di Indonesia Menurun........................................................................................................................... 22

E. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)

Neraca Pembayaran Indonesia Terdampak Perkembangan Ekonomi Global................................................ 23

F. Indikator Krisis

1. Apresiasi Nilai Tukar Rupiah dan Meningkatnya Devisa Melemahkan EMPI.......................................... 25

2. Penurunan NPL dan Kenaikan CAR Menyebabkan Melemahnya BPI....................................................... 25

G. Perkembangan Ekonomi Global dan Pasar Komoditas

1. Brazil dan Rusia Resesi Ekonomi Jepang Melaju Lebih Cepat....................................................................... 27

2. Harga Minyak Dunia Terus Turun Akibat OPEC Terus Menggenjot Produksinya Seperti Biasa....... 28

H. Isu Terkini

1. “Nawa Cita” Tak Bisa Dicapai dengan Tergopoh-Gopoh................................................................................. 31

2. Membangun Kepercayaan Memperkokoh Perkonomian................................................................................ 33

3. The Federal Funds Rate, BI, dan Siklus Bisnis....................................................................................................... 35

I. GAMA LEI (GAMA LEI)

Stimulus Fiskal dan Reformasi Kebijakan Mendorong Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia................................................................................................................................................................................... 38

J. ECONOMIC OUTLOOK.................................................................................................................................................... 39

iiiMacroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Daftar Singkatan

APBN Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara

APBNP Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan

BBM Bahan Bakar Minyak

BEI Bursa Efek Indonesia

BI=Bank Indonesia

BOPO Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional

BPD Bank Pembangunan Daerah

BPI Banking Pressure Index

BPS Badan Pusat Statistik

bps basis points

BUSN Bank Umum Swasta Nasional

CAR Capital Adequacy Ratio

CDS Credit Default Swap

CPO Crude Palm Oil

DJPPR Direktorat Jenderal Pengelolaan Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

DPK Dana Pihak Ketiga

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

DSR Debt Service Ratio

ECB European Central Bank

EMPI Exchange Market Pressure Index

EYI Effective Yield Index

FFR Federal Funds Rate

FOMC Federal Open Market Committee

FSI Financial Stability Index

GAIKINDO Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia

GAMA LEI Gadjah Mada Leading Economic Indicator

IBPA Indonesian Bond Pricing Agency

ICP Indonesia Crude Price

IDMA Inter Dealer Market Association

IDR Indonesian Rupiah

IGB CPI Indonesia Global Bond Clean Price Index

IHSG Indeks Harga Saham Gabungan

IKK Indeks Keyakinan Konsumen

IPR Indeks Penjualan Eceran Riil

ITB Indeks Tendensi Bisnis

ITK Indeks Tendensi Konsumen

JIBOR Jakarta Interbank Offer Rate

JISDOR Jakarta Interbank Spot Dollar Rate

KI Kredit Investasi

KK Kredit Konsumsi

KMK Kredit Modal Kerja

LAR Liquid Assets Ratio

LDR Loan to Deposit Ratio

LHS Left Hand Side (sisi vertikal kiri)

LNPRT Lembaga Non-profit Pembantu Rumah Tangga

LPS Lembaga Penjamin Simpanan

Migas Minyak dan Gas Bumi

m-t-m month to month

NAB Nilai Aktiva Bersih

NDF Nondeliverable Forward

NIM Net Interest Margin

NPI Neraca Pembayaran Indonesia

NPL Nonperforming Loan

OIS Overninght Indexed Swap

OJK Otoritas Jasa Keuangan

OPEC Organization of The Petroleum Exporting Countries

PDB Produk Domestik Bruto

PMTB Pembentukan Modal Tetap Bruto

= PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak

pp percentage point

PUAB Pasar Uang antar Bank

q-t-q quarter to quarter

RAPBN Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara

REER Real Effective Exchange Rate

RHS Right Hand Side (sisi vertikal kanan)

ROA Resturn On Asset

SBI Sertifikat Bank Indonesia

SBN Surat Berharga Negara

SPN Surat Perbendaharaan Negara

The Fed The Federal Reserve (Bank Sentral Amerika)

TPAK Tingkat Pastisipasi Angkatan Kerja

= TPT Tingkat Pengangguran Terbuka

ULN Utang Luar Negeri

USD Dolar Amerika

UU råÇ~åÖJråÇ~åÖ

WTI West Texas Intermediate

y-o-y year on year

y-t-d year to date

iv Indonesian Economic Review and Outlook

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada Kuartal-III 2015 mengalami peningkatan sebesar 4,73 persen secara year on year, setelah mengalami perlambatan secara berturut-turut dalam dua kuartal terakhir. Selain itu, pertumbuhan ekonomi pada kuartal tersebut merupakan capaian tertinggi selama tiga kuartal terakhir meski masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal yang sama pada tahun 2014. Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi sektor primer masih merupakan kontributor terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal-III 2015. Pertumbuhan ekonomi sektor primer tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 3,21 persen y-o-y. Sementara itu, sektor industri dan jasa masing-masing mengalami pertumbuhan sebesar 4,33 persen dan 3,36 persen atau melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 4,42 persen dan 5,08 persen.

Realisasi belanja negara pada APBNP 2015 sampai dengan Desember 2015, lebih rendah dibandingkan dengan APBNP 2014 pada waktu yang sama. Realisasi belanja sampai Desember 2015 tercatat sebesar 91,2 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2014 yaitu sebesar 94,2 persen. Hal yang sama juga terjadi pada realisasi penerimaan negara dan hibah di mana sampai Desember 2015 tercatat sebesar 84,7 persen jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 94,8 persen. Realisasi penerimaan negara dari sektor pajak sampai Desember 2015 hanya sebesar 83,0 persen. Padahal pada waktu yang sama pada tahun 2014 realisasi penerimaan pajak mencapai 92 persen.

Pascakenaikan Federal Funds Rate (FFR), suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) per 17 Desember 2015 masih dipertahankan pada level 7,5 persen. Sementara itu, rata-rata tertimbang suku bunga deposito berjangka satu bulan pada November 2015 tercatat sebesar 7,5 persen atau lebih rendah dibandingkan September 2015 dan Desember 2014. Rata-rata tertimbang suku bunga kredit juga mengalami penurunan menjadi sebesar 12,89 persen pada November 2015. Suku bunga penjaminan LPS juga diturunkan menjadi 7,5 persen per 17 Desember 2015. Di sektor perbankan, suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight mengalami peningkatan tajam menjadi sebesar 7,33 persen pada Desember 2015. Spread OIS-JIBOR berjangka satu bulan mengalami penurunan sebesar 37 bps atau menjadi sebesar 2,05 poin. Kredit perbankan pada November 2015 sebesar IDR 3983 triliun atau tumbuh sebesar 9,79 persen m-t-m atau lebih lambat dibandingkan pertumbuhan kredit pada September 2015. Sementara itu, seiring dengan masih cukup kuatnya kinerja perbankan, level Capital Adequacy Ratio (CAR) bank umum pada November 2015 mengalami peningkatan.

Di pasar uang, tekanan kurs rupiah terhadap dolar AS menurun. Pada penutupan Desember 2015, rupiah tercatat berada di level 13,795 per dolar AS atau terapresiasi sebesar 5,88 persen dibandingkan penutupan September 2015 meski sempat melemah 1,47 persen m-t-m pada penutupan November 2015. Sementara secara year to date, rupiah telah terdepresiasi sebesar 10,89 persen atau terburuk di Asia setelah Malaysia. Nilai Real Effective Exchange Rate (REER) pada Desember 2015 berada di level 104,75 poin dan masih undervalued 1,6 persen. Di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama kuartal IV-2015 berangsur membaik hingga mencapai level 4.593 poin pada akhir Desember 2015. Level nilai tukar rupiah dan IHSG pada tahun 2016 masih akan dipengaruhi oleh isu-isu ekonomi global seperti melemahnya ekonomi Tiongkok, devaluasi renminbi, quantitative easing oleh ECB, dan kenaikan FFR.

Di pasar obligasi, utang luar negeri Indonesia pada November 2015 tercatat sebesar USD 304.593 juta. Nilai tersebut lebih tinggi sebesar 0,16 persen m-t-m dan 3,14 persen y-o-y. Meningkatnya utang luar negeri Indonesia juga berimbas pada memburuknya indikator sustainibilitas utang di mana DSR Tier 2, rasio utang terhadap ekspor dan PDB mengalami peningkatan. Persepsi risiko terhadap obligasi Indonesia juga mengalami peningkatan di mana level yield obligasi 10 tahun Indonesia pada akhir Desember 2015 mencapai 8,93 persen. Imbas dari meningkatnya risiko tersebut adalah menurunnya harga obligasi yang tercermin dari level IDMA menjadi hanya sebesar 93,33 bps. Meskipun demikian, SBN outstanding Indonesia mengalami peningkatan menjadi sejumlah IDR 2.409,94 triliun pada 31 Desember 2015.

Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2015 meningkat menjadi sebesar 6,18 persen dengan jumlah pengangguran secara secara umum sebanyak 7,56 juta orang. Sementara itu, jumlah penduduk miskin menurun tipis pada September 2015. Jumlah penduduk miskin pada September 2015 tercatat sebesar 28,51 juta orang, lebih rendah 80 ribu orang dibandingkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 sebesar 28,59 juta orang. Sementara itu, garis kemiskinan selama periode Maret 2015 – September 2015 meningkat sebesar 4,24 persen menjadi sebesar IDR 344.809 per kapita per bulan. Meningkatnya garis kemiskinan tersebut dipicu oleh kenaikan harga komoditi makanan yang tercermin dari kenaikan inflasi umum menjadi sebesar 6,83 persen pada September 2015. Sementara pada Desember 2015, inflasi tercatat sebesar 3,35 persen.

1Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

2 Indonesian Economic Review and Outlook

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal-III 2015 kian memburuk. Hal ini ditunjukkan dengan defisit NPI yang membesar menjadi USD 4,57 miliar (q-t-q defisit naik 56,07 persen). Defisit naik lagi karena surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial kian menyusut terdampak oleh ketidakpastian naiknya FFR serta kebijakan devaluasi renminbi oleh Tiongkok. Kinerja NPI di kuartal yang sama tahun 2014 juga lebih baik, saat itu NPI tercatat surplus sebesar USD 6,48 miliar.

Baik Exchange Market Pressure Index (EMPI) maupun Banking Pressure Index (BPI) menunjukkan tekanan terhadap ekonomi Indonesia relatif lebih rendah pada akhir tahun 2015. Nilai EMPI November 2015 turun menjadi 39,91 karena apresiasi rupiah dan kenaikan cadangan devisa. Nilai BPI tercatat lebih tinggi daripada bulan sebelumnya dipengaruhi oleh turunnya kredit macet dan naiknya rasio kecukupan modal perbankan.

Masih melambatnya perekonomian dunia membuat harga-harga komoditas semakin turun. Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2015 Amerika Serikat, Uni Eropa, Britania Raya, dan Tiongkok lebih kecil dari kuartal sebelumnya. Brasil dan Rusia masih belum keluar dari resesi. Jepang dan Indonesia secara mengejutkan tumbuh lebih tinggi. Di pasar komoditas harga minyak telah berada di bawah level USD 40 per barel. Sementara harga batu bara untuk pertama kalinya sejak tahun 2010 berada di bawah USD 60 per metrik ton. Harga sejumlah komoditas seperti tembaga, bijih besi, beras dan jagung juga kembali turun

IERO kali ini memprediksikan kecenderungan peningkatan siklus PDB Indonesia. GAMA LEI pada kuartal-IV 2015 menunjukkan arah pergerakan yang meningkat. Prediksi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi ini di antaranya diakibatkan oleh kenaikan belanja pemerintah yang cukup signifikan, dan adanya reformasi kebijakan. Stimulus fiskal terutama yang diperuntukan untuk pembangunan infrastruktur diperkirakan mengambil peran penting dalam prediksi pertumbuhan ekonomi ini.

A. PERKEMBANGAN EKONOMI DAN FISKALMAKRO

1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Membaik

Pada Kuartal III-2015, Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan.

< Setelah dua kuartal sebelumnya mengalami perlambatan secara kontinyu, pada Kuartal-III 2015 ini PDB riil Indonesia tumbuh 4,73 persen secara year on year, capaian tertinggi selama dalam tiga kuartal terakhir.

< Pertumbuhan PDB riil Indonesia di kuartal ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada Kuartal III-2014.

< Membaiknya laju pertumbuhan ekonomi kali ini merupakan “angin segar” bagi pelaku pasar.

Dilihat dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal-III 2015 didorong oleh pertumbuhan sektor primer.

< Pada kuartal III-2015, pertumbuhan sektor primer mengalami peningkatan yang cukup signifikan dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,21 persen y-o-y.

< Peningkatan pertumbuhan sektor primer ini di antaranya didorong oleh panen raya pada beberapa komoditas unggulan di sektor tersebut.

< Di sisi lain sektor industri hanya tumbuh 4,33 persen dan sektor jasa hanya tumbuh sebesar 3,36 persen pada Kuartal III-2015―keduanya menunjukkan perlambatan bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya ketika masing-masing sektor tumbuh 4,42 persen dan 5,08 persen.

< Meski begitu, tingginya kenaikan pertumbuhan sektor primer (1,63 persen menjadi 3,21 persen y-o-y) masih dapat menutupi perlambatan yang terjadi di sektor industry dan jasa. Hal itu menjadikan perekonomian Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan secara keseluruhan.

3Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Indeks Penjualan Riil (IPR) Eceran pada Bulan November 2015 mengalami peningkatan.

< Pada November 2015, Indeks Penjualan Riil (IPR) adalah sebesar 186,4 poin—tumbuh sebesar 11,42 persen secara year on year.

< Penguatan pertumbuhan IPR pada November 2015 ini terkait dengan adanya peningkatan daya beli masyarakat secara umum dan juga peningkatan permintaan dan konsumsi masyarakat menjelang hari raya Natal dan musim liburan pergantian tahun―utamanya penjualan kelompok makanan yang notabene akan meningkat setiap mendekati hari-hari besar dan musim liburan.

Gambar 2 Indeks Penjualan Eceran Riil, November 2011 – November 2015

Indeks Penjualan Eceran Riil meningkat pada November 2015

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)

Gambar 1 Pertumbuhan PDB atas dasar Harga Konstan 2010 menurut Lapangan Usaha, 2013 – 2015

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2015 meningkat

Catatan:

Sektor Primer: (1) Pertanian Kehutanan dan Perikanan; (2) Pertambangan dan Penggalian

Sektor Industri: Industri Pengolahan

Sektor Jasa: (1) Pengadaan Listrik dan Gas; (2) Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang; (3) Konstruksi; (4) Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; (5)Transportasi dan Pergudangan; (6) Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; (7) Informasi dan Komunikasi; (8) Jasa Keuangan dan Asuransi; (9) Real Estat; (10) Jasa Perusahaan; (11) Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib; (12) Jasa Pendidikan; (13) Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; (14) Jasa Lainnya.

Sumber: BPS dan CEIC (2016)

2 Indonesian Economic Review and Outlook4

Gambar 3 Indeks Tendensi Bisnis, kuartal III-2012 – kuartal III-2015

Indeks Tendensi Bisnis meningkat pada kuartal III-2015

Indeks Tendensi Bisnis (ITB) pada Kuartal III-2015 meningkat.

< Pada akhir Kuartal-III 2015, ITB meningkat menjadi sebesar 106,04 dibandingkan dengan Kuartal-II 2015 ketika ITB mencatatkan angka 105,46.

< Hal itu mengindikasikan terjadinya perbaikan kondisi bisnis secara umum serta ekskalasi optimisme di kalangan pelaku usaha dalam melihat potensi bisnis selama periode tersebut.

Sumber: Bank Indonesia, BPS, dan CEIC (2016)

Pada Kuartal III-2015, pertumbuhan tertinggi PDB riil berdasarkan pengeluaran terjadi pada komponen pengeluaran konsumsi pemerintah.

< Komponen pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh pesat menjadi 6,56 persen secara year on year.

< Pertumbuhan komponen pengelauaran pemerintah pada kuartal iii-2015 merupakan yang tertinggi, setidaknya sejak Kuartal I-2015.

Pada Kuartal III-2015 kali ini, komponen pengeluaran konsumsi LNPRT tidak lagi mengalami kontraksi sebagaimana yang terjadi pada kuartal sebelumnya.

