MA

43
Referat / Clinical Science Session * Kepaniteraan Klinik Senior/GIA202129/ Oktober 2014 ** Pembimbing : dr. Hj.Sulistyowati, Sp.An MANAJEMEN JALAN NAPAS Oleh : Mutia Hasmita, S.Ked G1A202129 KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

description

managemen airway

Transcript of MA

Referat / Clinical Science Session

* Kepaniteraan Klinik Senior/GIA202129/ Oktober 2014

** Pembimbing : dr. Hj.Sulistyowati, Sp.An

MANAJEMEN JALAN NAPAS

Oleh :

Mutia Hasmita, S.Ked

G1A202129

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI/ RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

2014

Referat

MANAJEMEN JALAN NAPAS

Oleh :

Mutia Hasmita, S.Ked

G1A202129

Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi Fakultas kedokteran Dan Ilmu Kesehatan/ Universitas Jambi

RSUD Raden Mattaher Jambi

Jambi, Oktober 2014

Pembimbing,

dr. Hj.Sulistyowati, Sp.An

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab karena rahmat-Nya referat ini dapat terselesaikan. Selain itu, penulis juga berterima kasih kepada para dosen yang telah memberikan pengarahan selama proses pembelajaran yang sangat bermanfaat dalam pembuatan referat ini.

Adapun tujuan dari penyusunan referat ini, agar dapat memahami lebih lanjut mengenai manajemen jalan napas. Selain itu juga untuk menjelaskan anatomi jalan napas, mendiagnosa dini adanya obstruksi jalan napas atas, dan mekanisme penatalaksanaan masalah yang menyebabkan jalan napas menjadi tidak bebas.

Selain itu, penulis berharap agar makalah ini, dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jambi, Oktober 2014

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Unsur vital dalam menyediakan fungsi respirasi adalah jalan nafas. Tidak ada anestesi yang aman tanpa melakukan usaha keras untuk memelihara jalan nafas yang lapang. Prinsip manajemen jalan nafas secara garis besar dalam referat adalah aplikasi untuk semua situasi klinis dimana kemungkinan berkembangnya respirasi yang tidak adekuat.

Ventilasi tekanan positif kontinu meningkatkan pembentukan sekresi apapun kondisi pasien yang mendasari. Kita harus bisa mengidentifikasi adanya sekresi dengan auskultasi paru. Tindakan untuk membersihakn jalan nafas termasuk pengisapan, fisioterapi dada, perubahan posisi yang sering, dan peningkatan mobilitas secepat mungkin. Humidifikasi dengan cara ventilator dipertahankan untuk membantu pengenceran sekresi sehingga sekresi lebih mudah dikeluarkan. Bronkodilator baik intravena maupun inhalasi, diberikan sesuai dengan resep untuk mendilatasi bronkiolus.

Penatalaksanaan jalan nafas harus mencakup pemeliharaan selang endotrakea atau trakeostomi. Selang ventilator diposisikan sedemikian rupa sehingga hanya sedikit kemungkinan tertarik atau penyimpangan selang dalam trakea. Perawatan trakeostomi dilakukan sedikitnya setiap 8 jam jika diindikasikan karena peningkatan resiko infeksi. Higiene oral sering dilakukan karena rongga oral merupakan sumber utama kontaminasi paru-paru pada pasien yang diintubasi pada pasien lemah. Adanya selang nasogastrik dan penggunaan antasida pada pasien dengan ventilasi mekanik juga telah mempredisposisikan pasien pada pneumonia nosokomial akibat aspirasi. Pasien juga diposisikan dengan kepala dinaikkan lebih tinggi dari perut sedapat mungkin untuk mengurangi potensial aspirasi isi lambung.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Unsur vital dalam menyediakan fungsi respirasi adalah jalan nafas. Tidak ada anestesi yang aman tanpa melakukan usaha keras untuk memelihara jalan nafas yang lapang. Prinsip manajemen jalan nafas secara garis besar dalam referat adalah aplikasi untuk semua situasi klinis dimana kemungkinan berkembangnya respirasi yang tidak adekuat.

