Laporan Problem Based Learning II Nss
-
Upload
hesti-putri-anggraeni -
Category
Documents
-
view
103 -
download
3
Transcript of Laporan Problem Based Learning II Nss
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING II
BLOK NEUROLOGY & SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS)
“Tuan Mose Yang Malang...”
Tutor :
dr.Evy Sulistyoningrum,M.Sc
Oleh :
Kelompok I
Dandhy Dharma S. P. G1A010016
Nur Fitri Margaretna G1A010017
Ning Maunah G1A010031
Angkat Prasetya A.N G1A010038
Dasep Padilah G1A010062
Eviyanti Ratna Suminar G1A010063
Lina Sunayya G1A010075
Rona Lintang Harini G1A010094
Hesti Putri A G1A010099
Tribuana Yogaswara G1A008102
Yanuary Tejo Buntolo G1A009062
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Proses belajar memiliki berbagai metode pembelajaran dalam rangka mencapai
sasaran belajar dan kompetensi yang diharapkan untuk mahasiswa yang bersangkutan.
Salah satu metode pembelajaran tersebut adalah dengan metode Problem Based Learning,
yakni suatu metode belajar dengan model diskusi pembelajaran bersama terhadap
skenario kasus tertentu yang menuntut mahasiswa berperan aktif secara individu. Tujuan
dari pbl ini yaitu :
a. Mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan dari
skenario masalah yang berisi patient problem.
b. Melatih kemampuan generic learning skills, dan memahami serta menghubungkan
basic sciences dengan clinical sciences.
c. Meningkatkan penguasaan soft skills yang meliputi kepemimpinan, profesionalisme,
ketrampilan komunikasi, kemampuan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim,
ketrampilan untuk berpikir secara kritis,serta kemampuan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi
d. Melatih karakter student centred learning,self directed learning dan adult learning.
Dalam memahami dan mendalami permasalahan yang telah tersedia melalui penerapan
seven jumps, yaitu:
1. Klarifikasi istilah
2. Batasan masalah
3. Analisa masalah
4. Pembahasan masalah
5. Kesimpulan
Pada kasus PBL (Problem Based Learning) kedua blok NSS ini, kami
membahas mengenai meningoencephalitis tuberculosis. Pada pembahasan kali ini,
kami harus benar-benar memahami mulai dari apa itu encephalitis dan meningitis,
mengapa kuman tuberculosis bisa menjadi penyebab terjadinya penyakit ini, fakor
predisposisi, patogenesis, patofisiologi, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, pencegahan serta pencegahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Info I
RPS
Tn Mose. Usia 38 tahun datang ke IGD diantar keluarganya dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu ketika sedang tiduran.
Sebelumnya 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pagi hari setelah bangun tidur pasien
mengeluh sakit pada kepalanya yang semakin lama semakin hebat hingga pasien muntah,
keluhan ini tidak hilang dengan mengonsumsi obat penghilang rasa sakit. Sehingga oleh
keluarganya Tn.Mose dibawa ke rumah sakit, ditengah perjalanan Tn.Mose mengalami
kejang selama ±10 menit. Sesampainya di IGD pasien mengalami kejang kembali selama ± 5
menit
Seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa demam. Pasien mempunyai
riwayat 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari dan
pasien merasakan berat badannya turun sehingga dengan keluhan ini pasien berobat ke
dokter. Oleh dokter, pasien dilakukan foto rontgen dan diketahui terdapat infeksi pada paru-
parunya. Pasien diharuskan meminum obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6
bulan, akan tetapi karena keterbatasan biaya pasien tidak berobat kembali.
RPD
a. Riwayat hipertensi disangkal
b. Riwayat DM disangkal
c. Riwayat penyakit jantung disangkal
d. Riwayat kejang sebelumnya disangkal
e. Riwayat trauma kepala disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : penurunan kesadaran
Kesadaran : E2M3V2
Vital sign : TD : 120/80 mmhg
N : 100 x/menit
RR : 24 x/menit
S : 39 oC
Orientasi
a. Waktu : jelek
b. Orang : jelek
c. Tempat : jelek
Kepala dan leher
a. Kepala : mesochepal, tanda trauma ( jejas ) (-)
b. Leher : kaku kuduk (+)
c. Mata : dbn
Jantung : dbn
Paru : stridor
STATUS NEUROLOGIS
1. Pemeriksaan nervus kranialis
a. N III : ODS : bentuk pupil bulat isokor diameter 3mm
OS : reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+)
sedikit berkurang
b. N VI : kesan parese N VII bilateral
c. N VII : parese facial sinistra tipe sentral
2. Pemeriksaan sensibilitas : sulit dinilai
3. Pemeriksaan neurologis
a. Tes kaku kuduk : (+)
b. Tes brudzinki : (+)
c. Tes kernig : (+)
4. Pemeriksaan fisiologis : (+) meningkat
5. Kekuatan motorik : sulit dinilai, kesan kelemahan pada keempat
ekstrimitas
6. Pemeriksaan patologis
a. Reflek babinsky : +/+
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah lengkap (Hb. Leukosit, Ht, trombosit, hitung jenis) GDS, ureum kreatinin,
elektrolit
a. Hb : 14 gr/dl
b. Leukosit : 17000/mm3
c. Trombosit : 150.000 mm3
d. Hematokrit : 42 %
e. GDS : 145 mg/dl
f. Ureum : 23 mg/ dl
g. kreatinin : 0,7 mg/dl
h. kalium : 4 meq/l
i. natrium : 140 meq/l
j. Klorida : 101 meq/l
2. TB ICT : (+)
3. Foto Thorax : gambaran TB milier paru kanan kiri
4. Brain CT scan
a. gambaran tuberculoma
b. tidak tampak hidrocephalus
c. tidak tampak infark
5. Lumbal pungsi
a. Warna : xantokrom
b. Leukosit : 750 x 10 3 /ml
c. Neutrofil : <75 %
d. Perbandingan glukosa CSS : plasma < 50 %
ASSESMENT
Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, meningeal sign (+), parese N VI,
parese N VII sinistra tipe sentral, kejang,demam
Diagnosis topis : meningeal, encephalon
Diagnosis etiologi : meningoencephalitis e.c tuberkulosa
Diagnosis banding : Epilepsi
Meningoencephalitis e.c parasit
Prognosis
Fungsional : dubia ad malam
Vitam : dubia ad malam
Sanam : dubia ad malam
TERAPI
a. IVFD Asering 20 tpm
b. O2 liter/menit
c. Dexamethason IV bolus 0,3 mg/ kgbb/hari
d. Diazepam 10 mg iv pelan
e. Phenitoin 3 x 100 mg iv
f. Paracetamol 3 x 500 mg ( jika panas)
g. Causa
i. Tahap I ( 2 bulan)
a) isoniazid 300 mg
b) rifampisin 600 mg
c) pirazinamid 2 gram
d) etambutol 750 mg
ii. Tahap lanjut ( 7 – 10 bulan)
a. Isoniazid 300 mg
b. Rifampicin 600 mg
A. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Kejang : Kejang merupakan suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan
relaksasi secara cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari
aktivitas elektrik di otak, dapat karena kelainan intrakranial, ekstrakranial, atau
metabolik (Nelson, 2000).
