Lilin Melawan Angin

download Lilin Melawan Angin

of 83

Transcript of Lilin Melawan Angin

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    1/83

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    2/83

    Lilin-lilinmelawan angin

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    3/83

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    4/83

    Lilin-lilinmelawan angin

    Kumpulan PuisiSlamet Riyadi Sabrawi

    PengantarAshadi Siregar

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    5/83

    Lilin-lilin

    Melawan Angin

    2009

    Penulis: Slamet Riyadi Sabrawi

    Desain cover: Andri Reno Susetyo

    Layout:Arif Nr

    Gunung Gempal Rt027 Rw012 Giripeni Wates

    Kulon Progo - Yogyakarta 55612

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    6/83

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    7/83

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    8/83

    v

    Catatan

    Seorang Sahabat

    Akhirnya, sebuah kumpulan puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi

    terbit juga. Bukan sembarang karya. Inilah kumpulan karya yang

    lahir ketika ia telah menjadi kakek dua orang cucu.

    Cukup banyak puisi yang diterbitkan ini bertanda 2009. Tanda

    tahun yang bisa menyesatkan, seakan Slamet baru mulai menjadi

    pujangga pada usia 56 tahun.

    Padahal, karier Slamet berpuisi telah dimulai jauh hari

    sebelumnya. Ia satu dari sejumlah penyair muda Yogya yang

    ditelurkan Umbu Landu Paranggi di awal 70-an.

    Bahkan, ia tergolong lebih senior daripada Emha Ainun Najib.

    Menurut catatan Slamet, ia lebih dulu berhasil menembus Sabana.

    Rubrik puisi yang diasuh Umbu di surat kabar Pelopor Yogya

    memiliki dua jenjang yang menunjukkan peringkat. Yang pertama

    adalah Persada, yang merupakan peringkat untuk pemula.

    Bila puisi berhasil lolos masuk halaman Persada, maka inilah

    pembaptisan menjadi penyair. Sebuah kebanggaan tentu, karena

    ketatnya kriteria dan kerasnya persaingan.

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    9/83

    v

    Yang kedua adalah Sabana. Ini peringkat di atas Persada. Puisi

    yang dimuat di halaman Sabana adalah pengakuan lebih lanjut

    akan mutu sastra. Sang karya telah naik kelas, dan tentu dengansendirinya sang penyair.

    Slamet Riyadi berhasil menembus batas Persada. Karyanya

    nangkring di Sabana.

    Begitulah, antara lain cara Umbu menciptakan kompetisi dan

    pengakuan. Itulah sebabnya sangat menggairahkan menyaksikanhalaman Persada dan Sabana tiap pekan. Dan memang pada masa

    itu dari sinilah lahir para penyair muda Yogya. Ini jelas jasa besar

    Umbu Landu Paranggi.

    Saya mengenal Slamet pada 1976 di Gelora Mahasiswa, surat

    kabar mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Slamet, mahasiswa

    Fakultas Kedokteran Hewan, sudah lebih dahulu mengasuh

    Gelora ketika saya bergabung. Jadi, dia adalah senior saya dalam

    jurnalistik. Dalam perjalanan kemudian, Slamet menjadi Pemimpin

    Redaksi dan saya menjadi Pemimpin Umum sampai koran itu

    dibredel rektor Prof.Dr.Sukadji Ranuwihardjo.

    Di Gelora Mahasiswa antara lain saya bertugas meliput hal ihwal

    kesenian dan kebudayaan. Saya dan Slamet-lah yang menyeleksi

    puisi yang layak muat di Gelora Mahasiswa.

    Akan tetapi, saya tak tahu kapan tepatnya Slamet mengalami

    moratorium berpuisi. Yang pasti, suatu hari ia bikin kejutan,

    setidaknya mengejutkan saya. Slamet menyutradarai pementasan

    Joko Tarub di Purna Budaya, Yogya.

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    10/83

    x

    Pementasan itu mengejutkan karena dua hal. Pertama, karena

    Slamet tidak pernah bercerita secuil pun bahwa ia sedang

    mempersiapkan sebuah pementasan yang ia sutradarai. Slametmemang lebih banyak diam dan senyum.

    Kedua, karena mutunya. Pementasan itu di mata saya bukan hanya

    layak tapi bernilai untuk diresensi. Dan itulah yang saya lakukan di

    Gelora Mahasiswa.

    Namun ternyata bukan hanya Slamet muda yang bisa membuatkejutan. Dalam usianya sebagai kakek, ia pun mengejutkan saya,

    ketika suatu hari ia menelepon dan mengatakan akan menerbitkan

    kumpulan puisi dengan swadana dan meminta saya memberi catatan.

    Saya sengaja memilih orang untuk memberi catatan ini bukan dari

    kalangan penyair (sastrawan atawa pengamat sastra) tetapi lebih

    pada orang yang pernah bersama dalam perjalanan hidup ketika

    muda, tulis Slamet dalam emailnya (Jumat, 19 Juni 2009).

    Bersama surat elektronik itu datanglah ke hadapan saya 55 puisi

    yang akan dibukukan dengan tajuk Lilin-lilin Melawan Angin.

    Isinya terbentang antara makna perjalanan dan makna bergumul

    dengan waktu.

    Lilin-lilin Melawan Angin adalah judul puisi perihal Danau Toba

    yang, menurut Slamet, /... Seingatku kau sudah melarangku untuk

    menanam luka yang kukemas dengan berbagai cara padahal itu

    membuatmu terpaku pada pintu peluangmu, seingatku kau selalu

    memilih kata yang mudah dieja tanpa suara .../

    Slamet prihatin dengan kondisi Danau Toba. /...Kudengar suaramuresah, limbah datang tak bertuah.../, tulisnya dalam Toba Nan

    Rapuh.

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    11/83

    x

    Pergumulan dengan waktu tampak pada sejumlah sajak seperti

    Siang, Petang, Malam, Ulang Tahun, Usia, dan tentu

    puisi menyambut kelahiran dan ulang tahun sang cucu.

    /Kutemukan tubuh tuaku lekang oleh jam. Waktu terus

    menggerusku/ (Usia)

    Dengan terbitnya kumpulan puisi ini, sejarah sastra boleh mencatat

    telah bertambah seorang lagi penyair yang dokter hewan bersama

    Asrul Sani dan Taufq Ismail.

    Saur M. Hutabarat

    Jakarta, 26 Juli 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    12/83

    x

    Dari Pekalongan ke Yogyakarta, masuk ke Universitas Gadjah

    Mada, maksudnya untuk menjadi dokter hewan. Memang berhasil,

    dia lulus dan berhak meyandang gelar Dokter Hewan (Drh). Tapi

    apakah dia selanjutnya mengurusi para binatang yang sakit?

    Kalau sekarang berpuisi, ada apa dengan Drh Slamet Riyadi?