< Konsumsi LNPRT tumbuh sebesar 6,39 persen y-o-y―tidak lagi mencatatkan kontraksi sebagaimana halnya pada kuartal sebelumnya.

< Konsumsi rumah tangga menurun tipis sebesar 0,01 percentage point dari 4,97 persen pada Kuartal II-2015 menjadi 4,96 persen pada Kuartal III-2015.

< Sementara itu, pertumbuhan komponen PMTB meningkat menjadi sebesar 4,62 persen.

< Ekspor tercatat mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan dengan Kuartal II-2015 (-0,09 persen) menjadi -0,69 persen, sedangkan impor mengalami penurunan kontraksi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (-6,98 persen menjadi -6,11 persen y-o-y).

Sumber: BPS dan CEIC (2016)

Gambar 4 Pertumbuhan PDB atas Dasar Harga Konstan 2010 menurut Pengeluaran, 2013 – 2015

Pada Kuartal III-2015, peningkatan pertumbuhan konomi Indonesia dipicu oleh peningkatan signifikan pada konsumsi pemerintah, konsumsi LNPRT, dan PMTB

5Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Gambar 6 Penjualan Mobil, Motor, dan Semen, Desember 2010 – Desember 2015

Penjualan motor, mobil, dan semen mengalami penurunan pada Desember 2015

Sumber: ASTRA International, GAIKINDO, Asosiasi Semen Indonesia, dan CEIC

(2016)

Penjualan motor, mobil, dan semen pada Bulan Desember 2015 mengalami penurunan.

< Angka penjualan semen pada Desember 2015 menurun sebanyak 650 ribu ton dari sebelumnya sebanyak 6,13 juta ton menjadi 5,48 juta ton pada Bulan Desember 2015.

< Penurunan penjualan semen ini kemungkinan mengindikasikan adanya penurunan pengeluaran secara nasional untuk pembangunan infrastruktur selama satu bulan terakhir.

< Penjualan motor pada Desember 2015 berkurang sebanyak 15.280 unit dibandingkan dengan bulan sebelumnya (535.680 ribu unit menjadi 520.400 ribu unit).

< Penurunan senada juga terlihat pada angka penjualan mobil yang menurun sebesar 13.716 unit menjadi 73.264 unit pada Desember 2015 dari sebelumnya mencatatkan penjualan 86.980 unit pada November 2015.

< Secara umum, penurunan penjualan tadi sekiranya disebabkan oleh proporsi konsumsi masyarakat yang didominasi oleh komoditas makanan, sehingga permintaan akan barang-barang terkait mengalami penurunan.

Gambar 5 Indeks Tendensi Konsumen dan Indeks Keyakinan Konsumen, September 2010 – September 2015

Pada akhir kuartal III-2015, Indeks Keyakinan Tendensi BPS meningkat, sementara Indeks Keyakinan Konsumen BI menurun

Sumber: Bank Indonesia, BPS, dan CEIC (2016)

Pada akhir Kuartal III-2015, Indeks Tendensi Konsumen BPS (Indeks Tendensi Konsumen atau ITK) meningkat sedangkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) BI menurun.

< Nilai Indeks Tendensi Konsumen (ITK) pada Kuartal III-2015 adalah sebesar 109,00, yang berarti bahwa kondisi ekonomi konsumen secara umum meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya.

< Angka tersebut menunjukkan peningkatan optimisme konsumen dalam melakukan aktivitas konsumsi dibandingkan dengan Kuartal II-2015 (105,22).

< Peningkatan kondisi ekonomi konsumen ini antara lain disebabkan oleh naiknya pendapatan konsumen, rendahnya pengaruh tekanan harga terhadap daya beli konsumen, dan naiknya tingkat konsumsi.

< Di sisi lain, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya (112,60 menjadi 97,50 poin).

< Hal tersebut mengindikasikan pelemahan keyakinan konsumen terkait kondisi ekonomi mereka di masa mendatang.

Perkembangan Makroekonomi dan Fiskal

Indonesian Economic Review and Outlook6

2. Penyerapan Perimaan Pajak Hingga Desember 2015 Masih Rendah

Tabel 1 Realisasi Belanja dan Penerimaan APBNP 2014 – 2015

Proporsi realisasi belanja dan pencapaian penerimaan APBNP 2015 masih rendah

Catatan: * = angka sementara

Sumber: Kementerian Keuangan (2016)

Penerimaan perpajakan hingga Desember 2015 hanya mencapai 83 persen.

< Realisasi penerimaan pajak lebih rendah dari target APBNP 2015 yang ditetapkan dibandingkan APBNP 2014.

< Perlambatan pertumbuhan ekonomi mempengaruhi penerimaan pajak, terutama pada sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan

< Selain itu, melemahnya nilai impor dan harga-harga komoditas seperti CPO dan komoditas pertambangan juga mempengaruhi lambatnya penerimaan pajak.

Penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) Desember 2015 mencapai sebesar 93,8 persen.

< Realisasi Penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) hingga Desember 2015 target APBNP lebih rendah dibandingkan target APBNP 2014.

< Menurunnya SDA Migas dan pertambangan minerba, karena turunnya harga komoditas batu bara di pasar internasional mengakibatkan realisasasi PNBP rendah.

Proporsi penerimaan negara dan belanja negara sementara hingga Desember 2015 masih rendah.

< Realisasi penerimaan negara dan hibah APBNP 2015 sebesar IDR 1.491,5 triliun atau 84,7 persen dari total target penerimaan negara APBNP 2015, lebih rendah dari APBNP 2014 sebesar IDR 1.550,6 atau 84,7 persen.

< Realisasi belanja negara juga mengalami penurunan 91,2 persen atau IDR 1.810,0 triliun lebih rendah dibandingkan dengan APBNP 2014 sebesar 91,2 persen atau IDR1.767,3 triliun.

< Penyerapan belanja negara yang melambat pada awal tahun akibat adanya perubahan nomenklatur kementerian/lembaga.

Realisasi Asumsi Makro sementara pada Desember 2015 disesuaikan dengan perkembangan perekonomian terkini.

< Asumsi pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibandingkan asumsi APBNP 2015. Penetapan angka pertumbuhan berdasarkan realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan III 2015 sebesar 4,71 persen y-o-y dan adanya perkiraan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

< Asumsi inflasi juga lebih rendah dibandingkan asumsi APBNP 2015. Rendahnya laju inflasi disebabkan pasokan barang kebutuhan pokok yang tersendat dan ekpektasi inflasi yang menurun.

< Asumsi rata-rata suku bunga SPN 3 bulan lebih rendah dibandingkan asumsi APBNP 2015. Rendahnya tingkat suku bunga SPN disebabkan masih tingginya permintaan surat beharga negara, meskipun likuiditas relatif ketat.

< Asumsi nilai tukar APBNP 2015 melemah dibandingkan asumsi APBNP 2015. Lemahnya nilai tukar disebabkan beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal, permintaan valas untuk pembayaran deviden dan utang sedangkan faktor eksternal, kenaikan suku bunga acuan Amerika dan depresiasi yuan.

< Asumsi rata-rata harga minyak mentah lebih rendah dibandingkan asumsi APBNP 2015. Rendahnya harga minya mentah dipengaruhi lemahnya permintaan global dan masih tinggi pasokan minyak mentah.

< Asumsi lifting minyak dan gas juga lebih rendah dibandingkan asumsi APBNP 2015.

Tabel 2 Perbandingan Asumsi Makro dalam APBNP 2015, Realisasi Desember 2015, RAPBN 2016 dan APBN 2016

Penyesuaian asumsi makro setelah disahkannya APBN 2016

Catatan: * = angka sementara

Sumber: Kementerian Keuangan (2016)

Pemerintah dan DPR telah menyepakati besaran asumsi dasar makro pada APBN 2016.

< Asumsi makro yang mengalami perubahan yaitu pertumbuhan ekonomi pada APBN 2016 yang disepakati lebih rendah dari usulan awal RAPBN 2016. Kondisi ekonomi global dan perkembangan terkini yang tidak seoptimis dengan perkiraan sebelumnya maka pertumbuhan ekonomi tidak begitu tinggi.

< Asumsi makro pada nilai tukar juga mengalami perubahan yang disepakati lebih rendah dari usulan awal RAPBN 2016. Pelemahan nilai tukar dipengaruhi beberapa faktor eksternal seperti ketidakpastian dan besaran kenaikan suku bunga Amerika, yuan yang terdepresiasi di tengah perekonomian Tiongkok yang masih lemah.

< Asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) juga mengalami perubahan yang disepakati lebih rendah dari usulan awal RAPBN 2016.

7Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Tabel 3 Ringkasan APBNP 2015, RAPBN 2016 dan APBN 2016 (IDR Triliun)

Postur anggaran APBN 2016 mengalami penurunan

Sumber: Kementerian Keuangan (2016)

Pendapatan dan belanja negara menurun pada APBN 2016.

< Target pendapatan negara sebesar IDR 1.822,5 triliun lebih rendah dari target awal sebesar IDR 1.848,1 triliun pada RAPBN 2016. Penurunan belanja negara berpengaruh terhadap turunnya pendapatan negara dalam negeri.

< Target belanja negara sebesar IDR 2.0957,7 triliun, lebih rendah IDR 2.121,3 triliun dari target awal pada RAPBN 2016. Penurunan belanja negara berpegaruh pada penurunan belanja pemerintah pusat dan transfer dana ke desa.

< Penurunan postur belanja dan pendapatan disebabkan antara lain perubahan beberapa penyesuaian asumsi makro seperti pertumbuhan ekonomi menjadi 5,3 persen yang sebelumnya 5,5 persen dan asumsi nilai tukar sebesar IDR 13.900 yang sebelumnya ditargetkan IDR 13.400.

< Defisit APBN 2016 dibandingkan dengan target awal tidak mengalami perubahan signifikan.

Gambar 7 Perkembangan Subsidi Energi 2014, APBNP 2015, RAPBN 2016 dan APBN 2016

Pemerintah kembali memangkas subsidi energi pada APBN 2016

Sumber: Kementerian Keuangan (2016)

Alokasi subsidi energi kembali dipangkas pada APBN 2016.

< Perkembangan subsidi energi 2014-2016 mengalami penurunan dimana pemangkasan paling besar terjadi pada tahun 2015 terhadap belanja negara.

< Penurunan subsidi akhirnya turun secara terus menerus hingga pada tahun 2016 target APBN 2016. Pengurangan dana subsidi energi terutama ditujukan kepada listrik. Alokasi listrik pada APBN 2016 sebesar IDR 38,4 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan RAPBN 2016 sebesar IDR 73,1 triliun.

< Adanya pengurangan subsidi lisrik dalam rangka perubahan sistem menjadi tepat sasaran yaitu subsidi langsung. Rencana bentuk subsidi langsung akan menggunakan kartu pembayaran yang mirip dengan uang elektronik di kartu perbankan.

Perkembangan Makroekonomi dan Fiskal

Indonesian Economic Review and Outlook8

B. Pasar Finansial dan Sektor Moneter

Gambar 8 Gambar   Suku Bunga Deposito*, LPS, dan BI Rate, Desember 2010 – Desember 2015

Menjaga ekspektasi, BI Rate tetap 7,5 persen, sementara suku bunga deposito menurun ke level 7,5 persen

1. Tekanan Eksternal Mereda, Likuiditas Membaik, dan Suku Bunga Acuan Tetap

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17 Desember 2015 kembali menetapkan BI Rate di level 7,5 persen.

< Bank Indonesia (BI) menyatakan ruang kebijakan moneter semakin longgar ke depannya.

< Pertama, Federal Funds Rate (FFR) telah naik 25 bps pada 16 Desember 2015.

< Kedua, Inflasi tahun 2015 sebesar 3,35 persen masih masuk dalam rentang inflation targeting BI di kisaran 4 persen ±1.

< Teka-teki arah kebijakan AS sudah dapat diperhitungkan dan pergerakan capital flow global dapat diperkirakan.

Indonesia masih akan menghadapi beberapa risiko.

< Pelemahan ekonomi Tiongkok masih berlanjut akan berdampak pada lesunya ekonomi global.

< Harga komoditas andalan ekspor Indonesia diperkirakan masih akan belum membaik.

< Kemungkinan kenaikan FFR pada tahun 2016 dapat membuat gejolak di pasar valas dan pasar finansial domestik.

< Perubahan cuaca ekstrem El Nino dapat membuat gejolak harga komoditas pangan.

< Kebijakan moneter yang komprehensif diperlukan untuk menjaga stabilitas eksternal tanpa terlalu banyak mengorbankan stabilitas internal.

Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menetapkan kembali suku bunga penjaminan di level 7,5 persen.

< Pelemahan ekonomi Tiongkok masih berlanjut akan berdampak pada lesunya ekonomi global.

< Hasil evaluasi LPS pada 17 Desember 2015 dan 12 Januari 2016 belum menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam industri perbankan dan cenderung membaik.

< Ketahanan perbankan cukup baik sehingga tidak terjadi guncangan yang signifikan.

< Evaluasi tersebut mencakup tiga indikator, antara lain pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), pertumbuhan penyaluran kredit perbankan, dan kurs rupiah serta pasar keuangan.

< Kebijakan tersebut telah berlaku sejak 8 Oktober 2015 hingga 14 Mei 2016.

Perkembangan suku bunga deposito masih menunjukkan penurunan pada November 2015.

< Rata-rata tertimbang suku bunga deposito berjangka satu bulan pada November 2015 tercatat di level 7,5 persen, lebih rendah dari September 2015 (12 bps) dan Desember 2014 (108 bps).

< Tren penurunan tersebut dapat mengindikasikan tekanan likuiditas perbankan semakin menurun.

< Rata-rata tertimbang suku bunga kredit mengalami penurunan meski sangat tipis dari 12,91 persen (September 2015) menjadi 12,89 persen (November 2015).

< Suku bunga kredit tertahan karena mixed antara permintaan kredit berkurang dan meningkatnya risiko kredit. Keduanya terjadi karena pelemahan ekonomi domestik dan global.

< Pertumbuhan kredit sebesar 10,9 persen y-o-y (September 2015) turun menjadi 9,5 persen (November 2015).

< Pertumbuhan DPK melambat dari 11,7 persen y-o-y (September 2015) menjadi 8 persen (November 2015).

< Pertumbuhan M2 menurun dari 12,41 persen y-o-y (September 2015) menjadi 9,5 persen (November 2015) karena menurunnya pertumbuhan aktiva luar negeri neto—cadangan devisa terkuras untuk stabilisasi rupiah.

Catatan: * = November 2015

Sumber: (2016)Bank Indonesia, LPS, dan CEIC

9Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Gambar 9 Suku Bunga Pasar Uang antar Bank (PUAB), Desember 2010 – Desember 2015

Tekanan di sektor pasar uang meningkat, suku bunga overnight di level 7,3 persen

Desember 2015, suku bunga di Pasar Uang antar-Bank (PUAB) kembali meningkat tajam.

< Suku bunga PUAB overnight ada di level 7,3 persen, menurun dibandingkan September 2015 (8,13 persen), namun meningkat 120 bps dari Desember 2014.

< PUAB jangka waktu tujuh minggu dan satu bulan mengalami kenaikan yang drastis—PUAB jangka waktu satu bulan naik 210 bps dibandingkan September 2015 dan 280 bps dengan Desember 2014.

< Likuiditas perbankan terindikasi mengalami tekanan untuk memenuhi ketersediaan dana selama Desember 2015—bertepatan dengan Hari Natal, libur sekolah, dan libur akhir tahun, sehingga dana pinjaman berdurasi panjang “berharga mahal”.

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)

Gambar 10 Suku Bunga Overnight Indexed Swap*, Desember 2010 – Desember 2015

Tekanan likuiditas di sektor perbankan mereda

Catatan: * = data OIS diambil dari rerata delapan bank devisa yang meyediakan layanan OIS

Sumber: Bank Indonesia dan Bloomberg (2016, diolah)

Suku bunga OIS naik, spread OIS-JIBOR berjangka satu bulan menurun pada Desember 2015.

< Spread OIS-JIBOR berjangka satu bulan tercatat 2,05 poin pada Desember 2015, lebih rendah 37 bps dari September 2015.

< Desember 2015, tekanan likuiditas perbankan—persepsi perbankan terhadap risiko kredit pasar uang jangka pendek—terindikasi sedikit mereda dibandingkan September 2015 karena tekanan eksternal di pasar valas sudah menurun.

