Makalah II INTENSITAS PEMANFAATAN Carettochelys insculpta ... · communities living around the...
Transcript of Makalah II INTENSITAS PEMANFAATAN Carettochelys insculpta ... · communities living around the...
77
Makalah II
INTENSITAS PEMANFAATAN Carettochelys insculpta
(Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP
KABUPATEN ASMAT, PAPUA
Richard Gatot Nugroho Triantoro
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
Pascasarjana IPB
Email : [email protected]
ABSTRACT
One of the exploited natural resources of Papua is pig nosed turtle (Carettochelys
insculpta). Continuous demand for wildlife, high the economy value, and the low
availability of animal from breeding farm, has made the utilization of C. insculpta
from nature increased. Although report stated financial benefit for local people
from the sale of C. insculpta, but it is feared that the uncontrollable intensity of
their utilization in nature will lead to population decline and extinction of this
species. This study aims to assess the intensity of C. insculpta utilization by
communities living around the Vriendschap River, Asmat regency, Papua.
Unstructured interview and observation techniques were carried out from 8 to 25
November 2011. The results showed utilization in the Vriendschap River region
can be divided into 5 (five) indigenous territories that is Bor (Marsh), Bor (River),
Obokain, Indama and Sumo. Custom dedicated that different tribes controlled
different areas, i.e. Bor (marsh) area under Betkuar tribe, Obokain area under Diai
and Dini tribes, and Indama and Sumo area under Momuna tribe. Collaboration
with non-local hunter occurred in the Bor (marsh) and Obokain, whereas in the
Indama and Sumo there is no collaboration. Extraction of nature is the main
source of local communities and intensive land use has not been made. Eggs at the
harvesting location are traded barter system, combination of barter system with
direct sales of hatchlings, and hatchling sales system directly to the buyer. The
intensity of utilization is very high for eggs (> 75%), whereas females turtles were
captured only local consumption. Egg harvesting is done on a whole nest without
exception, usually in the morning starting at 04.00 am. Females turtles were
captured simultaneously while collecting eggs.
78
1. PENDAHULUAN
Di Papua dan Papua Barat terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnik
masyarakat setempat yang banyak diantaranya membangun aturan untuk hidup
harmonis bersama alam (Indrawan et al. 2007). Masyarakat dari anggota
kelompok etnik tersebut banyak yang masih hidup secara tradisional dengan
melakukan aktifitas kegiatan yang menyatu dengan alamnya seperti memancing
dan berburu sesuai kebutuhan kesehariannya. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam berupa tumbuhan dan satwa liar dilakukan secara terkontrol alami dimana
pemanfaatan hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (sub sistence). Dari
berbagai satwa liar yang dimanfaatkan dari alam, kura-kura air tawar maupun
labi-labi merupakan salah satu kelompok satwa liar yang dimanfaatkan untuk
pemenuhan hidup mereka.
Diantara kelompok kura-kura air tawar, Carettochelys insculpta (Labi-labi
moncong babi) merupakan salah satu satwa yang telah dimanfaatkan sebagai
sumber makanan (sumber protein) secara turun temurun oleh penduduk asli di
bagian Selatan Papua, terutama bagi masyarakat yang pemukimannya berada di
lokasi yang jauh dari pemerintahan. Labi-labi moncong babi merupakan salah
satu sumber daya yang penting bagi penduduk lokal di selatan Papua dan
dimanfaatkan sebagai sumber protein hewan secara turun temurun (IUCN 2010;
Triantoro dan Rumawak 2010), sementara penduduk lokal di PNG mengkonsumsi
kura-kura air tawar dan telur-telurnya secara teratur (Georges et al. 2008b). Dari
segi budaya, penduduk lokal di wilayah sungai Vriendschap dahulu menggunakan
Labi-labi moncong babi sebagai mas kawin (Triantoro dan Rumawak 2010).
Dari segi ekonomi, labi-labi merupakan salah satu jenis reptil yang sudah
mempunyai nilai ekonomi tinggi tidak terkecuali jenis C. insculpta. Jenis ini
dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999 dan belum
diberikan kuota pemanfaatan walau telah dimasukkan dalam Apendiks 2 CITES
(Dirjen PHKA 2007, 2008; Kemenhut 2010, 2011, 2012), namun dalam
kenyataannya, perdagangan illegal terhadap C. insculpta tetap terjadi dan dapat
ditemui pada tempat penjualan satwa di dalam dan luar negeri seperti di Jakarta
79
(Shepherd dan Nijman 2007; Daniel 2011) dan Singapura (Goh dan O’Riordan
2007). Nilai ekonomi labi-labi cenderung semakin meningkat seiring permintaan
pasar yang terus meningkat pula namun tidak dapat dipenuhi dari usaha
penangkaran. Akibatnya pemanenanan dari alam untuk konsumsi perdagangan
ikut meningkat tanpa memandang apakah jenis yang diambil dari alam merupakan
jenis endemik, dilindungi atau tidak dilindungi. Di seluruh dunia, spesies kura-
kura banyak menghadapi ancaman eksploitasi untuk makanan, obat, dan
perdagangan hewan peliharaan, dan juga dari perusakan habitat dan penyakit
(Leuteritz et al. 2005). Amfibi dan reptil biasanya di panen secara luas dan
sebagian besar untuk konsumsi (makanan dan obat-obatan rakyat), perdagangan
mewah (kulit, perhiasan, dan barang antik), dan perdagangan hewan peliharaan
(Vitt dan Calwell 2009). Harga hidupan liar yang dijual illegal sangat
menggiurkan dan memberikan insentif ekonomi yang kuat bagi para pemburu dan
penyelundup untuk terlibat, termasuk masyarakat lokal, beberapa lembaga
pemerintahan dan penegak hukum dengan perannya masing-masing sebagai
pemburu, pembeli, perantara dan penjual (Kartikasari et al. 2012).
Di Indonesia, C. insculpta hanya didapati tersebar di Selatan Papua mulai
dari Danau Yamur, Kaimana (BBKSDA Papua II, personal communication)
sampai ke Merauke dengan perkiraan populasi tinggi terdapat di Sungai
Vriendschap, Kabupaten Asmat. Statusnya yang dilindungi dan dengan wilayah
sebaran populasi yang terbatas, tidak menyurutkan penghentian perburuan
terhadap spesies ini akibat permintaan pasar perdagangan. Pemanfaatan dari alam
oleh masyarakat yang dahulu dilakukan secara sub sistence berubah menjadi
pemanfaatan yang berlebihan akibat meningkatnya permintaan pasar dan nilai
ekonomi C. insculpta. Perburuan, pengumpulan dan perdagangan illegal hidupan
liar Papua adalah sumber utama perdagangan illegal hidupan liar karena
banyaknya jenis endemik yang menarik dan unik (Kartikasari et al. 2012).
Tingkat eksploitasi (perburuan) C. insculpta sangat tinggi di Indonesia dan Papua
New Guinea (PNG) sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri
hewan peliharaan internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap
penampilan satwa unik ini (Georges et al. 2008a). Spesies ini diekspor dalam
jumlah besar untuk perdagangan hewan internasional langsung dari selatan Irian
80
Jaya (Papua), Indonesia (IUCN 2010), penangkapan biasanya dilakukan pada
musim peneluran (Georges et al. 2008b; Triantoro dan Rumawak 2010).
Perburuan di alam terutama dilakukan terhadap telur-telurnya pada musim
peneluran setiap tahunnya dan pemanfaatan daging induk labi-labi sebagai
dampak ikutannya. Dikuatirkan, perburuan yang dilakukan tanpa memperhatikan
aspek konservasi, membuat salah satu jenis labi-labi yang berada di Papua ini
rentan terhadap kepunahan. Pemanenan, pengurangan habitat alami dan
fragmentasi telah menjadi faktor utama pendorong spesies amfibi dan reptil ke
jurang kepunahan (Vitt dan Caldwell 2009). Minimnya informasi pemanfaatan
C. insculpta di alam dan tingginya perburuan mendasari dilakukannya penelitian
ini yang bertujuan untuk mengetahui: 1) wilayah pemanfaatan adat C. insculpta,
2) pemanfaatan sumber daya lahan, sumber daya alam, dan sistem ekonomi di
lokasi pemanfaatan, 3) intensitas pemanfaatan C. insculpta, dan 4) pengumpulan
telur dan pemanfaatan induk betina C. insculpta.
