Manual Pengukuran Karbon

download Manual Pengukuran Karbon

of 42

description

pengukuran kadar karbon

Transcript of Manual Pengukuran Karbon

  • Wildlife Habitat CanadaHabitat Faunique Canada

    Ditjen. PHKAIndonesia Programme

    Petunjuk Lapangan

    Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut

  • PETUNJUK LAPANGAN

    Pendugaan Cadangan Karbon

    pada Lahan Gambut

    Disusun oleh :

    Daniel Murdiyarso, Upik Rosalina, Kurniatun Hairiah, Lili Muslihat,

    I N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya

    Wildlife Habitat Canada Habitat Faunique Canada

    Indonesia Programme

    Ditjen. PHKA

  • TIM PRODUKSI

    Penulis : Daniel MurdiyarsoUpik RosalinaKurniatun HairiahLili MuslihatI N.N. SuryadiputraAdi Jaya

    Kajian teknis : Istomo (Biomassa atas-permukaan)Budi Mulyanto (Biomassa bawah-permukaan)Wahyunto (Penginderaan jauh)

    Penyelaras : Daniel MurdiyarsoUpik RosalinaI N.N. Suryadiputra

    Desain/Tata Letak : Vidya FitrianFoto Sampul : Yus Rusila Noor

    Alue DohongIndra ArinalJill Heyde

    Wetlands International Indonesia Programme, 2004.

    Buku ini dapat diperoleh di:Wetlands International - Indonesia ProgrammeJl. A. Yani 53 - Bogor 16161, INDONESIA

    Tel : +62-251-312189; Fax +62-251-325755

    E-mail : [email protected]

    Website: www.wetlands.or.id

    Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Murdiyarso, D., Upik Rosalina, Kurniatun Hairiah, Lili Muslihat,

    I N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya

    Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan GambutBogor: Wetlands International IP, 2004vi + 32 hlm; 14,8 x 21 cm

    ISBN:

    Saran kutipan:Murdiyarso, D., Upik Rosalina, Kurniatun Hairiah, Lili Muslihat, I N.N. Suryadiputra dan

    Adi Jaya. 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut.Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

  • i

    DAFTAR ISI

    Daftar Isi ................................................................................. i

    Daftar Tabel ............................................................................ iii

    Daftar Gambar ....................................................................... iv

    Daftar Lampiran ..................................................................... v

    Kata Pengantar ....................................................................... vi

    ISI

    1. Latar Belakang

    1.1. Peranan ekosistem hutan rawa gambut tropis ................. 1

    1.2. Lahan gambut tropis dan perubahan iklim ....................... 2

    1.3. Penggunaan Buku Petunjuk ini .......................................... 3

    2. Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tropis

    2.1. Pembentukan gambut dan sifat-sifatnya .......................... . 4

    2.2. Pengembangan lahan gambut dan dampak lingkungannya.. 4

    3. Metode Pendugaan Cadangan Karbon Atas-permukaan

    3.1. Teknik penginderaan jauh................................................. 6

    3.1.1. Interpretasi citra satelit ......................................... 7

    3.1.2.Pendugaan biomassa .............................................. 7

    3.2. Teknik pengamatan lapangan ........................................... 9

    4. Metode Pendugaan Cadangan Karbon Bawah-permukaan

    4.1. Pengukuran luas lahan ...................................................... 12

    4.2. Pengukuran ketebalan gambut ......................................... 12

    4.3. Penentuan tingkat kematangan gambut .......................... 14

    4.4. Bobot isi gambut dan C-organik ....................................... 15

    4.5. Rumus perhitungan pendugaan cadangan Karbon

    bawah-permukaan ........................................................... 16

  • ii

    5. Pengukuran Tambahan

    5.1. Sejarah penggunaan lahan ................................................ 17

    5.2. Pohon dominan ................................................................. 17

    5.3. Paras air tanah ................................................................. 17

    5.4. Penurunan tanah .............................................................. 18

    Daftar Pustaka ........................................................................ 20

  • iii

    DAFTAR TABEL

    Tabel Hal

    1. Beberapa tipe vegetasi lahan basah yang dapat dikenali pada

    masing-masing produk penginderaan jauh ................................. 6

  • iv

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Hal

    1. Lokasi pengamatan dimana tiga plot permanen berada pada tiga

    zone kedalaman gambut yang berbeda ...................................... 10

    2. Penentuan posisi pengukuran diameter batang pada kondisi tapak

    yang miring, batang yang bercabang, batang yang tidak beraturan,

    pohon berbanir dan berakar lutut (a); dan cara yang benar dan

    salah dalam mengukur lingkar batang menggunakan pita ukur

    (b) ................................................................................................ 11

    3. Bor Eijkelkamp untuk menduga ketebalan gambut dan mengambil

    contoh gambut ............................................................................ 13

    4. Pengukuran muka air tanah di lahan gambut .............................. 18

    5. Pemasangan pipa besi yang ditajami dan diberi tanda untuk

    mengamati penurunan permukaan tanah .................................... 19

  • v

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Hal

    1. Data berat jenis beberapa spesies pohon hutan gambut .......... 23

    2. Lembar pengamatan cadangan C atas-permukaan ..................... 26

    3. Nilai kisaran dan rerata bobot isi (BD) dan kadar C-Organik

    pada tiap jenis/tingkat kematangan gambut di Sumatera

    (Wahyunto, et al., 2003) ............................................................ 28

    4. Lembar pengamatan cadangan C bawah-permukaan ................ 29

    5. Contoh penghitungan cadangan C bawah-permukaan............... 30

    6. Lembar pengamatan tambahan................................................... 31

  • vi

    Kata Pengantar

    Buku Petunjuk Lapangan tentang Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan

    Gambut ini ditulis dalam rangka melengkapi beberapa komponen kegiatan dariproyek CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia) yang di

    danai oleh Pemerintah Kanada melalui CIDA (Canadian International

    Development Agency). CCFPI merupakan proyek yang berkaitan dengan

    serapan karbon (carbon sequestration) dan dirancang untuk meningkatkan

    pengelolaan hutan dan lahan gambut di Indonesia secara berkelanjutan. Dalam

    pelaksaannya, proyek ini melibatkan berbagai pihak terkait, baik masyarakatpedesaan dimana proyek ini berlangsung (yaitu: di Jambi, Sumatera Selatan dan

    Kalimantan Tengah), masyarakat akademik/perguruan tinggi, lembaga pemerintah

    terkait maupun berbagai LSM setempat.

    Petunjuk lapangan ini disusun oleh berbagai pakar kehutanan (untuk penentuan

    kandungan karbon di atas permukaan) maupun oleh pakar tanah gambut (untukpenentuan kandungan karbon di bawah permukaan), dan telah diujicobakan pada

    beberapa lokasi proyek CCFPI di Sumatera maupun Kalimantan Tengah. Tujuan

    dari penulisan buku panduan ini adalah selain untuk menambah khasanah ilmu

    pengetahuan di bidang gambut, juga dimaksudkan agar masyarakat mengetahui

    teknik-teknik mengukur biomassa dan kandungan karbon yang terdapat di atasmaupun di bawah lahan gambut. Sehingga jika suatu saat nanti isu perdagangan

    karbon hutan dapat terwujud, apakah itu melalui Mekanisme Pembangunan

    Bersih (CDM/Clean Development Mechanism)-nya Protokol Kyoto atau mungkin

    juga melalui mekanisme-mekanisme lain yang belakangan ini banyak ditawarkan

    oleh pihak donor internasional (seperti dana Bio Carbon Fund yang disalurkan

    melalui Bank Dunia atau program BioRight yang tengah dicanangkan pihakBelanda), maka masyarakat telah siap untuk ikut berpartisipasi.

    Teknik-teknik yang disajikan dalam buku ini, berikut rumus-rumusnya, telah

    disederhanakan sedemikian rupa, namun tanpa menghilangkan/ mengabaikan

    kaedah-kaedah ilmiah yang berlaku sehingga isi buku ini masih dapat

    dipertanggungjawabkan dalam penerapannya.

    Akhir kata, kepada semua pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun

    tidak langsung dalam mempersiapkan dan menulis buku panduan ini, kami

    ucapkan banyak terima kasih; serta kepada para pembaca kami mohonkan kritik

    dan saran atas isi dari buku ini untuk perbaikan di kemudian hari.

    Bogor, April 2004

    Penulis

  • 1

    1. LATAR BELAKANG

    1.1. Peranan ekosistem hutan rawa gambut tropis

    Hasil utama ekosistem hutan rawa gambut yang banyak dimanfaatkan

    masyarakat adalah kayu, seperti Gelam (Mellaleuca sp.) khususnya

    sebagai bahan bangunan ringan, kerangka pembuatan bangunan gedung

    dan bagan penangkap ikan. Selain itu, jenis-jenis komersial yang banyak

    diperdagangkan adalah Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea

    spp.), dan Damar (Agathis dammara). Hasil tambahan lainnya adalah

    hasil non-kayu seperti getah Jelutung, tumbuhan obat, ikan, dan buah-

    buahan.

    Secara ekologis ekosistem hutan rawa gambut merupakan tempat

    pemijahan ikan yang ideal selain menjadi habitat berbagai jenis satwa liar

    termasuk jenis-jenis endemik. Dengan kata lain, hutan rawa gambut

    merupakan sumber daya biologis yang penting yang dapat dimanfaatkan

    dan dikonservasi untuk memperoleh manfaat yang lestari.

    Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting karena secara

    alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang

    sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat

    menyimpan air sebanyak 0,8 - 0,9 m3/m3. Dengan demikian lahan

    gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan musim

    kemarau. Keberadaan air pada setiap musim sangat penting untuk

    menghambat oksidasi pirit (FeS2) dalam upaya untuk mengurangi

    kemasaman tanah dan keracunan tanaman. Sulfat yang terlarut juga akan

    berpengaruh di bagian hilir.

    Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh

    tingginya akumulasi bahan organik dengan laju dekomposisi yang

    rendah. Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50%

    diantaranya terdapat di Indonesia (Maltby & Immirizi, 1993). Karena

    itu lahan gambut di Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan,

    Sulawesi dan Papua, merupakan cadangan Karbon terestris yang

    penting. Jika dilindungi pada kondisi alami, lahan gambut dapat

    meningkatkan kemampuannya dalam menyerap Karbon. Tetapi jika

  • 2mengalami gangguan, lahan gambut berpotensi menjadi sumber

    karbondioksida (CO2), metana (CH

    4), dan nitrous oksida (N

    2O) yang

    cukup besar.

    1.2. Lahan gambut tropis dan perubahan iklim

    Akumulasi cadangan Karbon tahunan di Indonesia diperkirakan berkisarantara 0,01 - 0,03 Gt C1 atau 59 - 118 g C/m2/th (Neuzil, 1997).

    Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan akumulasi di lahan

    gambut sub-tropis atau boreal yang hanya berkisar antara 20 - 100 g C/

    m2/th. Sementara itu laju penyerapan Karbon melalui proses

    fotosintesis berkisar antara 8 - 80 g C/m2/th (Harden et al., 1992).