< Tekanan likuiditas perbankan pada 2015 meningkat signifikan (naik 125 bps) jika dibandingkan dengan tahun 2014, meski dalam taraf yang aman.

< Indonesia masih rentan terhadap tekanan eksternal karena memiliki ketergantungan pada hot money seperti fragile five lainnya, Brazil, Turki, Afrika Selatan, dan Meksiko

Pasar Finansial dan Sektor Moneter

Indonesian Economic Review and Outlook10

Gambar 11 Kurs Rupiah terhadap Dolar AS*, Desember 2010 – Desember 2015

FFR naik, tekanan terhadap rupiah mereda membuat rupiah di level IDR 13,795 per USD level IDR 13,795 per USD

Catatan: * = mulai Mei 2013, data kurs menggunakan JISDOR Bank Indonesia

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)

Setelah FFR diumumkan, tekanan kurs rupiah terhadap dolar AS menurun.

< Selama kuartal IV-2015, rupiah menguat signifikan. Rupiah tercatat di level IDR 13,795 per USD atau terapresiasi 5,88 persen dari penutupan September 2015.

< Keadaan pasar mulai berbalik arah setelah data ketenagakerjaan AS dirilis pada 2 Oktober 2015, kurs rupiah terapresiasi 6,9 persen (IDR 13.639 per USD) di akhir Oktober 2015.

< Rupiah sempat melemah 1,47 m-t-m persen pada penutupan November 2015.

Secara year to date, rupiah telah terdepresiasi sebesar 10,89 persen.

< Rupiah menjadi kurs dengan kinerja terburuk di Asia setelah Malaysia yang mengalami depresiasi 22,8 persen.

< Rupiah diprediksi kembali melemah di akhir 2016. Fundamental Indonesia (pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan cadangan devisa) saat ini dianggap tidak cukup kuat menghadapi tantangan ekonomi global.

< Tahun 2016 masih diprediksi akan menjadi tahun yang sulit karena kombinasi dari pelemahan ekonomi Tiongkok, devaluasi renminbi, quantitative easing oleh ECB, dan kenaikan FFR.

Gambar 12 Kurs Nondeliverable Forward Rupiah terhadap dolar AS, Desember 2010 – Desember 2015

NDF rupiah terhadap dolar AS menguat, namun spread dengan spot-rate meningkat

Sumber: Bloomberg (2016)

Kondisi rupiah di pasar forward menguat di penutupan 2015.

< Kurs rupiah Nondeliverable Forward (NDF) berjangka satu bulan tercatat IDR 13.908 per USD di akhir Desember 2015, menguat 6 persen dari September 2015.

< Dibandingkan Desember 2014, rupiah melemah sangat dalam, sebesar 11,4 persen.

< Spread NDF rupiah dan spot rupiah cukup tinggi: 150 poin pada Oktober 2015, 85 poin pada November 2015, dan 110 poin pada Desember 2015.

< Pemegang dolar AS masih sangat konservatif dalam menyikapi kondisi ekonomi global, rupiah belum dipercaya “aman” untuk dipegang di masa depan.

11Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Gambar 13 Real Effective Exchange Rate, Desember 2010 – Desember 2015

Tekanan mereda, kurs rupiah kembali ke arah nilai wajar

Sumber: BIS dan CEIC (2016, diolah)

Nilai rupiah kembali menuju nilai fundamentalnya.

< Real Effective Exchange Rate (REER) rupiah yang bergerak ke arah rata-rata jangka panjangnya—nilai wajar, namun masih undervalued 1,6 persen.

< Nilai REER berada di level 104,75 poin pada Desember 2015, berselisih 133 bps dari nilai wajar yang bernilai 106,08 poin.

< Desember 2014, nilai REER jauh lebih baik dengan spread hanya 9 bps atau mengalami undervalued 0,08 persen.

< Pada 2015, puncak nilai undervalued REER terjadi pada September sebesar 6,9 persen dengan spread hingga 732 bps.

Gambar 14 Cadangan Devisa, Desember 2010 – Desember 2015

Cadangan devisa belum pulih, naik ke level USD 105,9 miliar pada Desember 2015

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)

Tertekan untuk stabilisasi rupiah, cadangan devisa Indonesia belum pulih.

< Pada Desember 2015, cadangan devisa tercatat USD 105,9 miliar, meningkat USD 4,21 miliar dibandingkan September 2015.

< Catatan Desember 2015 lebih rendah USD 5,93 miliar dari Desember 2014.

< Sumber kenaikan cadangan devisa adalah dari pinjaman luar negeri dan penerbitan obligasi dalam denominasi dolar AS.

< Indonesia mampu membiayai 7,4 bulan impor dan pengembalian utang luar negeri—jauh di atas batas standard kecukupan internasional 3 bulan.

Pada tahun 2015, cadangan devisa tertekan hebat.

< Cadangan devisa sempat tercatat sebesar USD 100,24 miliar di akhir November 2015.

< Angka tersebut menjadi yang terendah sejak Desember 2013.

< Cadangan devisa digunakan dalam upaya stabilisasi eksternal Indonesia akibat kebijakan moneter yang tidak konservatif.¹

¹ Bank Indonesia menurunkan BI Rate 25 bps pada Februari 2015 di saat yang tidak tepat, yaitu ketika ekonomi global belum stabil menunggu kenaikan FFR.

(lihat IERO edisi kuartal I-2015)

Pasar Finansial dan Sektor Moneter

Indonesian Economic Review and Outlook12

2. Pasar Saham Kembali Menguat

Keadaan pasar saham Indonesia berangsur membaik selama Kuartal IV-2015.

< Penutupan 30 Desember 2015, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 4.593 poin, meningkat 8,7 persen dibandingkan September 2015. Jual neto investor asing sebesar IDR 1,41 triliun.

< IHSG mulai menanjak sejak 3 Oktober 2015 setelah data ketenagakerjaan AS dirilis—mengalami peningkatan namun di bawah ekspektasi. Pasar yakin FFR akan naik di akhir tahun.

< IHSG sempat menurun pada akhir November yang tercatat di level 4.446,5 poin, melemah 0,2 persen m-t-m karena aksi profit taking investor asing (jual neto mencapai IDR 9,5 triliun). Investor menghindari capital loss akibat pelemahan rupiah ketika Tiongkok mendevaluasi renminbi.

< Pengumuman kenaikan FFR pada 16 Desember 2015 memberikan ruang bagi IHSG untuk kembali melejit.

Gambar 15 Pergerakan IHSG, Desember 2010 – Desember 2015 ll,l,l,l,l,l

Tekanan FFR mereda, IHSG meroket di akhir tahun 2015

Sumber: BEI dan CEIC (2016)

Gambar 16 Kapitalisasi Pasar IHSG dan Pembelian Neto Asing, Desember 2010 – Desember 2015

Investor asing membukukan jual neto IDR 22,6 triliun

Sumber: BEI, Bloomberg, dan CEIC (2016, diolah)

Kinerja IHSG pada 2015 menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

< IHSG mengalami penurunan sebesar 12,12 persen y-o-y dengan jual neto investor asing mencapai IDR 22,6 triliun di tahun 2015.

< Capaian tersebut kontras dengan capaian tahun 2014: IHSG mengalami kenaikan 22,3 persen dan beli neto investor asing sebesar IDR 42,6 triliun.

< Pergerakan IHSG masih akan dibayang-bayangi oleh berbagai isu eksternal di tahun 2016.

Gambar 16 Nilai Aktiva Bersih Reksadana, Desember 2010 – Desember 2015

Kinerja reksa dana melambat selama 2015, tumbuh 13,34 persen y-o-y

Sumber: ARIA Bapepam-OJK (2016)

Membaiknya kinerja pasar saham dan obligasi berdampak pada kenaikan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana.

< Pada penutupan Desember 2015, NAB tercatat IDR 258,81 triliun, tumbuh 8,89 persen relatif terhadap September 2015.

< Tingkat indikatif harga agregat reksa dana naik sebesar 5,07 persen pada Desember 2015 relatif terhadap September 2015.

< Secara keseluruhan, NAB tumbuh 13,34 persen y-o-y pada 2015, namun jauh lebih rendah dari capaian tahun 2014 (tumbuh 23,1 persen).

< Kinerja reksa dana pada kuartal IV-2015 jauh lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya. NAB terkontraksi sebesar 5,3 persen q-t-q dan tingkat indikatif harga agregat reksa dana terkontraksi 8,56 persen.

< Perbaikan kinerja pasar reksa dana dikarenakan kenaikan signifikan di pasar saham maupun pasar obligasi.

13Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

2. Utang Luar Negeri Indonesia Meningkat, Indikator Sustainibilitas Utang Memburuk, Persepsi

Risiko SBN Meningkat, dan Harga SBN Menurun

Gambar 18 Utang Luar Negeri Indonesia, November 2010 – November 2015**

Utang luar negeri di sektor swasta mengalami penurunan sedangkan di sektor publik mengalami peningkatan

Catatan: * = Sementara, ** = Sangat Sementara

Sumber: Bank Indonesia (2016)

Utang luar negeri Indonesia pada November 2015 sebesar USD 304.593 juta, meningkat sebesar 0,16 persen m-t-m dan 3,14 persen y-o-y.

< Utang luar negeri bank sentral sebesar USD 5.100 juta atau mengalami penurunan sebesar 0,25 persen m-t-m dan 22,31 persen y-o-y sebagai akibat kesengajaan SBI menekan penyerapan dana melalui instrumen SBI untuk menekan penyaluran kredit oleh perbankan.

< Utang luar negeri pemerintah sebesar sebesar USD 132.646 juta atau mengalami peningkatan sebesar 0,87 persen m-t-m dan 0,39 persen y-o-y.

< Utang luar negeri swasta sebesar USD 166.846 juta atau mengalami penurunan sebesar 0,39 persen m-t-m meski secara year on year mengalami peningkatan sebesar 3,32 persen. Penurunan utang di sektor swasta disebabkan karena menurunnya utang di sektor pertambangan yang merupakan sektor penyumbang terbesar ketiga terhadap total utang luar negeri swasta.

Gambar 19 Utang Luar Negeri Berdasarkan Jangka Waktunya, November 2010 – November 2015**

Utang luar negeri jangka panjang meningkat sementara utang luar negeri jangka pendek menurun

Catatan: * = Sementara, ** = Sangat Sementara

Sumber: Bank Indonesia (2016)

Utang luar negeri jangka pendek Indonesia pada November 2015 sebesar USD 54.142 juta, menurun sebesar 2,66 persen m-t-m dan 11,77 persen y-o-y.

< Utang luar negeri jangka pendek pemerintah dan bank sentral sebesar USD 9.739 juta. Meningkat 2,78 persen m-t-m dan menurun 13,52 persen y-o-y.

< Utang luar negeri jangka pendek swasta sebesar USD 44.403 juta. Menurun sebesar 3,78 persen m-t-m dan 11,37 persen y-o-y.

< Pada November 2015, utang luar negeri swasta masih mendominasi sekitar 82,01 persen terhadap total utang jangka pendek. Persentase tersebut menurun dibandingkan dengan pangsa bulan sebelumnya.

Utang luar negeri jangka panjang Indonesia pada November 2015 sebesar USD 250.451 juta, meningkat sebesar 1,01 persen m-t-m dan sebesar 6,80 persen y-o-y.

< Utang luar negeri jangka panjang sektor swasta sebesar USD 122.443 juta. Mengalami peningkatan sebesar 1,37 persen m-t-m dan 10,07 persen y-o-y.

< Utang luar negeri jangka panjang pemerintah dan bank sentral tercatat sebesar USD 128.007 juta. Mengalami peningkatan sebesar 0,67 persen m-t-m dan 4,42 y-o-y.

< Utang luar negeri jangka panjang pemerintah dan bank sentral mendominasi sekitar 51,11 persen terhadap total utang luar negeri jangka panjang. Menurun dibandingkan dengan pangsa bulan sebelumnya.

Pasar Finansial dan Sektor Moneter

Indonesian Economic Review and Outlook14

Gambar 20 Indikator Utang Luar Negeri Indonesia (%), Kuartal III-2013 – Kuartal III-2015**

DSR Tier 2, rasio utang terhadap ekspor dan PDB meningkat meski DSR Tier 1 mengalami penurunan

Secara umum indikator sustainabilitas utang luar negeri Indonesia memburuk.

< DSR Tier 1 mengalami penurunan sebesar 0,25 percentage point q-t-q.

< DSR Tier 2 mengalami peningkatan sebesar 7,52 percentage point q-t-q.

< Rasio utang terhadap ekspor meningkat menjadi sebesar 3,07 percentage point q-t-q.

< Rasio utang terhadap PDB mengalami peningkatan menjadi sebesar 0,93 percentage point q-t-q.

< Beberapa variabel makro menjadi faktor penyebab memburuknya sustainibilitas utang luar negeri Indonesia seperti risiko melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar serta menurunnya pendapatan dari ekspor sebagai akibat melemahnya perekonomian negara-negara mitra dagang Indonesia dan menurunya harga komoditas.

Gambar 21 IBPA Effective Yield Index (EYI) dan Credit Default Swap (CDS, tenor 5 tahun), Desember 2013 - Desember 2015

Rata-rata yield obligasi dan CDS bertenor 5 tahun Indonesia mengalami peningkatan

Sumber: Bloomberg (2016)

Persepsi risiko terhadap obligasi Indonesia meningkat.

< Level yield IGB EYI meningkat sebesar 2,63 percentage point m-t-m dan 11,80 y-t-d.

< Yield obligasi 10 tahun meningkat sebesar 2,08 percentage point m-t-m dan 13,59 percentage point y-t-d.

< Dalam lingkup ASEAN, meski tidak sebesar volatilitas pada akhir September 2015, volatilitas yield obligasi local currency bertenor 10 tahun Indonesia pada Desember 2015 masih tergolong sangat volatile dibandingkan dengan beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.

< Nilai CDS obligasi Indonesia selama kuartal III-2015 terjadi tren peningkatan hingga sebesar 229,92 bps pada Desember akhir 2015.

< Level EMBIG meningkat menjadi 453,442 bps pada akhir Desember 2015.

< Selama periode Oktober hingga Desember 2015, imbas dari faktor eksternal terlihat lebih dominan dibandingkan faktor internal. Meski nilai inflasi secara year on year cenderung menurun hingga mencapai 3,95 persen pada Desember 2015, keputusan FOMC untuk menaikkan FFR sangat berpengaruh terhadap tingkat yield serta volatilitas obligasi Indonesia.

Catatan: (DSR Tier 1 merupakan pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek)

(DSR Tier 2 meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi langsung selain dari anak perusahaan di luar negeri, serta pinjaman dan utang dagang kepada non-afiliasi)

* = Sementara, ** = Sangat Sementara

Sumber: Bank Indonesia (2016)

15Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Gambar 22 SBN Outstanding dan Kepemilikan Berdasarkan Entitas, Desember 2010 –Desember 2015

SBN outstanding Indonesia meningkat

Sumber: Bank Indonesia, DJPPR, dan CEIC (2016)

SBN outstanding Indonesia pada akhir Desember 2015 sebesar IDR 2.409,94 triliun, meningkat sebesar 3,67 m-t-m dan 24,78 y-o-y.

< SBN tradable tercatat sebesar IDR 2.120,69 triliun pada akhir Desember 2015, mengalami peningkatan sebesar 3,73 persen dibandingkan dengan November 2015 dan sebesar 27,24 persen dibandingkan bulan yang sama di tahun 2014.

< Asing masih mendominasi kepemilikan SBN tradable sebesar 26,33 persen atau menurun dibandingkan November 2015.

< Kepemilikan asing atas SBN tradable pada akhir Desember 2015 sebesar IDR 558,5 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 1,82 persen m-t-m dan 21,06 persen y-o-y. Sementara entitas lainnya, yaitu Bank dan Institusi Pemerintah masing-masing sebesar IDR 350 triliun dan IDR 148 triliun.

< Jual beli SBN oleh Asing pada Oktober 2015 tercatat beli neto sebesar IDR 19,76 triliun.

< SBN non-tradable pada akhir Desember 2015 sebesar IDR 289,25 triliun meningkat sebesar 3,22 persen m-t-m dan 9,29 persen y-o-y.