2. Penurunan Kesadaran : Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang
mencerminkan pengintegrasian semua impuls aferen dan impuls eferen. Jumlah
impuls aferen menentukan derajat kesadaran, sedangkan cara pengolahan impuls
aferen yang menelurkan pola-pola impuls eferen menentukan kualitas kesadaran
(Sidharta, 2009).
3. Kesadaran merupakan fungsi utama susunan syaraf pusat. Untuk mempertahankan
fungsi kesadaran yang baik, perlu suatu interaktsi yang konstan dan efektif anatara
hemisfer serebri yang intak dan formasio retikularis di batang otak. Gangguan
pada hemisfer serebri atau formasio retikularis dapat menimbulkan gangguan
kesadaran (Chandra, 1979).
4. Vomitus adalah pengeluaran involunteer dan ekspulsi yang kuat semua isi lambung dari mulut. Pusat muntah di medulla oblongata distimulasi baik secara langsung (muntah sentral) atau melalui serat eferen (muntah reflek).
Muntah sentral akibat :1) Obat2) Uremia3) Hiperkalsemia4) Infeksi akut5) Kehamilan
Muntah reflek : Penyebab dari gangguan gastrointestinal
B. BATASAN MASALAH
Identitas pasien
Nama : Tn.M
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Keluhan utama: penurunan kesadaran
Onset : sejak 1 jam yang lalu
Faktor memperberat : (-)
Faktor memperingan : (-)
Gejala penyerta : - Kejang selama ± 10 menit
- Kejang selama ± 5 menit
- Sakit kepala
- Muntah
RPD : - Seminggu sebelum masuk RS pasien merasa demam
- 1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam
hari, BB turun
- Foto rontgen terdapat infeksi pada paru-paru, pasien diharuskan minum
obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, tapi pasien tidak
berobat kembali.
Riwayat Sosial : Ekonomi rendah
C. ANALISIS MASALAH 1
1. Mekanisme kesadaran, nyeri kepala
2. Klasifikasi kejang
3. Tingkat kesadaran
4. Menentukan atau menilai tingkat Kesadaran
5. Penyebab penurunan kesadaran
6. Perbedaan meningitis dengan encephalitis
7. Pemeriksaan Neurologis, yang spesifik pada Meningitis
8. Intrepetasi info 2,3,4,5
D. ANALISIS MASALAH 2
1. Definisi, etiologi, faktor resiko, diagnosis differential meningoencephalitis tuberculosis
2. Patofisiologi dan patogenesis meningoencephalitis tuberculosis
3. Penegakan diagnosis meningoencephalitis tuberculosis
4. Pemeriksaan Lumbal Pungsi
5. Penatalaksanaan (farmako dan non farmako) meningoencephalitis tuberculosis
6. Komplikasi dan prognosis meningoencephalitis tuberculosis
A. PEMBAHASAN ANALISIS PERTAMA
1. Mekanisme kesadaran, nyeri kepala
Kesadaran
Pusat kesadaran manusia terdapat didaerah pons, formasio retikularis daerah
mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini oleh Merruzi dan Magoum disebut
diffuse ascending reticular activating system (ARAS). Melalui lintasan aspesifik ini,
suatu impuls dari perifer akan menimbulkan rangsangan pada seluruh permukaan
korteks serebri (Rumawas, 2000).
Formatio reticularis
Ascending Reticular Activating System (ARAS)
Batang otak(mesencephalon – pons – medulla
oblongata)
Intralaminar nuclei di thalamus
Saraf sensoris dari seluruh tubuh dan kepala
Korteks serebri teraktivasi
Kesadaran
Excitatory neurotransmitter
Inhibitory neurotransmitter
Glutamat GABA
Kesadaran meningkat Kesadaran menurun
Gambar 2.1. Mekanisme kesadaran (Snell, 2006).
Bakteri masuk aliran darah
Masuk plexus choroideus
Infeksi epitel plexus
Bisa masuk menembus LCS
Multiplikasi bakteri di dalam LCS
Bakteri keluarkan toksin
Produksi Sitokin & Kemokin
Gangguan permeabilitas BBB Leukosit masuk LCS
Degranulasi
Keluarkan metabolit toksin
Ganggu metabolisme sel dan pompa elektrolit
Bakteri membentuk eksudat di ruang subarachnoidea
Cytotoxic edema
Mengganggu resorpsi LCS ke sinus dural
Memblokir granulasi arachnoidea
Hydrocephalus malresorpsi
Protein plasma masuk LCS
Vasogenic Edema
TIK >>
Aliran LCS yang sedikit teresorpsi mendesak sinus dural Sinus dural mendesak duramater pars periostealRangsang reseptor nyeri di duramater
NYERI KEPALA
Respon inflamasi
Mediator inflamasi keluar menuju sinus dural
Berikatan dengan reseptor nyeri
NYERI KEPALA
Nyeri Kepala
Gambar 2.2. Mekanisme nyeri kepala (Sylvia, 2005).
