Laporan Problem Based Learning 3

52
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 3 BLOK RESPIRASI Bronkopneumonia, Gizi Kurang, Tonsilofaringitis Akut TUTOR : dr. Madya Ardi Wicaksono, M. Si KELOMPOK 4 G1A012031 Dara Aisyah R. A. G1A012032 Inggit Adzani G1A012033 R. Faris Mukmin Kalijogo G1A012034 Faishal Hanif G1A012035 Miranti Probosini G1A012036 Arvin Lutfiani G1A012037 Nugraha Ramadhan G1A012038 Firyal Maulia G1A012039 Nadia Hanifah G1A012040 Dzicky Rifqi Fuady KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Transcript of Laporan Problem Based Learning 3

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 3BLOK RESPIRASIBronkopneumonia, Gizi Kurang, Tonsilofaringitis Akut

TUTOR :dr. Madya Ardi Wicaksono, M. Si

KELOMPOK 4G1A012031Dara Aisyah R. A.G1A012032Inggit AdzaniG1A012033R. Faris Mukmin KalijogoG1A012034Faishal HanifG1A012035Miranti ProbosiniG1A012036Arvin LutfianiG1A012037Nugraha RamadhanG1A012038Firyal MauliaG1A012039Nadia HanifahG1A012040Dzicky Rifqi Fuady

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERANPURWOKERTO2014I. INFORMASI KASUS

Informasi 1Wijaya, seorang anak laki-laki usia 7 bulan datang ke Rumah Sakit diantar ibunya dengan keluhan utama demam tinggi dan batuk. Pasien mengalami demam, pilek dan batuk sejak 4 hari yang lalu. Dua hari sebelumnya anak sudah dibawa berobat ke Puskesmas dan mendapat obat Parasetamol dan OBH. Satu hari sebelum datang ke Rumah sakit kondisi memberat, batuk tambah sering dan berlendir, demam semakin tinggi dan sesak nafas. Anak masih bisa makan dan minum sedikit-sedikit, anak tidak muntah, tidak kejang dan tidak letargis.Anak tersebut lahir dengan berat badan 3,2 kg, lahir spontan dan cukup bulan. Riwayat imunisasi dan pemberian vitamin A di posyandu lengkap dan sesuai jadwal. Riwayat pemberian ASI hanya 3 bulan, kemudian disambung susu formula dan sudah diberikan makanan berupa pisang sejak usia 4 bulan. Ibunya mengeluhkan Wijaya nampak lebih kurus dari anak seusianya.

Informasi 2Pemeriksaan FisikKU: rewel, gelisah, tampak sesakBerat badan: 6,5 kgPanjang badan: 68 cmTanda vital: nadi 130x/menit, pernapasan 60x/menit, suhu 39,20CKepala: Bibir: sianosis (-) Hidung: NCH (+), konka edema (-), hiperemis (-), discharg serous (-) Faring: hiperemis (+), discharge (+) Tonsil: T2-2, hiperemis (+)Thorax: Inspeksi: simetris, nafas tampak memburu, retraksi (+) pada dindingdada bagian bawah (rusuk terbawah) Palpasi: hantaran paru meningkat, kanan=kiri Perkusi: sonor, sebagian redup Auskultasi: ronkhi basah halus nyaring (+)/(+)Abdomen: supel, peristaltic(+)N, nyeri tekan(-), hepar/lien tidak terabaEkstremitas: akral dingin(-/-), telapak tangan tidak pucat dan bengkak padakedua tungkai(-/-)

Informasi 3Pemeriksaan PenunjangDarah rutin: Hb 12gr%, hematocrit 38%, eritrosit 4,5 juta, leukosittrombosit 200 ribu, diff count 0/2/9/65/25/5Foto thorax: gambaran bronkovaskuler meningkat. Terdapat gambaraninfiltrat pada kedua lapang paru

Informasi 4Diagnosis: Bronkopneumonia, gizi kurang, tonsilofaringitis akutDD: Bronkitis akut, bronchitis kronik, bronkiolitisTata laksana:1. Rawat inap2. Oksigenasi kanul nasal 2L/m3. Infus RL/Kaen 3B4. Antibiotik: Ampicillin 100 mg/kgBB dalam 4 dosis, kloramfenikol (50-100 mg/kgBB dalam 3-4 dosis, maks 1500 mg/hr).5. Ekspektoran: Ambroksol syrup 3 x 3.5 mg6. Penurun panas: parasetamol syrup 10 mg/kgBB/kali7. Antibiotik lanjutan setelah pulang peroral 7-10 hari8. Diet: bubur tinggi kalori tinggi protein