Gambar 23 Inter Dealer Market Agency (IDMA), Desember 2010 – Desember 2015

IDMA index mengalami penurunan

Sumber: Bloomberg (2016)

Harga obligasi Indonesia mengalami penurunan pada akhir Desember 2015.

< IDMA price index mengalami penurunan sebesar 2,22 bps m-t-m dan 6,37 bps y-o-y.

< Meski harga obligasi mengalami penurunan, harga pada akhir kuartal IV-2015 tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga pada akhir kuartal III-2015 yang merupakan paling rendah selama 5 tahun terakhir.

< Harga obligasi yang tercermin dari level IGB CPI juga mengalami penurunan sebesar 1,50 bps m-t-m dan 5,78 bps y-o-y menjadi sebesar 108,49 bps.

< Secara keseluruhan, harga obligasi meningkat pada bulan Oktober 2015 sebagai imbas dari net jual asing dan kemudian terus mengalami penurunan hingga akhir tahun 2015.

Pasar Finansial dan Sektor Moneter

Indonesian Economic Review and Outlook16

Gambar 24 Pertumbuhan kredit Perbankan November 2013 – November 2015

Pertumbuhan kredit melambat

Sumber: OJK (2016)

Pertumbuhan kredit perbankan November 2015 melambat.

< Pertumbuhan kredit pada November 2015 melambat jika dibandingkan dengan September 2015.

< Perlambatan pertumbuhan terjadi pada semua jenis kredit yaitu Kredit Konsumsi (KK), Kredit Investasi (KI) dan Kredit Modal Kerja (KMK).

< KK melambat, tercatat sebesar 10,28 persen y-o-y, lebih rendah dibandingkan dengan Oktober 2015 sebesar 10,23 persen.

< KI juga mengalami perlambatan sebesar 12,56 persen y-o-y, lebih rendah dibandingkan Oktober 2015 sebesar 12,64 persen.

< KMK juga mengalami perlambatan pertumbuhan 8,20 persen, lebih rendah dibandingkan Oktober 2015 sebesar 9,08 persen.

< Bank Indonesia menyatakan bahwa perlambatan pertumbuhan khususnya pada sektor utama seperti sektor perdagangan, industri dan pertanian.

Ketahanan Sistem Perbankan Perlu Dijaga

C. Sektor Perbankan

Gambar 25 Perkembangan pertumbuhan Dana Pihak ketiga (DPK), November 2014 – November 2015

Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada November 2015 mengalami perlambatan

Sumber: OJK (2016)

Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) melambat sebesar 7,7 persen y-o-y pada November 2015.

< Pertumbuhan DPK perbankan November 2015 mengalami perlambatan dibandingkan pertumbuhan pada bulan Oktober 2015.

< Berdasarkan komponen DPK, mengalami perlambatan pada tiga komponennya.

< Pertumbuhan Giro mengalami perlambatan sebesar 11,1 persen y-o-y, lebih rendah dibandingkan Oktober 2015 sebesar 12,2 persen.

< Pertumbuhan Tabungan juga mengalami perlambatan sebesar 6,6 persen y-o-y, lebih rendah dibandingkan 5,9 persen pada Oktober 2015.

< Komponen DPK yang terkahir yaitu Deposito juga mengalami perlambatan sebesar 6,7 persen y-o-y, lebih rendah sebesar 9,3 persen pada Oktober 2015.

17Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Perkembangan aset Bank Umum November 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

< Perkembangan aset perbankan dari tahun 2010-2015 terus mengalami peningkatan.

< Total aset Bank Umum pada November 2015 meningkat, tercatat sebesar IDR 6.022.897 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Oktober 2015 sebesar IDR 5.997.272 miliar.

< Menurut kelompok bank, empat jenis Bank Persero, Bank BUSN Devisa, dan Bank Campuran mengalami peningkatan pertumbuhan aset.

< Total aset Bank Persero sebesar IDR 2.176.390 miliar atau tumbuh sebesar 10,2 persen y-o-y, lebih tinggi dibandingkan Oktober 2015 sebesar IDR 2.139.714 miliar atau tumbuh 10,1 persen.

< Total aset Bank BUSN Devisa sebesar IDR 2.338.410 miliar atau tumbuh sebesar 7,8 persen y-o-y, lebih tinggi dibandingkan Oktober 2015 sebesar IDR 2.325.550 miliar atau tumbuh 8,2 persen.

< Total aset Bank Campuran sebesar IDR 297.793 miliar atau tumbuh sebesar 8,7 persen y-o-y, lebih tinggi dibandingkan Oktober 2015 sebesar IDR 293.240 miliar atau tumbuh 10 persen.

< Sedangkan, tiga kelompok bank lainnya yaitu Bank Non-Devisa, Bank BPD dan Bank Asing mengalami perlambatan pertumbuhan.

< Total aset Bank Non-Devisa sebesar IDR 185.392 miliar atau tumbuh sebesar 3,0 persen y-o-y, lebih rendah dibandingkan Oktober 2015 sebesar IDR 191.733 miliar atau tumbuh 8,6 persen.

Gambar 26 Perkembangan total aset perbankan di Indonesia, November 2010 – November 2015

Total aset Bank Umum pada November 2015 meningkat

Sumber: OJK (2016)

< Total aset Bank BPD sebesar IDR 533.502 miliar atau tumbuh sebesar 11,5 persen y-o-y, lebih rendah dibandingkan Oktober 2015 sebesar IDR 549.632 miliar atau tumbuh 14,3 persen.

< Total aset Bank Asing sebesar IDR 491.411 miliar atau tumbuh sebesar 12,9 persen y-o-y, lebih rendah dibandingkan Oktober 2015 sebesar IDR 497.404 miliar atau tumbuh 15,8 persen.

Gambar 27 Perkembangan Capital Adequacy Ratio (CAR) per kelompok bank November 2010 – November 2015

Perkembangan CAR Bank Umum meningkat pada November 2015

Sumber: OJK (2016)

Rata-rata rasio kecukupan modal Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan mengalami peningkatan.

< Perkembangan rata-rata CAR bank umum dalam enam tahun terakhir mengalami fluktuasi pada setiap bulannya tergantung pada kondisi perbankan saat itu.

< Perkembangan CAR hingga November 2015 mengalami kenaikan sebesar 21,33 persen lebih tinggi dari Oktober 2015 sebesar 21,05 persen.

< Menurut kelompok perbankan menujukan peningkatan pada semua nilai CAR. Enam bank yang mengalami peningkatan yaitu Bank Persero, BUSN Devisa, BUSN Non-Devisa, BPD, Bank Campuran dan Bank Asing meningkat masing-masing sebesar 19,54 persen, 17,85 persen , 23,29 persen, 18,25 persen dan 19,95 persen lebih tinggi dari September 2015 yang masing-masing sebesar 19,58 persen, 18,09 persen, 23,30 persen 18,93 persen, 20,23 persen dan 45,93 persen.

< Nilai CAR tersebut masih berada pada batas aman karena masih jaun diatas ketentuan yang ditetapkan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa masih adanya ruang dalam melakukan ekspansi usaha, serta masih tingginya ketahanan perbankan untuk menutupi risiko.

Sektor Perbankan

Indonesian Economic Review and Outlook18

Gambar 28 Kinerja Bank Umum November 2013 – November 2015

Rentabilitas perbankan serta Risiko Kredit dan Likuiditas masih cukup kuat

Sumber: OJK (2016)

Stabilitas perbankan secara umum masih cukup kuat.

< Dari sisi profitabilitas dicerminkan dalam perkembangan Return On Asset (ROA) pada November 2015 menunjukan peningkatan sebesar 2,33 persen, lebih rendah sebesar 2,30 persen dibandingkan dengan bulan Oktober 2015.

< Dari sisi Intermediasi dan likuiditas perbankan dicerminkan oleh Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Noperforming Loan (NPL). NPL pada November 2015 sebesar 2,66 persen lebi rendah sebesar 2,71 persen dibandingkan pada Oktober 2015. Penurunan penyaluran pembiayaan turut mempengaruhi turunnya angka kredit macet/ NPL.

< Penurunan NPL menurut jenis kreditnya yaitu Kredit Konsumsi, Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja juga menunjukan penurunan.

< NPL Kredit Konsumsi sebesar 1,47 persen, lebih rendah dibandingkan Oktober 2015 yang sebesar 1,48 persen. NPL Kredit Investasi juga sebesar 0,70 persen, lebih rendah dibandingkan Oktober 2015 yang sebesar 0,71 persen. Jenis NPL Kredit Modal Kerja juga menurun sebesar 0,46 persen, lebih rendah dibandingkan Oktober 0,47.

< LDR mengalami peningkatan sebesar 90,47 persen dibandingkan Oktober sebesar 89,74 persen.

< Perkembangan Net interest Income (NIM) bank umum juga meningkat sebesar 5,35 persen dibandingkan bulan Oktober 2015 sebesar 5,32 persen.

< Menurut kelompok Bank, pencentak NIM terbesar berasal dari Bank Non-Devisa dan Bank BPD yang mencapai 6,85 persen pada November 2015. Sedangkan yang memiliki NIM terkecil berasal dari Bank Campuran sebesar 3,37 persen pada November 2015.

< Efisiensi perbankan yang dicerminkan dalam perkembangan Biaya Operasional terhadap Pendaptan Operasional (BOPO) mengalami peningkatan sebesar 81,62 persen dibandingkan Oktober 2015 sebesar 81,11 persen.

19Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Gambar 29 Tingkat Inflasi, Desember 2010 – Desember 2015

Kelesuan ekonomi menekan inflasi umum di level 3,35 persen y-o-y

Tingkat inflasi kembali menurun menyusul pelemahan kinerja ekonomi domestik selama tahun 2015.

< Inflasi umum tercatat sebesar 3,35 persen y-o-y pada Desember 2015, lebih rendah dari September 2015 (6,83 persen) dan Desember 2014 (8,36 persen).

< Penurunan inflasi dipengaruhi oleh menurunnya inflasi inti dan komponen harga diatur pemerintah.

< Inflasi inti tercatat sebesar 3,95 persen y-o-y, lebih rendah 112 pp dari September 2015.

< Laju inflasi komponen inti menurun disebabkan permintaan domestik yang rendah selama 2015 meski tekanan eksternal cukup tinggi.

< Komponen harga diatur pemerintah tercatat sebesar 0,39 persen, jauh lebih rendah 1087 pp dari September 2015.

< Komponen harga diatur pemerintah mengalami penurunan tajam dibanding September 2015 karena pada Desember 2014 terjadi inflasi tinggi (kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi), maka secara relatif perbandingan akan mengecil.

< Rendahnya komoditas energi dunia juga memberikan pengaruh pada rendahnya inflasi komponen harga diatur pemerintah. Tarif listrik, gas, dan BBM dapat disesuaikan (rendah), sementara tarif transportasi yang naik secara musiman pada peak season.

D. Inflasi, Ketenagakerjaan, dan Kemiskinan

1. Meski Tingkat Harga Desember Melonjak, Inflasi Tahunan Cukup Rendah

Komponen inflasi harga bergejolak menjadi faktor pendorong utama inflasi umum Desember 2015.

< Komponen harga bergejolak mengalami kenaikan 4,84 persen y-o-y, lebih rendah 369 pp dari September 2015.

< Penyebab inflasi komponen harga bergejolak adalah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2016.

< Sepanjang tahun 2015, beras menjadi komoditas penyumbang inflasi terbesar.

Tabel 4 Tingkat Inflasi berdasarkan Kelompok Pengeluaran, 2011 – 2015 (2012=100, % m-t-m)

Mengalami inflasi 3,2 persen m-t-m, kelompok pengeluaran bahan makanan menjadi penyumbang inflasi terbesar

Catatan: : 2010 – 2013 tahun dasar 2007; 2014 – 2015 tahun dasar 2012

(1) Bahan Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan

Sumber: BPS dan CEIC (2016, diolah)

Desember 2015 tercatat mengalami inflasi bulanan tertinggi selama 2015.

< Secara month to month, inflasi Desember 2015 sebesar 0,96 persen, jauh lebih tinggi daripada September 2015 (-0,05 persen).

< Desember bertepatan dengan hari Natal dan libur akhir tahun membuat permintaan meningkat, sehingga memiliki kecenderungan mengalami inflasi yang tinggi secara seasonal.

< Inflasi kelompok pengeluaran bahan makanan meningkat tajam sebesar 3,2 persen m-t-m, lebih tinggi dari September 2015 (-1,07 persen) dan dengan Juli 2015² (2,02 persen).

< Kelompok pengeluaran bahan makanan ini menjadi penyumbang inflasi terbesar pada Desember 2015.

< Komoditas yang mengalami kenaikan harga tinggi antara lain cabai merah, bawang merah, dan ayam ras.

< Logistik yang tersendat juga memengaruhi tingginya harga bahan pangan.

Inflasi terjadi di 82 kota pada Desember 2015.

< Inflasi tertinggi tercatat di Merauke dengan nilai 2,87 persen m-t-m.

< Inflasi terendah tercatat di Cirebon dengan nilai 0,27 persen.

< Inflasi banyak tersebar di Indonesia bagian timur dan Sumatera bagian utara.

² Masa Bulan Puasa dan Hari Raya Idul Fitri

Catatan: 2010 – 2013 tahun dasar 2007; 2014 – 2015 tahun dasar 2012

Sumber: BPS dan CEIC (2016, diolah)

Indonesian Economic Review and Outlook20

Gambar 30 Jumlah Penduduk Bekerja dan Pengangguran di Indonesia, Agustus 2010 – Agustus 2015

Secara umum, kondisi ketenagakerjaan memburuk: TPAK menurun sementara TPT meningkat

Meskipun laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal III-2015 membaik, tingkat pengangguran, TPT, dan TPAK pada Agustus 2015 justru terindikasi memburuk.

< Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2015 meningkat dari 5,18 persen pada Februari 2015 menjadi 6,18 persen, sekalipun pertumbuhan PDB riil Indonesia membaik pada kuartal III-2015. Jumlah pengangguran secara umum pun bergerak searah―memburuk ke angka 7,56 juta orang dari sebelumnya 7,45 juta orang per Februari 2015.

< Selain itu, TPAK pada Agustus 2015 menunjukkan penurunan yang cukup signifikan menjadi 65,76 persen dari sebelumnya sebesar 69,5 persen pada Februari 2015. Ini sejalan dengan jumlah penduduk bekerja yang juga menunjukkan penurunan per Agustus 2015 (120,85 juta orang menjadi 114,82 juta orang).

< Hal tersebut merupakan suatu indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi secara umum belum mampu mendorong penyerapan angkatan kerja yang tersedia melalui penciptaan lapangan pekerjaan-lapangan pekerjaan baru yang secara efektif.

Sumber: BPS dan CEIC (2016)

Gambar 31 Jumlah Pekerja Tidak Penuh, Agustus 2010 – Agustus 2015

Jumlah pekerja tidak penuh pada Agustus 2015 menurun

Sumber: BPS dan CEIC (2016)

Jumlah pekerja tidak penuh pada Agustus 2015 menurun, sedangkan persentasenya terhadap jumlah penduduk yang bekerja meningkat.

< Jumlah pekerja tidak penuh pada Agustus 2015 per se menurun menjadi 34,31 juta jiwa, akan tetapi persentasenya terhadap yang bekerja meningkat (dari 29,54 persen ke 29,88 persen).

< Hal itu terjadi karena adanya penurunan jumlah penduduk yang bekerja dari 120,85 juta jiwa menjadi 114,82 juta jiwa pada Agustus 2015, sehingga proporsi jumlah pekerja tidak penuh terhadap jumlah penduduk yang bekerja semakin besar.

< Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa secara garis besar, arah pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu kuartal terakhir belum dapat mengoptimalkan salah satu outcome yang dicita-citakan, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan sekaligus menekan angka pengangguran.

2. Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia Memburuk

21Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Tabel 5 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Tahun 2012 – 2015

Sektor pertanian masih menjadi kontributor tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja

Sumber: BPS dan CEIC (2016, diolah)

Bila ditinjau secara lebih umum, pada Agustus 2015 tingkat pengangguran juga mengalami peningkatan sebagaimana halnya jumlah penduduk yang bekerja.

< Pada Agustus 2015, jumlah penduduk yang bekerja meningkat dari 114,63 juta jiwa (Februari 2015) menjadi sebanyak 122,38 jiwa.