I. ANATOMI JALAN NAPAS

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui dua jalan, yaitu:1-3

1. Hidung, menuju nasofaring

2. Mulut, menuju orofaring

Gambar 1. Anatomi jalan napas

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid berlanjut sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan orofaring dibawahnya oleh jaringan palatum mole. Pinsip kesulitan udara melintas melalui nasofaring kerena menonjolnya struktur jaringan limfoid tonsiler. Lidah adalah sumber dari obstruksi pada orofaring, biasanya karena menurunnya tegangan muskulus genioglosus, yang bila berkontraksi berfungsi menggerakkan lidah kedepan selama inspirasi dan berfungsi sebagai dilatasi faring.1-3

Hipofaring menuju esophagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglottis menuju ke trakea. Epiglottis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glottis gerbang laring pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligament dan otot. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis, dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform. Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi Cervikal 6 columna vertebaralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar pada bagian posterior, panjang sekitar 10 15 cm, didukung oleh 16 20 tulang rawan yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi brokus kanan dan kiri pada thorakal 5 kolumna vertebaralis.1,3

Persarafan jalan napas :1,3

1. N. Trigeminus (V), mempersarafi mukosa hidung, palatum (V-1), daerah maksila (V-2), lidah dan daerah mandibula (V-3).

2. N. Fasialis (VII), mempersarafi palatum.

3. N. Glosofaringeus (IX), mempersarafi lidah, faring, palatum molle dan tonsil.

4. N. Vagus (X), mempersarafi daerah sekitar epiglottis dan pita suara.

II. OBSTRUKSI JALAN NAPAS1,3

Obstruksi jalan nafas atas dapat total atau parsial. Obstuksi total ditandai oleh hilangnya gerakan atau suara nafas berbeda dengan tidak efektifnya usaha pernafasan retraksi lebih jelas, sianosis lebih cepat timbul. Obstruksi jalan nafas sangat penting bagi orang yang tidak berpengalaman menginterpretasikan retraksi pada celah kosta dan gerakan diafragma pada usaha pernafasan. Aktualnya suara pernafasan harus didengar dan dirasakan dengan mendekatkan telinga atau tangan diatas mulut pasien. Pengamatan terjadinya obstruksi tergantung dari observasi ketat dan tingginya indek kecurigaan.1-3

Penderita dengan obstruksi parsial menunjukan berkurangnya pertukaran udara yang dihubungkan dengan retraksi pada dada bagian atas dan suara snoring jika obstruksinya di nasofaring atau stridor inspirasi jika obstruksinya di daerah laring. Jika upaya inspirasi berat, jalan nafas atas mungkin mengalami tekanan dinamis inspirasi karena perbedaan gradien tekanan dalam jalan nafas atas.1,3

Pegobatan obstruksi jalan nafas atas tergantung dari penyebabnya, disebabkan oleh obstruksi jaringan lunak, tumor, benda asing atau spasme laring. Paling sering disebabkan oleh berkurangnya jarak antara dinding faring dengan dasar lidah karena relaksasinya otot lidah dan rahang. Obstruksi mungkin terjadi karena benda asing seperti gigi palsu. Tidak adanya benda asing, aliran udara dapat dikembalikan dengan mencegah rahang jatuh kebelakang, gerakan kedepan dengan memanfaatkan jari tengah dan telunjuk di belakang sudut mandibula. Leher penderita dapat diektensikan ringan untuk memperoleh jalan nafas yang optimal. Ektensi leher dan menggerakkan mandibula ke anterior, tulang hyoid ke depan, pengangkatan epiglotis untuk menjamin lapangnya bagian dalam laring.3

Spasme atau kejang laring

Hal ini terjadi akibat pita suara menutup sebagian atau seluruhnya. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh anestesi ringan dan mendapat rangsangan disekitar faring. Terapi untuk spasme atau kejang laring adalah:

1. Manuver trivel jalan napas

2. Ventilasi positif dengan oksigen 100%

3. Bila kedua cara diatas belum bisa menolong berikan pelumpuh otot suksinil 0,5 mg/kg iv, im deltoid, sublingual 2-4 mg/kg.1

III. MANAJEMEN JALAN NAPAS

Manajemen jalan napas (airway) adalah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal dengan membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh.4

Pengelolaan jalan napas (airway management) terbagi atas 2, yaitu:

A. Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) Tanpa Alat

1. Membuka jalan nafas dengan proteksi cervical (Maneuver Tripel Jalan Napas)

Head Tilt maneuver (tindakan menekan dahi)

Dlilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, Ingat! Tidak boleh dilakukan pada pasien dugaan fraktur servikal.