    Dunia Slamet Riyadi terentang antara kampus UGM yang disitu

    dia menghadapi preparat dan tubuh hewan-hewan. Lalu asrama

    anak-anak Pekalongan yang belajar atau kuliah di Yogyakarta. Pada

    tahun 70an, ada sejumlah penghuni asrama itu yang menggulati

    kegiatan teater. Saya pernah menonton pertunjukan drama komediberupa monolog yang dimainkan Slamet Riyadi. Jadi jauh sebelum

    Butet Kertarajasa ditabalkan sebagai raja monolog, Slamet sudah

    pernah mengusung monolog (walaupun tidak sampai merajai)

    ke berbagai daerah. Pada masa perkuliahannya dia juga aktif

    dalam kelompok diskusi dan pers mahasiswa, dua sayap kegiatan

    yang tidak terpisahkan dari kehidupan aktivis mahasiswa. Saat

    dia bersama Saur Hutabarat (belakangan pimpinan teras di

    Media Group) memimpin Gelora Mahasiswa, koran mahasiswa

    Pengantar

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    13/83

    x

    itu dibredel oleh rektor UGM. Boleh jadi pembredelan itu ada

    hikmahnya, sebab memaksa sejumlah aktivis yang tadinya lalai,

    dapat menyelesaikan studinya. Setelah selesai kuliah, dia sempatbekerja di bidang farmasi, memasarkan obat-obatan. Saya tidak

    tahu, obat untuk manusia atau hewan.

    Belakangan dia berhenti sebagai pemasar produk farmasi itu, dan

    menerjuni bidang pers kembali, bekerja sampai level redaktur

    pelaksana pada salah satu penerbitan besar di Jakarta. Kemudian

    kegiatan sebagai praktisi pers ini pun ditinggalkannya. Tahun 1992

    dia kembali ke Yogyakarta, dan mengelola Lembaga Penelitian

    Pendidikan Penerbitan Yogya (LP3Y), sebuah organisasi nir-

    laba yang bergerak dalam bidang pengembangan jurnalisme dan

    media massa. Disini kegiatan masih berkaitan dengan dunia pers,

    karena banyak memberikan pelatihan profesi bagi jurnalis. Selama

    aktif di lembaga ini, dia mengembangkan kegiatan komunikasidengan berfokus pada isu AIDS (acquired immune defciency

    syndrome). Ratusan jurnalis telah mendapat pelatihan tentang

    masalah ini. Pelajaran bukan hanya keterampilan pragmatis untuk

    membuat berita, tetapi lebih jauh dengan titik tolak dari fenomena

    AIDS menumbuhkan penyadaran bagi para jurnalis tentang nilai

    kehidupan dan hak azasi manusia. Pada masa ini sekaligus diaberkiprah sebagai aktivis penanggulangan AIDS, terlibat dalam

    banyak program internasional di bidang ini.

    Nah, dengan sedikit latar itu tentunya belum diperoleh jawaban

    pertaliannya dengan puisi. Walaupun ada dokter hewan yang

    menjadi penyair angkatan 45 seperti Asrul Sani atau angkatan

    66 seperti Taufk Ismail, bukan berarti dunia hewan-hewan akan

    memberikan dorongan berpuisi. Mungkin berteater dekat dengan

    dunia puisi, tapi tidak setiap teaterwan akan menjadi penyairpuisi.

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    14/83

    x

    Begitu juga dunia jurnalisme yang mengolah kata dapat memberi

    kekuatan pada proses berpuisi. Tetapi semuanya tetaplah bukan

    dunia puisi.

    Puisi adalah dunia tahun 70an di Malioboro. Nah, disini Slamet

    Riyadi runtang-runtung dengan sejumlah anak muda yang

    mengitari Umbu Landu Paranggi. Membayangkan dunia kesenian

    di Yogya pada masa itu adalah dari Tugu yang terpacak di utara

    Malioboro, menyusuri jalan ke selatan, sampai ke Gedung Seni

    Sono di pinggir Istana Negara di ujung selatan Malioboro. Lalu

    ke barat, menyusuri jalan sampai di Gampingan, di sini bermarkas

    anak-anak sekolah seni rupa. Jika ditarik garis imajiner, ada

    semacam mandala, wilayah yang berbentuk segitiga yang selalu

    diramaikan oleh anak-anak muda yang menggeluti dunia seni kata

    dan seni rupa.

    Seni Sono, sayang sekali gedung yang sudah diratakan dengan

    tanah kini, menyimpan banyak kenangan. Secara berganti, tempat

    itu menjadi ajang bagi anak-anak muda mengekspresikan diri

    dalam seni kata dan seni rupa. Saat itu ada gedung lain yang biasa

    digunakan untuk pertunjukan teater atau pameran seni rupa. Tetapi

    untuk penampilan seni berbau eksperimen, biasanya dilangsungkan

    di gedung Seni Sono. Karenanya nama gedung ini sering disebut

    dalam berbagai tulisan yang mengulas dinamika kesenian di

    Yogyakarta tahun 70 80an.

    Slamet Riyadi pernah berkiprah dalam seni peran, tampil di Seni

    Sono. Seingat saya dia memainkan suatu lakon komedi. Bahwa

    dia melucu di panggung boleh jadi bagian dalam proses menikmatidunia yang berbeda dari kesehariannya. Saya tidak tahu seberapa

    intens seni peran digelutinya, dan apakah ada bekas dalam dirinya.

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    15/83

    xv

    Tetapi dengan menghadapi puisi-puisi yang ditulisnya sekarang,

    setidaknya ada dunia Maliboro yang tertinggal, dan bangkit

    kembali setelah lebih seperempat abad. Maliboro agaknya sebagaifaktor yang menghidupkan penghayatan alam puitik dalam dirinya.

    Banyak orang yang pernah tinggal di Yogyakarta, menyimpan

    kenangan atas sepenggal jalan ini. Agaknya romantisme itu

    mengusik tanda tanya. Bagaimana melihat Malioboro?

    Bagaimana membayangkan Maliboro tahun 70-an? Pada awalnyaMalioboro adalah selarik jalan menghubungkan Kraton dan Tugu.

    Konon ini adalah garis imajiner bagi kekuasaan spiritual kerajaan

    Yogyakarta dari Laut Selatan sampai ke Gunung Merapi. Tetapi

    kemudian Maliboro adalah ajang niaga, kiri-kanannya disesaki

    oleh pertokoan, termasuk pasar gede Beringharjo, gang-gang

    yang bermuara ke jalan ini berasal dari permukiman yang dihuni

    kebanyakan pedagang Tionghoa, ditambah dengan sarkem (dari

    sebutan jalan Pasar Kembang sebagai penanda bagi perkampungan

    Sosrowijayan dan sekitarnya yang diisi oleh pekerja seks

    komersial).

    Pada masa Hindia Belanda, sepanjang jalan ini dapat disebut

    sebagai simbol kekuasaan kolonial di satu pihak dan terkikisnyakekuasaan Sultan Yogyakarta pada pihak lain. Di sini didirikan

    gedung besar hunian gubernur kolonial (kini sebagai Gedung

    Negara), berseberangan dengan benteng detasemen tentara

    Belanda. Di jalan ini pula dijalankan pusat pemerintahan pribumi

    guna menghadapi kekuasaan pemerintahan kraton, yaitu Kepatihan.

