MANNOSE-BINDING LECTIN SEBAGAI PREDIKTOR...

12
MANNOSE-BINDING LECTIN SEBAGAI PREDIKTOR SEPSIS NEONATORUM ONSET DINI MANNOSE-BINDING LECTIN AS A PREDICTOR EARLY ONSET SEPSIS Rafika Mansyur, Ema Alasiry, Dasril Daud Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar Alamat Korespondensi : Rafika Mansyur Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 081355447144 (Email : [email protected] )

Transcript of MANNOSE-BINDING LECTIN SEBAGAI PREDIKTOR...

MANNOSE-BINDING LECTIN SEBAGAI PREDIKTOR SEPSIS NEONATORUM ONSET DINI

MANNOSE-BINDING LECTIN AS A PREDICTOR EARLY ONSET SEPSIS

Rafika Mansyur, Ema Alasiry, Dasril Daud

Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar

Alamat Korespondensi : Rafika Mansyur Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 081355447144 (Email : [email protected])

Abstrak Angka kematian dan kesakitan pada Sepsis Neonatorum Onset Dini (SNOD) masih tetap tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan kadar MBL serum awal terhadap kemungkinan kejadian SNOD. Desain penelitian ini adalah kohort prospektif di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan RSIA. St. Fatimah sejak Mei 2012 hingga Agustus 2013. Sampel penelitian adalah bayi baru lahir dari ibu dengan faktor risiko infeksi memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksaan MBL serum dilakukan segera setelah lahir lalu subjek dipantau selama 72 jam hingga timbul outcome (SNOD atau tidak SNOD). Dari 95 subjek penelitian, 14 bayi mengalami SNOD dan 81 tidak mengalami SNOD. Kemudian dilakukan pengelompokan ulang kelompok SNOD, yaitu yang memiliki minimal dua kategori A (kesulitan bernapas dan instabilitas suhu), dengan 9 subjek tidak dimasukkan dalam analisis. Kadar MBL serum pada kelompok SNOD lebih rendah dibandingkan kelompok tidak SNOD, dengan nilai p = 0,000. Titik potong ≤ 0,3µg/mL merupakan nilai terbaik untuk memprediksi kejadian SNOD (sensitivitas 100%, spesifisitas 98,77%, NPP 83,33%, NPN 100%, p=0,000; OR 6, IK95% 1,003-35,908). Bayi baru lahir dengan kadar MBL ≤ 0,3 µg/mL enam kali lipat berisiko mengalami SNOD (dengan kesulitas bernapas dan instabilitas suhu) dibandingkan yang memiliki kadar MBL >0,3 µg/mL. Kata kunci: Sepsis neonatorum onset dini, Mannose-binding Lectin, prediktor Abstract Morbidity and mortality rate in Early Onset Dini (EOS) is still high.The aim of this study is to examine the role of MBL serum level in EOS. The study design was a cohort prospective study was conducted at dr. Wahidin Sudirohusodo hospital and St. Fatimah hospital from May 2012 until Agustus 2013. The population included newborn baby whose mother has risk factors of sepsis and admitted to dr. Wahidin Sudirohusodo General Hospital and St. Fatimah Hospital. Blood sampling was done soon after birth and then we observed the subjects in 72 hours. There were 95 samples, with 14 subjects became EOS and 81 subjects remained health. We recollect EOS group who has at least 2 A categories (respiratory distress and body temperature instability). MBL serum level was lower on EOS group than without EOS group with the cutoff point of ≤ 0,3 µg/mL is the best level to distinguish between EOS and without EOS (p = 0,000, sensitivity 100%, specificity 98,77%, positive predictive value 83,33%, negative predictive value 100%, OR 6, 95%CI 1,003-35,908). EOS (with respiratory distress and body temperature instability) is six times more frequent in newborn baby with MBL serum level ≤ 0,3 µg/mL. Key words: Early onset sepsis, Mannose-binding Lectin, predictor

PENDAHULUAN

Sepsis neonatorum merupakan sindrom klinis yang timbul akibat invasi

mikroorganisme ke dalam aliran darah, yang terjadi dalam satu bulan pertama kehidupan.

Sepsis neonatorum dibedakan menjadi sepsis neonatorum onset dini (SNOD) dan sepsis

neonatorum onset lambat (SNOL) (Gomella, 2004).