2. Klasifikasi kejang
Kejang merupakan suatu kelainan yang diakibatkan oleh gangguan
neurologis yang terjadi karena lepasnya muatan paroksismal yang berlebihan dari
suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu atau disebut juga fokus kejang
( Price, 2005) :
Tabel Klasifikasi Kejang ( Price, 2005)
No Klasifikasi Karakteristik
1. PARSIAL Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah ; fokus
hanya disuatu bagian tapi dapat menyebar ke bagian lain
a. Parsial
Sederhana
1.Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral)
2.Dapat bersifat sensorik ( merasakan, membaui,
mendengar sesuatu yang abnormal)
3.Dapat Bersifat Autonomik ( takikardia, bradikardia,
takipnu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium)
4. Dapat bersifat psikis ( disfagia, gangguan daya
ingat)
5. Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit
b. Parsial
Kompleks
1.Dimulai dari kejang parsial sederhana kemudian
berkembang menjadi kejang yang disertai oleh
a. Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme
( mengecap-ecapkan bibir, mengunyah, menarik-
narik baju)
b. Beberapa kejang parsial komplek mungkin
berkembang menjadi kejang generalisata
c. Biasanya berlangsung 1-3 menit
2. Kejang Umum ( generalisata)
1. Kejang absens
- Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
- Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang
dari 15 detik
- Awalan dan akhiran cepat, setelah itu kembali waspada dan
konsentrasi penuh
- Umumnya dimuali pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh
dengan sendirinya pada usia 18 tahun.
2. Kejang Mioklonik
Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi
mendadak.
- Sering terjadi pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik,
berupa kedutan- kedutan singkron dari leher, bahu, lengan atas, dan
kaki.
- Umumnya berlangsung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam
kelompok.
- Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
3. Kejang Tonik-Klonik
- Diawali dengan hilangnya kesadaran disaat tonik, kaku umum pada
otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah, yang langsung kurang dari 5
menit.
- Dapat disertai dengan hilangnya control kandung kemih dan usus.
- Tidak ada respirasi dan sianosis.
- Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan
bawah.
- Letargi, konflusi, dan tidur dalam fase postical.
4. Kejang Atonik
- Hilangnya tonus secara mendadak sehingga menyebabkan kelopak
mata turun, kepala menunduk atau jatuh ke tanah.
- Singkat, dan terjadi tampa peringatan ( Price, 2005)
3. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran secara umum adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1) Compos mentis (concious), yaitu keasadaran normal,sadar sepenuhnya, dapat semua
pertanyaan tentang keadaan sekeliling
2) Delirium, yaitu gangguan kedasaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan
pada fungsi kognitif. Delirium mempunyai beberapa sebab. Semuanya mempunyai
pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pendeita
misalnya gelisah, disorientasi (orang,tempat,waktu)
3) Somnolen, yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat mudah
tidur,namun kesadaran dapat pulih apabila dirangsang
4) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap tetapi ada respon terhadap
nyeri
5) Koma yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun
4. Menentukan atau menilai tingkat Kesadaran
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat
kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma. Teknik penilaian
dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah
diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan respon
verbal. Setiap penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi bernilai 15.
Jenis Pemeriksaan NilaiRespon buka mata (Eye Opening, E)
Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) Respon terhadap suara (suruh buka mata) Respon terhadap nyeri (dicubit) Tida ada respon (meski dicubit)
4321
Respon verbal (V) Berorientasi baik Berbicara mengacau (bingung) Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non-kalimat,
misalnya, “aduh… bapak..”) Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang) Tidak ada suara
543
21
Respon motorik terbaik (M) Ikut perintah Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri) Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) Tidak ada (flasid)
6543
2
1
Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam
simbol E…V…M…
Klasifikasi total skor GCS :
a. Skor 14-15 : compos mentis
b. Skor 12-13 : apatis
c. Skor 11-12 : somnolent
d. Skor 7-10 : Delirium
e. Skor < 7 : koma
Pada Kasus Kesadaran E2M3V2
- Tingkat kesadaran: Delirium dengan total skor 7
5. Penyebab penurunan kesadaran SEMENITE1) Sirkulasi : stroke dan penyakit jantung2) Ensefalitis : infeksi sistemik / sepsis3) Metabolik : hiperglikemia, hipoklimia, hipoksia, uremia, koma hepatikum4) Elektrolit : diare dan muntah yang berlebihan5) Neoplasma : Tumor otak primer / metastasis6) Intoksikasi : obat / bahan kimia7) Trauma : trauma kapitis8) Epilepsi : pasca serangan grand mall / pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran
6. Perbedaan meningitis dengan encephalitis
Pengertian MeningitisMeningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula
spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur. Meningitis
merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari
mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza
dan bahan aseptis (virus).
Sindroma Meningitis yaitu berupa:
1) Demam
2) Nyeri kepala hebat
3) Gangguan kesadaran
4) Kejang – kejang
Dan ditandai pula dengan adanya tanda Rangsangan Meningeal, berupa :
1) Kaku kuduk
2) Tes brudzinsky positif
3) Tes kernig yang positif
Etiologi
1. Bakteri : Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas
aeruginosa.
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita.
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan.
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem
persarafan.
Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang
jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya
lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula
spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria
meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas
aeruginosa (Harsono. 2003).
Pengertian Encephalitis
Encephalitis adalah suatu peradangan dari otak. Ada banyak tipe-tipe dari encephalitis,
kebanyakan darinya disebabkan oleh infeksi-infeksi. Paling sering infeksi-infeksi ini
disebabkan oleh virus-virus. Encephalitis dapat juga disebabkan oleh penyakit-penyakit
yang menyebabkan peradangan dari otak. Encephalitis adalah infeksi jaringan atas oleh
berbagai macam mikroorganisme
Tanda dan Gejala
Gejala-gejala dari encephalitis termasuk demam yang tiba-tiba, sakit kepala, muntah,
kepekaan penglihatan pada sinar, leher dan punggung yang kaku, kebingungan, keadaan
mengantuk, kecanggungan, gaya berjalan yang tidak mantap, dan mudah terangsang.
Kehilangan kesadaran, kemampuan reaksi yang buruk, serangan serangan, kelemahan
otot, demensia berat yang tiba-tiba dan kehilangan memori dapat juga ditemukan pada
pasien-pasien dengan encephalitis.
1. Demam
2. Sakit kepala dan biasanya pada bayi disertai jeritan 3. Pusing
4. Muntah
5. Nyeri tenggorokan
6. Malaise
Etiologi
1. Mikroorganisme: bakteri, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Macam- macam
encephalitis virus menurut Robin :
a. Infeksi virus yang bersifat epidermik:
1) Golongan enterovirus = poliomyelitis, virus coxsackie, virus ECHO.
