NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

16
1 NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN Implementasi Filosofi ‘TRIHITAKARANA’ di Bali. Disusun oleh : Ida Bagus Rabindra ABSTRACT The key of success in sustainable development implementation are: involve in community participation, understand and imply local wisdom, arrange synergies between local wisdom and the modern life. All of those keys are include in the process of decision makers policy. The local wisdom as well as community ideology has been proofed that people could live in harmony with the natural environment as their mother nature. Local wisdom and community ideology should synergize with values pattern which accepted by local community. The concept of Trihitakarana means ‘three elements of harmonious causes’ that philosophically based on the Balinese community living. This ideological concept was based on Balinese-Hinduism religion, which believe in ‘harmonious relationship’ human with God, human with human, and human with nature. This article explained: synergize between the Trihitakarana as ideology, environmental system analysis (ESA/ KLHS), and current issues in sustainable green city planning and management. Keywords : implementation, synergize, local wisdom, Trihitakarana, sustainable. PENDAHULUAN Dalam kerangka menjamin terwujudnya ruang nusantara yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, diterbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini mengatur perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Demi efektifnya implementasi undang- undang diatas, maka Kementerian Pekerjaan Umum menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Beberapa solusi cerdas yang dipaparkan dalam Konferensi Nasional Smart Green City Planning yang dilaksanakan di Werdhapura Village Center, Bali-November 2010, diantaranya mengenai metode penyusunan program pemanfaatan/ pengendalian penataan ruang, penyusunan peraturan zonasi, serta penataan ruang yang berwawasan lingkungan dan berprinsip pembangunan keberkelanjutan melalui pendekatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Transcript of NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

Page 1: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

1    

NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN Implementasi Filosofi ‘TRIHITAKARANA’ di Bali.

Disusun oleh : Ida Bagus Rabindra

ABSTRACT

The key of success in sustainable development implementation are: involve in community participation, understand and imply local wisdom, arrange synergies between local wisdom and the modern life. All of those keys are include in the process of decision makers policy. The local wisdom as well as community ideology has been proofed that people could live in harmony with the natural environment as their mother nature. Local wisdom and community ideology should synergize with values pattern which accepted by local community. The concept of Trihitakarana means ‘three elements of harmonious causes’ that philosophically based on the Balinese community living. This ideological concept was based on Balinese-Hinduism religion, which believe in ‘harmonious relationship’ human with God, human with human, and human with nature. This article explained: synergize between the Trihitakarana as ideology, environmental system analysis (ESA/ KLHS), and current issues in sustainable green city planning and management. Keywords : implementation, synergize, local wisdom, Trihitakarana, sustainable.

PENDAHULUAN

Dalam kerangka menjamin

terwujudnya ruang nusantara yang aman,

nyaman, produktif dan berkelanjutan,

diterbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang

ini mengatur perencanaan tata ruang wilayah

kota harus memuat rencana penyediaan dan

pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas

minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah

kota. Demi efektifnya implementasi undang-

undang diatas, maka Kementerian Pekerjaan

Umum menerbitkan Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang

Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.

Beberapa solusi cerdas yang

dipaparkan dalam Konferensi Nasional Smart

Green City Planning yang dilaksanakan di

Werdhapura Village Center, Bali-November

2010, diantaranya mengenai metode

penyusunan program pemanfaatan/

pengendalian penataan ruang, penyusunan

peraturan zonasi, serta penataan ruang yang

berwawasan lingkungan dan berprinsip

pembangunan keberkelanjutan melalui

pendekatan Kajian Lingkungan Hidup

Strategis (KLHS).

Page 2: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

2    

Latar Belakang

Dalam penataan ruang kota, para pakar

sering mengingatkan akan arti penting The

Hannover Principles 1992, menyangkut ‘Kota

Hijau’ yaitu tentang hak kemanusiaan dan

alam agar diakomodasi dalam pembangunan

kota supaya bisa sehat, beragam dan

berkelanjutan. Diingatkan juga tentang

Gerakan Urbanisme Baru (New Urbanism)

sebagai konsep dengan lima prinsip penangkal

kecenderungan urbanisme brutal sebagaimana

terjadi pada dekade 1980-an. Tak juga kalah

pentingnya memasukkan nilai-nilai kearifan

lokal (local wisdom) dalam setiap proses

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang

dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Negeri ini sesungguhnya begitu kaya

dengan kearifan-kearifan lokal yang sangat

bernilai, namun tak sedikit yang faktanya

diabaikan dan ditinggalkan oleh komunitasnya

sendiri, dikarenakan dianggap usang dan tidak

mudah diimplementasikan untuk memecahkan

masalah kekinian. Salah satu kearifan lokal

yang dinilai para pakar telah memuat prinsip-

prinsip menangkal kecenderungan urbanisme

brutal adalah falsafah Trihitakarana, yang

merupakan pandangan sekaligus landasan

segenap segi kehidupan masyarakat Bali.

