Me Diko Legal

40
SEJARAH MEDIKO-LEGAL • 2980-2900 SM : IMHOTEP • 1700 SM : HAMMURABI • 1400 SM : HITTITES • 44 SM : ANTHITIUS, JULIUS CAESAR, FORUM • 600 M : MING YUANG SHIH LU • 1241-1253 M : “Kematian yg mencurigakan” : Record of Washing Away of Wrongs (Cina) • 1302 M : Autopsi Medikolegal di Bologna • 1823 M : SIDIK JARI • 1958 M : Patologi Forensik sebagai spesialis Prosedur mediko-legal Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum.Secara garis besar prosedur mediko-legal mengacu kepada peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran LINGKUP PROSEDUR MEDIKO-LEGAL pengadaan visum et repertum, tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka. pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan ahli di dalam persidangan, kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran, tentang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan Surat Keterangan Medik , tentang fitness / kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik,

description

referat

Transcript of Me Diko Legal

SEJARAH MEDIKO-LEGAL

• 2980-2900 SM : IMHOTEP• 1700 SM : HAMMURABI• 1400 SM : HITTITES• 44 SM : ANTHITIUS, JULIUS CAESAR, FORUM• 600 M : MING YUANG SHIH LU• 1241-1253 M : “Kematian yg mencurigakan” : Record of Washing Away of Wrongs (Cina)• 1302 M : Autopsi Medikolegal di Bologna• 1823 M : SIDIK JARI• 1958 M : Patologi Forensik sebagai spesialis

Prosedur mediko-legal Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atauprosedur penatalaksanaan dan berbagaiaspek yang berkaitan pelayanankedokteran untuk kepentingan hukum.Secara garis besar prosedur mediko-legalmengacu kepada peraturanperundangundangan yang berlaku diIndonesia, dan pada beberapa bidang jugamengacu kepada sumpah dokter dan etikakedokteran

LINGKUPPROSEDUR MEDIKO-LEGAL pengadaan visum et repertum, tentang pemeriksaan kedokteran terhadaptersangka. pemberian keterangan ahli pada masa sebelumpersidangan dan pemberian keterangan ahli didalam persidangan, kaitan visum et repertum dengan rahasiakedokteran, tentang penerbitan Surat Keterangan Kematiandan Surat Keterangan Medik , tentang fitness / kompetensi pasien untukmenghadapi pemeriksaan penyidik,

AUTOPSI FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANAMENURUT KUHAP

A. Autopsi Forensik

1. Definisi AutopsiAutopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputipemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuanmenemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukaninterpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabkematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainanyang ditemukan dengan penyebab kematian2. Jenis Autopsi Berdasarkan Tujuan

a. Autopsi KlinikDilakukan terhadapat mayat seseorang yan diduga terjadi akibatsuatu penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yangpasti, menganalisis kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosispostmortem, patogenesis penyakit, dan sebagainya. Untuk autopsi inimutlak diperlukan izin keluarga terdekat mayat tersebut. Sebaiknyaautopsi klinik dilakukan secara lengkap, namun dalam keadaan amatmemaksa dapat juga dilakukan autopsi parsial atau needle necropsyterhadap organ tertentu meskipun pada kedua keadaan tersebutkesimpulannya sangat tidak akurat

b. Autopsi Forensik/MedikolegalDilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibatsuatu sebab tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan,maupun bunuh diri. Tujuan pemeriksaan autopsi forensik adalah untuk:1) Membantu penentuan identitas mayat2) Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saatkematian3) Mengumpulkan dan memeriksa benda bukt i untuk penentuan identitasbenda penyebab dan pelaku kejahatan4) Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalambentuk visum etrepertum Autopsi forensik harus dilakukan sedinimungkin, lengkap, oleh dokter sendiri, dan seteliti mungkin

c. Autopsi AnatomiDilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat penyakit, olehmahasiswa kedokteran dalam rangka belajar mengenai anatomi manusia.Untuk autopsi ini diperlukan izin dari korban (sebelum meninggal) ataukeluarganya. Dalam keadaan darurat, jika dalam 2 x 24 jam seorangjenazah tidak ada keluarganya maka tubuhnya dapat dimanfaatkan untukautopsi anatomi

3. Faktor-faktor penghambat autopsi forensic

Berdasarkan kenyataannya pihak kepolisian terdapat beberapahambatan-hambatan didalam melaksanakan autopsi kehakiman antara laina. Masyarakat kurang mengerti akan autopsi itu sendirib. Masyarakat kurang mengerti tentang administrasi autopsy

Apabila pihak polisi menghadapi tuntutan / hambatan dari pihakkeluarga korban, maka petugas porli yang mengadakan pengusutan dalamperkara tersebut selalu berusaha dengan menjelaskan dan menyadarkanpihak keluarga korban akan perlu pentingnya autopsi yang hanya dapatdibuat berdasarkan hasil bedah mayat tersebut akan digunakan sebagai alatpembuktian dalam usaha mencari pembuktian kebenaran materiil dalamperistiwa yang menyangkut si korban. tetapi biasanya keluarga kobanmemberikan alasan agama melarang pembedahan terhadap mayat, tetapikalau kematiannya tidak wajar bahwa sangat mencurigakan walaupunkeluarganya menolak dilakukan autopsi polisi akan tetap memaksa kalauperlu ditunjukkan hukumnya yakni pasal 222 KUHP.Jadi perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang mempunyaitujuan untuk merintangi penegak hukum dalam pemeriksaan atas suatukejahatan dalam hal mana pemeriksaan mayat, pada umumnyadilakukannya pembedahan mayat itu terhadap tanta-tanda atau petunjukpetunjukbahwa kematian seseorang adalah sebagai akibat dari perbuatan /tindakan kekerasan. ketentuan ini tidak hanya diperlukan terhadap mayatyang belum dikubur yang digali kembali untuk pemeriksaan. oleh karenaitu demi kelancaran pengadaan bedah mayat atau biasa disebut visum etrepertum jenazah untuk kepentingan peradilan,Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter ataspermintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medikterhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagiandari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah,untuk kepentingan peradilanSedangkan peranan dan fungsi visum et repertum adalah salah satualat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visumet repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidanaterhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikansegala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalambagian Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai penggantibenda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapatdokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalambagian KesimpulanDengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembataniilmu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca Visum etRepertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi padaseseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-normahukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.

Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduknya persoalandi sidang Pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli ataudiajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yangmemberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulangatas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa

atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan (ps 180KUHAP)Maka dari itu dikeluarkan Intruksi kapolri No.pol: Ins / E / 20 /IX /1975 tentang tata cara permohonan / pencabutan visum et repertum yangpada pokoknya berisi ketentuan-ketentuan administrasi yang harusditempuh dalam permohonan pencabutan visum et repetum jenazah yaitu :Bahwa permintaan visum et repertum terhadap mayat atau visum etrepertum susulan setelah seseorang meninggal dunia tidak dibenarkandengan pemeriksaan luar saja.Bila keluarga korban keberatan maka kewajiban polri menjelaskansecara persuasive arti penting dari bedah mayat dan bila perlu dapatmenggunakan pasal 222 KUHP

a. Pada dasarnya tidak dibenarkan pencabutan kembali visum et repertumkecuali bila terpaksa dan hal ini hanya boleh dilakukan oleh pejabatpejabattertentu saja.

b. Petugas C4, pemeriksa wajib dating menyaksikan dan mengikuti jalannyapemeriksaan mayat oleh dokter.

c. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada waktu doktermelakukan bedah mayat perlu dilakukan pengamanan oleh polri setempat.

Salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi kelancaran prosesautopsi kehakiman di pengadilan adalah aspek kesadaran masyarakat sendiri,kenyatan praktek membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sebagian masihblum dapat menerima, pemeriksaan bedah mayat yang sering dugunakansebagai alasan untuk menolak autopsi oleh keluarga korban adalahagama/adapt yang mana membedah berarti tidak menghormati jenazah untukkepentingan peradilan dibolehkan. terdapat dalam Surat Edaran Fatwa No.4tahun 1955.Sebagai alasan pembenaran terhadap tindakan yang dianggap tidakmenghormati jenazah sekaligus mengilangkan keragu-raguan umat untukdapat memahami permasalahannya dengan jelas.Maka wajarlah bila seseorang cenderung untuk mempertahankanpendapat atau keyakinannya bahwa pembedahan terhadap mayat merupakanhal terlarang, jenazah itu harus dihormati. namun demikian dalam ketentuanpasal 222 KUHP dan pasal 133, 134, 135 KUHAP merupakan hukumnasional maka ketentuan-ketentuan hukum inilah yang harus dipergunakanuntuk dilaksanakan bagi seluruh warga Indonesia.

4. Dasar Hukum Autopsi ForensikBeberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaandokter dalam membantu peradilan:Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yangsepadan dengan visum et repertum adalah pasal 186 dan 187, yang berbunyi :a. Pasal 186“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidangpengadilan”.b. Pasal 187

Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkankeahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secararesmi dari padanya.Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai denganketentuan dalam KUHAP Pasal 184, Alat bukti yang sah adalah :a. Keterangan saksib. Keterangan ahlic. Suratd. Petunjuke. Keterangan terdakwaDari pasal-pasal di atas tampak bahwa yang dimaksud denganketerangan ahli maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah visum etrepertum.a. Pasal 133 KUHAPa) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menanganiseorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karenaperistiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukanpermintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman ataudokter dan atau ahli lainnya.b) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegasuntuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaanbedah mayat.c) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokterpada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuhpenghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg memuatidentitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kakiatau bagian lain badan mayat.b. Pasal 134 KUHAPa) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktianbedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajibmemberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.b) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkansejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannyapembedahan tersebut.c) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun darikeluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidiksegera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal133 ayat (3) undang-undang ini.c. Pasal 179 KUHAPa) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokterankehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahlidemi keadilan.b) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagimereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwamereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keteranganyang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalambidang keahliannya.d. Pasal KUHP 222:Yang menyatakan barang siapa dengan sengaja mencegah,

menghalang halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik,diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidanadenda paling banyak empat ribu lima ratus rupiahe. Fatwa Kedokteran (Majelis Ulama Indonesia) :Di samping soal teknis metodologi, terbukti pula bahwa UlamaIndonesia dalam merumuskan dan menetapkan fatwa terikat olehbeberapa faktor. Pada umumnya setiap fatwa atas satu isu terikat olehbeberapa faktor atau ciri, salah satunya yaitu berkaitan dengan lebihmementingkan kebutuhan orang hidup daripada kehormatan orang mati.Fatwa tentang bolehnya donor organ, transplantasi organ manusia, bedahmayat untuk pendidikan dan pengadilan, dan autopsi terkait dengan faktorini.5. Kewenangan Melakukan AutopsiAutopsi dikerjakan oleh dokter umum di Rumah Sakit pemerintah dantiap dokter harus dapat melaksanakannya. Seorang ahli ilmu kedokterankehakiman ialah seorang dokter yang telah memperoleh keterangan keahlian(bravet) dan biasanya mereka bekerja di fakultas kedokteran di kota-kotabesar dan jumlahnya hanya beberapa orang saja “ kedudukan dokter umumdan dokter ahli kedokteran kehakiman menurut hukum adalah sama, merekaitu adalah seorang ahli “1 keterangan ahli surat keterangan dokter.Kebanyakan dokter umum merasa dirinya bukan ahli, sedangkan iadalah seorang ahli dalam hal ini tidak ada alasan bagi dokter menganggapdirinya bukan ahli, dan harus melakukannya sebagai ahli, sedangakan polisikurang memahami arti autopsi untuk menentukan sebab kematian dari luarsaja. selain itu meskipun polisi memahami arti autopsi, ia kadang-kadangtidak dapat mengatasi desakan keluarga jenazah agar tidak dapat dilakukanautopsi dan jalan yang paling mudah ialah melemparkan kesulitan tersebutkepada dokter adakalanya keluarga jenazah dihadapkan polisi menerimapenjelasan manfaat autopsi dan menyetujuinya tetapi setelah kemabali d RSlalu ia menolak.2 Padahal seharusnya pihak keluarga tidak boleh mencegakatau menolak dilakukannya autopsi. karena dalam pasal 222 KUHP sudah dijelaskan.” barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi ataumenggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjarapaling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu limaratus rupiah “

B. Pembuktian1. Definisi Pembuktian

Pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP) dapat diartikansebagai upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti danbarang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatanpidana yang didakwakan serta dapat mengtahui ada tidaknya kesalahan padadiri terdakwa.Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah suatu pembuktianmenurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansiatau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layakdengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidakterang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya perkara pidana.4Menurut Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan yang

membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankankebenaran.5Mencarai suatu pembukitian dalam pemecahan permasalahan dapatmenyangkut berbagai hal yang menjadi alat ukur dalam menyelenggarakanpekerjaan pembuktianAdapun alat ukur tersebut antara lain adalah :a. Bewijsgrondenyaitu dasar-dasar atau prinsip-prinsip pembuktian yang tersimpuldalam pertimbangan keputusan pengadilanb. Bewijsmiddelenyaitu alat-alat pembuktian yang dapat digunakan hakim untukmemperoleh gambaran tentang terjadinya perbuatan pidana yang sudahlampau.c. Bewijsvoeringyaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat buktikepada hakim disidang pengadiland. Bewijskrachtyaitu kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti dalamrangakaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan.e. Bewijslastyaitu beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undanguntuk membuktian tentang dakwaan di muka sidang pengadilan.2. Sistem Pembuktian perkara PidanaDidalam hukum pidana di kenal beberapa macam, pembuktian yangmenjadi pegangan bagi hakim didalam melakukan pemeriksaan terhadapterdakwa disidang pengadilan berdasarkan praktek peradilan pidana. Dalamperkembangannya.dikenal ada 4 (macam) sistem atau teori pembuktian.adapun teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :6a. Conviction IntimeSistem ini dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkankeyakinan hakim belaka, sistem ini lebih memberikan kebebasan kepadahakim untuk menjatuhkan suatau putusan. Tidak ada alat bukti yangdikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakimb. Conviction RasionneSistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakimtetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yangrasionalBerbeda dengan sistem conviction intime dalam sistem ini hakimtidak lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya,keyakinannya itu harus diikuti dengan alasan-alasan yang mendasarikeyakinannya itu dan alasan-alasan itupun haris (reasonable) yakniberdasarkan alasan yang dapat diterimah oleh akal pikiran.c. Positief Wetlelijk Bewijstheorieadalah sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut UUsecara positif . pembuktian menurut sistem ini dilakukan denganmenggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam UUuntuk menetukan ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harusmendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut dalam UU jika alat buktitersebut telah terpenuhi, maka hakim sudah cukup beralasan untukmenjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu

atas kebenaran ala-alat bukti yang ada.d. Negatif Wetlelijk BewijstheoriePembuktian berdasarkan UU secara negatif adalah pembuktianyang selain menggukana alat-alat bukti yang dicantumkan didalamUndang-undang juga menggunakan keyakinan hakim, sekalipunmenggunakan keyakinan hakim yang mana keyakinan tersebut terbataspada alat bukti yang tercantum dalam Undang-undang.C. Macam-macam Alat Bukti dalam KUHAPAlat Bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:a. Keterangan saksi;b. keterangan ahli;c. surat;d. petunjuk;e. keterangan terdakwa.Dalam ketentuan pasal 184 tersebut ternyata keterangan ahli termasuksebagai salah satu alat bukti yang sah. sedangkan dalam Pasal 1 butir 28KUHAP menyatakan “ bahwa keterangan yang diberikan oleh seseorang yangmemiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terangsesuatu perkara pidana guna kepentingan umum..Selanjutnya dalam Pasal 186 KUHAP disebutkan: “keteranganahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. “ penjelasanpasal 186 KUHAP ini adalah bahwa keterangan ahli dapat juga sudahdiberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yangdituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpahpada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka padapemeriksaan di sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dandicatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Keterangan tersebut diberikansetelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.Demikian juga pemeriksaan pasal 133 ayat (1) KUHAP bahwaketerangan diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokterankehakiman disebut keterangan.Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah apakah dari doktersebagai seorang ahli dapat berperan sebagai alat bukti? tentu saja dalam halini tergantung dari cara dokter dalam memberikan keterangannya. apabilapersyaratan yang di berikan terpenuhi maka keterangan dokter tersebut dapatberperan sebagai alat bukti yang sah, tetapi apabila persyaratan itu tidakterpenuhi maka keterangan tersebut tidak dapat berlaku sebagai alat bukti.Ada beberapa kemungkinan kemungkinan-kemungkinan yang dapatterjadi dari keterangan dokter pada sidang pengadilan antara lain sebagaiberikut :a. Sebagai alat buktia) Alat bukti surat, dalam hal ini keterangan itu di berikan secaratertulis dengan mengingat sumpah.b) Alat bukti keterangan ahli, dalam hal ini di berikan secara lisan disidang pengadilan dengan sumpah / janji..

b. Sebagai keterangan yang disamakan nilainya dengan alat buktiPengertiannya adalah dalam hal keterangan dokter dibawahsumpah dihadapan penyidik, dibacakan di sidang pengadilan karena

dokter meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadiratau tidak di panggil karena jauh tempat tinggalnya atau karena sebab lainyang berhubungan dengan kepentingan Negara.c. Sebagai keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakimMaksudnya sebagai keterangan yang menguat kan keyakinanhakim dalam hal keterangna dokter itu di berikan secara lisan di sidangpengadilan tanpa sumpah / janji karena dokter tetap menolakmengucapkannya.Syarat sahnya keterangan ahli yaitu :8a) keterangan diberiakan kepada ahlib) memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentuc) menurut pengetahuan dalam bidang keahliannyad) diberikan dibawah sumpahKeterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat dilakukan dengandua cara yaitu :a) dengan cara meminta keterangan ahli pada taraf penyidikansebagaimana pasal 133 KUHAP. menurut pasal ini keterangan ahlidiberikan secara tertulis melalui surat. atas permintaan ini ahlimenerangkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk laporan.b) keterangan diberikan secara lisan dan langsung di pengadilan(pasal 179 dan 186 KUHAP). pada prinsipnya alat buktiketerangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembutian yangmengikat dan menentukan. dengan demikian nilai keteranganpembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan yangmelekat pada alat bukti keterangan saksi namun penilaian hakimharus benar-benar bertanggung jawab atas landasan moril demiterwujudnya kebenaran materill.Jadi hasil pemeriksaan autopsi kehakiman yang dituangkan kedalamsuatu bentuk tertulis yang lazimnya disebut dengan visum et repertum, jugadikelompokkan sebagai alat bukti surat, yang menuntut pasal 184 KUHAPtermasuk kepada sebagai salah satu alat bukti yang sa, oleh karena itu hasildari autopsi kehakiman yang dinamakan visum et repertum jenazahmempunyai peranan penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana dipengadilan baik bagi keluarga korban terdakwa maupun bagi para penegakhukum khususnya hakim.Bagi keluarga korban dengan diadakannya visum terhadap tubuh nayatkorban maka akan mengetahui dengan jelas sebab-sebab kematiannya apakahkorban mati akibat dan peristiwa kejahatan atau mati dengan wajar, misalnyamendapat serangan jantung secara mendadak sehingga dalam hal ini apabila sikorban itu ternyata mati akibat dari peristiwa kejahatan ( berdasarkan hasilpemeriskaan tubuh mayat ) maka si penjahat segera diselidiki dan dikejarsegala salah sangka yang timbul didalam hati mereka dapat dihilangkan.

DEFINISI DAN DASAR HUKUM VeR

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaantertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidupmaupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, dibawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.2Menurut Budiyanto et al, dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut:2

Pasal 133 KUHAP menyebutkan:(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baikluka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yangmerupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahlikepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukansecara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaanluka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitupenyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidanaumum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karenavisum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatanjiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum etrepertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yangmenjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP).2

Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana :Pasal 216 KUHP :Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yangdilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu,atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untukmengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengajamencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankanketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua mingguatau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

PERANAN dan FUNGSI VeR

Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalampasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkarapidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana VeR menguraikan segala sesuatutentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanyadapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.2

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasilpemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikianvisum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukumsehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telahterjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum padaperkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.2Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidangpengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, sepertiyang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan ataupenelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa

atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180KUHAP.2Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untukmengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untukmenentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formaluntuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk ituperlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakittentang tata laksana pengadaan visum et repertum.3

Alat Bukti Alat bukti berdasarkan pasal 184(1) KUHP yaitu:

a. Keterangan saksi;

Berdasarkan pasal 1 butir 27 KUHP bahwa keterangan saksi adalah “keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa Pidana yang ia sendiri, Ia lihat sendiri Ia alami sendiri dengan menyebut alasan Pengetahunnya Itu”. Keterangan saksi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti. Keterangan saksi seperti itu disebut “Testimonium deauditu”. Pasal 185 ayat 6 KUHP, mengatur bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan hal-hal sebagai berikut: - Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. - Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. - Atasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk member, keterangan yang tertentu. - Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuau yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Bahwa keterangan saksi yang telah memenuhi kriteria dan persyaratan-persyaratan tersebut diatas hanya mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan itu dinyatakan dalam sidang pengadilan dengan disumpah terlebih dahulu. Berikut ini dikemukakan beberapa Yurispuredensi baik Sebelum maupun sesudah berlakunya KUHAP, mengenai alat bukti keterangan saksi, untuk dipedomani, antara lain: - Putusan MA Tanggal 1 Desember 1996 No. 137 K/Kr/1956 menentukan bahwa keterangan saksi yang diberikan di sidang Pengadilan tanpa disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan upaya pembuktian yang besesuaian keterangan saksi itu.

- Putusan MA Tanggal 15 Februari 1958 No.202 K/Kr 1957 menentukan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak merupakan alat bukti yang sah, kecuali hanya untuk membuktikan salah satu unsur dakwaan.

- Putusan MA Tanggal 8 September I 983 No. 932 K/Pid/1 982, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan membebaskan terdakwa, dengan alasan saksi tidak sempat didengar keterangannya. walaupun visum et repertum ada dan telah dibacakan.

- Putusan M.A. Tanggal 15 Agustus 1993, No-298 K/Pid/ 1982, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, dan membebaskan terdakwa, karena tidak ada Seorang SakSi dibawah sumpah, maupun alat bukti lain yang mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa baik perkosaan maupun perzinahan.