    Kegiatan penggunaan lahan, alih-guna lahan dan kehutanan (land-use,

    land-use change and forestry - LULUCF) adalah salah satu sumber

    (source) CO2 utama yang menyebabkan perubahan iklim (IPCC, 2001).

    Kegiatan LULUCF di daerah tropis menyumbang lebih dari 25% total

    emisi CO2 tahunan yang selama dekade terakhir besarnya mencapai 8

    Gt (IPCC, 2001). Sebagai cadangan Karbon terestris yang besar, lahan

    gambut juga dapat menjadi sumber CO2 yang besar jika tidak dikelola

    secara benar.

    Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 - 525 Gt C2 atau

    15 - 35% dari total Karbon terestris. Sekitar 86% (455 Gt) dari

    Karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate

    (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14% (70 Gt)1 terdapat di

    daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di

    Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114kg/m3, kandungan Karbon 50% dan

    luasnya 16 juta ha, maka cadangan Karbon di lahan gambut Indonesia

    adalah sebesar 46 Gt.

    Cadangan Karbon yang besar ini pulalah yang menyebabkan tinggginya

    jumlah Karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut di

    Indonesia terbakar pada tahun 1997, yang berkisar antara 0,81 - 2,57

    Gt (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi yang dilakukan di

    lahan gambut di sekitar Taman Nasional Berbak, Sumatera menunjukan

    angka sebesar 7 juta ton Karbon (Murdiyarso et al., 2002).

    1 1 Gt =1 Gigaton = 1x109 ton

    2 Maltby & Immirizi, 1993

  • 3

    Gangguan terhadap ekosistem lahan basah akan mempengaruhi

    cadangan dan siklus Karbon di alam. Gangguan tersebut dapat berupa

    konversi lahan setelah hutan gambut mengalami deforestasi, kebakaran

    dan drainase yang meluas. Sementara itu mempertahankan cadangan

    Karbon dan meningkatkan serapan Karbon dapat dilakukan melalui

    kegiatan konservasi dan pengelolaan seperti pengayaan tanaman, dan

    pengelolaan air.

    1.3. Penggunaan Buku Petunjuk ini

    Petunjuk praktis ini disusun bagi pengamat lapangan agar dapat

    menduga besarnya cadangan Karbon di atas dan di bawah permukaan

    ekosistem gambut dengan metode yang sederhana. Setelah mengikuti

    pelatihan singkat, pengamatan dan pengukuran diharapkan dapat

    dilakukan oleh penduduk setempat, sehingga mereka juga memiliki

    pemahaman langsung tentang pentingnya mengelola lahan gambut bagi

    kehidupan mereka sendiri. Disamping itu agar penduduk setempat

    juga memiliki kemampuan untuk dapat melakukan kegiatan pemantauan

    perubahan cadangan karbon.

    Untuk memperlancar pekerjaan di lapangan, petunjuk ini banyak

    menggunakan sistem tabulasi dalam menduga cadangan Karbon.

    Beberapa aspek teknis yang tidak dapat dikerjakan penduduk setempat

    perlu mendapatkan penjelasan dari staf teknis proyek CCFPI yang

    sedang berjalan. Tabel-tabel lainnya juga disertakan untuk mencatat

    informasi tambahan dan membantu perhitungan cadangan Karbon.

  • 42. EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT TROPIS

    2.1. Pembentukan gambut dan sifat-sifatnya

    Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan

    dimulai sejak zaman glasial akhir, sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu.

    Untuk gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000

    tahun yang lalu (Brady, 1997). Seperti gambut tropis lainnya, gambut

    di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya

    akan kandungan Lignin dan Nitrogen. Karena lambatnya proses

    dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang,

    cabang dan akar besar.

    Berat jenis (bobot isi atau Bulk Density-BD) gambut tropis umumnya

    rendah (0,1 - 0,3 g/cm3) dan sangat dipengaruhi oleh tahapan dalam

    proses dekomposisi dan kandungan mineral, serta porositas yang tinggi

    (70 - 95%). Lahan gambut tropis juga dicirikan oleh rendahnya

    kandungan hara dan tingginya kemasaman. Pada umumnya lahan gambut

    tropis memiliki pH antara 3 - 4,5.

    2.2. Pengembangan lahan gambut dan dampak lingkungannya

    Pemanfaatan lahan gambut tropis, khususnya di Indonesia, sangat

    dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan penduduk akan lahan,

    pangan, kayu bakar dan bahan bangunan. Pemanfaatan tersebut sangat

    terkait dengan kebijakan pemerintah dalam kegiatan konversi hutan,

    industri perkayuan, transmigrasi dan pemukiman penduduk serta

    perluasan lahan pertanian. Praktek yang biasanya diterapkan adalah

    dengan melakukan deforestasi yang diikuti dengan pembangunan kanal

    atau saluran drainase untuk mengeringkan air yang tertahan di lahan

    gambut. Praktek ini jika tidak dikendalikan dengan baik akan

    menimbulkan berbagai masalah lingkungan.

    Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah

    terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah

    meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Pembukaan

    tajuk akan mempercepat invasi jenis-jenis pionir karena ketersediaan

  • 5

    cahaya akan memicu perkecambahan benih yang banyak tersedia di

    permukaan tanah yang secara langsung akan merubah struktur dan

    komposisi hutan gambut.

    Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah

    menurunnya cadangan Karbon atas-pemukaan (above-ground carbon

    stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan

    Karbon bawah-permukaan (below-ground carbon stocks).