2) Golongan virus ARBO = western equire encephalitis, St. louis encephalitis, Eastern
equire encephalitis, Japanese B. encephalitis, Murray valley encephalitis.
b. Infeksi virus yang bersifat sporadic : rabies, herpes zoster, limfogranuloma, mumps,
limphotic, choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap disebabkan olehvirus tetapi
belum jelas.
c. Encephalitis pasca infeksio, pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca
vaksinia, pasca mononucleosis, infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus
respiratorius yang tidak spesifik.
7. Pemeriksaan Fisik spesifik pada Meningitis
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
1. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan
rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat
disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi
kepala.
2. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi
panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa
nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135°
(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti
rasa nyeri.
3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan
cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.
4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral
(Harsono. 2003)..
8. Intrepetasi ifo 3,4,5
INFO 3
Pemeriksaan fisik
KU : penurunan kesadaran
Kesadaran : E2M3V2
Vital sign : TD : 120 / 80
Nadi : 100 x/menit
RR : 24 x/menit
S : 39 0C
Orientasi
- Waktu : jelek
- Orang : jelek
- Tempat : jelek
Kepala dan leher
- Kepala : mesochephal, tanda trauma (jejas) (-)
- Leher : kaku kuduk (+)
- Mata : dbn
Jantung : dbn
Paru : stridor +
Interpretasi INFO 3
Dilihat dari pemeriksaan fisik yang terdapat pada info diatas, kondisi ketidaknormalan
ditemui pada penurunan kesadaran, peningkatan suhu, terdapat tanda kaku kuduk (+)
disertai suara stridor dari rongga thoraks.
Pengukuran derajat kesadaran, digunakan GCS (Glasow coma scale) yang merupakan
metode penilaian kuantitatif dengan menggunakan tiga parameter, yaitu : Eye response,
Motor response, dan Visual response ?
Penjelasan mengenai skor derajat kesadaran Tn. M dimana GCS E2 M3 V2
diinterpretasikan sebagai berikut Tn. M mampu membuka mata dengan rangsangan nyeri,
gerakan ekstensi / flexi flaccid dengan rangsang nyeri, merintih, serta tidak dapat
mengdentifikasi secara tepat terhadap waktu, tempat dan orang.
- Terjadinya peningkatan suhu menandakan adanya infeksi
- Adanya kaku kuduk (+) menggambarkan adanya infeksi pada daerah meningens
- Adanya bunyi stridor merupakan pertanda adanya obstrusksi pada jalan napas akibat
benda asing, penyebab bunyi ini bias diketahui dari sifat kemunculannya. Bunyi
stridor pada saat inspirasi ditemui pada pasien dengan obstrusksi laring, sedangkan
bunyi stridor pada saat ekspirasi ditemui pada pasien dengan obstruksi
trakheobronkial. Berdasarkan penyebab, bunyi stridor sering dialami oleh pasien
dengan peradangan paru seperti kasus tuberculosis (Isselbacher, et al. 2000)
INFO 4
1. Status nervus kranialis
a. N III ODS : bentuk pupil bulat isokor diameter 3 mm
OS : reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+) sedikit berkurang
b. N VI : kesan parese N VI bilateral
c. N VII : parese fascialis sinistra tipe sentral
2. Pemeriksaan sensitibilitas : sulit dinilai
3. Pemeriksaan neurologis
- Tes kaki kuduk : (+)
- Tes brudzinski I – IV : (+)
- Tes kernig : (+)
4. Pemeriksaan fisiologis : (+) meningkat
5. Kekuatan motorik : sulit dinilai, kesan kelemahan pada keempat
ektrimitas
6. Pemeriksaan patologik
Reflek babinsky : +/+
Interpretasi INFO 4
a) Pemeriksaan Occuli dextra-sinistra dilakukan dengan cara inspeksi langsung pada
kedua mata: bentuk pupil yang isokhor mengindikasikan adanya kesamaan bentuk
maupun ukuran pupil dextra dan sinistra, maka hal tersebut normal.
b) Pemeriksaan refleks cahaya langsung dan tidak langsung, dilakukan dengan
memberikan stimulus cahaya pada mata pasien dari arah lateral ke medial baik secara
langsung maupun konsensual. Pada hasil pemeriksaan refleks ini, pasien pada mata
kanan pasien memiliki penurunan reflex, sehingga hal ini mengindikasikan adanya
parase di nervus III.
c) Kesan parese N VI bilateral, mengindikasikan adanya gangguan pada nervus VI yang
bisa diakibatkan oleh lesi pada system saraf. Hal ini dapat terjadi pada kondisi
infeksi pada selaput otak dan parenkim otak seperti pada kasus meningitis,
meningoenchepalitis, dan perdarahan subarakhnoid
d) Parese fasialis sinistra tipe sentral
e) Parase tipe sentral pada nervus VII.
Nervus VII (fasialis) merupakan nervus yang mengatur jalannya pergerakan otot-otot
daerah muka terutama dahi, pipi, dan mulut, serta sebagai inervator sensoris pada 2/3
anterior lidah.
Letak lesi sentral menunjukkan adanya lesi pada upper motor neuron (UMN) yang
mengakibatkan gangguan pada gerak otot di daerah muka. Lesi pada upper motor
neuron pada salah satu hemisfer cereberi menyebabkan kelemahan gerak otot wajah
selain dahi pada area kontra lateral, dikarenakan otot-otot wajah selain dahi hanya
dipersarafi oleh satu sisi hemisfer yang kontra lateral, namun hal ini tidak berlaku
pada gerak otot wajah pada dahi, sebab otot oto tersebut diinervasi oleh kedua sisi
hemisfer (Baehr dan Frotscher, 2012).
f) Reaksi meningeal (+), Reaksi meningeal sign positif merupakan tanda khas pada lesi/
infeksi meningens
Pemeriksaan Neurologis
1. Meningeal sign
Meningeal sign adalah salah satu cara untuk mengetahui gejala dari adanya
peradangan pada selaput otak misalnya pada meningitis. Pemeriksaan ini terdiri dari
Kaku Kuduk (nuchal rigidity), Tanda Lasegue, Tanda Kernig, dan Tanda Burdzinki
(Lumbantobing, 2011).
1) Kaku Kuduk
Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan rangsang
selaput otak. Sangat jarang dapat mendiagnosis meningitis tanpa adanya gejala
ini.
a. Cara pemeriksaan :
Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring.
Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai
dada. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan.
b. Interpretasi :
Bila terdapat kaku kuduk maka akan didapatkan tahanan dan dagu tidak dapat
mencapai dada. Kaku kuduk bersifat ringan apabila ada tahanan sewaktu
menekukkan kepala. Kaku kuduk yang berat, didapatkan kepala yang tidak
dapat ditekuk. Kaku kuduk juga dapat ditemukan pada keadaan miositis otot
kuduk, abses retrofaringeal, atau artritis di servikal (Lumbantobing, 2011).
2) Tanda Lasegue
a. Cara pemeriksaan :
Pasien berbaring, diluruskan (diekstensikan) kedua tungkainya. Kemudian satu
tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya.
Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus).
b. Interpretasi :
Pada keadaan normal, dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit
dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70
derajat, maka Tanda Lasegue positif. Tanda Lasegue positif ditemukan pada
kelainan seperti rangsang selaput otak, isialgia, dan iritasi pleksus lumbosakral
(misalnya hernia nukleus pulposus lumbalis) (Lumbantobing, 2011).
2. Tanda Kernig
a. Cara pemeriksaan :
Penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul
sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada
persendian lutut.
b. Interpretasi :
Pada keadaan normal, kita dapat melakukan ekstensi sampai sudut 135 derajat,
antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri
sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda Kernig positif. Tanda ini
positif ditemukan pada kelainan rangsang selaput otak dan iritasi akar lumbpsakral
atau pleksusnya (misalnya pada HNP-lumbal). Pada meningitis biasanya positif
bilateral, sedangkan pada HNP-lumbal dapat unilateral (Lumbantobing, 2011).
3. Tanda Burdzinski I
a. Cara pemeriksaan :
Tangan ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan
kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah deiangkatnya badan.
b. Interpretasi :
Tanda ini dinilai positif apabila tindakan mengakibatkan fleksi pada kedua tungkai
(Lumbantobing, 2011).
Tanda Burdzinki II
a. Cara pemeriksaan :
Pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persedian panggul,
sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus).
b. Interpretasi :
Tanda ini positif apabila tungkai yang satu ini pun ikut pula terfleksi
(Lumbantobing, 2011).
Pemeriksaan Patologis
Refleks babinsky merupakan reflex primitive yang bias ditemui pada pasien balita,
Terdapat reflek patologi babinsky merupakan kondisi patologis. Refleks babinsky positif
pada umumnya dikarenakan oleh adanya kelainan pada sistem traktus piramidalis, baik
struktur ataupun fungsinya. Hal ini menjadikan respon segmental jari kaki untuk flexi
hilang, seharusnya ada kesigesgisan untuk flexi dan ekstensi. Dalam hal ini, muncul otot
Ekstensor Hallucis Longus sehingga muncullah tanda babinsky (Khwaja, 2005).
Intrepetasi Pemeriksaan Fisiologis
Pada reflek fisiologis terdapat kesan kelemahan pada keempat ekstrimitas dapat terjadi
pada gangguan korteks serebri yang mengatur gerak motorik seseorang, hal ini dapat
terjadi pada kondisi infeksi pada selaput otak dan parenkim otak seperti pada kasus
meningitis, meningoenchepalitis, dan perdarahan subarachnoid.
INFO 5
1. Darah lengkap (Hb, leukosit, Ht, Trombosit, Hitung jenis) GDS, ureum
kreatinin eletrolit
Hb : 14 gr/dl (13,5 –18,0 g/dl) Normal
Leukosit : 17.000 mm3(4000-10.000/ µL) Meningkat
Trombosit : 150.000 mm3(150.000-400.000 /µL) Normal
Hamtokrit : 42% (40% – 52%) Normal
GDS : 145 mg/dl (≤200 mg/dl) Normal
Ureum : 23 mg/dl (8- 25 mg/dl) Normal
Kreatinin : 0,7 mg/dl (0,7 – 1,5 mg/dl) Normal
Kalium : 4 meq/l (3,5 – 5 meq/l) Normal
Natrium : 140 meq/l (135 – 145 meq/l) Normal
Klorida : 101 meq/l (94 – 111 meq/l) Normal
2. TB ICT : (+)
3. Foto Thorax : gambaran TB Milier paru kanan - kiri
4. Brain CT scan
- Gambaran tuberculoma
- Tidak tampak tampak hidrosefalus
- Tidak tampak infark
5. Lumbal fungsi
- Warna : Xantokrom
- Leukosit : 750 x 103/ml ( 6000-9000) Meningkat
- Neutrofil : < 75% ( 60 – 70 %) Meningkat
- Perbandingan glukosa LCS : plasma < 50% (50 – 60%) Menurun
- Protein meningkat
Interpretasi INFO 5 :
1. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan adanya peningkatan leukosit (leukositosis),
hal ini menunjukan bahwa sedang terjadi proses infeksi pada pasien
2. TB ICT (Immunochromatographic Tuberculosis) merupakan tes serologi untuk
seseorang terkena TB, hasil psoitif pada pasien menunjukkan bahwa pasien terkena
infeksi oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
3. Pada pemeriksaan lumbal pungsi, didapatkan warna xantrokom dengan terdapat
peningkatan jumlah pada protein, leukosit dan neutrofil, disertai dengan penurunan
pada perbandingan glukosa LCS palasma menurun.
- warna xantrokom (warna jernih kekuningan yang mengindikasikan adanya
peningkatan jumlah PMN)
- Peningkatan leukosit dan neutrofil merupakan indikasi terjadi infeksi
- Peningkatan pada protein mengindikasikan adanya proses lesi atau inflamasi.
Karena protein merupakan molekul yang besar untuk sanggup melewati sawar
darah otak pada keadaan normal, namun pada keadaan inflamasi, hal tersebut
menjadi mungkin dikarenakan kondisi sawar darah otak yang lebih permeable
pada saat terjadinya infeksi dan inflamasi. Beberapa informasi diatas telah
mengindikasikan adanya infeksi pada selaput otak (meningens) yang kita
kenal sebagai meningitis (Kemenkes RI, 2010).