- Putusan M.A Tanggal 13 September 1983 No. 391 K/ Pid1983, memerintahkan Pengadilan Negeri membuka kembali pemeriksaan sidang, guna mendengar

saksi-saksi a decharge yang diajukan oleh pembela , karena Pengadilan, Negeri dan Pengadilan Tinggi Medan menolak memeriksa saksi a decharge yang diajukan terdakwa.

Keterangan Ahli; Menurut pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh Seorang yang memiliki keahlian khusus, tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan suatu pemeriksaan . Berdasarkan pasal 186 KUHAP, bahwa keterangan ahli ialah apa yang ahli menyatakan disidang Pengadilan dan berdasarkan pasal 179 ayat (2) KUHAP, ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji akan memberikan keterangannya. Berbeda dengan keterangan saksi maka didepan Penyidik, ahli yang didengar keterangannya Sudah harus, mengangkat sumpah atau janji (pasal 120 (2) KUHAP). (Untuk keterangan ahli baca pasal 1 butir 28, pasal 120, pasal 179, pasaI 180 KUHAP).

c. Surat;

Berdasarkan pasal 187 KUHAP, alat bukti Surat adalah Surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah jabatan, adalah:

- Berita Acara dan Surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh ia umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

- Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau Surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tat laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

- Surat keterangan dad Seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya ;

- Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Sedang Surat lainnya yang diperoleh dan hasil perneriksaan perkara pidana dapat dipergunakan hanya Sebagai alat bukti petunjuk jika ada Penyesuaian dengan alat bukti lainnya yang menunjukan bahwa tersangka bersalah. Berikut ini dikemukakan beberapa Yurisprudensi mengenai alat bukti Surat untuk dipedomani:

- Putusan Mahkamah Agung No. 70 K/Kr/1 958 tanggal 17 Maret 1959 menentukan bahwa alat bukti surat dalam perdata berlaku juga dalam pidana.

- Putusan Mahkamah Agung No. 148/K/Kr/1 959 tanggal 19 Agustus 19W mennetukan bahwa di indahkan atau tidaknya sesuatu surat adalah termasuk bidang kebijaksanaan judex facti.

- Putusan Mahkamah Agung No. 47 K/Kr/1 959 9 Mei 1959 menentukan bahwa adanya surat perjanjian tidak berarti bahwa perkara adalah merupakan sesuatu perkara perdata yang tidak bisa dituntut dimuka Hakim Pidana.

- Putusan Mahkamah Agung No. 226 K/Kr/1959 tanggal 26 April 1959 menentukan bahwa surat-surat pemeriksaan penyidik (Polisi) yang tidak ditanda tangani terdakwa, tidak dapat menyebabkan batainya perneriksaan, karena yang menjadi dasar putusan Hakim adalah hasil pemeriksaan Hakim di sidang Pengadilan.

KETERANGAN AHLIDALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIABab ini membahas sejarah pengaturan keterangan ahli dalam hukum acarapidana di Indonesia. Selanjutnya, pasal-pasal mengenai keterangan ahli yangterpencar dalam KUHAP dianalisis dengan dihubungkan satu sama lain, sertadiuraikan lebih lanjut melalui beberapa teori hukum yang relevan. Ketentuanmengenai keterangan ahli yang terdapat dalam Rancangan KUHAP juga akandibahas dengan menganalisis pasal-pasal yang perlu disempurnakan.2.1 Keterangan Ahli dalam HIR dan KUHAPPada masa diberlakukannya Het Herzienne Inlands Reglement (HIR)sebagai pedoman hukum acara pidana di Indonesia, keterangan ahli tidak dikenalsebagai alat bukti tersendiri. Pasal 295 HIR menyebutkan alat-alat bukti yang sahterdiri dari kesaksian, surat-surat, pengakuan dan petunjuk-petunjuk(aanwijzingen). R Atang Ranoemihardja menjelaskan ahli sebagai bagian darikesaksian, yaitu keterangan-keterangan yang diberikan oleh orang-orang yangsecara langsung ataupun tidak langsung menghayati adanya perbuatan kejahatan.1

Menurut Ranoemihardja, dalam kesaksian dikenal saksi-saksi sebagai berikut:a. Saksi biasa, yaitu kesaksian yang diberikan oleh orang umum.b. Saksi ahli, yaitu kesaksian yang diberikan oleh orang yang mempunyaikeahlian.1 Orang yang dimaksud menghayati adanya perbuatan kejahatan secara langsung maupuntidak langsung, misalnya:a. Orang yang langsung menjadi korban kejahatan.b. Orang-orang yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan adanya perbuatankejahatan.c. Orang yang secara tidak langsungmengetahui adanya perbuatan kejahatan/ketitipanbarang yang berasal dari pencurian, membeli barang dari curian).Lihat dalam R Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Tarsito, 1980),hlm. 57-58. Dalam konteks definisi kesaksian dengan contoh-contoh tersebut, maka pendapatRanoemihardja yang menggolongkan ahli sebagai bagian dari saksi menjadi ambigu.

c. Saksi a charge, yaitu saksi yang dipilih dan diajukan oleh jaksadikarenakan kesaksiannya memberatkan terdakwa.d. Saksi a de charge, yaitu saksi yang dipilih dan diajukan atas

permintaan terdakwa.2Yahya Harahap menilai saat diberlakukannya HIR, keterangan ahli tidakdipandang sebagai alat bukti yang sah, melainkan hanya sebagai keterangankeahlian belaka. Hakim dapat menjadikan keterangan keahlian itu sebagaipendapatnya sendiri jika hakim menilai keterangan ahli tersebut dapat diterima.3

Setelah KUHAP berlaku di Indonesia sebagai pengganti ketentuan hukum acarapidana dalam HIR, keterangan ahli termasuk sebagai salah satu alat bukti yangsah. Selain di Indonesia, keterangan ahli juga menjadi salah satu alat bukti dalamhukum acara pidana modern di sejumlah negara, termasuk Belanda.4

Ketentuan mengenai keterangan ahli dalam KUHAP tidak diatur secaraspesifik dan berurutan pada satu bab, melainkan berada dalam sejumlah pasalyang terpencar. ..Dengan keberadaan pasal-pasal mengenai keterangan ahli yang terpencarpencartersebut, Yahya Harahap memandang persoalan keterangan ahli terutamasebagai alat bukti tidak bisa dipahami hanya dengan bertumpu pada pasal danpenjelasan Pasal 186 KUHAP.5 Apalagi, masalah keterangan ahli juga tidakdisinggung lebih lanjut dalam peraturan pelaksana KUHAP yaitu PeraturanPemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP.Selain dalam KUHAP, masalah keterangan ahli juga terdapat dalamKUHP. Dalam hal ini, KUHP mengatur sanksi pidana bagi ahli yang menolakmemberi keterangan untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana. Pasal 224,Buku Kedua Bab VIII tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum menentukansanksi tersebut sebagai berikut:Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurutundang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkanundang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lamasembilan bulan;2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enambulan.KUHP juga menentukan ahli yang tidak datang ke pengadilan secaramelawan hukum dapat dikenai pasal mengenai pelanggaran sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 522, Buku Ketiga Bab III tentang Pelanggaran TerhadapPenguasa Umum, yang berbunyi: “Barang siapa menurut undang-undangdipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawanhukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”Dalam KUHAP, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti untukmendapatkan kebenaran materiil. Sebagaimana yang dikemukakan Andi Hamzah,bagian terpenting dari hukum acara pidana adalah pembuktian tentang benartidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, sebab pada momentersebut, hak asasi manusia dipertaruhkan. Oleh karena itulah maka hukum acarapidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil yang diperoleh melalui alatalatbukti. Dalam menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang ada,Indonesia menganut sistem pembuktian yang sama dengan Belanda dan negaranegaraEropa Kontinental yang lainnya, yaitu hakim dengan keyakinannya sendiriyang menilai alat bukti yang diajukan. Andi Hamzah menjelaskan beberapa teorimengenai pembuktian untuk mencari kebenaran materiil, sebagai berikut:Kualifikasi dan ..., Rafiqa Qurrata A'yun, FH UI, 201027Universitas Indonesia

a. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positiefwettelijk bewijstheorie) atau teori pembuktian formal (formelebewijstheorie), yaitu pembuktian yang hanya didasarkan hanya kepadaundang-undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai denganalat-alat bukti yang disebutkan undang-undang, maka keyakinan hakimtidak diperlukan sama sekali. Wirjono Prodjodikoro menolak teori yangsaat ini sudah tidak ada penganutnya lagi.b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (convictionintime), yaitu pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hati nuranihakim, sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alatalatbukti dalam undang-undang.c. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviciton raisonnee), dimana hakim dapat memutuskan seseorangbersalah berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada dasar-dasarpembuktian, dengan disertai suatu simpulan berlandaskan peraturanperaturanpembuktian tertentu.d. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatiefwettelijk) yaitu pembuktian harus didasarkan kepada undang-undangdisertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh oleh alat-alat buktitersebut. Teori ini dianut oleh HIR maupun KUHAP, serta Ned. Sv yanglama dan yang baru.6Representasi teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatifyang dianut Indonesia terdapat pada Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakimtidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengansekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwasuatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalahmelakukannya.”Menurut D Simons, dalam sistem pembuktian yang berdasarkan undangundangsecara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie), pemidanaan didasarkankepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan6 Hamzah, op.cit., hlm. 245-253.Kualifikasi dan ..., Rafiqa Qurrata A'yun, FH UI, 201028Universitas Indonesiaundang-undang dan pada keyakinan hakim.7 Dengan demikian, keterangan ahlisebagai alat bukti juga idealnya disertai keyakinan hakim dengan disertai argumenyang kuat.Djoko Prakoso mengemukakan tiga bagian dalam hukum pembuktian,yaitu:1. Penjelasan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untukmendapat gambaran dari peristiwa pidana yang sudah lampau(opsomming van bewijsmiddelen).2. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan(bewijsvoering).3. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat-alat bukti itu(bewijskracht der bewijsmiddelen).8Menurut Karim Nasution, jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sahtelah yakin bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwadalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu buktiyang sah dan meyakinkan. Oleh karena itu, pembuktian haruslah dianggap tidaklengkap jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak dikenal

dalam undang-undang, atau didasarkan atas alat bukti yang tidak mencukupi.Hakim juga tidak boleh memperoleh keyakinan dari macam-macam keadaan yangdiketahuinya dari luar persidangan, tetapi harus memperolehnya dari alat-alatbukti yang sah dan terdapat dalam persidangan, sesuai dengan syarat-syarat yangditentukan undang-undang.9Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti sahialah:1. Keterangan saksi2. Keterangan ahli3. Surat4. Petunjuk, dan5. Keterangan terdakwa

Menurut Yahya Harahap, penempatan keterangan ahli pada urutan keduasetelah keterangan saksi adalah representasi penilaian pembuat undang-undangyang memandang penting fungsi keterangan ahli. Hal tersebut juga dapat dicatatsebagai salah satu kemajuan dalam pembaruan hukum, karena pembuat undangundangmenyadari bahwa peran ahli sangat penting dalam penyelesaian perkarapidana. Perkembangan ilmu dan teknologi juga berdampak pada kualitas metodekejahatan, sehingga harus diimbangi dengan kualitas dan metode pembuktianyang memerlukan pengetahuan dan keahlian.10 Dengan demikian, fungsi ahlidalam pembuktian perkara pidana memang sudah dianggap signifikan seiringdengan perkembangan zaman.Gagasan utama dari upaya pencarian bukti dengan meminta keteranganahli adalah membuat terang tindak pidana. Dengan mengaitkannya dengan Pasal184 ayat (1) dan Pasal 186 KUHAP dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, makaketerangan ahli yang bernilai sebagai alat bukti haruslah memenuhi kriteriasebagai berikut:i. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yangmempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang adahubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.ii. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli tapi tidakmempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang adahubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidakmempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah.Yahya Harahap menilai Pasal 120 KUHAP juga menegaskan pengertianketerangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian. Jika dihubungkandengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka keterangan ahli dapat dinilai sebagai alatbukti yang memiliki kekuatan pembuktian memiliki syarat berikut:i. Keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnyasehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.ii. Bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahliankhusus yang dimilikinya, berbentuk keterangan “menurutpengetahuannya”.12

Alat bukti keterangan ahli tidak memiliki kekuatan pembuktian yangmengikat atau kerap diistilahkan dengan nilai kekuatan pembuktian bebas atau“vrij bewijskracht”. Artinya, nilai kekuatan pembuktian yang sempurna danmenentukan tidak melekat kepadanya. Hakim pun tidak terikat untuk menerimakebenaran keterangan ahli yang dimaksud dan bebas menilainya. Sesuai denganprinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan

ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang laintidak cukup dan tidak memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Olehkarena itu, keterangan ahli juga harus ditunjang dengan alat bukti lainnya. Jikadalam pemeriksaan suatu perkara, alat buktinya hanya terdiri dari beberapaketerangan ahli, Yahya Harahap menilai hal tersebut tetaplah bernilai satupembuktian. Alasannya, apa yang diungkap dan diterangkan kedua alat buktiketerangan ahli itu hanya berupa penjelasan suatu hal atau keadaan tertentu,namun mengenai pelaku kejahatan sama sekali tidak terungkap dalam keteranganahli-ahli tersebut. Selain itu, pada umumnya keterangan ahli hanyalah merupakanpendapat ahli mengenai hal atau keadaan tertentu menurut pengetahuan dalambidang keahliannya. Oleh karena itu, keterangan ahli pada umumnya hanyabersifat melengkapi atau mencukupi nilai pembuktian alat bukti yang lain.13

Dalam Pasal 186 KUHAP dinyatakan, keterangan ahli sebagai alat buktiadalah apa yang seorang ahli nyatakan pada sidang pengadilan. Menurut MKarjadi dan R Soesilo, pasal tersebut menentukan bukti keterangan ahli bukanlahapa yang diterangkan ahli di muka penyidik atau penuntut umum. Sekalipunketerangan itu disampaikan dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatanatau pekerjaan, namun bukti keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakanpada sidang pengadilan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapanhakim.Universitas IndonesiaYahya Harahap berpendapat, uraian Pasal 186 yang tidak diikuti rincianlebih lanjut soal keterangan ahli dalam pasal-pasal selanjutnya tidak mampumenjelaskan masalah yang dikandungnya.15 Hal tersebut karena Pasal 186 sebagaiketentuan yang mengatur keterangan ahli dari sudut pembuktian bukanmerupakan pasal tunggal yang berdiri sendiri. Untuk memahami keterangan ahlisebagai alat bukti, maka diperlukan penjajakan lebih lanjut atas pasal-pasal laindalam KUHAP yang terkait dengan keterangan ahli, antara lain Pasal 1 butir 28,Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179. Yahya Harahap juga merujuk Pasal 1 butir28 KUHAP yang memuat pengertian dan tujuan keterangan ahli untukmenjelaskan makna keterangan ahli sebagai alat bukti, yaitu dengan memahamimanfaat yang dituju oleh pemeriksaan keterangan ahli guna kepentinganpembuktian.16