    Pemerintahan pribumi bentukan kolonial ini menjadikan institusitradisional yang semula mengabdi sepenuhnya pada Sultan,

    kemudian bermajikan pada kolonial Belanda.

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    16/83

    xv

    Setelah kemerdekaan, Sultan Hamengkubuwono IX melikuidasi

    institusi kepatihan, untuk kemudian beliau berkantor sepenuhnya

    sebagai Kepala Daerah di gedung itu. Untuk waktu yang lamamasyarakat Yogyakarta tetap menjuluki gedung perkantoran itu

    sebagai kepatihan. Di Malioboro juga terdapat gedung parlemen

    daerah dan kantor polisi wilayah. Disini juga ada perpustakaan

    wilayah, isinya buku-buku tua, suatu sarana yang berharga di

    tengah kelangkaan perpustakaan dunia pendidikan saat itu. Di

    antara buku itu ada koleksi Bung Hatta, sebelum di pindah ke

    perpustakaan Yayasan Hatta di Jalan Solo. (Kini yang tersisa di

    Malioboro hanya gedung pemerintahan dan parlemen daerah.

    Sedangkan lainnya adalah deretan pertokoan dan mal).

    Di Maliboro siang-malam berlangsung kegiatan ekonomi formal

    dan informal, yaitu orang-orang yang menjadikan selajur jalan ini

    sebagai sumber kehidupan. Datang ke Maliboro, ya untuk belanja.Karenanya tempat ini menjadi persinggahan bagi pembeli di toko

    dan penjaja makanan, wisatawan dari luar kota dan penjenguk

    etalase (tidak berbelanja, ramai terutama sabtu malam), tiga

    macam pesinggah yang relevan bagi kehidupan Malioboro. Jadi

    membicarakan Malioboro otomatis mengacu pada perbelanjaan

    dan pengunjungnya.

    Tak masuk akal jika dunia niaga semacam itu berhasil

    meninggalkan jejak romantisme. Lantas apa yang perlu dikenang?

    Inilah dia.

    Maliboro pada titik tertentu, menjadi penanda tempat bertemu

    (rendezvous). Tetapi jangan lupa, ini hanya karena kemiskinan.Tak lain untuk efsiensi akibat keterbatasan sarana komunikasi,

    tidak ada telepon umum apalagi telepon rumah. Kalau mau kontak

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    17/83

    xv

    teman, berkunjunglah (syukur kalau ada sepeda) ke tempat kosnya,

    dan manakala tidak bertemu harus meninggalkan nota secarik

    kertas: janjian ketemu malam nanti di gudek bu Amat atauwarung pak Pujo (kalau yang janjian punya potensi meneraktir),

    teteg sepur (palang kereta api) atau depan Hotel Garuda (kalau

    sedang bokek), dan sebagainya, semua di sepanjang Malioboro.

    Betapa susah-payahnya untuk dapat berkontak satu sama lain.

    Sehingga Maliboro bagaikan sinar terang bagi laron di malam

    gelap. Lampu-lampu pertokoan membuatnya sangat kontras

    dengan kawasan-kawasan permukiman yang hanya berfasilitas

    listrik bertegangan 110 volt dengan lampu jalanan jarang menyala.

    Saat pertokoan buka, pengunjung bermandi cahaya. Begitu masuk

    jam 9 malam, toko-toko menutup pintu dan etalase, kaki lima

    menjadi labirin yang suram. Hanya satu dua penjual makanan

    buka lesehan. Jadi Malioboro yang romantis itu adalah: setelah diMalioboro hanya ada sinar teplok penjual gudek atau gorengan

    ketela atau pisang. Karenanya jangan membayangkan Maliboro

    yang penuh lampu mal dan iklan.

    Agaknya keterbatasan komunikasi dan gerak, serta suasana yang

    suram itulah yang menjadikan kebersamaan sangat berarti sehingga

    selalu dikenang. Atau karena bergelandang setelah pertokoan

    tutup, tanpa disadari sesungguhnya menjadikan kelompok orang

    muda tahun 70-an itu berada pada wilayah pinggiran, yang sangat

    berguna dalam mengembangkan diri dalam proses kreatif.

    Pergaulan yang intens sepanjang Malioboro yang suram bagaikan

    hidup dalam sanggar. Suatu sanggar hadir dengan seorang empu.Untuk dunia puisi di Malioboro ada Umbu Landu Paranggi.

    Seorang empu berfungsi sebagai sumber semangat yang

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    18/83

    xv

    mengikat agar warga sanggar memeroses diri guna menemukan

    perkembangannya. Totalitas pergaulan sanggar itulah sebagai

    proses untuk menjadi (to be) suatu istilah yang sangat pentingdalam dunia kesenian. Membayangkan menjadi harus bertumpu

    kepada proses personal yang berlangsung atas diri seseorang.

    Alat ukurnya tidak ditentukan oleh suatu kekuasaan dan struktur

    tertentu, melainkan dari kedirian pelaku dengan karya-karyanya

    di tengah lingkungannya. Pada tahap pertama dalam lingkaran

    kecil dari rekan sesanggar yang mengakui keberadaan dan karakter

    karya yang dihasilkan. Pengakuan ini boleh saja dieksplisitkan,

    tetapi yang paling utama adalah kesadaran dalam kejujuran dunia

    dalam (inner world) untuk mengakui keberadaan suatu karya

    seseorang. Dari interaksi semacam ini setiap orang dalam sanggar

    akan menemukan dirinya menjadi.

    Saat itu empu Umbu Landu Paranggi mengasuh rubrik kebudayaandi koranPelopor Yogya, dan didalamnya ada halaman untuk

    menampung puisi. Tetapi yang penting bukan pemuatannya,

    melainkan sebelum suatu puisi terpublikasi. Umbu Landung

    Paranggi menghidupkan suasana sanggar ini di sepanjang jalan

    Maliboro, di warung-warung kecil, atau perjalanan ke luar kota.

    Anak-anak muda yang terpesona akan dunia puisi, penuh gairahmenjalani proses yang berlangsung.

    Keunikan proses berlangsung adalah dengan menjadikan proses

    kreatif bagai di dalam pertandingan sepakbola. Pemuatan karya

    ibarat menjebol gawang lawan. Untuk itu pemain terbagi dua

    kategori, kategori pertama bagi pemula yang karyanya dimuat

    dalam kolom Persada, dan kategori kedua dimuat di kolom

    Sabana. Kegairahan yang terpacu dalam interaksi sempat saya

    tonton di antara anak-anak muda yang mengitari Umbu. Berhasil

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    19/83

    xv

    dimuat di Persada membuat penyairnya berbinar-binar. Tetapi

    yang luar biasa adalah saat berhasil menembus kolom Sabana,

    yang dalam pandangan sesamanya adalah sebagai puncak kerjakeras.