    Dampak drainase yang dilakukan terhadap lahan gambut yang tergenang

    akan menghanyutkan Karbon terlarut sehingga mempengaruhi

    kesetimbangan Karbon. Drainase yang berlanjut akan menyebabkan

    terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan asam sulfat beracun bagi

    tanaman sehingga mempengaruhi produktivitas lahan. Drainase juga

    akan menyebabkan penurunan (subsidence) ketebalan lahan gambut dan

    selanjutnya mempengaruhi fungsi hidrologi lahan gambut. Fluktuasi

    tinggi muka air pada musim hujan dan musim kemarau akan meningkat

    karena kemampuannya dalam menampung air menurun. Disamping itu

    drainase juga akan memperbesar peluang intrusi air bergaram dari laut.

  • 63. METODE PENDUGAAN CADANGAN KARBON

    ATAS-PERMUKAAN

    3.1. Teknik penginderaan jauh

    Penggunaan teknik penginderaan jauh dimaksudkan untuk memberikan

    penilaian umum tentang penutupan vegetasi, tidak hanya tentang lokasi

    proyek tetapi juga daerah di sekitarnya. Penilaian semacam ini dapat

    memberikan gambaran mengenai kemungkinan terjadinya kebocoran

    proyek. Mengingat mahalnya teknologi ini, maka dianjurkan penggunaan

    teknik penginderaan jauh hanya dilakukan sekali dalam lima tahun.

    Mengingat kemampuannya dalam mendeteksi berbagai tipe vegetasi

    lahan basah seperti diberikan pada Tabel 1, citra Landsat-TM atau

    SPOT dapat digunakan.

    Tabel 1. Beberapa tipe vegetasi lahan basah yang dapat dikenali pada

    masing-masing produk penginderaan jauh.

    Catatan:

    teridentifikasi

    - tidak teridentifikasi

  • 7

    3.1.1. Interpretasi citra satelit

    Hasil interpretasi citra satelit harus diverifikasi dengan melakukan

    pengecekan lapangan melalui tahapan sebagai berikut:

    Perhatikan tanda-tanda lapangan seperti sungai dan jalan;

    Periksa penutupan vegetasi;

    Catat dan uraikan tipe vegetasi yang dijumpai (tinggi tajuk,

    kerapatan pohon, dan spesies atau jenis yang dominan);

    Klasifikasi ulang hasil interpretasi dan buat kelas-kelas vegetasi.

    Deskripsi vegetasi di lapangan dan di dalam plot yang ditentukan, dan

    dapat dilakukan secara cepat dengan mengikuti tahapan sebagai berikut:

    Hitung jumlah pohon;

    Ukur tinggi pohon dominan di dalam plot untuk mendapatkan

    tinggi tajuk;

    Catat spesies atau jenis dominan;

    Amati dan catat tumbuhan bawahnya;

    Amati dan catat jenis tumbuhan pioner (khususnya pada hutan

    yang terganggu).

    3.1.2. Pendugaan biomassa

    Kelas-kelas vegetasi yang telah ditentukan kemudian dirubah menjadi

    informasi distribusi biomassa dengan mengkonversi nilai spektralnya

    menjadi biomassa berdasarkan pengukuran contoh/sampel plot di

    lapangan untuk tipe vegetasi tertentu serta menghubungkannya dengan

    nilai NDVI yang diperoleh dengan rumus berikut:

    Normalized Difference Vegetation Index (NDVI):

    Catatan:

    NIR = infra-merah dekat

    R = merah

    NDVI berkisar antara -1 sampai 1

    NDVI =Band NIR - Band R

    Band NIR + Band R

  • 8NDVI = -1 berarti air (makin negatif makin dalam)

    NDVI = 0 berarti tanah gundul

    NDVI = 1 berarti hijau (lebat)

    Band NIR = TM4, TM 5 (Landsat-TM), Xs3 (SPOT)

    Band R = TM1, TM2, TM3 (Landsat-TM), Xs1, Xs2 (SPOT)

    Tahap berikutnya adalah membuat peta distribusi/penyebaran biomassa

    berdasarkan peta penyebaran tipe vegetasi hasil interpretasi citra satelit

    dan cek lapangan, kemudian mengkonversi peta biomassa menjadi peta

    sebaran cadangan carbon dengan mengalikan nilai biomassa dengan

    faktor 0,5 (Murdiyarso, 2002).

    Untuk menduga biomassa atas-permukaan, persamaan alometrik yang

    menghubungkan biomassa dan komponen tegakan yang mudah diukur

    seperti diameter batang sangat diperlukan. Persamaan semacam ini

    biasanya memerlukan pengukuran langsung dengan menebang pohon

    (destructive sampling). Berikut ini adalah salah satu contoh persamaan

    umum yang diusulkan oleh Brown (1997):

    dimana:

    W = biomassa kering pohon (kg)

    D = diameter pohon setinggi dada (cm)

    a, b = konstanta

    Berdasarkan pengukuran biomassa pohon di lahan gambut yang

    dilakukan oleh Istomo (2002) di Riau, konstanta yang diperoleh masing-

    masing adalah a= 0,19 dan b= 2,37. Konstanta ini diadopsi untuk

    pendugaan biomassa komunitas pohon.

