Makalah II INTENSITAS PEMANFAATAN Carettochelys insculpta ... · communities living around the...

37
Makalah II INTENSITAS PEMANFAATAN Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA Richard Gatot Nugroho Triantoro Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Pascasarjana IPB Email : [email protected] ABSTRACT One of the exploited natural resources of Papua is pig nosed turtle (Carettochelys insculpta). Continuous demand for wildlife, high the economy value, and the low availability of animal from breeding farm, has made the utilization of C. insculpta from nature increased. Although report stated financial benefit for local people from the sale of C. insculpta, but it is feared that the uncontrollable intensity of their utilization in nature will lead to population decline and extinction of this species. This study aims to assess the intensity of C. insculpta utilization by communities living around the Vriendschap River, Asmat regency, Papua. Unstructured interview and observation techniques were carried out from 8 to 25 November 2011. The results showed utilization in the Vriendschap River region can be divided into 5 (five) indigenous territories that is Bor (Marsh), Bor (River), Obokain, Indama and Sumo. Custom dedicated that different tribes controlled different areas, i.e. Bor (marsh) area under Betkuar tribe, Obokain area under Diai and Dini tribes, and Indama and Sumo area under Momuna tribe. Collaboration with non-local hunter occurred in the Bor (marsh) and Obokain, whereas in the Indama and Sumo there is no collaboration. Extraction of nature is the main source of local communities and intensive land use has not been made. Eggs at the harvesting location are traded barter system, combination of barter system with direct sales of hatchlings, and hatchling sales system directly to the buyer. The intensity of utilization is very high for eggs (> 75%), whereas females turtles were captured only local consumption. Egg harvesting is done on a whole nest without exception, usually in the morning starting at 04.00 am. Females turtles were captured simultaneously while collecting eggs.

Transcript of Makalah II INTENSITAS PEMANFAATAN Carettochelys insculpta ... · communities living around the...

77

Makalah II

INTENSITAS PEMANFAATAN Carettochelys insculpta

(Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP

KABUPATEN ASMAT, PAPUA

Richard Gatot Nugroho Triantoro

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

Pascasarjana IPB

Email : [email protected]

ABSTRACT

One of the exploited natural resources of Papua is pig nosed turtle (Carettochelys

insculpta). Continuous demand for wildlife, high the economy value, and the low

availability of animal from breeding farm, has made the utilization of C. insculpta

from nature increased. Although report stated financial benefit for local people

from the sale of C. insculpta, but it is feared that the uncontrollable intensity of

their utilization in nature will lead to population decline and extinction of this

species. This study aims to assess the intensity of C. insculpta utilization by

communities living around the Vriendschap River, Asmat regency, Papua.

Unstructured interview and observation techniques were carried out from 8 to 25

November 2011. The results showed utilization in the Vriendschap River region

can be divided into 5 (five) indigenous territories that is Bor (Marsh), Bor (River),

Obokain, Indama and Sumo. Custom dedicated that different tribes controlled

different areas, i.e. Bor (marsh) area under Betkuar tribe, Obokain area under Diai

and Dini tribes, and Indama and Sumo area under Momuna tribe. Collaboration

with non-local hunter occurred in the Bor (marsh) and Obokain, whereas in the

Indama and Sumo there is no collaboration. Extraction of nature is the main

source of local communities and intensive land use has not been made. Eggs at the

harvesting location are traded barter system, combination of barter system with

direct sales of hatchlings, and hatchling sales system directly to the buyer. The

intensity of utilization is very high for eggs (> 75%), whereas females turtles were

captured only local consumption. Egg harvesting is done on a whole nest without

exception, usually in the morning starting at 04.00 am. Females turtles were

captured simultaneously while collecting eggs.

78

1. PENDAHULUAN

Di Papua dan Papua Barat terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnik

masyarakat setempat yang banyak diantaranya membangun aturan untuk hidup

harmonis bersama alam (Indrawan et al. 2007). Masyarakat dari anggota

kelompok etnik tersebut banyak yang masih hidup secara tradisional dengan

melakukan aktifitas kegiatan yang menyatu dengan alamnya seperti memancing

dan berburu sesuai kebutuhan kesehariannya. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya

alam berupa tumbuhan dan satwa liar dilakukan secara terkontrol alami dimana

pemanfaatan hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (sub sistence). Dari

berbagai satwa liar yang dimanfaatkan dari alam, kura-kura air tawar maupun

labi-labi merupakan salah satu kelompok satwa liar yang dimanfaatkan untuk

pemenuhan hidup mereka.

Diantara kelompok kura-kura air tawar, Carettochelys insculpta (Labi-labi

moncong babi) merupakan salah satu satwa yang telah dimanfaatkan sebagai

sumber makanan (sumber protein) secara turun temurun oleh penduduk asli di

bagian Selatan Papua, terutama bagi masyarakat yang pemukimannya berada di

lokasi yang jauh dari pemerintahan. Labi-labi moncong babi merupakan salah

satu sumber daya yang penting bagi penduduk lokal di selatan Papua dan

dimanfaatkan sebagai sumber protein hewan secara turun temurun (IUCN 2010;

Triantoro dan Rumawak 2010), sementara penduduk lokal di PNG mengkonsumsi

kura-kura air tawar dan telur-telurnya secara teratur (Georges et al. 2008b). Dari

segi budaya, penduduk lokal di wilayah sungai Vriendschap dahulu menggunakan

Labi-labi moncong babi sebagai mas kawin (Triantoro dan Rumawak 2010).

Dari segi ekonomi, labi-labi merupakan salah satu jenis reptil yang sudah

mempunyai nilai ekonomi tinggi tidak terkecuali jenis C. insculpta. Jenis ini

dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.

327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999 dan belum

diberikan kuota pemanfaatan walau telah dimasukkan dalam Apendiks 2 CITES

(Dirjen PHKA 2007, 2008; Kemenhut 2010, 2011, 2012), namun dalam

kenyataannya, perdagangan illegal terhadap C. insculpta tetap terjadi dan dapat

ditemui pada tempat penjualan satwa di dalam dan luar negeri seperti di Jakarta

79

(Shepherd dan Nijman 2007; Daniel 2011) dan Singapura (Goh dan O’Riordan

2007). Nilai ekonomi labi-labi cenderung semakin meningkat seiring permintaan

pasar yang terus meningkat pula namun tidak dapat dipenuhi dari usaha

penangkaran. Akibatnya pemanenanan dari alam untuk konsumsi perdagangan

ikut meningkat tanpa memandang apakah jenis yang diambil dari alam merupakan

jenis endemik, dilindungi atau tidak dilindungi. Di seluruh dunia, spesies kura-

kura banyak menghadapi ancaman eksploitasi untuk makanan, obat, dan

perdagangan hewan peliharaan, dan juga dari perusakan habitat dan penyakit

(Leuteritz et al. 2005). Amfibi dan reptil biasanya di panen secara luas dan

sebagian besar untuk konsumsi (makanan dan obat-obatan rakyat), perdagangan

mewah (kulit, perhiasan, dan barang antik), dan perdagangan hewan peliharaan

(Vitt dan Calwell 2009). Harga hidupan liar yang dijual illegal sangat

menggiurkan dan memberikan insentif ekonomi yang kuat bagi para pemburu dan

penyelundup untuk terlibat, termasuk masyarakat lokal, beberapa lembaga

pemerintahan dan penegak hukum dengan perannya masing-masing sebagai

pemburu, pembeli, perantara dan penjual (Kartikasari et al. 2012).

Di Indonesia, C. insculpta hanya didapati tersebar di Selatan Papua mulai

dari Danau Yamur, Kaimana (BBKSDA Papua II, personal communication)

sampai ke Merauke dengan perkiraan populasi tinggi terdapat di Sungai

Vriendschap, Kabupaten Asmat. Statusnya yang dilindungi dan dengan wilayah

sebaran populasi yang terbatas, tidak menyurutkan penghentian perburuan

terhadap spesies ini akibat permintaan pasar perdagangan. Pemanfaatan dari alam

oleh masyarakat yang dahulu dilakukan secara sub sistence berubah menjadi

pemanfaatan yang berlebihan akibat meningkatnya permintaan pasar dan nilai

ekonomi C. insculpta. Perburuan, pengumpulan dan perdagangan illegal hidupan

liar Papua adalah sumber utama perdagangan illegal hidupan liar karena

banyaknya jenis endemik yang menarik dan unik (Kartikasari et al. 2012).