    Mungkin pembaca koran Pelopor Yogya tidak berperhatian adanya

    pemilahan kategori ini, sebab hanya anak-anak muda di sekitar

    Umbu yang mengalami ekstasi dalam proses penghayatan dunia

    puitik, sampai karyanya dimuat apakah di Persada ataupun

    Sabana. Dari pinggir saya hanya menyaksikan semangat

    dalam berpuisi, suatu gairah yang mungkin sangat langka dapat

    ditemukan saat ini. Mungkin suasana penghayatan dunia puitik

    berbeda pada setiap generasi.

    Slamet Riyadi adalah satu generasi di antara anak-anak muda

    tahun 70-an, secara personal berbeda dengan Emha Ainun Nadjib

    yang ekspresif, atau Linus Suryadi yang pendiam dan biasa

    menggerutu. Keduanya termasuk anak didik Umbu Landu Paranggi

    yang menjadi penyair dengan kekhasan masing-masing. Sedang

    Slamet Riyadi mengikuti setiap proses dengan sabar, dan kemudian

    mengejutkan teman-teman sekelompoknya saat puisinya nongol

    di Sabana. Apakah karena dia tidak banyak cingcong sehingga

    dia mendapat perhatian khusus dari Umbu, sedang beberapa

    lainnya sering disergah karena cerewet, saya kurang tahu. Seingat

    saya keberhasilannya menembus Sabana relatif cepat dibanding

    dengan anak-anak muda lainya dalam kelompok itu.

    Sayang sekali saya tidak dapat membaca ulang puisi-puisi yang

    ditulisnya dari tahun-tahun Persada dan Sabana. Tetapi agaknyapenghayatan dunia puitik Slamet Riyadi tidak bisa hilang, sebab

    akhirnya dia kembali berpuisi. Walaupun tentunya suasana

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    20/83

    xx

    sangat berbeda, saat ini tidak ada pertandingan yang diikuti, tidak

    ada gawang yang perlu dijebol. Jadi penghayatan dunia puitik

    sepenuhnya dari dirinya sendiri.

    Yogyakarta, Agustus 2009

    ASHADI SIREGAR

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    21/83

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    22/83

    xx

    Daftar Isi

    Catatan Seorang Sahabat ................................... v

    Pengantar ............................................................xi

    Daftar Isi ............................................................ xxi

    Suatu malam, kuterpaku di antara

    dua dinding batu ................................................. 1

    Sujud ...................................................................2

    Suara Suara Itu .................................................. 3

    Anakku ................................................................4

    Bom ....................................................................5

    Peron ...................................................................6

    Kesaksian ............................................................7

    Mikail ...................................................................8Malam Kelam ......................................................9

    Sekutuku ...........................................................10

    Mimpi ................................................................11

    Dering Itu ...........................................................12

    Embun...............................................................13

    Ruang................................................................14

    1Kepada: Ataya Naveen Izzan ........................... 15

    2

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    23/83

    xx

    Kepada: Naura Aqeela Falisha .........................16

    Danau Luka ......................................................17

    Samosir Getir ....................................................18

    Toba nan Rapuh ................................................ 19

    Lilin-lilin Melawan Angin ...................................20

    Kutulis Ini Sebagai Duri ...................................... 21

    Manaku .............................................................22

    Perlukah Puisi ...................................................23

    Bulan dan Belatung .........................................24

    Sajak Cinta .......................................................25

    Debu .................................................................26

    Wajah-wajah Kaku .............................................27

    Demodiri ............................................................28

    Namamu ...........................................................29

    Rumah Tua .......................................................30

    Pekalongan (1) ................................................. 31

    Pekalongan (2) ................................................. 32

    Pekalongan (3) ................................................. 33

    Malam ...............................................................34

    Sajak Lupa .......................................................35

    Singapore ..........................................................36

    Daun Patah.......................................................37

    Siang .................................................................38

    Petang ...............................................................39

    Bulan .................................................................40

    Selepas Siang ..................................................41

    Kartu Nama ......................................................42

    Sermo ................................................................43

    Batu Kali ............................................................44

    Bali (1) .............................................................45

    Bali (2) ..............................................................46

    Bali (3) ...............................................................47Kenanga

    Kepada Gt .........................................................48

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    24/83

    xx

    Saskatoon .........................................................49

    Katarsis ............................................................. 50

    Api .....................................................................51

    Hari-hari ............................................................. 52

    Doa ...................................................................53

    Dogma (1) ........................................................54

    Dogma (2) ........................................................55

    Biodata .............................................................. 57

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    25/83

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    26/83

    Suatu malam,

    kuterpaku di antara dua

    dinding batu

    Ketika malam mengecoh bulan, serombongan orang

    datang membawa gumam, akankah gelap kan bersanding

    dengan kelam? Di bukit batu itu kau melenguh

    sementara pertunjukan baru berjalan separuh

    Ketika gamelan ditabuh riuh, segerombolan

    orang menggerakkan tubuh, apakah ruh kan tetap

    bertaut dengan sauh? Di kepak garuda itu Wisnu

    membelakangimu membiarkanmu termangu

    Ketika kata disulut tepuk

    Ketika tepuk membuat mabukKetika mabuk hilang bentuk

    Bali Agustus 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    27/83

    Sujud

    Ada yang hilang ketika diam menghadang pada rentang

    malam yang panjang. Sepertiga atau subuh menjelang

    Ada godaan datang mengungkit kantuk yang terantuk

    dingin atau suntuk. Atau batukmu menyentuh ufuk

    Ketika kutangkupkan henyak pada rintihan cicak yang

    melata di antara doa. Pinta mendua antara surga dan

    fana, kuudar kata lirih tapi bukan rintih

    Kuadukan dahi pada seratus minus satu namamu. Letih

    Aku berpacu memintamu, kadang satu atau seribu

    Wates 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    28/83

    Suara Suara Itu

    Sudah sepekan kau dan anak-anakmu pergi dari gubug

    senyap ini. Sepi beranjak lagi dari tepi. Mengoyak

    beranda saban hari. Suara-suara itu menyandera pagi

    Celotehan kecil itu telah memberiku nyali menghitung

    hari. Sejak pagi hingga malam tanpa peri. Sampai

    perekamku habis energi. Suara-suara itu mengikis sunyi

    Kusukai bunyi yang keluar dari mulut-mulut kecilmu.

    Nyanyian yang menjadi gelak. Atau tangis yang beradu

    dengan gigi geripis. Suara-suara itu berjarak tipis

    (Dini hari tadi kau kabari: Kan kau kirimi aku selusin

    paket berisi suara-suara itu untuk menghalau risau)

    Wates 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    29/83

    Anakku

    Dingin menusuk tengkuk. Pagi. Langkah kecilmu

    bergegas, menerabas salju yang meranggas

    Kupingmu kau balut rapat agar tak beku. Hangat

    Sudahkah kau selipkan doa dalam rangsel kecil di

    punggungnya? Biarlah ia memacu melawan suhu minus

    satu. Angin prairi datang bertubi. Malam henti

    Nak simpanlah potongan kota itu dalam kotak mainan

    anakmu yang berserak. Biarkan ia tegak. Menggelegak

    Saskatoon, 1990

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    30/83

    Bom

    Bom lagi?, tanya Drupadi. Ia menduga Dursasana kalap

    karena gagal mengudar pakaiannya ketika para lelaki

    setengah hati

    Mengapa engkau diam?, suaranya lantang memecah

    paseban. Para lelanang diam, Ketika kekerasan semakin

    garang, ketika perempuan jadi korban!

