MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA...

15
14 JURNAL MARITIM INDONESIA Vol. 6 No. 1 | September 2018 Abstract Capability of the state to deal with the threats, from both outside and inside territories that endanger to its nation must be prepared appropriately by developing a capable defence system. Indonesia's defence budget, which is up to now only about 0.9% of GDP even though Indonesia's GDP is ranked 15th in the world and the Indonesian economy has a positive trend with the level of growth above 5%, is still far from its needed which is about 1.5% of GDP. This indicates that there exist influencing factors in defense budget allocating. Two predicted factors are defense sector output or the economics of defence that can not yet be described as a significant factor affecting economic growth and the ongoing political system that has not been able to address issues in the defence sector as an important issue in government and state. In addition, the implementation of a strategic hedging approach that has not been effectively implemented. Key words: Economics of Defence; Defence budget and Strategic hedging 1 Penulis adalah seorang perwira tinggi TNI Angkatan Laut menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Strategi Pertahanan – Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI. MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA MENGUKUR NILAI EKONOMI PERTAHANAN DAN MENJAGA STABILITAS POLITIK Oleh: Agus Rustandi 1 [email protected] Abstrak Kemampuan negara menghadapi ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar teritorialnya harus dipersiapkan sejak dini dengan cara membangun kekuatan sistem pertahanannya. Namun, anggaran pertahanan Indonesia yang sampai dengan saat ini rata-rata baru sekitar 0,9% dari GDP , masih jauh dari yang dibutuhkan sekitar 1,5% dari GDP walaupun GDP Indonesia menduduki peringkat 15 di dunia dan ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan di atas 5%. Hal ini menandakan adanya faktor yang mempengaruhi dalam pengalokasian anggaran pertahanan. Dua faktor yang diprediksi adalah Output sektor pertahanan atau nilai ekonomi pertahanan yang belum dapat digambarkan secara nyata sebagai faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan sistem politik yang sedang dibangun yang belum mampu mendudukkan isu di sektor pertahanan sebagai isu yang penting dalam pemerintahan dan negara. Disamping itu, implementasi pendekatan strategic hedging (lindung nilai strategik) yang belum dapat dilaksanakan secara efektif. Kata Kunci: Ekonomi Pertahanan; Anggaran Pertahanan dan Lindung Nilai.

Transcript of MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA...

Page 1: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

14

JURNAL MARITIM INDONESIAVol. 6 No. 1 | September 2018

AbstractCapability of the state to deal with the threats, from both outside and inside territories that endanger to its nation must be prepared appropriately by developing a capable defence system. Indonesia's defence budget, which is up to now only about 0.9% of GDP even though Indonesia's GDP is ranked 15th in the world and the Indonesian economy has a positive trend with the level of growth above 5%, is still far from its needed which is about 1.5% of GDP. This indicates that there exist influencing factors in defense budget allocating. Two predicted factors are defense sector output or the economics of defence that can not yet be described as a significant factor affecting economic growth and the ongoing political system that has not been able to address issues in the defence sector as an important issue in government and state. In addition, the implementation of a strategic hedging approach that has not been effectively implemented.

Key words: Economics of Defence; Defence budget and Strategic hedging

1 Penulis adalah seorang perwira tinggi TNI Angkatan Laut menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Strategi Pertahanan – Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI.

MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA MENGUKUR NILAI

EKONOMI PERTAHANAN DAN MENJAGA STABILITAS POLITIK

Oleh: Agus Rustandi1

[email protected]

AbstrakKemampuan negara menghadapi ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar teritorialnya harus dipersiapkan sejak dini dengan cara membangun kekuatan sistem pertahanannya. Namun, anggaran pertahanan Indonesia yang sampai dengan saat ini rata-rata baru sekitar 0,9% dari GDP, masih jauh dari yang dibutuhkan sekitar 1,5% dari GDP walaupun GDP Indonesia menduduki peringkat 15 di dunia dan ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan di atas 5%. Hal ini menandakan adanya faktor yang mempengaruhi dalam pengalokasian anggaran pertahanan. Dua faktor yang diprediksi adalah Output sektor pertahanan atau nilai ekonomi pertahanan yang belum dapat digambarkan secara nyata sebagai faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan sistem politik yang sedang dibangun yang belum mampu mendudukkan isu di sektor pertahanan sebagai isu yang penting dalam pemerintahan dan negara. Disamping itu, implementasi pendekatan strategic hedging (lindung nilai strategik) yang belum dapat dilaksanakan secara efektif.

Kata Kunci: Ekonomi Pertahanan; Anggaran Pertahanan dan Lindung Nilai.

Page 2: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

Agus RustandiMenimbang Anggaran Pertahanan Indonesia: Pentingnya Mengukur

Nilai Ekonomi Pertahanan Dan Menjaga Stabilitas Politik

15

PENDAHULUAN Defence is costly (Hartley, 2011). Pendapat Hartley ini bukan tidak beralasan karena memang biaya untuk pertahanan itu mahal. Anggaran pertahanan Republik Indonesia (RI) di TA. 2018 adalah sebesar Rp107,7 triliun, walaupun lebih kecil dari anggaran TA. 2017, tetapi secara nasional adalah yang terbesar di antara seluruh Kementerian (K) dan Lembaga (L). Di urutan kedua adalah Kementerian PUPR yaitu sebesar Rp.107,4 (Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Anggaran, 2018). Anggaran sektor pertahanan yang terbesar di antara K/L tersebut adalah anggaran untuk lima UO (Unit Organisasi) yaitu Kementerian Pertahanan;

Mabes TNI; TNI AD; TNI AL dan TNI AU. Jika dirata-ratakan secara absolut masing-masing UO hanya mendapat Rp.21.54 triliun atau jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran untuk Polri yang sebesar Rp.95 triliun untuk satu UO (Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Anggaran, 2018). Memang anggaran pertahanan RI adalah yang terbesar tetapi perbandingannya terhadap GDP (Gross Domestic Product) yang menjadi alat ukur internasional, anggaran pertahanan RI hanya mencapai 0,87% dari GDP (International Institute for Strategic Studies, 2017). Hal ini masih sangat jauh dari ideal. Di antara negara-negara ASEAN, anggaran pertahanan RI hanya lebih besar dari Laos (Menteri Keuangan RI, 2018). Kecilnya alokasi anggaran tersebut menyebabkan untuk mencapai Kemampuan Pokok Minimum (MEF – Minimum Essential Force) saja masih sangat sulit. Hal ini terbukti dengan adanya dua kali revisi MEF (Perdana, 2017, lihat juga Hakim, 2015). Di banyak negara, pengalokasian anggaran pertahanan dan sektor publik yang lain sering kali melahirkan perdebatan yang panjang dan bahkan menjadi komoditas politik (Bovea, V., Efthyvouloub, G., and Navasc, A., 2017). Hal ini dapat dipahami karena sektor pertahanan yang merupakan bagian