Sesungguhnya, pelajaran teramat

penting yang dapat ditarik dari keteladanan

kearifan lokal adalah adanya kesatuan yang

utuh atau kesenyawaan antara warga dan

lingkungan komunitasnya, serta terbentuknya

ikatan sosial (social cohesiveness) yang sangat

kental diantara para warganya.

Permasalahan

Implementasi nilai-nilai kearifan lokal

kedalam proses analisis dan sintesis peme-

cahan masalah perencanaan kota saat ini, tak

semudah yang bisa kita bayangkan dan

harapkan. Dibutuhkan suatu pemahaman

mendalam tentang makna filosofis setiap

kearifan lokal yang ada, dan kecermatan

sosiologis serta kepekaan ideologis dalam

analisis strategis pendekatan metodologis

implementasi nilai intrinsiknya; Khususnya

bagaimana mensinergikannya kedalam pola

dan metoda pendekatan analisis modern,

seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

Metodologi Pemecahan Masalah

Diperlukan upaya sinkronisasi secara

cerdas dan bijak antara dua pola pendekatan

yang berbeda asas dan ideologis ini, dengan

memposisikan keduanya tidak dalam satu aras

kategoris, melainkan komposisi saling mengisi

dan melengkapi; Masing-masing sebagai

kerangka yang mewadahi (container) dengan

isi yang diwadahi (content) secara padu dan

harmoni. Inti upaya ini adalah mengaktualisasi

Page 3: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

3    

potensi nila-nilai intrinsik kearifan lokal yang

terpendam, keatas permukaan kompleksitas

masalah saat ini bagi manfaat pemenuhan

kebutuhan kekinian, dalam kerangka metoda

logis yang sedemikian dinamis.

SOLUSI CERDAS PENATAAN RUANG

KOTA

Penataan ruang merupakan suatu

sistem proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian

pemanfaatan ruang. Wujud proses dan hasil

penataan ruang adalah dalam Kebijakan ,

Rencana dan Program Tata Ruang (KRP).

Untuk menghasilkan rencana tata ruang yang

sekaligus dapat menghambat, mengurangi atau

bahkan mengatasi dampak-dampak langsung

ataupun tak langsungnya terhadap lingkungan

alami, maka diperlukan beberapa peraturan

atau metoda analisis yang wajib diintegrasikan

sebagai solusi cerdas kedalam proses penataan

ruang, antara lain:

1. Menjamin Tersedianya Ruang Terbuka

Hijau (RTH)

Patut disyukuri, bahwasanya Pemerintah

melalui Kementerian Pekerjaan Umum

cepat menyadari akan arti penting ruang

terbuka hijau sebagai prasyarat kota yang

berkelanjutan. Bahwa perencanaan tata

ruang wilayah kota harus memuat rencana

penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka

hijau yang luas minimalnya sebesar 30%

dari luas wilayah kota. Memperkuat

amanat isi Undang-undang no. 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang tersebut,

diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan

Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan.

Penyediaan dan pemanfaatan RTH

dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR

Kawasan Strategis Kota /RTR Kawasan

Perkotaan, dimaksudkan agar menjamin

tersedianya ruang yang cukup bagi: (a)

Kawasan konservasi untuk kelestarian

hidrologis, (b) Kawasan pengendalian air

larian dengan menyediakan kolam retensi;

(c) Area pengembangan keanekaragaman

hayati; (d) Area penciptaan iklim mikro

dan pereduksi polutan dikawasan

perkotaan; (e) Tempat rekreasi dan

olahraga masyarakat; (f) Pembatas

perkembangan kota kearah yang tidak

diharapkan; (g) Pengamanan sumberdaya

baik alam, buatan maupun historis; (h)

Penyediaan RTH yang bersifat privat,

melalui pembatasan kepadatan serta

criteria pemanfaatannya; (i) Area mitigasi/

evakuasi bencana; dan (j) Ruang

Page 4: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

4    

penempatan pertandaan (signage) sesuai

dengan peraturan perundangan dan tidak

mengganggu fungsi utama RTH tersebut.

Tujuan penyelenggaraan RTH adalah

Menjaga ketersediaan lahan sebagai

kawasan resapan air, menciptakan aspek

planologis perkotaan melalui keseimbang-

an antara lingkungan alam dan lingkungan

binaan yang berguna untuk kepentingan

masyarakat, serta meningkatkan keserasian

lingkungan perkotaan sebagai sarana

pengaman lingkungan perkotaan yang

aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

Fungsi Utama (intrinsic) RTH adalah

Fungsi Ekologis, yakni memberi jaminan

pengadaan RTH menjadi bagian dari

system sirkulasi udara (paru-paru kota),

pengatur iklim mikro agar system sirkulasi

udara dan air secara alami dapat

berlangsung lancer, sebagai peneduh,

produsen oksigen, penyedia habitat satwa,

penyerap polutan media udara, air dan

tanah, serta penahan angin.