    Untuk memperbaiki pendugaan biomassa yang dikemukakan oleh

    Ketterings et al. (2001), maka dalam Petunjuk ini diusulkan untuk

    menggunakan rumus pendugaan sbb:

    W = Bj 0,19 D 2,37

    dimana:

    W = biomassa kering pohon (kg)

    Bj = berat jenis pohon (g/cc), lihat contoh pada Lampiran 1

    D = diameter pohon setinggi dada (cm)

    W = a Db

  • 9

    Berat jenis (Bj) kayu biasanya berkisar antara 0,53 0,71 g/cc, tetapi

    untuk jenis-jenis tertentu dapat dilihat pada Lampiran 1. Jika di

    lapangan ditemui jenis/spesies yang tidak memiliki data Bj sebagaimana

    diberikan pada Tabel Lampiran1, maka pendugaan biomasa dapat

    dilakukan tanpa mengalikan dengan Berat jenis kayu, karena pada

    prinsipnya rumus ini adalah pendugaan biomasa kering.

    Selanjutnya, cadangan atau kandungan Karbon (C, dalam kg) diduga

    dengan mengalikan biomassa dengan faktor konversi (Murdiyarso,

    2002) sebagai berikut:C = 0,5 W

    (Setengah dari biomassa adalah kandungan Karbon.)

    3.2. Teknik pengamatan lapangan

    Untuk keperluan pemantauan diperlukan petak atau plot tetap seperti

    terlihat pada Gambar 1. Tiga plot permanen berukuran 20 x 50 m2

    dipilih untuk setiap zone dimana pengamatan/pengukuran diameter

    pohon (D) dilakukan. Semua pohon yang memiliki diameter setinggi

    dada lebih dari 10 cm diukur diameternya. Pohon-pohon ini perlu

    ditandai melingkar dengan cat berwarna kuning dan masing-masing

    dinomori untuk memudahkan pengukuran berikutnya.

    Sebaiknya, plot atau petak lapangan pengamatan yang telah ditentukan

    ini masuk ke dalam liputan citra satelit yang dianalisis dengan metode

    yang diuraikan di atas.

    Bentang alam ekosistem gambut dan bentuk batang pohon yang

    tumbuh di atasnya mungkin tidak beraturan. Oleh karena itu harus

    diantisipasi cara-cara mengatasinya sehingga pengukuran yang dilakukan

    tetap konsisten dari plot yang satu ke plot yang lain. Gambar 2a

    menunjukkan cara penentuan posisi pengukuran diameter pada bentuk

    lapangan yang berbeda. Sedang Gambar 2b menunjukkan cara yang

    benar dalam mengukur lingkar batang dengan menggunakan pita ukur.

    Hasil pengamatan lapangan ini ditabulasikan di dalam Lembar

    pengamatan seperti terlihat dalam Lampiran 2. Dari Lampiran ini

    kemudian biomassa dan cadangan C atas-pemukaan ditentukan.

    Pengamatan ini perlu diulang setiap tahun pada plot yang sama.

  • Gambar 1. Lokasi pengamatan dimana tiga plot permanen

    berada pada tiga zone kedalaman gambut yang berbeda.

    20

    50

    Plot 1

    Plot 2 Plot 3 Zona 3

    Zona 2

    Zona 1

    Sungai

    Sungai

    Jarak

    Ked

    alam

    an

    Tanah Mineral

    Tanah Organik Plot 1

    Plot 2 Plot 3

  • 11

    (a)

    (b)

    Gambar 2. Penentuan posisi pengukuran diameter batang pada kondisi

    tapak yang miring, batang yang bercabang, batang yang

    tidak beraturan, pohon berbanir dan berakar lutut (a); dan

    cara yang benar dan salah dalam mengukur lingkar batang

    menggunakan pita ukur (b).

  • 12

    4. METODE PENDUGAAN CADANGAN KARBON

    BAWAH-PERMUKAAN

    Untuk menduga kandungan cadangan Karbon (C) di bawah permukaan

    lahan gambut (Gambar 1), terlebih dahulu harus diketahui volume

    gambut pada wilayah tertentu dan klasifikasi tingkat kematangannya.

    Volume gambut dapat diketahui dengan mengalikan ketebalan lapisan

    gambut dengan luasan wilayah lahan gambutnya. Ketebalan gambut

    diukur pada beberapa titik/lokasi yang berbeda (agar datanya mewakili)

    dengan cara menusukkan tongkat kayu atau bor tanah ke dalam lapisan

    gambut hingga mencapai/mengenai lapisan tanah mineralnya, sedangkan

    luasan lahan gambut dapat diketahui dari hasil pengukuran langsung di

    lapangan atau dari peta dasar/tanah atau citra landsat. Tingkat

    kematangan/pelapukan gambut dapat diukur langsung di lapangan

    dengan metoda sederhana seperti diuraikan di bawah ini. Sedangkan

    penentuan bobot isi (Bulk Density-BD) dan persen (%)-C-organik

    dapat merujuk dan berdasarkan kepada hasil analisis beberapa contoh

    tanah gambut (Lampiran 3) yang telah dilakukan di beberapa lokasi di

    Sumatera (Wahyunto et al., 2003). Prosedur pengukuran yang harus

    diikuti adalah pengukuran luas lahan, ketebalan gambut, penentuan

    tingkat kematangan, bobot isi gambut dan C-organik, dan pendugaan

    cadangan karbon bawah-permukaan.

    4.1. Pengukuran luas lahan

    Penentuan luas lahan yang sederhana yaitu dengan mengukur panjang

    dan lebar lahan. Namun pada kenyataan di lapangan mengukur luas

    tidak semudah yang dibayangkan karena bentuk dan tofografi lahan

    yang bervariasi. Untuk keperluan tersebut, maka dapat dipenggunaan

    peta dasar (base map) pada skala besar (1 : 25.000 1 : 50.000)

    sebagai dasar untuk membatasi (delineasi) luas areal lahan.