dari kepentingan publik harus bersaing dengan kepentingan publik yang lain misalnya sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat, maka pemerintah harus memilih di antara gun or butter, mana yang lebih prioritas (Dikici, 2015). Namun demikian, sebagai negara yang wilayah teritorialnya sangat luas, terutama lautnya dan menyandang sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, belanja sektor pertahanan RI relatif masih cukup kecil. Semakin tidak dapat dipahami jika mendasarkan kepada pertumbuhan ekonominya yang masih di atas rata-rata negara berkembang lain serta memiliki GDP yang menduduki peringkat 15 di dunia. IMF (2017) bahkan mencatat pertumbuhan

ekonomi Indonesia sebesar 5,2% jauh di atas rata-rata negara berkembang. Demikian pula proyeksi pertumbuhan ekonomi dari tahun 2018 sampai dengan 2022 yang relatif stabil di kisaran 5,2% sampai dengan 5,5%. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas secara singkat dua faktor yang dapat mempengaruhi para pengambil keputusan strategis RI dalam menentukan kebijakan sektor publik terutama sektor pertahanan. Dua faktor yang mempengaruhi pengalokasian anggaran pertahanan tersebut pertama adalah masalah

ekonomi pertahanan, kedua sistem dan iklim politik di Indonesia. Sedangkan implementasi strategic hedging (lindung nilai) yang menyertai program pembangunan kekuatan belum dapat dilaksanakan secara efektif.

EKONOMI PERTAHANAN Di antara negara-negara ASEAN, hanya Indonesia yang masuk menjadi anggota G-20 (Rizal, 2017). Di satu sisi, hal ini membanggakan dan tentu ada keuntungannya seperti keikutsertaan Indonesia dalam forum-forum ekonomi dan finansial internasional yang menentukan kebijakan ekonomi global (Rizal, 2017). Di sisi lain, hal ini bisa tidak menguntungkan, seperti halnya yang pernah

Page 3: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

16

JURNAL MARITIM INDONESIAVol. 6 No. 1 | September 2018

diungkapkan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti beberapa tahun yang lalu bahwa sebagai anggota G-20 Indonesia tidak memperoleh kemudahan zero persen tarif untuk ekspor Tuna sehingga harus membayar USD 105 juta dari nilai USD 700 juta (Wiyanti, 2015). Mencermati data yang disampaikan oleh menteri keuangan, memang pantas Indonesia masuk dalam G-20. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2012 sampai dengan kuartal 3, 2017 masih berkisar 5,3% walaupun mengalami perlambatan (Mulyani, 2018, lihat juga IMF, 2017). Maka sangat menarik jika mencermati anggaran pertahanan Indonesia karena jika dibandingkan dengan negara-

negara ASEAN lain yang tidak masuk dalam G-20, anggaran pertahanan Indonesia justru kalah dari delapan negara lain terhadap proporsi GDP-nya dan hanya di atas Laos. Padahal keanggotaan G-20 diukur dari pencapaian GDP suatu negara, begitu juga besarnya proporsi anggaran pertahanan yang juga dibandingkan terhadap GDP dari negara. Dengan demikian, sebagai negara yang memiliki GDP terbesar di ASEAN, belanja Indonesia untuk pertahanan adalah kedua terkecil di ASEAN setelah Laos.

Sejak tahun 1980 menurut data IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang digambarkan dengan pertumbuhan nyata GDP (Real GDP Growth) berada di atas rata-rata pertumbuhan nyata GDP dunia kecuali tahun 1998 dan 1999, IMF (2017). Sedangkan anggaran pertahanan Indonesia sejak tahun 2000 besarnya selalu kurang dari 1% GDP (Bakrie, 2007, lihat juga World Bank, 2018). Bahkan pada tahun 2001 berada pada 0,54% dari GDP, sedangkan pertumbuhan ekonominya 3,6 masih di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya mencapai 2,4 saat itu (IMF, 2017). Hal ini mengindikasikan bahwa GDP tidak memiliki korelasi positif terhadap peningkatan anggaran pertahanan. Hal ini juga mengkonfirmasi temuan Pan, B., Wei, S.

Y., Xu, X., and Hong, W, C., (2014), bahwa hubungan investasi pertahanan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat non linier. Sehingga ada faktor lain yang menentukan hubungan antara investasi pertahanan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, investasi pertahanan yang diwujudkan dalam bentuk anggaran pertahanan tidak ditentukan secara linier oleh pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat diasumsikan bahwa sektor pertahanan dianggap tidak punya hubungan atau dalam bahasan statistik disebut tidak berkorelasi atau tidak memiliki pengaruh secara linier terhadap pencapaian ekonomi, vis versa. Masalah ini karena keuntungan moneter dari kebijakan pertahanan

seperti dalam pertumbuhan dalam GDP jarang dieksplorasi (Melese, F., Richter, A and Solomon, B, 2015). Namun demikian ada ahli ekonomi pertahanan berpendapat bahwa sektor pertahanan memiliki pengaruh terhadap perekonomian nasional misalnya Inboden (2016) yang menyatakan bahwa militer yang tangguh dapat memberikan keuntungan diplomatik dan keuntungan ekonomi yang signifikan. Begitu juga menurut Hartley (2011) yang berpendapat bahwa organisasi pertahanan dapat dianggap sebagai sebuah industri dalam hal penggunaan sumber

daya seperti tenaga manusia, kapital (peralatan dan aset-aset), juga entrepreneurship dari para komandannya. Misalnya seorang komandan kapal korvet yang bertanggung jawab terhadap aset triliunan rupiah dituntut untuk dapat melumpuhkan kapal musuh bernilai triliunan rupiah dengan rudal berharga milyaran yang dibawanya. Dengan pencapaian ini maka produktivitas kapal perang tersebut dapat diukur, walaupun tidak diharapkan memberikan ROI (Return of Investment) seperti halnya sebuah pabrik. Perhitungan sederhana output berbanding input ini, tidak jauh beda dengan para (entrepreneur), CEO perusahaan multinasional beraset triliunan yang harus menghasilkan efektivitas dan efisiensi perusahaannya disamping