II. PEMBAHASAN

A. Klarifikasi Istilah1. Parasetamola. DefinisiParasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit aktif dari fenasetin dengan efek antipiretik dan analgesik lemah. Nama lain parasetamol antara lain : 1) Acetaminofen 2) APAP 3) Paracetamolo 4) Paracetanol5) Nama IUPAC: N-(4-hydroxyphenyl)acetamide

b. FarmakodinamikParasetamol merupakan penghambat COX-1 dan COX-2 yang lemah di jaringan perifer dan hampir tidak memiliki efek anti-inflamasi/anti-radang. Hambatan biosintesis Prostaglandin (PG) hanya terjadi bila lingkungan yang rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus sedangkan lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan leukosit, hal ini lah yang menjelaskan efek antiinflamasi parasetamol tidak ada.Studi terbaru menduga parasetamol juga menghambat COX-3 di Susunan Saraf Pusat yang menjelaskan cara kerjanya sebagai anti piretik.Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam -1 jam dan waktu paruh (t ) sekitar 2 jam. Obat tersebar ke seluruh cairan tubuh. Terikat 20-50% pada protein plasma. Metabolisme: di hatiGlucuronide conjugates(60%);sulfuric acid conjugates(35%). Ekskresi: ginjal dalam bentuk terkonjugasi dan sebagai parasetamol (3%).c. Farmakokinetik Absorpsi : diberikan peroral, absorpsi bergantung pada kecepatan pengosongan lambung, dan kadar puncak dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Distribusi: Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma Metabolisme : dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida, yang secara farmakologi tidak efektif. Ekskresi : diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk tidak berubah.d. Indikasi Analgesik/antinyeri (nyeri ringan-sedang : sakit kepala, mialgia, nyeri postpartum, dll) Analgesik pada yang kontraindikasi dengan aspirin (ulkus peptikum, hipersensitivitas aspirin, anak dengan demam). Antipiretik/antidemame. Efek samping Pada dosis terapi, kadang-kadang timbul peningkatan enzim hati tanpa ikterus (keadaan ini reversible bila obat dihentikan). Pada dosis yang lebih besar, dapat timbul pusing, mudah terangsang, dan disorientasi. Pemakaiandosis tunggal 10-15 gram, bisa berakibat fatal,kematian disebabkan oleh hepatotoksisitas yang berat dengan nekrosis lobulus sentral, kadang-kadang berhubungan dengan nekrosis tubulus ginjal akut. Reaksi alergi Gejala dini kerusakan hati meliputi mual, muntah, diare, dan nyeri abdomen.f. Dosis Pada anak : 10-15mg/kgBB/kali tiap 4 jam (maks. 5 dosis/24 jam) Dosis dewasa : 300 mg-1 g/kali, maks 4 g/hari (maks 2 g/hari untuk alkoholik) Sediaan : tab 500mg, sirup 120mg/5ml2. LetargisLetargis merupakan salah satu tingkatan kesadaran. Tingkat kesadaran (Bradley et al, 2011):a. Secara kualitatif1) ComposMentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.4) Somnolen (obtundasi, letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).b. Secara Kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma Scale)a. Menilai respon membuka mata (E)(4) : spontan(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).(2):dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)(1) : tidak ada responb. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)(5) : orientasi baik(4) :bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang) disorientasi tempat dan waktu.(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak)(2) : suara tanpa arti (mengerang)(1) : tidak ada responc. Menilai respon motorik (M)(6) : mengikuti perintah(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)(4) : withdraws (menghindar/ menarik ekstremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)(3) : fleksi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki ekstensi saat diberi rangsang nyeri).(2) : ekstensi abnormal (tangan satu atau keduanya ekstensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki ekstensi saat diberi rangsang nyeri).(1) : tidak ada responHasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalamsimbol EVM Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1Setelah dilakukan skoring GCS dapat diinterpretasikan sebagai berikut :Compos Mentis: 14-15Apatis: 12-13Somnolen: 10-11Delirium: 7-9Sporo koma: 4-6Koma : 33. Sesak nafasSesak nafas atau dispnea adalah perasaan subjektif ketidaknyamanan ketika bernapas dan sulit diukur secara objektif. Ditandai dengan nafas cuping hidung, RR meningkat dan penggunaan muskulus aksesori pernapasan. Mekanisme neurogenik sesak nafas adalah sebagai berikut (Burki & Lee, 2010):Spindel otot dan tendo golgi otot-otot pernapasan bertindak sebagai mekanoreseptor pernapasan. Mereka merasakan ketegangan otot dan kontraksi dan dipersarafi melalui sel-sel cornu anterior neuron motorissumsum tulang belakang dan proyeksi untuk korteks somatosensori. Diafragma kaya dengan tendo golgi tetapi memiliki sedikit sel spindel dan dipersarafi oleh nervus frenikus. Setiap rangsangan yang tertuju ke mekanoreseptor ini akan diteruskan sesuai dengan persarafannya ke otak dan akan memicu proses selanjutnya dalam mekanisme sesak napas (Burki & Lee, 2010).