Kegiatan penelitian ini dibagi dalam tiga tahap yaitu : Pertama,
inventarisisasi wilayah pemanfaatan adat dan suku apa saja yang berprofesi
sebagai pencari pada masing-masing wilayah. Pada konteks ini wilayah adat
memberikan gambaran batas wilayah pemanfaatan antara suku adat yang
mempunyai hak pemanfaatan dan wilayah atau suku adat mana yang
berkolaborasi dengan pencari non lokal. Kedua, melihat pola pemanfaatan lahan
dan sumber daya alam oleh masyarakat lokal di wilayah pemanfaatan serta sistem
ekonomi yang terjadi saat pemanenan telur dilakukan. Pola pemanfaatan lahan
dan sumber daya alam memberikan informasi terkait kondisi habitat hidup dan
peneluran C. inscupta, sedangkan sistem ekonomi memberikan gambaran sistem
perdagangan yang terjadi di wilayah pemanfaatan. Ketiga, menguji intensitas
pemanfaatan yang dilakukan oleh komunitas masyarakat di wilayah Sungai
Vriendschap yang meliputi pertanyaan-pertanyaan terkait dengan : 1) apakah
perburuan dilakukan terhadap telurnya atau induk saja atau kepada kedua bagian
ini?, 2) apakah perburuan telur dilakukan terhadap sarang-sarang yang diprediksi
rusak akibat luapan air sungai?, atau 3) apakah perburuan dilakukan pada
keseluruhan sarang tanpa terkecuali? Intensitas pemanfaatan memberikan
gambaran seberapa tinggi pemanfaatan C. insculpta yang dilakukan oleh
81
komunitas masyarakat saat musim peneluran. Keempat, mendeskripsikan pola
pengumpulan telur dan pemanfaatan induk C. insculpta. Pada penelitian ini
digambarkan bagaimana proses pencarian dan penandaan sarang sampai
pengambilan telurnya, dan bagaimana penangkapan induk dilakukan, jumlah
ditangkap dan prosesnya sampai dikonsumsi.
83
2. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar II.1)
yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten
Yahukimo, Papua. Pendataan sarang dan pasir peneluran dilakukan di sepanjang
Sungai Vriendschap yang berada pada wilayah adat masyarakat Bor, Obokain,
Indama dan Sumo, dan pada rawa yang masuk dalam wilayah adat Betkuar, tidak
termasuk alur-alur sungai atau anakan sungai disekitarnya. Penelitian dilakukan
dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 dengan pertimbangan masih berada
dalam rentang waktu puncak musim peneluran.
Gambar II.2 Lokasi penelitian intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta di
wilayah Sungai Vriendschap.
2.2. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi : luas wilayah yang di panen
(sampling pada wilayah Bor (rawa), Obokain, dan Sumo), jumlah induk di panen,
jumlah sarang di panen, frekuensi perburuan (pengambilan), dan data responden
84
yang menyangkut pekerjaan, umur, pendidikan, tempat tinggal (kampung), suku,
dan pengalaman berburu
2.3. Metode Pengumpulan Data
Pendataan difokuskan pada para pencari atau pemburu telur yang ditemui
di sepanjang Sungai Vriendschap. Metode yang digunakan dalam pendataan
adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara tidak terstruktur
yaitu wawancara yang didasarkan pada daftar pertanyaan kunci (tanpa
menggunakan kuisioner yang harus diisi secara langsung oleh responden), dan
teknik observasi yaitu pengamatan langsung dilapangan. Teknik wawancara tidak
terstruktur dilakukan untuk mengumpulkan data responden yang menyangkut
pekerjaan, umur, pendidikan, tempat tinggal (kampung), suku, dan pengalaman
berburu, sedangkan teknik observasi dilakukan untuk mengumpulkan data luas
wilayah yang di panen (sampling pada wilayah Bor (rawa), Obokain, dan Sumo),
jumlah induk di panen, jumlah telur di panen, dan frekuensi perburuan
(pengambilan), dengan mengikuti aktifitas pencari atau pemburu telur. Metode
ini digunakan agar bisa mendapatkan informasi pemanfaatan secara aktual
dilapangan karena obyek yang di teliti adalah satwa yang dilindungi namun
pemanenan illegal di alam terus terjadi. Wawancara dilakukan setelah selesai
dilakukan pendataan sarang atau di waktu luang saat tidak mengambil data
persarangan akibat banjir dalam suasana tidak formil dan informasi yang di dapat
di catat kemudian setelah selesai diskusi. Jumlah pencari telur di lokasi perburuan
yang dapat di wawancarai sebanyak 12 orang. Sebanyak 11 responden
merupakan masyarakat lokal yang berdiam disekitar Sungai Vriendschap dan 1
responden merupakan masyarakat non lokal (pendatang). Keterbatasan jumlah
responden disebabkan para pencari banyak yang pergi meninggalkan lokasi
pencarian atau bersembunyi akibat aktifitas patroli yang dilakukan oleh pihak
BKSDA Asmat.
Pengambilan data intensitas pemanfaatan dilakukan pada 3 (tiga) lokasi
yang dipilih di wilayah Sungai Vriendschap yaitu wilayah pemanfaatan Bor yang
berada pada bagian rawa, wilayah pemanfaatan Obokain yang berada pada bagian
tengah sungai, dan wilayah pemanfaatan Sumo yang terdapat pada bagian hulu
85
sungai. Pada tiap wilayah terdapat lebih dari 1 (satu) kelompok pencari telur
sehingga dalam pendataan sampling wilayah pemanfaatan mengikuti wilayah
pemanfaatan dari salah satu kelompok pengumpul atau pemilik wilayah adat,
sehingga luas wilayah pemanenan adalah gambaran dari luas wilayah dari salah
satu kelompok atau pemilik wilayah adat. Masing-masing sampling lokasi
pemanfaatan kemudian dipetakan luas wilayah perburuan atau pemanenannya dan
ditampilkan secara visual. Pemilihan lokasi pemanfaatan didasarkan pembagian
Sungai Vriendschap yaitu pada bagian hulu (Sumo), tengah (Obokain), dan
mendekati hilir (Bor rawa) dimana pada masing-masing wilayah pemanfaatan
terdiri atas 6 (enam) pasir peneluran. Pendataan sampling wilayah pemanfaatan
dilakukan masing-masing selama 1 hari. Jumlah sarang di panen pada wilayah
Bor (rawa) dihitung selama 4 hari, pada wilayah Obokain selama 5 hari dan pada
wilayah Sumo selama 3 hari. Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas
pemanfaatan dibuat kelas pemanfaatan berdasarkan persentase pemanfaatan
jumlah sarang pada tiap lokasi terpilih (Tabel II.1). Para kelompok pemburu telur
disepanjang sungai dan rawa Vriendschap di data asal (kampung/kecamatan)
mereka untuk mendapatkan akses perburuan ke Sungai Vriendschap.
Tabel II.1 Kelas pemanfaatan sarang Labi-labi moncong babi
Kelas Kriteria
Sangat tinggi : Jika lebih dari 75% jumlah sarang yang dimanfaatkan
Tinggi : Jika sebesar 51-75% jumlah sarang yang dimanfaatkan
Menengah : Jika sebesar 26-50% jumlah sarang yang dimanfaatkan
Rendah : Jika sebesar 1-25% jumlah sarang yang dimanfaatkan
Sangat rendah : Jika penduduk tidak memanfaatkan sarang labi-labi
moncong babi
Sumber: Modifikasi dari Genting Oil Kasuri (2009)
2.4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mengolah data
dalam bentuk tabulasi terlebih dahulu. Hasil analisis kemudian disajikan dalam
bentuk tabel, grafik dan gambar.