Page 4: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

Agus RustandiMenimbang Anggaran Pertahanan Indonesia: Pentingnya Mengukur

Nilai Ekonomi Pertahanan Dan Menjaga Stabilitas Politik

17

meningkatkan produktivitas perusahaannya dari aset (kapital) yang dimiliki dan digunakannya. Dapat dipahami bahwa sektor pertahanan seperti juga sektor publik lain yang menghasilkan barang murni publik (pure public goods), sehingga keberadaannya tidak dirasakan secara langsung dan sangat berbeda dengan barang pribadi (private goods) yang dihasilkan oleh organisasi laba (profit oriented organisation) seperti pabrik atau perusahaan. Konsep dasar ekonomi yaitu adanya kelangkaan (scarcity) dari sisi output hampir tidak terlihat pada organisasi nir laba seperti pertahanan, bahkan sebaliknya output yang dihasilkan secara otomatis diperuntukkan bagi semua warga negara

dan wilayah yang harus dilindunginya. Sama halnya seperti kebutuhan oksigen di bumi. Oksigen dibutuhkan oleh semua makhluk hidup di bumi dan penggunaannya oleh satu makhluk hidup tidak mempengaruhi pemenuhannya bagi makhluk hidup lain. Demikian pula halnya untuk pertahanan, situasi aman dari ancaman terhadap negara dibutuhkan bagi semua orang dan mutlak menjadi kebutuhan bersama, sehingga jika seseorang mendapatkannya maka hampir secara otomatis yang lain akan mendapatkannya. Inilah yang disebut dengan barang

(komoditas) publik murni (Hartley, 2011). Hal tersebut berbeda dengan barang pribadi misalnya seperti rumah tinggal, ketika seseorang membeli rumah, maka hanya orang yang mengeluarkan uang atau orang yang diberi haklah yang menguasainya. Jika rumah tersebut dapat digunakan oleh orang lain dengan cara disewa atau diberi hak lain oleh pemiliknya, pemilik modal memperoleh keuntungan ekonomi sebagai akibat pemanfaatan asetnya oleh orang lain. Demikian juga transaksi pembelian rumah atau sewa-menyewa rumah dapat menggambarkan suatu kegiatan ekonomi pada skala sederhana yang dapat dijelaskan oleh circular flow diagram atau aliran sirkuler (lihat juga Mankiw, 2007:18).

Pada sektor pertahanan, hasil produksi tidak ‘dijual’ di pasar produk tetapi otomatis masuk rumah tangga (setiap orang memerlukannya). Demikian halnya sumber daya (manusia) untuk pertahanan tidak ‘dibeli’ di pasar produksi tetapi pemerintah memberikannya secara ‘cuma-cuma’. Sehingga putaran terluar pada diagram di atas seolah-olah tidak ada. Maka revenue dan income dalam bentuk moneter tidak tereksplorasi (Melese, F., Richter, A and Solomon, B, 2015). Oleh karena itu, produk sektor pertahanan dibutuhkan oleh semua orang dengan sumber daya mengikuti hukum kelangkaan. Keuntungan (manfaat) produk pertahanan salah satunya adalah terbebas dari ancaman yang

akan menimbulkan keuntungan ekonomi berbeda-beda kepada setiap individu (siklus aliran tertutup tersebut tidak mampu menjelaskan aktivitas ekonomi sektor pertahanan). Misalnya sama-sama pedagang tetapi karena aset dagangannya berbeda maka ketika keduanya mendapatkan output dari sektor pertahanan yaitu rasa aman (negara terhindar dari perang), keduanya memperoleh keuntungan dari transaksi dagangnya masing-masing yang berbeda. Demikian pula timbulnya kerugian jika perang terjadi (sektor pertahanan gagal memproduksi output-nya) menyebabkan pedagang tidak dapat melakukan aktivitas perdagangannya. Dalam hal ini, seharusnya kerugiannya bertambah besar karena adanya potensi keuntungan yang hilang ditambah

Gambar 1. Circular Flow Diagram.

Page 5: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

18

JURNAL MARITIM INDONESIAVol. 6 No. 1 | September 2018

dengan modal yang mungkin turut hilang. Sehingga sebenarnya sektor pertahanan memiliki nilai ekonomi yang sifatnya intangible atau tidak terlihat (lihat juga Peñalver, 2013). Adanya gambaran bahwa besarnya GDP tidak berkorelasi dengan besarnya anggaran pertahanan, dikarenakan produsen produk pertahanan (pemerintah) belum mampu memberikan nilai ekonomi yang bisa diperjualbelikan. Hal ini dapat dipahami karena pasar produk hasil pertahanan dimonopoli oleh negara (Hartley, K and Solomon, B., 2015), sehingga tidak ada persaingan untuk mendapatkan dan menjualnya. Demikian pula sifat dari produk pertahanan yang murni barang publik terbuka.

Dengan demikian, mengukur ekonomi pertahanan sangatlah penting bagi organisasi pertahanan sehingga hubungan input (sumber daya yang dipergunakan) dapat dibandingkan dengan output (keluaran yang dihasilkan). Ketiadaan nilai ekonomi dari keluaran sektor pertahanan dapat menyebabkan anggapan bahwa sektor pertahanan tidak memiliki kontribusi yang signifikan kepada perekonomian negara, sehingga GDP yang dihasilkan oleh suatu negara sulit diukur terhadap modal yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan

produk pertahanan, dalam hal ini menjaga agar negara jauh dari ancaman (militer dan non militer). Hartley dan Solomon (2015) berpendapat ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam mengukur keuntungan dari sektor pertahanan secara ekonomi yaitu besarnya biaya perlindungan per kapita per tahun; harga perlindungan jiwa (kematian dan luka) dan asuransi terhadap keamanan di masa depan. Besarnya biaya perlindungan per kapita per tahun didasarkan bahwa setiap warga negara dianggap menghasilkan produk (barang dan jasa) yang dapat memberikan kontribusi kepada nilai GDP per kapita yang dihitung oleh negara. Kemampuan untuk menghasilkan kontribusi GDP minimal akan sebanding dengan input untuk menghasilkannya.

GDP adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu dan merupakan variabel makro ekonomi paling penting yang mengukur output barang dan jasa secara total suatu negara dan pendapatan totalnya (Mankiw, 2007). GDP dihasilkan oleh gabungan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan net ekspor yang dapat digambarkan dengan rumus:

GDP=C+I+G+(X-M)

dimana:

C = Komsumsi atau pengeluaran pribadi (yang termasuk dalam pengeluaran pribadi untuk rumah tangga misalnya makanan, biaya sewa dan biaya kesehatan).

I = Investasi adalah investasi bisnis untuk modal (domestik dan asing).

G = Pengeluaran pemerintah adalah jumlah dari nilai barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah. Jumlah tersebut termasuk gaji karyawan, pembelian

keperluan publik termasuk senjata untuk militer atau pembangunan rumah sakit. Komponen yang tidak termasuk dalam komponen G adalah transfer pembayaran, untuk jaminan sosial dan uang kesejahteraan bagi penduduk yang tidak bekerja.