Respon imun adalah suatu mekanisme pertahanan tubuh yang penting dalam

pencegahan terjadinya infeksi. Respon imun terbagi menjadi dua sistem. Pertama, sistem

imun alamiah (nonspesifik) termasuk di dalamnya sistem komplemen (C) dan mannose-

binding lectin (MBL). Kedua, sistem imun adaptif yang fungsinya lebih spesifik. Jika terjadi

penekanan atau gangguan pada sistem imun adaptif, maka sistem imun alamiah akan

memegang peranan penting (Vandenbroucke-Grauls, 2008).

Sistem imun alamiah, MBL, mempunyai kemampuan dalam pengenalan berbagai

macam kuman patogen (Oudshoorn dkk., 2008; Kerrigan dkk., 2009) serta dalam hal

modifikasi efisiensi pengambilan dan ekspresi reseptor fagositik. Setelah berikatan dengan

permukaan kuman patogen, maka akan memicu suatu proses imun yang bertujuan untuk

mengeliminasi kuman patogen (mikroba). Proses imun tersebut, yaitu MBL dapat berfungsi

secara langsung sebagai opsonin ataupun mengaktivasi sistem komplemen (Parish, 2001;

Janeway dkk., 2008; Kerrigan dkk., 2009).

Suatu penelitian melaporkan bahwa nilai median konsentrasi MBL serum pada BBL

yang kemudian mengalami infeksi lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mengalami

infeksi. Kadar MBL yang rendah saat lahir dari ibu dengan faktor risiko infeksi akan

meningkatkan faktor risiko infeksi BBL (Benedetti dkk., 2010). Hingga saat ini belum ada

patokan standar kadar MBL untuk mengatakan seseorang mengalami defisiensi MBL. Selain

itu, masih terdapat kontroversi tentang kadar MBL serum dengan kemungkinan terjadinya

sepsis (Benedetti dkk., 2007; Schlapbach dkk., 2010).

Insiden sepsis neonatorum yang tinggi disebabkan oleh banyak faktor perinatal yang

belum dapat ditangani secara optimal. Salah satunya adalah keterlambatan diagnosis sepsis

neonatorum, hal ini disebabkan sulitnya ditemukan tanda-tanda sepsis klasik pada BBL.

Demikian pula biakan darah yang merupakan baku emas dalam diagnosis sepsis, baru dapat

memberikan hasil setelah 3-5 hari pengambilan sampel darah, dan dapat pula memberikan

hasil negatif palsu. Pemeriksaan penunjang seperti C-reactive protein (CRP) ataupun rasio I/T

tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis pasti sepsis neonatorum (Aminullah, 2008).

Terdapat dilema dalam penatalaksanaan sepsis, yaitu jika terjadi keterlambatan

pengobatan akan meningkatkan angka mortalitas, sedangkan jika terjadi overdiagnosis, akan

menyebabkan overtreatment, yang merugikan pasien dan keluarganya. Oleh karena itu

diperlukan parameter lain dalam deteksi dini faktor risiko sepsis yang lebih akurat dalam

memprediksi kejadian sepsis neonatorum. Beberapa tahun terakhir MBL menjadi pusat

perhatian para peneliti dalam hubungannya dengan faktor risiko infeksi/sepsis dan

mengemukakan kadar MBL serum yang rendah merupakan prediktor sepsis neonatorum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu penelitian untuk

mengidentifikasi peran dan nilai prediksi kadar MBL serum yang berhubungan dengan

kejadian sepsis neonatorum. Selain itu, penelitian kadar MBL serum dengan kemungkinan

terjadinya sepsis masih sangat terbatas, bahkan sepengetahuan peneliti, belum pernah

dilakukan di Indonesia, sehingga penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

kita untuk aplikasi klinik yang lebih baik di masa mendatang. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui peranan kadar MBL serum awal terhadap kemungkinan kejadian SNOD.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UNHAS/RSUP Dr.

Wahidin Sudirohusodo dan RSIA St. Fatimah Makassar. Merupakan suatu penelitian kohort

prospektif untuk mengetahui peranan MBL serum awal terhadap kejadian SNOD. Dilakukan

pemeriksaan MBL serum segera setelah lahir, lalu subjek dipantau dalam 72 jam hingga

timbul outcome (SNOD atau tidak SNOD)

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah bayi baru lahir dari ibu dengan faktor risiko infeksi di RS dr.