Tata cara pembuktian keterangan ahli sebagai alat bukti dapat ditempuhpada tahap penyidikan maupun keterangan secara lisan dan langsung di mukasidang pengadilan. Dengan demikian, keterangan ahli sebagai alat bukti dapatdimaknai dengan menelaah ketentuan KUHAP yang mengatur tata carapemeriksaan keterangan ahli baik dalam tahap penyidikan maupun tahappersidangan.2.2 Keterangan Ahli dalam PenyidikanMeski Pasal 186 KUHAP menyatakan keterangan ahli sebagai alat buktiadalah apa yang seorang ahli nyatakan pada sidang pengadilan, namun di sisi lainketerangan ahli juga dapat diminta pada taraf penyidikan. Pada tahap tersebut,penyidik berupaya mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatikebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatuperkara pidana.17

Sebagai bagian pertama dari hukum acara pidana, maka rangkaianpenyelidikan dan penyidikan termasuk dalam pemeriksaan pendahuluan sebelumdilakukannya pemeriksaan pada persidangan di pengadilan. Menurut M Karjadidan R Soesilo, yang terpenting dari penyidikan adalah mencari dan

mengumpulkan bukti-bukti yang secara sistematis melalui proses sebagai berikut:a. Informasi, yaitu menyidik dan mengumpulkan keterangan-keteranganserta bukti-bukti oleh polisi yang biasa disebut “mengolah tempatkejahatan”.b. Interogasi, yaitu memeriksa dan mendengar orang-orang yangdicurigai dan saksi-saksi yang biasanya dapat diperoleh di tempatkejahatan.c. Instrumentarium, yaitu pemakaian alat-alat teknik untuk penyidikanperkara, seperti fotografi, mikroskop, dan lain-lain di tempatkejahatan.18

Dari penjelasan tersebut, maka dalam proses penyidikan hampir selaludibutuhkan keahlian instrumentarium yang tidak otomatis dimiliki oleh seluruhpenyidik. Meski perihal teknis yang disebutkan masih relatif sederhana jikadibandingkan dengan perkembangan saat ini (misalnya dengan keberadaan ujiDNA), namun telah disadari bahwa ahli yang kompeten dalam bidangnyamemiliki peran signifikan dalam membantu penyidik proses mencari danmengumpulkan bukti.Kewenangan penyidik untuk meminta keterangan ahli diatur dalam Pasal120 ayat (1) dan Pasal 133 ayat (1) KUHAP. Pasal 120 ayat (2) selanjutnyamenentukan ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidikbahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaikbaiknya.Pasal tersebut juga menjelaskan ahli berhak menolak memberikanketerangan yang diminta penyidik jika berkaitan dengan rahasia pekerjaan ataujabatan, serta harkat dan martabatnya. M Karjadi dan R Soesilo berpendapat, ahliyang dimintai keterangan dalam penyidikan sebenarnya dapat diperiksa sebagaiseorang saksi biasa tanpa disumpah, maupun diminta pendapatnya sebagaiseorang ahli dengan disumpah terlebih dahulu atau berjanji di muka penyidikuntuk memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya.Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 133 KUHAP, penyidik dapatmeminta keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dalam penanganankorban luka, keracunan, ataupun mati yang diduga disebabkan oleh suatuperistiwa yang merupakan tindak pidana. Menurut M Karjadi dan R Soesilo,dokter sebagai seorang ahli harus tunduk pada Pasal 120 KUHAP yangmensyaratkan ahli untuk bersumpah terlebih dahulu di muka penyidik. Namunkarena hal itu kerap sukar dilaksanakan, maka dokter mengeluarkan suratketerangan yang disebut “visum et repertum”.20 Menurut Yahya Harahap, laporanberupa “visum et repertum” itu dibuat oleh ahli kedokteran kehakiman denganmengingat sumpah di waktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan. Dengandemikian, keterangan yang dituangkan dalam laporan atau “visum et repertum”mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.21

Selain oleh penyidik, ahli juga dapat diajukan oleh tersangka. KetentuanPasal 65 KUHAP menerangkan hak tersangka untuk mengusahakan danmengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus gunamemberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.Dari sejumlah ketentuan KUHAP yang mengatur tentang keterangan ahli,Yahya Harahap menilai terdapat dualisme dalam menjelaskan keterangan ahliyang diberikan saat penyidikan dan berbentuk laporan sebagai alat bukti.Keterangan ahli yang berbentuk laporan atau “visum et repertum” tetap dapatdinilai sebagai alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan. Di sisi lain, alatbukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat.

Pasal 187 huruf c KUHAP menjelaskan surat keterangan dari seorang ahli yangmemuat pendapat berdasarkan keahliannya yang diminta secara resmi tergolongsebagai alat bukti yang sah. Pasal tersebut dinilai mengandung pengertian yangsama dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP yang menerangkan keterangan ahlidapat diberikan dalam penyidikan dan dituangkan dalam bentuk laporan.22

Menurut Yahya Harahap, meskipun Pasal 187 huruf c KUHAP tidakmenerangkan dengan tegas mengenai tahapan pemeriksaan mana pembuatan suratketerangan ahli tersebut dilakukan, namun hal itu tidak menjadi masalah.

Alasannya, bentuk laporan yang disebut dalam penjelasan Pasal 186 memilikinilai pembuktian yang serupa dengan alat bukti surat keterangan dari seorang ahlisebagaimana yang diatur dalam Pasal 187 huruf c, yaitu memiliki kekuatanpembuktian yang bebas dan tidak mengikat. Meski demikian, Yahya Harahapberpendapat dualisme tersebut tidak menimbulkan permasalahan dan akibat dalampembuktian.23

Perihal keterangan ahli berbentuk laporan yang dapat dianggap sebagaialat bukti surat juga disinggung oleh Martiman Prodjohamidjojo dalammenganalisis penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Keteranganyang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokterankehakiman disebut keterangan.” Menurut Prodjohamidjojo, keterangan ahlikedokteran atau keterangan yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 133 ayat (2)tersebut adalah keterangan yang diberikan dalam proses penyidikan dan bukandalam sidang. Dengan demikian, keterangan dokter bukan ahli kehakiman dapatdianggap sebagai alat surat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1)huruf c. Sedangkan jika keterangan dokter bukan ahli kehakiman itu diberikandalam sidang, maka harus dianggap sebagai alat bukti keterangan saksi.24

2.3 Keterangan Ahli dalam Pembuktian di PersidanganAlat bukti keterangan ahli dapat diajukan dalam pemeriksaan perkarapidana di persidangan oleh pihak penuntut umum, terdakwa, maupun hakim. Jikaterdapat keterangan ahli yang belum diminta dalam pemeriksaan yang dilakukanpenyidik atau penuntut umum, maka keterangan ahli itu dapat diajukan untukdisampaikan dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Selain itu, keterangan ahliyang telah disampaikan dalam penyidikan juga dapat disampaikan kembali dalampersidangan jika dikehendaki atau dianggap perlu.Sebagaimana Pasal 180 ayat (1) KUHAP, hakim ketua sidang dapatmeminta ahli hadir dalam persidangan untuk menyampaikan keterangan secaralisan dan langsung di muka pengadilan dan akan dicatat dalam pemeriksaansidang pengadilan oleh panitera. Ayat selanjutnya menjelaskan hakim dapat pulamemerintahkan suatu penelitian ulang atas keterangan ahli jika timbul keberatanyang beralasan dari terdakwa. Selain penuntut umum dan hakim, terdakwa punberhak mengusahakan dan mengajukan ahli untuk memberikan keterangan. Meskitidak secara langsung menjelaskan istilah ahli, namun Pasal 65 KUHAPmenyebutkan terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atauseseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yangmenguntungkan bagi dirinya.Sebagai salah satu hak terdakwa, maka hakim pun berkewajibanmemperhatikan hal tersebut. Dalam konteks pemeriksaan di sidang pengadilan,sikap hakim adalah een objektieve beoordeling van een objektieve positie, yaituhakim harus memperhatikan kepentingan berbagai pihak, baik itu kepentinganterdakwa, saksi, maupun kepentingan penuntut umum. Seperti halnya adagium