87
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
3.1.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta
Wilayah pemanfaatan di sepanjang Sungai Vriendschap terbagi atas 5
(lima) wilayah pemanfaatan berdasarkan wilayah adat yaitu wilayah Bor (Rawa),
Bor (Sungai), Obokain, Indama dan Sumo. Sebaran wilayah pemanfaatan telur
dan induk C. insculpta disajikan pada Gambar II.2 dibawah ini yang diwakili oleh
wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo. Letak wilayah pemanfaatan Bor
(Sungai) berada diantara Bor (Rawa) dengan Obokain dan wilayah pemanfaatan
Indama berada diantara Obokain dengan Sumo.
Gambar II.2 Sebaran wilayah pemanfaatan telur dan induk Carettochelys
insculpta pada wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo di wilayah
Sungai Vriendschap.
Wilayah Bor (rawa) secara adat berada dibawah wilayah adat Suku
Betkuar, namun kelompok pencari tahun 2011 di dalam kawasan ini juga terdiri
dari Suku Mapi dan Ternate. Pada wilayah Obokain secara adat berada dibawah
wilayah adat Suku Diai dan Dini dengan kelompok pencari didalamnya terdapat
88
Suku Jawa, Kei, Madura dan Batak. Sementara pada wilayah pemanfaatan
Indama dan Sumo, secara adat berada dibawah wilayah adat Suku Momuna
namun tidak didapati pencari dari luar suku. Pola pemanfaatan pada wilayah Bor
(rawa) dan Obokain masih terlihat adanya kerjasama dengan pencari telur dari
luar masyarakat lokal, sedangkan pada wilayah Sumo pencarian telur dilakukan
murni oleh masyarakat lokal. Pencari telur diluar masyarakat adat berasal dari
wilayah Jinak, Waganu, Atsy, maupun Agats, dan ijin untuk berburu telur dan
lokasi pencarian dapat berubah sejalan dengan ijin yang diberikan oleh suku adat
kepada mereka. Pendataan jejak induk yang naik ke pasir untuk bersarang
ditemukan sebanyak 19 jejak di wilayah Bor (Rawa), 6 jejak di wilayah Bor
(Sungai), 379 jejak di wilayah Obokain, 65 jejak di wilayah Indama, dan 80 jejak
di wilayah Sumo, sedangkan jumlah sarang yang ditemukan sebanyak 7 sarang di
wilayah Bor (Rawa), 1 sarang di wilayah Bor (Sungai), 110 sarang di wilayah
Obokain, 8 sarang di wilayah Indama, dan 6 sarang di wilayah Sumo.
3.1.2. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Alam, dan Sistem
Ekonomi
Hasil pendataan terhadap pekerjaan responden (pencari telur) diluar
musim peneluran, diperoleh masyarakat setempat masih bergantung kepada
sumberdaya alam yang terlihat dari tingginya pekerjaan berupa ekstraksi langsung
dari hutan, seperti yang terlihat pada Gambar II.3, sedangkan hasil pendataan
responden terhadap tingkat pendidikan menunjukkan bahwa secara keseluruhan
masyarakat lokal belum mendapatkan pendidikan. Responden lokal yang
mengenyam pendidikan hanya 1 (satu) orang dengan tingkat pendidikan sampai
Sekolah Dasar (SD) sedangkan responden lokal lainnya sama sekali tidak
mengenyam pendidikan. Responden dengan tingkat pendidikan SLTA hanya
ditemukan pada responden (pencari telur) dari luar. Gambaran sebaran
pendidikan responden dan hubungannya dengan pemanenan telur dapat dilihat
pada Gambar II.4.
89
Keterangan : PG : Pencari Gaharu; PB : Pencari Buaya; Sekdes : Sekretaris Desa; PP : Penebang
Pohon; P : Pedagang.
Gambar II.3 Sebaran responden di wilayah Sungai Vriendschap berdasarkan
pekerjaan
Gambar II.4 Sebaran pendidikan responden dan hubungannya dengan
pemanfaatan telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai
Vriendschap.
Pemanfaatan lahan secara intensif oleh masyarakat lokal baik untuk
pertanian, perikanan maupun peternakan di sekitar wilayah pemanfaatan telur
belum dilakukan, namun pada wilayah perkampungan lahan pertanian sudah
diupayakan oleh masyarakat lokal walau bukan berupa pertanian intensif.
Beberapa produk pertanian yang pernah dikembangkan maupun dijual oleh
masyarakat meliputi kacang panjang (Vigna sinensis), kacang tanah (Arachis
hypogaea), jagung (Zea mays), ketimun (Cucumis sativus), gambas (Luffa
acutangula), cabe (Capsicum sp.), pisang (Musa sp.), ubi kayu (Manihot
esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas), dan keladi (Caladium sp.). Hasil
pertanian ada yang sebagian kecil dijual ke Jinak, namun lebih sering digunakan
41.67
8.338.33
8.33
8.33
16.67
8.33
PG
PG, PB
PG, Sekdes
PG, Sekdes, PP
PG, P
Bertani
Aparat
83.33
8.33
0
8.33
100
0 0 0
0
20
40
60
80
100
Tidak Sekolah SD SMP SLTA
Tingkat
Pendidikan
Frekuensi
Pemanenan
%
90
untuk kebutuhan sendiri karena jauhnya akses untuk menjual dengan jumlah yang
tidak ekonomis sebagai sumber pendapatan. Dari segi kualitas habitat, tidak
adanya pemanfaatan lahan secara intensif oleh masyarakat lokal pada wilayah
Sungai Vriendschap menyebabkan kondisi habitat peneluran C. insculpta tidak
mengalami penurunan kualitas akibat adanya campur tangan manusia.
Beberapa jenis sumberdaya alam berupa tumbuhan digunakan pula untuk
kebutuhan hidup (makanan) masyarakat lokal di Sungai Vriendschap yang
meliputi sagu (Metroxylon sagu) dan pucuk rotan (Calamus sp), sedangkan jenis
sumberdaya alam berupa satwa liar meliputi kura-kura (Carettochelys insculpta,
Pelochelys bibroni, Emydura subglobosa), buaya (Crocodylus cf novaeguineae),
babi hutan (Sus scrofa), kasuari (Casuarius sp), ular karung (Acrocordus
arafurae), ikan gurame (Osphronemus goramy) dan ulat sagu (Rhynchophorus
ferruginenus). Pemanfaatan satwa liar yang telah bernilai ekonomi (uang tunai)
bagi masyarakat lokal di Sungai Vriendschap adalah kulit buaya dan telur C.
insculpta.
Dari segi perdagangan, penjualan telur oleh pencari lokal dilakukan
dengan sistem barter, kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung
tukik, dan sistem penjualan tukik langsung kepada pembeli. Sistem barter yang
dilakukan sampai saat ini adalah kesepakatan sejumlah telur yang di barter dengan
satu set perahu. Jumlah telur yang dibarter dengan satu set perahu untuk tahun
2011 berkisar 2 – 4 ember dimana barter telur sebanyak 2 ember didapati di
wilayah Bor, 3 ember di wilayah Obokain dan 4 ember di wilayah Sumo, dengan
jumlah telur tiap ember ± 1.500 butir. Untuk penjualan langsung dalam bentuk
tukik, diperoleh harga tukik tahun 2011 di wilayah sungai Vriendschap berkisar
Rp 15.000 – 20.000 (rata-rata Rp 17.500), sedangkan apabila dijual diluar wilayah
Vriendschap seperti di Jinak, Waganu, Atsy maupun Agats mencapai kisaran
harga Rp 30.000 – 50.000 (rata-rata Rp 40.000).
3.1.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta
Responden yang berhasil di data di Sungai Vriendschap, dipetakan
sebarannya berdasarkan suku dan kampung seperti disajikan pada Gambar II.5,
sedangkan sebaran umur dan pengalaman perburuan telur responden dapat dilihat
pada Gambar II.6.
91
Gambar II.5 Sebaran pencari telur Labi-labi moncong babi di Sungai
Vriendschap berdasarkan (a) suku dan (b) kampung
Gambar II.6 Sebaran umur dan pengalaman perburuan responden terhadap telur
Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.