Caranya : letakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidahpun terangkat ke depan.4,5

Chin Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu)

Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan. Caranya : gunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien kemudian angkat.4,5

Gambar 2. tangan kanan melakukan Chin lift (dagu diangkat). dan tangan kiri melakukan head tilt. Pangkal lidah tidak lagi menutupi jalan nafas.4

Jaw thrust maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah)

Caranya : dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas.4,5

Gambar 3. manuver Jaw thrust

Lakukan teknik chin lift atau jaw thrust untuk membuka jalan nafas. Tempatkan korban pada tempat yang datar. Kepala dan leher korban jangan terganjal. Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan maneuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher. Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. 4

Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari. Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas (apnea). Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.4

Gambar 4. Pemeriksaan sumbatan jalan nafas di daerah mulut dengan menggunakan teknik cross finger

Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan) :

Mendengkur(snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara mengatasi : chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal.

Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah hipofaring. Cara mengatasi : finger sweep, pengisapan/suction.

Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi : cricotirotomi, trakeostomi. 1,2,4

2. Pemeriksaan Jalan Napas : 4,5,6

L = Look

Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran

L = Listen

Dengar aliran udara pernafasan

F = Feel

Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi penolong

Gambar 5. Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF)4

3. Membersihkan jalan nafas

Sapuan jari (finger sweep)

Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang.2,4,5,6

Cara melakukannya :

Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi)

Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu.4

Gambar 6. Tehnik finger sweep 4

4. Mengatasi sumbatan nafas parsial

Dapat digunakan teknik manual thrust

Abdominal thrust

Chest thrust

Back blow

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich)

Dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang.

Caranya berikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma abdomen).4

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau duduk

Disini penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.4,5

Gambar 7. Abdominal Thrust dalam posisi berdiri 4,5

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar)

Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas. Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).4,5

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiri

Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas. Dilakukan dengan cara kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan ke atas kearah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi.4

Back Blow (untuk bayi)

Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae).4,5

Gambar 8. Back blow pada bayi, 4,5

Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)

Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan.4,5

Jika sumbatan tidak teratasi, maka penderita akan :

Gelisah oleh karena hipoksia

Gerak otot nafas tambahan (retraksi sela iga, tracheal tug)

Gerak dada dan perut paradoksal

Sianosis

Kelelahan dan meninggal 4

Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah jalan nafas bebas.

Pasien sadar, ajak bicara. Bicara jelas dan lancar berarti jalan nafas bebas

Beri oksigen bila ada 6 liter/menit

Jaga tulang leher : baringkan penderita di tempat datar, wajah ke depan, posisi leher netral

Nilai apakah ada suara nafas tambahan. 4

B. Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) Dengan Alat

Dalam pengelolaan jalan napas kita harus mengatur posisi kepala dan leher pasien agar jalan napasnya terbuka. Ekstensi kepala dengan rahang terangkat, akan melapangkan jalan napas dengan harapan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas atau udara lancar masuk trakea lewat hidung dan mulut. Untuk menjaga agar jalan napas tetap lapang traksi harus dipertahankan, ini dapat dicapai baik dengan menggunakan manuver tripel jalan napas yang terdiri dari :1,5,6

Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital

Mandibula didorong kedepan pada kedua angulus mandibula

Mulut dibuka

1. Jalan Napas Faring

Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas hidung-faring lewat hidung (NPA, naso-pharingeal airway) berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut, pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan jelly; atau jalan napas mulut-faring lewat mulut (OPA, oro-pharyngeal airway), berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien menggigit lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap terjamin. OPA juga dipasang dengan pipa trakea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan pasien.1

2. Sungkup Muka

Sungkup muka (face mask) mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi kejalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk pernapasan spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ketrakea lewat mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir; 02,01,dan 1 untuk anak kecil; 2, 3 untuk anak besar; dan 4,5 untuk dewasa. Sebagian sungkup muka dari bahan transparan supaya udara ekspirasi kelihatan (berembun) atau kalau ada muntahan atau bibir terjepit dapat kelihatan.1