X = Nilai ekspor mencakup produk suatu negara, termasuk barang dan jasa untuk konsumsi luar negeri.

M = Nilai impor atau impor kotor. Impor adalah jumlah dari nilai barang dan jasa luar negeri yang dikonsumsi oleh penduduk dalam negeri.

Page 6: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

Agus RustandiMenimbang Anggaran Pertahanan Indonesia: Pentingnya Mengukur

Nilai Ekonomi Pertahanan Dan Menjaga Stabilitas Politik

19

Maka jika pengukuran proporsi anggaran pertahanan adalah dengan membandingkan terhadap GDP negara tersebut, hal ini dapat merefleksikan bahwa nilai ekonomi pertahanan seolah-olah sama dengan nilai input-nya yaitu belanja pemerintah untuk sektor pertahanan. Pendekatan ini sering digunakan oleh para ahli walaupun dapat diperdebatkan (Hartley and Solomon, 2015). Hal ini menjadi perdebatan, salah satunya karena dalam menghitung GDP tidak menghitung nilai ekonomi dari hasil produksi bidang pertahanan. Cara kedua adalah dengan perhitungan berdasarkan harga perlindungan jiwa (mati atau terluka). Hal ini diperhitungkan jika terjadi

peperangan atau ancaman terhadap keamanan dan menimbulkan korban. Jadi perhitungannya adalah berapa sebenarnya seseorang harus mengeluarkan biaya agar tidak menjadi korban dalam situasi adanya ancaman? Hal ini tentu tidak mudah dihitung karena ketika ancaman itu datang, maka seberapa pun harganya orang akan berani membayarnya asal tidak menjadi korban dan bebas melakukan aktivitas ekonominya, tetapi ketika ancaman itu tidak ada maka harga sekecil apa pun seolah-olah menjadi tidak masuk akal. Pendekatan ini perlu

mengadaptasi tingkat kemungkinan (probabilitas) akan terjadinya ancaman tersebut. Demikian pula halnya secara asuransi tentu tidak semua orang mampu membayar asuransi. Padahal nilai dari ekonomi pertahanan tidak saja keuntungan berbentuk materiil (nilai ekonomi), namun juga non materiil atau tidak berwujud (intangible), misalnya harapan hidup yang lebih panjang dan membangun peradaban yang lebih maju. Begitu juga, ekonomi pertahanan bukan hanya semata-mata keuntungan finansial yang dihasilkan oleh penjualan produk-produk pertahanan yang dihasilkan oleh industri pertahanan yang dimiliki oleh suatu negara, ekonomi pertahanan juga dapat menimbulkan opportunity cost. Ketika suatu negara

hanya fokus membangun sektor publik yang lain misalnya dan mengambaikan sistem pertahanan maka, ketika terjadi ancaman yang menghancurkan aset-aset tersebut maka opportunity cost-nya senilai sektor publik yang telah dibangunnya ditambah dengan nilai waktu yang harus dipakai untuk membangunnya kembali serta ditambah dengan ketertinggalan (lag) sebagai akibat pengembangan tertunda atau penarikan manfaat yang hilang dan nilai intangible yang lain. Misalnya Perang Teluk antara Iran dan Irak menghancurkan sektor ekonomi, militer dan sosial bagi kedua belah pihak (Alfianto dan Rakhman, 2015). Contoh lain adalah kasus tertangkapnya usaha penyelundupan

Narkoba sebanyak 1 ton lebih oleh TNI AL di Selat Philip (Mremer, 2018). Keluaran dari peristiwa tersebut semestinya tidak saja hanya menghitung nilai ekonomi dari Narkoba tersebut (misalnya harga jual 1 gram Narkoba adalah Rp 1 juta, maka nilai 1.000.000 gram x Rp. 1 juta = Rp 1 triliun), tetapi nilai lain yang tidak dapat dihitung yaitu kerusakan para pemakainya (masyarakat). Jika satu gram dapat membunuh 3 orang (Rycko, 2017), maka 1.000.000 gram dapat digunakan oleh 3 juta masyarakat Indonesia. Maka biaya rehabilitasi untuk 3 juta jiwa

justru lebih mahal dari nilai jual (ekonomi) barang haram tersebut. Disamping itu, nilai intangible yang mungkin hilang adalah mental dan moral generasi muda menjadi lemah dan angka kriminalitas yang meningkat. Sehingga mengukur nilai ekonomi dari sektor pertahanan memang tidak mudah karena melibatkan satu paket variabel-variabel yang kompleks, berbeda dengan mengukur input untuk sektor pertahanan (Hartley, and Solomon, 2015). Pendekatan untuk menghitung output pertahanan dengan menggunakan fungsi output militer yang digagas oleh para ahli ekonomi dirasa masih belum cukup (Hartley, and Solomon, 2015). Fungsi tersebut adalah sebagai berikut:

Page 7: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

20

JURNAL MARITIM INDONESIAVol. 6 No. 1 | September 2018

Q=f (A ,K ,L)

dimana:Q : Output pertahananA : Input dari teknologiK : Input dari kapitalL : Input dari tenaga manusia

Namun demikian, sektor pertahanan harus dapat menghitung nilai ekonomi dari output-nya yang dimaksud bukan target pencapaian seperti sektor publik yang lain semisal Kementerian PUPR yang menghitung target capaiannya dengan jumlah

perumahan rakyat yang akan dibangun, atau panjangnya jalan raya yang akan dibuat. Begitu juga sektor kesehatan, bukan hanya target jumlah rumah sakit baru yang akan didirikan, jumlah pasien yang dapat dirawat atau disembuhkan tetapi juga ada manfaat intangible yang harus diperhitungkan misalnya daya tahan masyarakat terhadap penyakit, mencegah terjadinya pandemi atau wabah-wabah penyakit yang membahayakan dan angka harapan hidup yang meningkat. Sehingga menghitung nilai ekonomi sektor publik tidak mudah dan memerlukan

analisa biaya versus manfaatnya (Cost – Benefits Analysis). Disamping itu, sistem politik dan iklim politik negara juga memberikan pengaruh yang nyata.

