MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

22
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353) 332 MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN METODOLOGI QIYAS SEBAGAI UPAYA PENETAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA 1 NASRULLAH 1 STAI Auliaurrasyidin Tembilahan [email protected] Abstrak MUI is one of the competent organizations in seeking Islamic legal solutions to legal events occurring in the country. In implementing the function of providing legal fatwa, MUI uses a set of methodologies before its solution in the form of a fatwa. Qiyas is one method that serves as an extension of laws that have not existed, or irrelevant to use in the Indonesian context. This paper provides an overview of the use of qiyas methodology by MUI. With the qualitative method, this research can be seen the confusion of legal decision due to inconsistency of qiyas use. This is not because of the unmanaged methodology or the quality of the individual in operation, but more because of the weakness of courage in the business aspect. Katakunci: MUI, qiyas, hukum islam PENDAHULUAN Keputusan hukum yang ditetapkan melalui ijtihad adalah cerminan dari masalah yang berisifat lokal dan temporal. Artinya, pencarian/penggalian atas satu keputusan hukum belum akan dilakukan selama tidak ada kepentingan, masalah, atau peristiwa hukum yang menghendaki untuk diberikan pembenaran- pembenaran atas nama hukum, pada masa dan atau tempat tertentu. Pembenaran (legitimasi) hukum tersebut diproduksi berdasarkan norma-norma yang diakui, seperti budaya, sosial, dan agama. Tradisi penetapan hukum yang berlandaskan shari’at agama Islam dilakukan dalam disiplin ilmu Fiqh. Disiplin ini menyediakan kaidah- kaidah yang dinamis dan elastis guna mengakomodir permasalahan dalam berbagai setting tempat dan waktu, yang terhimpun dalam cabang ilmu ushul al-fiqh (legal theory) dan al-qawaid al-fiqhiyyah (legal maxim).Ushul al-Fiqh sebagai sebuah ilmu, berisi metodologi- metodologi perumusan dan

Transcript of MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Page 1: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

332

MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI);STUDI ATAS PENGGUNAAN METODOLOGI QIYAS SEBAGAI

UPAYA PENETAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

1NASRULLAH

1STAI Auliaurrasyidin [email protected]

AbstrakMUI is one of the competent organizations in seeking Islamic legal solutions tolegal events occurring in the country. In implementing the function of providinglegal fatwa, MUI uses a set of methodologies before its solution in the form of afatwa. Qiyas is one method that serves as an extension of laws that have notexisted, or irrelevant to use in the Indonesian context. This paper provides anoverview of the use of qiyas methodology by MUI. With the qualitative method,this research can be seen the confusion of legal decision due to inconsistency ofqiyas use. This is not because of the unmanaged methodology or the quality ofthe individual in operation, but more because of the weakness of courage in thebusiness aspect.

Katakunci: MUI, qiyas, hukum islam

PENDAHULUANKeputusan hukum yang

ditetapkan melalui ijtihad adalahcerminan dari masalah yang berisifatlokal dan temporal. Artinya,pencarian/penggalian atas satukeputusan hukum belum akandilakukan selama tidak adakepentingan, masalah, atauperistiwa hukum yang menghendakiuntuk diberikan pembenaran-pembenaran atas nama hukum,pada masa dan atau tempat tertentu.Pembenaran (legitimasi) hukumtersebut diproduksi berdasarkan

norma-norma yang diakui, sepertibudaya, sosial, dan agama.

Tradisi penetapan hukum yangberlandaskan shari’at agama Islamdilakukan dalam disiplin ilmu Fiqh.Disiplin ini menyediakan kaidah-kaidah yang dinamis dan elastisguna mengakomodir permasalahandalam berbagai setting tempat danwaktu, yang terhimpun dalamcabang ilmu ushul al-fiqh (legaltheory) dan al-qawaid al-fiqhiyyah(legal maxim).Ushul al-Fiqh sebagaisebuah ilmu, berisi metodologi-metodologi perumusan dan

Page 2: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

333

penetapan hukum yang beroperasidan terkait erat dengan teks-teksshari’at, sedangkan al-qawa’id al-Fiqhiyyah menyediakan kaidah-kaidah penalaran induktif yangdioperasikan untuk menghasilkanhukum dari keputusan-keputusanyang telah ada (yurisprudensi),setelah ditemukan kaidah-kaidahumum dari kodifikasi-kodifikasiputusan hukum tersebut.Fungsipraktis dari kedua cabang ilmu fiqhini adalah untuk menyediakanperangkat pencarian dan penetapanhukum atas kasus-kasus baru yangbelum terjadi pada masa lalu ataubelum pernah ada ketetapannya. Disamping itu, keduanya juga menjadialat uji atas keputusan yang telah –dan validasi atas keputusan yangsedang dan akan- dibuat (baca:epistemologi).

Indonesia -sebagai tempatproduksi hukum Islam- memilikiragam segmen sosial, yang terdiridari beragam suku, budaya, ras,bahasa, agama dan kepercayaan.Dalam hal agama, Islam bahkanbukanlah yang pertama. Ia telahdidahului oleh tradisi keberagamaanHindu-Budha, dan kepercayaan-kepercayaan. Untuk memproduksisebuah hukum yang berdasarkansyari’at Islam, setidaknya, hendaklahtidak bersinggungan secarakonfrontatif terhadap berbagaikeragaman tersebut. Dengan katalain, hukum yang diproduksi –untukkemudian diumumkan dalam bentukfatwa- memiliki sifat toleran.Untukkepentingan tersebut, diperlukanseperangkat metodologi yang

mapan dan akomodatif terhadapkeragaman tempat dan waktu dimana hukum diproduksi.Tradisipemikiran hukum Islamsesungguhnya telah memilikiperangkat metodologi ijtihad yangcanggih dalam menghadapi setiappermasalah pada berbagai zamandan tempat, diantaranya adalahQiyas.

Pengoperasian motodologiqiyas dalam tradisi pemikiran hukumIslam harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kualitas tertentuyang dikenal dengan sebutanMujtahid. Syarat yang ditetapkanoleh para Yuris Muslim -dalamtingkatnya yang tertinggi- sangatketat, sehingga disinyalir tidakbanyak orang yang memilikinyapada setiap zaman.Beberapa solusidalam pemenuhan syarat tersebutkemudian diajukan oleh beberapaulama tradisional, agar solusi hukumterus berlanjut sementara tidakterpenuhinya syarat mujtahid secarautuh. Dewasa ini di Indonesia, paraahli hukum beranggapan bahwaijtihad kolektif adalah langkah yangpaling strategis untuk kepentingantersebut. MUI (Majelis UlamaIndonesia) adalah salah satulembaga yang melakukan ijtihadsecara kolektif, untuk memberikanputusan-putusan hukum Islam diIndonesia.

Penelitian ini secara khususakan membicarakan tentang MUIdalam hal menggunakan qiyassebagai metodologi menggali hukumyang solutif bagi peristiwa-peristiwahukum yang terjadi di Indonesia.

Page 3: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

334

A. Metodologi QiyasIstilah Qiyas biasa digunakan

dalam beberapa disiplin kajiankeislaman yang berbeda, diantaranya hukum Islam, bahasa,kalam/teologi, dan logika/filsafat.Dalam kajian hukum Islam, qiyasditempatkan pada posisi keempatdari urutan dalil hukum, al-Qur’an,sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Qiyas lahirpaling belakang, ia dianggapsebagai prinsip, dasar atau sumberhukum yang keempat, sepertisumber-sumber lainnya. Sebenarnyaqiyas adalah salah satu cara ijtihaddan bukan sebagai sumber hukumseperti yang digambarkan padakeempat perangkat teori hukum diatas. Alasannya adalah ia bukanhujjah (otoritas) dan bukan pulasumber yang berdiri sendiri. Iamerupakan proses ijtihad yangsistematis untuk mengungkapketetapan hukum. Ia sepenuhnyabergantung pada sumber hukumyang lain, baik al-Qur’an maupunsunnah. Terkadang ia didasarkanpada Ijma’, yang juga mencaridukungan pada kedua sumbertersebut. Dengan demikian semuasumber tersebut saling terkait danpada dasarnya merujuk pada satusumber, yaitu al-Qur’an. Sedangkanfungsi qiyas dalam ushul al-fiqhuntuk memperluas hukum yangsecara tekstual tidak terdapat dalamal-Qur’an dan sunnah. Karena tidaksemua persoalan yang terjadi adapenjelasannya secara tekstual didalam al- Qur’an dan sunnah.