Gambar 1. Gambaran skematis mekanoreseptor dan persarafannya. DRG = dorsal respiratory group, VRG = ventral respiratory group (Burki & Lee, 2010)Informasi sensorik yang timbul dari paru-paru ditularkan oleh n. vagus ke batang otak. Saraf ini terdiri dari serat myelinated dan unmyelinated dan pelaksana terakhir> 75% dari lalu lintas saraf aferen dalam nervus. Sembilan belas reseptor n. vagus di paru-paru terdiri dari reseptor adaptasi cepat, adaptasi lambat perlahan-lahan beradaptasi reseptor, dan serat Ad-Polimodal di saluran napas besar (yang terakhir terutama di laring dan trakea), semua dipersarafi oleh serabut mielin dari saraf vagus, dan serat C vagal unmyelinated yang ditemukan di seluruh saluran pernapasan. Selanjutnya, rangsang ini diteruskan ke korteks insula sebagai daerah yang dipercayai berperan dalam proses sesak napas lalu diteruskan ke otot-otot pernapasan (Burki & Lee, 2010).

Gambar 2. Gambaran skematik jaras kemoreseptor perifer (Burki & Lee, 2010).B. Sasaran Pembelajaran1. Mengapa dextromethorphan tidak boleh digunakan pada anak usia kurang dari dua tahun?Sistem saraf otonom pada umur ini belum matang, sehingga lonjakan tiba-tiba dari aktivitas simpatetik yang disebabkan dextromethorphan pada jantung yang mempromosikan produksi serotonin berlebih dapat menyebabkan lethal arrhythmia karena sistem konduksi listrik jantung bayi masih tidak stabil dan dapat menyebabkan Sudden Infant Death Syndrome (American Academy of Pediatric, 2009).Dextromethorphan (3 Methoxy-17-methylmorphinan monohydrate) adalah isomer methorphan analog kodein. Berbeda dengan antitusif opioid, dextromethorphan tidak menimbulkan adiksi. Dextromethorphan merupakan antitusif sentral dan hanya meringankan batuk tanpa menghilangkan penyebab batuk (FKUI, 2009).Dextromethorphan diberikan per oral dan diabsorpsi baik oleh saluran cerna. Waktu paruh pada orang normal adalah 2-4 jam. Dimetabolisme di hepar oleh enzim CYP2D6 (Sitokrom P2D6) menjadi bentuk aktif berupa dextrorphan. Eliminasi melalui filtrasi ginjal dibuang bersama urin (FKUI, 2009). Berikatan dengan reseptor non-opioid pada sistem saraf pusat. N-methyl-D-aspartate receptor antagonist (NMDA Antagonist), sehingga menaikkan ambang batuk.Indikasi penggunaan obat ini adalah untuk batuk kering. Sedangkan kontra indikasinya adalah sebagai berikut (Brunton, 2006): a. Hipersensitivitas pada dextromethorphanb. Dextromethorphan tidak dianjurkan untuk terapi batuk kronis (karena merokok, emfisema, asma) atau ketika batuk produktif sekret berlebihc. Dextromethorphan dikaitkan dengan pelepasan histamin dan tidak diboleh diberikan pada anak dengan atopid. Tidak boleh diberikan pada anak < 2 tahune. Dextromethorphan tidak boleh diberikan pada pasien yang sedang mengkonsumsi serotonin reuptake inhibitors, seperti fluoxetine, paroxetine dan monoamine oxidase inhibitors (MAOI) yang merupakan obat antidepresan. Interaksi obat yang terjadi pada pemberian dextromethorphan dapat menyebabkan sindrom serotonergik yang mengancam nyawa. Gejala sindrom serotonergik, seperti terus terjaga, berkeringat, hipertensi, hipertermia, dan tremor.Sedangkan efek sampingnya adalah pusing, gelisah, mual, muntah dan sakit perut (Brunton, 2006) 2. Bagaimana interpretasi tanda vital pasien?Tabel nilai normal tanda-tanda vital sesuai usia (Snyder, 2009):

Pada kasus:Hasil pemeriksaanInterpretasi

Suhu = 39Naik

Respirasi = 60x /menitNaik

Nadi = 130x /menitNaik

3. Bagaimana interpretasi status gizi pasien?Rumus Z-Score:Z score = nilai real nilai medianZ score = nilai real nilai medianPada kasus:Jenis kelamin = lakiUmur = 7 bulanBB = 6.5 nilai realPB = 68 cmPenghitungan BB/U Z score = = -2 normal/rendahBB/PB z score = = -1,875 normal PB/U z score = = - 0,56 normal Kategori Interpretasi Status Gizi Berdasarkan Tiga Indeks (BB/U,TB/U, BB/TB Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS)BB/TBBB/UTB/UKEADAAN GIZI