    Meski Kresna curiga ia tak mampu menghadang ledakan

    Mengapa bukan gada yang kau bawa, tapi peregang

    nyawa yang melantakkan beranda bukan padang

    Kurusetra?

    Perang telah kau alihkan, bukan Bima yang kau lawan

    tapi siapa saja. Kau buta meski kau bukan Destrarata

    Jakarta 17 Juli 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    31/83

    Peron

    Tak ada lagi kereta lewat atau berangkat.Hanya ada

    rel tua yang menggeliat dan jadwal yang meringkuk

    dikerubut rengat

    Kenapa kau masih menunggu suara sinyal menjerit?

    Padahal peluit itu kau lempar ke langit

    Di petamu peron itu jadi noktah yang pasrah. Digilas

    sejarah negri berantah

    Di matamu peron itu basah.Tak ada desah dan kabar dari

    negri yang resah

    Wates 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    32/83

    Kesaksian

    Kusaksikan gumam sepanjang siang dari bilik-bilik yang

    tercabik. Kertas digenggaman jadi tumpuan, tapi bisakah

    ia bermakna tanpa pena. Suara pada akhirnya adalah

    baca

    Kusaksikan gamang meradang hingga matahari

    sepenggalan. Terik siang menatap matahati, siapakah

    pemulih negeri loh jinawi yang kau percayai kini?

    Kusaksikan orang-orang bergegas pergi meninggalkan

    sebungkah nurani di kotak ini. Lantas kemanakah

    engkau bawa sebungkah yang lain esok hari?

    Wates 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    33/83

    Mikail

    Kemarin kau kabari Mikail mati, aku nyaris tak peduli.

    Biarlah ia menuju tepi. Sendiri

    Kemarin kau sadari Izrail menanti, aku miris pada hari.

    Biarlah ia menyanyi akhir kali. Sunyi

    Hari ini kau kirimi Jibril hati, aku narsis pada nabi.

    Biarlah ia mendaki tinggi. Sekali

    Yogya Juli 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    34/83

    Malam Kelam

    Tak bisa kudiam menyaksikan malam menyisakan kelam

    Angin menyusut di antara rumput yang lusuh. Diam

    berkelindan dengan dendam

    Tak bisa kurekam suara bulan yang berkeluh kesah soal

    malam. Haruskah aku berseteru dengan pagi?

    Dingin jatuh di sela-sela daun luruh

    Wates 2 Juli 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    35/83

    0

    Sekutuku

    Sekutuku itu selalu beradu dengan waktu. Dalam letak

    ada detak menggelegak yang memberiku jejak. Beribu

    pasak

    Soal sepatu tak lalu memberimu mau. Liku jalan telah

    tunjukkan duka lama di sela kata luka. Berjuta tapak

    Ringkuk tangismu yang melepas tawaku tak juga jadi

    rindu. Dalam debu ada batu menggerutu pilu. Satu

    sembilu

    Yogya awal Juli 09

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    36/83

    Mimpi

    Di suatu pagi kukisahkan kepadanya sebuah negeri

    garang yang tak berperi. Tak ada halimun maupun

    penyamun. Hanya ada pedang sederhana yang terlempar

    dari sebuah padang: Kurusetra. Tak ada digdaya maupun

    kuasa. Tak ada pemenang ataupun pecundang. Tak ada

    Di suatu malam kukisahkan kepadanya negeri remang

    tak bertepi. Tak ada ringkik maupun teriak jengkerik.

    Hanya ada satria lelah yang meredam gundah dan

    amarah: Yudhistira. Tak ada lagi yang mendaki seribu

    mimpi. Tak lagi

    Esok kukisahkan lagi kepadamu sebuah negeri yang tak

    punya mimpi. Biarlah mimpi menjadi milikmu malam

    ini

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    37/83

    Dering Itu

    Dering itu memecah hening di tempatku bergeming.

    Siapa mengetuk pintuku dengan denting saat subuh

    terpelanting. Silakan angkut tubuhku menuju tempat

    teduh

    Masihkah engkau ragu mengajakku menapaki

    berandamu di lantai tujuh? Hanya ada angin kusut dan

    suara surut

    Dering itu menatap hening dan saling bersaing. Tak

    berpaling

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    38/83

    Embun

    Kujunjung embun yang sedang meratapi daun di sebuah

    pagi

    Kau sanjung gelembung yang menatapi rimbun daun di

    sebuah siang

    Kucium kedua dahi sekutu kecilku dalam gelombang

    diam. Malam belum padam

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    39/83

    Ruang

    Percayakah kau pada angka yang menunjuk suhu di

    ruang tamu. Aku ragu

    Rasa gerah telah menutup celah di tempat biasa

    kusimpan resah

    Kabarkan pada orang yang bergegas di jalanan

    meregang siang. Kau berang

    Padahal berita yang kusiarkan saling bersilang di antara

    tiang penjaga ruang

    Ia selalu berselingkuh dengan waktu. Aku tahu

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    40/83

    1Kepada: Ataya Naveen Izzan

    Jelang subuh ayahmu ikatkan sauh di pantai tempat

    teduhmu berlabuh

    Tak ada jerit yang jadi kait gigilmu tapi teriak kecilmu

    jadi bait

    Tak cukup beratmu menyangga selang berebut menuju

    pusatmu, Biarkan ia meredam segala kuman yang

    mengaliri darahmu, nak,sayup suara ibu

    Kini sesudah engkau menggebu tiup dua lilinmu tak lagi

    tersisa masa kalut menindihku,Tundukkan dunia yang

    geram dengan kesalihan,nak!

    Klaten 2007

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    41/83

    2Kepada: Naura Aqeela Falisha

    Pada tangismu pertama

    Kusematkan doa di dadamu yang berdetak nyaring

    melawan hening

    Pada tangismu keduaKusalami ruang penjagamu yang mengais lirih menahan

    perih

    Pada tangis berikutnya

    Kusaksikan rengkuh kecilmu yang meraih asi hangati

    diri

    Klaten 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    42/83

    Danau Luka

    Pada bulan yang tak kunjung pulang kukirim berita

    tentang malam merambat pelan di antara pelepah pisang

    dan sepotong daun kering dihempas jalanan

    Pada kabut yang bergelinjang datang merajut dingin diantara pohon pinus dan kegelapan kutulis pesan ringan

    untuk kau bawa pulang

    Pada bukit yang berbaris menjulang panjang

    kunyanyikan ode agar ia setia merawat danau tuamu

    yang terluka

    Tomok 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    43/83

    Samosir Getir

    Kusapa malammu yang direcoki gerimis tiris menerpa

    geliat airmu di antara kerlip lampu menekuk lesu.