    4.2. Pengukuran ketebalan gambut

    Pengukuran ketebalan gambut dilakukan pada sebuah titik boring

    (pengeboran) yang dilakukan pada beberapa plot (Gambar 1). Tahap-

    tahapan yang harus dilakukan adalah:

  • 13

    Masukan bor gambut atau bor Eijkelkamp yang dimodifikasi

    (Gambar 3) secara bertahap, angkat bor untuk dicatat dan

    diambil contoh tanahnya, apabila bor belum mencapai lapisan

    mineral maka sambungkan dengan bor berikutnya, ulangi

    pencatatan pada setiap penyambungan bor sampai mencapai

    tanah mineral. Untuk praktisnya, bor bisa diganti dengan

    tongkat kayu panjang yang ujungnya diruncingkan dan sebagian

    sisi ujungnya disodet agar contoh tanah mineral dapat sedikit

    terambil dan terlihat jelas. Akan tetapi dengan alat semacam

    ini, contoh tanah gambut dari berbagai kedalaman tidak dapat

    terambil.

    Disamping mencatat ketebalan, juga catat sifat lainnya seperti

    kedalam paras (muka) air tanah, jenis kematangan gambut,

    perubahan warna, kelembaban lapisan atas (kering/basah

    diamati secara visual), kongkresi arang (ada tidaknya gambut

    bekas terbakar), lihat Lampiran 5.

    Untuk keperluan analisa tanah gambut (fisik dan kimia), ambil

    contoh tanah seberat 1 1,5 Kg. Contoh diambil secara

    komposit, yaitu dari campuran tanah gambut yang berasal dari

    berbagai lapisan kedalaman pada titik bor yang sama. Simpan

    contoh dalam kantong plastik dan diberi label. Contoh tanah

    ini nantinya dapat digunakan untuk mengetahui tingkat

    kematangan gambut seperti yang akan diuraikan di bagian 4.3.

    Gambar 3. Bor Eijkelkamp untuk menduga ketebalan gambut dan

    mengambil contoh gambut

  • 14

    4.3. Penentuan tingkat kematangan gambut

    Dalam key to soil taxonomy (Soil Survey Staff, 1998) tingkat kematangan

    /pelapukan tanah gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi

    dari bahan-bahan (serat) tanaman asalnya. Ketiga macam tingkat

    kematangan tersebut adalah: (1) fibrik, (2) hemik dan (3) saprik.

    Karena pentingnya tingkat kematangan ini untuk diketahui, maka untuk

    memudahkan penciriannya di lapangan, definisi tentang serat-serat ini

    harus ditetapkan terlebih dahulu.

    Serat-serat diartikan sebagai potongan-potongan dari jaringan tanaman

    yang sudah mulai melapuk atau lapuk (tidak termasuk akar-akar yang

    masih hidup) dengan memperlihatkan adanya struktur sel dari tanaman

    asalnya.

    Potongan-potongan serat mempunyai ukuran diameter sama dengan

    atau kurang dari 2 cm, sehingga dapat diremas dan mudah dicerai-

    beraikan dengan jari. Potongan-potongan kayu berdiameter lebih dari

    2 cm dan belum melapuk sehingga sulit untuk dicerai-beraikan dengan

    jari, seperti potongan-potongan cabang kayu besar, batang kayu dan

    tunggul tidak dianggap sebagai serat-serat, tetapi digolongkan sebagai

    fragmen kasar.

    Penetapan tingkat kematangan/pelapukan tanah gambut di lapangan:

    Ambil segenggam tanah gambut (hasil kegiatan 4.2 di atas) kemudian

    peras dengan telapak tangan secara pelan-pelan, lalu lihat sisa serat-

    serat yang tertinggal di dalam telapak tangan:

    (1). Bila kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan

    setelah pemerasan, adalah tiga perempat bagian atau lebih

    (), maka tanah gambut tersebut digolongkan kedalam jenisfibrik.

    (2). Bila kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan

    setelah pemerasan, adalah antara kurang dari tiga perempat

    sampai seperempat bagian atau lebih ( dan

  • 15

    (3). Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan

    setelah pemerasan, adalah kurang dari seperempat bagian

    (

  • 16

    berbagai tingkat kematangan/pelapukan tanah gambut di Sumatera (lihat

    Lampiran 3). Nilai-nilai yang dikumpulkan ini berasal dari berbagai

    laporan hasil penelitian tanah gambut di Sumatera yang dilakukan

    selama bertahun-tahun. Nilai-nilai tersebut dapat digunakan untuk

    menghitung kandungan cadangan karbon pada tanah gambut di

    Sumatera dan kemungkinan juga untuk lokasi-lokasi lainnya di Indonesia.

    4.5. Rumus perhitungan pendugaan cadangan Karbon bawah-

    permukaan

    Parameter yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah luas lahan

    gambut, kedalaman tanah gambut, bobot isi/Bulk Density (BD) dan

    kandungan Karbon (C-organik) pada setiap jenis tanah gambut.

    Persamaan yang digunakan adalah:

    Kandungan Karbon (KC) = B x A x D x C

    dimana :

    KC = kandungan Karbon dalam ton

    B = bobot isi (BD) tanah gambut dalam g/cc atau ton/m3

    A = luas tanah gambut dalam m2

    D = ketebalan gambut dalam m

    C = kadar karbon (C-organik) dalam persen (%)

    Semua hasil pengukuran dan pengamatan di atas ditabulasikan dalam

    Lembar Pengamatan pada Lampiran 4 (contoh penghitungan tercantum

    dalam Lampiran 5).