Qiyas, dalam disiplin bahasaArab, ditempatkan pada posisi ketiga

dalam deretan urutan dalil dalamcabang ilmu ini, yaitu al-sama’ ataual-riwayah, ijma’, dan qiyas. Fungsiqiyas dalam hal ini untukmemperluas kalam Arab dengancara mengqiyaskan pada polabahasa yang ada. Ibn Anbari (w. 557H) mendefinisikan qiyas sebagai“membawa (haml) far’” kepada aslkarena ada ‘illat dan memberlakukanhukm ashl kepada cabang tersebut.(Kamaluddin, 1987). Dengan katalain ketetapan hukum bagi kasuscabang (far’) didasarkan padaketetapan hukum kasus pokok (ashl)karena ada sifat yangmenghubungkan (washf jami’)antara keduanya. Definisi Ibn Anbariini terkesan mirip dengan definisiyang umum dalam ilmu HukumIslam, seperti yang diungkapkan al-al-Amidi, dengan mengutip pendapatAbu Husain al-Bashri,mengemukakan definisi qiyassebagai “penerapan hukum ashlkepada far’ karena ada kesamaan‘illat antara keduanya” (Saifuddin,1996)

Walaupun secara teknis tidaksama persis, kemiripan qiyasdalamilmu logika juga terlihat jelas denganpandangan dua disiplin di atas.Dalam ilmu logika, yang merupakansalah satu cabang filsafat, qiyasdipahami sebagai “menetapkansesuatu serupa dengan sesuatuyang lain” (Ahmad). Dalam ruangyang lebih teknis, ia beroperasi padapenetapan terhadap sesuatu yanginderawi, yang diperoleh dari duapremis. Pada setiap premis tersebutharus ada petunjuk yang sama,

Page 4: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

335

sehingga dapat ditarik hukumafirmatif ataupun negatif.Pembuktian yang meyakinkah hanyadapat diperoleh dengan caramembuat penalaran berdasarkanqiyas yang akurat (Muhammad,2007)

Al-Syafi’I membagi qiyasmenjadi dua macam. Pertama, qiyasyang tingkat kemiripan antara kasuscabang dengan kasus asal sangatidentik dalam esensinya. Kedua,qiyas yang memiliki keserupaandengan beberapa cabang. Untukyang disebut terakhir ini yang akandijadikan patokan adalah yangpaling banyak tingkat kemiripannya.Pembagian seperti inimemperlihatkan bahwaia berusahasedapat mungkin untuk menjagakonsistensi dalam persoalan qiyasini.

Unsur utama pembentuk qiyasdalam ushul al-fiqhatau strukturpembentuknya ada empat, yaitu,Hukumasal, cabang(far’), asal(ashl)dan‘illat. Mana kala membahasstruktur qiyas dalam ushulal-fiqh ini,hukum asal tidak dibahas secarakhusus, cukup disertakan denganpembahasan ketiga unsur lainnya,karena tidak terlalu signifikan.

1.Kasus AsalKasus asal merupakan salah

satu dari empat unsur pembentukqiyas. Terjadi perbedaan pendapatulama tentang definisi kasusasal.Menurut para teolog, ashl berartinash. Misalnya,ayat al-Qur’an yangmelarang minuman khamr atauhadith yang melarangtukar menukar

gandum dengan ukuran berat yangtidak sama, merupakan kasus asal(ashl). Al-Syaukani mendefinisikanashl sebagai nash yangmenunjukkan penentuan ketetapanhukum dalam objek kesepakatan.Pendapat ini dipegang oleh QadiAbu Bakral-Baqilani dan Mu’tazilah.Alasannya adalah karena nashmenjadi sandaran bagi yang laindan yanglainmenyandarpadanash,karena itu nash disebut ashl(Muhammad, 1986). Pendapatlainmengatakan kasus asal berartiketetapan hukum yang ditunjuk olehnash. Seperti tidak bolehnya minumkhamr dan larangan tukar-menukarjenis barang yang sama denganukuran yang tidak sama, yangditunjukkan oleh nash masing-masing. Pendapat ini dipegang olehAbu Husainal-BashridanFakhruddinal-Razi. Untukmendukung pandangan iniditegaskan bahwa ashl adalahsesuatu di mana sesuatu yang lainbergantung kepadanya, danpengetahuan tentang hal tersebutsangat penting untuk mengetahuiyang lainnya. Sifat seperti ini dapatditemukan dalam hukum yangditunjuk oleh nash, seperti laranganminum khamr di atas. Karena itu iaharus disebut ashl.

Menurut al-Amidi perbedaanpendapat seputar masalah inihanyalah perdebatan soal kata-kata(khilaflafzi). Sesungguhnya, hal itusangat terkait dengan makna kataashl itu sendiri. Ashl berarti sesuatuyang menjadi landasan bagi yanglain. Karena itu, Ketetapan hukum

Page 5: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

336

dapat menjadi ashl, karena hukumdalam kasus cabang didasarkanpadanya. Jika hukum merupakanashl dalam kasus pelaranganminum khamr, maka nash yangdengannya hukum diketahuimerupakan ashl bagi ashl yang lain(ketetapan hukum). Atas dasar ini,dengan cara apapun hukum tentangminum khamr diketahui, baikmelalui Ijma’ atau lainnya, ia dapatmenjadi ashl (Saifuddin, 2003).Lebih jauh al-Amidi berpendapatbahwa objek hukum lebih tepatdianggap ashl, Karena baikketetapan hukum maupun nashmenuntut keberadaannya, namuntidak sebaliknya, karena objek tidakselalu memerlukan nash atauhukum (Saifuddin, 2003).

2. Kasus CabangKehidupan selalu dinamis,

kondisi selalu berubah, situasibervariasi dan masalah berubahsejalan dengan perubahan sosial.Perintah-perintah tekstual yang adadalam al-Qur’an atau sunnahsecara teknis dikenal dengannushush, bentuk tunggalnya nash.Keputusan hukum yang didasarkanpada kesepakatan ummat Islammasalalu, yang juga merupakansumber hukum otoritatif yangnilainya sama dengan nash,tidaklah cukup untuk menjawabmasalah-masalah dan perubahan-perubahan yang muncul dalammasyarakat yang selalu berubah.Masalah-masalah kehidupan yangselalu berubah sesungguhnya takterbatas, sedangkan hukum-hukum

tekstual tetap dan terbatasjumlahnya. Adalah tidak mungkinmenyelesaikan yang tidak terbatasoleh yang terbatas (abu, 1979).Karena itu, penggunaan ra’y danqiyas dimaksudkan untuk mencarijawaban bagi masalah- masalahyang tidak diungkap oleh hukum-hukum tekstual tersebut. Kasus-kasus, situasi dan masalah-masalah baru yang tidak dijawabsecara langsung oleh hukum nassecara teknis disebut far’ (cabang)atau maqis (kasus yang diungkapmelalui qiyas). Adalah sulit untukmelacak asal-usul far’ atau maqisdalam literatur hukum klasik. Tidakditemukan kata far’ yang digunakanAl-Shafi’I dalam pengertian kasusbaru yang selaras dengan kasusyang diungkap oleh hukum nash.Untuk kasus yang serupa dengankasus asal ia menggunakan katashay’ (sesuatu atau objek) (Al-Syafi’I, 1921). Tentu saja iamenggunakan istilah maqis‘alaih(kasusasal). Kemungkinan besar iamemahami dan menyadaripenggunaan istilah maqis(kasuscabang). Namun AbuBakaral-Jashshas (w. 270 H) seringmenggunakan istilah far’ untuk artikasus cabang (Abu, 1979). Inimenunjukkan bahwa istilah far’telah digunakan oleh para ahli fiqhpada abad ke-3 dan ke-4 Hijrah.Tetapi tidak diketahui dengan pastisiapa orang pertama yangmenggunakan istilah ini.