    Ada nyanyian orang seberang, ada teriakan horas

    bergelombang menimpa petang, ada dentuman suara

    oplet mengusir suara sepimu, ada detak mengusik

    danaumu berisik.

    Kucoba menyeberang menyisir Samosir hingga

    kutemukan kisahmu perih mendulang buih yang tertatih

    Tak ada lagikah bisa kau raih dari harapan yang

    bersepih?

    Samosir 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    44/83

    Toba nan Rapuh

    Pohon-pohon sawit berjajar menuju danaumu saling

    bercerita tentang leluhurmu yang datang dari serpihan

    iga para dewa. Kau dengar batang bertumbangan

    menumpuk kerakusan?

    Para keramba telah kau pasang di tepian menyisakan

    kisah tentang kegelisahan melumuri riak-riak danaumu

    yang renta. Kudengar suaramu resah, limbah datang tak

    bertuah

    Masihkah kau bangga dengan perlawananmu yang sia-

    sia di sekujur danaumu?

    Toba 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    45/83

    0

    Lilin-lilin Melawan Angin

    Tak mudah menyulut api di tepi danau yang tepinya

    bertaut sepi dan angin menggoyang kencang meniti

    jemarimu yang ringkih menggenggam lilin-lilin seirama

    hati. Seingatku sudah puluhan kali kau lakukan cara

    ini di malam kesaksian yang tak pernah menjadi pagi,

    seingatku kau selalu terbata menghitung kata yang

    tertinggal di kaca jendela

    Tak mudah mengaliri air dari mata danaumu yang

    membisu ketika api dipaksa menyala dan lelehan lilin

    itu menahan beban agar tidak jatuh menahan ruh yang

    rapuh. Seingatku kau sudah melarangku untuk menanam

    luka yang kukemas dengan berbagai cara padahal itu

    membuatmu terpaku pada pintu peluangmu, seingatku

    kau selalu memilih kata yang mudah dieja tanpa suara

    Tak mudah meniti danaumu bila api hilang dari sepi,

    seingatku kata tak lagi menuai makna

    Toba dalam MRAN 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    46/83

    Kutulis Ini Sebagai Duri

    Kutulis ini sebagai pengingat yang abai pada nilai dalam

    kebarengan yang diredam di ruang tempat gumam

    berloncatan geram. Siapa mendekam

    dalam dirimu, duri atau sekam?

    Kutulis ini sebagai penanda kebangkrutan melanda

    ringkasan kiriman

    dari ratusan kota yang kau redam dengan igauan kelam.

    Siapa bunyikan dentam menghatamku, kata atau suara?

    Kutulis ini sebagai genggam melumat batasan

    kepantasan dan kepatutandipajang di dinding diam yang menyimpan selaksa

    tanda. Siapa dirimu berani memberangusku, dewi atau

    dewa?

    Bogor Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    47/83

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    48/83

    Perlukah Puisi

    Perlukah puisi dibaca dengan amarah tumpah menerjang

    saudaraku yang diterpa air bah dari gelegak serapah

    menendang jendela basah. Dukamu kian terbelah

    Perlukah puisi dibaca berteriak memecah luka yang

    terhenyak berserak di antara kakimu dan lumpur tersedu

    padahal tangis sirna ketika kamu terbata mengeja nama

    Perlukah puisi dibaca tengadah saat mendung berlindung

    di balik wajahmu berserah pasrah di antara tanganmu

    mendekap lelah

    Perlukah puisi dibaca dengan mantra kehilangan makna

    dan mengusir kata-kata dari beranda

    Perlukah puisi

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    49/83

    Bulan dan Belatung

    Kusunting bulan yang berjalan tertatih melindungi

    malam, angin mengatasi dingin ia bagikan selimut dan

    secuil mimpi untuk mengatasi sepi

    Cahaya kecil melompati bebatuan dan kerontang

    dedaunan menitipkan pesan: hari semakin lambat

    melangkah melewati detik menuju jam yang membuka

    siang

    Bulan tinggal sepotong. Orang-orang berlarian

    memperebutkan kepingan lain yang kosong

    Padahal potongan dan kepingan saling sibuk menghitung

    kapan ia mulai mabuk jadi belatung

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    50/83

    Sajak Cinta

    Alangkah mudahnya menulis sajak cinta bila kata tak

    lagi mendera, hati riang bernyanyi

    Adapun suara tak lagi bergumam ketakutan dicemburui

    detak jam

    Alangkah ringannya menulis cinta bila tak ada awan

    berlindung di balik hujan menutupi bayang

    Adapun hujan membanjiri kata menjadi puisi menjalin

    hari

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    51/83

    Debu

    Sekumpulan riang bercanda di beranda tua dari kayu

    yang urat-uratnya melintasi celah luka

    Sekumpulan gurau terus meracau di kebun yang pohon-

    pohonnya merambati hati sepi

    Sekumpulan bunga sepatu tumbuh kacau di pagarku

    sengaja kaucumbu

    Sekumpulan kata tiba-tiba raib dari kamarku

    menyisakan debu air matamu

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    52/83

    Wajah-wajah Kaku

    Wajah-wajah kaku dipaku di pepohonan sepanjang

    perjalananku menatapku kelu. Adakah ia bakal

    menambah sampah sejarah?

    Senyum-senyum itu mengulum dentum: merobek kalbu

    atau jadi abu. Adakah ia siap kalah dan jadi tanah?

    Orang-orang bergegas abai pada harapan baru penuh

    sembilu. Itukah maumu?

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    53/83

    Demodiri

    Kami rindu di tengah galau gambar-gambar bisu di

    perempatan orang lalu-lalang. Siapa peduli pada diri

    sunyi

    Ia sudah pergi, kamu masih saja mematut diri. Berulang-

    kali

    Atau barangkali ia terjaga ketika demokrasi robek di

    sana-sini

    Atau kita memang tak tahu diri? Tak bernyali

    Yogya 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    54/83

    Namamu

    Kucari namamu berhari-hari dalam kitab lama, satu-satu

    kueja huruf tua perangkai tangismu pada dingin yang

    melipat kainmu. Tak ada aksara tersisa, namamu belum

    juga tertera

    Orang-orang sibuk mencuil namanya untukmu tapi

    sia-sia menempelkannya dalam dindingmu yang rapuh

    terluka. Tak reda sakitmu belum jua reda isak kecilmu

    Perempuan yang perih menanggung hisapan mungilmu

    itu lantas sigap meraih kata bijak dari daun pintu

    kamarnya, Anakku, telah kususun namamu mengikutijejak pendahulu. Lalu lantunan sepi mengikuti

    Klaten 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    55/83

    0

    Rumah Tua

    Rumah tua itu lelah meretas sejarah: ada catatan kecil

    di wajahnya yang gerah dan tangan mungil merengkuh

    sauh. Nihil

    Dinding retak yang lusuh enggan menyapa: suara serak

    melintasi duka dunia dan mengabarinya rindu. Siapa

    Tak ada. Gelap membuka luka tanpa jeda. Lama

    Pekalongan awal 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    56/83

    Pekalongan (1)

    Risau angin mendera kapal dan sauh. Ombak geram

    pada laut

    Di buritan burung dan ikan saling tikam. Langit gerah

    Mendung bergegas menapaki kelam. Depus. Jauh

    Di haluan kulihat ia mengeja senja. Lirih

    Pekalongan awal 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    57/83

    Pekalongan (2)

    Basah merayapi daun-daun dan lembah

    Degup bertambah meratapi jalan-jalan rekah

    Menghapus langkah-langkah terbelah

    Ada laut gundah meredam amarah

    Ada sampah menimbun seribu langkah

    Ada bah menyusup di sela-sela pasrah

    Ada wajah sirna sia-sia. Ada

    Dan tak ada.