Tingkat eksploitasi (perburuan) C. insculpta sangat tinggi di Indonesia dan Papua

New Guinea (PNG) sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri

hewan peliharaan internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap

penampilan satwa unik ini (Georges et al. 2008a). Spesies ini diekspor dalam

jumlah besar untuk perdagangan hewan internasional langsung dari selatan Irian

80

Jaya (Papua), Indonesia (IUCN 2010), penangkapan biasanya dilakukan pada

musim peneluran (Georges et al. 2008b; Triantoro dan Rumawak 2010).

Perburuan di alam terutama dilakukan terhadap telur-telurnya pada musim

peneluran setiap tahunnya dan pemanfaatan daging induk labi-labi sebagai

dampak ikutannya. Dikuatirkan, perburuan yang dilakukan tanpa memperhatikan

aspek konservasi, membuat salah satu jenis labi-labi yang berada di Papua ini

rentan terhadap kepunahan. Pemanenan, pengurangan habitat alami dan

fragmentasi telah menjadi faktor utama pendorong spesies amfibi dan reptil ke

jurang kepunahan (Vitt dan Caldwell 2009). Minimnya informasi pemanfaatan

C. insculpta di alam dan tingginya perburuan mendasari dilakukannya penelitian

ini yang bertujuan untuk mengetahui: 1) wilayah pemanfaatan adat C. insculpta,

2) pemanfaatan sumber daya lahan, sumber daya alam, dan sistem ekonomi di

lokasi pemanfaatan, 3) intensitas pemanfaatan C. insculpta, dan 4) pengumpulan

telur dan pemanfaatan induk betina C. insculpta.

Kegiatan penelitian ini dibagi dalam tiga tahap yaitu : Pertama,

inventarisisasi wilayah pemanfaatan adat dan suku apa saja yang berprofesi

sebagai pencari pada masing-masing wilayah. Pada konteks ini wilayah adat

memberikan gambaran batas wilayah pemanfaatan antara suku adat yang

mempunyai hak pemanfaatan dan wilayah atau suku adat mana yang

berkolaborasi dengan pencari non lokal. Kedua, melihat pola pemanfaatan lahan

dan sumber daya alam oleh masyarakat lokal di wilayah pemanfaatan serta sistem

ekonomi yang terjadi saat pemanenan telur dilakukan. Pola pemanfaatan lahan

dan sumber daya alam memberikan informasi terkait kondisi habitat hidup dan

peneluran C. inscupta, sedangkan sistem ekonomi memberikan gambaran sistem

perdagangan yang terjadi di wilayah pemanfaatan. Ketiga, menguji intensitas

pemanfaatan yang dilakukan oleh komunitas masyarakat di wilayah Sungai

Vriendschap yang meliputi pertanyaan-pertanyaan terkait dengan : 1) apakah

perburuan dilakukan terhadap telurnya atau induk saja atau kepada kedua bagian

ini?, 2) apakah perburuan telur dilakukan terhadap sarang-sarang yang diprediksi

rusak akibat luapan air sungai?, atau 3) apakah perburuan dilakukan pada

keseluruhan sarang tanpa terkecuali? Intensitas pemanfaatan memberikan

gambaran seberapa tinggi pemanfaatan C. insculpta yang dilakukan oleh

81

komunitas masyarakat saat musim peneluran. Keempat, mendeskripsikan pola

pengumpulan telur dan pemanfaatan induk C. insculpta. Pada penelitian ini

digambarkan bagaimana proses pencarian dan penandaan sarang sampai

pengambilan telurnya, dan bagaimana penangkapan induk dilakukan, jumlah

ditangkap dan prosesnya sampai dikonsumsi.

83

2. METODE PENELITIAN

2.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar II.1)

yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten

Yahukimo, Papua. Pendataan sarang dan pasir peneluran dilakukan di sepanjang

Sungai Vriendschap yang berada pada wilayah adat masyarakat Bor, Obokain,

Indama dan Sumo, dan pada rawa yang masuk dalam wilayah adat Betkuar, tidak

termasuk alur-alur sungai atau anakan sungai disekitarnya. Penelitian dilakukan

dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 dengan pertimbangan masih berada

dalam rentang waktu puncak musim peneluran.

Gambar II.2 Lokasi penelitian intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta di

wilayah Sungai Vriendschap.

2.2. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi : luas wilayah yang di panen

(sampling pada wilayah Bor (rawa), Obokain, dan Sumo), jumlah induk di panen,

jumlah sarang di panen, frekuensi perburuan (pengambilan), dan data responden

84

yang menyangkut pekerjaan, umur, pendidikan, tempat tinggal (kampung), suku,

dan pengalaman berburu

2.3. Metode Pengumpulan Data

Pendataan difokuskan pada para pencari atau pemburu telur yang ditemui

di sepanjang Sungai Vriendschap. Metode yang digunakan dalam pendataan

adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara tidak terstruktur

yaitu wawancara yang didasarkan pada daftar pertanyaan kunci (tanpa

menggunakan kuisioner yang harus diisi secara langsung oleh responden), dan

teknik observasi yaitu pengamatan langsung dilapangan. Teknik wawancara tidak

terstruktur dilakukan untuk mengumpulkan data responden yang menyangkut

pekerjaan, umur, pendidikan, tempat tinggal (kampung), suku, dan pengalaman

berburu, sedangkan teknik observasi dilakukan untuk mengumpulkan data luas

wilayah yang di panen (sampling pada wilayah Bor (rawa), Obokain, dan Sumo),

jumlah induk di panen, jumlah telur di panen, dan frekuensi perburuan

(pengambilan), dengan mengikuti aktifitas pencari atau pemburu telur. Metode

ini digunakan agar bisa mendapatkan informasi pemanfaatan secara aktual

dilapangan karena obyek yang di teliti adalah satwa yang dilindungi namun

pemanenan illegal di alam terus terjadi. Wawancara dilakukan setelah selesai

dilakukan pendataan sarang atau di waktu luang saat tidak mengambil data

persarangan akibat banjir dalam suasana tidak formil dan informasi yang di dapat

di catat kemudian setelah selesai diskusi. Jumlah pencari telur di lokasi perburuan

yang dapat di wawancarai sebanyak 12 orang. Sebanyak 11 responden

merupakan masyarakat lokal yang berdiam disekitar Sungai Vriendschap dan 1

responden merupakan masyarakat non lokal (pendatang). Keterbatasan jumlah

responden disebabkan para pencari banyak yang pergi meninggalkan lokasi

pencarian atau bersembunyi akibat aktifitas patroli yang dilakukan oleh pihak

BKSDA Asmat.

Pengambilan data intensitas pemanfaatan dilakukan pada 3 (tiga) lokasi

yang dipilih di wilayah Sungai Vriendschap yaitu wilayah pemanfaatan Bor yang

berada pada bagian rawa, wilayah pemanfaatan Obokain yang berada pada bagian

tengah sungai, dan wilayah pemanfaatan Sumo yang terdapat pada bagian hulu

85

sungai. Pada tiap wilayah terdapat lebih dari 1 (satu) kelompok pencari telur

sehingga dalam pendataan sampling wilayah pemanfaatan mengikuti wilayah

pemanfaatan dari salah satu kelompok pengumpul atau pemilik wilayah adat,

sehingga luas wilayah pemanenan adalah gambaran dari luas wilayah dari salah

satu kelompok atau pemilik wilayah adat. Masing-masing sampling lokasi

pemanfaatan kemudian dipetakan luas wilayah perburuan atau pemanenannya dan

ditampilkan secara visual. Pemilihan lokasi pemanfaatan didasarkan pembagian

Sungai Vriendschap yaitu pada bagian hulu (Sumo), tengah (Obokain), dan

mendekati hilir (Bor rawa) dimana pada masing-masing wilayah pemanfaatan

terdiri atas 6 (enam) pasir peneluran. Pendataan sampling wilayah pemanfaatan

dilakukan masing-masing selama 1 hari. Jumlah sarang di panen pada wilayah

Bor (rawa) dihitung selama 4 hari, pada wilayah Obokain selama 5 hari dan pada

wilayah Sumo selama 3 hari. Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas

pemanfaatan dibuat kelas pemanfaatan berdasarkan persentase pemanfaatan

jumlah sarang pada tiap lokasi terpilih (Tabel II.1). Para kelompok pemburu telur

disepanjang sungai dan rawa Vriendschap di data asal (kampung/kecamatan)

mereka untuk mendapatkan akses perburuan ke Sungai Vriendschap.