< Sektor pertanian masih menjadi kontributor paling tinggi dalam hal penyerapan tenaga kerja.

< Sektor pertanian mampu menyerap 32,88 persen dari total ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada. Kontributor terbesar kedua adalah sektor perdagangan (22,37 persen), kemudian diikuti sektor jasa kemasyarakatan (15,62 persen) di urutan ketiga, dan sektor industri (13,28 persen) di urutan keempat.

< Meski begitu, kontribusi sektor pertanian pada Agustus 2015 mengalami penurunan, baik bila dibandingkan dengan Februari 2015 maupun periode-periode sebelumnya.

< Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: 1) terjadinya transisi secara gradual struktur perekonomian Indonesia yang bercorak agrikultur, dan 2) pengaruh dari gelombang El Nino yang menyebabkan terganggunya musim panen raya yang berdampak pada produktivitas sektor pertanian secara umum.

Inflasi, Ketenagakerjaan, dan Kemiskinan

Indonesian Economic Review and Outlook22

3. Kemiskinan di Indonesia Menurun

Gambar 32 Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, 2011 – 2015

Jumlah penduduk miskin menurun tipis pada September 2015

Sumber: BPS dan CEIC (2016)

Gambar 33 Garis Kemiskinan, Inflasi Garis Kemiskinan, dan Inflasi Umum

Garis kemiskinan meningkat seiring dengan meningkatnya inflasi umum

Sumber: BPS dan CEIC (2016)

Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal III-2015, jumlah penduduk miskin pada September 2015 menurun bila dibandingkan dengan Maret 2015.

< Pada September 2015, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat berkurang sebesar 0,08 juta orang dari Maret 2015 (28,59 juta orang) menjadi 28,51 juta orang.

< Selama periode Maret 2015-September 2015, Garis Kemiskinan meningkat sebesar 4,24 persen dari semula IDR 330.776 per kapita per bulan menjadi IDR 344.809 per kapita per bulan.

< Naiknya Garis Kemiskinan tersebut umumnya dipicu oleh kenaikan harga komoditas makanan sebagai salah satu komponen perhitungannya, sebagaimana yang diindikasikan oleh kenaikan tingkat inflasi umum dari 6,38 persen pada Maret 2015 menjadi 6,83 persen pada September 2015.

23Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

E. Neraca Pembayaran Indonesia

Gambar 34 Neraca Pembayaran Indonesia Kuartal III-2012 – Kuartal III-2015

Defisit Neraca Pembayaran Indonesia membesar

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)

Neraca Pembayaran Indonesia Terdampak Perkembangan Ekonomi Global

Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kian membesar pada kuartal III-2015.

< Kembali memburuknya kinerja NPI disebabkan oleh tren penyusutan surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial yang terus berlanjut meskipun defisit Neraca Transaksi Berjalan mengecil.

< Penurunan defisit Neraca Transaksi Berjalan terutama disebabkan oleh perbaikan kinerja pada Neraca Jasa-Jasa sebagai akibat naiknya ekspor jasa kita ke luar negeri.

< Penurunan surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial terjadi karena surplus Neraca Investasi Langsung dan Neraca Investasi Portofolio turun lebih besar dibanding kenaikan surplus pada Neraca Derivatif Finansial dan Neraca Investasi Lainnya.

Gambar 35 Neraca Transaksi Berjalan Kuartal III-2012 – Kuartal III-2015

Defisit Neraca Transaksi Berjalan mengecil

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)

Kinerja Neraca Jasa-Jasa di kuartal III-2015 ini membaik.

< Naiknya ekspor jasa pada Sektor Perjalanan serta Sektor Jasa Telekomunikasi, Komputer dan Informasi menjadi pendorong utama perbaikan kinerja ini.

< Surplus Sektor Perjalanan naik 32,43 persen dibanding kuartal sebelumnya menjadi USD 0,78 miliar.

< Turis asing yang berkunjung pada kuartal III-2015 tercatat sebesar 2,55 juta orang, naik 175 ribu dari kuartal II-2015.

Di kuartal III-2015, baik Neraca Pendapatan Primer maupun Neraca Pendapatan Sekunder menunjukkan kinerja yang memburuk.

< Defisit Neraca Pendapatan Primer naik karena meningkatnya kewajiban untuk membayar pendapatan kepada investor di luar negeri khususnya bunga utang pada investasi portofolio dan investasi langsung.

< Sebaliknya di Neraca Pendapatan Sekunder, penyusutan surplus lebih disebabkan oleh turunnya penerimaan Indonesia atas pendapatan dari luar negeri.

Surplus Neraca Perdagangan Barang kuartal III-2015 menurun tipis dari kuartal sebelumnya.

< Surplus turun karena kenaikan surplus Neraca Non-migas lebih kecil daripada penurunan surplus Neraca Barang Lainnya.

< Perbaikan kinerja Neraca Non-migas lebih disebabkan oleh turunnya nilai impor sebesar USD 2,90 miliar daripada oleh sisi ekspor.

< Sisi ekspor non-migas justru nilainya turun hingga USD 2,73 miliar daripada kuartal sebelumnya karena anjloknya harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti minyak sawit dan batu bara.

< Defisit Neraca Migas naik karena nilai ekspor migas turun lebih besar daripada turunnya nilai impor.

Indonesian Economic Review and Outlook24

Gambar 36 Neraca Transaksi Modal dan Finansial Kuartal III-2012 – Kuartal III-2015

Tren penurunan Surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial terus berlanjut

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)

Setelah selalu mencatatkan surplus sejak kuartal IV-2011, saldo Neraca Investasi Portofolio kini menjadi defisit di kuartal III-2015.

< Keluarnya dana-dana asing dari Indonesia merupakan penyebab terjadinya defisit ini.

< Dari sisi kewajiban, net jual asing terjadi pada instrumen SBI, SBN, saham-saham dan surat utang perusahaan swasta domestik.

< Masih belum pastinya kenaikan Fed Fund Rate (FFR) serta kebijakan devaluasi Yuan oleh Tiongkok mendorong terjadinya perubahan arah pada Neraca Investasi Portofolio Indonesia.

Surplus Neraca Investasi Langsung kuartal III-2015 turun 10,37 persen q-t-q.

< Penyebabnya adalah penurunan arus masuk (sisi kewajiban) lebih besar daripada penurunan arus keluar (sisi aset).

< Dari sisi aset baik instrumen modal ekuitas mengalami penurunan defisit sedangkan instrumen utang berbalik surplus.

< Dari sisi kewajiban, baik instrumen modal maupun utang mengalami penurunan surplus.

Neraca Investasi Lainnya akhirnya kembali surplus setelah dua kuartal berturut-turut defisit.

< Terjadinya perubahan arah ini disebabkan turunnya defisit di sisi aset dan surplus di sisi kewajiban.

< Defisit sisi aset mengecil dari USD 4,32 miliar menjadi USD 2,02 miliar di kuartal III-2015 karena turunnya penempatan uang dan simpanan sektor swasta domestik di luar negeri.

< Surplus USD 2,40 miliar di sisi kewajiban terjadi karena baik sektor publik maupun swasta berhasil mencetak surplus dalam transaksi investasi lainnya.

25Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

1. Apresiasi Nilai Tukar Rupiah dan Meningkatnya Devisa Melemahkan EMPI

F. Indikator Krisis

Gambar 37 Indeks Tekanan Pasar Valuta Asing, Desember 2000 – Desember 2015

Tekanan di pasar valuta asing melemah pada Desember 2015

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016, diolah)

Exchange Market Pressure Index merupakan indikator yang menggambarkan kondisi terkini tekanan pada pasar valuta asing (valas).

< Indeks ini disusun dari komposit tiga variabel yaitu nilai tukar rupiah terhadap USD, cadangan devisa, dan suku bunga JIBOR.

< Semua data dalam frekuensi bulanan dan telah dinormalisasi menggunakan metode yang diterapkan oleh Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart (1998, 1999).

< Nilai indeks berada pada rentang skala 0 – 100, semakin mendekati 100 semakin besar tekanan yang diterima oleh pasar valas.

< Adapun sebaliknya semakin mendekati 0, maka semakin kecil tekanan yang diterima oleh pasar valas.

Nilai EMPI pada November 2015 turun menjadi 39,91 nilai skala, sedangkan di bulan sebelumnya sebesar 48,22 nilai skala.

< Hal ini menunjukkan kondisi pasar valas kita membaik dengan adanya apresiasi nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah Desember 2015 adalah sebesar IDR 13.795 per USD, menguat sekitar 0,35 persen dibanding November 2015.

< Senada dengan cadangan devisa yang juga ikut meningkat dari 100,24 miliar USD menjadi 105,93 miliar USD. Dengan demikian sejak awal tahun 2015, nilai EMPI telah turun hingga 3,76 nilai skala. Namun kondisi ini masih cukup normal karena belum menembus ambang batas pertama yaitu sebesar 68,44 nilai skala.

2. Penurunan NPL dan Kenaikan CAR Menyebabkan Melemahnya BPI

Gambar 38 Indeks Tekanan Perbankan Indonesia Formula EMPI, 2012 – 2015

Tekanan terhadap perbankan Indonesia menurun pada November 2015

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016, diolah)

Banking Pressure Index (BPI) adalah indikator yang menunjukkan tekanan yang terjadi di sektor perbankan.

< Indeks ini dihitung dengan mempertimbangkan tiga indikator sektor perbankan, yakni Capital Adequacy Ratio (CAR), Nonperforming Loan (NPL), dan Liquidity Assets Ratio (LAR).

< Seluruh data yang digunakan memiliki frekuensi bulanan dan diolah dengan menggunakan dua macam formula, yaitu formula yang mengacu pada perhitungan Exchange Market Pressure Index (EMPI) dan formula yang mengacu pada perhitungan Financial Stability Index (FSI).

< Semakin kecil nilai indeks, semakin besar tekanan yang terjadi di sektor perbankan vice versa.

Indonesian Economic Review and Outlook26

Gambar 39 Indeks Tekanan Perbankan Indonesia Formula FSI, 2012 – 2015

Tekanan terhadap perbankan Indonesia menurun pada November 2015

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016, diolah)

Per November 2015, angka BPI formula EMPI dan BPI formula FSI membaik dibandingkan dengan Oktober 2015.

< BPI formula EMPI bernilai 40,68 sementara BPI formula FSI bernilai 61,36 pada November 2015. Kedua indeks mengalami peningkatan dibandingkan dengan Oktober 2015—36,45 untuk BPI formula EMPI dan 60,40 untuk formula FSI.

< Berkurangnya tekanan itu didorong oleh penurunan persentase kredit macet (Nonperforming Loan) dari 2,676 persen menjadi 2,658 persen selama periode Oktober– November 2015.

< Di sisi lain, kekuatan permodalan perbankan Indonesia juga mengalami peningkatan selama satu bulan terakhir. Hal itu ditunjukkan dengan kenaikan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) dari 21,045 persen pada Oktober 2015 menjadi 21,333 persen pada November 2015.

< Dengan begitu, dapat kita katakan bahwa pada periode ini risiko kredit yang mengancam sektor perbankan berkurang dan risiko terjadinya krisis perbankan (banking crisis) menurun.

G. Perkembangan Ekonomi Global dan Pasar Komoditas

27Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

1. Brazil dan Rusia Resesi Ekonomi Jepang Melaju Lebih Cepat

Tabel 7 Pertumbuhan Ekonomi Riil Kuartal I-2014 – Kuartal III-2015 (% y-o-y)

Perekonomian global mayoritas melambat

Catatan: Kawasan Uni Eropa mencakup 28 negara yaitu Belanda, Belgia, Italia, Jerman, Luksemburg, Perancis, Britania Raya, Denmark, Irlandia, Yunani, Portugal, Spanyol, Austria, Finlandia, Swedia, Republik Ceko, Estonia, Hongaria, Latvia, Lituania, Malta, Polandia, Siprus, Slovenia, Slowakia, Bulgaria, Rumania, Kroasia.

Sumber: CEIC Generate dan Trading Economics (2016)

Di kuartal III-2015 pertumbuhan ekonomi di tiap negara mayoritas melambat.

< Amerika Serikat, Uni Eropa dan Britania Raya memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya.

< Agenda abenomics yang bertujuan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Jepang keluar dari resesi berhasil.

< Sejak kuartal II-2014, Brasil terus mengalami pertumbuhan negatif hingga saat ini.

< Rusia yang tertekan oleh anjloknya harga minyak global juga masih mengalami penyusutan ekonomi sejak kuartal I-2015.

< Ekonomi Tiongkok tetap tumbuh namun dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah daripada kuartal sebelumnya.

< India, Afrika Selatan dan Indonesia berhasil mencetak angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

ↆↆↆ

ↆↆ

ↆↆↆ

Indonesian Economic Review and Outlook28

2. Harga Minyak Dunia Terus Turun Akibat OPEC Terus Menggenjot Produksinya Seperti Biasa

Gambar 40 Indeks Komoditas

Indeks komoditas terus menurun hingga Desember 2010-2015

Sumber: Bank Dunia dan Index Mundi (2016)

Tiongkok meninggalkan utang yang besar karena pembangunan konstruksi besar-besaran dan kelebihan kapasitas di beberapa industri.

< Rendahnya harga komoditas diikuti oleh rendahnya inflasi. Harga minyak mentah diprediksi akan turun lagi.

< Saudi Arabia masih akan memompa minyak mentah secara maksimal, untuk membanjiri pasar minyak mentah dunia.

< Hal ini salah satujnya akan memaksa produsen berbiaya tinggi keluar dari pasar.

< Arab Saudi sejauh ini masih mampu menerima harga minyak mentah yang terus turun.

< Sedangkan produksi minyak AS tetap tinggi dan eropa telah mengangkat sanksi perdagangan untuk Iran, sehingga minyak bisa mengalir lagi.

Gambar 41 Grafik Harga Batu bara dan Minyak Mentah Jenis Brent dan West Texas Intermediate, Desember 2010 – 2015

Oversupply terus berlanjut, permintaan dunia lemah, harga minyak dan batu bara turun

Sumber: Bank Dunia dan Index Mundi (2016)

Harga minyak mentah dunia diprediksi masih akan menurun apabila OPEC tidak menurunkan target lifting minyaknya.

< Arab Saudi membutuhkan harga minyak mentah sebesar USD 85 per barel untuk membiayai pengeluaran publiknya dan butuh USD 60 per barel untuk menjaga transaksi berjalan.

< Lebih lanjut lagi, cadangan devisa yang dimiliki oleh Arab Saudi masih mampu menahan perekonomian Arab Saudi jika harga minyak mentah mneyentuh USD 30 per barel.

Turunnya harga minyak mentah ini telah menurunkan jumlah pengoperasian kilang minyak di Amerika Serikat.

< Kilang minyak di Amerika Serikat yang beroperasi berkurang dari 1500 unit menjadi 538 unit. Namun, produksi AS tetap tinggi.

< Sanksi Eropa terhadap Iran juga telah dicabut, sehingga ekspektasi minyak dari Iran akan mengalir kembali.

< Batu bara diprediksi masih akan menunggu kebangkitan ekonomi Tiongkok.

29Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Gambar 42 Harga Tembaga, Timah, Nikel, dan Bijih Besi, Desember 2010 – 2015

Permintaan mineral dari Tiongkok melemah, harga masih turun

Sumber: Bank Dunia dan Index Mundi (2016)

Tiongkok merupakan importir terbesar logam dari seluruh dunia.

< Saat ini, perekonomian Tiongkok sedang mencari momennya untuk kembali bangkit.

< Harga tembaga jatuh karena penguatan dolar AS yang menutup harapan pemotongan pasokan dari produsen tembaga di Tiongkok.

< Secara umum, permintaan tembaga dari Tiongkok dan dunia sedang melemah.

< Hal yang sama juga terjadi kepada jenis logam seperti timah, nikel, dan besi.

Gambar 43 Harga Jagung, Beras, dan Gandum, Desember 2010 – 2015

Oversupply, harga jagung, beras, dan gandum masih menurun

Sumber: Bank Dunia dan Index Mundi (2016)

Tiongkok memotong harga jagungnya untuk mengurangi stoknya yang berlebihan.

< Hal ini dilakukan agar konsumen domestik membeli jagung domestik daripada menggunakan substitusi jagung yang lebih murah.

< Hal tersebut mempengaruhi harga jagung dunia.

Cadangan beras India mulai menipis.