SISTEM DAN IKLIM POLITIK Carl von Clausewizt (dalam Howard and Paret, 1976) menyatakan bahwa ‘war is nothing but the continuation of policy with other means’, (perang bukanlah apa-apa tetapi kelanjutan kebijakan dengan cara lain). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa perang adalah alat untuk mencapai tujuan politik suatu negara. Namun penggunaan instrumen politik ini (perang) berbeda-beda bagi tiap-tiap negara. Keputusan-keputusan dalam sektor pertahanan

termasuk penggunaan kekuatan militer untuk perang adalah dibuat dalam pasar politik (political market). Pasar politik yang dimaksud adalah terdiri dari para pemilih (dalam sistem demokrasi), partai politik, birokrasi dan kelompok-kelompok kepentingan (Hartley and Solomon 2015 dalam Mesese, Richer and Solomon, 2015). Namun demikian, keinginan menggunakan metode lain (perang) untuk mencapai tujuan politik belum tentu dapat terlaksanakan jika keseimbangan kekuatan masih tercapai. Menurut Gibler (2009) perang dapat terjadi jika terjadi ketidakseimbangan kekuatan. Salah satu alat penyeimbang adalah terbentuknya aliansi (Gibler 2009, Gulick 1955 dalam Gibler 2009). Maka dalam

hal ini, politik (iklim politik) dapat mempengaruhi penggunaan metode lain (perang) untuk mencapai kepentingan politik. Namun demikian, sikap politik (keputusan untuk beraliansi) pada dasarnya tidak menyurutkan persiapan untuk perang. Menurut data IISS (2017:65) menunjukkan bahwa kekuatan NATO justru semakin meningkat sebagai mana pernyataan Stoltenberg, Sekretaris Jenderal NATO ke-13 pada NATO’s Warsawa Summit yang menyatakan bahwa ‘NATO delivered the biggest reinforcement of ... collective defence in a generation’. Jumlah personel NATO Response Force (NRF) meningkat dari 13.000 personil menjadi 40.000 lebih personil. Begitu juga data beberapa negara yang memiliki aliansi menunjukkan anggaran pertahanannya cukup besar seperti misalnya Singapura yang tergabung dalam FPDA (Five Power Defence Arrangement) bersama-sama dengan Malaysia, New Zealand, Australia dan Inggris, sejak tahun 1990-an, anggaran pertahanan Singapura merupakan yang terbesar di ASEAN (IISS, 2017:241). Lebih jauh IISS (2017) mencatat proporsi anggaran negara-negara Asia (termasuk Australia) pada tahun 2016 yang lebih besar dari tahun 2015. Negara-negara yang memiliki perjanjian aliansi

Page 8: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

Agus RustandiMenimbang Anggaran Pertahanan Indonesia: Pentingnya Mengukur

Nilai Ekonomi Pertahanan Dan Menjaga Stabilitas Politik

21

militer relatif memiliki anggaran pertahanan yang lebih besar dibanding negara non blok (mandiri). Selain Singapura yang menduduki urutan keenam terbesar di Asia, Australia menduduki peringkat kelima yaitu sebesar 6,6% dari total belanja pertahanan negara-negara Asia dan Korea Selatan menduduki keempat, walaupun Korea Selatan tidak tergabung dalam aliansi tetapi, Korea Selatan memiliki perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat. Sedangkan negara-negara yang menggantungkan pada kekuatan sendiri seperti Indonesia dan Vietnam relatif berkontribusi rendah pada total belanja anggaran pertahanan regional. Berikut adalah data yang dicatat oleh IISS (2017):

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, menuntut anggota-anggota NATO untuk mengalokasikan anggaran pertahanan sebesar 2% dari GDP (Lunn, S and William, N., 2017). Konsep pertahanan bersama (collective defence) menuntut tiap-tiap anggotanya berkontribusi terhadap kapasitas aliansi secara keseluruhan (sekutu) untuk dapat mencegah dan bertahan melawan ancaman langsung terhadap wilayah teritorial negara-negara NATO (Group of Policy Experts: 2014).

Dari data tersebut maka seolah-olah faktor luar (kesepakatan dalam aliansi) juga turun mendorong besarnya pengalokasian anggaran pertahanan suatu negara. Hal tersebut juga dibuktikan pada era Perang Dingin. Perlombaan senjata yang diperlihatkan pada era Perang Dingin adalah sebuah bukti bahwa kebijakan politik negara mempengaruhi belanja militer (Murtamadji, 2009). Pengaruh reformasi dimana sipil mendominasi pemerintahan ditempuh melalui politik dengan demikian, politisasi semua sektor (sosial) menjadi menonjol terutama bagi partai-partai politik. Adanya otonomi daerah dan Pilkada (tidak serentak) menyebabkan isu sosial menjadi mengemuka,

sebaliknya isu di sektor pertahanan tidak mendapat tempat, demikian pula isu pemilihan di pusat. Isu sosial menjadi lebih menarik dari pada isu pertahanan sehingga laku dijual dalam kampanye partai. Sebagai contoh tema debat pemilihan kepala daerah yang saat ini sedang berlangsung di tanah air didominasi oleh isu pembangunan (Antara, 2018). Demikian juga saat debat Pilpres 2014 lalu, tema debat didominasi oleh tema-tema seperti Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih dan Kepastian Hukum; Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial;

Politik Internasional dan Ketahanan Nasional; Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; serta Pangan, Energi dan Lingkungan [Fatkhul Maskur (editor), 2014]. Berbeda misalnya dengan di Australia, isu pertahanan akan menandai suatu pemerintahan walaupun diskusi publik terjadi pada era kepemimpinan dan bukan pada periode pemilihan yaitu pada penyusunan Buku Putih Pertahanan. Jennings (2013) menyatakan bahwa ‘Buku Putih membawa harapan pribadi menteri dan aspirasi politik dari pemerintah’. Oleh karenanya anggaran pertahanan menjadi bagian dalam pendekatan seluruh perangkat pemerintahan. Gagalnya Indonesia mengalokasikan anggaran pertahanan

Gambar 2. Persentase Anggaran Pertahanan pada Total Belanja Pertahanan di Asia 2016.

Page 9: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

22

JURNAL MARITIM INDONESIAVol. 6 No. 1 | September 2018

sebesar 1,5% dari GDP di saat GDP Indonesia menempati posisi 15 besar dunia dan pertumbuhan ekonomi yang relatif di atas rata-rata menyebabkan suatu tanda tanya bahwa pengalokasian anggaran sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik dalam negeri dan iklim politik yang belum dewasa. Jennings (2013) juga menyatakan ‘Policy is a means to get and hold power achieved through politics. Maka kedewasaan berpolitik akan berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan.