Adapun fungsi tambahan (extrinsic)

RTH adalah fungsi sosial dan budaya,

fungsi ekonomi sebagai sumber produk

yang bisa dijual, fungsi estetika untuk

meningkatkan kenyamanan dan keindahan,

fungsi-fungsi ini dapat dikombinasikan

sesuai dengan kebutuhan, kepentingan,

keberlanjutan kota seperti perlindungan

tata air, keseimbangan ekologi dan

konservasi hayati.

Manfaat langsung Ruang Terbuka

Hijau (RTH)) membentuk keindahan dan

kenyamanan serta mendapatkan bahan-

bahan bernilai ekonomi, disamping

manfaat tidak langsung seperti pembersih

udara yang sangat efektif, pemeliharaan

kelangsungan persediaan air tanah,

pelestarian fungsi lingkungan (konservasi

hayati atau keanekaragaman hayati).

2. K.L.H.S. sebagai Proses Analisis

Lingkungan Sistematis

Devinisi KLHS (Kajian Lingkungan

Hidup Strategis) atau SEA (Strategic

Environment Assesment) adalah suatu

proses sistematis dan komprehensif untuk

mengevaluasi dampak lingkungan,

pertimbangan sosial dan ekonomi, serta

prospek keberlanjutan dari usulan

kebijakan rencana, dan program

pembangunan. KLHS adalah rangkaian

analisis yang sistematis, menyeluruh dan

partisipatif untuk memastikan bahwa

prinsip pembangunan berkelanjutan telah

menjadi dasar dan terintegrasi dalam

pembangunan suatu wilayah dan atau

kebijakan, rencana dan program (KRP).

Page 5: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

5    

KLHS dibutuhkan untuk menginte-

grasikan pertimbangan lingkungan hidup

dan keberlanjutan melalui penyusunan

Kebijakan, Rencana dan Program (KRP)

untuk meningkatkan pembangunan;

memperkuat proses pengambilan keputus-

an atas KRP, mengurangi kemungkinan

kekeliruan dalam membuat prakiraan/

prediksi pada awal proses perencanaan,

kebijakan, rencana atau program

pembangunan.

Tujuan KLHS adalah menghasilkan

Kebijakan, Rencana dan Program (KRP)

yang berwawasan lingkungan hidup.

Pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan hidup adalah

upaya sadar dan terencana, yang memadu-

kan lingkungan hidup, termasuk sumber

daya, kedalam proses pembangunan untuk

menjamin kemampuan kesejahteraan dan

mutu hidup generasi kini dan generasi

masa depan. Sedangkan manfaat KLHS

adalah dalam meningkatkan kredibilitas

keputusan yang diambil dan mendorong

kajian dampak lingkungan (AMDAL) pada

tingkat proyek menjadi lebih efektif biaya

dan waktu.

KLHS memperkuat proses

perencanaan melalui beberapa hal seperti :

Identifikasi masalah-masalah lngkungan

hidup dan kendala pembangunan di

wilayah studi; Menganalisis implikasi

berbagai opsi perencanaan terhadap

lingkungan dan memberi rekomendasi

untuk optimasi atau pengembangan

berbagai alternative yang berkelanjutan;

Merekomendasikan langkah untuk

meminimalisasi resiko lingkungan dan

sekaligus memaksimalisasi manfaat

termasuk rekomendasi desain proyek dan

studi AMDAL proyek bersangkutan,

penataan kelembagaan, dan inisiatif untuk

mengendalikan dampak kumulatif.

KLHS minimal memuat kajian, antara

lain: Kapasitas daya dukung dan daya

tampung lingkungan hidup, perkiraan

mengenai dampak dan risiko lingkungan

hidup, kinerja layanan jasa ekosistem,

efisiensi pemanfaatan sumber daya alam,

serta tingkat kerentanan dan kapasitas

adaptasi terhadap perubahan iklim.

Pada prinsipnya KLHS perlu

dilaksanakan secara terintegrasi dengan

proses perencanaan. Hal itu untuk

menjamin agar pengaruhnya terhadap

muatan KRP yang diputuskan memadai.

Namun keragaman kondisi yang

mempengaruhi proses perencanaan KRP

menyebabkan pelaksanaan KLHS dapat

dilakukan dengan cara :

Page 6: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

6    

a. KLHS dilaksanakan sebagai bagian

dari proses penyusunan rancangan

KRP atau dianggap sebagai peleburan

kedua proses tersebut.

b. KLHS dilaksanakan bersamaan dengan

proses penyusunan rancangan KRP,

dimana kedua proses tersebut

diselenggarakan secara parallel namun

saling berinteraksi satu sama lain.

c. KLHS dilaksanakan setelah KRP

ditetapkan; dimana keseluruhan

rangkaian proses KLHS berdiri sendiri.