Hasil pendataan sarang yang di panen, diperoleh pemanenan untuk
mendapatkan nilai ekonomi dilakukan terhadap telur-telurnya saja. Pemanenan
tidak dibedakan antara sarang yang baik, sarang yang kemungkinan rusak akibat
tergenang luapan sungai saat banjir, ataupun sarang yang dimungkinkan rusak
akibat predator alami. Seluruh sarang yang ditemukan kemudian dibongkar dan
telur-telurnya diambil tanpa menyisakan sebutirpun telur dalam sarang atau
menyisakan satupun sarang yang utuh. Kondisi tersebut mengakibatkan
pemanenan sarang atau telur C. insculpta mencapai 100%. Dengan persentase
pemanfaatan sarang yang mencapai 100% dan didasarkan atas kelas pemanfaatan
sarang yang ditunjukkan pada Tabel II.4, maka intensitas pemanenan sarang atau
telur di wilayah Sungai Vriendschap termasuk dalam kelas pemanfaatan sangat
tinggi karena keseluruhan sarang di panen tanpa terkecuali dan terjadi diseluruh
wilayah pemanfaatan.
8.338.33
8.33
25.00
41.67
8.33
Mapi
Betkuar
Diai
Dini
Momuna
Madura
8.338.33
33.33
8.33
33.33
8.33
BorBetkuarObokainIndamaSumoJinak
16.67
33.33
8.33
0.00
25.00
16.67 20 - 2526 - 3031 - 3536 - 4041 - 4546 - 50
8.33
16.67
25.00
50.00
0
10
20
30
40
50
60
1 Tahun 2 - 3
tahun
4 - 5
Tahun
≥ 6
Tahun
1 Tahun
2 - 3 tahun
4 - 5 Tahun
≥ 6 Tahun
a b
92
3.1.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys insculpta
Pemanenan telur C. insculpta dilakukan pada musim peneluran yaitu di
bulan Agustus – Desember dengan puncak peneluran pada bulan September –
November. Pencari telur berada di wilayah peneluran pada rentang waktu 3-4
bulan dengan frekuensi perburuan telur dilakukan setiap hari apabila kondisi
dilokasi memungkinkan (baik). Kondisi di lokasi yang mendukung perburuan
telur apabila sungai tidak banjir, langit cerah tanpa ada kilatan cahaya, dan tidak
turun hujan. Waktu pengumpulan telur (pemanenan) dimulai pagi hari pada jam
04.00 saat matahari belum terbit dengan menggunakan senter sebagai penerang.
Pengecekan keberadaan sarang dilakukan dengan menusuk-nusuk pasir
menggunakan tongkat yang ujungnya sudah diberi besi atau menggunakan
tongkat kayu yang ujungnya sudah dibuat sedemikian rupa untuk memudahkan
penusukan. Sarang yang ditemukan kemudian ditandai atau langsung diambil.
Dalam sekali pemanenan apabila sarang yang ditemukan sedikit maka sarang
langsung digali dan diambil telurnya, sedangkan apabila sarang yang ditemui
banyak maka sarang-sarang yang ditemui ditandai terlebih dahulu menggunakan
tongkat kecil yang ujungnya sudah diberi penanda (label) menyerupai bendera
berbahan pita, tali rafia atau bungkus mie instan. Masing-masing label pada
tongkat berbeda-beda yang merupakan ciri pembeda diantara pencari telur.
Apabila tongkat penanda masih belum cukup maka digunakan batang rumput tebu
(Pragmintes karka), ranting, atau batang tumbuhan lainnya yang dapat digunakan
sebagai penanda. Sarang yang telah ditandai tersebut tidak boleh dibongkar dan
diambil telurnya oleh pencari lainnya karena telah ada komitmen bersama bahwa
tidak boleh mengambil telur dari sarang yang sudah ditandai oleh pencari yang
telah menandai terlebih dulu. Komitmen ini dapat dikontrol apabila sekali
pemanenan dalam jumlah sedikit tetapi apabila dalam jumlah banyak sulit
mengontrolnya karena ada yang mencari untung dengan membuang tongkat
penanda, membongkar sarang dan mengambil telurnya. Telur dikumpulkan
dalam suatu wadah (ember) dengan bagian bawahnya dilapisi terlebih dahulu
dengan pasir dan ditutup bagian atasnya dengan pasir pula setelah selesai
pengumpulan telur.
93
Pemanenan terhadap induk betina C. insculpta umumnya dilakukan secara
bersamaan pada saat melakukan pengecekan terhadap sarang dan ditujukan untuk
pemenuhan pangan para pecari (lokal) selama melakukan perburuan telur. Jumlah
induk betina yang ditangkap tidak terbatas jumlahnya didasarkan atas
pertimbangan jumlah anggota pencari (keluarga) dan sebagai persediaan makanan
apabila tidak mendapatkan induk di hari berikutnya. Induk yang ditangkap saat
pengecekan sarang adalah induk yang selesai membuat sarang tetapi belum
sempat kembali ke air atau induk yang terlambat naik ke pasir (menjelang pagi).
Apabila ditemui maka induk segera dibalik dengan plastron menghadap ke atas
yang membuatnya tidak bisa bergerak kembali ke sungai. Selain pemanenan
induk yang dilakukan saat pengecekan sarang di pagi hari, pemanenan induk juga
dilakukan pada saat matahari tenggelam dimana induk terlihat mulai bermain atau
berkumpul di air dekat tepi pasir.
Pada keseluruhan responden, didapati semuanya mengkonsumsi daging
dari induk betina sedangkan yang pernah menjualnya sebanyak 4 (empat)
responden dimana jumlah yang pernah dijual masing-masing responden sebanyak
1 (satu) ekor dengan harga jual Rp 50.000. Penjualan induk dilakukan atas
pesanan dengan lokasi penjualan induk dilakukan di Jinak bersamaan saat
masyarakat kesana membeli kebutuhan hidup.
3.2. Pembahasan
3.2.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta
Pemanfaatan masyarakat lokal terhadap telur dan induk C. insculpta pada
wilayah Sungai Vriendschap dilakukan selama musim peneluran yaitu pada bulan
Agustus – Desember. Pada rentang bulan tersebut masyarakat lokal keluar dari
kampungnya dan membuat bivak (pondok) disepanjang sungai untuk
memudahkan proses pemanenan karena jarak yang cukup jauh antara lokasi
kampung dengan Sungai Vriendschap. Sebaran dan luas wilayah pemanfaatan
terjadi di seluruh wilayah sungai mulai dari muara Vriendschap (pertemuan
dengan Sungai Catarina) sampai ke hulu Sungai Vriendschap yang bertemu
dengan muara Sungai Baliem dan Sungai Seng, yang meliputi sungai utama, anak
sungai, rawa-rawa dan aliran-aliran air dimana terdapat kumpulan pasir.
94
Jumlah pasir peneluran yang terdata di wilayah Sungai Vriendschap
meliputi wilayah pemanfaatan Bor (Rawa) sebanyak 15 dengan total luas pasir
peneluran sebesar 30.38 Ha dan pada wilayah Bor (Sungai) sebanyak 6 dengan
total luas pasir peneluran sebesar 22.78 Ha. Pada wilayah pemanfaatan Obokain
jumlah pasir peneluran yang terdata sebanyak 14 dengan total luas pasir peneluran
sebesar 28.82 Ha, pada wilayah Indama sebanyak 6 dengan total luas pasir
peneluran sebesar 8.74 Ha, dan pada wilayah pemanfaatan Sumo jumlah pasir
peneluran yang terdata sebanyak 7 dengan total luas pasir peneluran sebesar 24.96
Ha. Pada wilayah Bor (Sungai) dan Sumo jumlah pasir yang terdata lebih sedikit
karena saat pendataan terdapat beberapa pasir peneluran sudah muncul tetapi
masih tergenang oleh air.