Gambar 9. Cara pemakaian sungkup muka dengan satu tangan dan dua tangan

3. Sungkup Laring

Sungkup laring (LMA, laryngeal mask airway) ialah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.1

Dikenal ada 2 macam sungkup laring, yaitu:

a. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas

b. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainya berupa pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.1

Table.1 Macam-macam ukuran LMA sesuai dengan usia dan berat badan (kg) 1

Ukuran

Usia

Berat Badan (Kg)

1.0

1.3

2.0

2.3

3.0

4.0

5.0

Neonatus

Bayi

Anak kecil

Anak

Dewasa kecil

Dewasa normal

Dewasa besar

60

Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan diantaranya untuk dapat dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan jika intubasi trakea diperkirakan akan mendapat kesulitan. LMA memang tidak dapat mengganti kedudukan intubasi trakea, tetapi ia terletak antara sungkup muka dan intubasi trakea. Pemasangannya dilakukan bila anestesi dirasakan sudah cukup dalam atau menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut, faring-laring. Setelah alat terpasang untuk menghindari pipa napasnya tergigit, maka dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa napas mulut faring (OPA).1,6

Gambar 10. posisi LMA didalam trakea

4. Pipa Trakea

Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas anestetik langsung kedalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam millimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawa usia 5 tahun hamper bulat, sedangkan dewasa seperti hurup D, maka untuk bayi dan anak digunaka tanpa kaf (cuff) dan untuk anak besar dan dewasa dengan kaf, supaya tidak bocor. Penggunaan kaf pada bayi anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan selain itu jika kita ingin menggunakan pipa trakea dengan kaf pada bayi harus menggunakan ukuran pipa trakea yang diameternya lebih kecil dan ini membuat risiko tahanan napas lebih besar.1,2,6

Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube). Dipasaran bebas dikenal beberapa ukuran dan perkiraan ukuran yang diperlukan dapat dilihat pada table berikut:1

Table.2 Macam-macam ukuran pipa trakea

Usia

Diameter (mm)

Skala French

Jarak Sampai Bibir

Premature

Neonatus

1-6 bulan

-1 tahun

1-4 tahun

4-6 tahun

6-8 tahun

8-10 tahun

10-12 tahun

12-14 tahun

Dewasa wanita

Dewasa pria

2.0-2.5

2.5-3.5

3.0-4.0

3.5-3.5

4.0-5.0

4.5-5.5

5.0-5.5*

5.5-6.0*

6.0-6.5*

6.5-7.0

6.5-8.5

7.5-10.0

10

12

14

16

18

20

22

24

26

28-30

28-30

32-34

10 cm

11 cm

11 cm

12 cm

13 cm

14 cm

15-16 cm

16-17 cm

17-18 cm

18-22 cm

20-24 cm

20-24 cm

* tersedia dengan atau tanpa kaf

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:1

Diameter dalam pipa trakea (mm)= 4,0 + umur (tahun)

Panjang pipa orotrakeal (cm)= 12 + umur (tahun)

Panjang pipa nasotrakeal (cm)= 12 + umur (tahun)

5. Laringoskopi dan Intubasi

Fungsi laring adalah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop adalah alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:1-3,6

a. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi anak dewasa.

b. Bilah lengkung (Miller, Margill) untuk anak besar-dewasa.

Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai.

Gambar 11. A. laringoskop lengkung, B. laringoskop lurus

Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi.1

Table.3 Tampakan rongga mulut saat mulut terbuka lebar dan lidah menjulur maksimal.

Gradasi

Pilar Faring

Uvula

Palatum Molle

1

2

3

4

+

-

-

-

+

+

-

-

+

+

+

-

Gradasi 3 dan 4 diperkirakan akn menyulitkan intubasi trakea

INTUBASI TRAKHEA

Intubasi trakea merupakan tindakan memasukan pipa trakea kedalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea.