< Cuaca kurang mendukung produksi padi karena curah hujan yang kurang. Peningkatan harga bisa saja terjadi beberapa bulan ke depan.

< Meski begitu, data menunjukkan penurunan harga beras internasional.

< Perdagangan beras Thailand membaik, pembelian beras dari Tiongkok dan Indonesia berjalan lancar.

< Harga beras mulai stabil. Penurunan harga semakin kecil.

< Kabar kurang baik datang dari gandum. Prediksi pemerintah Amerika Serikat akan tingginya produksi gandum membuat harga gandum turun. Selain itu, permintaan akan gandum juga menurun.

Perkembangan Ekonomi Global dan Pasar Komoditas

Indonesian Economic Review and Outlook30

Gambar 44 Harga Kedelai, Gula, dan Sawit, Desember 2010 – 2015

Minyak kelapa sawit dan kedelai menurun, harga gula meningkat

Sumber: Bank Dunia dan Index Mundi (2016)

Amerika Serikat dan Brazil sebagai negara pengekspor kedelai terbesar dunia mengalami kelebihan cadangan kedelai.

< Pasokan cadangan kedelai berlebih karena panen yang sangat baik tahun ini.

< Pasokan yang di atas target ini kembali menurunkan harga kedelai dunia.

Peningkatan harga gula terjadi karena pasokan gula di Brazil digunakan untuk mengolah bahan bakar dari ethanol.

< Gula merupakan salah satu sumber pembuatan ethanol.

< Pasokan gula untuk pemanis dan bahan makanan menjadi berkurang.

< Akibatnya, harga gula meningkat. India dan Thailand juga mengalami kekeringan yang menipiskan pasokan gula dunia.

November 2015, Indonesia dan Malaysia membentuk badan yang akan mengatur stabilitas harga sawit melalui pengaturan produksi di pasar global.

< Sebagai 2 negara penghasil 85 persen produksi kelapa sawit dunia, badan ciptaannya akan mampu mengatur harga minyak kelapa sawit dunia.

< Peningkatan harga terjadi karena kekeringan di Indonesia dan pengalihan minyak kelapa sawit untuk biodiesel dari 15 persen ke 20 persen.

< Akibatnya pasokan untuk industri lainnya berkurang. Hal tersebut mengingkatkan harga minyak kelapa sawit.

Gambar 45 Harga Coklat dan Kopi, Desember 2010 – 2015

Coklat semakin mahal, kopi kembali turun harga

Sumber: Bank Dunia dan Index Mundi (2016)

Penurunan harga kopi yang kembali berlanjut ini terpengaruh oleh ekspor kopi dari Viet Nam.

< Produsen kopi terbesar adalah Brazil, diikuti oleh Viet Nam.

< Viet Nam mulai mengekspor kembali kopinya setelah selama setahun menolak menjual di pasar internasional.

< Akibatnya harga kopi internasional kembali turun.

Harga coklat terus merangkak naik.

< Perlu dicermati bahwa saat ini biji coklat merupakan komoditas termahal secara relatif.

< Peningkatan harga terjadi karena cuaca kering disebabkan oleh El Nino mengurangi produksi biji coklat di Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia.

< Peningkatan harga semakin tidak dapat dielakkan lagi karena konsumsi coklat dari negara-negara Eropa tetap tinggi.

H. Isu Terkini

31Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Tahun 2015 sudah kita lewati dengan perjuangan berat. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan 4,7 persen, laju inflasi 3,35 persen. Tahun 2015 bisa saya sebut “aneh” dan sulit diprediksi. Banyak hal yang terjadi secara tak terduga, penuh ketidakpastian, bahkan menyerupai “misteri”. Bayangkan, dalam setahun penuh kita harus menunggu dan menebak, apakah suku AS (Federal Funds Rate, atau FFR) jadi dinaikkan?

Secara substansial, FFR memang harus naik, karena The Fed menginginkan normalisasi keadaan. Di awal krisis subprime mortgage tahun 2008-2009, suku bunga rendah diperlukan untuk menstimulasi perekonomian dari sisi moneter. Sedangkan dari sisi fiskal yang diperlukan adalah stimulus anggaran, sehingga defisit APBN AS pernah mencapai 9 persen terhadap Produk Domestik Bruto.

Kini, perekonomian AS sudah berangsur-angsur pulih. Indikasinya sudah mulai terasa sejak Mei 2013. Pada saat itu, absorpsi tenaga kerja mulai meningkat, yang terindikasi dari variabel non-farm payroll (tenaga kerja di sektor non-pertanian) yang rata-rata mulai menembus 200.000 orang per bulan. Sejak saat itulah kurs dollar AS mulai menguat terhadap seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah. Dengan kata lain, rupiah mulai melemah (terdepresiasi) terhadap dollar AS.

Karena itu, The Fed (bank sentral AS) mencanangkan pemberhentian kebijakan quantitative easing (cetak uang) yang sudah dilakukan sejak 2009 hingga 2013, sejumlah USD 4,2 triliun. Suku bunga The Fed yang era Ketua The Fed Ben S. Bernanke diturunkan dari 5 persen menjadi mendekati nol (0,25 persen). Di era penggantinya, Janet Yellen, suku bunga akan dinaikkan secara bertahap. Jika suku bunga tidak dinaikkan, Yellen khawatir likuiditas besar tersebut rawan dipakai kegiatan spekulasi yang menyulut ketidakpastian. Dalam kondisi normal, suku bunga setidaknya 2 persen, sebagaimana terjadi di era Ketua The Fed Alan Greenspan, sejak 1990-an.

Tapi rencana tersebut tidak berlangsung mulus. Dunia tercekam dalam penantian kenaikan suku bunga yang berkepanjangan. Setiap menjelang rapat The Fed, pasar lebih dulu “mencuri start”, dengan menaikkan permintaan terhadap dollar AS. Akibatnya, kurs dollar AS pun menguat terhadap seluruh mata uang dunia.

Imbasnya buruk terhadap rupiah. Karena kondisi fundamental yang lemah—terutama karena struktur ekspor terlalu bias terhadap poduk-produk primer yang harganya jatuh—maka rupiah pun dicekam sentimen negatif yang besar. Rupiah sempat terdampar ke IDR 14.700 per USD pada Oktober 2015, sebuah level yang tidak semestinya.

Selain “misteri” suku bunga AS yang akhirnya dinaikkan juga dari 0,25 persen menjadi 0,5 persen pada 16 Desember 2015, masih ada satu misteri lagi yang membingungkan. Harga minyak dunia yang masih setinggi USD 115 per barrel pada pertengahan 2014, terus meluncur turun dan mencapai level terendah di bawah USD 35 per barel. Ini sungguh luar biasa dan tak terbayangkkan oleh ekonom mana pun.

Perusahaan investasi Goldman Sachs bahkan meramalkan, bahwa harga minyak bisa meluncur ke USD 20 per barel pada 2016. Alasannya, suplai minyak dunia saat ini jauh melampaui kebutuhan. Padahal, negara penghasil minyak terbesar (Arab Saudi) dan pemilik cadangan minyak terbesar (AS) tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menurunkan produksinya. Seolah mereka ingin menepuk dada, mau seberapa rendah harga minyak, mereka sanggup meladeninya (how low can you go?). Muncul rumor, bahwa Arab Saudi memang sengaja ingin memukul perekonomian Iran, sedangkan AS ingin memukul Rusia.

Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan meramalkan harga minya dunia pada 2016 bakal menukik ke USD 15 per barel, lebih pesimistis daripada Goldman Sachs maupun Morgan Stanley. Pemerintah dalam ABN 2016 malah terlanjur memproyeksikan harga minyak dunia USD 50 per barel. Ini hampir mustahil, dan Kementerian Keuangan harus segera merevisinya.

Penurunan harga minyak yang mencapai 70 persen tersebut menimbulkan ambiguitas. Di satu pihak, kita memang senang karena pemerintah tidak perlu lagi menyediakan subsidi BBM pada APBN 2016. Bayangkan, pada akhir era Presiden Yudhoyono, subsidi BBM pernah mencapai Rp 350 triliun pada APBN 2014. Itu jumlah yang luar biasa besar, karena ongkos pembangunan MRT di Jakarta saja “hanya” IDR 30-an triliun.

“Nawa Cita” Tak Bisa Dicapai dengan Tergopoh-Gopoh

A. Tony PrasetiantonoDosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM;

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Indonesian Economic Review and Outlook32

Namun di sisi lain, rendahnya harga minyak akan menurunkan penerimaan negara, sekaligus bisa menyebabkan efek domino bagi harga komoditas lain, terutama batu bara. Situasi menjadi kian runyam tatkala pemerintah Tiongkok sudah gemas dan ingin menurunkan polusi udara dahsyat yang disebabkan oleh industri berbahan bakar batu bara di Beijing dan Shanghai. Penurunan permintaan batu bara dari Tiongkok akan semakin memukul produsen batu bara Indonesia.

Namun demikian, tahun 2016 tidak sepenuhnya menjadi tahun suram bagi Indonesia. Kepastian The Fed menaikkan FFR tidak serta merta menyebabkan rupiah terpuruk. Saya yakin bahwa pasar pun akan menyadari, bahwa rupiah sesungguhnya sudah terlalu murah (undervalued), sehingga tak cukup alasan untuk melemah lebih jauh.

Kemajuan pembangunan infrastruktur yang getol dilakukan Presiden Jokowi akan mengirim sinyal positif kepada investor global agar mereka harus mengalirkan kembali dananya ke Indonesia. Kemampuan mengendalikan inflasi pada 2015 juga mengesankan. Inflasi tahun 2015 dapat ditahan di level 3,35 persen.

Meski inflasi rendah mengandung konotasi melemahnya gairah berkonsumsi dan ketakutan produsen untuk menaikkan harga, namun pencapaian ini tetap mengesankan. Tidak semua negara emerging markets memiliki inflasi rendah. Inflasi di Brasil mencapai 10 persen, Turki 8 persen, sedangkan Rusia bahkan 15 persen. India yang pertumbuhan ekonominya tinggi (7,4 persen), inflasinya pun cukup tinggi 5,4 persen.

Rendahnya inflasi dan stabilitas rupiah akan menjadi modal terpenting bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI rate dari 7,5 persen menjadi 7,25 persen. Selanjutnya, hal ini akan memicu pertumbuhan kredit menjadi sekitar 10-15 persen pada 2016. Pada 2015, pertumbuhan kredit hanya 10 persen, atau jauh di bawah kondisi normal di atas 20 persen.

Hal lain yang harus dilakukan Presiden Jokowi adalah memastikan apakah paket-paket deregulasi yang sudah diluncurkan benar-benar bisa diimplementasikan ataukah tidak. Jangan sampai deregulasi hanya menjadi slogan Presiden dan menteri, namun tidak dapat dieksekusi pada level implementasi di pejabat-pejabat di bawah Menteri. Ini tidak boleh terjadi.

Pekerjaan rumah besar lain adalah penerimaan pajak. Setelah tahun ini bakal terjadi kekurangan penerimaan (shortfall) hingga IDR 244 triliun (dari target penerimaan pajak IDR 1.294 triliun hanya tercapai IDR 1.050 triliun), hal ini masih berpotensi terulang lagi pada 2016. Menteri Keuangan mestinya lebih realistis dalam menentukan target pajak. Masalahnya, mungkin saja skenario tersebut memang dikehendaki Presiden. Presiden ingin secara cepat mewujudkan Nawa Cita (swasembada dalam bidang-bidang ekonomi, termasuk keuangan negara, APBN).

Akibatnya, “daftar belanjaan” dalam APBN menjadi banyak. Presiden ingin cepat membangun infrastruktur di mana-mana di luar Jawa: Papua, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur. Ini tentu saja bagus. Namun sayangnya, hal ini tidak didukung oleh kondisi perekonomian yang kondusif. Penerimaan negara yang berasal dari pajak tidak mampu menjawab keinginan belanja yang besar tersebut. Akibatnya, karena shortfall pajak, pemerinta terpaksa harus menambah utang untuk menutup kekurangan pajak. Defisit anggaran pun membengkak menjadi 2,8 persen terhadap PDB. Memang masih di bawah 3 persen (amanat Undang-undang), namun Kementerian Keuangan sampai tergopoh-gopoh melakukannya, dan Direktur Jenderal Pajak sampai mengundurkan diri.

Swasembada ekonomi tentu merupakan impian kita semua, namun untuk mencapainya tidak bisa dilakukan secara tergopoh-gopoh. Semua harus melalui tahap-tahap, tidak ada yang instan. Pada 2016, pemerintah harus tetap memprioritaskan stabilitas rupiah, kemudian menurunkan suku bunga secara bertahap yang bisa mendorong investasi, dan akhirnya itu naikkan penerimaan pajak secara signifikan dalam rangka Nawa Cita. Mata rantai inilah yang mestinya dirajut pada 2016.

33Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Meningkatnya tekanan terhadap perekonomian Indonesia pada akhir 2015 menyebabkan kinerja perekonomian Indonesia berada pada tahap yang cukup mengkhawatirkan. Terdepreasianya rupiah terhadap US dolar secara tajam, ditambah dengan lesunya perdagangan saham di BEI, isu kenaikan Federal Funds Rate, devaluasi mata uang Tiongkok serta kondisi non-ekonomi yang turut menghiasi headline di berbagai media di tanah air seolah-olah menjadi indikator awal akan munculnya krisis ekonomi. Kegamangan demi kegamangan yang dilontarkan beberapa pelaku ekonomi di dalam negeri seakan membenarkan apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi terkait dengan masa depan perekonomian di Indonesia.

Sempat timbul kekhawatiran bahwa krisis ekonomi akan terulang. Hal ini sangat beralasan karena ada beberapa kemiripan tentang kondisi perekonomian di penghujung 2015 lalu dengan masa-masa menjelang terjadinya krisis keuangan Asia 1997, diantaranya adalah terdepresiasinya nilai tukar mata uang regional, memburuknya kinerja perdagangan, meningkatnya inflasi, serta melambatnya pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, kondisi politik yang relatif stabil dan kuatnya sistem perbankan dan keuangan di tanah air menjadi satu pembeda yang sangat jelas antara kondisi sekarang dengan 18 tahun yang lalu. Satu hal yang penting untuk dicatat bahwa hingga akhir 2015, indikator-indikator ekonomi makro tidak menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan terkait dengan kinerja perekonomian di tanah air.

Apa yang sesungguhnya menjadi faktor penentu mengapa perekonomian Indonesia tetap bergerak optimis sehingga terhindar dari kondisi buruk seperti yang banyak dikhawatirkan? Tentu ada banyak faktor yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada perekonomian Indonesia 2015 lalu. Diantaranya adalah dengan mengamati faktor eksternal yang sering kali dijadikan sebagai “kambing hitam” atas buruknya kondisi domestik. Sehingga layak untuk kita pertanyakan apakah faktor eksternal benar-benar memainkan peran penting sehingga naik turunnya tensi ekonomi sangat dipengaruhi oleh keberadaanya. Jika benar bahwa faktor eksternal merupakan penyebab utamanya maka seharusnya hal ini telah menjadi pertimbangan dalam pengelolaan resiko terkait dengan semakin terbukanya perekonomian kita. Dengan demikian kita tidak gampang menuduh faktor eksternal menjadi biang kegaduhan perekonomian dalam negeri hanya ketika kondisinya memburuk, namun juga siap mengakui bahwa faktor eksternal menjadi penolong perekonomian domestik ketika kondisi ekonomi membaik.

Disisi lain, boleh jadi terhindarnya perekonomian Indonesia dari keterpurukan karena ditopang oleh kerja pemerintah dalam memberikan sinyal-sinyal ke pasar melalui 7 paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan sejak awal September hingga awal Desember 2015 setelah sebelumnya diawali dengan pergantian beberapa anggota Kabinet Kerja terutama di bidang ekonomi. Tidak semua kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah direspon oleh pasar secara langsung terutama yang terkait dengan upaya peningkatan daya beli masyarakat, penyediaan infrastruktur, perbaikan iklim investasi dan lain sebagainya yang membutuhkan waktu relatif lama dalam implementasinya. Dengan diterbitkannya serangkaian paket kebijakan ekonomi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memiliki rasa percaya diri dan optimisme yang cukup tinggi untuk dapat menghindari krisis ekonomi. Percaya diri dan optimisme yang dimiliki oleh pemerintah ini sangat diperlukan namun harus berada pada ukuran yang proporsional agar tidak masuk pada kondisi yang overconfidence.