  • 17

    5. PENGUKURAN TAMBAHAN

    Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang lokasi

    pengamatan, beberapa informasi berikut ini perlu dikumpulkan sebagai

    pengukuran atau pengamatan tambahan (Lampiran 6).

    5.1. Sejarah penggunaan lahan

    Sejarah penggunaan lahan dicatat berdasarkan wawancara dengan

    penduduk setempat atau pemilik lahan untuk menduga teknik

    pengelolaan yang selama ini dilakukan dan keberlanjutan usaha tersebut.

    Survei perlu dilakukan setiap enam bulan sekali atau lebih sering

    dibandingkan dengan pengamatan aspek biofisik yang diuraikan pada

    bagian 3 dan 4.

    5.2. Pohon dominan

    Dicatat spesies pohon dominan yang memiliki nilai sosial-ekonomi yang

    tinggi dan perlu dilestarikan. Dari catatan ini dapat diperkirakan

    pemahaman dan ketergantungan penduduk lokal terhadap spesies-

    spesies ini. Seperti halnya sejarah penggunaan lahan, informasi ini perlu

    diperbaiki setiap enam bulan sekali.

    5.3. Paras air tanah

    Paras (tinggi muka) air tanah merupakan indikasi dinamika air (drainase

    dan penggenangan) di lahan gambut. Prosedur yang umum dilakukan

    untuk mengamatinya (lihat Gambar 4) yaitu:

    Pengamatan dilakukan pada plot yang sama dengan pengamatan

    vegetasi dan tanah;

    Kedalam lahan gambut, masukkan pipa PVC berdiameter 2,5 inci,

    panjang 2 m dan telah dilubangi (cukup banyak lubang, agar air

    tanah dari sekitar tanah gambut bisa masuk ke dalam pipa). Kira-

    kira 0,25 m (b) dari bagian atas pipa tersebut muncul di

    permukaan;

    Amati paras air tanah dengan memasukkan tongkat kayu (a);

    Pengukuran perlu dilakukan sebulan sekali;

  • 18

    Tinggi muka air tanah (tmat) diukur dengan tongkat berskala, yaitu

    jarak muka air tanah (tmat) terhadap permukaan tanah (tmat = a

    b, dalam meter). Untuk mengetahui seberapa jauh/luas perubahan

    muka air tanah gambut ini, beberapa pipa PVC dapat diletakkan

    secara lateral dengan interval jarak tertentu dari tepi sungai/saluran

    yang ada.

    5.4. Penurunan tanah

    Penurunan ketinggian tanah gambut (soil subsidence) merupakan

    indikator akan adanya drainase dan perombakan bahan organik di dalam

    lahan gambut. Subsiden juga bisa ditimbulkan oleh adanya alih fungsi

    lahan gambut menjadi bentuk-bentuk penggunaan lain seperti pertanian,

    perkebunan, dibangun jalan raya di atasnya, dsb. Berikut ini adalah

    cara-cara untuk mengetahui adanya subsiden di lahan gambut:

    Pengamatan dilakukan di lokasi plot yang sama dengan pengamatan

    vegetasi dan tanah;

    Masukkan pipa besi yang ditajamkan ke dalam tanah hingga sampai

    lapisan tanah mineral (lihat Gambar 5);

    Tandai bagian yang menyentuh permukaan tanah sebagai titik awal;

    Gambar 4. Pengukuran muka air tanah di lahan gambut

  • 19

    Pengamatan dilakukan setiap enam bulan;

    Laju subsiden dihitung dari selisih antara titik awal permukaan

    tanah gambut (misal 0 cm) dengan titik pengamatan berikutnya

    (misal 60 cm), lalu dibagi interval pengamatan (misal 6 bulan).

    Dari contoh ini maka dapat diketahui bahwa laju subsiden adalah

    sebesar (60 cm - 0 cm)/6 bl = 10 cm/bula

    Gambar 5. Pemasangan pipa besi yang ditajami dan diberi tanda

    untuk mengamati penurunan permukaan tanah

  • 20

    DAFTAR PUSTAKA

    Brady, M. A. 1997. Organic matter dynamics of coastal peat deposit in

    Sumatra, Indonesia. PhD thesis. The University of British

    Columbia.

    Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical

    forests, a primer. FAO Forestry Paper 134. FAO, Rome.

    Hairiah K, Sitompul SM, Van Noordwijk M dan Palm C. 2001a.

    Carbon stocks of tropical land use systems as part of the global C

    balance: effects of forest conversion and options for clean

    development activities, ASB-Lecture Note 4A. ICRAF-SEA.

    Bogor.

    Hairiah K, Sitompul SM, Van Noordwijk M dan Palm C. 2001b.

    Methods for sampling carbon stocks above and below ground, ASB-

    Lecture Note 4B. ICRAF-SEA. Bogor.

    Harden, W. H., Sundquist, E. T., Stallard, R. F., dan Mark, R. K. 1992.

    Dynamics of soil carbon during deglaciation of the Laurentide ice

    sheet. Science 258:1921-1924.

    IPCC. 2001. Climate Change 2001: The scientific basis. Cambridge

    University Press.

    Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta penyebarannya

    pada tanah dan tumbuhan hutan rawa gambut: Studi kasus di

    wilayah bagian KPH Bagan Siapi Api Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

    Disertasi Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

    Joosten, H, dan Clarke, D. 2002. Wise use of mires and peatlands,

    background and principles including a framework for decision-

    making. ICMG and IPS. 304 hal.

    Ketterings QM, Coe, R, van Noordwijk, M, Ambagau, Y, Palm, CA.