Dari 5 (lima) wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap terlihat bahwa
pencari telur di wilayah adat Obokain mempunyai peluang mendapatkan
penghasilan lebih baik dari para pencari telur di 4 (empat) wilayah lainnya (Bor
rawa, Bor sungai, Indama dan Sumo) disebabkan jumlah sarang cukup banyak
terdapat pada wilayah tersebut. Jumlah sarang yang tinggi pada wilayah Obokain
dapat berkaitan dengan pemilihan tempat peneluran yang mereka sukai dan sifat
C. insculpta yang melakukan pergerakan seperti reptile pada umumnya yaitu
kembali ketempat dimana mereka menetas. Berkaitan dengan sifat penyu yang
umumnya menunjukkan kesetiaan pada satu atau dua tempat bersarang setiap
tahunnya (Rowe et al. 2005), maka lokasi pemanfaatan di wilayah Obokain
Sungai Vriendschap diprediksi merupakan pemilihan tempat bersarang yang
disukai oleh C. insculpta. Pergerakan yang dilakukan C. insculpta ke wilayah
Obokain dipengaruhi oleh gerakan yang paling mencolok pada amfibi dan reptil
seperti migrasi penyu dari tempat menetas menuju tempat makan sebagai remaja
dan bertahun-tahun kemudian kembali ke pantai peneluran sebagai penyu dewasa
(Rowe 2005; Vitt dan Calwell 2009).
3.2.2. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Alam, dan Sistem
Ekonomi
Secara umum, mata pencaharian masyarakat lokal di Sungai Vriendschap
masih berupa peramu dimana kebutuhan pokoknya masih bergantung cukup
95
tinggi terhadap sumberdaya alam. Kondisi seperti ini umum ditemui pada
masyarakat lokal di Papua yang akses menuju dan keluar wilayahnya cukup jauh
atau sulit. Gambar II.3 menunjukkan 41.67% responden murni berprofesi sebagai
pencari gaharu dan 16.67% murni berprofesi sebagai petani. Diluar kedua profesi
murni ini, profesi sebagai pencari gaharu merupakan profesi yang juga dilakukan
oleh responden lainnya yang tidak bekerja sebagai pencari gaharu murni. Saat
musim peneluran, responden mengalihkan profesinya dengan mencari telur dan
kembali ke profesi semula saat musim peneluran selesai. Profesi perburuan telur
dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomi langsung berupa uang tunai agar bisa
memenuhi kebutuhan bahan makanan, transportasi dan simpanan uang.
Diantara masyarakat lokal yang masih bersifat peramu di bagian Selatan
Papua adalah masyarakat Suku Kamoro (Muller 2005), menggantungkan
kebutuhan hidupnya dengan berburu seperti babi, menangkap ikan dan meramu
sepanjang tahun, dan memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar musiman seperti
buah-buahan, sayuran hutan hujan, kura-kura, dan sejumlah jenis burung musim
tertentu. Etika kerja masyarakat Papua yang hidup berkelompok di daerah rawa
mengandalkan sagu untuk kelangsungan hidupnya (misalnya, masyarakat Asmat,
Kamoro, Waropen, Bauzi, dan Inawatan) yang berpusat pada upaya-upaya untuk
memenuhi kebutuhan mendesak (misalnya, mengumpulkan cukup makanan untuk
kebutuhan sehari) dan tidak melakukan kerja sebagai investasi untuk masa depan
(Kartikasari et al. 2012).
Mengkonsumsi telur sebagai sumber protein pada masyarakat lokal sudah
tidak menjadi prioritas utama karena telur lebih diutamakan dijual atau ditetaskan
terlebih dahulu untuk dijual dalam bentuk tukik. Konsumsi telur hanya dilakukan
terhadap telur yang diprediksi tidak menetas (rusak) atau pada saat kebutuhan
bahan makanan sudah tidak ada dan belum sempat mencari di hutan. Masyarakat
lokal yang tidak mempunyai perahu atau perahu lama yang dimiliki sudah rusak
ataupun alasan lainnya yang mendesak, maka pada tahap awal penjualan telur
dilakukan dengan sistem barter dimana sejumlah telur ditukar dengan satu set
perahu (perahu lengkap dengan mesinnya). Keuntungan bagi masyarakat lokal
dengan sistem barter adalah mereka dapat memperoleh barang barterannya
terlebih dahulu walau belum menyerahkan atau melengkapi jumlah telur. Setelah
96
jumlah telur tercukupi untuk barter dengan perahu yang dibutuhkan maka telur
selebihnya yang terkumpul ditetaskan dan dijual dalam bentuk tukik. Jumlah
(penjualan) telur yang dilakukan dengan sistem barter tidak ada ketentuan atau
standar, semuanya tergantung kepada tawar menawar antara pemilik modal yang
juga merangkap pencari telur dari luar dengan masyarakat lokal yang mempunyai
wilayah adat sekaligus sebagai pencari telur lokal. Kondisi tersebut
mengakibatkan terdapat perbedaan antara jumlah telur yang dibarter pada setiap
wilayah pemanfaatan atau pada setiap kelompok pencari telur.
Pada kondisi sebelumnya, pencari lokal hanya menjual sejumlah telur
secara barter dengan satu set perahu. Apabila jumlah telur barter telah tercukupi
dan ada kelebihannya maka dilakukan barter kembali (berulang) seperti
kesepakatan semula. Kekurangan jumlah telur untuk melengkapi nilai barter telur
dan perahu akan ditebus oleh pencari telur pada tahun berikutnya. Sistem barter
seperti ini dapat memberikan surplus perahu kepada masyarakat lokal tetapi tidak
memberikan nilai simpanan dari segi keuangan. Saat ini sistem yang digunakan
oleh pencari lokal dengan pencari dari luar meliputi 3 (tiga) model yaitu sistem
barter murni, kombinasi sistem barter dan jual tukik, dan sistem menjual tukik
murni. Sistem barter murni masih didapati pada para pencari lokal yang baru
pertama kali mencoba peruntungan dalam pemanenan telur, sedangkan kombinasi
sistem barter dan jual tukik serta sistem menjual tukik murni didapati pada pencari
lokal yang sudah mempunyai pengalaman pencarian dalam beberapa tahun.
Sistem kombinasi maupun sistem menjual tukik murni dirasakan oleh beberapa
kelompok masyarakat lokal lebih memberikan keuntungan karena selain
mendapatkan perahu dan dukungan logistik (bahan makanan dan bensin),
kelebihan keuntungan dapat diterima dalam bentuk uang tunai yang dapat
disimpan maupun digunakan untuk membeli kebutuhan hidup seperti bahan
makanan dan bahan bakar minyak (bensin) dalam mendukung sarana transportasi.
Penjualan tukik ada yang dilakukan sendiri oleh pencari lokal (sistem menjual
tukik murni) dan ada yang menjualnya berkolaborasi dengan pencari dari luar
(tukik dijualkan oleh pencari dari luar).
Dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 diperoleh jumlah sarang
disepanjang wilayah Sungai Vriendschap sebanyak 132 buah dengan rata-rata
97
jumlah telur setiap sarang adalah 20.05 ± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34),
sehingga dari 132 sarang diperoleh rata-rata jumlah telur yang dipanen adalah
2.647 butir (kisaran = 924 – 4.488). Didasarkan pada asumsi jumlah sarang yang
terdata, harga jual rata-rata tukik di wilayah Sungai Vriendschap, dan seluruh
telur yang dipanen berhasil menetas, maka penghasilan rata-rata yang terkumpul
dari hasil penjualan tukik di sepanjang Sungai Vriendschap dalam rentang waktu
8 – 25 November 2011 sebesar Rp 46.322.500 dengan kisaran Rp 16.170.000 –
78.470.000. Apabila didasarkan pada harga tukik di Jinak, Waganu, Atsy maupun
Agats, maka penghasilan rata-rata yang terkumpul dari hasil penjualan tukik
sebesar Rp 105.880.000 dengan kisaran Rp 36.960.000 – 179.360.000. Nilai
perhitungan ini merupakan simulasi sederhana dengan asumsi yang melekat
didalamnya. Dalam kenyataannya penghasilan bersih setiap kelompok pencari
dapat berbeda disebabkan : 1) Nilai jual yang berlaku saat penjualan karena
masing-masing pencari mempunyai jalur tersendiri dalam memasarkan telur
maupun tukik, 2) persentase tetas telur yang dipanen, 3) perbedaan jumlah telur
yang berhasil dipanen, dan 4) pengeluaran terhadap bahan makanan, bahan bakar
minyak (bensin), dan kebutuhan lain yang digunakan selama musim perburuan.