Normal RendahRendah Baik, pernah kurang gizi, pendek

Normal NormalNormalBaik, perawakan medium

Normal TinggiTingiBaik, perawakan jangkung

Rendah RendahTinggiBuruk/kurang, jangkung

Rendah RendahNormalBuruk, perawakan medium

Rendah NormalTinggiKurang, perawakan jangkung

Tinggi TingggiRendahLebih mungkin obesitas

Tinggi NormalRendahLebih, pernah kurang gizi, pendek

Tinggi tinggiNormalLebih, tidak obesitas, perawakan medium

Sumber: Depkes RI, 20044. Bagaimana interpretasi pemeriksaan tonsil pasien?Kategori satus tonsil :T1 normal, berada didalam fossaT2 sedikit membesar hampir menyentug uvulaT3 membesar menyentuh uvulaT4 melebar hingga ke garis tengah oro faring.Pada kasus:Hasil pemeriksaan tonsil adalah T2-T2 dan hiperemis. Kemungkinan tonsil dalam keadaan tidak normal (sedikit membesar) dan adanya hiperemis menguatkan indikasi adanya peradangan.5. Bagaimana rumus menghitung berat badan ideal pada bayi?Untuk formula BB (Ilmu Kesehatan Anak FK UI):BB = 8 + 2n, n = jumlah umur dalam tahunPada kasus:BB = 8 + 2 ()BB = 9, 16 kg BB idealInterpretasi BB pasien adalah kurang dari normal.

C. Diagnosis Banding1. BronkiolitisInfeksi akut pada bronkiolus yang menyebabkan obstruksi bronkiolus. Penyebabnyamayoritas virus yaitu RSV; parainfluenza 1,2,3; influenza B dan adenovirus. Biasanya terjadi pada usia 6 bulan 2tahun. Manifestasi klinis (Setiawati, 2005):a. AnamnesisDemam ringan, batuk, pilek, nafsu makan berkurang, sulit makan minum, b. Pemeriksaan FisikNafas cuping hidung, penggunaan otot bantu napas, takipnea, wheezing, retraksi tidak dalam karena udara terperangkap dalam paru, hipersonor, hepar/lien teraba karena tertekan. Biasanya disertai konjungtivitis ringan, faringitisPenegakkan diagnosis:a. Manifestasi klinis b. Umur c. Ada tidaknya epidemi RSVKriterianya Wheezing pertama kali, umur 24 bulan atau kurang, pemeriksaan fisik sesuai gambaran infeksi virus, menyingkirkan pneumonia atau atopi yang dapat menyebabkan wheezing.