STRATEGIC HEDGING (LINDUNG NILAI STRATEGIS) Merencanakan pembangunan kekuatan

pertahanan selain diperlukan sumber daya (anggaran) untuk merealisasikannya yang dilaksanakan melalui proses akuisisi dan pengadaan (procurement and acquisition), juga diperlukan waktu untuk mewujudkannya karena persenjataan dan peralatan militer (Alutsista – alat utama sistem senjata) memerlukan proses untuk pembuatan dan pelatihan untuk pengawakannya. Selain itu, pemenuhan kebutuhan Alutsista untuk melengkapi struktur kekuatan (force structure) harus berdasarkan pada strategi yang dipilih

(lihat Liotta and Lloyd, 2005). Struktur kekuatan lebih. Sedangkan struktur organisasi bukan hanya struktur sesederhana bagan organisasi tetapi meliputi manusia dan posisinya, prosedur, proses, kultur, teknologi dan elemen lain, dan strategi adalah arah dan tuntunan organisasi dalam mencapai tujuan jangka panjangnya melalui pengalokasian sumber daya di tengah tantangan lingkungan yang dihadapinya (Kavale, 2012, lihat juga Liotta and Lloyd, 2005). Pada kondisi demikian, datangnya ancaman tidak akan menunggu kesiapsiagaan sistem pertahanan (defence system preparedness) selesai terwujud. Oleh karena itu, suatu negara selain harus dapat secara sistematis merencanakan pembangunan kekuatan yang dibutuhkannya,

negara harus memiliki strategi lindung nilai (hedging strategy) sebagai media untuk menjamin terwujudnya rencana terutama bagi negara tingkat kedua (Salman and Geeraerts, 2013). Strategi lindung nilai adalah strategi yang bertujuan untuk menghindari atau mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh suatu kejadian yang tidak diinginkan dan bukan strategi untuk menghindari datangnya kejadian yang tidak diharapkan. Geeraerts dan Salam (2016) menyatakan bahwa lindung nilai strategis adalah bentuk perilaku yang digunakan oleh negara-negara yang ingin meningkatkan daya saing mereka, sementara pada saat yang sama menghindari konfrontasi langsung dengan pesaing

utama atau mengurangi dampak dari ketidakpastian (Salman and Geeraerts, 2013). Pesaing utama dalam hal ini adalah bakal musuh atau musuh. Strategi lindung nilai sering kali mengedepankan kekuatan lunak (soft power), walaupun kekuatan militer (hard power) juga disiapkan. Kekuatan lunak dapat terdiri dari unsur-unsur institusi internasional, ekonomi dan kekuatan diplomasi (Pape, 2005 dalam Geeraerts dan Salman, 2016). Geeraerts dan Salman (2016) menggambarkan komponen strategi lindung nilai sebagai berikut:

Menurut gambar di atas, komponen lindung nilai strategis terdiri dari komponen ekonomi; demokrasi dan kemampuan militer. Komponen ekonomi memiliki pengaruh positif terhadap waktu penyiapan

Gambar 3. Komponen Strategic Hedging (lindung nilai strategis)

Page 10: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

Agus RustandiMenimbang Anggaran Pertahanan Indonesia: Pentingnya Mengukur

Nilai Ekonomi Pertahanan Dan Menjaga Stabilitas Politik

23

kekuatan pertahanan karena semakin kuat ekonomi suatu negara maka semakin dapat menghindari konflik. Dengan kata lain ekonomi menjadi kekuatan lunak yang dapat mempengaruhi persepsi negara lain karena ekonomi dapat menjadi kekuatan politik (Ross, 2006). Demikian pula halnya dengan demokrasi yang kuat (kepemimpinan pemerintah), menurut Geeraerts dan Salam (2016) negara kaya belum tentu menjadi negara besar jika tidak memiliki (kepemimpinan) pemerintah yang kuat, karena jika tidak adanya pemerintahan yang kuat, maka negara tidak akan memiliki kapasitas untuk memanfaatkan kekuatan ekonomi dan militernya. Berangkat dari konsep lindung nilai strategis

tersebut maka, Indonesia perlu menerapkan strategi (hedging) dalam usaha membangun sistem pertahanannya untuk menyiasati keterbatasan anggaran. Strategi ini selain dapat diterapkan bagi negara tingkat dua (negara berkembang), strategi hedging adalah merupakan strategi campuran (Park, J, J., 2011) yang dapat diterapkan oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan dua alasan. Pertama, pada dasarnya ekonomi Indonesia cukup stabil yang dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi yang hampir selalu berada di atas rata-rata dunia.

Indonesia juga merupakan sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam. Walaupun pada tahun 2016 Indonesia berada pada ranking 100 dunia kelompok negara (kaya) yang didasarkan pada GDP Per Capita (Gregson, J, 2017). Sedangkan CIA factbook (2018) mencatat GDP-PPP (Purchasing Power Parity) Indonesia berada pada peringkat delapan dunia. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2018 berada di atas rata-rata negara maju bahkan di atas rata-rata dunia (IMF, 2018). Maka kekuatan ekonomi Indonesia dapat dijadikan sebagai kekuatan lunak pertahanan negara. Sebagaimana Treverton dan Jones (2005) berpendapat bahwa kekuatan ekonomi adalah fondasi dari kekuatan militer.

Kedua, politik luar negeri yang dianut oleh Indonesia pada sepuluh tahun terakhir ini tidak keluar dari dasar politik luar negeri (Polugri) Indonesia yaitu bebas aktif, walaupun masing-masing pemerintahan mengimplementasikan dengan cara yang berbeda. Pada era Presiden SBY, Polugri Indonesia menampilkan sosok high profile dengan banyak melakukan aktivitas di level regional dan internasional terutama dalam lingkup regional dan global structure. Sedangkan pada era saat ini (Presiden Jokowi) menampilkan sosok low profile atau inward-looking yang fokus pada urusan dalam negeri (Situmorang, 2014). Politik luar negeri bebas aktif Indonesia

memberi ruang bagi Indonesia melakukan kerja sama di berbagai bidang sehingga memungkinkan untuk melakukan kerja sama ekonomi sekaligus kerja sama pertahanan. Hal ini didasarkan pada perkembangan bahwa di Indonesia berkembang nasionalisme kosmopolitan yang menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak menghindari bangsa lain, namun tetap memiliki kultural keindonesiaan (Ubaedillah, A dan Razak A., 2013 dalam Situmorang 2014). Implementasi nasionalisme kosmopolitan contohnya terlihat pada hubungan yang tetap terjaga

antara Indonesia dengan Korea Utara walaupun Indonesia memiliki kerja sama di berbagai bidang dengan Korea Selatan yang merupakan ‘musuh’ Korea Utara. Demikian juga hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Rusia tetap terjaga dengan tetap mengedepankan kultur keindonesiaan, walaupun hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia masih diselimuti persaingan. Namun demikian, memperhatikan diagram komponen Strategic Hedging Geeraerts dan Salman, di atas 2016. Komponen ketiga dari strategi lindung nilai yang harus dimiliki oleh Indonesia yaitu pemerintahan yang kuat (demokrasi) belum benar-benar terwujud. Pasalnya, perubahan iklim pemerintahan yang telah digagas dua puluh