Tabel II.1 Kelas pemanfaatan sarang Labi-labi moncong babi

Kelas Kriteria

Sangat tinggi : Jika lebih dari 75% jumlah sarang yang dimanfaatkan

Tinggi : Jika sebesar 51-75% jumlah sarang yang dimanfaatkan

Menengah : Jika sebesar 26-50% jumlah sarang yang dimanfaatkan

Rendah : Jika sebesar 1-25% jumlah sarang yang dimanfaatkan

Sangat rendah : Jika penduduk tidak memanfaatkan sarang labi-labi

moncong babi

Sumber: Modifikasi dari Genting Oil Kasuri (2009)

2.4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mengolah data

dalam bentuk tabulasi terlebih dahulu. Hasil analisis kemudian disajikan dalam

bentuk tabel, grafik dan gambar.

87

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta

Wilayah pemanfaatan di sepanjang Sungai Vriendschap terbagi atas 5

(lima) wilayah pemanfaatan berdasarkan wilayah adat yaitu wilayah Bor (Rawa),

Bor (Sungai), Obokain, Indama dan Sumo. Sebaran wilayah pemanfaatan telur

dan induk C. insculpta disajikan pada Gambar II.2 dibawah ini yang diwakili oleh

wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo. Letak wilayah pemanfaatan Bor

(Sungai) berada diantara Bor (Rawa) dengan Obokain dan wilayah pemanfaatan

Indama berada diantara Obokain dengan Sumo.

Gambar II.2 Sebaran wilayah pemanfaatan telur dan induk Carettochelys

insculpta pada wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo di wilayah

Sungai Vriendschap.

Wilayah Bor (rawa) secara adat berada dibawah wilayah adat Suku

Betkuar, namun kelompok pencari tahun 2011 di dalam kawasan ini juga terdiri

dari Suku Mapi dan Ternate. Pada wilayah Obokain secara adat berada dibawah

wilayah adat Suku Diai dan Dini dengan kelompok pencari didalamnya terdapat

88

Suku Jawa, Kei, Madura dan Batak. Sementara pada wilayah pemanfaatan

Indama dan Sumo, secara adat berada dibawah wilayah adat Suku Momuna

namun tidak didapati pencari dari luar suku. Pola pemanfaatan pada wilayah Bor

(rawa) dan Obokain masih terlihat adanya kerjasama dengan pencari telur dari

luar masyarakat lokal, sedangkan pada wilayah Sumo pencarian telur dilakukan

murni oleh masyarakat lokal. Pencari telur diluar masyarakat adat berasal dari

wilayah Jinak, Waganu, Atsy, maupun Agats, dan ijin untuk berburu telur dan

lokasi pencarian dapat berubah sejalan dengan ijin yang diberikan oleh suku adat

kepada mereka. Pendataan jejak induk yang naik ke pasir untuk bersarang

ditemukan sebanyak 19 jejak di wilayah Bor (Rawa), 6 jejak di wilayah Bor

(Sungai), 379 jejak di wilayah Obokain, 65 jejak di wilayah Indama, dan 80 jejak

di wilayah Sumo, sedangkan jumlah sarang yang ditemukan sebanyak 7 sarang di

wilayah Bor (Rawa), 1 sarang di wilayah Bor (Sungai), 110 sarang di wilayah

Obokain, 8 sarang di wilayah Indama, dan 6 sarang di wilayah Sumo.

3.1.2. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Alam, dan Sistem

Ekonomi

Hasil pendataan terhadap pekerjaan responden (pencari telur) diluar

musim peneluran, diperoleh masyarakat setempat masih bergantung kepada

sumberdaya alam yang terlihat dari tingginya pekerjaan berupa ekstraksi langsung

dari hutan, seperti yang terlihat pada Gambar II.3, sedangkan hasil pendataan

responden terhadap tingkat pendidikan menunjukkan bahwa secara keseluruhan

masyarakat lokal belum mendapatkan pendidikan. Responden lokal yang

mengenyam pendidikan hanya 1 (satu) orang dengan tingkat pendidikan sampai

Sekolah Dasar (SD) sedangkan responden lokal lainnya sama sekali tidak

mengenyam pendidikan. Responden dengan tingkat pendidikan SLTA hanya

ditemukan pada responden (pencari telur) dari luar. Gambaran sebaran

pendidikan responden dan hubungannya dengan pemanenan telur dapat dilihat

pada Gambar II.4.

89

Keterangan : PG : Pencari Gaharu; PB : Pencari Buaya; Sekdes : Sekretaris Desa; PP : Penebang

Pohon; P : Pedagang.

Gambar II.3 Sebaran responden di wilayah Sungai Vriendschap berdasarkan

pekerjaan

Gambar II.4 Sebaran pendidikan responden dan hubungannya dengan

pemanfaatan telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai

Vriendschap.

Pemanfaatan lahan secara intensif oleh masyarakat lokal baik untuk

pertanian, perikanan maupun peternakan di sekitar wilayah pemanfaatan telur

belum dilakukan, namun pada wilayah perkampungan lahan pertanian sudah

diupayakan oleh masyarakat lokal walau bukan berupa pertanian intensif.

Beberapa produk pertanian yang pernah dikembangkan maupun dijual oleh

masyarakat meliputi kacang panjang (Vigna sinensis), kacang tanah (Arachis

hypogaea), jagung (Zea mays), ketimun (Cucumis sativus), gambas (Luffa

acutangula), cabe (Capsicum sp.), pisang (Musa sp.), ubi kayu (Manihot

esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas), dan keladi (Caladium sp.). Hasil

pertanian ada yang sebagian kecil dijual ke Jinak, namun lebih sering digunakan

41.67

8.338.33

8.33

8.33

16.67

8.33

PG

PG, PB

PG, Sekdes

PG, Sekdes, PP

PG, P

Bertani

Aparat

83.33

8.33

0

8.33

100

0 0 0

0

20

40

60

80

100

Tidak Sekolah SD SMP SLTA

Tingkat

Pendidikan

Frekuensi

Pemanenan

%

90

untuk kebutuhan sendiri karena jauhnya akses untuk menjual dengan jumlah yang

tidak ekonomis sebagai sumber pendapatan. Dari segi kualitas habitat, tidak

adanya pemanfaatan lahan secara intensif oleh masyarakat lokal pada wilayah

Sungai Vriendschap menyebabkan kondisi habitat peneluran C. insculpta tidak

mengalami penurunan kualitas akibat adanya campur tangan manusia.

Beberapa jenis sumberdaya alam berupa tumbuhan digunakan pula untuk

kebutuhan hidup (makanan) masyarakat lokal di Sungai Vriendschap yang

meliputi sagu (Metroxylon sagu) dan pucuk rotan (Calamus sp), sedangkan jenis

sumberdaya alam berupa satwa liar meliputi kura-kura (Carettochelys insculpta,

Pelochelys bibroni, Emydura subglobosa), buaya (Crocodylus cf novaeguineae),

babi hutan (Sus scrofa), kasuari (Casuarius sp), ular karung (Acrocordus

arafurae), ikan gurame (Osphronemus goramy) dan ulat sagu (Rhynchophorus

ferruginenus). Pemanfaatan satwa liar yang telah bernilai ekonomi (uang tunai)

bagi masyarakat lokal di Sungai Vriendschap adalah kulit buaya dan telur C.

insculpta.

Dari segi perdagangan, penjualan telur oleh pencari lokal dilakukan

dengan sistem barter, kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung

tukik, dan sistem penjualan tukik langsung kepada pembeli. Sistem barter yang

dilakukan sampai saat ini adalah kesepakatan sejumlah telur yang di barter dengan

satu set perahu. Jumlah telur yang dibarter dengan satu set perahu untuk tahun

2011 berkisar 2 – 4 ember dimana barter telur sebanyak 2 ember didapati di

wilayah Bor, 3 ember di wilayah Obokain dan 4 ember di wilayah Sumo, dengan

jumlah telur tiap ember ± 1.500 butir. Untuk penjualan langsung dalam bentuk

tukik, diperoleh harga tukik tahun 2011 di wilayah sungai Vriendschap berkisar

Rp 15.000 – 20.000 (rata-rata Rp 17.500), sedangkan apabila dijual diluar wilayah

Vriendschap seperti di Jinak, Waganu, Atsy maupun Agats mencapai kisaran

harga Rp 30.000 – 50.000 (rata-rata Rp 40.000).