Definisi far’, seperti jugadefinisi ashl, diperdebatkan olehahli fiqh. Mereka yang berpendapat

Page 6: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

337

bahwa hukum kasus asal disebutashl menegaskan bahwa hukumkasus cabang adalah far’. Misalnyajika hukum minum khamr disebutasl, hukum minum nabidz (minumanyang terbuat dari kurma) disebutfar’. Kelompok lain mengatakanbahwa objek (mahall) adalah asldan far’, dan bukan hukum.

Dalam contoh diatas, nabidzadalah far’ dan bukan hukumtentangnya. Al-Amidi berpendapatlebih baik menyebut hukum turunantentang objek dengan far’ danobjeknya sendiri dengan asl. Lebihbaik menyebut khamr dengan aslketimbang menyebut nabidzdengan far’, karena khamr adalahkasus asal. Sebaliknya nabidzadalah objek asal yang berlakubaginya hukum turunan, dan bukanhukum turunan itu sendiri(Saifuddin, 2003)

Al-Bashri memberikan definisifar’ menurut fuqaha’. Para teologmember definisi tentang far’sebagai ketetapan hukum yangharus ditetapkan melalui sebab-akibat, seperti keburukanmelakukan perbuatan zina. Fuqaha’mendefinisikan far’ sebagai kasusatau objek yang hukumnya dicarimelalu qiyas. Far’ juga didefinisikansebagai kasus yang hukumnyadiperluas dari kasus lain, atau objekyang hukumnya diketahui ditingkatsekunder. Ia disebut far’ karenaketetapan hukumnya diambil darihukum kasuslain. Tetapi al-Basrisendiri lebih menyukai pendapatpara teolog yang menganggapketetapan hukum atau hukum

turunan sebaga ifar’, dan bukanobjeknya itu sendiri seperti diakuioleh fuqaha’ (Abu, 1982)

Pada abad-abad kemudian,definisi baru tentang asl dan far’muncul sebagai akibat kontroversimasalah sebelumnya. Fuqaha’menyebut titik kesepakatan(mahallal-wifaq) dengan ashl dantitik perbedaan (mahall al-khilaf)denganfar’ (Muhammad alSyaukani, tt)

Namun demikian, tetap tidakjelas apakah objek benar-benar far’atau hukum tentangnya. Titikkesepakatan (mahallal-ittifaq)berarti objek atau kasus yang tidakdiketahui atau diperdebatkan. Inimenunjukkan bahwa objek adalahfar’ dan bukan hukum tentangnya.

3.’IllatUnsur pembentuk qiyas

berikutnya adalah ‘illat. Al-Bazdawidanal-Syarakhsi menyebut‘illat dengan unsur esensial qiyas(ruknal-qiyas). Dengan memberjudul bab “Fashlfial-Rukn” atau“Babal-Rukn” (bab tentang unsuresensial), yang mereka maksudkanmungkin adalah bahwa ‘illat itusendiri adalah qiyas, sedangkanunsur-unsur lain berperan sebagaisyarat-syarat untuk menentukanketetapan hukum. Al-Bazdawimengatakan unsure yang mendasar(ruknal-qiyas) adalah kualitas yangditunjuk sebagai penanda bagiketetapan hukum nash, di antarakualitas-kualitas yang dikandungoleh nas, danyang menjadi dasarbagi ketetapan hukum tersebut

Page 7: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

338

berlaku bagi kasus cabang karenaadanya kualitas yang samadidalamnya (Abu Bakaral-Sharakhsi, 1954). Ketika Sharakhsimenjelaskan hal ini, ia melihatbahwa unsure mendasar (rukn)sesuatu itu adalah dasar bagitegaknya sesuatu dan qiyasdibangun di atas kualitas ini (yakni,‘illat dan sebab) (Abu Bakaral-Sharakhsi, 1954)

Secara literal ‘illat berartiaksiden (‘aridh) yang dengannyakualitas suatu objek berubah darisuatu kondisi kekondisi lain ketikaia diterapkan, seperti perubahandari sehat ke sakit dan dari kuat kelemah. Dengan katalain, ‘illatmerujuk pada sebab perubahanpada kondisi sesuatu. Karena ituaksiden (‘aridh) disebut ‘illat.Pendapat lain menegaskan bahwa‘illat berasal dari kata ‘alal yangberarti minum air kedua kalinyayang dilakukan oleh binatangsetelah sebelumnya ia minum.Jelasnya, ‘illat berarti minum airberulang-ulang. Pandanganberikutnya menyatakan bahwa ‘illatadalah sesuatu yangmempengaruhi sesuatu yang lain,apakah yang dipengaruhi itukualitas atau esensi dan apakah iamempengaruhi perbuatan ataudiamnya sesuatu. Misalnya, sifatmemabukkan merupakan ‘illatdatangnya hukum haram bagikhamar. Penyakit disebut ‘illatkarena ia mempengaruhi kesehatanseseorang yang menjadikannyalemah dan menghalangi seseorangmelakukan berbagaikegiatan.

Berikut ini akan diterapkanmakna-mana ‘illat di atas padadefinisi ‘illat yang diterapkan dalamkonteks hukum. Menurut maknayang pertama, kualitas yangmempengaruhi ketetapan hukumdisebut ‘illat, karena kondisi hukumtekstual berubah olehnya dari yangkhusus keumum. Sebelummenentukan ‘illat, ketetapan hukumterbatas hanya pada kasus yangdisebutkan dalam nash. Tetapisetelah ditemukan kualitas yangmempengaruhi ini, ketetapanhukum yang terkandung dalamnash secara eksternal berubah dariyang khusus ke umum. Sekarangketetapan hukum yang sama akanberlaku pada kasus lain jika ‘illatyang sama ditemukan pada kasuslain itu. Menurut makna yangkedua, kualitas ini disebut ‘illatkarena ketetapan hukum ditentukansecara eksternal oleh makna ini,dan ketetapan hukum berulangdengan perulangan kualitasini.Karena seorang ahli hukummemikirkan secara berulang-ulangmasalah yang berkaitan denganqiyas, tindakan berpikirnya tentangalas anlogis penetapan hukum itudisebut ‘illat. Menurut makna yangketiga, kualitas ini disebut ‘illat, iaberpengaruh dalam penetapanhukum apakah dalam kasus asalatau dalamk asus cabang(Muhammad, 1290)

Istilah ‘illat secara teknis telahdidefinisikan secara beragamseperti berikut : (1) Ideataudasar(ma’na) yang menuntut (yaqtadhi)atau menentukan ketetapan hukum;

Page 8: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

339

(2) Sesuatu yang berperan sebagaitanda (‘alam) bagi ketetapan hukumnas; (3) Sesuatu yang menunjukkan(mu’arrif) ketetapan hukum, yakniindikator (dalil) bagi adanyaperintah; (4) Sesuatu yangmempengaruhi (mu’atsir) dalamketetapan hukum, yakni yangmempengaruhi adanya ketetapanhukum; (5) Sesuatu yang berperansebagai motif (baits) bagi ketetapanhukum, bukan dengan jalanmewajibkan (ijab), tetapi sebagaikebijakan (hikmah) atau kebaikanumum (mashlahah) yangditunjukkan oleh pemberi hukumketika memberikan ketetapanhukum; (6) Sesuatu yangmeniscayakan ketetapan hukumdengan sendirinya (mujiblial-hukm),pendapat ini dianut oleh Mu’tazilah;(7) Sesuatu yang mengharuskanketetapan hukum, bukan dengansendirinya, tetapi berdasarkanotoritas pemberi hukum; (8)Sesuatu yang meniscayakanketetapan hukum, karena watakatau kebiasaannya. Pendapat inidianut oleh Fakhruddinal-Razi.

METODOLOGIAgar penelitian menjadi

terarah, diperlukan sebuahmetodologi penelitian. Penelian inimerupakan penelitian kepustakaan(Library Research), yangdioperasikan untuk mengeksplorasidan mengenerallisasikan dokumen-dokumen yang berkenaan denganteori-teori seputar qiyas, keputusan-keputusan hukum oleh lembaga-lembaga hukum, yang berupa teori-

teori, konsep-konsep, ataupernyataan-pernyataan tertulis paraahli berkenaan dengan masalahyang dibahas, yang disajikan dalambentuk deskriptif, untuk kemudiandianalisis menggunakan metodeberfikir deduktif dan induktif.Dengan demikian ia juga merupakanpenelitian dengan metode penelitankualitatif (Lexy, 1996).

HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 MAJELIS ULAMA

INDONESIA (MUI)

4.1.1 Sekilas Sejarah MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI)merupakan wadah musyawarahpara ulama, zu’ama, dancendikiawan muslim serta menjadipengayom bagi seluruh muslimIndonesia (MUI, 2011). Sejarahresmi MUI mencatat bahwaorganisasi ini lahir pada 26 Juli 1975bertepatan dengan 7 Rajab 1395 H(Majelis Ulama Indonesia, 2011),sebagai hasil dari pertemuan danmusyawarah ulama (MohammadAtho Mudzhar, 1993) yang datangdari berbagai penjuru Indonesia.Peserta yang dimaksud adalah wakil26 orang wakil dari 26 Provinsi, 10orang ulama yang merupakan unsurdari ormas-ormas Islam tingkatpusat, yaitu, NU, Muhammadiyah,Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMIdan al Ittihadiyyah, 4 orang ulamadari Dinas Rohani Islam, AD, AU, ALdan POLRI serta 13 orangtokoh/cendekiawan yang merupakantokoh perorangan. 53 orang peserta

Page 9: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

340

tersebut, di akhir Muktamarmenandatangai sebuah deklarasiyang dikenal dengan “PiagamBerdirinya MUI” (Muhammad atho,1993)

Berdirinya MUI tidak sertamerta dipahami sebagai langkahmaju eksistensi Islam di Indonesia.Sebagian masyarakat muslimbahkan tetap mencurigai MUIsebagai alat bagi kepentingan politikdan kekuasaan, meskipun posisiMUI bukan merupakan lembagapemerintah. Setidaknya ada tigaperistiwa penting sebelum berdirinyaMUI, yang menjadi indikator pentingdugaan unindependensi MUI dalamhubungannya dengan pemerintah;pertama, berhubungan dengankemunduran politik umat IslamIndonesia yang kalah pada Pemilu1971, di mana setahun sebelumnya(1970), gagasan pendirian majelisulama telah dilontarkan saatlokakarya Pusat Dakwah Islam.Gagasan ini kemudian diyakinisebagai strategi pemerintah untukmemecahkan perhatian kaumMuslimin dan campur tanganpemerintah terhadap hubunganulama dengan masyarakat muslim.Hal ini lebih nyata terlihat padalokakarya 1974, atas saran danpersetujuan presiden, agar segaramemulai dengan membentuk MajelisUlama tingkat daerah. Pembentukantersebut berjalan cepat karenaketerlibatan pemerinatah. Semuaperwakilan majelis ulama yangdibentuk pemerintah inilah yangkemudian menjadi anggotaMuktamar yang ikut

menandatangani piagam pendirianMUI.

Kedua, tekanan yangdilakukan pemerintah agar partaiIslam menanggalkan atribut Islamdan mendesakkan fusi ke dalamsatu partai berdasarkan kesamaanorientasi; Nasionalis, Protestan, danKatolik digabung dalam PDI,sedangkan Partai-Partai Islamkontestan pemilu 1971 digabungdalam PPP. Kenyataan ini adalahbentuk nyata pemerintah untukmembatasi gerakan Umat Islam,yang dalam hubungannya denganpembentukan MUI adalah paradox.

Ketiga, peristiwa besar tentangrancangan UU Perkawinan yangmenimbulkan perlawanan besar darimasyarakat yang beranggapanbahwa Rancangan tersebut adalahupaya sekularisasi dan pencideraanterhadap Hukum Islam. Reaksitersebut kemudian ditanggapi seriusoleh pemerintah dan bersediamerubah beberapa pasal yangmenimbulkan gejolak. Pada kasusini, hubungan dengan terbentuknyaMUI, setidaknya dipahami sebagaiupaya pemerintah untuk menetralisirpandangan masyarakat yangmayoritas Muslim dalam rangkamenghadapi Pemilu yangdijadwalkan 1976 (Muhammad atho,1993).

Ketiga peristiwa sebagaimanadi atas, pada gilirannya berpengaruhpada penerimaan masyarakatIndonesia terhadap fatwa ataunasehat keagamaan oleh MUI,bahkan hingga sekarang. Sepertitanggapan Hizbut Tahrir Indonesia

Page 10: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

341

terhadap Fatwa MUI tentangmenggunakan hak pilih dalampemilihan Umum, Tanggapan HTIterdiri dari 6 point yang padadasarnya mewakili ideologi/keyakinan garis perjuanganorganisasi ini. Namun yang menjadisorotan di sini adalah tanggapanterhadap hal teknis dalampenetapan hukum, di mana HTImenganggap hukum ‘wajib-haram’oleh MUI tidak dapat diterima bilatidak ditetepkan bersamanyakulifikasi wajib kifa’ai/kolektif atau‘aini/perorangan.; (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/01/29/tanggapan-hizbut-tahrir-indonesia-terhadap-fatwa-mui-tentang-golput/, 2015).Tentang hal ini, komnas HAMbahkan memberikan tanggapanyang lebih keras. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21080/komnas-ham-kecam-fatwa-golput-haram, 2015) di manaMUI menetapkan bahwa memilihpemimpin yang beriman danbertakwa, jujur (siddiq), terpercaya(amanah), aktif dan aspiratif(tabligh), mempunyai kemampuan(fathanah), dan memperjuangkankepentingan umat Islam hukumnyaadalah wajib, dan tidak memilihhukumnya haram. (Majelis UlamaIndonesia, 2011)

4.1.2 Fatwa dalam MUIMUI memiliki beberapa fungsi,

diantaranya adalah sebagai ‘pemberifatwa kepada Umat Islam danPemerintah, baik diminta maupuntidak diminta’ (Majelis UlamaIndonesia, 2011). Sedangkan Usaha

yang dilakukan berkenaan denganfungsi pemberi fatwa ini dijelaskandalam pasal 6 (3) “memberikanperingatan, nasehat dan fatwamengenai masalah keagamaan dankemasyarakatan kepada masyarakatdan pemerintah dengan bijak(hikmah) dan menyejukkan”.

Ada tiga istilah yang digunakandalam merespons permasalahan didalam MUI, yaitu memberiperingatan, Nasehat dan fatwa.Namun pada prakteknya, setiapkeputusan baik berupa jawaban daripertanyaan, peringatan, nasehatatau fatwa, ditetapkan dengansebutan fatwa. Dalam itemkeputusannya, semua bentukrespons hanya ditetapkan dengandua diktum; yaitu menyebutkansubstansi hukum yang difatwakan,dan jika dipandang perlu, diberikanrekomendasi dan/atau jalan keluar(Majelis Ulama Indonesia, 2011).Tidak ada klassifikasi khusus untukfatwa terhadap masalah-masalahfiqhi-‘amali, atau masalah I’tiqadi,serta ‘aqli. Oleh karena itu,berdasarkan perspektif yang telahdibangun di bab sebelumnya, makakeputusan, fatwa, nasehat, usulan,atau rekomendasi MUI yangmerupakan respons terhadappemikiran/aliran-aliran, ataumasalah-masalah I’tikad, harusdiabaikan.

Terdapat perkembanganstruktur dalam penetapan fatwa diMUI sejak 1999, yang berkenaandengan masalah-masalah ekonomi,yang dalam rumusan kajian fiqhdisebut dengan fiqh mu’amalah.

Page 11: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

342

Struktur tersebut diberi nama DewanSyari’ah Nasional Majelis UlamaIndonesia (DSN-MUI). Dalam halmemberikan keputusan hukum yangberkenaan dengan kegiatanekonomi, perbankan dan keuangan,juga diberikan dalam bentuk fatwa.

Bentuk keputusan lain yangjuga ditetapkan dengan mekanismefatwa adalah penetapan fatwa halalyang diiringi dengan penerbitansertifikat halal bagi perusahaan obatdan makanan yang meminta. Dalamhal ini, sepanjang berkenaan denganperbuatan dan diduga melaluiproses penalaran qiyas,dipertimbangkan sebagai data untukmengidentifikasi bentuk penggunaanqiyas oleh MUI.