Wahidin Sudirohusodo dan RSIA St. Fatimah Makassar. Cara pengambilan sampel adalah

consecutive sampling. Subyek penelitian adalah bayi baru lahir dari ibu dengan faktor risiko

infeksi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan bersedia menjadi subyek penelitian

(mendapat izin dari orang tua) serta menandatangani persetujuan informed consent.

Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Semua sampel yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan pencatatan usia gestasi,

jenis kelamin, dan tanda vital (suhu, nadi, pernapasan, kesadaran). Selanjutnya dilakukan

pemeriksaan MBL serum awal dan kemudian dipantau dalam 72 jam, hingga terbagi menjadi

kelompok, yaitu kelompok SNOD dan tidak SNOD. Analisis dilakukan dengan menggunakan

Uji X2 (Chi square) untuk analisis jenis kelamin. Uji mann Whitney dan uji student-t untuk

analisis kadar MBL serum antara kelompok SNOD dan tidak SNOD. Analisis ROC dilakukan

untuk mencari titik potong kadar MBL, lalu dihitung nilai ketepatan setiap titik potong. Uji

Fisher’s exact digunakan untuk menganalisis hubungan antara titik potong terhadap outcome.

HASIL

Karakteristik Sampel

Tabel 1 memperlihatkan karakteristik sampel penelitian. Dari total sampel 95 subjek,

terdiri dari 43 (45,3%) laki-laki dan 52 (54,7%) perempuan. Terdapat 44 subjek (46,3%)

dengan ibu demam dan 51 subjek (53,7%) ibu tidak demam. Subjek dengan ibu lekositosis

yaitu 36 (37,9%), sedangkan yang tidak lekositosis 59 (62,1%). Subjek dengan ibu KPD

sebanyak 41 (43,2%) dan yang tidak KPD 54 (56,8%). Terdapat 86 subjek (90,5%) subjek

dengan warna ketuban keruh/hijau, sedangkan 9 subjek (9,5) tidak disertai warna ketuban

keruh/hijau.

Frekuensi kejadian SNOD antara jenis kelamin dianalisis dengan menggunakan

metode Chi-square X2 (tabel 2), dengan hasil pada kelompok laki-laki sebesar 16,3% dan

perempuan 13,5%, sedangkan frekuensi kejadian tidak SNOD pada kelompok laki-laki

sebesar 83,7% dan perempuan 86,5%. Analisis statistik tidak menunjukkan perbedaan yang

bermakna antara jenis kelamin dan kejadian SNOD (p = 0,70).

Tabel 3 memperlihatkan Kadar MBL pada kelompok SNOD memiliki nilai median

0,88 μg/mL, simpang baku 0,33 μg/mL, dan rentangan 0,17-0,94 μg/mL. Sedangkan pada

kelompok tidak SNOD memiliki nilai median 0,90 μg/mL, simpang baku 0,38 μg/mL, dan

rentangan 0,3-3,17 μg/mL. Hasil uji statistik Mann-Whitney antara kedua kelompok

menunjukkan terdapat perbedaan bermakna dengan nilai p = 0,047.

Setelah dilakukan pengelompokan “SNOD” ulang, yakni kelompok SNOD yang

memiliki minimal dua kategori A (kesulitan bernapas dan instabilitas suhu), maka diperoleh

hasil, kelompok “SNOD” 5 subjek dan tidak SNOD 81 subjek, sedangkan 9 subjek dari

kelompok SNOD yang termasuk ke dalam kelompok “SNOD” tidak diikutkan dalam analisis.

Tabel 4 memperlihatkan uji hipotesis terhadap pengelompokan subjek dengan karakteristik

sama dan yang paling dapat membedakan kelompok “SNOD” dan tidak SNOD, dengan

menggunakan uji Student-t. Hasil menunjukkan bahwa rerata kadar MBL pada kelompok

“SNOD” adalah 0,25 (SD 0,048) μg/mL, sedangkan rerata kadar MBL pada kelompok tidak

SNOD adalah 0,91 (SD 0,380) μg/mL. Hasil uji statistik antara kedua kelompok menunjukkan

hasil nilai p = 0,000.