Gambar12. pemasangan pipa endotrakea

Pemasangan pipa endotrakea ditujukan untuk menjaga jalan napas tetap lapang dan untuk mencegah aspirasi cairan lambung. Pemasangan pipa endotrakea tidak sulit dan semua dokter harus bisa melakukannya. Tekhnik ini sekarang diajarkan secara luas kepada dokter, perawat, asisten anestesi dan petugas ambulan.2

Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:1

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Kelainan anatomi, benda khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

Intubasi trakea harus dipasang pada: 6

Pasien yang sadar: sesuai untuk neonatus dan kedaruratan tertentu pada orang dewasa.

Pasien yang tidak sadar: tidak diperlukan persiapan

Pasien yang dianestesi: anestesi ringan, dengan relaksan; atau anestesi dalam, tanpa relaksan.

Teknik Intubasi

Alat-alat yang digunakan untuk melakukan intubasi trakea adalah laringoskop dan pipa endotrakea. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan untuk membantu memudahkan dan mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah: penderita tidak sadar/tidur (pada pasien yang sadar teknis lebih sulit), posisi kepala (kepala sedikit ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala), relaksasi otot yang baik. Adapun cara melkukan intubasi sebagai berikut:2,6

1. Pastikan alat-alat yang diperlukan sudah lengkap dan baik

2. Bila perlu sediakan oksigen dan periksa bahwa tabung oksigen masih berisi dan dapat dipakai.

3. Setelah pasien tidur (biasanya dengan pemberian obat induksi intravena, thiopental 5 mg/kgBB intravena atau ketamin 1,5 mg/kgBB, berikan obat pelemas otot suksinilkolin 1 mg/kgBB intravena. Akan tampak fasikulasi pada otot kerangka tubuh yang kadang-kadang hebat.

4. Bila fasikulasi sudah mulai berkurang, berikan ventilasi buatan dengan oksigen kutang lebih selama 30 detik.

5. Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri dan tangan yang lain mendorong kepala sehingga sedikit ekstensi, dan mulut pasien akan dengan sendirinya membuka, maka setelah melakukan ekstensi kepala, mulut dibuka dengan jari tangan (dengan cara cross finger technique).

6. Setelah lampu laringoskop kita nyalakan, masukkan bilah kedalam mulut berawal dari sudut mulut sebelah kanan.

7. Bilah dimasukkan sedikit-demi sedikit, sehingga menyelusuri sebelah kanan lidah, sambil menggeser lidah kekiri. Jendaknya jangan meletakkan bilah dipertengahan lidah, karena akan mengganggu pandangan.

8. Sambil memasukkan bilah kedalam carilah epiglottis. Bila bilah bengkok. Tempatkan ujung lidah di valekula. Nila dengan bilah lurus epiglottis diangkat.

9. Dengan sedikit mengangkat laringoskop (arah gerakan sama dengan sumbu batang laringoskop) maka akan tampak rima glottis, bila perlu asisten menekan trakea dari luar untuk melihat rima glottis.

10. Bila Nampak rima glottis, maka akan tampak pita suara berwarna putih tidak bergerak karena henti napas dan sekitarnya berwarna merah.

11. Bila perlu berikan obat analgetik local dengan semprotan (lidokain 10%) pda laring dan trakea.

12. Pipa endotrakea dimasukkan melalui rima glottis.

13. Pipa endotrakea dihubungkan dengan alat anestesi atau alaat resusitasi dan pernapasan tetap dikendalikan sampai kembali spontan dan adekuat.2,6

Hal yang perlu diperhatikan setelah pipa endotrakeal masuk adalah: 2

Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sam mengembang serta bunyi udara inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam sering masuk kebronkus kanan sehingga bunyi napas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik kembali sedikit lalu periksa kembali dengan stetoskop.

Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor. Kebocoran dapat diketahui dengan cara mendengar bunyi dimulut saat paru di inflasi/ditiup.

Pasang alat pencegah tergigitnya pipa.

Lakukan fiksasi dengan plester agar pipa tidak bergerak.