C. insculpta diekspor dalam jumlah besar untuk perdagangan hewan
internasional langsung dari Selatan Irian Jaya (Papua), Indonesia, dieksploitasi
dan dikonsumsi secara lokal di Papua (Indonesia dan Papua New Guinea), dan
terancam punah oleh hilangnya habitat dan degradasi di Australia (IUCN 2010),
serta diperdagangkan illegal di Indonesia, Singapura, Jepang, Thailand, China,
USA dan Eropa (Georges et al. 2008a). Di dalam negeri tepatnya di pasar
Kemuning, Jakarta, C. insculpta dijual dengan harga Rp 800.000 (Daniel 2011)
dan di luar negeri khususnya di Singapura, C. insculpta di jual illegal secara
sembunyi-sembunyi dengan tidak menempatkan atau memajang di toko hewan
peliharaan dengan harga jual tahun 2007 berkisar 25 – 50 dolar Singapura untuk
panjang kerapas < 5 cm dan harga 100 dolar Singapura untuk panjang kerapas 5 –
10 cm (Goh dan O’Riordan 2007). Dengan kurs 1 $ Singapura sebesar Rp 7.500
(kurs tanggal 25 Juli 2012) dan mengacu pada harga C. insculpta tahun 2007,
maka harga jual tukik C. insculpta di Singapura berkisar Rp 187.500 – 375.000
untuk ukuran kerapas < 5 cm, sedangkan anakan yang mempunyai ukuran sedikit
98
lebih besar (5 – 10 cm) diperoleh harga jualnya sebesar Rp 750.000. Untuk C.
insculpta yang dijual di Singapura, ukuran kerapas < 5 cm masih tergolong
ukuran tukik (anakan) hasil penetasan.
Pekerjaan masyarakat lokal yang bergantung dari sumberdaya alam tidak
terlepas dari pendidikan yang dimiliki. Pemukiman yang jauh dari pemerintahan
dan tingkat pendidikan yang rendah memberikan kontribusi bagi alternatif
pekerjaan yang dapat dilakukan. Tingkat pendidikan yang rendah juga dapat
memberikan dampak negatif bagi pemahaman tentang keberlanjutan populasi
suatu spesies. Hubungan pendidikan rendah dengan intensitas pemanfaatan
sangat tinggi (100%) yang diperlihatkan gambar II.4 tidak berarti menunjukkan
bahwa pendidikan rendah akan memberikan dampak intensitas pemanfaatan yang
tinggi pula, karena tidak ada jaminan dengan pendidikan tinggi dapat mengurangi
tingkat intensitas pemanfaatan telur, namun sulit untuk melihat korelasi diantara
keduanya karena tidak didapati sebaran intensitas pemanfaatan diluar intensitas
sangat tinggi (100%). Korelasi antara faktor-faktor lainnya seperti umur, suku,
kampung, pekerjaan pencari telur, frekuensi pemanenan, waktu perburuan dan
pengalaman perburuan telur terhadap intensitas pemanfaatan juga tidak dapat
dilakukan dengan alasan serupa.
Intensitas pemanenan telur yang sangat tinggi, tingkat pendidikan yang
rendah, nilai jual tukik yang terus meningkat seiring permintaan pasar, dan
pemanfaatan terhadap induk betina sebagai sumber protein secara bersamaan di
wilayah Sungai Vriendschap, secara perlahan dapat menyebabkan hilangnya
generasi dan akhirnya dapat menyebabkan kepunahan jenis dari Labi-labi
moncong babi. Kemungkinan tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin
terjadi karena hasil penelitian Eisemberg et al. (2011) di kawasan Kikori (PNG)
yang masyarakatnya melakukan pemanenan dan pemanfaatan Labi-labi moncong
babi seperti di wilayah Sungai Vriendschap, mendapati adanya penurunan ukuran
populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang terindikasikan dari
kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan yang sangat tinggi
oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk betina yang di
panen.
99
3.2.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta
Pada Gambar II.5 memperlihatkan sebaran responden didominasi oleh
Suku Momuna. Suku Betkuar hanya dijumpai di wilayah Bor (Rawa) sedangkan
Suku Mapi dijumpai di wilayah Bor (Rawa) dan Bor (Sungai). Suku Diai, Dini
dan Madura dijumpai di wilayah Obokain, dan Suku Momuna dijumpai di
wilayah Indama dan Sumo. Semua suku merupakan suku asli setempat kecuali
Suku Mapi yang berasal dari Kabupaten Mapi dan tinggal di Kampung Bor, dan
Suku Madura yang tinggal di kampung Jinak. Semua suku tinggal di wilayah
Sungai Vriendschap kecuali Suku Betkuar dan Suku Madura. Kampung Betkuar
letaknya tidak jauh dari Bor (Rawa) dan secara adat mengklaim bahwa wilayah
Bor (Rawa) merupakan wilayah adatnya, sedangkan Kampung Jinak letaknya jauh
dari Sungai Vriendschap.
Menurut BPS dan Bappeda Provinsi Papua Barat (2011), penduduk usia
produktif adalah penduduk berusia 15 - 64 tahun sedangkan penduduk usia tidak
produktif adalah penduduk yang berusia 0 – 14 tahun dan usia 64 tahun ke atas.
Gambar II.6 memperlihatkan bahwa seluruh umur responden (pencari telur)
berada pada kisaran umur produktif (20 - 50 tahun). Hal ini menggambarkan telur
C. insculpta memberikan rangsangan nilai ekonomi (jual) kepada masyarakat
lokal untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan mereka tanpa menyadari
pemanenan yang berlebihan di alam dapat menyebabkan turunnya populasi
bahkan kepunahan dari spesies bersangkutan. Sebaran pengalaman perburuan
responden memperlihatkan 50% responden mempunyai pengalaman berburu telur
lebih > 6 tahun. Pengalaman responden yang didapati memperlihatkan adanya
tren bahwa para responden telah lama menggeluti perburuan cukup lama. Tren
tersebut menggambarkan pula bahwa pekerjaan perburuan telur memberikan
dampak positif bagi peningkatan pendapatan masyarakat lokal sehingga terus
dilakukan di setiap musim peneluran, namun dikuatirkan menjadi salah satu
penyebab turunnya populasi bahkan kepunahan spesies C. insculpta.
Pemanenan telur yang mencapai intensitas sangat tinggi disebabkan
pemanfaatan telur bukan lagi digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan
tetapi lebih digunakan untuk pemenuhan nilai ekonomi masyarakat akibat dari
tingginya nilai ekonomi hasil penjualan anakan C. insculpta (tukik). Pemanfaatan
100
telur sebagai sumber pangan hanya dilakukan terhadap telur-telur yang
mengalami kerusakan atau diprediksi tidak menetas. Manusia merupakan faktor
utama yang menyebabkan rusaknya sarang dan hilangnya telur di alam yang dapat
berdampak pada putusnya generasi dan kepunahan labi-labi moncong babi
kedepannya. Indrawan et al. (2007) menyampaikan bahwa pemanfaatan
berlebihan terhadap spesies tumbuhan dan satwa seringkali menunjukkan pola
yang serupa dimana suatu sumber daya ditemukan, pasar komersial
dikembangkan untuk sumber daya tersebut dan penduduk lokal dikerahkan untuk
mendapatkan dan menjual sumber daya. Ketika sumber daya yang dieksploitasi
mulai berkurang, harga ikut meningkat dan menciptakan insentif besar untuk
eksploitasi berlebihan, menyebabkan sumber daya menjadi langka dan bahkan
punah.