Hasil analisis Fisher’s Exact test antara nilai titik potong 0,3 terhadap outcome

diperlihatkan dalam tabel 5. Hasil yang diperoleh yaitu frekuensi kejadian “SNOD” pada

kelompok MBL ≤ 0,3 μg/mL sebesar 83,3% dan frekuensi kejadian tidak SNOD pada

kelompok MBL > 0,3 μg/mL sebesar 100%. Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang

bermakna antara titik potong MBL ≤ 0,3 μg/mL dan kejadian “SNOD” (p = 0,000).

PEMBAHASAN

Penelitian ini memperlihatkan peranan kadar MBL serum awal terhadap kemungkinan

kejadian SNOD dengan menggunakan desain kohort prospektif yang dilaksanakan pada bulan

Mei 2012 sampai Agustus 2013. Telah diperoleh 95 sampel yang terdiri atas 14 sampel

SNOD dan 81 sampel tidak SNOD. Analisis dilakukan terhadap efek dari faktor jenis

kelamin, suhu ibu, lekosit ibu, ketuban pecah dini dan warna ketuban.

Kadar MBL pada kelompok SNOD memiliki nilai median 0,88 μg/mL, simpang baku

0,33 μg/mL, dan rentangan 0,17-0,94 μg/mL. Sedangkan pada kelompok tidak SNOD

memiliki nilai median 0,90 μg/mL, simpang baku 0,38 μg/mL, dan rentangan 0,3-3,17 μg/mL.

Hasil uji statistik antara kedua kelompok menunjukkan perbedaan bermakna, dengan nilai p =

0,047. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Benedetti dkk. (2007) yang memperoleh hasil

median kadar MBL serum bayi yang mengalami sepsis, secara signifikan lebih rendah

dibandingkan yang tidak mengalami sepsis, dengan nilai p < 0,05. Hasil penelitian Frakking

dkk. (2007) menunjukkan frekuensi bayi memiliki kadar MBL yang rendah yang mengalami

SNOD lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang memiliki kadar MBL normal. Ia juga

menambahkan bahwa kadar MBL serum pada bayi yang terbukti sepsis memiliki kadar MBL

yang lebih rendah dari bayi yang tersangka besar sepsis. Hasil di atas juga sesuai dengan

penelitian Schlapbach dkk. (2010), serta Mohamed dan Saeed (2011), yang mendapatkan

kadar MBL yang rendah berhubungan dengan kejadian SNOD, dengan hasil yang berbeda

bermakna secara statistik.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada BBL yang memiliki kadar MBL rendah

memiliki risiko terhadap kejadian SNOD (Salem dkk., 2006). Hal ini diakibatkan karena pada

BBL imunitas spesifiknya belum berfungsi secara optimal, sehingga saat terjadi infeksi, maka

imunitas nonspesifik yang lebih berperan dalam proses eliminasi kuman. Jadi, pada BBL dari

ibu dengan faktor risiko sepsis, yang memiliki kadar MBL rendah akan lebih berisiko

mengalami SNOD dibandingkan BBL yang memiliki kadar MBL tinggi.

Dari hasil analisis ROC untuk mencari titik potong yang dapat memprediksi kejadian

SNOD, didapatkan hasil titik potong kadar MBL kedua kelompok berhimpit di nilai 0,82

hingga 0,86. Hasil perhitungan ketepatan kadar MBL pada setiap titik potong menunjukan

kadar MBL 0,86 memiliki Area Under Curve (AUC) terbesar dengan nilai 0,541; dengan nilai

sensitivitas 42,86%, spesifisitas 34,57%, nilai prediksi positif 17,65%, nilai prediksi negatif

82,35%, dan nilai p = 0,550. Hasil ini menunjukkan bahwa titik potong tersebut tidak dapat

digunakan sebagai prediktor SNOD. Hasil yang diperoleh ini berbeda dengan penelitian lain

sebelumnya, yaitu Schlapbach dkk memperoleh titik potong kadar MBL 0,3 µg/mL

(p=0,028), Benedetti dkk. dengan titik potong 0,7 (p=0,001), Frakking dkk. dengan titik

potong 0,2 µg/mL (p<0,01), Mohamed dan Saeed dengan titik potong 0,5 µg/mL (p<0,05).

Sedangkan Dzwonek dkk memperoleh titik potong 0,4 µg/mL (p=0,11), hal ini sama dengan

hasil yang diperoleh dari penelitian ini.