4. Gambaran tuberkuloma Pada brain CT-scan merupakan massa menyerupai tumor
yang berasal dari pembesaran tuberkel kaseosa di paru. Tuberkuloma terbentuk dari
kavitas tuberculosis yang memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) membentuk
suatu nodul (Aditama, 2006). Adanya gambaran tuberculoma pada hasil brain CT
scan pasien menyatakan bahwa terdapat infeksi mycobacterium tuberkulosis sampai
ke bagian parenkim otak Gambaran tuberculoma pada ct scan. Tuberkuloma terlihat
pada CT scan kepala berupa iso- hypo- atau hyperdense lesions, diameter 1.5-7cm,
dengan peripheral enhancement pada pemberian kontras dan adanya edema perifokal
(Ceylan, 2005). Tuberkuloma terlihat avaskular oleh angiografi, dan terlihat bervariasi
oleh CT scan dan MRI. Selama fase initial dari penyakitnya terlihat edema dan
nekrosis pada CT scan. Pada fase granuloma akan lebih jelas terlihat dengan
pemberian kontras, terdapat kalsifikasi dan ring enhancement dan berbagai derajat
edema. Penyengatan bisa homogen atau radiolusen di area sentral dari nekrosis
(Manoj, 1997). Perkejuan di tengah lesi dikelilingi sel epiteloid reaktif, sel giant
Langerhans dan berbagai limfosit, polimorf, dan sel plasma (Revindra, 1996).
1. Lumbal Pungsi
a. Definisi
Merupakan upaya mengambil cairan liquor cerebro spinal (LCS) dengan
memasukkan jarum ke dalam ruang subarachnoidea. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan tujuan untuk memeriksa spesimen LCS yang diambil, mengukur dan
mengurangi tekanan LCS dan untuk menentukan ada tidaknya darah dalam ruang
subarachnoidea.
Pemeriksaan ini dapat dikategorikan diagnostik invasif karena LCS dikeluarkan
untuk pemeriksaan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan prinsip aseptik dengan
menusukkan jarum pungsi di antara vertebrae lumbal III dan IV atau vertebrae lumbal
IV dan V hingga mencapai ruang subarachnoidea di bawah medulla spinalis daerah
cauda equina. Ujung jarum pungsi dilengkapi manometer yang berfungsi untuk
mengetahui tekanan intraspinal.
Pemeriksaan ini membutuhkan sekitar 2-3 mL LCS yang kemudian dialirkan ke
sebuah tempat spesimen steril yang terbuat dari plastik. Nantinya, cairan LCS tersebut
akan diobservasi berdasarkan warna, konsistensi, dan lain-lain. Setelah pengambilan
LCS dirasa cukup, jarum dicabut dan tempat penusukan tersebut ditutup perban.
b. Indikasi
a. Mengambil LCS untuk keperluan penegakan diagnosis, utamanya yang dicurigai
mengalami meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, dan penyakit autoimun
b. Mengidentifikasi adanya darah di dalam LCS akibat trauma atau perdarahan
subarachnoidea.
c. Memasukkan zat kontras ke dalam ruang subarachnoidea.
d. Menentukan tekanan cairan otak
e. Mengkonfirmasi penyebab inflamasi akut atau kronik
f. Melihat perluasan infark atau stroke
g. Memasukkan obat intratekal seperti anestesi, dan lain-lain.
c. Kontraindikasi
1. Infeksi dekat tempat penusukan
2. Kontaminasi dari infeksi akan menyebabkan meningitis
3. Infeksi epidural
4. Pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, karena herniasi cerebral bisa
terjadi.
5. Pasien dengan penyakit sendi vertebrae degeneratif, karena akan sulit untuk
melakukan penusukan jarum ke ruang interspinal
6. Pasien yang mengalami kelainan psikiatrik berat
d. Alat & Bahan
a. Kassa steril
b. Kapas steril
c. Sarung tangan steril
d. Baju steril
e. Jarum pungsi lumbal No. 20 dan 22 G beserta stylet
f. Manometer spinal
g. Antiseptik : alkohol 70 % dan povidone iodine
h. Anestesi lokal
i. Spuit dan jarum untuk anestesi lokal
j. Lidokain 1%
k. Tempat penampung spesimen steril, terbuat dari plastik
l. Plester
m. Tempat sampah
e. Prosedur
a. Pengambilan Sampel
1) Posisikan pasien
Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal,
ekstremitas inferior fleksi maksimum, dan columna vertebralis sejajar dengan
tempat tidur
2) Lakukan cuci tangan steril
3) Persiapan alat
4) Jaga privasi pasien
5) Paparkan daerah lumbal
6) Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebrae L4 dan L5 yaitu dengan
menemukan garis potong columna vertebralis dan garis antara kedua SIAS kiri
dan kanan
7) Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm
dengan larutan povidone iodine diikuti dengan alkohol 70 % dan tutup dengan
duk steril dimana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka
8) Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah
memakai sarung tangan steril selama 30 detik yang akan menandai titik pungsi
tersebut selama satu menit
9) Anestesi kulit dengan Lidokain
10) Tusukkan jarum spinal pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum
perlahan menyusuri vertebrae sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke
atas sampai menembus duramater (sensasi terasa lepas). Umumnya jarak pada
usia dewasa sekitar 6-8 cm
11) Hubungkan jarum lumbal dengan manometer, untuk mengetahui tekanan LCS,
normalnya 60-180 mmHg
12) Lepaskan stylet perlahan dari jarum dan cairan keluar. Untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil
cairan untuk pemeriksaan dan masukkan pada tempat sampel yang sudah
disiapkan.
13) Cabut jarum dan tutup area tusukan dengan plester
14) Rapikan alat-alat yang sudah digunakan
15) Cuci tangan steril
Gambar . Sampling LCS Posisi Lateral Decubitus
b. Pengiriman dan Penyimpanan
1) Harus segera dikirim
2) Sel mulai degenerasi dalam waktu 30 menit
3) Penundaan pengiriman menyebabkan glukosa turun
4) Harus segera dilaksanakan setelah pengambilan (terbaik: kurang dari 1 jam)
5) Penyimpanan 4°C dapat memperlambat degenerasi sel dan kimia
6) Pemeriksaan mikrobiologi harus segera dilakukan jangan disimpan dalam suhu
dingin karena menghambat Neisseria meningitidis & Haemophilus influenzae.
Sampel sebaiknya dalam suhu kamar.