Berkaca pada krisis keuangan global 2007, dimana pasar keuangan gagal dalam menjalankan dua hal, yaitu (i) mengelola dan mendistribusikan resiko, (ii) mengalokasikan investasi secara efektif. Dan bersamaan dengan itu, pemerintah dan lembaga pembuat peraturan lainnya juga gagal dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk memantau dan mengendalikan aktivitas keuangan. Akan tetapi, dibalik itu semua banyak pihak yang percaya bahwa penyebab krisis pada waktu itu ada pada kepercayaan (trust) dan keyakinan (confidence). Joseph E. Stiglitz, penerima Nobel di bidang ekonomi 2001, berpendapat bahwa krisis keuangan global (2007) berawal dari runtuhnya keyakinan para pelaku pasar terhadap perekonomian global. Lebih lanjut, Stiglitz juga menyatakan bahwa pasar keuangan bergantung pada kepercayaan dan kepercayaan telah mengalami erosi.³

Membangun Kepercayaan, Memperkokoh Perkonomian

Amirullah Setya HardiDosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

³ J.E. Stiglitz : The fruit of hypocrisy; Guardian, 16 September 2008. http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2008/sep/16/economics.wallstreet

Isu Terkini

Indonesian Economic Review and Outlook34

Keputusan yang diambil oleh para pelaku pasar dibuat dengan mempertimbangkan banyak hal dimana kepercayaan dan keyakinan termasuk didalamnya. Keputusan menjual atau membeli saham yang direfleksikan melalui pergerakan harga saham dapat juga digunakan sebagai gambaran tingkat kepercayaan serta keyakinan para investor terhadap kondisi di pasar. Demikian juga keputusan untuk membeli atau menjual mata uang asing yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai tukar mata uang domestik juga memiliki peran yang penting dalam pembentukan indikator ekonomi makro harian. Keputusan konsumen untuk membeli atau menunda pembelian juga akan mempengaruhi permintaan terhadap suatu produk yang tentu saja akan berdampak pada tingkat penjualan produk.

Bank Indonesia mencatat bahwa sepanjang 2015 Consumer Confidence Index (CCI) berada diatas 100 (yang mengindikasikan tingkat optimisme konsumen) kecuali pada September hingga Oktober 2015. Setelah sebelumnya mencapai angka indeks yang cukup tinggi pada Agustus 2015 yaitu sebesar 112.8, CCI menurun drastic pada September 2015 hingga mencapai 97.5 yang menunjukkan pesimisme konsumen dalam negeri. Meskipun mulai membaik, namun hingga Oktober 2015 CCI masih menunjukkan nilai dibawah 100. Dua bulan menjelang berakhirnya 2015, CCI meningkat sedikit demi sedikit melampaui 100. Kondisi ini setidaknya memberikan gambaran bahwa tingkat kepercayaan konsumen mulai mengalami peningkatan pada November hingga Desember 2015.

Dalam konteks ini, apakah kedudukan kepercayaan investor (investor trust) sama dengan keyakinan investor (investor confidence)? Penjelasan yang cukup menarik diberikan oleh Tonkiss (2009) yang memberikan ilustrasi tentang perbedaan antara trust dan confidence.⁴ Dalam kasus sebuah perbankan memutuskan melepas dananya pada pasar uang antar bank, jika bank tidak memiliki informasi yang valid tentang aset dan kewajiban bank lainnya telah membuat bank tidak memiliki dasar yang kuat untuk mengambil keputusan. Kondisi ini membuat bank tersebut tidak memiliki keyakinan (confidence) bahwa bank peminjam akan mampu membayar kembali pinjamannya. Atau sebaliknya, jika bank menduga bahwa bank peminjam berbohong atas nilai asetnya maka kondisi ini menggambarkan adanya kegagalan kepercayaan (trust). Contoh lain, misalnya seorang investor membuat keputusan untuk membeli saham suatu perusahaan tertentu berdasarkan pada performa perusahaan, perkembangan harga saham, strategi perusahaan dan lain sebagainya maka keputusan perusahaan tersebut diambil berdasarkan pada keyakinan (confidence). Namun, apabila keputusan investor untuk membeli saham suatu perusahaan hanya karena investor mengenal pemilik perusahaan, maka keputusan yang diambil tersebut didasarkan atas kepercayaan (trust).

Para peneliti ekonomi mempercayai adanya hubungan positif antara kepercayaan sosial dengan kesejahteraan ekonomi.⁵ Ada dua hal yang dapat dibedakan terkait dengan trust, yaitu kepercayaan antar individu (interpersonal trust) serta kepercayaan pada kelembagaan ekonomi dan politik (systemic trust). Terkait dengan kepercayaan, apakah dapat dikatakan bahwa kepercayaan lebih dekat dengan penilaian subyektif, suka atau tidak suka? Jika benar demikian, maka membangun perekonomian atas dasar trust akan lebih rumit mengingat masing-masing orang akan memiliki penilaian yang berbeda terhadap suatu hal. Di sisi lain, keyakinan dibangun berdasarkan pada hal-hal obyektif yang dapat diamati oleh semua pihak serta dapat pula dibangun berdasarkan dokumen-dokumen hukum misalnya peraturan-peraturan pemerintah ataupun kontrak. Kondisi ini tentunya akan memudahkan para pelaku pasar untuk menggunakan informasi-informasi yang valid dan reliable dalam proses pengambilan keputusan.

Dari apa yang telah diuraikan, ada baiknya kita sedikit berhati-hati terkait dengan membaiknya perekonomian Indonesia setelah sempat berada pada zona yang mengkhawatirkan di penghujung 2015. Kebijakan-kebijakan yang telah dan akan diambil oleh pemerintah saat ini melalui paket-paket kebijakan ekonominya, secara teori dapat diartikan sebagai upaya untuk membangun keyakinan pasar (market confidence). Namun, kebijakan-kebijakan yang tidak konsisten dalam pelaksanaannya akan menjadi bumerang bagi pemerintah karena justru akan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) para pelaku pasar. Dan apabila kondisi ini yang terjadi maka harapan untuk memperkokoh perekonomian justru akan menjadi sebaliknya, yaitu melemahnya aktivitas perekonomian di tanah air karena tidak ada lagi kepercayaan para pelaku pasar terhadap institusi politik dan ekonomi (systemic trust). Untuk itu, pemerintah saat ini masih perlu membuktikan kepada pasar bahwa mereka konsisten dalam menjalankan setiap kebijakan yang telah dan akan diambil secepat mungkin. Dengan cara ini diharapkan agar kepercayaan para pelaku pasar benar-benar terbangun dan pada akhirnya mampu menumbuhkan keyakinan (confidence) dalam membangun perekonomian ke arah yang diinginkan.

⁴ Fran Tonkiss: Trust, Confidence and Economic Crisis. Intereconomics, July/August 2009. DOI: 10.1007/s10272-009-0295-x

⁵ Beberapa diantaranya adalah P. F. Whiteley: Economic growth and social capital, in: Political Studies, No. 48, 2000, pp. 443-466; P. J. Zak, S. Knack: Trust and

growth, in: Economic Journal, No. 111, 2001, pp. 295-321

35Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

The Federal Funds Rate, BI, dan Siklus Bisnis*

Muhammad Edhie Purnawan, PhDDosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM;

Wakil Dekan, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM

“Mengatur suku bunga itu bagai menginjak pedal gas mobil.”

Mengapa suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) masih tetap 7.5 persen, sejak Februari 2015, sementara pemerintah dan pelaku bisnis telah lama menantikan BI rate turun? Inilah pertanyaan yang beberapa waktu belakangan ini beredar-edar dalam pertemuan-pertemuan di kalangan para pengusaha, perbankan, lembaga keuangan, pemerintah, maupun akademisi.

Secara intuitif, jawaban dari pertanyaan itu saya nilai adalah karena saat ini, magnet terkuat perekonomian dunia masih berpusat di FOMC (Federal Open Market Committee). FOMC ini adalah sebuah sistem pusat di dalam institusi badan kebijakan moneter the Federal Reserve System (The Fed) di Amerika. Adalah Janet L. Yellen, gubernur bank sentral Amerika (chair of the Board of Governors pada Federal Reserve System) yang menjadi pusat magnetnya. Dr. Yellen menjabat gubernur bank sentral Amerika sejak 3 Februari 2014, dan sekaligus juga menjadi chair pada FOMC. Dr. Yellen beberapa bulan terakhir ini telah menyatakan bahwa policy normalization akan terus diimplementasikan oleh The Fed, sejurus dengan membaiknya perekonomian Amerika.

Sebelum membahas lebih jauh mengapa perlu dilakukan normalisasi kebijakan suku bunga, terlebih dahulu harus dipahami, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan the Federal Funds Rate (FFR), apa yang mesti dilakukan oleh Bank Indonesia merespon perubahannya, bagaimana dampak shock FFR pada siklus bisnis dan utamanya terhadap iklim bisnis di Indonesia?

Federal Funds Rate (FFR) adalah suku bunga antarbank sebagai biaya pinjam-meminjam cadangan bank (bank reserves) yang ditempatkan oleh perbankan umum pada bank sentral Amerika dalam durasi semalam (overnight). Proses pinjam-meminjam ini dilakukan tanpa agunan (non-collateralized). Biasanya, lembaga keuangan dengan saldo berlebih (surplus) meminjamkan saldo rekening mereka kepada lembaga yang kekurangan (deficit).

Federal Funds Rate ini merupakan suku bunga acuan yang sangat penting bagi pelaku pasar finansial, baik di Amerika maupun di seluruh penjuru negeri. Pelaku di pasar Federal Funds ini antara lain adalah perbankan komersial, lembaga simpan-pinjam, perusahaan yang disponsori oleh pemerintah, cabang bank asing yang beroperasi di Amerika, badan federal, dan perusahaan sekuritas. Lembaga keuangan yang size-nya relatif kecil, dan yang memiliki akumulasi excess reserves melebihi peraturan, bisa meminjamkan cadangan bank mereka kepada bank-bank regional, bank-bank besar, misalnya kepada J.P. Morgan dan Citibank, serta bank-bank asing yang beroperasi di Amerika, selama semalam. Agen-agen federal biasanya juga memanfaatkan dana idle-nya untuk dipinjamkan ke pasar Federal Funds.

Dari sisi histori, data perkembangan FFR efektif (deal antarbank dengan acuan FFR) yang dipublikasikan oleh Board of Governors, Federal Reserves System, per 1 Juli 1954 sampai dengan 1 Januari 2016, dipaparkan pada grafik berikut ini.

Isu Terkini

*) Versi lain dimuat pada Majalah SWA Edisi 07/XXXII/31 Maret - 13 April 2016, Halaman 18 - 19.

Indonesian Economic Review and Outlook36

Disamping untuk memaksimalkan employment dan mengendalikan inflasi, the Fed menggunakan FFR sebagai instrumen untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi. Makin rendah FFR, maka makin longgar likuiditas, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat diakselerasi dengan suku bunga rendah ini. Karena itu, FFR menjadi variabel suku bunga yang paling penting dibandingkan dengan seluruh jenis suku bunga yang lain, dan telah terbukti, bahwa pengaruh FFR menyebar mempengaruhi perekonomian seluruh penjuru dunia.

Sektor perbankan Amerika menggunakan FFR sebagai acuan bagi semua suku bunga jangka pendek. Termasuk yang menjadikan FFR sebagai anchor adalah LIBOR (London Interbank Offer Rate), yang merupakan suku bunga antarbank satu bulanan, tiga bulanan, enam bulanan, satu tahunan pinjaman, dan suku bunga prime rate (suku bunga kepada pelanggan proritas). Begitu pula FFR ini mempengaruhi tingkat bunga deposito, kredit, kartu kredit, dan suku bunga hipotik. Makin tinggi FFR, maka makin tinggi pula semua jenis bunga perbankan di Amerika, demikian pula sebaliknya.

Lalu pertanyaan lain muncul, mengapa Amerika melakukan normalisasi kebijakan suku bunga FFR (target range 0 persen sampai 0,25 persen, lalu naik menjadi 0,25 persen sampai 0,5 persen)? Pada awalnya, jawabannya terkait dengan melemahnya perekonomian Amerika karena krisis yang disebabkan oleh bubble harga di sektor perumahan pada tahun 2008, yang diantisipasi oleh The Fed dengan beberapa kebijakan moneter utama, yakni: (a) pada saat Ben Bernanke masih menjabat sebagai gubernur bank sentral Amerika, suku bunga FFR yang semula di atas 5 persen (cukup tinggi, meski masih kalah tinggi dibandingkan dengan suku bunga di jaman Paul Volcker berkuasa, sekitar 20 persen. Suku bunga yang sangat tinggi ini digunakan oleh Paul untuk memerangi inflasi). Lalu di saat Ben berkuasa, ia menurunkan secara agresif FFR sebanyak 10 kali dalam 14 bulan, hingga FFR mencapai titik terendah hampir 0 persen.

Kebijakan suku bunga rendah ini dilakukan oleh Ben untuk melonggarkan likuiditas, yang diharapkan mampu mendorong permintaan domestik, lalu kemudian harapannya bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun ternyata, suku bunga yang rendah tersebut tak mampu menahan gelombang krisis yang semakin memuncak, hingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi Amerika menjadi negatif dan pengangguran mencapai 10 persen. Situasi ini dirasakan oleh masyarakat Amerika sebagai cukup mengerikan.

Kedua, kebijakan utama lainnya adalah (b) pelonggaran jumlah uang beredar di Amerika yang bertujuan untuk mendorong perekonomian melalui relaksasi moneter. Dana dari kebijakan QE (Quantitative Easing) ini digunakan untuk membeli treasury bills dan treasury bonds, serta surat utang swasta. Usaha ini semata-mata untuk menjaga stabilitas harga surat utang. Karena itu, kebijakan ini sebenarnya berdampak buruk kepada The Fed, sehingga kalau kita cermati, maka terlihat bahwa neraca The Fed penuh dengan surat utang, sehingga secara akuntansi, menjadikannya “kurang sehat”.

Meskipun demikian, setelah perekonomian Amerika membaik karena dana stimulus QE ini, mereka mampu menambah ekspor ke beberapa negara di Asia-Pasifik. Bahkan ekonom-ekonom dari institusi Pantheon mengklaim bahwa prestasi ini sebagai yang terbaik memulihkan perekonomian Amerika secara lebih cepat. Karena itu, normalisasi suku bunga dianggap merupakan kebijakan yang tepat, yang harapannya bisa balik lagi ke tingkat sekitar 2 persen sebagaimana tingkat suku bunga yang oleh John B. Taylor (Mary and Robert Raymond Professor of Economics at Stanford University), dinamai sebagai natural rate of interest. Tetapi, kita juga menyaksikan bahwa IMF melalui Managing Director-nya, Christine Lagarde, teman dekat Janet, mengingatkan bahwa janganlah tergesa-gesa menaikkan FFR, apalagi dengan magnitude yang tinggi, karena akan cenderung menyebabkan destabilitas di dalam pasar finansial internasional, terutama di emerging markets. Kalau destabilitas ini benar-benar terjadi secara internasional, maka akan susah mengatasinya, dan biaya kerusakannya pasti akan sangat mahal. Kepentingan Christine yang membawa bendera IMF tentu jauh lebih luas dibandingkan Janet yang hanya memikirkan Amerika. Lalu, Christine bersama tim IMF menyarankan bahwa, jika the Fed akan menaikkan FFR secara tajam, maka lakukanlah di tahun 2016.

Alasan ketiga mengapa FFR dinaikkan adalah (c) karena terjadi perkembangan yang sangat bagus dan cepat dalam perekonomian Amerika, terutama di pasar tenaga kerja yang menyerap sekitar 218 ribu tenaga kerja per bulan, dimana ini adalah dua kali lipat lebih besar daripada periode yang sama setahun sebelumnya. Konsekuensi penyerapan tenaga kerja secara massif ini adalah pengangguran yang terus menurun, menjadi hanya sekitar 5 persen. Lalu alasan lainnya adalah (d) karena normalisasi ini merupakan refleksi keyakinan FOMC terhadap kesinambungan perbaikan perekonomian, khususnya bakal tercapainya dua target utama The Fed, yaitu maximum employment dan tingkat inflasi 2 persen disebutkan on the right track, serta FOMC berjanji akan terus memonitor dan mengawal progres terhadap kedua tujuan ini.