    2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass

    equations for predicting above-ground tree biomass in mixed

    secondary forests. Forest Ecology and Management 120:199-

    209.

  • 21

    Maltby dan Immirizi. 1993. Carbon dynamics in peatlands and other

    wetlands soils: regional and global perspective. Chemosphere

    27:999 1023.

    Murdiyarso, D., Widodo, M, dan Suyanto, D. 2002. Fire risks in forest

    carbon projects in Indonesia. Science in China (Series C). Vol 45

    Supp : 65 74

    Neuzil, S.G. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in

    four domed ombrogenous peat deposits in Indonesia. In

    Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. (eds. Rieley,

    J.O., and S. E. Page). Samara Publishing Ltd. pp. 55-72.

    Notohadiprawiro, T. 1983. Selidik cepat ciri tanah di lapangan. Ghalia

    Indonesia. 94 hal.

    Page, S.E. dan Rieley, J.O. 1998. Tropical peatlands: a review of their

    natural resource functions with particular reference to Southeast

    Asia. Int. Peat J. 8, 95-106.

    Page, S.E, Siegert, F, Rieley, J.O, Boehm, H.D.V, Jaya, A. 2002. The

    amount of carbon released from peat and forest fire in Indonesia

    during 1997. Nature 420 : 61 65.

    Post, R.M., Emanuel, W.R., Zinke, P.J., dan Stangenberger. 1982. Soil

    carbon pools and world life zones. Nature 298 : 156-159.

    Soil Survey Staff. 1998. Key to Soil Taxonomy. United States

    Departement of Agriculture (USDA). National Resources

    Conservation Services.

    Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2003 (dalam persiapan). Sebaran

    Gambut dan Kandungan Karbon Pulau Sumatera dan Kalimantan.

    Proyek CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in

    Indonesia). Wetlands International - Indonesia Programme (WI-

    IP) dan Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor.

  • LAMPIRAN

  • 23

    Lampiran 1. Data berat jenis beberapa spesies pohon hutan gambut*

  • 24

  • 25

    *) Sumber: www.worldagroforestrycenter.cgiar.org

    **) Berat jenis (Bj) ~ 1 g/cc ~ 1 ton/m3~ ~

  • 26

    Lampiran 2. Lembar pengamatan cadangan C atas-permukaan

    Lembar Pengamatan Cadangan C Atas-permukaan

    _____________________________________________________

    Nomor lapangan : .....

    Pemilik/penguasa lahan : .

    Desa /wilayah : .

    Tanggal pengamatan : .

    Pengamat : .

  • 27

    Keterangan:

    *) Gunakan data yang tersedia pada Lampiran 1

    **) Untuk menghitung nilai total cadangan C per plot seluas 1000 m2,

    maka harus diketahui jumlah tegakan masing-masing jenis pohon

    dalam satu plot. Lalu besarnya nilai cadangan C per plot (ton)

    dimana:

    Ci = kandungan C (kg) untuk masing-masing jenis pohon ke-isampai dengan n

    Spi = jumlah tegakan pohon jenis ke-i sampai dengan n

    n

    i = 1Spi x Ci

    1000=

  • 28

    Lampiran 3. Nilai kisaran dan rerata bobot isi (BD) dan kadar C-Organik

    pada tiap jenis/tingkat kematangan gambut di Sumatera

    (Wahyunto, et al., 2003)

    Catatan:

    Pada lahan gambut dengan status peaty soil (mineral bergambut) atau

    sangat dangkal (ketebalan

  • 29

    Lampiran 4. Lembar pengamatan cadangan C bawah-permukaan

    Lembar Pengamatan Cadangan C Bawah-permukaan

    ____________________________________________________

    Nomor lapangan : .

    Pemilik/penguasa lahan : ...........................

    Desa/wilayah : ..

    Tanggal pengamatan : .....

    Pengamat : .

  • 30

    Lampiran 5. Contoh penghitungan cadangan C bawah-permukaan

  • 31

    Lampiran 6. Lembar pengamatan tambahan

    Lembar Pengamatan Tambahan

    ____________________________________________________

    Nomor lapangan : .

    Pemilik/penguasa lahan : .

    Desa/wilayah : .

    Tanggal pengamatan : .

    Pengamat : .

    Sejarah penggunaan lahan

    Penutupan lahan asli : .

    Awal konversi : .

    Teknik yang digunakan : .

    Penggunaan lahan saat ini: .....

    Lama penggunaan lahan : .

    Input terhadap tanah : .

    Pohon dominan

  • 32

    Hid

    rolo

    gi

    dan s

    ifat

    kem

    ata

    ngan g

    am

    but

    Cat

    atan

    :

    F=

    Fib

    rik,

    bila

    kan

    dunga

    n s

    era

    t ya

    ng

    tert

    ingg

    al d

    alam

    tela

    pak

    tan

    gan s

    ete

    lah p

    em

    era

    san,

    adal

    ah t

    iga

    pere

    mpat

    bag

    ian a

    tau l

    ebih

    (

    ).

    Nila

    i B

    D =

    0,1

    012

    0,1

    2 (

    rera

    ta 0

    ,1028 g

    /cc)

    .

    H=

    Hem

    ik,

    bila

    kan

    dunga

    n s

    era

    t ya

    ng

    tert

    ingg

    al d

    alam

    tela

    pak

    tan

    gan s

    ete

    lah p

    em

    era

    san,

    adal

    ah a

    nta

    ra

    kura

    ng

    dar

    i ti

    ga p

    ere

    mpat

    sam

    pai

    sepere

    mpat

    bag

    ian a

    tau l

    ebih

    (