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT

BALI DALAM LANDASAN FILOSOFI

‘TRIHITAKARANA’

Masyarakat Bali, yang kehidupannya

dituntun oleh nilai-nilai kebudayaan Bali yang

bercorak religious Hinduistis, selalu berusaha

bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya.

Sehingga dapat dikatakan, bahwa nilai dasar

dari kehidupan adat di Bali adalah ‘nilai

keseimbangan’ (Dharmayudha dan Koti

Cantika, 1994)

Nilai keseimbangan ini diwujudkan dalam

asas-asas kehidupan masyarakat Bali, yakni :

1. Asas selalu berharap dapat menyesuaikan

diri dan berusaha menjalin hubungan

dengan elemen-elemen alam dan

kehidupan yang mengitarinya.

2. Asas selalu berharap dapat menciptakan

suasana kedamaian dan ketentraman antar

sesama mahluk dan juga terhadap alam

dimana manusia hidup sebagai salah satu

elemen dari alam semesta raya

Nilai dan asas-asas tersebut kemudian

dipersepsikan sebagai landasan filosofis

TRIHITAKARANA, yang artinya menurut

Ketut Kaler (1983) adalah ‘Tiga unsur yang

merupakan sumber sebab terciptanya

kebaikan’; Adapun ketiga unsur tersebut

adalah :

1. Unsur Jiwa yang disebut Atman,

2. Unsur Tenaga atau Kekuatan yang disebut

Prana,

3. Unsur Badan Wadag atau Ragawi yang

disebut Sarira.

Ketiga unsur Tri Hita Karana ini

kemudian dipakai sebagai pola dasar baku oleh

masyarakat Bali dalam membentuk segala

sesuatu yang diharapkan dapat menciptakan

keharmonisan, termasuk membentuk desa dan

komunitasnya. Dalam pembentukan desa

(adat) yang harmonis, ketiga unsur Tri Hita

Karana diwujudkan sebagai :

Page 7: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

7    

1. Parhyangan Desa, yaitu Tri Kahyangan

atau Tiga Tempat Suci, berupa Pura

Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem

sebagai unsur jiwa atau ‘atman’-nya desa.

2. Pawongan Desa, adalah segenap Krama

Desa yaitu warga komunitas desa sebagai

unsur tenaga atau ‘prana’ nya desa.

3. Palemahan Desa, adalah tanah dan

lingkungan Wilayah Desa termasuk daerah

pemukimannya yang merupakan unsur

badan wadag atau ‘sarira’-nya desa.

Tri Hita Karana mengajarkan pencapaian

tujuan hidup yang disebut dengan Jagaditha

atau Kesejahteraan, dalam filosofi ini

kesejahteraan hanya dapat dicapai melalui tiga

jalan yang diharapkan. Ketiga jalan dimaksud,

yakni Satyam atau Kebenaran yang bisa

dicapai melalui kedamaian Atman atau Jiwa;

Ciwam atau Kebijakan yang bisa dicapai

melalui keharmonisan Prana atau

Tenaga/Kekuatan Komunitas; dan Sundaram

atau Kebahagiaan yang dapat dicapai melalui

kearifan Sarira atau Badan Wadag/ Fisik

Lingkungan.

Gambar 01

SKEMA FILOSOFI TRIHITAKARANA

Pola hubungan yang seimbang dan serasi

diantara ketiga sumber kesejahteraan dan

kedamaian ini, diharapkan agar manusia selalu

berusaha untuk menjaga keharmonisan

hubungannya dengan ketiga unsur itu, yakni :

1. Hubungan harmonis manusia dengan

Tuhan, untuk mencapai Kebenaran,

2. Hubungan harmonis manusia dengan

manusia, untuk mencapai Kebijakan,

Page 8: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

8    

3. Hubungan harmonis manusia dengan

alam, untuk mencapai Kebahagiaan.

IMPLEMENTASI ‘TRIHITAKARANA’

KEDALAM KONSEP TATA RUANG

DESA ADAT DI BALI

Penerapan falsafah Trihitakarana dalam

penataan ruang, dapat diimplementasikan baik

kedalam proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang dan pengendalian

pemanfaatan ruang. Pendekatan penerapan

Trihitakarana kedalam konteks pola tata ruang

desa dilakukan melalui wujud implementasi

makna ketiga unsurnya yakni implementasi

makna Parhyangan sebagai Jiwa Desa,

implementasi makna Pawongan sebagai

Tenaga Desa dan implementasi makna

Palemahan sebagai Sarira Desa.