3.2.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys insculpta
Maraknya pemanenan telur C. insculpta tidak terlepas dari tingginya nilai
jual telur maupun tukiknya yang berdampak terhadap semakin baiknya
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat lokal. Mencari dan memanen telur C.
insculpta sudah merupakan suatu pekerjaan yang menghasilkan pendapatan cukup
baik bagi masyarakat lokal, dan dengan kondisi saat ini pekerjaan perburuan telur
dapat digolongkan sebagai pekerjaan utama bagi mereka. Pekerjaan ini lebih
menguntungkan bagi masyarakat lokal karena jaminan mendapatkan uang dari
telur atau tukik cukup baik dengan hanya melakukan pengecekan sarang dan
pengumpulan telur di pagi hari menggunakan perahu. Berbeda dengan pekerjaan
sebagai pencari gaharu yang penuh resiko keluar masuk hutan atau rawa dalam
rentang waktu 3 - 6 minggu namun hasil yang didapatkan tidak pasti, kadang
beruntung bisa membawa pulang kayu gaharu untuk dijual, kadang pula tidak
mendapatkan apa-apa.
Pada beberapa komunitas masyarakat lokal, sumber daya kura-kura air tawar
mempunyai nilai yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein maupun
digunakan dalam ritual-ritual adat. Pemanfaatan kura-kura air tawar C. insculpta
sebagai sumber pakan oleh penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap
(Asmat) telah berlangsung secara turun temurun (Triantoro dan Rumawak 2010),
101
dengan tingkat eksploitasi C. insculpta (di Indonesia dan PNG) sangat tinggi
sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri hewan peliharaan
internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap penampilan satwa
unik ini (Georges et al. 2008a). Triantoro dan Rumawak (2010) mendeskripsikan
pemanfaatan secara turun temurun oleh penduduk lokal di wilayah Sungai
Vriendschap dapat dilihat dari budaya pemanfaatan induk C. insculpta sebagai
hantaran mas kawin kepada pihak perempuan dengan jumlahnya sesuai
permintaan pihak perempuan. Hantaran tersebut kemudian dimasak dan
dikonsumsi bersama-sama antara pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Lebih
jauh disampaikan bahwa saat ini budaya tersebut sudah tidak berlaku karena
semuanya lebih dihargai dengan uang akibat dari nilai ekonomi yang dapat
diperoleh masyarakat lokal dari penjualan telur. Masyarakat lokal mulai
mendapat nilai ekonomi dari telur Labi-labi moncong babi sejak sekitar tahun
2001 dengan harga dihitung per butirnya sedangkan nilai barter telur dengan
perahu dimulai tahun 2006 terhadap 1 orang dan kemudian mulai tahun 2008
diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat. Adanya pendapatan dari nilai telur
juga diikuti dengan semakin tingginya pemanfaatan daging Labi-labi moncong
babi oleh masyarakat lokal karena masyarakat lokal biasanya ke lokasi peneluran
dalam waktu cukup lama dengan bekal seadanya dan berharap atas bahan
makanan dari alam.
Penangkapan induk betina dalam jumlah besar biasa dilakukan oleh
masyarakat lokal sedangkan masyarakat non lokal (pencari luar) menangkap
apabila menginginkan variasi menu makanan di lokasi pencarian. Induk dewasa
ditangkap secara intensif terutama di saat musim peneluran, sebelum atau sesudah
induk bertelur dan membalikkan punggungnya (Georges et al. 2008b).
Penangkapan juga biasa dilakukan penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap
(Asmat) di musim peneluran saat induk labi-labi naik untuk bertelur, di tepi air
atau sungai, atau sehabis bertelur (Triantoro dan Rumawak 2010). Pencarian
induk dapat dilakukan juga dengan menyisiri tepi pasir menggunakan perahu.
Pemanenan seperti ini dilakukan apabila telah cukup lama tidak mendapati induk
pada saat pengecekan sarang atau telah kehabisan bahan makanan. Induk yang
telah ditangkap kemudian diangkut menggunakan perahu dan dimasukkan
102
kedalam kurungan (kandang) sederhana diatas tanah yang dibuat menggunakan
batang-batang kayu dengan membentuk persegi atau lingkaran. Pemanfaatan
induk C. insculpta di wilayah Sungai Vriendschap mengikuti jumlah kelompok
pencari, apabila dalam kelompok pencari terdapat 5 kepala keluarga maka
minimal induk yang di konsumsi dalam sehari adalah 5 induk betina.
Pemanfaatan induk betina C. insculpta lebih didasarkan pada keinginan
untuk mengkonsumsi dagingnya sebagai sumber makanan (protein) dibanding
untuk mendapatkan uang (dijual) atau alasan budaya. Beberapa alasan
masyarakat lokal mengkonsumsi daging Labi-labi moncong babi saat perburuan
adalah : 1) ingin mengkonsumsi daging, 2) persediaan bahan makanan dalam
proses perburuan telur terbatas, dan 3) ingin menghemat bahan makanan.
Georges et al. (2008b), C. insculpta disukai karena ukuran telur yang besar dan
mempunyai daging yang banyak. Sebagai gambaran pemanfaatan induk oleh
masyarakat lokal sebagai sumber makanan dapat dilihat pada Gambar II.7.
Keterangan : a. Sekumpulan kerapas Labi-labi moncong babi; b. Pemanfaatan induk Labi-labi
moncong babi untuk di konsumsi.
Gambar II.7 Sekumpulan sisa kerapas dan pemanfaatan induk Carettochelys
insculpta di wilayah Sungai Vriendschap
Dalam pengolahan terhadap daging, plastron akan dihilangkan agar bisa
mendapatkan daging beserta isi perutnya (usus, hati, jantung), dan biasanya akan
dimasak (direbus) bersama dengan ubi dan sayuran lainnya, sedangkan
pengolahan terhadap telur biasanya di rebus dan bisa dimakan langsung, dimasak
dengan nasi atau sagu, ataupun sebagai bahan penyusun biskuit dan kue (Georges
et al. 2008b). Pengolahan daging labi-labi pada masyarakat lokal di wilayah
Sungai Vriendschap (Asmat), dilakukan dengan cara dibakar diatas bara atau api,
bakar batu dan rebus dengan sedikit perbedaan dalam cara pengolahan dimana
a b
103
sebelum dimasak ada bagian daging yang dilepas dahulu dari plastron sebelum
dimasak (bakar dan rebus) dan ada bagian daging yang ditinggalkan pada plastrón
untuk dibakar bersama plastronnya (Triantoro dan Rumawak 2010).
Pemanfaatan induk yang tinggi secara terus menerus pada setiap musim
peneluran di wilayah Sungai Vriendschap dapat berdampak bagi turunnya
populasi kedepannya, tetapi apabila pemanfaatan dilakukan dengan bijaksana
dapat memberikan kesempatan C. insculpta melakukan regenerasi dan mendapat
nilai pemanfaatan yang berkesinambungan. Eksploitasi komersial secara teratur
menyebabkan pemanenan yang berlebihan dan merupakan kepedulian utama
konservasi, namun konsumsi keluarga lokal juga menggerus populasi dari spesies
yang ditargetkan ketika penduduk lokal tergantung pada satwa liar sebagai sumber
utama dari sumber protein (Vitt dan Caldwell 2009). Pada masyarakat lokal di
Sungai Vriendschap, pemanfaatan saat ini tidak memberikan kesempatan C.
insculpta untuk melakukan regenerasi karena seluruh telur diambil (dipanen) dan
induknya di konsumsi. Pemanfaatan berkesinambungan dapat terjadi apabila telur
tidak diambil seluruhnya dari alam dan konsumsi induk dapat dikurangi.
Kepercayaan (legenda) pada masyarakat lokal di Sungai Vriendschap bahwa
Labi-labi moncong babi merupakan hasil kutukan seorang suami yang marah
akibat istrinya berzinah dengan laki-laki lain yang dimunculkan dalam bentuk
Labi-labi moncong babi jantan dan betina, tidak memberikan dampak positif bagi
konservasi Labi-labi moncong babi karena legenda ini sudah hampir hilang dan
tidak ada pantangan dalam mengkonsumsinya (Triantoro dan Rumawak 2010).