Kesulitan intubasi antara lain adalah: 1

Leher pendek berotot

Mandibula menonjol

Maksila/gigi depan menonjol

Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)

Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

Gerak vertebra servikalis terbatas

EKSTUBASI

Ekstubasi trachea dapat dilakukan saat pasien teranestesi dalam atau menjelang sadar penuh. Ekstubasi dalam, tepatnya ekstubasi teranestesi dilakukan sesudah efek pelumpuh otot hilang sempurna dan pasien dapat mempertahankan kecepatan dan dalamnya pernapasan. Kesulitan mask, kesulitan intubasi,resiko aspirasi, atau prosedur bedah yang menyebabkan udem jalan nafas merupakan kontraindikasi ekstubasi. Jalan nafas yang adekuat harus dapat ditunjukkan setelah pemakaian pelumpuh otot. Ventilasi yang cukup baik pada ET tidak menjamin kemampuan otot untuk mempertahankan jalan nafas.1,3

Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada pasien dan ET dicabut setelah lebih dulu diberikan ventilasi tekanan positif untuk memberi kesempatan penngeluaran atau sekret keluar dari glotis. Keuntungan karena berkurangnya batuk pada ET akan mengurangi cedera laring-trachea, dan menimbulkan sedikit efek samping. Bagaimanapun jalan napas harus dijaga secara teliti karena aspirasi dan obstruksi masih mungkin terjadi. Setelah pasien tersadar, spasme laring dan batuk masih mungkin terjadi. Karena tidak ada cara yang secara penuh mencegah batuk setelah anestesi.3

Jika ekstubasi pada hal tertentu dikontraindikasikan saat teranestesi, ekstubasi sadar adalah penting. Pasien tidak akan diekstubasi sebelum siap untuk menjaga dan memproteksi jalan nafas. Pasien yang tidak respon tehadap rangsang verbal, terdapat deviasi bola mata, atau sedang menahan nafas tidak siap untuk dilakukan ekstubasi, dan cenderung terjadi spasme laring, dimana lebih sering terjadi saat pasien diekstubasi diantara sadar dan teranestesi. Batuk dan melawan, kemungkinan menunjukkan kemampuan menjaga jalan nafas tapi waktu yang tepat untuk ekstubasi sadar masih merupakan keputusan klinis. Lidokain (1-1.5 mg IV) atau dosis rendah narkotik dapat membantu membantu menghaluskan proses ekstubasi sadar sebagai ganti proses penyadaran yang tambah panjang. Setelah ekstubasi pasien dibiarkan dalam posisi supinasi atau lateral. Setelah ekstubasi teranestesi, alat oral atau nasal airway dibiarkan sampai pasien merasa tidak tahan lagi dengan keberadaannya. Tenaga yang bertugas tidak boleh lengah pada saat tersebut.3

Kesulitan mengeluarkan ET selalu disebabkan karena mencabut ET saat cuf mengembang. Jika cuf tidak dapat dikempiskan karena sumbatan, maka dapat dilakukan penusukan dengan jarum yang diletakkan melewati membran krikotiroid saat setelah cuf muncul di level ini. Kasus yang lebih serius dan kasus yang tidak umum kesulitan ekstubasi termasuk, fiksasi tube atau pilot tube oleh kawat Kirschner pada operasi kepala leher. Atau jahitan yang ditempatkan pada arteri pulmonalis melewati trachea dan menganai ET. NGT yang kusut, pembengkakan plika vokalis, atau kejadian terpotongnya NGT sehingga menyerupai mata kail, dapat mempengaruhi ekstubasi. Prosedur bedah yang telah dilakukan harus dipikirkan bila ET yang sudah dikempiskan atau dirobek ternyata tidak dapat keluar, untuk menghindari trauma karena percobaan yang kuat, pemeriksaan langsung dengan fiberoptik mungkin diperlukan.3

Perhatian khusus harus diberikan pada jenis ekstubasi dengan risiko tinggi jika kemampuan pembukaan jalan nafas secara cepat masih meragukan. Endotracheal tube dapat dicabut sementara alat lain dibiarkan didalam trachea seperti tube changer, nasogastrik tube, bronkoskop sehingga jalan nafas dapat segera dibuka jika perlu. Alat supra glottis seperti LMA dapat berhasil atau gagal membuka jalan nafas karena patologinya dapat terletak diatas atau dibawah supraglotis. Keberadaan seseorang yang dapat membuka jalan nafas secara bedah (dengan alat yang perlu) mungkin beralasan pada instansi tertentu dalam mengantisipasi kesulitan ekstubasi, khususnya jika tidak ada kebocoran saat cuf endotracheal dikempiskan. Hal terakhir itu kemungkinan karena udem glottis atau subglotis.3