Secara demikian, saya memandang bahwa di awal tahun 2016 ini, Bank Indonesia masih tetap perlu waspada dan berhati-hati mengendalikan stabilitas sistem keuangan republik ini. Sekali-sekali jangan sampai keliru

37Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

mengambil kebijakan, yang akan direspon secara salah oleh pelaku di financial market dan dampaknya bisa buruk dan berkepanjangan, karena berbeda dengan sektor riil, pasar keuangan memiliki beberapa karakteristik yang sangat idiosinkratik, yang antara lain adalah: leveraging, leptokurtic, dan volatility clustering. Jadi, saya setuju bahwa BI masih membutuhkan waktu sedikit lagi untuk tetap menjaga tingkat kewaspadaan di level yang aman untuk mengendalikan stabilitas sistem keuangan.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dampak shock FFR pada siklus bisnis, dan utamanya terhadap iklim bisnis di Indonesia? Dalam seminal paper yang berjudul The Federal Funds Rate and the Channels of Monetary Transmission (AER, Vol 82, Issue 4, September 1992), Ben Bernanke, mantan Gubernur the Fed dan Alan S. Blinder, profesor ekonomi pada Princeton University, memaparkan bahwa FFR adalah instrumen kebijakan moneter yang sangat informatif mengenai bagaimana perilaku beberapa variabel ekonomi makro di masa yang akan datang, karena FFR secara sensitif mampu mencatat shocks terhadap supply cadangan perbankan yang ditempatkan pada the Fed, sehingga pada akhirnya keduanya menyimpulkan bahwa FFR adalah indikator yang cukup tepat digunakan sebagai monetary policy action.

Beberapa profesor ekonomi lainnya menyatakan bahwa, dibandingkan dengan monetary aggregate (jumlah uang beredar), suku bunga (FFR, misalnya) lebih efektif dijadikan sebagai policy indicator (lihat misalnya kajian empiris maupun teoritis oleh Bernanke (1992); Bernanke (1986), McCallum (1983), dan King (1982), di antara beberapa artikel yang lain). Sebagian besar mereka bersepakat bahwa perubahan kebijakan moneter terjadi 'mendahului' perubahan pada variabel-variabel ekonomi di sektor riil. Belakangan ini, kebijakan FFR yang dilengkapi oleh the Fed dengan QE dapat memberikan stimulus kepada siklus bisnis, dan terbukti lebih kuat pengaruhnya kepada sektor riil.

Khususnnya terhadap shock FFR, hasil studi McCarthy dan Zakrajˇsek (2003) menghitung bahwa simulasi impulse (shock) sebesar 50 bps pada FFR direspon oleh penjualan perusahaan (sales) barang-barang manufaktur yang bersifat durables maksimal naik sebesar 0.5 persen dalam 3 bulan pertama setelah shock. Sedangkan, non-durables naik maksimal 0.2 persen pada 6 bulan pertama. Sementara itu, respon produk akhir di gudang (finished good inventories) jenis durables maksimal naik sekitar 0.4 persen dalam 12 bulan pertama setelah terjadinya shock FFR, dan untuk non-durables, naik sekitar 0.3 persen pada 6 bulan pertama. Seandainya hasil kajian ini masih konsisten sampai sekarang, maka kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Dr. Yellen beberapa waktu yang lalu, sudah tepat. Kenaikan kinerja ekonomi yang ditunjukkan oleh sales maupun finished good inventories, baik barang-barang manufaktur yang tahan lama maupun yang tidak tahan lama, akan memperbaiki kondisi ekonomi riil. Inilah yang membuat perekonomian Amerika akhir-akhir ini menjadi lebih confident. Dan selanjutnya adalah bagaimana dampaknya kepada perekonomian Indonesia?

Hasil riset yang dipublikasikan pada Journal of International Financial Markets, Institutions & Money oleh Kishor dan Marfatia (2012), dengan periode observasi dari 1994 – 2008, menunjukkan bahwa penurunan FFR sebesar 25 bps akan menaikkan IHSG sebesar 1,7 persen. Sebaliknya, kebijakan kenaikan FFR sebesar 25 bps 16 Desember yang lalu, ternyata sehari setelahnya diikuti oleh kenaikan IHSG sebesar 1,6 persen, lalu juga sehari setelahnya Rupiah menguat sebesar 1,5 persen terhadap dolar Amerika. Jika sampai 6 Januari 2016, dibandingkan posisi saat pengumuman kenaikan FFR (16/12/2015), IHSG menguat 1,7 persen dan Rupiah menguat 0,82 persen. Dengan tetap kuatnya Rupiah dan IHSG, harapannya, tingkat kepercayaan pelaku ekonomi meningkat dan berimbas ke sektor riil yang semakin mantap, apalagi didukung dengan paket-paket kebijakan yang semakin implementatif.

Karena itu, saya membayangkan pada 2016 ini siklus bisnis dan ekonomi Indonesia akan menunjukkan peningkatan (upward movement) dengan external shock terutama FFR yang minimal (warranted only gradual increases), biaya produksi menurun (didorong karena harga BBM turun).

Karena itu, setelah sekitar 1 tahun sangat berhat-hati dan selalu mempertimbangkan data (data dependent) dalam mengambil keputusan, Bank Indonesia telah memiliki ruang gerak yang cukup untuk mempertimbangkan perubahan suku bunga BI Rate. Demikian pula, karena di tahun baru selalu muncul inspirasi tingginya produktivitas, maka memasuki 2016 ini, adalah sangat elegan beberapa hari yang lalu BI menurunkan BI Rate. Penurunan suku bunga ini akan direspon positif oleh pengusaha, pemerintah, dan kalangan akademisi, sehingga diharapkan dukungan kuat kepada BI dan Pemerintah akan menguat sehingga meningkatkan secara lebih nyata kepercayaan masyarakat.

Sekali lagi, mengatur suku bunga acuan (BI Rate, misalnya) itu bagaikan menginjak pedal gas. Bila BI menekan pedal suku bunga ke bawah, mesin ekonomi akan melaju makin kencang (high economic growth). Sebaliknya, jika pedal suku bunga dilepas (ke atas), maka mobil akan melambat. Meski melaju kencang, namun jangan sampai mesin mobil terlalu kepanasan (overheated inflation) dan jangan pula kehabisan bahan bakar (capital flight). Dengan driver yang mahir, mestinya mobil akan melaju kencang tetapi stabil.

Isu Terkini

Indonesian Economic Review and Outlook38

I. GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI)

Stimulus Fiskal dan Reformasi Kebijakan Mendorong Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia

Gambar 45 Harga Coklat dan Kopi, Desember 2010 – 2015

Coklat semakin mahal, kopi kembali turun harga

Sumber: Tim Macroeconomic Dashboard (2016)

Leading Economic Indicator merupakan salah satu model early warning system untuk memprediksi arah pergerakan ekonomi satu kuartal ke depan.

< GAMA LEI mampu menghasilkan perkiraan siklus perekonomian (PDB) Indonesia dengan akurat. Sejak kuartal IV-2012 sampai kuartal III-2015 GAMA LEI berhasil memprediksi arah pergerakan ekonomi dengan persentase keberhasilan sebesar 83,33 persen.

< GAMA LEI memprediksikan kinerja perekonomian Indonesia yang menunjukkan peningkatan laju pertumbuhan pada kuartal IV tahun 2015. Hal tersebut disebabkan adanya peningkatan kinerja pada beberapa indikator kunci perekonomian Indonesia yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya.

GAMA LEI dihasilkan dengan mengurai komponen penyusun data runtun waktu variabel makro sehingga dihasilkan komponen siklus yang dapat digunakan untuk memprediksikan arah pergerakan ekonomi satu kuartal ke depan.

< Kinerja pada variabel makro seperti tingkat ekspor, investasi, penjualan semen, cadangan devisa, indeks harga saham gabungan, dan lain sebagainya menjadi beberapa variabel kandidat yang diuji karena memiliki pengaruh cukup signifikan pada kondisi perekonomian Indonesia.

< Pada akhirnya, GAMA LEI merupakan variabel komposit yang disusun oleh beberapa indikator yang telah melewati uji statistik yang ketat.

< Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa beberapa indikator ekonomi makro lainnya dapat berubah dengan cepat dalam beberapa waktu ke depan.

Hasil prediksi GAMA LEI pada edisi ini menghasilkan adanya kecenderungan peningkatan siklus perekonomian (PDB) Indonesia.

< Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 46, GAMA LEI pada kuartal IV tahun 2015 menunjukan arah pergerakan yang meningkat. Pergerakan GAMA LEI yang meningkat tersebut menjelaskan prediksi peningkatan siklus perekonomian (PDB) Indonesia pada kuartal IV tahun 2015.

< Kondisi tersebut dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan siklus dari indikator yang menyusunnya yaitu (1) cadangan devisa, (2) capital adequacy ratio, (3) harga batu bara, (4) realisasi investasi luar negeri, (5) loan to deposit ratio, (6) kapitalisasi pasar saham BEI, (7) penjualan semen, (8) return on assets, (9) indeks harga saham gabungan, (10) indeks harga saham Singapura, (11) indeks harga saham New York, dan (12) ekspor.

Prediksi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi ini diakibatkan karena terdapat kenaikan belanja pemerintah yang cukup signifikan, dan adanya reformasi kebijakan.

< Stimulus fiskal terutama yang diperuntukan untuk pembangunan infrastruktur diperkirakan mengambil peran penting dalam prediksi pertumbuhan ekonomi ini.

< Implementasi dari paket kebijakan pemerintah juga terbukti mendorong investasi.

< Di sisi lain, konsumsi rumah tangga domestik yang masih tetap kuat juga mendorong pertumbuhan ekonomi meskipun pertumbuhannya lebih lambat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

< Kuatnya konsumsi rumah tangga ini tetap kuat diperkirakan karena adanya pelaksanaan pilkada.

J. Economic Outlook

39Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada

Meningkatnya Market Confidence adalah frase kunci ekonomi Indonesia dan global secara umum selama kuartal IV-2015. Optimisme ekonomi global yang lebih kuat muncul seiring dengan tipisnya kenaikan Federal Funds Rate (FFR) yang hanya sebesar 25 bps (dari rentang 0 – 0,25 persen menjadi 0,25 – 0,5 persen) pada Desember 2015 lalu. Kemudian, ekonomi domestik membaik pada kuartal III-2015 dan diperkirakan akan berlanjut pada kuartal IV-2015 ini. GAMA LEI yang kami susun juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2015 akan lebih baik dari kuartal sebelumnya. Analisis dari Tim Macroeconomic Dashboard memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh di kisaran 4,8 – 5 persen y-o-y, sementara lembaga-lembaga internasional memprediksi di kiasan 4,7 – 4,9 pada 2015.

Optimisme pasar pada kuartal IV-2015 dapat berlanjut dengan mengacu pada beberapa faktor. Dari sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2015 lebih baik dari kuartal sebelumnya. Sementara itu, pelaksanaan Pilkada serentak serta liburan panjang Hari Raya Natal dan tahun baru akan meningkatkan konsumsi. Kemudian, serapan anggaran belanja pemerintah diperkirakan kembali membaik. Dengan begitu, ekonomi diperkirakan akan tumbuh lebih baik lagi pada kuartal IV-2015.

Dari sisi eksternal, pasar masih memperkirakan akan terjadi kenaikan FFR susulan pada 2016. Meski begitu, fluktuasi pasar akan lebih stabil dan dapat diperkirakan. Rencana ECB untuk melanjutkan kebijakan moneter longgar dapat menjadi kabar baik bagi pasar finansial domestik. Kemudian, harga minyak dunia diprediksi akan masih di level yang rendah. Di satu sisi biaya produksi ekonomi akan murah, tetapi di sisi yang lain akan memperburuk situasi di pasar komoditas substitusi minyak dunia. Harga komoditas ekspor andalan Indonesia akan semakin terpuruk jika hal tersebut terjadi. Sektor tersebut diperkirakan tidak akan berkembang pada 2016, sehingga Indonesia perlu menyiapkan rencana strategis untuk shifting menuju ekspor komoditas olahan berbasis industri manufaktur. Era ekonomi komoditas sudah hampir berakhir. Respons kebijakan pemerintah akan sangat dinanti. Paket-paket kebijakan ekonomi, telah terbit delapan seri, merupakan langkah baik yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya mengelola optimisme ekonomi Indonesia. Namun, hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah efektivitas dari paket kebijakan tersebut.

Kemudian, memasuki era baru pola kerja sama multilateral, Indonesia juga perlu menyiapkan tiga fondasi. Pertama, pengembangan SDM yang baik dapat menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sehingga tidak hanya mengandalkan hasil alam sebagai basis ekonomi. Saat ini Indonesia akan mengalami demographic boom yang telah dimulai 2010 hingga 2030. Jika tidak dimanfaatkan hal tersebut akan menjadi masalah baru bagi ekonomi di masa depan. Kedua, stabilitas makroekonomi dan politik. Stabilitas eksternal Indonesia masih rentan jika tidak fundamental ekonomi tidak dikelola dengan baik. Ketiga, struktur industri harus diperkuat sehingga dapat menjadi tulang punggung bagi Indonesia ke depannya. Penguatan struktur industri dapat dilakukan dengan inovasi dan penggunaan teknologi canggih tepat guna. Untuk mendukung hal tersebut, tentu diperlukan regulasi dan insentif yang tepat sebagai stimulus.

Kebijakan pemerintah selanjutnya yang ditunggu adalah tax amnesty pada 2016. Perlu diperhatikan adalah, target pajak yang ditetapkan dalam APBN 2016 adalah IDR 1.546 triliun, meningkat 3,75 persen dari APBNP 2015. Padahal, target pajak dari APBNP 2015 tersebut tidak tercapai, justru mengalami shortfall yang besar. Kemudian pertanyaannya adalah, apakah tax amnesty dapat meningkatkan pendapatan pajak, atau setidaknya dengan shortfall yang kecil? Jika kembali diperkirakan tidak dapat tercapai di akhir 2016, tentu optimisme pasar akan kembali melempem. Memelihara optimisme di tengah situasi ekonomi yang belum mantap memang penting, namun di sisi lain jika terlalu optimistis bisa menjadi bumerang.

Risiko juga muncul bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Tiongkok merupakan pasar sekaligus produsen nomor dua dunia, saat ini mengalami perlambatan. Dengan perannya tersebut, pelemahan ekonomi Tiongkok dapat berimbas pada proses pemulihan ekonomi global. Pasar saham dunia dapat kembali merosot—seperti yang terjadi pada “Black Monday” 24 Agustus 2015—karena sentimen negatif dari pasar saham Tiongkok. Pasar saham Indonesia juga dapat terdampak jika fundamental Indonesia belum membaik. Namun, imbas langsung pada Indonesia adalah penurunan ekspor—utamanya berkurangnya permintaan batu bara.

Ke depannya, ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh lebih baik. Namun, pada level yang moderat jika menilik pada beberapa faktor di atas. Kemudian, ditambahkan dengan pola siklus penyerapan anggaran pemerintah yang lambat, ekonomi dapat tumbuh di rentang 4,5 – 4,8 persen y-o-y pada kuartal I-2016.

INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOK

TIM MACROECONOMIC DASHBOARD

MACROECONOMIC DASHBOARD

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pertamina Tower Lt. 4 Ruang 4.4

Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Telp: +62 274 548 517 ext 373

Fax: +62 274 551 208

Email: [email protected]

Website: www.macroeconomicdashboard.com

Muhammad Edhie PurnawanHead of Researcher

[email protected]

+62 274 548 517 ext 373

Traheka Erdyas BimanatyaResearch Assistant

[email protected]

+62 274 548 517 ext 373

Dhian KaryantonoResearch Assistant

[email protected]

+62 274 548 517 ext 373

Prabaning TyasResearch Assistant

[email protected]

+62 274 548 517 ext 373

Galih AdhidharmaResearch Assistant

[email protected]

+62 274 548 517 ext 373

Umi Fitria Ridya RahmawatyResearch Assistant

[email protected]

+62 274 548 517 ext 373

Hanggawe Sadoyo KusumoResearch Assistant

[email protected]

+62 274 548 517 ext 373

Mohammad Rizki HutomoResearch Assistant, Web Admin, and Layout

[email protected]

+62 274 548 517 ext 373