Hal ini disebabkan bervariasinya karakteristik/kategori dalam menyatakan subjek

mengalami SNOD atau tidak, sehingga menyebabkan data dari penelitian ini menjadi

heterogen dalam hal karakteristik penegakan SNOD. Akibatnya pergeseran nilai-nilai yang

signifikan kadar MBL terhadap kejadian SNOD tidak tampak. Dari data penelitian didapatkan

bahwa ada sebagian SNOD memiliki nilai MBL yang masuk dalam rentangan kelompok tidak

SNOD (lebih tinggi) dan demikian pula sebaliknya ada sebagian kelompok tidak SNOD yang

memiliki nilai MBL yang masuk dalam rentangan kelompok SNOD (lebih rendah).

Mekanisme imun yang mendasari penelitian ini adalah BBL dengan kadar MBL yang

tinggi, memiliki kemampuan eliminasi kuman yang lebih baik dibandingkan BBL dengan

kadar MBL rendah. Hal ini disebabkan bahwa MBL merupakan imunitas nonspesifik pertama

dalam kondisi terpapar infeksi, yang selanjutnya dapat langsung membunuh mikroba dengan

proses opsonisasi ataupun melalui aktivasi sistem komplemen, yang juga pada akhirnya akan

membunuh mikroba. Jadi, pada kelompok dengan kadar MBL lebih rendah namun tidak

mengalami SNOD, hal ini mungkin disebabkan adanya bantuan imunitas lain dalam

mengeliminasi kuman (Janeway dkk, 2008), sehingga tidak mengalami SNOD.

Ada penjelasan lain untuk temuan ini, yaitu subjek SNOD memiliki temuan klinis

yang cukup bervariasi dan ada temuan yang kurang spesifik dalam membedakan SNOD dan

tidak SNOD. Sehingga ada kemungkinan beberapa subjek yang tidak SNOD, namun

diklasifikasikan sebagai SNOD, yang pada akhirnya mengurangi hubungan antara rendahnya

kadar MBL dengan SNOD. Jadi, tidak mengherankan jika hasil analisis titik potong tidak

dapat digunakan untuk membedakan kelompok SNOD dan tidak SNOD. Hal ini menjadi

salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Keterbatasan yang lain adalah tidak diketahui

kondisi genotip MBL yang sangat mempengaruhi ekspresi kadar MBL serum dan kerentanan

subjek terhadap infeksi (Schlapbach dkk, 2010; Mohamed dan Saeed, 2011).

Oleh karena itu, selanjutnya dilakukan pengelompokan karakteristik yang sama dari

subjek penelitian, dengan tujuan membuat data menjadi homogen dalam mengatakan seorang

subjek mengalami SNOD. Subjek yang dimasukkan dalam kelompok “SNOD”, yaitu subjek

SNOD yang harus memiliki minimal dua kategori A (kesulitan bernapas dan instabilitas

suhu). Hasil yang diperoleh yaitu terdapat 5 subjek yang memiliki karakteristik yang sama

dan mengalami “SNOD”, 81 subjek yang tidak memiliki karakteristik tersebut dan tidak

mengalami SNOD. Sedangkan 9 subjek SNOD tidak dimasukkan dalam kelompok “SNOD”

karena tidak memiliki karakteristik yang sama (kesulitan bernapas dan instabilitas suhu) dan

didiagnosa sebagai SNOD dikeluarkan dari analisis. Hasil dari data tersebut menunjukkan

bahwa rerata kadar MBL pada kelompok “SNOD” (n=5) adalah 0,25 (SD 0,048) μg/mL,

sedangkan rerata kadar MBL pada kelompok tidak SNOD (n=81) adalah 0,91 (SD 0,380)

μg/mL. Hasil uji statistik antara kedua kelompok menunjukkan hasil nilai p = 0,000 dengan

IK95% (-1,00) – (-0,31). Hasil sesuai dengan penelitian Schlapbach dkk. (2010), Frakking

dkk. (2007), serta Mohamed dan Saeed (2011), yang mendapatkan kadar MBL yang rendah

berhubungan dengan kejadian SNOD, dengan hasil yang berbeda bermakna secara statistik.

Dari hasil analisis ROC untuk mencari titik potong yang dapat memprediksi kejadian

SNOD, didapatkan hasil titik potong kadar MBL kedua kelompok antara titik 0,3 hingga 0,8.