Tabel 1. Perbedaan Asma dan Bronkiolitis (Supiyatno, 2006).2. AsmaAsma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu. Rangsangan tersebut menyebabkan peradangan. Penting diketahui bahwa penyempitan ini bersifat sementara/reversible (Ohrui, 2003). Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (Rengganis, 2008).Tanda dan gejala utama yang bisa dijumpai pada penderita asma bronkial (Patel, 2008) adalahdispneu (sesak nafas), batuk, mengi, memburuk saat malam hari (nocturnal), laju respirasi 25x per menit, denyut jantung 110x per menit, PEFR (peak expiratory forced volume) 50% nilai prediksi. Pada pemeriksaan fisik dasar akan didapatkan berbagai kelainan seperti bernafas cepat dan dalam saat serangan, ekspirasi memanjang, wheezing pada auskultasi, dada hiperinflasi, sianosis. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan asma antara lain faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor lain misalnya makanan. Apabila ada anak atau bayi yang dicurigai asma, perlu kita tanyakan faktor-faktor diatas, misalnya apakah kedua orang tuanya memiliki asma atau riwayat atopi, atau juga alergi terhadap makanan dan lain-lain. Apabila tidak, kecil kemungkinan bahwa anak atau bayi tersebutmenderita asma(McFadden, 2005). 3. Bronkitis akutBronkitis adalah suatu penyakit peradangan saluran nafas bawah, yaitu pada pembuluh bronkus.Bronkitis dibagi menjadi dua berdasarkan waktu terjadinya, yaitu bronkitis akut dan bronkitis kronik. Bronkitis akut adalah batukyang tiba-tiba terjadikarena infeksi virus yang melibatkan jalan nafas besar. Pada umumnya bersifat ringan dan berlangsung selama 10-14 hari, namun dapat sangat mengganggu apabila disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan. Bronkitis kronik terjadi dalam jangka panjang biasanya selama 3 bulan dalam satu tahun selama dua tahun berturut-turut (Sherwood, 2012).Bronkitis akutbiasanya sembuh sendiri dengan batuk sebagai gejala utama. Gejala lain akibat proses inflamasi di bronkus antara lainberupa batuk dan pilek selama 3-4 hari, batuk kering kemudian berubah menjadi batuk beriak purulen, nyeri, demam,mual serta muntah, edema bronkus, hipersekresi mukus, kelelahan, sakit kepala ringan, sakit tenggorokan dan mata berair selama kurang lebih 2-3 bulan.Pada pemeriksaan fisik akan didapatkankeadaan baik, umumnya pasien tidak tampak sakit, demam subfebris,tidak terlihat sesak, ada nasofaring dan conjungtivitis. Sedangkan dalam pemeriksaan foto thoraks dapat normal atau terdapat corakan bronkovaskuler dan pemeriksaan leukosit dapat normal atau meningkat (Sutoyo, 2010).Penyebab terjadinya bronkitis biasanya diawali oleh infeksi virus, terutama jenis adenovirus, influenza dan parainfluenza danRhinovirus Syncytial virus (RSV). Selain itu, bronkitis juga bisa disebabkan oleh bakteri seperti Mycoplasma, Pneumococcus, klebsiella, dan Haemophilus.Mycoplasma, Pneumococcus, klebsiella, dan Haemophilus serta polutan kimia atau iritan (CDC, 2013).Terapi untuk mengatasi bronkitis bisa dilakukan secara kausatif yaitu dengan pemberian antibiotik dan terapi simptomatik. Terapi antibiotik memang tidak terlalu memberikan efek yang bermakna jika dibandingkan dengan pasien tanpa terapi antibiotik. Akan tetapi, antibiotik sangat perlu diberikan untuk mencegah adanya komplikasi pertussis dan pneumonia (Albert, 2010).Terapi simptomatik yang umumnya diberikan adalah antitusif, espektoran, inhaler dan terapi elternatif. Akan tetapi, semuanya itu belum terbukti efektif untuk meredakan bronchitis. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa inhalasi kortikosteroid dosis tinggi memberikan efek yang cukup bermakna (Albert, 2010).4. TB paru pada anakTuberkulosis paru dapat menyerang anak pada usia berapapun, namun yang paling sering adalah mengenai usia 1-4 tahun. Keluhan yang sering muncul (Somantri, 2007):a. Demam : subfebris, febris (40-41oC) hilang timbul.b. Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini terjadi untuk membuang atau mengeluarkan produksi radang yang dimulai dari batuk kering sampai dengan batuk purulen.c. Sesak nafas : bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru-paru.d. Nyeri dada : jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang samapi ke pleura sehuingga menimbulkan pleuritis.e. Malaise : ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri dada dan keringat malam.f. Sianosis, sesak nafas dan kolaps : merupakan gejala atelektasis. Bagian dada pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto thorax, pada sisi yang sakit tampak bayangan hitam dan diafragma menonjol keatas.g. Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal. Karena biasanya penyakit ini muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan tetapi penyakit infeksi menular.Pemeriksaan fisik (Somantri, 2007):a. Pada tahap dini sulit diketahui.b. Ronkhi basah, kasar dan nyaring.c. Hipersonor atau timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberikan suara umforik.d. Pada keadaan lanjut terjadi atropi, retraksi interkostal dan fibrosis.e. Bila menganai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara pekak).5. Pneumonia balitaPneumonia balita adalah penyakit infeksi yang menyerang paru ditandai dengan batuk disertai napas cepat dan atau napas sesak pada usia balita (0-5 tahun). Pneumonia telah menjadi penyakit yang berbahaya bagi balita dengan preosentasi kejadian 25 % dari kematian balita pada tahun 2005. Pneumonia balita berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3-10 jam jika tidak segera ditangani dengan cepat dan tepat (Bennet, 2014).Diagnosis pneumonia didasarkan pada kecepatan bernapas. Jika balita berusia di bawah 2 tahun, kecepatan respirasi (RR) 60 kali/menit sudah bisa disebut sebagai pneumonia. Pada balita usia 2-11 bulan, RR 50 kali/menit, sedangkan pada balita usia 12-59 bulan RR lebih dari 40 kali/menit bisa disebut sebagai pneumonia. Gejala lain pneumonia diantaranya adalah takipnea, retraksi dada, napas cuping hidung dan hipoksemia. Kongesti, demam, iritabilitas dan penurunan nafsu makan juga sering terjadi. Streptococcus pneumoniaadalah bakteri tersering penyebab pneumonia bayi usia 1-3 bulan (Bennet, 2014). Faktor risiko terjadinya pneumonia pada balita adalah usia yang sangat muda, imunosupresi, kepadatan rumah tinggi, riwayat penyakit keluaga (+), dan polusi rokok (WHO, 2013).Pneumonia berdasarkan etiologinya bisa dibedakan menjadi pneumonia viral dan pneumonia bakterial. Berdasarkan gambaran radiografinya, pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia lobaris dengan infiltrat terlokalisasi dan bronkopneumonia dengan gambaran kelainan yang lebih difus (Bennet, 2014).

Gambar 3. Pneumonia viral (Bennet, 2014).

Gambar 4. Konsolidasi pada pneumonia bakterial (Bennet, 2014).

Gambar 5. Pneumonia disertai dengan efusi pleura (Bennet, 2014).

Gambar 6. Infiltrat pada lobus inferior sinistra (Bennet, 2014).