    Pekalongan awal 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    58/83

    Pekalongan (3)

    Kota ini berisik, mampat, becak terdepak

    seperti kotamu lain. Hujan tak lagi menyirami tanah

    Megono tak lagi wangi. Hilang kenduri, tinggal serapah

    Kali Lojimu menatap kelu, hilang rindu. Siapa berpijak

    Sawah, seperti kotamu lain, hilang tak berperi

    Orang-orang bergegas bawa kabar tak jelas. Sua di batas

    cadas dan hiruk . Gedung, taman, kian terpuruk

    Engkaukah itu meringkuk di sela mimpi buruk?

    Pekalongan Februari 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    59/83

    Malam

    Kusampaikan salam pada hening. Malam larut

    Kuhitung degup dan denting dalam ribuan sujud. Hati

    terpaut

    Kugenggam erat jam yang meronta: Jangan

    berbisik,katamu

    Agar jelas kueja maksudmu satu-satu. Hilang ragu

    Kupagut segala sudut sebelum malam terjaga oleh siang.

    Hingga kata datang tak berbilang

    Malam sia-sia. Aku sirna

    Yogyakarta, 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    60/83

    Sajak Lupa

    Percuma kau ajari menulis sajak cinta. Padahal ia datang

    diam-diam, tanpa diundang

    Meski kau punya ribuan kata

    Tapi masih juga kau lupa meletakkan koma

    Percuma aku mengeja cinta. Padahal di beranda ada

    nganga luka. Kau lupa menutupnya.

    Masih ada titik

    Tapi tak tahu ia kusimpan di mana

    Bila sudah kau tulis sajak luka. Cinta tak lagi beriba

    Dan tak pula pergi ke mana

    Yogyakarta 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    61/83

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    62/83

    Daun Patah

    Kubiarkan bunga sepatu yang tumbuh kacau di

    halamanku kau cumbu

    Kau cegah lebah merambah ke lembah jantung sariku

    punah. Kelopak patah

    Adakah madu yang kau hisap meresap jadi sayap?

    Kubiarkan kepompong jadi kupu berpendar atas

    rindumu

    Kau belah putikku agar datang kupu memeluk

    malammu. Tanah basah

    Barangkali sayapmu merintih letih. Langkahmu tertatih

    Adakah lagu sunyi yang kau mainkan jadi bunyi?

    Yogyakarta 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    63/83

    Siang

    Tadi pagi seseorang yang kukenal mengirimiku kabar

    baik

    Ia bercerita tentang padi dan ikan yang bercengkrama di

    kolam hujan

    Tadi siang seseorang yang tak kukenal mengirimku

    kabar buruk

    Ia mengutuk hujan dan batu jatuh bersatu

    Tadi malam bayang-bayang datang menyampaikan

    salam: kabar hilang di pematang

    Sekarang seseorang dan bayangan tak lagi datang, hari

    sudah siang

    Yogykarta, 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    64/83

    Petang

    Ia mungkin datang ketika kita bergegas menyiapkan

    petang

    Sudahkah kau ringkas cinta dan dedaunan dengan

    pelepah pisang?

    Barangkali benci dan duri terpelanting ketika malam

    hening

    Adakah dahan tempat kita berpegang mengabaikan

    siang?

    Yogyakarta, 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    65/83

    0

    Bulan

    Kemarin sebungkus siang kukirim kepadamu dengan

    kereta malam melalui lima stasiun yang lama kau

    abaikan

    Tadi pagi kau mengabariku sekotak malam telah kau

    terima dan kau jadikan hidangan makan siang menjamu

    teman

    Ia mengabariku melihat kunang-kunang berlarian di

    antara bulir padi di sawah yang basah dan gelisah

    Bulan sudah lama tenggelam tak lagi berkisah tentang

    malam

    Yogyakarta, 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    66/83

    Selepas Siang

    Sekeping siang telah kau layangkan pada sekumpulan

    malam yang beronda menghitung pagi. Datang atau

    hilang

    Selusin nama telah kau letakkan di beranda ketika jam

    datang terbata. Selaksa atau sedepa

    Seuntai doa telah kau hunjamkan pada sepotong tangis

    pembuka. Lepas atau retas

    Yogyakarta, 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    67/83

    Kartu Nama

    Seseorang tergopoh menyodorkan kartu nama agar

    kucontreng mukanya yang lebam dalam bilik sempit

    di sebuah kebun yang melibas daun ditindih senyum

    beruntun para aktor kampung. Sebuah jendral yang

    kehilangan naga mengoceh riuh seperti perahu

    kehilangan sauh. Padahal ia berlabuh di sawah bukan

    laut

    Seorang yang mengaku teman menautkan namanya pada

    sebuah bintang yang tak bisa kuraih apalagi kukuliti

    dengan pena di sebuah lembar jenaka yang memuat

    banyak kepala yang tak kutahu isinya apa

    Yogyakarta 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    68/83

    Sermo

    Saban hari orang-orang kota membasuh diri dengan

    airmu yang kadang keruh, kadang disertai keluh tapi

    mereka menimbamu terus tanpa henti, tanpa rikuh

    padahal sungai-sungaimu mengerontang sejak petang.

    Tahukah kau kemana warga dari desa yang dibenam itu

    mengembara? Ke pulau seberang dengan angan-angan

    panjang

    Saban siang orang-orang itu datang mencari cerita yang

    hilang dan tak ia temukan di seberang Aku pulang!

    teriaknya memecah airmu, Rindu pada desaku bukan

    pada desamu. Masih kutinggal serpihan tawa dan tangis

    anak-anakku di dasar wadukmu rindu waktu. Tahukah

    kau kemana sawah gemah ripah itu menghilang? Ke

    kota menjadi tempat belanja

    Di Sermosetan merah semakin marah!

    Kulon Progo 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    69/83

    Batu Kali

    Batu kali gundah diguncang air bah. Pagi

    Tamu datang tak lagi bersalam. Mengancam siang.