KOMPLIKASI

a. Selama intubasi 1

1. Trauma gigi-geligi

2. Laserasi bibir, gusi, laring

3. Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)

4. Intubasi bronkus

5. Intubasi esophagus

6. Aspirasi

7. Spasme bronkus

b. Setelah ekstubasi 1

1. Spasme laring

2. Aspirasi

3. Gangguan fonasi

4. Edema glottis-subglotis

5. Infeksi laring, faring, trakea

Obstruksi jalan nafas, spasme laring, dan aspirasi adalah adalah komplikasi yang sebelumnya telah didiskusikan. Setalah intubasi 8 jam atau lebih proteksi jalan nafas dapat terganggu selama 4 atau 8 jam. Tenggorokan yang terasa sakit merupakan komplikasi anestesi yang bersumber pada faring, laring dan trakea dan dapat terjadi walaupun tanpa intubasi. Faktor yang dapat mempengaruhi kejadian nyeri tenggorokan adalah kontak dengan cuf (tracheitis), pemakaian lidokain ointmen dan ukuran endotracheal (laryngitis), penggunaan suksinilkolin (pharingitis). Cuf dengan permukaan cuf-trachea yang lebih panjang menyebabkan kejadian nyeri tenggorokan yang lebih sering. Kejadian nyeri tenggorokan juga berhubungan dengan tekanan dalam cuf. Efek lidokain masih dipertanyakan dalam menyebabkan nyeri tenggorokan. Nyeri pada perempuan yang lebih sering terjadi mungkin berhubungan dengan ukuran tube. Suatu studi menunjukkan ukuran tube berhubungan dengan kejadian dan keparahan nyeri pada kedua golongan jenis kelamin. Studi ini tidak menemukan suksinilkolin berhubungan dengan nyeri tenggorokan seperti dikira sebelumnya. Mekanisme nyeri tenggorokan karena suksnilkolin dipostulasikan karena myalgia karena fasikulasi otot pharing. Nyeri tenggorokan merupakan efek samping yang ringan yang menghilang dalam 72 jam dan bukan merupakan faktor untuk menentukan penggunaan intubasi endotrachel. Hal ini juga dapat terjadi pada LMA. Serak adalah efek samping ringan yang lain yang berhubungan dengan ukuran tube dan harus di selidiki jika menetap.3

Udem laring yang terjadi pada anak lebih sering menimbulkan gejala karena ukuran jalan nafas yang kecil lebih parah dipersempit oleh edema, edema hanya menyebabkan serak pada pada orang dewasa pada anak menyebabkan pengurangan luas penampang lintang laring. Edema subglotis khususnya lebih sering terjadi pada anak karena katilago yang tidak mengembang ini merupakan bagian tersempit jalan nafas anak. Edema dapat juga terjadi pada uvula, supraglotis, retroaritenoid, atau pada tingkat plika vocalis. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan laringoskop fiberoptik, tapi hal ini serng tidak penting. Stridor dihasilkan oleh obstruksi eksratorak yang menyebabkan bising inspirasi yang penting. Berkurangnya stridor dapat menggambarkan obstruksi total jalan nafas, dan pergerakan udara harus dikonfirmasi berulang ulang. Faktor-faktor yang berkontribusi dengan kejadian edema laring agak kontroversi, tapi dapat karena tube yang terlalu besar, trauma akibat laringoskop atau intubasi, manipulasi yang berlebih pada leher saat intubasi atau pembedahan, batuk berlebihan atau penolakan tube, dan infeksi saluran nafas atas saat ini dan sebelumnya.3

Penggunaan steroid propilaksis sebelum ekstubasi untuk mengurangi edema tidak terbukti tapi sering digunakan jika kemungkinan dicurigai terjadi stridor post ekstubasi. Penatalaksanaan termasuk oksigen yang dihangatkan dan dilembabkan, nebulasi epineprin (0.25ml) dan deksametason intravena (0.5 mg/kg sd 10 mg). Jika obstruksi menetap dan bertambah parah, reintubasi harus dipertimbangkan.3