Hasil perhitungan ketepatan kadar MBL pada setiap titik potong menunjukkan titik potong

0,3 memiliki Area Under Curve (AUC) terbesar dengan nilai 0,994; dengan nilai sensitivitas

100%, spesifisitas 98,77%, nilai prediksi positif 83,33%, nilai prediksi negatif 100%, dan nilai

p = 0,000. Didukung pula oleh hasil analisis titik potong 0,3 terhadap outcome, didapatkan

nilai OR 6 (IK95% 1,003-35,908), p = 0,000. Hasil ini menunjukkan bahwa kadar MBL ≤ 0,3

μg/mL dapat digunakan sebagai prediktor SNOD dengan risiko enam kali lebih tinggi

dibandingkan yang memiliki kadar MBL > 0,3 μg/mL. Titik potong ini sama dengan

penelitian Schlapbach dkk (2010) dengan OR 3,88 (IK95% 1,16-13,02), nilai p = 0,028.

Kekuatan dari penelitian ini adalah menggunakan desain kohort prospektif, merupakan

desain terbaik dalam menentukan perjalanan penyakit atau efek yang diteliti serta dinamika

hubungan antara faktor risiko dengan efek/outcome. Hasil akhir penelitian ini dapat dijadikan

acuan baru dalam pengelolaan BBL dari ibu yang memiliki faktor risiko sepsis, agar dapat

menekan angka kejadian sepsis yang morbiditas dan mortalitasnya masih cukup tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kami menyimpulkan bahwa Kadar MBL serum awal pada BBL yang mengalami

SNOD lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mengalami SNOD, dan frekuensi SNOD

(memiliki kategori kesulitan bernapas dan instabilitas suhu) pada BBL dengan kadar MBL

≤ 0,3 μg/mL enam kali lebih banyak dibandingkan dengan BBL dengan kadar MBL > 0,3

μg/mL. Disarankan untuk dilakukan penilaian faktor lain yang mempengaruhi kadar MBL

serum, penelitian lebih lanjut mengenai kadar MBL saat BBL mengalami sepsis dan lebih

jauh meneliti mengenai genotip MBL dalam hubungannya dengan kadar MBL serum BBL

serta upaya pencegahan timbulnya sepsis melalui pengelolaan BBL yang baik, pemantauan

lanjut terhadap sampel yang memiliki kadar MBL rendah untuk mencegah timbulnya sepsis di

kemudian hari, serta peninjauan kembali mengenai penegakan diagnosis SNOD berdasarkan

≥ 3 kategori B dalam rangka mencapai manajemen BBL yang lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Aminullah, A. (2008). Sepsis pada Bayi Baru Lahir. Dalam Buku Ajar Neonatologi. Edisi I. IDAI Jakarta. h.170-87.

Benedetti, F., Auriti, C., D'Urbano, L. (2007). Low Serum Level of MBL are a Risk Factor for Neonatal Sepsis. Diakses 17 April 2011. Available from: www.ukpmc.ac.uk

Dzwonek A.B., Neth, O.W., Thiebaut, R., Gulczynska, E., Chilton, M., Hellwig, T. (2008). The Role of Mannose-Binding Lectin in Susceptibility to Infection in Preterm Neonates. International Pediatric Research Foundation, 63(6): 680-5.

Frakking, F.N.J., Brouwer, N., Eijkelenburg, N.K.A. van, Merkus, M.P., Kuijpers, T.W., Offringa, M., and Dolman, K.M. (2007). Low Mannose-binding Lectin (MBL) Levels in Neonates with Pneumonia and Sepsis. British Society for Immunology, Clinical and Experimental Immunology. 150: 255-62.

Gomella, T.L., Cunningham, M.D., Eyal, F.G., Zenk, K.E., (ed.). (2004). Infectious Diseases. Dalam Neonatology: Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs. 5th Edition. McGraw-Hill Companies. h.434-81.

Janeway, C.A., Traver, P., and Walport, M. (2008). Innate Immunity. Dalam Immunobiology: The Immune System in Health and Disease. 7th Edition. New York: Garland Science. h. 37-100.