Dengan demikian diketahuibahwa fatwa MUI adalah segalapendapat final yang ditetapkan olehOrganisasi MUI melalui jalur-jalurorganisatoris tertentu terhadapsegala masalah yang dianggap perluditetapkan dengan sudut pandangajaran Islam. Keumuman dankeluasan cakupan fatwa dalamorganisasi ini tidak menghalangikajian ini untuk mengidentifikasi danmenganalisis karakteristikmetodologis penggunaan qiyassebagai salah satu metode ijtihadMUI, karena system penalaran yangmenjadi focus penelitian ini adalahpenalaran hukum fiqh, makapendapat yang dijadikan objek kajianberkenaan dengan masalah fiqhsaja. Secara umum kajian fiqh dibagiberdasarkan tema-tema tertentuyang secara garis besar dibagimenjadi dua, yaitu Ibadah dan

Mu’amalah. Logika ini akan kitaterapkan dalam pembahasanlanjutan dalam melihat qiyasdi MUI.Namun sebelumnya, perludipaparkan terlebih dulu prosedurpenetapan Fatwa oleh MUI, untukmelihat adakah teori ijtihad tertentuyang diyakini dan kecenderungan-kecenderungan pemikiranhukumnya.

4.1.3 Prosedur Penetapan FatwaDalam Pedoman dan

Prosedur Penetapan Fatwa MUI,pasal ketentuan umum bab 2 pasal 7disebutkan bahwa fatwa adalah“jawaban atau penjelasan Ulamamengenai masalah keagamaan danberlaku umum” (Majelis UlamaIndonesia, 2011). Sedangkan fatwayang dilakukan oleh MUI dijelaskandalam pasal berikutnya (pasal 8)yaitu “fatwa MUI tentang suatumasalah keagamaan yang telahdisetujui oleh anggota Komisi dalamrapat”. Bagian pertama adalah teoriumum tentang fatwa yang tidakhanya berlaku pada masalah-masalah fiqh-amali denganmenganalisis dalil-dalil shari’at yangzhanni, tetapi berkenaan denganseluruh permasalahan yang perludan patut direspons dengan kacamata Agama Islam. Sedangkan yangkedua berkenaan dengan fatwayang secara teknis dilakukan olehMUI, yang menyangkut prosedurdan metode penalaran serta teknispengambilan keputusan.

Fatwa yang dilakukan MUIsecara teori harus melewatiserangkaian prosedur organisatoris

Page 12: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

343

dan juga penalaran (ijtihad). Secaraorganisatoris, fatwa secara khususmenjadi tugas komisi fatwa. Namunpengumumannya terkadangdilakukan oleh komisi fatwa sendiriatau –dan bersama- MUI.Permasalahan yang dibicarakandalam MUNAS umumnya langsungdiumumkan melalui komisi C bidangFatwa. DSN-MUI, sebagaimanatelah disebutkan, sejak tahun 1999dibentuk oleh MUI -secara khususuntuk mengamati masalah-masalahekonomi, keuangan, dan perbankan-mulai tahun 2000 juga memilikikewenangan untuk menerbitkanfatwa, nasehat, peringatan, usulan,atau rekomendasi, terkait denganbidang garapannya.

Permasalahan yang ditanggapidan dicarikan keputusan hukumnyaadalah segala persoalan yangdihadapi masyarakat, baik diajukanke MUI atau tidak. Dalam hal ini MUImenjalankan fungsinya mewakilikepentingan umat Islam untukmengawal segala peristiwa yangterjadi di Indonesia agar tidakbertentangan dengan shari’at Islamsebagai agama yang paling banyakdianut masyarakat. Sejak tahun1975 hingga 2011 MUI telahmenerbitkan 14 fatwa bidang Akidahdan Aliran keagamaan, 37 fatwayang digolongkan bidang Ibadah, 86fatwa dalam bidang lain selainaqidah dan ibadah (Himpunan FatwaMUI, 2011). Beberapa fatwa yangdisebutkan Mohammad Atho’Mudzhar tidak dimuat dalam bukuHimpunan Fatwa tahun 1984 yangmenjadi rujukannya, sebagian ada

dalam buku Himpunan Fatwa tahun2011, seperti pemindahan Mayat,dan Bunga bank. Sedangkan fatwatentang buku Amran Hambri yangdianggap controversial, tuntunanbersembahyang dalam kaset,olahraga tinju, dan Gerhana (bulandan Matahari), tetap tidak ada dalambuku Himpunan Fatwa 2011(Mohammad Atho Mudzhar, 1993).Sedangkan fatwa yang diterbitkanmelalui DSN-MUI setidaknyaterdapat 53 fatwa hingga tahun 2006(Dewan Syari’ah Nasional MUI,2006).

Sebelum mengumumkanpendirian finalnya, MUI terikatdengan prosedur penetapankeputusan hukum, yang tertuangdalam Pedoman dan ProsedurPenetapan Fatwa. Pedoman yangmerupakan aturan pokok penalaranhukum/ijtihad MUI dihasilakanmelalui ijtima’ Ulama’ Komisi Fatwase-Indonesia tahun 2003. Langkah-langkah penalaran hukum/ijtihadMUI dibicaraan dalam bab 2 dan bab3. Bab 2 mengenai dasar umum dansifat fatwa terdiri dari 3 pasal, yaitu:1. Penetapan fatwa didasarkan

pada Al-Qur’an, Sunnah (hadis),Ijma’, dan Qiyas serta dalil lainyang mu’tabar.

2. Aktivitas penetapan fatwadilakukan secara kolektif olehsuatu lembaga yang dinamakanKomisi Fatwa.

3. Penetapan fatwa bersifatresponsive, proaktif, danantisifatif.

Page 13: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

344

Sedangkan bab 3 tentang metodepenetapan fatwa berisi 5 pasal,yaitu:1. Sebelum fatwa ditetapkan

hendaklah ditinjau lebih dahulupendapat para imam mazhabdan ulama yang mu’tabartentang masalah yang akandifatwakan tersebut, secaraseksama berikut dalil-dalilnya.

2. Masalah yang telah jelashukumnya hendaklahdisampaikan sebagaimanaadanya.

3. Dalam masalah yang terjadikhilafiah di kalangan mazhab,maka,a. Penetapan fatwa didasarkan

pada hasil usaha penemuantitik temu di antara pendapat-pendapat Ulama Mazhabmelalui metode al-Jam’u waal-taufiq; dan

b. Jika usaha penemuan titiktemu tidak berhasil dilakukan,penetapan fatwa didasarkanpada hasil tarjih melaluimetode muqaranah denganmenggunakan kaidah-kaidahUshul Fiqh Muqaran.

4. Dalam masalah yang tidakditemukan pendapat hukumnyadi kalangan mazhab, penetapanfatwa didasarkan pada hasilijtihad Jama’I (kolektif) melaluimetode bayani, ta’lili (qiyasi,istihsani, ilhaqi), istishlahi, dansadd al-zari’ah.

5. Penetapan Fatwa harussenantiasa memperhatikankemaslahatan umum (mashalih

‘ammah) dan maqashid al-syari’ah.

Dasar penetapan fatwa MUI,sebagai mana disebutkan dalam babII pasal 1 pedoman dan ProsedurPenetapan Fatwa adalah Al-Qur’an,Sunnah (Hadith), Ijma’, dan Qiyasserta dalil lain yang mu’tabar.Gambaran ini menetapkan alurijtihad yang digunakan MUI sebelummengumumkan keputusanhukumnya. Terhadap dua dalilpertama, komisi fatwa menjelaskan:“Ketentuan ayat ini merupakankesepakatan dan keyakinan umatIslam bahwa setiap fatwa harusberdasarkan pada kedua sumberhukum yang telah disepakatitersebut. Fatwa yang bertentanganatau tidak didasarkan dengankeduanya dipandang tidak sah,bahkan dipandang sebagaitahakum dan perbuatan dusta atasnama Allah yang sangat dilarangagama.”

Ijma’, diakui sebagai dalilhukum di bawah Al-Qur’an danSunnah. Artinya, ijma’ hanya bolehterjadi bila tidak ada ketetapan darikeduanya. Namun otoritas Ijma’sangat kuat, bersifat absolut danberlaku universal. Oleh karenanya,penerimaan terhadap ijma’ adalahmutlak. Akibatnya, bila terdapatperistiwa yang tidak terdapatpetunjuknya dari al-Qur’an dan al-Sunnah, dan terdapat satu pendapatyang diakui atau tidak dibantah olehorang lain, maka tidakdiperkenankan untuk melanjutkanijtihad dengan metode-metode lain

Page 14: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

345

dan fatwa hanya boleh diumumkanberdasarkan pendapat tersebut.