Pada komunitas masyarakat Aborigin, intensitas pemanenan terhadap induk kura-
kura leher ular (Chelodina rugosa) cukup rendah dan hal tersebut dapat
memberikan kesempatan bagi C. rugosa untuk bertahan dan berkembangbiak
dengan baik karena pemanenannya dilakukan atas dasar kebutuhan ritual budaya
(Fordham et al. 2006). Perbedaan jumlah individu juga didapati berbeda antara
daerah pemujaan (veneration area) yang tidak tereksploitasi dengan daerah
pemanenan (harvest area) dimana dengan luas area relatif sama di setiap lokasi,
jumlah kura-kura darat Kinixys homeana dan Kinixys erosa ditemui jauh lebih
banyak di daerah pemujaan dibandingkan jumlah kura-kura darat yang ditemui di
daerah panen (Luiselli 2003).
104
Pemanfaatan C. insculpta sebagai sumber makanan oleh masyarakat lokal
tidaklah mengherankan karena wilayah mereka di dominasi oleh sungai dan rawa
yang memungkinkan sumber makanan alaminya berasal dari satwa yang hidup di
air. Disamping itu, pemanfaatan satwa dari kelompok kura-kura besar atau penyu
sebagai sumber makanan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang berdiam di
wilayah Sungai Vriendschap tetapi banyak dilakukan pula oleh masyarakat
dibanyak tempat dengan intensitas pemanfaatan yang berbeda. Magnino et al.
(2009) menyampaikan bahwa berkenaan dengan konsumsi dari berbagai jenis
reptil liar yang ditangkap, daging dan telur penyu mungkin yang paling banyak
dieksploitasi di seluruh dunia. Selanjutnya Caputo et al. (2005) menyampaikan
bahwa eksploitasi terhadap penyu sebagai sumber makanan telah lama dianggap
faktor utama yang berkontribusi terhadap penurunan populasi.
105
4. SIMPULAN
Pemanfaatan sumberdaya labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap
telah dilakukan oleh masyarakat tradisional yang membagi wilayah pemanfaatan
menjadi 5 (lima) wilayah adat. Dari tiga wilayan adat yang diamati, ada dua
wilayah yang bekerjasama dengan pencari telur dari luar sedangkan pada satu
wilayah adat tidak didapati adanya kerjasama. Perburuan telur yang terjadi
menciptakan sistem perdagangan di lokasi perburuan yang meliputi sistem barter,
kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung tukik, dan sistem
penjualan tukik langsung kepada pembeli. Perburuan dan perdagangan terutama
dilakukan terhadap telurnya karena adanya nilai ekonomi, sedangkan perburuan
terhadap induknya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan makanan. Pemanenan
telur dilakukan terhadap keseluruhan sarang di seluruh wilayah adat tanpa
menyisakan satupun sarang yang utuh berisi telur di alam.
Pemanfaatan telur yang sangat tinggi diduga dapat memberikan dampak
negatif bagi kelestarian Labi-labi moncong babi di alam. Pendidikan masyarakat
lokal yang rendah, tingginya ketergantungan terhadap sumber daya alam,
tingginya permintaan untuk perdagangan (illegal), tidak adanya sumber
pendapatan yang tetap, dan belum adanya manajemen pengelolaan yang
menunjang pemanfaatan berkelanjutan, mendorong pemanenan terus berlangsung.
107
Daftar Pustaka
[BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Provinsi Papua Barat. 2011. Penduduk Asli Papua Di Provinsi
Papua Barat. Manokwari. Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi
Papua Barat.
Caputo FP, Canestrelli D, Boitani L. 2005. Conserving The Terecay
(Podocnemis unifilis, Testudines: Pelomedusidae) Through A Community-
based Sustainable Harvest of Its Eggs. Biological Conservation 126 : 84 –
92.
Daniel S. 2011. Perdagangan Reptilia Sebagai Binatang Peliharaan Di DKI
Jakarta [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam
dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk
Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-
KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam
dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk
Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-
KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1.
Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an
Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle
(Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation
144 : 2282 – 2288.
Fordham D, Georges A, Corey B, Brook BW. 2006. Feral Pig Predation
Threatens the Indigenous Harvest and Local Persistence of Snake-necked
Turtles in Northern Australia. Biological Conservation.
[GOK] Genting Oil Kasuri. 2009. Analisis Dasar Lingkungan Blok Kasuri PSC
di Kabupaten Fakfak dan Bintuni [Laporan Akhir]. Manokwari :
Kerjasama BP Migas dan UNIPA.
Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys
insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam :
Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA,
Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and
Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and
Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No.
5, pp. 009.1 – 009.17, doi : 10.3854/crm.5.009.insculpta.v1.2008,
http://www.iucn-tftsg.org/cbftt.
Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b.
Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with
Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta.
Wildlife Research 35 : 700 – 711.
108
Goh TY, O’Riordan RM. 2007. Are Tortoises and Freshwater Turtles Still
Traded Illegally as Pets in Singapore? Oryx Vol 41 No 1 (Short
communication).
Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2
(revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.
<www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].
Kartikasari SN, Marshall AJ, Beehler BM. 2012. Ekologi Papua. Jakarta.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II
Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February
2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES
Management Authority of Indonesia.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II
Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January
2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES
Management Authority of Indonesia.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II
Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to
31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES
Management Authority of Indonesia.
Leuteritz TEJ, Lamb T, Limberaza JC. 2005. Distribution, Status, and
Conservation of Radiated Tortoises (Geochelone radiata) in Madagascar.
Biological Conservation 124 : 451–461
Luiselli L. 2003. Comparative Abundance and Population Structure of Sympatric
Afrotropical Tortoises in Six Rainforest Areas: the Differential Effects of
“Traditional Veneration” and of “Subsistence Hunting” by Local People.
Acta Oecologica 24 : 157–163
Magnino S, Colin P, Dei-Cas E, Madsen M, McLauchlin J, Nöckler K, Maradona
MP, Tsigarida E, Vanopdenbosch E, Peteghem CV. 2009. Biological
Risks Associated With Consumption of Reptile Products. International
Journal of Food Microbiology 134 : 163 – 175.
Muller K. 2005. Keragaman Hayati Tanah Papua. Ismoyo F, Kilmaskossu A,
Kilmaskossu MSE, Lumatauw S, Nainggolan D, Prabawardani S,
penerjemah; Wanggai F, Sumule A, Editors. Manokwari. Universitas
Negeri Papua. Terjemahan dari : The Biodiversity of New Guinea.
Rowe JW, Koval KA, Dugan MR. 2005. Nest Placement, Nest-site Fidelity and
Nesting Movements in Midland Painted Turtles (Chrysemys picta
marginata) on Beaver Island, Michigan. The American Midland Naturalist
154 : 383 – 397.
Shepherd CR, Nijman V. 2007. An Overview of The Regulation of The
Freshwater Turtles and Tortoise Pet Trade in Jakarta, Indonesia. Traffic
Southeast Asia, Petaling Jaya. Malaysia.
109
Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong
Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap
Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan
Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan.
UNEP-WCMC. 2011. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species.
[27 January 2011].
Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of
Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic
Press.
113
Lampiran 1 Panduan pertanyaan pengumpulan data intensitas pemanfaatan
Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah
Sungai Vriendschap
Nama responden : Umur :
Suku :
Tempat tinggal :
Pendidikan : (Tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA)
1. Pekerjaan utama : PNS, POLRI, TNI, bertani, berburu (jenis utama), pedagang
2. Pekerjaan sampingan :
bertani : jenis komoditi, konsumsi, jual
berburu : jenis satwa, konsumsi, jual (dimana)
berdagang : jenis diperdagangkan, lokasi
3. Pemanfaatan Labi-labi moncong babi :
Telur : Konsumsi (per hari), Jual (telur/tukik), harga jual telur, harga jual
tukik, pengambilan telur (sarang baik, sarang kemungkinan rusak oleh
banjir/tergenang, keseluruhan sarang)
Induk : Konsumsi (per hari), Jual (induk/bagian, dimana), harga jual
(induk/bagian)
Alasan menjual, alasan konsumsi
Frekuensi perburuan : setiap hari, 2-4 hari sekali, ≥ 5 hari sekali
Lama di lokasi perburuan : 1-7 hari, 8 – 21 hari, > 21 hari
Seberapa lama mendalami perburuan Labi-labi moncong babi : 1 tahun, 1-
3 tahun, > 3 tahun