“audio alteram partem”, hakim harus mendengar kedua belah pihak. Sesuai kodeetik hakim, maka ada sejumlah pegangan tingkah laku yang harus menjadipedoman hakim. Salah satunya, semua pihak yang berperkara berhak ataskesempatan dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatanuntuk membela diri, mengajukan bukti-bukti, serta memperoleh informasi dalamproses pemeriksaan (a fair heraring).25 Salah satu jalan terdakwa untuk membeladiri yang harus diperhatikan oleh hakim adalah hak mengajukan keterangan ahlidi muka persidangan sebagai salah satu alat bukti.Dalam keterangan yang disampaikan di persidangan, ahli tidak dapathanya berpegang pada sumpah atau janji pada waktu ahli tersebut menerimajabatan atau pekerjaannya, melainkan harus mengucapkan sumpah atau janjiterlebih dahulu sebelum memberi keterangan. Dengan memenuhi tata caratersebut, maka keterangan ahli dapat menjadi alat bukti yang sah menurut undangundangdan mempunyai nilai kekuatan pembuktian.26 Pendapat berbedadikemukakan oleh Martiman Prodjohamidjojo yang menilai tidak ada rasionyajika ahli disumpah saat menyampaikan keterangannya, karena ahli telah disumpahketika ia menerima jabatan.27

Kepada seorang ahli, diberlakukan segala aturan yang berlaku padasaksi.28 Namun, diantara keduanya terdapat perbedaan dalam hal keterangan yangdiberikan maupun lafal sumpah yang dinyatakan sebelum memberi keterangan.Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksimemberikan keterangan mengenai suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ialihat sendiri dan ia alami sendiri. Sementara itu ahli memberikan keterangan berisipengetahuan sesuai dengan keahliannya.Lafal sumpah saksi pun berbeda dengan lafal sumpah ahli. Lafal bagi saksiberbunyi: “... Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar, tak laindaripada yang sebenarnya.” Sedangkan lafal bagi ahli berbunyi: “... Sayabersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat tentang soal-soal yangdikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya.”29 Dengan demikian,maka ahli bukanlah orang yang akan memberi keterangan mengenai fakta yang iadengar atau ia lihat. Ahli justru menyampaikan pendapat sebagaimanapengetahuan yang dikuasainya.2.4 Keterangan Ahli Hukum Pidana dan Ius Curia NovitKUHAP tidak menyebutkan batasan yang rinci tentang siapa yangdimaksud dengan ahli yang keterangannya dapat dijadikan sebagai salah satu alatbukti. Tidak ada pula ketentuan dalam KUHAP yang melarang para pihak dalampemeriksaan di sidang pengadilan menghadirkan ahli hukum untuk memberikanketerangan sebagai salah satu alat bukti. Namun urgensi menghadirkan ahlihukum pidana untuk memberi keterangan di pengadilan kerap dipertanyakan. Halini karena para pihak yang berhadapan di pengadilan, yaitu penasihat hukum yangmendampingi terdakwa, penuntut umum, serta hakim dianggap telah memiliki27 Menurut Prodjohamidjojo, prinsip bahwa setiap saksi wajib mengucapkan sumpah ataujanji menurut agama dan keyakinan masing-masing sebelum memberikan keterangan sebagaimanayang diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP tidak perlu dipertahankan terhadap saksi ahli.

pengetahuan hukum pidana. Sebagaimana prinsip ius curia novit, hakim bahkandianggap sudah tahu hukum sehingga tidak diperbolehkan menolak suatu perkaradengan alasan tidak ada hukumnya. Selain alasan ius curia novit, penolakanterhadap keterangan ahli hukum pidana juga didasarkan pada pendapat bahwasegala sesuatu yang menyangkut penerapan hukum merupakan tugas hakim.Dengan alasan tersebut, keberadaaan ahli hukum pidana yang memberi

keterangan dalam persidangan perkara pidana lantas dianggap kurang tepat.Namun menurut Martiman Prodjohamidjojo, ada kalanya peraturanperundang-undangan seringkali membutuhkan penjelasan lebih lanjut saatditerapkan kepada hal-hal yang konkret. Hal tersebut disebabkan oleh kondisiundang-undang yang tidak lengkap seluruhnya. Selain itu, hakim juga memilikiperan dalam pembentukan hukum.Oleh karena penafsiran bukan semata-mata pekerjaan akal, juga tidaksemata-mata sesuatu yang logis, akan tetapi dalam hal tersebut hakimharus memilih pelbagai kemungkinan, yang harus menilai. Penafsiran jugamerupakan tambahan undang-undang, karena peraturan undang-undangyang dapat ditafsirkan dengan aneka jalan, tidak lengkap seluruhnya.Sebagai juga dalam perundang-undangan, dalam tiap penafsiran terdapatanasir yang mencitakan, karena mana pada asasnya hakim juga berbuatsebagai pembentuk undang-undang.30

Jika mengacu pada ketentuan Pasal 65 KUHAP yang menerangkantentang hak tersangka atau terdakwa untuk mengusahakan dan mengajukan ahli,M Karjadi dan R Soesilo berpendapat bahwa mereka yang memiliki keahlian

Menurut Prodjohamidjojo, hukum pidana tidak memberikan syarat-syarat penafsiran.Oleh karena itu, maka penafsiran disandarkan kepada doktrin dan yurisprudensi yang mengajarkanberbagai cara penafsiran, yaitu:a. Penafsiran menurut tata bahasab. Penafsiran logisc. Penafsiran sistematisd. Penafsiran meluaskane. Penafsiran menyempitkanf. Penafsiran historis undang-undangg. Penafsiran historis hukumh. Penafsiran analogisi. Penasiran sosiologisj. Penafsiran futuristis atau anticiperendk. Redenering a contrariol. Penafsiran atas rasa keadilan

khusus merupakan ahli dari segala bidang. Tidak terdapat batasan ahli apakahyang dimaksudkan KUHAP. M Karjadi dan R Soesilo bahkan memberi contohahli pijat badan sampai profesor dalam bidang psikologi sebagai ahli yangdimaksudkan dalam pasal tersebut.31 Pendapat tersebut menunjukkan argumenbahwa ahli hukum pidana juga memiliki hak yang sama untuk menyampaikanketerangannya di muka pengadilan sebagaimana ahli-ahli lain di luar bidang ilmuhukum.Menurut Busyro Muqoddas, kehadiran seorang ahli dalam persidanganbukan hal yang tabu sekalipun ahli tersebut memiliki keahlian sama denganhakim. Namun, hakim tidak boleh membabi buta mengikuti pendapat ahlitersebut.32 Bagaimana hakim menyikapi pendapat ahli hukum pidana juga akanmenguji bagaimana keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara. DuduDuswara Machmudin menilai keyakinan hakim mempunyai peranan dominandalam memutus suatu prkara di pengadilan. Meski demikian, bentuk putusannyaitu harus didukung oleh argumentasi yuridis rasional.33 Hal serupa jugadikemukakan oleh Djoko Prakoso yang menilai keyakinan hakim bukan timbuldengan sendirinya. Menurut Djoko, keyakinan hakim harus timbul dari alat-alatbukti yang sah yang disebut dalam undang-undang. Selanjutnya, hakimberkewajiban menjelaskan perihal keyakinannya.