Gambar 7. Anak dengan pneumonia bulat (Bennet, 2014).Terapi pneumonia balita pada usia 2 bulan 5 tahun menurut Depkes RI didasarkan pada klasifikasi tingkat keparahan pneumonia, yaitu antara lain sebagai berikut (Depkes RI, 2012).

Gambar 8. Panduan terapi pneumonia departemen kesehatan berdasarkan klasifikasi keparahan (Depkes RI, 2012).6. Bronkopneumonia Gejala bronkopneumonia timbul secara bertahap dan sering kali secara tiba-Perjalanan klinis infeksi primer sering timbul dengan gejala yang cukup pasti. Onset tiba-tiba dengan demam , dan nadi cepat menunjukkan infeksi akut . Munculnya batuk dan dyspnea akan dapat mengindikasikan ada infeksi di paru. Namun tanda awal penyakit ini seringkali disamarkan dengan gejala penyakit paru lain. Pernapasan bronkial hanya bisa didengar di mana besar area konsolidasi terjadi . Temuan fisik akan berubah dari hari ke hari sebagai bronchial yang berbeda daerah terlibat dengan eksudat dan area yang terbatas dan bervariasi dalam hitungan hari (Suzanne G. Bare, 2003).Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut kadang juga disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Porzecanski, 2006). Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Cook, 2002):1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada2. Panas badan3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)4. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)D. Etiologi BronkopneumoniaSmeltzer & Bare (2001) menyebutkan beberapa penyebab bronkopneumonia adalah bakteri, virus, mikroplasma, jamur dan protozoa. Bronkopneumonia juga dapat berasal dari aspirasi makanan, cairan, muntah atau inhalasi kimia, merokok dan gas. Bakteri penyebab bronkopneumonia meliputi :

1. Bakteri gram positifa. Streptococcus pneumonia (biasanya disertai influenza dan meningkat pada penderita PPOM dan penggunaan alkohol).b. Staphylococcus (kuman masuk melalui darah atau aspirasi, sering menyebabkan infeksi nasokomial).2. Bakteri gram negativea. Haemaphilius influenza (dapat menjadi penyebab pada anak-anak dan menyebabkan gangguan jalan nafas kronis).b. Pseudomonas aerogmosa (berasal dari infeksi luka, luka bakar, trakeostomi, dan infeksi saluran kemih).c. Klebseila pneumonia (insiden pada penderita alkoholis).3. Bakteri anaeroba. Bakteri anaerob (masuk melalui aspirasi oleh karena gangguan kesadaran, gangguan menelan).4. Bakteri atipikal (insiden mengingat pada usia lanjut, perokok dan penyakit kronis).

E. Faktor Risiko Bronkopneumonia1. Faktor Host a. UmurISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir seluruh kematian karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah bronkopneumonia. Tingginya kejadian bronkopneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan balita. Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan balita yang sedang menderita bronkopneumonia (Murray, 2005).b. Jenis kelamin Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan determinan perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau dalam faktor risiko suatu penyakit. Menurut sebuah penelitian kejadian bronkopneumonia pada balita lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki (Said, 2010).c. Status gizi Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan aktivitasnya. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat bronkopneumonia. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Murray, 2005).d. Status imunisasi Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama bronkopneumonia (Said, 2010). Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat kekebalan alami terhadap bronkopneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Murray, 2005).2. Faktor Agent Bronkopneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, Virus sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, Mycoplasma pneumonia (Reevers, 2000). 3. Faktor Lingkungan Sosial a. Pekerjaan Orang Tua Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan, dan gizi balita yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit bronkopneumonia (Mulholland K. 1999).b. Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama bronkopneumonia. Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang menderita ISPA (Nettina, 2001).c. Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah AnakOrang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola asuh yang diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten, penerapan pola asuh yang kompak antara kedua orang tua, serta adanya contoh perilaku yang positif dari kedua orang tua. Pola asuh yang dinamis artinya pola asuh yang diterapkan sejalan dengan usia balita misalkan pemberian jenis makanan pada anak yang berumur 1 tahun tentu berbeda dengan jenis makanan anak yang berumur 5 tahun, pola asuh bersifat sesuai artinya orang tua menerapkan pola asuh sesuai dengan kondisi balita itu sendiri karena pola asuh pada balita yang memiliki gangguan kesehatan tentu berbeda dengan pola asuh pada balita normal (Mulholland K. 1999).4. Faktor Lingkungan Fisik a. Polusi Udara Dalam Ruangan/Rumah Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi saluran nafas. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah bersatu dengan kamar tidur dan ruang tempat bayi dan balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga lebih sering terhirup udara yang pencemaran tentunya akan lebih tinggi (Derani, 2008).Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara memadai yang penuh asap yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok, dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak akan mendukung penyebaran virus atau bakteri, dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPAA (Smeltzer, 2002).b. Kepadatan Hunian Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, dua orang minimal menempati luas kamar tidur 8m. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan penyakit pada anggota keluarga lainnya (Smeltzer, 2002).