Kerrigan, A.M. and Brown, G,D. (2009). C-type Lectins and Phagocytosis. Immunology 214(7): 562-75. Diakses 17 April 2011. Available from: www.ncbi.nlm.nih.gov

Mohamed, W.A.W. and Saeed, M.A. (2011). Mannose-Binding Lectin Serum Levels in Neonatal Sepsis and Septic Shock. DOI: 10.3109/14767058.2011.582903. Diakses 17 Oktober 2011. Available from: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2163124

Oudshoorn, A.M.J., Dungen, F.A.M. van den, Bach, K.P., and Koomen, I. (2008). Mannose-Binding Lectin in Term Newborns and Their Mothers: Genotypic and Phenotypic Relationship. Human Immunology, DOI: 10.1016/j.humimm.2008.04.010. Diakses 16 Desember 2011. Available from: http://www.sciencedirect.com

Parish CR. (2001). Innate Immune Mechanisms: Nonself Recognition. Diakses 16 Desember 2010. Available from: http://immuneweb.xxmu.edu.cn/reading/innate/17.pdf

Salem, S.Y., Sheiner, E., Zmora, E., Vardi, H., Shoham-Vardi, H., and Mazor, M. (2006). Risk Factors for Early Neonatal Sepsis. 274: 198-202. DOI: 10.1007/s00404-006-0135-1. Diakses 17 Juli 2010. Available from: http://www.springerlink.com

Schlapbach L.J., Mattmann M., Thiel S., Boillat C., Otth M., Nelle M., et al. (2010). Differential Role of the Lectin Pathway of Complement Activation in Susceptibility to Neonatal Sepsis. 1058-4838/2010/5102-0006. DOI: 10.1086/653531.

Vandenbroucke-Grauls, C.M.J.E., Zwet, W.C. van der, Catsburg, A., Elburg, R.M. van, Savelkoul, P.H.M. (2008). Mannose-Binding Lectin (MBL) Genotype In Relation To Risk Of Nosocomial Infection In Pre-Term Neonates In The Neonatal Intensive Care Unit. Diakses 23 Juli 2011. Available from: www.onlinelibrary.wiley.com

Tabel 1. Karakteristik Sampel penelitian

No Karakteristik Sampel Total (n = 95) n (%)

1 Jenis Kelamin Laki-laki 43 (45,3) Perempuan 52 (54,7)

2 Suhu Ibu Demam 44 (46,3) Tidak Demam 51 (53,7)

3 Lekosit Ibu Lekositosis 36 (37,9) Normal 59 (62,1)

4 Ketuban Pecah Dini (KPD) KPD 41 (43,2) Tidak KPD 54 (56,8)

5 Warna Ketuban Tidak normal 86 (90,5)

Normal 9 (9,5)

Tabel 2. Distribusi dan analisis jenis kelamin terhadap outcome

Jenis Kelamin SNOD n (%)

Tidak SNOD n (%)

Total n (%)

Laki-laki 7 (16,3) 36 (83,7) 43 (100) Perempuan 7 (13,5) 45 (86,5) 52 (100) Total 14 (14,7) 81 (85,3) 95 (100)

Chi-square X2 df = 1 p = 0,70 COR = 1,25 (IK95% 0,402 - 3,891)

Tabel 3. Nilai rerata MBL pada kelompok SNOD tidak SNOD

Kadar MBL serum awal (μg/mL)

SNOD (n = 14)

Tidak SNOD (n= 81)

Mean 0,67 0,91 Median 0,88 0,90 Simpang baku 0,33 0,38 Rentangan 0,17 - 0,94 0,3 - 3,17 Mann-Whitney Test p = 0,047

Tabel 4. Nilai rerata MBL pada kelompok “SNOD” dan tidak SNOD setelah

pengelompokan

Kadar MBL serum awal (μg/mL)

SNOD (n = 5)

Tidak SNOD (n= 81)

Mean 0,25 0,91 Median 0,26 0,90 Simpang baku 0,048 0,380 Rentangan 0,17 - 0,29 0,30 - 3,17 Uji t t = -3.859 p = 0,000 IK95% (-1,00) – (-0,31)

Tabel 5. Evaluasi hasil analisis titik potong MBL 0,3 terhadap outcome

MBL SNOD n (%)

Tidak SNOD n (%)

≤ 0,3 μg/mL 5 (100) 1 (1,23) > 0,3 μg/mL 0 (0) 80 (98,77) Total 5 (100) 81 (100)

Fisher’s Exact Test p = 0,000 COR = 6 (IK95% 1,003-35,908)