Page 11: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

24

JURNAL MARITIM INDONESIAVol. 6 No. 1 | September 2018

tahun lalu (reformasi) melalui enam tuntutan belum mencapai pada perubahan yang dicita-citakan. Saat ini hal tersebut masih meruap ditelan kepentingan politik (Aprilianto, A., et el 2018). Dengan kata lain perubahan yang dicita-citakan masih belum terwujud dan bahkan melahirkan ironi baru, misalnya kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu tuntutan reformasi telah melahirkan apa yang disebut oleh Rizki Edmi Edison sebagai ‘makin bebas berekspresi, makin tak rasional’ (Makin Bebas Berekspresi, 2018). Sehingga, jika Indonesia akan menerapkan strategi lindung nilai dalam proses pembangunan kekuatan pertahanannya, maka harus menggunakan

pendekatan pemerintahan satu atap (the whole of government approach - WGA). WGA adalah pendekatan pemerintah dalam layanan publik termasuk di bidang sektor pertahanan dari bersifat disegregasi dan devolusi struktural menjadi terintegrasi (Australian Government, 2012 lihat juga United Nations, 2012) yang menerima pemahaman secara nyata bahwa sektor pertahanan adalah prioritas utama dalam membangun bangsa dan negara. Dalam konteks keindonesiaan, pemerintahan satu atap di sektor pertahanan adalah menjadikan

isu sektor pertahanan menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan bagi kementerian dan lembaga di luar sektor pertahanan dalam menyusun dan melaksanakan program kerjanya.

KESIMPULAN Anggaran pertahanan Indonesia masih sekitar 0,9% dari GDP atau belum mencapai sesuai yang diperlukan per tahun anggarannya yaitu sebesar 1,5% dari GDP walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil yang digambarkan dengan angka besarnya GDP Indonesia yang selalu di atas rata-rata negara berkembang dan dunia. Sehingga ada faktor yang mempengaruhi mengapa pemerintah Indonesia konsisten mengalokasikan anggaran yang

relatif kecil jika dibandingkan dengan negara-negara sekitarnya. Ketiadaan gambaran besaran nilai ekonomi dari output sektor pertahanan dan situasi serta iklim politik yang belum mapan memberikan kontribusi bahwa sektor pertahanan belum menjadi prioritas untuk segera diwujudkan sesuai dengan kebutuhan minimumnya (MEF). Sedangkan di sisi lain, upaya untuk menggunakan kekuatan lunak (soft power) sebagai strategi campuran dalam menimbulkan efek pertahanan seperti sektor ekonomi dan kekuatan pemerintah pusat masih belum efektif karena sektor pertahanan masih belum digarap dalam pendekatan pelayanan pemerintah satu atap (the whole government approach).

DAFTAR PUSTAKA

Alfianto dan Rokhman, M.N., (2015) Perang Teluk I: Konflik Iran-Irak 1980-1988, Universitas Negeri Yogyakarta.

Antara, Debat Pilgub Sumut II Angkat Tema Pembangunan Berkeadilan (2018), diperoleh dari < http://news.metrotvnews.com/read/2018/05/09/871968/debat-pilgub-sumut-ii-angkat-tema-pembangunan-berkeadilan>, diakses 17 Mei 2018.

Aprilianto, A., Septian, A., Hidayat, B., Hidayat, D., Yunus, S., Kurniawan., PRamono, S, T, E., dan Arvian, Y., (editor) (21-27 Mei 2018), Liputan Khusus 20 Tahun Refeormasi, Tempo, 44-100.

Australian Government – Australian Public Service Commission, The Whole of Government Challenge, (2012), diperoleh dari <

Bakrie, C. R., (2007), Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Page 12: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

Agus RustandiMenimbang Anggaran Pertahanan Indonesia: Pentingnya Mengukur

Nilai Ekonomi Pertahanan Dan Menjaga Stabilitas Politik

25

Bovea, V., Efthyvouloub, G., and Navas A., (2017), Political cycles in public expenditure: butter vs guns, Journal of Comparative Economics 45 (2017) 582–604.

CIA Factbook, The World Factbook, diperoleh dari <https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world-factbook/rankorder/2001rank.html#id>, diakses 21 Mei 2018.

Dikici, Emre, (2015), Guns Versus Butter Tradeoff: The Theory of Defense Quality Factor, Journal of Economics, Business and Management, Vol. 3, No. 7, 704-709.

Fatkhul Maskur (editor), (2014), PILPRES 2014, KPU Siapkan 5 Tema Debat Capres-Cawapres, diperoleh dari < http://kabar24.bisnis.com/read/20140604/355/233238/pilpres-2014-kpu-siapkan-5-tema-debat-capres-cawapres>, diakses 17 Mei 2018.

Geeraerts, G., and Salam, M, (2016), ‘Measuring Strategic Hedging Capability of Second-Tier States Under Unipolarity’, Chinese Political Science Review, March 2016, Volume 1, Issue 1, pp 60–80.

Gibler, D, M., (2009), Internasional Military Alliance 1648-2008, CQ Press, Washington.

Gregson J., (2017), The World's Richest and Poorest Countries, Global Finance, diperoleh dari < https://www.gfmag.com/global-data/economic-data/worlds-richest-and-poorest-countries>, diakses 21 Mei 2018.

Group of Policy Experts, Collective Defence and Common Security: Twin Pillars of the Atlantic Alliance, Report to the NATO Secretary General, June 2014.

Hakim, Syaiful, ‘KRI Jadi Prioritas Utama Dalam Revisi MEF’, Antara Sumbar, 2015 diperoleh dari < https://sumbar.antaranews.com/berita/166031/kri-jadi-prioritas-utama-dalam-revisi-mef>, diakses 11 Mei 2018.

Hartley, K., and Solomon, (2015) “Measuring Defence Output: An Economics Perspective, in Melese et el (eds.), Military Cost-Benefit Analysis – Theory and Practice, Routledge Studies in Defence and Peace Economics , Routledge, Oxon.

Hartley, Keith, (2011) The Economics of Defence Policy – A New Perspective, Routhledge, Oxon.

Howard, M and Paret, P., (translator) (1976), Carl Von Clausewitz On War, Oxford, New York.

IMF, (2017), Real GDP Growth, diperoleh dari < http://www.imf.org/external/datamapper/NGDP_RPCH@WEO/WEOWORLD/IDN>, diakses 6 Maret 2018.

IMF, (2018), Real GDP Growth, diperoleh dari < http://www.imf.org/external/datamapper/NGDP_RPCH@WEO/OEMDC/ADVEC/IDN>, diakses 21 Mei 2018.

Inboden, C., William, (2016) The Role of A Strong National Defense’, The Heritage Foundation, diperoleh dari <http://index.heritage.org/military/2016/essays/role-of-a-strong-national-defense/>, diakses 30 Januari 2018.