Tidaklah dapat dipertanggungjawabkan suatu putusan yang walaupunsudah cukup alat-alat bukti yang sah, hakim dengan begitu sajamenyatakan bahwa ia tidak yakin, dan karena itu ia membebaskanterdakwa tanpa menjelaskan lebih lanjut apa sebab-sebabnya ia tidak yakintersebut.34

Jika majelis hakim yang memeriksa perkara itu gelap dan samar tentangsuatu keadaan yang memerlukan pemecahan oleh seorang ahli, maka sudahseharusnya sidang pengadilan segera meminta keterangan ahli. Menurut Yahya Harahap, hakim pada dasarnya bukan manusia generalis yang serba tahu.35

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Martiman Prodjohamidjojo sebagaiberikut:Sebagai asas dalam peradilan, hakim tidak boleh menolak suatu perkarayang diajukan kepadanya sekalipun hukum atau undang-undang tidakmengaturnya. Ia harus menemukan hukum itu. Hal itu bukan berarti hakimdianggap tahu segalanya atau dianggap sebagai manusia serba tahu, karenaitu ia membutuhkan dan menggunakan keterangan seorang ahli agarmemperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu hal yangmenyangkut perkara yang ditanganinya.36

Namun dalam menguraikan pendapatnya mengenai ahli apakah yangdiperlukan untuk memberi keterangan di persidangan, Prodjohamidjojo tidakmenyinggung mengenai ahli hukum pidana. Contoh yang diberikan adalah ahliahliteknik di luar bidang ilmu hukum, seperti ahli listrik dan ahli beton. Halserupa juga dinyatakan R Soesilo yang memberi contoh ahli atau orang yangmempunyai keahlian khusus, seperti ahli tentang ilmu daktiloskopi, ahli dalamilmu perbintangan, ahli tentang obat-obatan.37 Hal itu menunjukkankecenderungan kuatnya pendapat bahwa ahli yang diperlukan untuk kepentinganpemeriksaan perkara pidana adalah ahli-ahli di luar ilmu hukum pidana.Dalam hal ilmu pengetahuan yang bagaimana yang dapat dipergunakanatau yang berlaku dalam kaitannya dengan diperlukannya keterangan ahli, vanBemmelen memberikan penjelasannya bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata,pengetahuan tentang sidik jari dan sebagainya, termasuk ilmu pengetahuan(wetenschap) menurut pengertian Ned.Sv (Nederlandse Strafvordering). Olehkarena itu seseorang dapat didengar keterangannya sebagai ahli mengenaipersoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahuibidang tersebut secara khusus.38 Dari penjelasan ini, maka van Bemmelen tidakmembatasi ahli dalam bidang ilmu apakah yang dikehendaki untuk disampaikandi muka pengadilan.2.5 Keterangan Ahli dalam Rancangan KUHAPDalam Rancangan KUHAP (RKUHAP) Indonesia tahun 2009, pengaturanmengenai keterangan ahli tidak memuat perubahan signifikan jika dibandingkandengan KUHAP yang berlaku saat ini. Definisi ahli tidak dijelaskan secara rinci,namun peranan ahli disebutkan dalam Pasal 1 butir 27 RKUHAP yang berbunyi:“Ahli adalah seseorang yang mempunyai keahlian di bidang tertentu yangdiperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentinganpenyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.”39 Pengertian ahlidalam pasal tersebut secara lugas menunjukkan keberadaan ahli yang diperlukandalam tahap-tahap pemeriksaan perkara pidana, mulai dari penyidikan,penuntutan, sampai pemeriksaan di pengadilan.Kewenangan penyidik untuk meminta pendapat ahli dan pengaturantentang ahli kedokteran kehakiman juga masih mengadopsi KUHAP, demikian

pula ketentuan mengenai hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan ahliguna memberikan keterangan yang menguntungkan. Keterangan ahli sebagai alatbukti yang sah tetap tercantum dalam RKUHAP meski tidak lagi berada padaurutan kedua, melainkan pada urutan keempat.Alat bukti yang sah mencakup:a. barang bukti;b. surat-surat;c. bukti elektronik;d. keterangan seorang ahli;e. keterangan seorang saksi;f. keterangan terdakwa; dang. pengamatan hakim.40

Secara substansi, jumlah ketentuan mengenai keterangan ahli dalamRKUHAP cenderung tidak mengalami perubahan yang substansial dari KUHAP.Ketentuan-ketentuan baru bersifat melengkapi secara teknis, misalnya Pasal 155RKUHAP yang berbunyi: “Pertanyaan yang bersifat menjerat dilarang diajukankepada saksi atau ahli, atau kepada terdakwa.”41 Jika dibandingkan dengan Pasal166 KUHAP, sebenarnya tidak ada perbedaan berarti dalam RKUHAP. Akantetapi, tampak bahwa ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi saksi dan berlakupula bagi ahli dipertegas lagi dengan menyertakan frase ‘ahli’ dalam pasaltersebut.Akan tetapi, hal-hal yang sering diperdebatkan menyangkut keteranganahli tidak diformulasikan dalam RKUHAP. Misalnya, apakah keberadaaan ahlihukum pidana yang memberi keterangan dalam pemeriksaan perkara pidana dipengadilan menyalahi prinsip ius curia novit. RKUHAP juga tidak mencobamemperjelas tentang kualifikasi ahli yang dapat membantu proses pembuktianperkara pidana. Padahal, penjelasan mengenai ahli dapat membantu penegakhukum dalam proses pemeriksaan perkara pidana, terutama sebagai pegangandalam memilih ahli dan menimbang keterangan yang disampaikannya.Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa KUHAP yang berlaku saatini masih kurang optimal untuk menjadi pedoman bagi penegak hukum dalammemanfaatkan keterangan ahli untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana.Hal tersebut karena ketentuan-ketentuan mengenai keterangan ahli masih kurangjelas dan spesifik. Pasal-pasal yang terpencar adakalanya menimbulkan penafsiranberbeda, misalnya mengenai keterangan ahli dalam penyidikan dan keteranganahli dalam persidangan yang memiliki kedudukan berbeda satu sama lain. Contohlainnya adalah tidak adanya ketentuan mengenai keterangan semacam apa yangdapat disampaikan ahli dan bidang ilmu pengetahuan apa saja yang diperlukan.Dalam praktiknya, masalah keterangan ahli yang menyentuh fakta persidangan,dan penolakan terhadap keterangan ahli hukum pidana seringkali menjadiperdebatan di antara para pihak. Di sisi lain, ketiadaan pengaturan yang jelasmembuat sikap hakim maupun jaksa juga terpecah. Ada hakim yang menerimapendapat ahli hukum pidana, namun ada pula yang menolaknya. Ada jaksa yangmenolak ahli hukum pidana, namun ada pula jaksa yang mengajukan ahli hukumpidana untuk memperkuat dakwaannya. Masalah demikian seharusnya dapatdiantisipasi dalam RKUHAP yang kelak menjadi pegangan penegak hukum.Sayangnya, RKUHAP 2009 masih belum mengakomodasi masalah-masalahmengenai keterangan ahli yang muncul dari kekurangan dalam KUHAP yangberlaku saat ini.

Lebih lanjut, masalah kualifikasi ahli dalam proses pembuktian dianalisispada bab 3 tesis ini, dengan mencakup pembahasan teori-teori mengenai urgensiketerangan ahli, standar keahlian serta ilmu pengetahuan yang dibutuhkan. Selainitu, masalah urgensi ahli hukum pidana dan pertentangan pendapat ahli juga akanditelaah dengan menyertakan pendapat para praktisi hukum acara pidana.