F. Penegakan Diagnosis BronkopneumoniaDefinisi pneumonia menurut WHO secara klinis pada anak berdasarkan batuk, kesulitan bernapas cepat, retraksi dada, atau penurunan tingkat kesadaran. Pada usia anak dua bulan sampai dengan 5 tahun, pneumonia mulai dicurigai jika frekuensi pernapasan mencapai lebih dari lima puluh kali per menit (Majid, 2004). Pada pneumonia anak, peningkatan laju pernapasan dan retraksi dada memiliki nilai diagnostic yang lebih tinggi dibandingkan suara ronkhi pada auskultasi (Singh & Aneja, 2011).Pemeriksaan fisik:Proses pemeriksaan fisik bisa mendapatkan tekanan darah rendah dan saturasi okisgen rendah yang dikompensasi dengan takikardia. Pada proses inspeksi, dapat terlihat pengembangan dada menurun pada sisi yang terkena. Pada auskultasi dapat terdengar suara napas keras dari trakea yang dihantarkan ke jaringan paru yang meradang yang disebut sebagai suara napas bronkial. Saat inspirasi, bisa terdengar suara ronkhi (Nair & Niederman, 2011). Perkusi mendapatkan hasil redup pada hemithoraks yang terkena akibat proses konsolidasi. Vocal fremitus dapat membedakan pneumonia dengan efusi pleura (Hoare & Lim, 2006).Pemeriksaan penunjang (radiologi):Foto thorax adalah media yang paling sering digunakan dalam radiografi pneumonia. Foto thorax dapat membedakan antara pneumonia lobaris, bronkopneumonia dan pneumonia interstitial (Helms et al., 2012). Bronkopneumonia dapat menunjukkan gambaran konsolidasi segmental atau lobular, hiperinflasi, infiltrate bilateral yang mirip dengan pneumonia bakteri dengan konsolidasi lobar (Sharma et al., 2007).G. Patogenesis BronkopneumoniaDalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit (Price, 2006).Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu (Price, 2006):a. Stadium I/Hiperemia (4 12 jam pertama/kongesti) Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan diantara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. b. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karenaadanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.c. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 8 hari) Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.d. Stadium IV/Resolusi (7 11 hari) Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

H. Patofisiologi Bronkopneumonia

Sumber: Isselbacher, 2000.

I. Penatalaksanaan BronkopneumoniaPada kasus bronkopneumonia pada bayi penatalaksanaan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik, antipiretik dan oksigenasi.1. AntibiotikAntibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit. Antibiotik yang digunakan disesuaikan dengan etiologi dari bronkopneumonia yaitu bakteri. Bakteri yang cukup banyak menyebabkan bronkopneumonia adalah bakteri kokus gram positif seperti streptococcus pneumonia sehingga perlu diberikan antibiotik seperti Ampicilin yang merupakan golongan beta laktam yang sensitif terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif yang tidak memiliki beta laktamase. Dosis Ampicilin yang digunakan adalah 300 mg/12 jam (Rahajoe, 2008).2. AntipiretikPemberian paracetamol diberikan selama pasien mengalami demam, dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali dapat diulang 4-6 jam (Nelson, 2000).3. OksigenasiPemberian O2 dilakukan untuk mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi kerja miokardium. Oksigen diberikan pada anak yang menunjukkan gejala adanya retraksi dinding dada bagian bawah yang dalam, SpO2< 90%, frekuensi nafas 60x/menit atau lebih, merintih setiap kali bernafas untuk bayi muda, dan adanya head nodding (Nelson, 2000). Pemberian O2 melalui nasal pronge sebanyak 1-2 L/menit atau 0,5L/menit untuk bayi muda. Pemberian O2 melalui kateter nasal yaitu 1-6L/menit untuk memberikan konsentrasi O2 24-44%. Pemberian O2 melalui sungkup biasa yaitu 5-8 L/menit untuk memberikan konsentrasi oksigen 40-60%. Serta pemberian O2 melalui sungkup reservoir yaitu 6-10 L/menit untuk memberikan konsentrasi oksigen 60-99% (Nelson, 2000; Rahajoe, 2008).

Daftar Pustaka

Albert, R.H. 2010. Diagnosis and Treatment of Acute Bronchitis.American Family Physician. 82(11):1345-1350.American Academy of Pediatrics. 2009. Use of Codeine- and Dextromethorphan-Containing Cough Remedies in Children. Pediatrics; DOI: 10.1542/peds.99.6.918. Available at: http://pediatrics.aappublications.org/content/99/6/918.full.pdf+html (diakses pada 18 Maret 2014).Bennet, N.J. 2014. Pediatric Pneumonia. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview (diakses pada tanggal 20 Maret 2014).Bennet, N.J. 2014. Pediatric Pneumonia. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1926980-overview#aw2aab6b2 (diakses pada tanggal 20 Maret 2014).Bennet, N.J. 2014. Pediatric Pneumonia. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview (diakses pada tanggal 20 Maret 2014).Bennet, N.J. 2014. Pediatric Pneumonia. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1926980-overview#aw2aab6b2 (diakses pada tanggal 20 Maret 2014).Bradley, John et al. 2011. Clinical Infectious Disease. San Diego: Oxford University Press.Brunton, Laurence L, John. S. Lazo, dan Keith. L. Parker. 2006. Goodman & Gilmans The Pharmalogical Basis of Therapeutics Eleventh Edition. McGraw-Hill Companies; USA.CDC. 2013. Bronchitis (Chest Cold). Available at: http://www.cdc.gov/getsmart/antibiotic-use/uri/bronchitis.html (diakses pada tanggal 20 Maret 2014).Cook DJ, Meade MO, Hand LE, et al . 2002. Toward understanding evidence uptak : semicumbency for pneumonia prevention. Crit care Med 2002.Depkes RI. 2004.Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat, JakartaDepkes RI. 2012. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Available at: http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/FINAL%20DESIGN%20MODUL%20TATALAKSANA%20STANDAR%20PNEUMONIA%20(STEMPEL%20BARU)%20rev.pdf (diakses pada tanggal 20 Maret 2014).Derani M, Pope D, Mascarenhas, Smith KR, Weber M, Nigel B. 2008. Indoor air pollution from unprocessed solid fuel use and penumonia risk in children aged under five years: a systematic review and meta analysis. Bull WHO Vol. 86: 390-398.Farmakologi dan Terapi.2007. Jakarta: FK UIGoodman Gilman's. 2006. The Pharmacological Basis of Therapeutics.McGraw-Hill Companies.Gunawan, Sulistia Gan. 2009. Farmakologi dan Terapi. Ed.5. Jakarta: FKUIHelms, William, E.. & Brant, C. A. 2012. Fundamentals of diagnostic radiology (4th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams Wilkins.Hoare Z., & Lim, W.S. 2006. Pneumonia: update on diagnosis and management. BMJ 332. (7549): 10779.Isselbacher, Kurt J., Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph B. Martin, Anthony S. Fauci, dan Dennis L. Kasper. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3. EGC: Jakarta.Katzung,BG.2006. Basic and Clinical Pharmacology.Majid, Lopez, A. D., Rodgers, A,& Murray, C.J.L. 2004. Comparative quantification of health risks. Genve: Organisation mondiale de la sant. p. 70.McFadden, ER. 2005. Asthma. in Kasper, DL. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw and Hill.Mulholland K.1999. Magnitude of the problem of childhood bronkopneumonia. Lancet. Vol. 354: 590-592. Murray Nedels. 2005. Text Book of Respiratology Medicine, Edisi I. Volume I United State of America : Elseiver Saunders.Nair, GB, & Niederman, M.S. 2011. Community-acquired pneumonia: an unfinished battle. The Medical clinics of North America. 95 (6): 114361.Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Volume 2. Jakarta : EGC. Rahajoe, Nastini N. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi I. Jakarta: IDAI.Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta : EGC.Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. 2003. Transient Relief Of Asthma Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin.Tohoku J Exp Med.199(3):193-6.Patel, H; Gwilt, C. 2008. Respiratory System. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komunitas, pedomandiagnosis &penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, 2003.Porzecanski I, Bowton DL.2006. Diagnosis and treatment of ventilator associated pneumonia. Chest; 130.Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta.Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.Reevers, Charlene J, et all (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica.Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58; No.11.Said, Mardjanis. 2010. Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka Pencapaian MDG4. Jakarta : FK UI.Setiawati, Landia. 2005. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya : FK Unair.Sharma, S., Maycher, B., & Eschun, G. 2007. Radiological imaging in pneumonia: recent innovations. Current Opinion in Pulmonary Medicine. 13 (3): 15969. p. 435.Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGCSingh, V., & Aneja, S. 2011. Pneumonia management in the developing world. Paediatric respiratory reviews. 12 (1): 529.Smeltzer, C. Suzanne, Bare G. Brenda. 2002. Buku Ajar Keerawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC.Smeltzer, S.C. and Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol.2. Jakarta : EGCSnyder, Shirlee; Kozier, Barbara; Erb, Glenora. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinik. Jakarta: EGCSomantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.Supriyatno, Bambang. 2006. Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. J Sari Pediatri Vol. 8 No. 2 (100-106).Sutoyo, D. Kusumo. 2010. Bronkitis Kronis dan Lingkaran Tak Berujung Pangkal (Vicious Circle). Jakarta : Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-SMF paru RSUP PersahabatanSuzanne, G. Bare. 2003. Brunner & Suddarth's Textbook of Medical-surgical Nursing. University of floridaWHO. 2013. PneumoniaAvailable at: http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview (diakses pada tanggal 20 Maret 2014).