    Beban bagai guruh. Malam luruh

    Kata. Lara. Sentuh subuh

    Sukorejo 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    70/83

    Bali (1)

    Barangkali para dewa menyukai bau tanah ini soalnya

    bunga dan upacara saling bertegur sapa di halaman

    rumah dan puramu. Tetapi bukan di jalanan yang macet

    dan asap merasuki parumu. Di puramu ada parumu kelu.

    Barangkali puing-puing itu hanyut ke laut dan tumbuh

    di tempatmu yang porak poranda dulu menjadi gedung

    baru. Di gedungmu ada dengung pilu.

    Barangkali aku tak lagi mengenalimu, selain bau dolar

    yang kian menyengat, tak kutemukan bale bengongmu

    yang kausodorkan kepadaku tatkala kelelahan dankeramahan bertaut di ujung laut. Di balemu ada sarenade

    rindu.

    Siminyak 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    71/83

    Bali (2)

    Sudah kuduga kalau engkau tinggal di dangau, kudengar

    teriakanmu yang sengau, apakah itu kegembiraanmu

    menemukan pagi? Percayalah lautmu telah

    menyembunyikannya berhari-hari dari janji yang tak

    pernah bisa dipenuhi.

    Ternyata celotehmu juga kandas oleh deru menggebu

    pencari siang. Cahaya siapakah menyelimutimu dalam

    terik yang mencekik?

    Bali Desa 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    72/83

    Bali (3)

    Di desa ini, katamu, cuma ada laut yang tak lagi

    gemuruh hanya angin sesekali riuh.Padahal saat kusapa

    tak kutemukan debur dan riak air pertanda laut ada dan

    tak ngeluyur kemana

    Ah, laut yang ditelan malam adakah kau takut pada

    suara bulan yang sibuk mengentaskan siang. Hanya ada

    jejak temaram menyanyikan lagu dolanan dari balik

    dinding-dinding yang menyimpan dingin

    Padahal arah cuaca tak bisa ditebak menjanjikan apa,

    apalagi anginPadahal arah angin tak bisa menjadi petunjuk

    bagaimana, apalagi hujan

    Padahal hujan tak cuma tetes air mengalir, apalagi

    ombak

    Nusa Dua 2009

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    73/83

    KenangaKepada Gt

    Kenangamu meniti malam

    menahan denting. Jam. Menerpa

    hening, jaga napas yang tersisa

    Kisah hampir sirna. Larut

    di sedu sedan dadamu. Menyusup

    sayup, hanya ada lenguh

    Malam selimuti gairah. Selaksa

    Aku bertumpu di gelegak kenangamu

    menuangi kamar-kamar berkelambu

    Yogya 15/9/95

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    74/83

    Saskatoon

    Tak ada deru trem. Hanya gudang gandum berceceran

    berwarna-warni di sepanjang prairi

    Angin berkesiut kencang, dingin mengancam

    sepanjang petang

    Di taman kota, obrolan dan asap barbekiu

    saling menindih rindu. Sekumpulan Melayu

    menjerang angan kampung halaman

    Adakah berita tersisa untuk kita?

    Orang-orang bergegas

    Kaki-kaki dan butir-butir salju. Berebutmerenggut badai menuju lorongmu

    Dingin membekukan kabar. Dingin

    Saskatchewan 1990

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    75/83

    0

    Katarsis

    Gelisah bergulir di uratmu. Gundah

    menyeruak di antara darah dan waktu

    Api meletik di jantungmu. Akankah

    kau biarkan udara membakar hutanku?

    Barangkali ada asap

    Di guratan wajah-wajah

    yang berkabut. Pasrah

    Wates 1996

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    76/83

    Api

    Guratan kecewa melanda muka

    Hari berlagak tanpa decak. Detak

    menelikung di lorongmu. Adakah kabar

    membakar ilalang kering sekeliling

    Sementara aku terjaga, api tak juga mati

    Wates 1996

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    77/83

    Hari-hari

    Adakah hati yang terpanggang api

    meleleh tapi tetap bisa berbagi

    Adakah api yang kausulut saban hari

    menyala namun tak membakar berahi

    Adakah air yang menyelinap pelan dari bola mata

    mengalir meski bimbang tak juga berakhir

    Salatiga 1997

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    78/83

    Doa

    Sudah kutemukan kunci yang lama kucari

    dari sebuah teka-teki. Cinta tak terbagi

    dibawa laki-laki dari jaman purbani

    Tak lagi ada ruang kosong di dadamu

    Tempat teduh dulu. Kini gemuruh

    Tak ada lagi sembunyi: Gusti

    Jakarta 1998

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    79/83

    Dogma (1)

    Kita mungkin terjebak dalam ritus dan tradisi.

    Atau barangkali orang-orang mengakalinya dengan

    mengatasnamakan aturan religi.

    Kita terikat dalam rutinitas yang mengusung cinta

    sebagai abracadabra. Padahal, cinta hanya sekali dan tak

    terbagi. Adam pun tak. Siapa sangka kita beranak-pinak

    mengekor dunia.

    Kau tatahkan kalimat Gibran di ruang-ruang sekeliling.

    Hanya ada desing. Kosong

    Ia bicara tentang dunia antah. Bukan napas dan desah

    kita.

    Di luar kepompong

    ada kupu-kupu sampai pada waktu. Mati kutu

    Salatiga-Yogya 1999

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    80/83

    Dogma (2)

    Mulanya aku percaya cinta. Itu kebodohan pertama.

    Karena cinta hanya lahir sekali

    Lalu berbagai riasan susul menyusul, cinta hanya sesaat

    muncul sekedar basa-basi

    Itupun cuma replika yang disusun dari angan-angan dan

    godaan. Selebihnya godam

    Kerja tak kunjung sempurna. Kesalahan merajalela

    Kebenaran hanya punya Dewa

    Ia terus menakar salah-benar dari orang-orang yang tak

    berkelakar

    Yogya 1999

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    81/83

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    82/83

    Slamet Riyadi Sabrawi, lahir 12 Juni 1953

    di Pekalongan. Menyukai sastra & teater sejak

    muda. Sejak di Yogya (1973) selain aktif di

    Persada Studi Klub, juga mendirikan Teater

    WS (menyutradari Joko Tarub/Akhudiat,Antigone/Sopochles, memainkan monolog Kasir

    Kita /Arifn C.Noor dan beberapa karya Anton

    Chekov) dan memeragakannya di kampus2

    (UGM,IAIN Sunan Kalijaga, Univ.Brawijaya

    dll), juga anggota Teater Gadjah Mada. Lulus

    sebagai Dokter Hewan dari UGM (1980),

    berpraktek hingga 1988, kemudian menjadi

    wartawan di Jakarta (Warta Ekonomi/Redaktur,

    Mobil&Motor/Redaktur Pelaksana). Pada 1992

    kembali ke Yogya bekerja di Lembaga Penelitian

    dan Pendidikan Yogya (LP3Y) hingga kini.

    Biodata

  • 8/9/2019 Lilin Melawan Angin

    83/83