Paralysis korda vokalis dapat disebabkan oleh trauma bedah pada nervus laryngeal recurren atau oleh cuf ETT. Edema korda vokalis yang terjadi pada paralisis dapat memicu penyumbatan jalan nafas total, yang menyebabkan paralisis korda bilateral. Akan lebih bijak untuk mengikuti evaluasi preoperatif dibidang otolarongologi pada pasien yang menderita serak yang direncanakan operasi elektif, sehingga patologi yang penting dapat diketahui dan masalah korda vokalis setelahnya tidak menyangkut ahli anestesi. Dapat terjadi dislokasi kartilago aritenoid akibat blade laringoskop mengakibatkan kelemahan suara setelah ekstubasi dan memerlukan koreksi bedah. Komplikasi yang lain termasuk ulcerasi dan granuloma pada korda vokalis sehingga terjadi serak yang menetap. Komplikasi yang lebih serius pada stenosis laring atau trahea, adalah squele yang jarang pada perioperative intubasi yang singkat.3

BAB III

KESIMPULAN

Pengelolaan atau manajemen jalan napas adalah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal dengan membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh. Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anesthesia posisi telentang, tonus otot jalan napas atas, otot genioglossus hilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan napas yang ditandai dengan hilangnya gerakan atau suara nafas, dan sianosis lebih cepat timbul (obstruksi total), atau berkurangnya pertukaran udara yang dihubungkan dengan retraksi pada dada bagian atas, dan suara snoring jika obstruksinya di nasofaring, atau stridor inspirasi jika obstruksinya di daerah laring (obstruksi parsial).

Dalam pengelolaan jalan napas kita harus mengatur posisi kepala dan leher pasien agar jalan napasnya terbuka, hal ini dapat dicapai baik dengan menggunakan manuver tripel jalan napas yang terdiri dari : Head Tilt, Chin Lift, dan Jaw Thrust maneuver. Bila tripel maneuver jalan napas ini tidak dapat membantu maka dapat dipasang alat jalan napas faring (NPA, naso-pharingeal airway; atau OPA, oro-pharyngeal airway), pemasangan alat jalan napas sungkup laring (laryngeal mask airway/ LMA), atau intubasi dengan pemasangan pipa endotrakea (endotracheal tube/ETT).

Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi antara lain: menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun, mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, dan pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Adapun komplikasi dari intubasi antara lain: Selama intubasi (trauma gigi-geligi, laserasi bibir/gusi/laring, merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi), intubasi bronkus, intubasi esophagus, aspirasi, spasme bronkus; dan setelah ekstubasi (spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glottis-subglotis, dan infeksi laring, faring dan trakea.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhiman M, Thaib M.R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif FKUI. 1989. Hal: 103-07.

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif FKUI. 2001. Hal: 36-44.

3. Gal TJ. Manajemen jalan napas. Diunduh dari URL: http://www.scribd. com/doc/49637824/MANAJEMEN-JALAN-NAFAS.

4. Iman. Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) Tanpa Alat. 2009. Diunduh dari URL:http://dokter-medis.com/2009/06/pengelolaan-jalan-napas-airway.html

5. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke-2. Jakarta: EGC. 2004. Hal: 102-04, 106-09.

6. Dharma A: dalam Dobson MB. Penuntun praktis anestesi. Jakarta: EGC. 1994. Hal: 12-25.

(NPA, naso-pharingeal airway)

Indikasi Penggunaan NPA :

Napas spontan

Orang yang sadar / setengah sadar

Kesulitan dengan OPA

Ada refleks muntah

Kontra indikasi :

Cedera kepala/ muka yang remuk

Fraktur basis cranii

Hidung yang tersumbat

Striktur kongenital

Bleeding disorders

(OPA, oro-pharyngeal airway)

Indikasi Penggunaan OPA :

Napas spontan

Orang yang tidak sadarkan diri

tidak ada refleks muntah

Kontra Indikasi :

Pasien sadar

Ada refkels muntah

adanya trismus

cedera berat daerah mulut / trauma mulut yang masif

Rahang mengatup kuat

28