Khusus tentang Qiyas dandalil-dalil lain setelah Ijma’,penggunaannya oleh MUIsebenarnya menempati posisimetodologis yang tidak serta mertadilakukan setelah istinbat dengan al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Adametode lain yang menjembataninya,yaitu apa yang disebut denganIjtihad Intiqa’I, yang diartikansebagai memilih pendapat paraulama terdahulu setelah dikajisecara komprehenship. Pengkajianterhadap pendapat-pendapat paraulama, jika memungkinkan dilakukandengan mekanisme al-jam’ wa al-taufiq. Yaitu sebuah usaha untukmenggabungkan danmengharmoniskan pendapat-pendapat yang berbeda. Namun bilatidak ditemukan keseragaman dantitik temu, maka dilakukan denganmekanisme tarjih. Setelah samasekali tidak ditemukan dalamkeputusan yuris muslimterdahulu/yurisprudensi, atau tidakdapat diterima dalam konteksIndonesia, maka metode ijtihad yangindependens dilakukukan denganasas jama’I (kolektif).

4.1.4 Qiyasdalam Bidang Ibadah1. Penerimaan MUI terhadap Qiyas

dalam Bidang IbadahMUI meyakini bahwa “Umat

Islam Indonesia menganut pahamahlus sunnah wal jama’ah danmayoritas bermazhab Syafi’i”.Akomodasi atas pendirianmasyarakat Indonesia dalam

bermazhab ini, bisa dilihat daripandangan mazhab-mazhabSunni yang dijadikan dasarpenetapan fatwa. Khusus dalambidang ibadah, di mana terdapathampir di semua lembar fatwa,disertakan pandangan mazhab-mazhab tersebut. Meskipun padasebagian keputusannya, MUImendasarkan keputusan padapandangan Zahiri, yang secarateoritis adalah mazhab yang tidakpopular di kalangan sunni, dalamkonteks “tertentu”. Karena inilah,Mohammad Atho Mudzhar, dalamkajiannya menyimpulkankecenderungan inkonsistensimetodologis dalam fatwa MUI(Mohammad Atho Mudzhar,1993).

Bentuk lebih teknis dalamkajian Qiyas yang diterima olehmayoritas yuris mazhab-mazhabSunni adalah keberlakuan qiyasdalam masalah-masalah ibadah.MUI, sepanjang penyelidikanpenulis, tidak memunculkansatupun kata qiyas dalamkonsideran fatwanya. Namundemikian, beberapa petunjukdapat digunakan untuk melihatkeberlakuan qiyas dalam fatwaMUI bidang ibadah, dengan caramelakukan analisa terhadap dalil,alur penalaran pendapat-pendapat yang dijadikan dasar,dan kaidah-kaidah fiqh/legalmaxim yang digunakan,sebagaimana yang akan kitasajikan dalam sub di bawah ini.

2. Karakteristik Dalil

Page 15: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

346

Kata ‘qiyas’ tidak seringdisebutkan dalam konsideranfatwa MUI. Demikian juga Dalilnash al-Qur’an, hadith, dan ijma’yang digunakan MUI dalammencari ‘illat (maslak al-‘illah)sebagai bentuk istinbath hukummelalui qiyas, juga tidak banyakmuncul dalam fatwanya. Hal inidikarenakan masalah yangdirespons memang tidak selaluberkenaan dengan hukum yanglayak dan harus ditetapkanberdasarkan qiyas, atau terdapatkecenderungan mendasarkanpada pendapat-pendapat tokoh-tokoh mazhab yang mungkinmenggunakan qiyas dalampenalaran hukumnya, sehinggaakan lebih mudah dan praktisdemi kepentingan mendesak agarkepastian hukum segeradiumumkan kepada masyarakat.Secara organisatoris hal ini tentusaja tidak bisa disimpulkansebagai sebuah kelemahanmetodologis, karena –padadasarnya- ketetapan untukmengkaji dan menggunakanpendapat mazhab-mazhab yangdianggap sesuai untuk dijadikandasar penetapan hukum telahmelewati kesepakatanorganisatoris, yang berhak untukdiapresiasi oleh semua pihak.Namun di sisi lain, kajian ilmiahyang membaca secara objektiftentang mekanisme penetapanhukum satu lembaga/organisasijuga layak untuk dipertimbangkansebagai sebuah kebenaran

(Mohammad Atho Mudzhar,1993).

Di antara dalil Al-Qur’an yangmenunjukkan penggunaan qiyasoleh MUI dalam bidang Ibadahadalah fatwa no. 1 tahun 2001tentang Haji bagi Narapidana.Dalam fatwa ini, ayat yangdigunakan sebagai dasar adalahQ.S. Al ‘Imran: 97.

“kesanggupan melakukanperjalanan” merupakan syaratkewajiban ibadah haji.Sedangkan “kesanggupan” itusendiri juga merupakan alasanhukum yang tampak dari nash.Alasan hukum ini disebut dengan‘illat.

Dalam kasus orang yangbadannya terkurung sepertinarapidana dan sebagainya, yangmemiliki kesanggupan biaya, MUImemutuskan bahwa orangtersebut tidak memiliki istitha’ahyang berakibat pada tidakterpenuhinya syarat wajib haji.Pandangan ini sejalan denganpendapat Imam Malik danMazhab Hanafi, yangmemperluas jangkauan istitha’ahtidak hanya pada ongkos (zad)dan kendaraan (al-rahilah).Namun terdapat penggalanredaksi fatwa yangmengharuskan kita mengkajipenalaran metodologis lebih jauh,yaitu “ia wajib membiayai oranglain yang sudah menunaikan hajiuntuk menghajikannya”.

Kewajiban di atas tampakkontradiktif dengan penetapanistitha’ah sebagai syarat, di mana

Page 16: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

347

ketiadaan syarat mengakibatkanketiadaan hukum, sebagaimanayang diyakini Imam Malik danHanafi. Adapun ibadah hajidilakukan oleh orang lain, maka iaadalah peristiwa hukum lain yangberbeda, yang merupakan variandari masalah hukum tatkalaseseorang tidak ada harapan lagiuntuk menunaikan ibadah haji(seperti usia renta, ataumengidap penyakit akut yangtidak ada harapan sembuh), atautelah meninggal dunia.

Penetapan hukum baginarapidana dengan mewajibkania membayar orang lain untukmelaksanakan hajinya memiliki –setidaknya- tiga masalahmetodologi. Pertama, bahwapermasalahan ini masihberkenaan dengantahqiq/pengukuhan maknaistitha’ah yang berarti zad danrahilah, keduanya berbentukharta. Dalam hal seseorangmemiliki keduanya, maka ia telahmemenuhi syarat istitha’ah dantelah datang kepadanyakewajiban haji. Halanganpelaksanaan kewajiban tersebut,diselesaikan dengan berbagaicara sesuai dengan keadaanyang ada, seperti bila manahalangannya tidak mampuberjalan karena tidak memilikikaki, maka ia boleh mengajakorang lain yang maumematuhinya –atau denganmembayar- untuk membantupelaksanaan dengan tandu, kursiroda atau sebagainya; apa bila

halangannya karena sakit, makaia boleh menunda sampaisembuh. Artinya kewajibanmelaksanakan sendiri tetap adakarena syarat telah terpenuhi. Al-Syafi’I dan pengikutnya beradadalam posisi penalaran bentuk ini.

Kedua, kemampuan badanmerupakan syarat istitha’ah.Apabila kemampuan harta(ongkos dan kendaraan) danbadan (sehat dan bebas) telahterpenuhi, maka telah datangkewajiban haji. Namun bila tidakterpenuhi, berakibat pada tidakadanya kewajiban. Dengan tidakadanya kewajiban haji, makatidak akan datang kewajibanmembayar orang lain untukmenggantikan pekerjaan yang iasendiri tidak wajibmengerjakannya. KetegasanImam Malik yang menunjukkankonsistensi penalaran bentukkedua ini juga dirujuk MUI dalamlampiran referensi yangdigunakan, yaitu tatkala beliauberpendapat bahwa orang yanglumpuh (al-ma’dub) tidak wajibhaji dan tidak wajib digantikanorang lain.