7) Sisa spesimen dibekukan -20°C untuk pemeriksaan kimiawi, serologi & materi
genetik tambahan
b. Perawatan pasca pemeriksaan
a. Pasien berbaring datar (sudut elevasi tidak lebih dari 30o) dengan hanya 1 bantal
untuk mengurangi post-dural puncture headache
b. Anjurkan pasien tidur datar selama 6-12 jam setelah dilakukan prosedur
c. Observasi tempat penusukan, apakah terjadi kebocoran untuk 4 jam pertama
setelah pemeriksaan
d. Observasi pasien berhubungan dengan orientasi, gelisah, perasaan mengantuk,
mual, kelemahan tungkai untuk 4 jam pertama setelah pemeriksaan
e. Anjurkan pasien melapor kepada dokter atau perawat bila terjadi nyeri kepala dan
berikan obat analgesik sesuai dorsi
c. Interpretasi Laboratorium
a. Nilai Normal
1) Tekanan : 50-180 cm H2O
2) Warna : transparan bening
3) Eritrosit : -
4) Leukosit : 0-5 sel/µL atau 0-5 x 106 sel/L atau 0-5 x 103/mL
5) Protein : 15–45 mg/dl atau 0,15-0,45 gr/L SI unit (sekitar 70 mg/dl pada anak-
anak dan lansia)
6) Glukosa : 50-75 mg/dl (2,8-4,2 mmol/L SI unit atau 60-70 % dari glukosa darah
plasma)
7) Klorin : 700-750 mg/dl (110-125 mEq/L atau mmol/L SI unit)
8) Glutamine : 6-15 mg/dl
9) Laktat : <2 – 7,2 U/mL
10) Globulin-δ: 3-12 % dari total protein
Berdasarkan interpretasi di atas di dapatkan diagnosis meningoensefalitis
B. PEMBAHASAN ANALISIS KEDUA
c. Definisi, etiologi, diagnosis differential meningoencephalitis tuberculosis
a. Definisi dan etiologi
Meningoencephalitis tuberculosis merupakan suatu reksi peradangan akibat infeksi
sekunder bakteri tuberculosis yang mengenai parenkim otak, satu atau semua lapisan
selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang
menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa (Mardjono, 2008).
b. Diagnosis Banding Meningoencephalitis Tuberculosis
Tuberculosis
Hal ini di dasarkan pada anamnesis diketahui bahwa 1 bulan yang lalu pasien
didiagnosis menderita infeksi pada paru-parunya dan diharuskan meminum obat
tanpa putus selama 6 bulan. Selain itu pasien juga mengeluh batuk, sering
berkeringat pada malam hari dan pasien merasakan berat badannya turun yang
menunjukkan adanya tuberculosis paru. Karena pengobatan terputus kurang dari 1
bulan pengobatan, maka kemungkinan pasien masih menderita tuberkulosis paru.
Untuk dapat menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan visik, tes darah
lengkap, foto thorak, tes SPS (Hariadi, 2010).
Epilepsi
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik
yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy
(ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005
merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,
perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan
epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak (Browne TR.,2000)
Meningitis et causa Virus
Meningitis karena virus sebagian besar disebabkan karena entero virus , dapat juga
karena virus campak, gondong, cacar air, influenza atau herpes. Infeksi entero
virus di Amerika Serikat sering terjadi pada musim panas atau musim gugur,
dapat tanpa gejala, dapat juga menimbulkan gejala flu atau bercak kemerahan
dikulit atau nyeri tenggorokan dengan demam ringan , berlangsung selama 7 - 10
hari kemudian sembuh, sangat jarang yang kemudian diikuti terjadinya
Meningitis.
Meningitis
Meningitis merupakan radang pada selaput otak. Kondisi pasien yang menderita
TB paru merupakan salah satu faktor resiko timbulnya meningitis, karena TB paru
dapat menimbulkan komplikasi berupa meningitis TB akibat penyebaran kuman
TB dari paru ke meningens secara hematogen. Saat terjadi penyebaran muncul
gejala prodormal berupa demam yang juga dirasakan oleh pasien 1 minggu
sebelumnya. Gejala klinis meningitis yang juga ada pada pasien adalah
penurunan kesadaran, kejang, sakit kepala. Untuk dapat menegakkan diagnosis ini
diperlukan pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan fisik, tes babinsky, tes
darah lengkap, CT scan, lumbal pungsi, tes kaku kuduk, tes brudzinski, tes kernig
2. Patofisiologi dan patogenesis meningoencephalitis tuberculosis
Pada kasus Meningoencephalitis ini terjadi infeksi meningitis terlebih dahulu oleh
Mycobacterium tuberculosis yang kemudian menyebabkan terjadinya inflamasi pada
parenkim otak. Pathogenesis meningoencephalitis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis terjadi dalam dua langkah, langkah pertama yaitu ketika bakteri masuk ke
dalam tubuh melalui inhalasi droplet, dan langkah kedua adalah ketika fokus bakteri
rupture dan menyebar melalui spatium subarachnoidea (Ramachandran, 2011).
Inhalasi droplet yang mengandung M. tuberculosis
Difagositosis oleh makrofag alveolar
Terjadi bakteremia dalam waktu singkat
Bakteri mencapai meninges atau parenkim otak
Bakteri membentuk fokus di subpial atau subependymal
Fokus rich / tuberkel
Rupture di ruang subarachnoid
Eksudat gelatinosa tebal
Meluas sampai parenkim otak
Adesi di sekitar fossa
interpendikularis (gangguan N. III,
IV, VI, VII)
meningitis Medulla spinalis
encephalitis
Sumbat LCS
hidrocephalus
Infeksi lokal paru
Menyebar lewat kelenjar getah bening regional
Membentuk kompleks primer
ISPA, TBC
Septikemi (multifikasi lewat darah)
Patofisiologi
Sakit kepala, nyeri kepala
Peningkatan tekanan intrakranial Edema serebral
Gangguan perfusi dan sirkulasi
Suplai O2 menurn, gangguan metabolisme
Menekan saraf vagal
Mual muntah
Hipotalamus
3. Penegakan diagnosis meningoencephalitis tuberculosis
Diagnosis meningoensephalitis pada pasien dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa
dan pemeriksaan fisik serta penunjang yang dilakukan pada pasien. pada pasien
didapatkan keluhan demam yang berlangsung selama 5 hari,
2. Anamnesis
Meningitis sering dijumpai bersama dengan encephalitis. Tidak menutup
kemungkinan pasien menderita encephalitis yang diakibatkan perluasan infeksi dari
meningens. Tanda dan gejala pada meningitis seperti demam, sakit kepala, kekakuan
pada leher, vomiting, diikuti oleh penurunan kesadaran,dan kadang-kadang tanda-
tanda neurologik, tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatri
tidak jauh beda dengan meningitis. Gejala –gejala ensephalitis yang muncul berupa
gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala, vertigo, nause, konvulsi
dan perubahan mental. Gejala lain yang mungkin timbul termasuk photophobia,
perubahan sensorik, dan kekakuan leher. Penegakan diagnosis dilakukan dengan
prosedur seperti yang dilakukan pada meningitis dan eksefalitis diantaranya
pemeriksaan cairan serebrospinal; pemeriksaan darah termasuk didalamnya kultur;
pemeriksaan imaging, diantaranya CT scan, MRI dan elektroencephalogram.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pada pemeriksaan Kernigs sign (+) dan Brudzinsky sign (+) menandakan
bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian bawah.