International Institute for Strategic Studies (IISS), The Military Balance: The Annual Assessment on Global Military Capabilities and Defence Economics, (2017),

Jennings, P, (2013), ‘The Politics of Defence White Papers’, Security Challenges, Vol. 9, No. 2 (2013), pp. 1-14.

Kavale, S, The Connection Between Strategy and Structure, Internasional of Business and Commerce, Vol. 1 No. 6 Februari 2012.

Liotta, P.H. and Lloyd, R. M., From Here too There: The Strategy and Force Planning Framework, Naval War College Review, Spring 2005, Vol. 58, No. 2.

Page 13: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

26

JURNAL MARITIM INDONESIAVol. 6 No. 1 | September 2018

Lunn, S and William, N., (2017), ‘NATO Defence Spending: The Irrationality of 2%’, European Leadership Network: Issue Brief, Defence Spending, June 2017.

Makin Bebas Berekspresi, Makin Tak Rasional, (28 Juni 2018), Kompas, hal. 1 dan 15.

Mankiw, N., Gregory, Makro Ekonomi, Edisi Keenam, (2007), Penerbit Erlangga, Jakarta.

Melese, F., Richter, A and Solomon, B (2015), ‘Introduction: military cost–benefit analysis’, dalam Melese, F., Richter, A and Solomon, B (editors), Military Cost–benefit Analysis Theory and practice, Routledge, London.

Menteri Keuangan RI, (2018), Kebijakan Penguatan Pertahanan Negara Dalam Kerangka Pembangunan Nasional, Bahan Rapim Kemhan 2018 (tidak diterbitkan), Jakarta.

Mremer, Hendri, ‘TNI AL Amankan Kapal Penyelundup 1 Ton Sabu di Selat Phillip’, Media Indonesia, 9 Februari 2018, diperoleh dari <http://www.mediaindonesia.com/news/read/144704/tni-al-amankan-kapal-penyelundup-1-ton-sabu-di-selat-phillip/2018-02-09>, diakses 22 Februari 2018.

Mulyani, Sri, Menteri Keuangan, (2018), Paparan pada Rapim Kementerian Pertahanan hari kedua, 11 Januari 2018 (slide paparan tidak diterbitkan).

Murtamadji, (2009), Kegagalan Perang Dingin Antar Dua Negara Adidaya: Faktor Penyebab Dan Implikasinya, Humanika Vol. 9 No. 1, Maret 2009, hal. 81-92.

Pan, B., Wei, S. Y., Xu, X., and Hong, W, C., (2014), The Impact of Defense Investment on Economic Growth in the Perspective of Time Series: A Case Study of China, International Journal of Applied Evolutionary Computation, 5(4), October-December 2014, 44-58.

Park, J. J., (2011), ‘The US-led alliances in the Asia-Pacific: hedge against potential threats or an undesirable multilateral security order?’, The Pacific Review, Volume 24, 2011.

Peñalver, A. J. Briones, (2013), ‘The economics of security and defence. Transfer of knowledge and innovation related to the defence industry, Revista del Instituto Español de Estudios Estratégicos Núm. 2 / 2013.

Perdana, Gilang, TNI AL Revisi Target Jumlah Kepemilikan Kapal Selam, Dari 12 Jadi 8 Unit Hingga 2024, diperoleh dari < http://www.indomiliter.com/tni-al-revisi-target-jumlah-kepemilikan-kapal-selam-dari-12-jadi-8-unit-hingga-2024/>, diakses 11 Mei 2018.

Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Anggaran, (2018), Informasi APBN 2018: Pemantapan pengelolaan fiskal untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, Jakarta, diperoleh dari < https://www.kemenkeu.go.id/media/6552/informasi-apbn-2018.pdf>.

Rizal, A, L., pada seminar “Diplomasi Ekonomi Indonesia: Partisipasi Indonesia dalam Forum G20 dan Hasil KTT G20 Tahun 2017, pada Himawan, A dan Hapsari, D, K, (2017), Inilah Manfaat Indonesia Bergabung Dalam G20 (13 September 2017), diperoleh dari < https://www.suara.com/bisnis/2017/09/13/000100/inilah-manfaat-indonesia-bergabung-dalam-g20>, diakses 6 Maret 2018.

Ross, R. S., (2006) Balance of Power and the Rise of China: Accommodation and Balancing in East Asia, Security Studies, 15:3.

Rycko, D, A., (2017) dalam laporan wartawan Tribunal Medan, Kapolda Sumut: 1 Gram Sabu Bisa Membunuh 3 Pengguna, diperoleh dari < http://www.tribunnews.com/regional/2017/02/07/kapolda-sumut-1-gram-sabu-bisa-membunuh-3-pengguna>, diakses 6 Maret 2018.

Page 14: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

Agus RustandiMenimbang Anggaran Pertahanan Indonesia: Pentingnya Mengukur

Nilai Ekonomi Pertahanan Dan Menjaga Stabilitas Politik

27

Salman and Geeraerts, (2013), The Impact of Strategic Hedging on the Foreign Politics of Great Powers: The Case of Chinese Energy Strategy in the Middle East. China Goes Global 2013 –September 25-27, Bremen, Germany.

Situmorang, M., (2014), Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan Jokiwo-JK, (Makalah dalam rangka diskusi kegiatan Networking oleh Sekretariat Kantor Wakil Presiden, Kementerian Sekretaris Negara, Hotel Serela, Hegarmanah Bandung, 15 September 2014. Makalah tidak dipublikasikan).

Treverton, G, F., and Jones, S, G., (2005), Measuring National Power, RAND Corporation.

Ubaedillah, A., dan Rozak, A., (2013) Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE-UIN hal. 51.

United Nations, (2012), United Nations: E-Government Survey 2012, E-Government for the People, New York.

Wiyanti, Sri, (2015), Menteri Susi minta Indonesia keluar dari G20, ini kata JK, diperoleh dari < https://www.merdeka.com/peristiwa/menteri-susi-minta-indonesia-keluar-dari-g20-ini-kata-jk.html>, diakses 22 Februari 2018.

World Bank, (2018) Military Expenditure (% of GDP): Indonesia, diperoleh dari < https://data.worldbank.org/indicator/MS.MIL.XPND.GD.ZS?locations=ID&order=wbapi_data_value_2012+wbap>, diakses 6 Maret 2018.

Page 15: MENIMBANG ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA: PENTINGNYA ...jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/09/Menimbang...ekonomi Indonesia memiliki tren positif dengan tingkat pertumbuhan

28

JURNAL MARITIM INDONESIAVol. 6 No. 1 | September 2018