1. Parhyangan : Pengendali Pemekaran

Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan

Desa Adat

Dalam setiap desa adat di Bali (baik di

wilayah pedesaan maupun perkotaan)

terdapat Parhyangan Desa, yang

merupakan wujud hubungan harmonis

antara manusia dengan Tuhan dalam

pemahaman falsafah Trihitakarana.

Parhyangan desa terdiri atas 3 (tiga) buah

Pura (bangunan suci tempat beribadah)

yang berada pada Hulu-Desa, Pusat-Desa,

dan Hilir-Desa dimana ketiganya menjadi

batas tegas peruntukan dan perkembangan

fisik desa.

Pura pada hulu desa disebut Pura Puseh,

yakni pura yang berkaitan dengan keyakinan

akan proses penciptaan atau kelahiran

manusia, dimana Tuhan dalam

manifestasinya sebagai Sang Hyang Brahma

atau Sang Pencipta di-stana-kan

(diposisikan untuk disembah). Dengan

diposisikannya pada bagian Kaja-Kangin

atau Timur Laut sebagai wilayah paling hulu

desa dengan tata nilai ruang Utamaning-

Utama, maka secara tegas diatur untuk tidak

diperkenankan adanya fungsi fisik profane

guna lahan lain pada wilayah desa yang lebih

hulu daripada Pura Puseh, sehingga Pura ini

menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna

lahan profane (non sacral) wilayah paling

Timur (Kangin) dan wilayah paling Utara

(Kaja) Desa.

Pura pada pusat desa disebut Pura

Desa, yakni pura yang berkaitan dengan

keyakinan akan proses pemeliharaan atau

kehidupan manusia, dimana Tuhan dalam

manifestasinya sebagai Sang Hyang

Wisnu atau Sang Pemelihara di-stana-

kan. Posisinya pada pusat desa dengan tata

nilai Madya-ning-Madya, menjadikannya

sebagai pusat pertumbuhan dan

pengendalian perkembangan desa yang tak

Page 9: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

9    

dapat digeser fungsi lain sebagai pusat

desa. Pusat Desa berperan mengendalikan

batas terluar desa, hal ini dapat terjadi

karena batas terluar desa biasanya

disyaratkan dengan jangkauan suara kul-

kul (kentongan) dari pura dipusat desa ini.

Berdasarkan hasil penelitian jarak terluar

batas wilayah dari pusat, suara kulkul

masih dapat terdengar pada radius sekitar

500 meter hingga 800 meter (Rabindra,

Pola Komunits Kota Tabanan, Bali, Tesis,

PWK-ITB, 1995).

Pura pada hilir desa disebut Pura

Dalem, yakni pura yang berkaitan dengan

keyakinan akan proses peleburan atau

kematian manusia, dimana Tuhan dalam

manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa

atau Sang Pelebur atau Sang Pemralina

di-stana-kan. Sesuai dengan fungsinya

sebagai pura kematian, pada kawasan

sekitar pura ini biasanya juga terdapat

Setra atau pemakaman/kuburan desa.

Dengan diposisikannya pada bagian Kelod-

Kauh atau Barat-Daya sebagai wilayah

paling hilir desa dengan tata nilai ruang

Nista-ning-Nista, maka tidak layak adanya

fungsi fisik profane guna lahan lain yang

lebih nista dari kuburan, sehingga Pura ini

menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna

lahan paling Barat (Kauh) dan Selatan

(Kelod) Desa.

2. Pawongan : Pengendali Jumlah Populasi

Komunitas dan Ikatan Sosial Antar

Warga Komunitas

Pawongan Desa, adalah segenap

Krama Desa yaitu warga komunitas desa

sebagai ‘tenaga’ atau ‘prana’ nya desa;

merupakan kekuatan yang timbul dan

terwujud dari bentuk hubungan harmonis

antara manusia satu dengan manusia

lainnya sebagai unsur utama pembentuk

sebuah komunitas, dalam pemahaman

falsafah Tri Hita Karana. Komunitas inilah

inti kekuatan atau tenaga atau ‘prana’ nya

desa (adat) sebagai unit-unit dasar

pembentuk komunitas wilayah atau kota.

Kekuatan komunitas ini bukanlah pada

ukuran tenaga dalam artian fisis,

melainkan kekuatan sosial berupa rasa

kebersamaan, solidaritas dan sikap gotong

royong yang sangat kental diantara para

warganya. Sebuah kekuatan sosial yang

terbentuk dari harmoni hubungan antara

manusia satu dengan lainnya, yang diikat

dengan kedekatan fisik dan intensitas

komunikasi dan tingkat kenal yang tinggi

diantara satu dengan lainnya (social

cohesiveness).

Krama desa atau warga komunitas

desa (adat) terdiri dari jumlah beberapa

warga komunitas banjar (adat), dimana

Page 10: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

10    

warga komunitas banjar adat terdiri dari

warga beberapa komunitas tempekan.

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah warga

komunitas tempekan biasanya terdiri dari

25 hingga 50 kepala keluarga atau sekitar

100 jiwa hingga 250 jiwa atau setara

dengan jumlah warga rukun tetangga (RT)

minimal. Beberapa tempekan biasanya

membentuk suatu komunitas banjar (adat),

dengan jumlah warga komunitas banjar

(adat) idealnya terdiri atas 150 hingga 250

kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa

hingga 1000 jiwa, atau setara dengan

jumlah warga rukun warga (RW) ideal.

Pada wilayah pusat kota yang padat,

jumlah warga banjar (dinas) bisa mencapai

sekitar 1200 jiwa sampai 2000 jiwa atau

sekitar 250 hingga 500 kepala keluarga.

Luas wilayah banjar minimal diperkotaan

sekitar 35 Ha hingga 55 Ha atau luas

wilayah dalam radius 350 m sampai

dengan 420 m. Sedangkan luas wilayah

banjar maksimal adalah sekitar 75 Ha

hingga 200 Ha atau seluas wilayah dalam

radius 500 m sampai dengan 800 m

(Rabindra, Tesis, PWK-ITB,1995).

Besaran jumlah unit-unit komunitas

tempekan, banjar dan krama desa terbentuk

atas dasar derajat ikatan sosial yang

dipengaruhi oleh kedekatan fisik

lingkungan, intensitas pertemuan dan

komunikasi, serta rasa saling kenal dan

saling memperhatikan diantara anggota

komunitas. Dengan unit dasar besaran ini

secara otomatis akan terkendali jumlah

populasi setiap unit komunitas, sehingga

sulit timbul terjadinya peledakan jumlah

populasi yang tak terkendali didalam

maupun diluar komunitas. Disamping

komunitas inti seperti diatas, terdapat juga

sub-sub komunitas yang disebut sekehe

atau kelompok, seperti : sekehe suka duka

yakni semacam koperasi suka-duka,

gotong royong, arisan, dsb; sekehe subak

yakni kelompok pengairan dan pertanian;

sekehe gong yakni kelompok kesenian dan

sebagainya; sekehe semal yakni kelompok

pembasmi hama pertanian; juga sekehe

teruna-teruni yakni kelompok remaja

semacam kelompok karang taruna. Hampir

tidak ada masalah yang tidak dapat

diselesaikan dengan baik, apabila rasa

kebersamaan dalam komunitas terbentuk

begitu harmonis; demikian halnya dalam

konteks dengan penataan ruang wilayah,

tak ada masalah pemanfaatan ruang dan

pengendalian pemanfaatan ruang yang tak

bisa diselesaikan secara mudah dan tanpa

masalah oleh warga komunitas yang

harmonis.

Page 11: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

11    

3. Palemahan : Pengendali Perluasan

Kawasan Terbangun dan Terjaganya

Kelestarian Lingkungan Alami

Yang dimaksud dengan Badan Wadag

atau Sarira Desa, adalah wujud fisik

lingkungan desa (adat) di Bali yang terdiri

atas cluster pemukiman masyarakat

termasuk pekarangannya; fasilitas sosial

non sakral seperti Bale Desa/ Bale Banjar/

Bale Wantilan, Pasar, Sekolah, jalan

lingkungan lapangan, kuburan (setra), dan

lain sebagainya; juga termasuk kebon

(teba), tegalan, sawah serta sungai, situ/

danau/ pantai, bukit, lembah, jurang, hutan

dan elemen lingkungan alami lain yang ada

didalam wilayahnya.

Cluster pemukiman dalam satuan unit

tempekan, banjar maupun desa ditata

dengan berbagai bentuk seperti konsep

perempatan agung/ Catur Muka, konsep

Swastikasana, Konsep Linier Tri Mandala

(seperti di Desa Penglipuran) atau Iron

Grid (seperti di Tenganan atau Desa

Bugbug) dan sebagainya. Apapun konsep

cluster pemukiman selalu mengacu pada

ikatan sosio-religious dengan tata letak Tri

Kahyangan, dan ikatan sosio-kultural

dengan pola komunitas krama desa yang

hidup diwilayahnya. Yang membedakan

penerapan pola desa selain kondisi

geografis dan topografis alam lingkungan

desa, adalah latar belakang historis

terbentuknya desa, atau system jaringan

transportasi wilayah yang lebih luas.

Pekarangan sebagai unsur-unsur

pembentuk cluster ditata secara sangat

bijaksana dengan memperlakukan konsep

Sanga Mandala, yakni sistem tata nilai

ruang yang membagi pekarangan dalam 9

(Sembilan) zona pemanfaatan. Konsep ini

memiliki tiga zona Utama, 3 zona Madya,

serta Madya ning Nista.dan 3 zona Nista.

Zona Utama ning Utama berfungsi sebagai

Pemerajan yakni tempat suci yang 70 %

berupa ruang terbuka dengan proporsi

hijau sekitar 50:50 atau sekitar 4 % total

pekarangan. Zona Madya ning Madya

berfungsi sebagai Natah atau halaman

tengah multi fungsi yang 100% terbuka

dengan proporsi hijau 50:50 atau sekitar

5,5% total pekarangan. Sementara 7 zona

lainnya rata-rata 60 % terbangun dan 40 %

terbuka dengan proporsi hijau 50:50 atau

setara dengan 15,5 % total pekarangan.

Jadi setiap pekarangan menyumbang ruang

terbuka 40,5 % dengan ruang terbuka hijau

25 % total luas pekarangan.

Konsep penyengker yang memben-

tengi pekarangan, selain mencegah konflik

kepentingan dengan tetangga, juga

Page 12: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

12    

mengendalikan pertumbuhan fisik

bangunan karena memisahkan pekarangan

yang boleh dibangun dengan teba atau

kebun yang tak boleh dibangun. konsep

telajakan antara pekarangan dengan

pekarangan lain dan dengan jalan

lingkungan (semacam garis sempadan

pagar atau bangunan) membuat batas

sakral yang menjadikan manfaat pencegah

perselisihan dengan masyarakat umum

selain manfaat konstruktif pagar dan

bangunan, juga menyumbang ruang

terbuka hijau yang cukup signifikan.

Topografi desa dikelola dengan sangat

arif, yakni tidak melakukan pembentukan

muka tanah dengan metoda cut dan fill

secara sembarangan, karena aturan tidak

diperkenankan merubah komposisi bagian

lahan hulu ke hilir dan atau sebaliknya.

Metoda yang diijinkan adalah dengan

metoda terrasering/ berjenjang untuk

mengurangi dampak terjadinya run-off

ataupun longsor. Disamping memberi

manfaat pada system pengairan pertanian

yang disebut subak, metoda terasering ini

juga memberi peluang sangat besar pada

proses pelambatan aliran air kehilir,

sehingga daya serap air permukaan

menjadi sangat efektif.

Pemanfaatan potensi hidrografis seperti

sungai, mata air dan situ/ danau juga

dikelola secara sangat bijaksana untuk

melindungi sumber-sumber air bersih dan

air pertanian bagi kehidupan bersama.

Mata air (mumbul) dan situ atau danau

dijaga dengan membangun semacam

petirtan (pura kecil tempat mengambil air

suci bagi kegiatan sakral), pelanggaran

perlakuan terhadap sumber-sumber air

diancam sanksi agama dan adat yang

sangat berat. Aliran sungai dikelola secara

kolektif untuk dijaga dan dimanfaatkan

demi kesejahteraan bersama melalui sistem

teknologi pengairan tradisional yang

fenomenal yakni sistem subak. Sistem ini

dikelola oleh sub komunitas yang disebut

sekehe subak, yakni kelompok petani dan

warga pengelola air bagi manfaat pertanian

(khususnya sawah) dan manfaat lainnya

seperti untuk kegiatan mandi , cuci dan

kakus (MCK).

Page 13: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

13    

Gambar 02

SKEMA IMPLEMENTASI TRIHITAKARANA DALAM KONSEP HARMONISASI TATA NILAI RUANG DESA ADAT

Pada bagian belakang setiap

pekarangan biasanya terdapat teba atau

kebun/ kandang hewan/ruang terbuka hijau

dan lain sebagainya, yang rata-rata seluas

setidaknya 50 % setiap pekarangan, ini

berarti menyumbang RTH yang sangat

signifikan bagi desa. Disamping itu,

potensi hutan, tebing, lembah ataupun

jurang juga dikelola secara sangat

bijaksana, umumnya kawasan-kawasan

seperti ini dijadikan tanah ulayat seperti

laba desa (tanah milik desa) dan laba

pura (tanah milik pura), dimana ditetapkan

awig-awig desa atau aturan lokal yang

sangat ketat terhadap pemanfaatan dan

perubahan peruntukkannya. Dengan aturan

yang sangat ketat dan umumnya sangat

ditaati oleh krama desa, maka kelestarian

alam lingkungan pada kawasan-kawasan

tadi akan sangat terjaga.

IMPLEMENTASI ‘TRIHITAKARANA’

KEDALAM PENATAAN RUANG KOTA

SECARA CERDAS

Desa adat merupakan entitas utama ter-

bentuknya kota-kota di Bali, dari dahulu kala

hingga kini. Populasi yang berkembang secara

pesat akibat proses urbanisasi dikawasan

perkotaan di Bali, tidak serta merta melahirkan

Page 14: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

14    

pemekaran desa-desa baru. Lebih cenderung

terjadi peningkatan jumlah populasi warga

desa atau pemekaran banjar-banjar baru

didalam desa. Karenanya pola tata ruang desa

adat sebaiknya dapat tetap dipertahankan dan

juga dapat dijadikan landasan pokok

pengembangan tata ruang perkotaan di Bali.

Perkembangan kegiatan pariwisata

telah menarik begitu banyak pendatang untuk

menetap dikawasan perkotaan di Bali.

Heterogenitas penduduk yang tinggal dan

menetap di wilayah-wilayah desa adat

dikawasan perkotaan pun menjadi lebih

beragam. Mengatasi keberagaman latar

belakang sosial dan budaya yang berkembang

diterapkan aturan kependudukan bagi

pendatang, yakni boleh tinggal dan menetap

pada wilayah salah satu banjar adat dari desa

adat tertentu dikawasan perkotaan dengan

menjadi warga banjar dinas dan warga desa

dinas.

Banjar Dinas dan Desa Dinas adalah

bentuk banjar adat atau desa adat yang juga

diperankan sebagai banjar administrasi atau

desa administrasi yang melayani urusan

administrasi warga pendatang. Warga

pendatang tidak diwajibkan mengikuti

kegiatan adat banjar atau desa adat, namun

wajib mentaati berbagai peraturan yang

berlaku pada banjar/desa adat tersebut, yang

umumnya diatur dalam awig-awig desa adat.

Diantara aturan yang wajib ditaati warga

pendatang adalah peraturan menyangkut tata

ruang desa adat dalam pembangunan sarana

dan prasarana baru bagi pemukiman dan

fasilitas pendukungnya.

Permasalahan sering muncul apabila

berbagai peraturan menyangkut tata ruang

kawasan perkotaan yang diterapkan oleh

pemerintah kota/kabupaten, tak selaras dengan

awig-awig desa-desa adat entitas pokok

terbentuknya wilayah kota tersebut. Koreksi

atas masalah yang muncul sepatutnya

dialamatkan kepada kebijakan pemerintah

kota/kabupaten yang tidak mampu

mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal

yang ada kedalam analisis kebijakan tata ruang

kotanya.

Sepatutnya pemerintah kota/kabupaten

dapat mengadopsi potensi-potensi kearifan

lokal yang tertuang dalam berbagai awig-awig

desa adat, sebagai landasan konseptual isi

(content) materi analisis kebijakan dan

perencanaan tata ruang kota. Sedangkan

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

sebagai metodologi modern penataan ruang

kota hijau yang berkelanjutan, dapat dijadikan

wadah (container) dari proses analisis strategis

dalam pendekatan perencanaan tata ruang

perkotaan sebagai suatu metode pemecahan

masalah secara cerdas.

Page 15: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

15    

Melalui sinergi content – container

antara implementasi nilai-nilai kearifan lokal

konsep Trihitakarana kedalam proses analisis

strategis pengambilan kebijakan tata ruang

kota hijau berkelanjutan secara sinkron,

diharapkan tercipta dan terjaga keharmonisan

kehidupan masyarakat kota diantara elemen-

elemen lingkungan binaan kota dan elemen-

elemen lingkungan alaminya.

Gambar 03 SINERGI IMPLEMENTASI SOLUSI CERDAS PENATAAN RUANG (CONTAINER)

DENGAN IMPLEMENTASI FILOSOFI TRIHITAKARANA (CONTENT)

Daftar Pustaka Adhika, I Made, Peran Banjar dalam Penataan Komunitas Perkotaan di Bali,

Page 16: NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA ...

 

16    

Studi Kasus Kota Denpasar, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana PWK-ITB, Bandung, 1994. Cantika, Koti dan I Made Dharmayudha, Filsafat Adat Bali, Upadha Sastra, Denpasar, 1994.

Kozlowski, Jerzy and G.Hill, Towards Planning For Sustainable Development – A Guide for the Ultimate Environmental Threshold (UET) Method, Avebury, Brookfield USA, 1993. Mantra, Ida Bagus, Bali : Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi, Upadha Sastra, Denpasar, 1990.

Rudito, Bambang dan Melia Famiola, Social Mapping – Metode Pemetaan Sosial, Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti, Penerbit Rekayasa Sains, Bandung, 2008.

Rabindra, Ida Bagus, Pola Komunitas Kota Tabanan, Bali, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana PWK-ITB, Bandung, 1995. Russ, Thomas H., Site Planning and Design Handbook, McGraw-Hill Companies, Boston, Massachusetts, 2002.

Simonds, John Ormbee, Garden Cities 21: Creating A Livable Urban Environment, McGraw- Hill, Inc., 1994. ………….., Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008, tentang, Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang – Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2008.

………….., Tanya Jawab – Seputar Penyelenggaraan Penataan Ruang Daerah, Direktorat Jenderal Penataan Ruang – Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2010.