Ketiga, kasus narapidanabukan lagi masalah istitha’ah,namun ia berhubungan denganorang yang sakit akut, tua, atautelah meninggal. Kasus ini,meskipun dipertimbangkan untukmengisi makna istithaah, namunmemiliki ashl tersendiri dalamhukum, yaitu hadith ibn ‘abbastentang seorang wanita dariKhath’am yang bertanya kepada

Page 17: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

348

Rasulullah SAW, apakah ia bolehmenunaikan haji untuk bapaknyayang telah renta dan tidak mampu–bahkan- untuk duduk dikendaraan.

Sandaran (manath) ‘illat yangdikukuhkan dalam kasus serupaini adalah orang tua yang tidakmampu karena sifat tuanya yangpermanen. Konteks permanen inibisa diluaskan pada orang yangsakit akut, yang diduga tidak adaharapan sembuh. Sifat halanganyang permanen ini menegasikanperluasan hukum pada yangsifatnya temporal. Bahkan al-Syafi’i –setelah menyitir ucapan‘Ali bin Abi Thalib kepada seorangjompo “jika anda mau, anda bolehmembiayai orang lain untukmenghajikan anda”- menegaskan:

“jika orang tua tersebutmembiayai orang lain untukmenghajikannya, kemudiandiduga suatu ketika datangkondisi di mana ia mampuberkendara untuk berhaji, makatidak diperkenankan orang lainmenghajikannya, ia harusmenunaikan sendiri. Apa bila iameninggal sebelum sempatmengerjakannya, atau keadaan‘sanggup’ tersebut berubah lagimenjadi tidak sanggup, maka iawajib dihajikan atau mengutusmengirim orang lain untukmenghajikannya. Karena hajinyadianggap tunai dikerjakan olehorang lain hanya setelah ia tidakmenemukan ‘jalan’ ان لا یجد السبیل)). Bila masih ada jalan, ia wajibmenunaikan sendiri”.

Dengan demikian, dalamkasus narapidana perlu dilihatterlebih dahulu sandaranperluasan ‘illat-nya. Jikanarapidana yang divonishukuman mati –misalnya- makadi saat datang bulan haji sebelumeksekusi, ia wajib meminta ataumengupah orang lain untukmenghajikannya. Namunnarapidana yang masih adaharapan bebas, tidak dalamkondisi yang layak untukdisamakan dengan orang tuarenta.

Fatwa MUI dalam kasusnarapidana, berikut penjelasandalil yang diajukan, tampaksekilas sebagai upayamenggabungkan pendapat-pendapat yang berbeda darimazhab-mazhab fiqh. Namunkemudian usaha ini menjadi aksipencampur-adukan penalaranyang bahkan ditolak oleh seluruhyuris yang pendapatnya dijadikandasar fatwa. Al-Syafi’i akanmenerima redaksi fatwa point (a),yaitu: “orang yang sudahmempunyai biaya untukmenunaikan ibadah haji, tetapikondisi badannya tidakmemungkinkan untukmelaksanakan ibadah haji sendiri,baik karena sudah terlalu tuamaupun karena suatu penyakit,dipandang telah memenuhi syaratistitha’ah. Karena itu, ia sudahberkewajiban haji ”, namun al-Syafi’i –juga Hambali- akanmenolak ketetapan lanjutannya“orang tersebut tidak dibolehkan

Page 18: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

349

melaksanakan haji sendiri tetapiia wajib membiayai orang lainyang sudah menunaikan hajiuntuk menghajikannya”, karenahaji adalah ibadah personal yanghanya dapat digantikan dalamkeadaan tertentu yang bersifatkasuistik dan pengecualian.Membawa kasus denganmenggunakan ‘illat dari kasuspengecualian adalah qiyas yangfasid. Adapun Malik dan Hanafiakan langsung menolakkewajiban haji bagi yang tidakmemenuhi syarat kemampuanharta dan badan.

Kasus di atas memperlihatkankarakteristik penggunaan qiyasyang tidak mandiri dan rentankritik. Sedangkan dukunganpenalaran yang pada dasarnyaberseberangan satu sama lainmemperlihatkan kecenderunganeklektis dalam metodologinya.

Bentuk lain yang mungkindapat mempertegas pencarianterhadap karakteristikpenggunaan dalil dalammemberlakukan penalaran qiyasdalam fatwa MUI adalah tentangzakat penghasilan dan jasa.Tentang penghasilan dan jasa,MUI menetapkan fatwa bahwasetiap penghasilan wajibdikenakan zakat. Fatwa tentangini muncul dua kali, pertama padatahun 1982 tentang intensifikasipelaksanaan zakat. Pada point 1berbunyi:

“Penghasilan dari jasa dapatdikenakan zakat apabila sampai

nisab dan haul” (Majelis UlamaIndonesia, 2011).

Pada tahun 2003, secarakhusus MUI memfatwakantentang zakat penghasilan, yaituFatwa no.3 tahun 2003. Dalamfatwa ini disebutkan hukum ‘wajib’secara tegas:

“semua bentuk penghasilanhalal wajib dikeluarkan zakatnyadengan syarat telah mencapainisab dalam satu tahun, yaknisenilai emas 85 gram” (MajelisUlama Indonesia, 2011).

Kewajiban zakat telah ma’lumdiketahui dalam syari’at secaradharuri, tetapi tentang harta apasaja yang wajib dikenakan zakat,memerlukan upaya istidlalterhadap dalil dan istinbathhukum. Harta zakat yangdiidentifikasi para fuqahaberdasarkan nash ataupunmelalui berbagai metodepenalaran terhimpun dalambeberapa jenis; perhiasan (emasdan perak), tanaman, buah-buahan dan biji-bijian,perniagaan, ternak, galian dantemuan. Adapun perluasanhukum kepada jenis harta lain,secara metodologis harusmelewati serangkaian penalaranyang dianggap sah dalam teori-teori hukum Islam.

Dalil yang digunakan MUIdalam fatwa intensifikasipelakasanaan zakat tahun 1982M, setelah ayat dan hadithtentang kewajiban zakat, adalahbeberapa hadith tentang jenisharta yang dizakatkan. Pertama,

Page 19: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

350

jenis buah-buahan dan biji-bijian,diiringi dengan pandangan tokoh-tokoh mazhab:a. Imam Malik dan al-Syafi’i yang

berpegang pada ijma’ hasiltanaman tertentu dan biji-bijian. Selain itu, hukum harusdiperluas melalui qiyas dengan‘illat ‘makanan pokok’ atau sifatmengenyangkan ( القوت ), dantahan lama atau dapatdisimpan.

b. Jumhur fuqaha’ Maliki, Syafi’i,dan Hambali yangmenyepakati terdapatsebagian jenis tanaman yangada pada masa RasulullahSAW namun tidak dikenakanzakat, yaitu sayur-sayuran danbuah-buahan.Kedua, jenis ternak gembala.

Dalam hal ini hanya diajukan satuhadith tentang tidak wajib zakatpada kepemilikan harta berupabudak dan binatang tunggangan(Majelis Ulama Indonesia, 2011).

Dari dalil-dalil yang diajukan,secara langsung dapat segeradipahami bahwa ketiga mazhabtersebut –walaupun berbedadalam rinciannya- sepakat bahwatidak semua harta jenis biji-bijiandan tumbuh-tumbuhan, sertaternak gembala, wajib dikenakanzakat. Oleh karena itu, fatwatentang penghasilan dari jasasebagai harta yang wajib zakat,terlihat tidak didukung oleh dalilyang diajukan atau –bahkan-paradox.

Fatwa pada tahun 2003tentang Zakat Penghasilan

tampaknya tidak lagimenggunakan dasar-dasar hadithtentang jenis-jenis harta zakat,kecuali satu hadith tentang ‘budakdan kuda tunggangan’ yangdisertakan dengan penjelasanImam Nawawi yang menyebutkanbahwa sifat kedua harta tersebutadalah untuk dipakai bukan untukdikembangkan. Dalil lebihdiarahkan untuk memberikanmuatan makna ‘ghina’ (kaya),yang dikuatkan dengan mengutippandangan Yusuf al-Qardawi;“zakat hanya wajib pada hartayang sampai nishab, bebas darihutang, dan merupakan kelebihandari keperluan dasar. Ketentuantersebut (berguna) agar nyatamakna “kaya”, yang karenanyazakat menjadi wajib” (MajelisUlama Indonesia, 2011).

Penetapan kewajiban zakatdengan dasar makna ghina(kaya) berikut semua makna yangdicakupnya, merupakanpandangan yang cukup liberal,dan –khususnya dalam masalahzakat- biasa dilekatkan kepadaahli-ahli hukum kalangan Hanafi.Dan memang tidak sulit untukmenemukan pendapat ini dalamkarya-karya standart MazhabHanafi, seperti bahwa “zakathanya wajib bagi yang kaya”(Muhammad bin Ahmad, 1990)atau bahwa “memandang nisabsaja tanpa memandang kaya-nyasi pemilik harta tidakdiperbolehkan” (Muhammad binAbi Sahl). Meskipun demikian,bilamana menyangkut harta yang

Page 20: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

351

wajib dikenakan zakat, mazhabHanafi pun terikat sangat eratdengan dalil-dalil yangmenunjukkan jenis zakat yangditetapkan dalam nash.Akibatnya, mereka juga tidakmewajibkan seluruh harta dalamrincian keputusan fiqhnya.

Beberapa kasus yangdikemukakan di atasmemperlihatkan karakteristikpenggunaan dalil dalammengoperasikan metodologi qiyasoleh MUI tidak cukup akurat.Akibatnya, fatwa yang diberikandapat saja memunculkan responsnegatif yang pada gilirannya akanmenempatkan fatwa yangdiumumkan hanya sebagai solusihukum untuk sebagian orang yangbisa menempatkan kepentingannyadi sana.

PENUTUPQiyas adalah warisan

intelektual Islam yang original danberharga. Ia hadir sebagai sebuahnalar islami yang didasari darikesadaran dan kepekaan manusiawidalam membaca dan memahamipesan-pesan shari’. Spirit inimembawa pada perkembangan danpematangan metodologi qiyas cukuppesat dalam dinamika yang logisdan beradab.

Perkembangan metodologiqiyas yang secara umum dibagi kedalam; (1) pemikiran hukum awal,dimana qiyas merupakan metodeberfikir dalam mencari solusi hukumdigunakan secara sederhana, dan

(2) pemikiran formal, yang berusahamemformulasi konsep qiyas menjadimetode penalaran yang terbatas danketat.

Pada masa awal, subjektifitasahli menjadi penentu keputusanyang kemudiandiumumkan/difatwakan serta diikutioleh pengikut atau penggunahukum. Meskipun tidak terlalu kebalterhadap kritik, format penalaranhukum awal lebihmempertimbangkan sisi maslahah.Sedangkan pada masa Al-Shafi’Idan selanjutnya, penalaran objektif-tekstual adalah identitas utama,pengujian terhadap produk hukumyang dihasilkan dari penalaran qiyasbertumpu secara objektif terhadapteks/nash.

Dari pembacaan terhadapdinamika historis keberlakuanmetodologi qiyas tersebut dapatdiketahui pola penalaran hukumyang ada di organisasi-organisasisocial keagamaan di Indonesia, diantaranya adalah MUI.

lembaga tersebutmenggunakan qiyas sebagai salahsatu metode penalaran hukumnya.Namunterdapat kelemahan dalampenggunaannya. Hal ini terjadikarena tidak ada usahapemutakhiran metodologi yangberakibat pada penggunaan secaraserampangan metode-metode yangdihasilkan para pemikir klasik, atauhanya sekedar menggabungkansebagian dengan sebagian yang laintanpa ada system verifikasi yangdapat memastikan validitaspenggunaannya.

Page 21: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 –353)

352

Kenyataan ini mengisyaratkanakan adanya ketidak-peduliankolektif akan penalaran-penalanlogis hukum yang seyogyanyasemakin matang dan komplekskarena ditangani oleh sekelompokorang dalam sebuah organisasi yangberijtihad secara kolektif,dibandingkan dengan yuris-yurisklasik yang nota bane bekerjasendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Karim bin Ali bin Muhammadal-Namlah, Ithaf dzawi al-Bashair bi Syarh Raudhat al-Nazhir fiUshul al-Fiqh ‘alaMadzhab al-Imam Ahmad binHambal, Vol.7. Riyadh:Dar al-‘Ashimah, 1996.

Abdal-Azizal-Bukhari,Kasyfal-Asrar.Beirut:Daral-Fikr,1927.

Abual-Walidibn Rusyd,Bidayat al-Mujtahid.Beirut:Daral-Fikr,1997.

Abu Bakaral-Jashshash, Usul al-Jashshash. Kairo:Dar al-Kutub,tt.

Abu Bakaral-Sharakhsi, Usulal-Sharakhsi. Kairo: Daral-Kitabal-Arabi,1954.

Abu Husainal-Bashri, Kitabal-Mu’tamadfî ‘Ushul al-Fiqh.Beirut: Daral-kutubal-Ilmiyyah,1982.

Ahmad al-Damanhuri, Syarh Idhahal-Mubham. Singapura: al-Haramain, tanpa tahun.

Al-Bazdawi,Usul al-Bazdawi,dalamcatatan pinggirKasyfal-Asrar.Beirut: Daral-Fikr,1927.

Amir Syarifuddin, UshulFiqh, jilid 1,Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.

Dewan Syari’ah Nasional MUI,Himpunan Fatwa DewanSyari’ah Nasional.Ciputat: CV.Gaung Persada, 2006.

http://hizbut-tahrir.or.id/2009/01/29/tanggapan-hizbut-tahrir-indonesia-terhadap-fatwa-mui-tentang-golput/. (di akses: Agustus2015).

http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html(diakses pada Agustus 2015).

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21080/komnas-ham-kecam-fatwa-golput-haram.(diakses pada Agustus 2015).

Kamaluddin Abi Barakat ibn Anbari,luma’ al-Adillah. Tt: tt, 1988.

Lexy J. Moleong, MetodologiPenelitian Kualitatif. Bandung:Rosdakarya, 1996.

Majelis Ulama Indonesia, HimpunanFatwa MUI sejak 1975.Jakarta: Erlangga, 2011.

Mohammad Atho’ Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis UlamaIndonesia; Sebuah Studitentang Pemikiran HukumIslam di Indonesia, 1975-1988.Terj. SoedarsoSoekarno. Jakarta: INIS, 1993.

Muhammad al-Syaukani, Irsyadal-FuhulilaTahqiqal-Haqmin‘ilmal-Ushul. Beirut: Daral-Fikr,tt.

Muhammad bin ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007.

Page 22: MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN ...

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan MetodologiQiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

353

Muhammad bin Abi Sahl al-Sarhsi,Kitab al-Mabsuth, Juz.2.Beirut: Dar al-Fikr, tanpatahun.

Muhammad bin Ahmad al-‘Aini, Al-Binayah fi Sharh al-Hidayah,juz 3. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

Muhammad bin Mahmud bin Ahmadal-Baberti Al-Hanafi, Al-Rududwa Al-Nuqud; SyarhMukhtashar Ibn al-Hajib, vol. 2.Riyadh: Maktabah al-RusydNasyirun, 2005.

Muhammad Hasyim Kamali, ThePrinciples of IslamicJurisprudence, Cambridge:The Islamic Texts Society,1991.

Robert bogdan, dkk, PengantarMetoda Penelitan Kualitatif,terj. Arief Furqon. Surabaya:Usaha Nasional, 1992.

Said al-Afghani, Fi Ushul al-Nahwi.Beirut: Al-Maktab Al-Islami,1987.

Saifuddin Abi Hasan al-Amidi, Al-Ihkam fiUshul al-Ahkam,juz 2.Beirut: Dar al-Fikr, 2003.

Struktur logika dalam teori hukumIslam (telaah atas teori qiyasdan double movement)” dalamwww.scribd.com/doc/61739646/struktur-logika-dalam-teori-hukum-islam. (diakses padaAgustus 2015)

Syafi’I, Muhammad bin Idris. al-Risalah. Beirut:Dar al-Fikr,tanpa tahun.

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami.Damaskus: Dar al-Fikr,2005.