3.1.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta

Responden yang berhasil di data di Sungai Vriendschap, dipetakan

sebarannya berdasarkan suku dan kampung seperti disajikan pada Gambar II.5,

sedangkan sebaran umur dan pengalaman perburuan telur responden dapat dilihat

pada Gambar II.6.

91

Gambar II.5 Sebaran pencari telur Labi-labi moncong babi di Sungai

Vriendschap berdasarkan (a) suku dan (b) kampung

Gambar II.6 Sebaran umur dan pengalaman perburuan responden terhadap telur

Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.

Hasil pendataan sarang yang di panen, diperoleh pemanenan untuk

mendapatkan nilai ekonomi dilakukan terhadap telur-telurnya saja. Pemanenan

tidak dibedakan antara sarang yang baik, sarang yang kemungkinan rusak akibat

tergenang luapan sungai saat banjir, ataupun sarang yang dimungkinkan rusak

akibat predator alami. Seluruh sarang yang ditemukan kemudian dibongkar dan

telur-telurnya diambil tanpa menyisakan sebutirpun telur dalam sarang atau

menyisakan satupun sarang yang utuh. Kondisi tersebut mengakibatkan

pemanenan sarang atau telur C. insculpta mencapai 100%. Dengan persentase

pemanfaatan sarang yang mencapai 100% dan didasarkan atas kelas pemanfaatan

sarang yang ditunjukkan pada Tabel II.4, maka intensitas pemanenan sarang atau

telur di wilayah Sungai Vriendschap termasuk dalam kelas pemanfaatan sangat

tinggi karena keseluruhan sarang di panen tanpa terkecuali dan terjadi diseluruh

wilayah pemanfaatan.

8.338.33

8.33

25.00

41.67

8.33

Mapi

Betkuar

Diai

Dini

Momuna

Madura

8.338.33

33.33

8.33

33.33

8.33

BorBetkuarObokainIndamaSumoJinak

16.67

33.33

8.33

0.00

25.00

16.67 20 - 2526 - 3031 - 3536 - 4041 - 4546 - 50

8.33

16.67

25.00

50.00

0

10

20

30

40

50

60

1 Tahun 2 - 3

tahun

4 - 5

Tahun

≥ 6

Tahun

1 Tahun

2 - 3 tahun

4 - 5 Tahun

≥ 6 Tahun

a b

92

3.1.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys insculpta

Pemanenan telur C. insculpta dilakukan pada musim peneluran yaitu di

bulan Agustus – Desember dengan puncak peneluran pada bulan September –

November. Pencari telur berada di wilayah peneluran pada rentang waktu 3-4

bulan dengan frekuensi perburuan telur dilakukan setiap hari apabila kondisi

dilokasi memungkinkan (baik). Kondisi di lokasi yang mendukung perburuan

telur apabila sungai tidak banjir, langit cerah tanpa ada kilatan cahaya, dan tidak

turun hujan. Waktu pengumpulan telur (pemanenan) dimulai pagi hari pada jam

04.00 saat matahari belum terbit dengan menggunakan senter sebagai penerang.

Pengecekan keberadaan sarang dilakukan dengan menusuk-nusuk pasir

menggunakan tongkat yang ujungnya sudah diberi besi atau menggunakan

tongkat kayu yang ujungnya sudah dibuat sedemikian rupa untuk memudahkan

penusukan. Sarang yang ditemukan kemudian ditandai atau langsung diambil.

Dalam sekali pemanenan apabila sarang yang ditemukan sedikit maka sarang

langsung digali dan diambil telurnya, sedangkan apabila sarang yang ditemui

banyak maka sarang-sarang yang ditemui ditandai terlebih dahulu menggunakan

tongkat kecil yang ujungnya sudah diberi penanda (label) menyerupai bendera

berbahan pita, tali rafia atau bungkus mie instan. Masing-masing label pada

tongkat berbeda-beda yang merupakan ciri pembeda diantara pencari telur.

Apabila tongkat penanda masih belum cukup maka digunakan batang rumput tebu

(Pragmintes karka), ranting, atau batang tumbuhan lainnya yang dapat digunakan

sebagai penanda. Sarang yang telah ditandai tersebut tidak boleh dibongkar dan

diambil telurnya oleh pencari lainnya karena telah ada komitmen bersama bahwa

tidak boleh mengambil telur dari sarang yang sudah ditandai oleh pencari yang

telah menandai terlebih dulu. Komitmen ini dapat dikontrol apabila sekali

pemanenan dalam jumlah sedikit tetapi apabila dalam jumlah banyak sulit

mengontrolnya karena ada yang mencari untung dengan membuang tongkat

penanda, membongkar sarang dan mengambil telurnya. Telur dikumpulkan

dalam suatu wadah (ember) dengan bagian bawahnya dilapisi terlebih dahulu

dengan pasir dan ditutup bagian atasnya dengan pasir pula setelah selesai

pengumpulan telur.

93

Pemanenan terhadap induk betina C. insculpta umumnya dilakukan secara

bersamaan pada saat melakukan pengecekan terhadap sarang dan ditujukan untuk

pemenuhan pangan para pecari (lokal) selama melakukan perburuan telur. Jumlah

induk betina yang ditangkap tidak terbatas jumlahnya didasarkan atas

pertimbangan jumlah anggota pencari (keluarga) dan sebagai persediaan makanan

apabila tidak mendapatkan induk di hari berikutnya. Induk yang ditangkap saat

pengecekan sarang adalah induk yang selesai membuat sarang tetapi belum

sempat kembali ke air atau induk yang terlambat naik ke pasir (menjelang pagi).

Apabila ditemui maka induk segera dibalik dengan plastron menghadap ke atas

yang membuatnya tidak bisa bergerak kembali ke sungai. Selain pemanenan

induk yang dilakukan saat pengecekan sarang di pagi hari, pemanenan induk juga

dilakukan pada saat matahari tenggelam dimana induk terlihat mulai bermain atau

berkumpul di air dekat tepi pasir.

Pada keseluruhan responden, didapati semuanya mengkonsumsi daging

dari induk betina sedangkan yang pernah menjualnya sebanyak 4 (empat)

responden dimana jumlah yang pernah dijual masing-masing responden sebanyak

1 (satu) ekor dengan harga jual Rp 50.000. Penjualan induk dilakukan atas

pesanan dengan lokasi penjualan induk dilakukan di Jinak bersamaan saat

masyarakat kesana membeli kebutuhan hidup.

3.2. Pembahasan

3.2.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta

Pemanfaatan masyarakat lokal terhadap telur dan induk C. insculpta pada

wilayah Sungai Vriendschap dilakukan selama musim peneluran yaitu pada bulan

Agustus – Desember. Pada rentang bulan tersebut masyarakat lokal keluar dari

kampungnya dan membuat bivak (pondok) disepanjang sungai untuk

memudahkan proses pemanenan karena jarak yang cukup jauh antara lokasi

kampung dengan Sungai Vriendschap. Sebaran dan luas wilayah pemanfaatan

terjadi di seluruh wilayah sungai mulai dari muara Vriendschap (pertemuan

dengan Sungai Catarina) sampai ke hulu Sungai Vriendschap yang bertemu

dengan muara Sungai Baliem dan Sungai Seng, yang meliputi sungai utama, anak

sungai, rawa-rawa dan aliran-aliran air dimana terdapat kumpulan pasir.

94

Jumlah pasir peneluran yang terdata di wilayah Sungai Vriendschap

meliputi wilayah pemanfaatan Bor (Rawa) sebanyak 15 dengan total luas pasir

peneluran sebesar 30.38 Ha dan pada wilayah Bor (Sungai) sebanyak 6 dengan

total luas pasir peneluran sebesar 22.78 Ha. Pada wilayah pemanfaatan Obokain

jumlah pasir peneluran yang terdata sebanyak 14 dengan total luas pasir peneluran

sebesar 28.82 Ha, pada wilayah Indama sebanyak 6 dengan total luas pasir

peneluran sebesar 8.74 Ha, dan pada wilayah pemanfaatan Sumo jumlah pasir

peneluran yang terdata sebanyak 7 dengan total luas pasir peneluran sebesar 24.96

Ha. Pada wilayah Bor (Sungai) dan Sumo jumlah pasir yang terdata lebih sedikit

karena saat pendataan terdapat beberapa pasir peneluran sudah muncul tetapi

masih tergenang oleh air.

Dari 5 (lima) wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap terlihat bahwa

pencari telur di wilayah adat Obokain mempunyai peluang mendapatkan

penghasilan lebih baik dari para pencari telur di 4 (empat) wilayah lainnya (Bor

rawa, Bor sungai, Indama dan Sumo) disebabkan jumlah sarang cukup banyak

terdapat pada wilayah tersebut. Jumlah sarang yang tinggi pada wilayah Obokain

dapat berkaitan dengan pemilihan tempat peneluran yang mereka sukai dan sifat

C. insculpta yang melakukan pergerakan seperti reptile pada umumnya yaitu

kembali ketempat dimana mereka menetas. Berkaitan dengan sifat penyu yang

umumnya menunjukkan kesetiaan pada satu atau dua tempat bersarang setiap

tahunnya (Rowe et al. 2005), maka lokasi pemanfaatan di wilayah Obokain

Sungai Vriendschap diprediksi merupakan pemilihan tempat bersarang yang

disukai oleh C. insculpta. Pergerakan yang dilakukan C. insculpta ke wilayah

Obokain dipengaruhi oleh gerakan yang paling mencolok pada amfibi dan reptil

seperti migrasi penyu dari tempat menetas menuju tempat makan sebagai remaja

dan bertahun-tahun kemudian kembali ke pantai peneluran sebagai penyu dewasa

(Rowe 2005; Vitt dan Calwell 2009).

3.2.2. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Alam, dan Sistem

Ekonomi

Secara umum, mata pencaharian masyarakat lokal di Sungai Vriendschap

masih berupa peramu dimana kebutuhan pokoknya masih bergantung cukup

95

tinggi terhadap sumberdaya alam. Kondisi seperti ini umum ditemui pada

masyarakat lokal di Papua yang akses menuju dan keluar wilayahnya cukup jauh

atau sulit. Gambar II.3 menunjukkan 41.67% responden murni berprofesi sebagai

pencari gaharu dan 16.67% murni berprofesi sebagai petani. Diluar kedua profesi

murni ini, profesi sebagai pencari gaharu merupakan profesi yang juga dilakukan

oleh responden lainnya yang tidak bekerja sebagai pencari gaharu murni. Saat

musim peneluran, responden mengalihkan profesinya dengan mencari telur dan

kembali ke profesi semula saat musim peneluran selesai. Profesi perburuan telur

dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomi langsung berupa uang tunai agar bisa

memenuhi kebutuhan bahan makanan, transportasi dan simpanan uang.

Diantara masyarakat lokal yang masih bersifat peramu di bagian Selatan

Papua adalah masyarakat Suku Kamoro (Muller 2005), menggantungkan

kebutuhan hidupnya dengan berburu seperti babi, menangkap ikan dan meramu

sepanjang tahun, dan memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar musiman seperti

buah-buahan, sayuran hutan hujan, kura-kura, dan sejumlah jenis burung musim

tertentu. Etika kerja masyarakat Papua yang hidup berkelompok di daerah rawa

mengandalkan sagu untuk kelangsungan hidupnya (misalnya, masyarakat Asmat,

Kamoro, Waropen, Bauzi, dan Inawatan) yang berpusat pada upaya-upaya untuk

memenuhi kebutuhan mendesak (misalnya, mengumpulkan cukup makanan untuk

kebutuhan sehari) dan tidak melakukan kerja sebagai investasi untuk masa depan

(Kartikasari et al. 2012).

Mengkonsumsi telur sebagai sumber protein pada masyarakat lokal sudah

tidak menjadi prioritas utama karena telur lebih diutamakan dijual atau ditetaskan

terlebih dahulu untuk dijual dalam bentuk tukik. Konsumsi telur hanya dilakukan

terhadap telur yang diprediksi tidak menetas (rusak) atau pada saat kebutuhan

bahan makanan sudah tidak ada dan belum sempat mencari di hutan. Masyarakat

lokal yang tidak mempunyai perahu atau perahu lama yang dimiliki sudah rusak

ataupun alasan lainnya yang mendesak, maka pada tahap awal penjualan telur

dilakukan dengan sistem barter dimana sejumlah telur ditukar dengan satu set

perahu (perahu lengkap dengan mesinnya). Keuntungan bagi masyarakat lokal

dengan sistem barter adalah mereka dapat memperoleh barang barterannya

terlebih dahulu walau belum menyerahkan atau melengkapi jumlah telur. Setelah

96

jumlah telur tercukupi untuk barter dengan perahu yang dibutuhkan maka telur

selebihnya yang terkumpul ditetaskan dan dijual dalam bentuk tukik. Jumlah

(penjualan) telur yang dilakukan dengan sistem barter tidak ada ketentuan atau

standar, semuanya tergantung kepada tawar menawar antara pemilik modal yang

juga merangkap pencari telur dari luar dengan masyarakat lokal yang mempunyai

wilayah adat sekaligus sebagai pencari telur lokal. Kondisi tersebut

mengakibatkan terdapat perbedaan antara jumlah telur yang dibarter pada setiap

wilayah pemanfaatan atau pada setiap kelompok pencari telur.

Pada kondisi sebelumnya, pencari lokal hanya menjual sejumlah telur

secara barter dengan satu set perahu. Apabila jumlah telur barter telah tercukupi

dan ada kelebihannya maka dilakukan barter kembali (berulang) seperti

kesepakatan semula. Kekurangan jumlah telur untuk melengkapi nilai barter telur

dan perahu akan ditebus oleh pencari telur pada tahun berikutnya. Sistem barter

seperti ini dapat memberikan surplus perahu kepada masyarakat lokal tetapi tidak

memberikan nilai simpanan dari segi keuangan. Saat ini sistem yang digunakan

oleh pencari lokal dengan pencari dari luar meliputi 3 (tiga) model yaitu sistem

barter murni, kombinasi sistem barter dan jual tukik, dan sistem menjual tukik

murni. Sistem barter murni masih didapati pada para pencari lokal yang baru

pertama kali mencoba peruntungan dalam pemanenan telur, sedangkan kombinasi

sistem barter dan jual tukik serta sistem menjual tukik murni didapati pada pencari

lokal yang sudah mempunyai pengalaman pencarian dalam beberapa tahun.

Sistem kombinasi maupun sistem menjual tukik murni dirasakan oleh beberapa

kelompok masyarakat lokal lebih memberikan keuntungan karena selain

mendapatkan perahu dan dukungan logistik (bahan makanan dan bensin),

kelebihan keuntungan dapat diterima dalam bentuk uang tunai yang dapat

disimpan maupun digunakan untuk membeli kebutuhan hidup seperti bahan

makanan dan bahan bakar minyak (bensin) dalam mendukung sarana transportasi.

Penjualan tukik ada yang dilakukan sendiri oleh pencari lokal (sistem menjual

tukik murni) dan ada yang menjualnya berkolaborasi dengan pencari dari luar

(tukik dijualkan oleh pencari dari luar).

Dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 diperoleh jumlah sarang

disepanjang wilayah Sungai Vriendschap sebanyak 132 buah dengan rata-rata

97

jumlah telur setiap sarang adalah 20.05 ± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34),

sehingga dari 132 sarang diperoleh rata-rata jumlah telur yang dipanen adalah

2.647 butir (kisaran = 924 – 4.488). Didasarkan pada asumsi jumlah sarang yang

terdata, harga jual rata-rata tukik di wilayah Sungai Vriendschap, dan seluruh

telur yang dipanen berhasil menetas, maka penghasilan rata-rata yang terkumpul

dari hasil penjualan tukik di sepanjang Sungai Vriendschap dalam rentang waktu

8 – 25 November 2011 sebesar Rp 46.322.500 dengan kisaran Rp 16.170.000 –

78.470.000. Apabila didasarkan pada harga tukik di Jinak, Waganu, Atsy maupun

Agats, maka penghasilan rata-rata yang terkumpul dari hasil penjualan tukik

sebesar Rp 105.880.000 dengan kisaran Rp 36.960.000 – 179.360.000. Nilai

perhitungan ini merupakan simulasi sederhana dengan asumsi yang melekat

didalamnya. Dalam kenyataannya penghasilan bersih setiap kelompok pencari

dapat berbeda disebabkan : 1) Nilai jual yang berlaku saat penjualan karena

masing-masing pencari mempunyai jalur tersendiri dalam memasarkan telur

maupun tukik, 2) persentase tetas telur yang dipanen, 3) perbedaan jumlah telur

yang berhasil dipanen, dan 4) pengeluaran terhadap bahan makanan, bahan bakar

minyak (bensin), dan kebutuhan lain yang digunakan selama musim perburuan.

C. insculpta diekspor dalam jumlah besar untuk perdagangan hewan

internasional langsung dari Selatan Irian Jaya (Papua), Indonesia, dieksploitasi

dan dikonsumsi secara lokal di Papua (Indonesia dan Papua New Guinea), dan

terancam punah oleh hilangnya habitat dan degradasi di Australia (IUCN 2010),

serta diperdagangkan illegal di Indonesia, Singapura, Jepang, Thailand, China,

USA dan Eropa (Georges et al. 2008a). Di dalam negeri tepatnya di pasar

Kemuning, Jakarta, C. insculpta dijual dengan harga Rp 800.000 (Daniel 2011)

dan di luar negeri khususnya di Singapura, C. insculpta di jual illegal secara

sembunyi-sembunyi dengan tidak menempatkan atau memajang di toko hewan

peliharaan dengan harga jual tahun 2007 berkisar 25 – 50 dolar Singapura untuk

panjang kerapas < 5 cm dan harga 100 dolar Singapura untuk panjang kerapas 5 –

10 cm (Goh dan O’Riordan 2007). Dengan kurs 1 $ Singapura sebesar Rp 7.500

(kurs tanggal 25 Juli 2012) dan mengacu pada harga C. insculpta tahun 2007,

maka harga jual tukik C. insculpta di Singapura berkisar Rp 187.500 – 375.000

untuk ukuran kerapas < 5 cm, sedangkan anakan yang mempunyai ukuran sedikit

98

lebih besar (5 – 10 cm) diperoleh harga jualnya sebesar Rp 750.000. Untuk C.

insculpta yang dijual di Singapura, ukuran kerapas < 5 cm masih tergolong

ukuran tukik (anakan) hasil penetasan.

Pekerjaan masyarakat lokal yang bergantung dari sumberdaya alam tidak

terlepas dari pendidikan yang dimiliki. Pemukiman yang jauh dari pemerintahan

dan tingkat pendidikan yang rendah memberikan kontribusi bagi alternatif

pekerjaan yang dapat dilakukan. Tingkat pendidikan yang rendah juga dapat

memberikan dampak negatif bagi pemahaman tentang keberlanjutan populasi

suatu spesies. Hubungan pendidikan rendah dengan intensitas pemanfaatan

sangat tinggi (100%) yang diperlihatkan gambar II.4 tidak berarti menunjukkan

bahwa pendidikan rendah akan memberikan dampak intensitas pemanfaatan yang

tinggi pula, karena tidak ada jaminan dengan pendidikan tinggi dapat mengurangi

tingkat intensitas pemanfaatan telur, namun sulit untuk melihat korelasi diantara

keduanya karena tidak didapati sebaran intensitas pemanfaatan diluar intensitas

sangat tinggi (100%). Korelasi antara faktor-faktor lainnya seperti umur, suku,

kampung, pekerjaan pencari telur, frekuensi pemanenan, waktu perburuan dan

pengalaman perburuan telur terhadap intensitas pemanfaatan juga tidak dapat

dilakukan dengan alasan serupa.

Intensitas pemanenan telur yang sangat tinggi, tingkat pendidikan yang

rendah, nilai jual tukik yang terus meningkat seiring permintaan pasar, dan

pemanfaatan terhadap induk betina sebagai sumber protein secara bersamaan di

wilayah Sungai Vriendschap, secara perlahan dapat menyebabkan hilangnya

generasi dan akhirnya dapat menyebabkan kepunahan jenis dari Labi-labi

moncong babi. Kemungkinan tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin

terjadi karena hasil penelitian Eisemberg et al. (2011) di kawasan Kikori (PNG)

yang masyarakatnya melakukan pemanenan dan pemanfaatan Labi-labi moncong

babi seperti di wilayah Sungai Vriendschap, mendapati adanya penurunan ukuran

populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang terindikasikan dari

kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan yang sangat tinggi

oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk betina yang di

panen.

99

3.2.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta

Pada Gambar II.5 memperlihatkan sebaran responden didominasi oleh

Suku Momuna. Suku Betkuar hanya dijumpai di wilayah Bor (Rawa) sedangkan

Suku Mapi dijumpai di wilayah Bor (Rawa) dan Bor (Sungai). Suku Diai, Dini

dan Madura dijumpai di wilayah Obokain, dan Suku Momuna dijumpai di

wilayah Indama dan Sumo. Semua suku merupakan suku asli setempat kecuali

Suku Mapi yang berasal dari Kabupaten Mapi dan tinggal di Kampung Bor, dan

Suku Madura yang tinggal di kampung Jinak. Semua suku tinggal di wilayah

Sungai Vriendschap kecuali Suku Betkuar dan Suku Madura. Kampung Betkuar

letaknya tidak jauh dari Bor (Rawa) dan secara adat mengklaim bahwa wilayah

Bor (Rawa) merupakan wilayah adatnya, sedangkan Kampung Jinak letaknya jauh

dari Sungai Vriendschap.

Menurut BPS dan Bappeda Provinsi Papua Barat (2011), penduduk usia

produktif adalah penduduk berusia 15 - 64 tahun sedangkan penduduk usia tidak

produktif adalah penduduk yang berusia 0 – 14 tahun dan usia 64 tahun ke atas.

Gambar II.6 memperlihatkan bahwa seluruh umur responden (pencari telur)

berada pada kisaran umur produktif (20 - 50 tahun). Hal ini menggambarkan telur

C. insculpta memberikan rangsangan nilai ekonomi (jual) kepada masyarakat

lokal untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan mereka tanpa menyadari

pemanenan yang berlebihan di alam dapat menyebabkan turunnya populasi

bahkan kepunahan dari spesies bersangkutan. Sebaran pengalaman perburuan

responden memperlihatkan 50% responden mempunyai pengalaman berburu telur

lebih > 6 tahun. Pengalaman responden yang didapati memperlihatkan adanya

tren bahwa para responden telah lama menggeluti perburuan cukup lama. Tren

tersebut menggambarkan pula bahwa pekerjaan perburuan telur memberikan

dampak positif bagi peningkatan pendapatan masyarakat lokal sehingga terus

dilakukan di setiap musim peneluran, namun dikuatirkan menjadi salah satu

penyebab turunnya populasi bahkan kepunahan spesies C. insculpta.

Pemanenan telur yang mencapai intensitas sangat tinggi disebabkan

pemanfaatan telur bukan lagi digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan

tetapi lebih digunakan untuk pemenuhan nilai ekonomi masyarakat akibat dari

tingginya nilai ekonomi hasil penjualan anakan C. insculpta (tukik). Pemanfaatan

100

telur sebagai sumber pangan hanya dilakukan terhadap telur-telur yang

mengalami kerusakan atau diprediksi tidak menetas. Manusia merupakan faktor

utama yang menyebabkan rusaknya sarang dan hilangnya telur di alam yang dapat

berdampak pada putusnya generasi dan kepunahan labi-labi moncong babi

kedepannya. Indrawan et al. (2007) menyampaikan bahwa pemanfaatan

berlebihan terhadap spesies tumbuhan dan satwa seringkali menunjukkan pola

yang serupa dimana suatu sumber daya ditemukan, pasar komersial

dikembangkan untuk sumber daya tersebut dan penduduk lokal dikerahkan untuk

mendapatkan dan menjual sumber daya. Ketika sumber daya yang dieksploitasi

mulai berkurang, harga ikut meningkat dan menciptakan insentif besar untuk

eksploitasi berlebihan, menyebabkan sumber daya menjadi langka dan bahkan

punah.

3.2.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys insculpta

Maraknya pemanenan telur C. insculpta tidak terlepas dari tingginya nilai

jual telur maupun tukiknya yang berdampak terhadap semakin baiknya

pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat lokal. Mencari dan memanen telur C.

insculpta sudah merupakan suatu pekerjaan yang menghasilkan pendapatan cukup

baik bagi masyarakat lokal, dan dengan kondisi saat ini pekerjaan perburuan telur

dapat digolongkan sebagai pekerjaan utama bagi mereka. Pekerjaan ini lebih

menguntungkan bagi masyarakat lokal karena jaminan mendapatkan uang dari

telur atau tukik cukup baik dengan hanya melakukan pengecekan sarang dan

pengumpulan telur di pagi hari menggunakan perahu. Berbeda dengan pekerjaan

sebagai pencari gaharu yang penuh resiko keluar masuk hutan atau rawa dalam

rentang waktu 3 - 6 minggu namun hasil yang didapatkan tidak pasti, kadang

beruntung bisa membawa pulang kayu gaharu untuk dijual, kadang pula tidak

mendapatkan apa-apa.

Pada beberapa komunitas masyarakat lokal, sumber daya kura-kura air tawar

mempunyai nilai yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein maupun

digunakan dalam ritual-ritual adat. Pemanfaatan kura-kura air tawar C. insculpta

sebagai sumber pakan oleh penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap

(Asmat) telah berlangsung secara turun temurun (Triantoro dan Rumawak 2010),

101

dengan tingkat eksploitasi C. insculpta (di Indonesia dan PNG) sangat tinggi

sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri hewan peliharaan

internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap penampilan satwa

unik ini (Georges et al. 2008a). Triantoro dan Rumawak (2010) mendeskripsikan

pemanfaatan secara turun temurun oleh penduduk lokal di wilayah Sungai

Vriendschap dapat dilihat dari budaya pemanfaatan induk C. insculpta sebagai

hantaran mas kawin kepada pihak perempuan dengan jumlahnya sesuai

permintaan pihak perempuan. Hantaran tersebut kemudian dimasak dan

dikonsumsi bersama-sama antara pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Lebih

jauh disampaikan bahwa saat ini budaya tersebut sudah tidak berlaku karena

semuanya lebih dihargai dengan uang akibat dari nilai ekonomi yang dapat

diperoleh masyarakat lokal dari penjualan telur. Masyarakat lokal mulai

mendapat nilai ekonomi dari telur Labi-labi moncong babi sejak sekitar tahun

2001 dengan harga dihitung per butirnya sedangkan nilai barter telur dengan

perahu dimulai tahun 2006 terhadap 1 orang dan kemudian mulai tahun 2008

diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat. Adanya pendapatan dari nilai telur

juga diikuti dengan semakin tingginya pemanfaatan daging Labi-labi moncong

babi oleh masyarakat lokal karena masyarakat lokal biasanya ke lokasi peneluran

dalam waktu cukup lama dengan bekal seadanya dan berharap atas bahan

makanan dari alam.

Penangkapan induk betina dalam jumlah besar biasa dilakukan oleh

masyarakat lokal sedangkan masyarakat non lokal (pencari luar) menangkap

apabila menginginkan variasi menu makanan di lokasi pencarian. Induk dewasa

ditangkap secara intensif terutama di saat musim peneluran, sebelum atau sesudah

induk bertelur dan membalikkan punggungnya (Georges et al. 2008b).

Penangkapan juga biasa dilakukan penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap

(Asmat) di musim peneluran saat induk labi-labi naik untuk bertelur, di tepi air

atau sungai, atau sehabis bertelur (Triantoro dan Rumawak 2010). Pencarian

induk dapat dilakukan juga dengan menyisiri tepi pasir menggunakan perahu.

Pemanenan seperti ini dilakukan apabila telah cukup lama tidak mendapati induk

pada saat pengecekan sarang atau telah kehabisan bahan makanan. Induk yang

telah ditangkap kemudian diangkut menggunakan perahu dan dimasukkan

102

kedalam kurungan (kandang) sederhana diatas tanah yang dibuat menggunakan

batang-batang kayu dengan membentuk persegi atau lingkaran. Pemanfaatan

induk C. insculpta di wilayah Sungai Vriendschap mengikuti jumlah kelompok

pencari, apabila dalam kelompok pencari terdapat 5 kepala keluarga maka

minimal induk yang di konsumsi dalam sehari adalah 5 induk betina.

Pemanfaatan induk betina C. insculpta lebih didasarkan pada keinginan

untuk mengkonsumsi dagingnya sebagai sumber makanan (protein) dibanding

untuk mendapatkan uang (dijual) atau alasan budaya. Beberapa alasan

masyarakat lokal mengkonsumsi daging Labi-labi moncong babi saat perburuan

adalah : 1) ingin mengkonsumsi daging, 2) persediaan bahan makanan dalam

proses perburuan telur terbatas, dan 3) ingin menghemat bahan makanan.

Georges et al. (2008b), C. insculpta disukai karena ukuran telur yang besar dan

mempunyai daging yang banyak. Sebagai gambaran pemanfaatan induk oleh

masyarakat lokal sebagai sumber makanan dapat dilihat pada Gambar II.7.

Keterangan : a. Sekumpulan kerapas Labi-labi moncong babi; b. Pemanfaatan induk Labi-labi

moncong babi untuk di konsumsi.

Gambar II.7 Sekumpulan sisa kerapas dan pemanfaatan induk Carettochelys

insculpta di wilayah Sungai Vriendschap

Dalam pengolahan terhadap daging, plastron akan dihilangkan agar bisa

mendapatkan daging beserta isi perutnya (usus, hati, jantung), dan biasanya akan

dimasak (direbus) bersama dengan ubi dan sayuran lainnya, sedangkan

pengolahan terhadap telur biasanya di rebus dan bisa dimakan langsung, dimasak

dengan nasi atau sagu, ataupun sebagai bahan penyusun biskuit dan kue (Georges

et al. 2008b). Pengolahan daging labi-labi pada masyarakat lokal di wilayah

Sungai Vriendschap (Asmat), dilakukan dengan cara dibakar diatas bara atau api,

bakar batu dan rebus dengan sedikit perbedaan dalam cara pengolahan dimana

a b

103

sebelum dimasak ada bagian daging yang dilepas dahulu dari plastron sebelum

dimasak (bakar dan rebus) dan ada bagian daging yang ditinggalkan pada plastrón

untuk dibakar bersama plastronnya (Triantoro dan Rumawak 2010).

Pemanfaatan induk yang tinggi secara terus menerus pada setiap musim

peneluran di wilayah Sungai Vriendschap dapat berdampak bagi turunnya

populasi kedepannya, tetapi apabila pemanfaatan dilakukan dengan bijaksana

dapat memberikan kesempatan C. insculpta melakukan regenerasi dan mendapat

nilai pemanfaatan yang berkesinambungan. Eksploitasi komersial secara teratur

menyebabkan pemanenan yang berlebihan dan merupakan kepedulian utama

konservasi, namun konsumsi keluarga lokal juga menggerus populasi dari spesies

yang ditargetkan ketika penduduk lokal tergantung pada satwa liar sebagai sumber

utama dari sumber protein (Vitt dan Caldwell 2009). Pada masyarakat lokal di

Sungai Vriendschap, pemanfaatan saat ini tidak memberikan kesempatan C.

insculpta untuk melakukan regenerasi karena seluruh telur diambil (dipanen) dan

induknya di konsumsi. Pemanfaatan berkesinambungan dapat terjadi apabila telur

tidak diambil seluruhnya dari alam dan konsumsi induk dapat dikurangi.

Kepercayaan (legenda) pada masyarakat lokal di Sungai Vriendschap bahwa

Labi-labi moncong babi merupakan hasil kutukan seorang suami yang marah

akibat istrinya berzinah dengan laki-laki lain yang dimunculkan dalam bentuk

Labi-labi moncong babi jantan dan betina, tidak memberikan dampak positif bagi

konservasi Labi-labi moncong babi karena legenda ini sudah hampir hilang dan

tidak ada pantangan dalam mengkonsumsinya (Triantoro dan Rumawak 2010).

Pada komunitas masyarakat Aborigin, intensitas pemanenan terhadap induk kura-

kura leher ular (Chelodina rugosa) cukup rendah dan hal tersebut dapat

memberikan kesempatan bagi C. rugosa untuk bertahan dan berkembangbiak

dengan baik karena pemanenannya dilakukan atas dasar kebutuhan ritual budaya

(Fordham et al. 2006). Perbedaan jumlah individu juga didapati berbeda antara

daerah pemujaan (veneration area) yang tidak tereksploitasi dengan daerah

pemanenan (harvest area) dimana dengan luas area relatif sama di setiap lokasi,

jumlah kura-kura darat Kinixys homeana dan Kinixys erosa ditemui jauh lebih

banyak di daerah pemujaan dibandingkan jumlah kura-kura darat yang ditemui di

daerah panen (Luiselli 2003).

104

Pemanfaatan C. insculpta sebagai sumber makanan oleh masyarakat lokal

tidaklah mengherankan karena wilayah mereka di dominasi oleh sungai dan rawa

yang memungkinkan sumber makanan alaminya berasal dari satwa yang hidup di

air. Disamping itu, pemanfaatan satwa dari kelompok kura-kura besar atau penyu

sebagai sumber makanan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang berdiam di

wilayah Sungai Vriendschap tetapi banyak dilakukan pula oleh masyarakat

dibanyak tempat dengan intensitas pemanfaatan yang berbeda. Magnino et al.

(2009) menyampaikan bahwa berkenaan dengan konsumsi dari berbagai jenis

reptil liar yang ditangkap, daging dan telur penyu mungkin yang paling banyak

dieksploitasi di seluruh dunia. Selanjutnya Caputo et al. (2005) menyampaikan

bahwa eksploitasi terhadap penyu sebagai sumber makanan telah lama dianggap

faktor utama yang berkontribusi terhadap penurunan populasi.

105

4. SIMPULAN

Pemanfaatan sumberdaya labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap

telah dilakukan oleh masyarakat tradisional yang membagi wilayah pemanfaatan

menjadi 5 (lima) wilayah adat. Dari tiga wilayan adat yang diamati, ada dua

wilayah yang bekerjasama dengan pencari telur dari luar sedangkan pada satu

wilayah adat tidak didapati adanya kerjasama. Perburuan telur yang terjadi

menciptakan sistem perdagangan di lokasi perburuan yang meliputi sistem barter,

kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung tukik, dan sistem

penjualan tukik langsung kepada pembeli. Perburuan dan perdagangan terutama

dilakukan terhadap telurnya karena adanya nilai ekonomi, sedangkan perburuan

terhadap induknya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan makanan. Pemanenan

telur dilakukan terhadap keseluruhan sarang di seluruh wilayah adat tanpa

menyisakan satupun sarang yang utuh berisi telur di alam.

Pemanfaatan telur yang sangat tinggi diduga dapat memberikan dampak

negatif bagi kelestarian Labi-labi moncong babi di alam. Pendidikan masyarakat

lokal yang rendah, tingginya ketergantungan terhadap sumber daya alam,

tingginya permintaan untuk perdagangan (illegal), tidak adanya sumber

pendapatan yang tetap, dan belum adanya manajemen pengelolaan yang

menunjang pemanfaatan berkelanjutan, mendorong pemanenan terus berlangsung.

107

Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah Provinsi Papua Barat. 2011. Penduduk Asli Papua Di Provinsi

Papua Barat. Manokwari. Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi

Papua Barat.

Caputo FP, Canestrelli D, Boitani L. 2005. Conserving The Terecay

(Podocnemis unifilis, Testudines: Pelomedusidae) Through A Community-

based Sustainable Harvest of Its Eggs. Biological Conservation 126 : 84 –

92.

Daniel S. 2011. Perdagangan Reptilia Sebagai Binatang Peliharaan Di DKI

Jakarta [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam

dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk

Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-

KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam

dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk

Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-

KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1.

Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an

Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle

(Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation

144 : 2282 – 2288.

Fordham D, Georges A, Corey B, Brook BW. 2006. Feral Pig Predation

Threatens the Indigenous Harvest and Local Persistence of Snake-necked

Turtles in Northern Australia. Biological Conservation.

[GOK] Genting Oil Kasuri. 2009. Analisis Dasar Lingkungan Blok Kasuri PSC

di Kabupaten Fakfak dan Bintuni [Laporan Akhir]. Manokwari :

Kerjasama BP Migas dan UNIPA.

Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys

insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam :

Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA,

Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and

Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and

Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No.

5, pp. 009.1 – 009.17, doi : 10.3854/crm.5.009.insculpta.v1.2008,

http://www.iucn-tftsg.org/cbftt.

Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b.

Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with

Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta.

Wildlife Research 35 : 700 – 711.

108

Goh TY, O’Riordan RM. 2007. Are Tortoises and Freshwater Turtles Still

Traded Illegally as Pets in Singapore? Oryx Vol 41 No 1 (Short

communication).

Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2

(revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.

<www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].

Kartikasari SN, Marshall AJ, Beehler BM. 2012. Ekologi Papua. Jakarta.

Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II

Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February

2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES

Management Authority of Indonesia.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II

Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January

2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES

Management Authority of Indonesia.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II

Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to

31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES

Management Authority of Indonesia.

Leuteritz TEJ, Lamb T, Limberaza JC. 2005. Distribution, Status, and

Conservation of Radiated Tortoises (Geochelone radiata) in Madagascar.

Biological Conservation 124 : 451–461

Luiselli L. 2003. Comparative Abundance and Population Structure of Sympatric

Afrotropical Tortoises in Six Rainforest Areas: the Differential Effects of

“Traditional Veneration” and of “Subsistence Hunting” by Local People.

Acta Oecologica 24 : 157–163

Magnino S, Colin P, Dei-Cas E, Madsen M, McLauchlin J, Nöckler K, Maradona

MP, Tsigarida E, Vanopdenbosch E, Peteghem CV. 2009. Biological

Risks Associated With Consumption of Reptile Products. International

Journal of Food Microbiology 134 : 163 – 175.

Muller K. 2005. Keragaman Hayati Tanah Papua. Ismoyo F, Kilmaskossu A,

Kilmaskossu MSE, Lumatauw S, Nainggolan D, Prabawardani S,

penerjemah; Wanggai F, Sumule A, Editors. Manokwari. Universitas

Negeri Papua. Terjemahan dari : The Biodiversity of New Guinea.

Rowe JW, Koval KA, Dugan MR. 2005. Nest Placement, Nest-site Fidelity and

Nesting Movements in Midland Painted Turtles (Chrysemys picta

marginata) on Beaver Island, Michigan. The American Midland Naturalist

154 : 383 – 397.

Shepherd CR, Nijman V. 2007. An Overview of The Regulation of The

Freshwater Turtles and Tortoise Pet Trade in Jakarta, Indonesia. Traffic

Southeast Asia, Petaling Jaya. Malaysia.

109

Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong

Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap

Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan

Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen

Kehutanan.

UNEP-WCMC. 2011. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species.

[27 January 2011].

Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of

Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic

Press.

111

LAMPIRAN

113

Lampiran 1 Panduan pertanyaan pengumpulan data intensitas pemanfaatan

Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah

Sungai Vriendschap

Nama responden : Umur :

Suku :

Tempat tinggal :

Pendidikan : (Tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA)

1. Pekerjaan utama : PNS, POLRI, TNI, bertani, berburu (jenis utama), pedagang

2. Pekerjaan sampingan :

bertani : jenis komoditi, konsumsi, jual

berburu : jenis satwa, konsumsi, jual (dimana)

berdagang : jenis diperdagangkan, lokasi

3. Pemanfaatan Labi-labi moncong babi :

Telur : Konsumsi (per hari), Jual (telur/tukik), harga jual telur, harga jual

tukik, pengambilan telur (sarang baik, sarang kemungkinan rusak oleh

banjir/tergenang, keseluruhan sarang)

Induk : Konsumsi (per hari), Jual (induk/bagian, dimana), harga jual

(induk/bagian)

Alasan menjual, alasan konsumsi

Frekuensi perburuan : setiap hari, 2-4 hari sekali, ≥ 5 hari sekali

Lama di lokasi perburuan : 1-7 hari, 8 – 21 hari, > 21 hari

Seberapa lama mendalami perburuan Labi-labi moncong babi : 1 tahun, 1-

3 tahun, > 3 tahun