Pada pemeriksaan Kernig sign terdapat penarikan nervus Ischiadicus yang
akan merangsang radix posterior L4 apabila ditemukan ada kelainan di medula
spinalis timbul nyeri.
b. Hasil pemeriksaan dan laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis
menunjang terjadinya demam pada pasien, hasil pemeriksaan fisik juga
menunjukkan adanya infeksi pada meningen yang belum mencapai medulla
spinalis, oleh karena itu gejala yang didapat pada pasien ditunjang dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang maka sesuai dengan diagnosis meningitis.
untuk mengetahui penyebab pastinya dibutuhkan adanya kultur.
4. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium; Pungsi lumbal penting sekali untuk pemeriksaan bakteriologik dan
laboratorium lainnya. Likuor serebrospinalis berwarna jernih, opalesen atau
kekuning-kuningan (xantokrom). Tekanan dan jumlah sel meninggi namun
umumnya jarang melebihi 1.500/3 mm3 dan terdiri terutama dari limfosit. Kadar
protein meninggi sedangkan kadar glukosa dan klorida total menurun. Bila cairan
otak didiamkan maka akan timbul fibrinous web (pelikel), tempat yang sering
ditemukannya basil tuberkulosis.Pungsi lumbal ulangan dapat memperkuat
diagnosis.
5. Pemeriksaan
6. Penatalaksanaan (farmako dan non farmako) meningoencephalitis tuberculosis
Pengobatan medika medika mentosa sesuai rekomendasi American Academy of
Pediatries 1994. Pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, diteruskan dengan pemberian
LNH dan Rifampisin selama 10 bulan.
a. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 300 mg/hari.
b. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis masksimum 600 mg /hari.
c. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2000 mg/hari.
d. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2500 mg/hari.
e. Prednizon 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu, dilanjutkan dengan lapering-off..
Jika didapatkan hidrosefalus dapat dilakukan pemasangan VP-Shunt. Pengobatan suportif
meliputi restrksi cairan, posisi kepala lebih tinggi dan fisioterapi pasif. (Caroline, 2010)
Steroid diberikan untuk :
a. Menghambat reaksi inflamasi
b. Mencegah komplikasi infeksi
c. Menurunkan edema serebri
d. Mencegah perlekatan
e. Mencegah arteritis / infark otak
Indikasi pemakaian steroid :
1. Penurunan kesadaran
2. Defisit nemologis fokal
Steroid yang biasa dipakai yaitu dexametason
Pengobatan simptomatis
a. Menghentikan kejang:
Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis
rektal suppositoria, kemudian dilanjutkan dengan:
Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
b. Menurunkan panas:
Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 10
mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari
Kompres air hangat/biasa
7. Komplikasi dan prognosis meningoencephalitis tuberculosis
a. Komplikasi akut:
1. Edema otak
2. Hipertenis intrakranial
3. Ventrikulitis
4. Kejang
5. Meningkatnya tekanan intracranial (Tsumoto, 2001)
b. Komplikasi intermediet :
1. Efusi dubdural
2. Abses otak
3. Hidrosefalus
4. Demam (Tsumoto, 2001)
DAFTAR PUSTAKA
Nelson, 2000. Ilmu kesehatan anak volume 1 edisi 15. Jakarta : EGC
Sidharta, Priguna. 2009. Neurologi Klinis dalam Prektek Umum. Jakarta: Dian Rakyat. Hlm
496-7
Chandra, B. Diagnostik dan Penanggulangn Penderita dalam Koma. Cermin Dunia
Kedokteran. 1979. 97-100
Price dan Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta:
EGC. Hal 1047, 1159
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume
1. Jakarta : EGC
Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy: Definitions and Background. In: Handbook of
Epilepsy, 2nd edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P., 1-18
Baehr, M dan Frotscher M. 2007. Diagnosis Topik Neurologi Duus Edisi 4. Jakarta : EGC.
Lumbantobing, S.M. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL :
http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm
Aditama. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : PDPI
Greenberg, MS. 2001. Coma dalam Handbook of Neurosurgery Fifth Edition. New York:
Thieme.
Isselbacher, et al. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 5. Edisi 13.
Jakarta: EGC.
Kementerian kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pedoman Interpretasi Data Klinik.
Jakarta.
Lumbantobing, S. M., 2011. Neurologi klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FKUI.
Lumbantobing. 2008. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Manoj K. Goel etc . 1997. Miliary tuberculosis with brain tuberculomas a rare
presentation.Ind J Tub. 44: 87.
Mansjoer, Arif,Suprohaitaet all. 2000. Kapita selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid II.
Jakarta : Media Aesculapius. FKUI.
Mardjono, M & Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar.Jakarta: Dian Rakyat.
Mardjono, Mahar dan Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Martini, Frederic H.. 2009. Brain and cranial nerve; The spinal cord, spinal nerves, and
spinal reflexes dalam Fundamentals of Anatomy and Physiology. San Fransisco :
Pearson.
Netter, Frank H., John A. Craig, James Perkins, John T. Hansen, Bruce M. Koeppen. 2002.
Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA : Icon Custom Communication.
Price, S.A., L.M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Perjalanan
Penyakit, Volume 2, Edisi 6. Jakarta: EGC.
Ravindra, K. 1996. Diagnosis of Intra cranial Tuberkuloma. Department of Neurology, King
George’s Medical College, Lucknow. Ind. J. Tub.43: 35.
Rizal T. Rumawas. 2000. Patologi dan patofisiologi gangguan kesadaran.. Jakarta:
Simposium Koma.
Snell, R.S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Snell, Richard S. 2006. Neuroanatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 5. Jakarta:
EGC.
Tsumoto, S. 2001. Guideline to meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge