Landas Kontinen

39
TATANAN GEOLOGI DAN POTENSI ESDM PADA BATAS LANDAS KONTINEN INDONESIA Kris Budiono, M.Sc - Puslitbang Geologi Kelautan Indonesia adalah negara kepulauan yang dipersatukan oleh wilayah lautan. Luas wilayah perairan Indonesia tersebut telah diakui sebagai Wawasan Nusantara oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, 1982). Dengan pengakuan tersebut, wilayah Indonesia tersebut diakui pula oleh dunia Internasional sebagai satu kesatuan wilayah yurisdiksi, sehingga terbuka peluang seluas-luasnya dalam pemanfaatan dan pengelolaannya bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyelenggarakan fungsi pelancaran pelaksanaan kegiatan bidang energi dan sumber daya mineral serta geologi.Kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu pengelolaan dan penyelenggaraan perlindungan sumber daya alam di wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil dan wilayah lintas propinsi serta pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan Internasional yang disahkan atas nama negara di bidangnya. Kegiatan inventarisasi data dan informasi geologi di kawasan laut yang dilakukan di wilayah laut nusantara, telah dimulai sejalan dengan sejarah penyelidikan dan pemetaan geologi kelautan di Indonesia. Kegiatan tersebut merupakan perwujudan akan tanggung jawab pemerintah dan negara dalam menggali potensi sumber daya mineral dan energi yang terdapat di dasar laut, mulai kawasan pantai, perairan pantai hingga ke batas terluar Landas Kontinen termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Penyelidikan geologi dan geofisika kelautan akan dapat menyediakan data dan informasi yang erat kaitannya dengan

description

law

Transcript of Landas Kontinen

Page 1: Landas Kontinen

TATANAN GEOLOGI DAN POTENSI ESDM PADA BATAS LANDAS KONTINEN INDONESIAKris Budiono, M.Sc - Puslitbang Geologi Kelautan

 

Indonesia adalah negara kepulauan yang dipersatukan oleh wilayah lautan. Luas wilayah perairan Indonesia tersebut telah diakui sebagai Wawasan Nusantara oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, 1982). Dengan pengakuan tersebut, wilayah Indonesia tersebut diakui pula oleh dunia Internasional sebagai satu kesatuan wilayah yurisdiksi, sehingga terbuka peluang seluas-luasnya dalam pemanfaatan dan pengelolaannya bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Dalam melaksanakan tugasnya, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyelenggarakan fungsi pelancaran pelaksanaan kegiatan bidang energi dan sumber daya mineral serta geologi.Kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu pengelolaan dan penyelenggaraan perlindungan sumber daya alam di wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil dan wilayah lintas propinsi serta pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan Internasional yang disahkan atas nama negara di bidangnya. Kegiatan inventarisasi data dan informasi geologi di kawasan laut yang dilakukan di wilayah laut nusantara, telah dimulai sejalan dengan sejarah penyelidikan dan pemetaan geologi kelautan di Indonesia. Kegiatan tersebut merupakan perwujudan akan tanggung jawab pemerintah dan negara dalam menggali potensi sumber daya mineral dan energi yang terdapat di dasar laut, mulai kawasan pantai, perairan pantai hingga ke batas terluar Landas Kontinen termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Penyelidikan geologi dan geofisika kelautan akan dapat menyediakan data dan informasi yang erat kaitannya dengan eksplorasi sumber daya mineral dan energi serta evaluasi penataan dan pengembangan wilayah pantai, termasuk di kawasan perbatasan dengan negara lain. Dalam konsep tepian benua (continental margin) yang digunakan juga sebagai acuan untuk menentukan rejim laut landas kontinen (continental shelf) dari Konvensi Hukum PBB mengenai Laut Internasional 1982, bahwa bagian luar dari wilayah laut Indonesia merupakan suatu tepian benua tipe konvergen (convergence continental margin) antara lain dicirikan oleh berkembangnya sistem parit-busur (trench-arc system).

Berdasarkan tatanan geologi dan tektoniknya, maka sistem landas kontinen (continental shelf) dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dapat dipisahkan menjadi delapan zona.

Page 2: Landas Kontinen

Di Balik Teori Landas   Kontinen

Selasa, 2 Januari 2007

Oleh: Bosman Batubara (Geologist, Anggota Forum Lafadl)

Tapal DiskursiDalam sebuah makalah yang provokatif tentang pengembangan Sumber Daya Alam (SDA) pada Jurnal Prisma di tahun 70-an, geologiwan ITB, Prof. J. A. Katili, memetakan kebutuhan Indonesia dalam mengelola SDA. Dalam eksplorasinya Prof. Katili berpendapat bahwa salah satu aspek penting yang harus dibenahi adalah perihal minimnya pengacara yang memahami sistem pengelolaan SDA. Akibatnya sering terjadi penandatanganan kontrak yang merugikan Indonesia.

Keuntungan pihak asing misalnya meliputi masa bebas pajak (tax holiday) untuk jangka waktu tertentu, tidak disyaratkannya repatriasi ke Indonesia atas hasil ekspor, cadangan bijih atau hidrokarbon yang ternyata lebih besar dari yang diduga, dan pemahaman terhadap pasal-pasal kontrak yang kurang baik (J.A. Katili, 1975). Dengan pelbagai kelemahan itu, tak pelak Indonesia, dengan sekian daftar kekayaan alamnya, hanya menjadi ’mainan’ negara-negara maju dan korporasi multinasional/transnasional.Pada tempo belum lama ini terjadi sengketa perbatasan di wilayah kepulauan Sipadan dan Ligitan, sejarah mencatat bahwa kedua pulau jatuh ke dalam dekapan negara tetangga Indonesia, Malaysia. Atau perkara lain: sengketa Blok Ambalat yang menyangkut sesumber hidrokarbon di lepas pantai dan negosiasi Blok Cepu yang amat panjang dan berliku. Terlepas dari siapa yang

Page 3: Landas Kontinen

benar dan/atau salah, yang jelas, dalam perkara-perkara itu dibutuhkan pengacara handal yang memahami lekuk-liku pengelolaan SDA.

Hal ini semakin meneguhkan pentingnya pemetaan masalah yang telah dilakukan oleh Prof. kita di atas. Tulisan ini, karenanya, hendak meneruskan tarian pena Prof. Katili: membahas Hukum Laut Internasional tentang Teori Landas Kontinen (TLK) yang telah lama dipakai sebagai salah satu konsep untuk menentukan batas suatu negara di laut. Batas suatu negara di laut menjadi berarti mengingat, bahwa dalam kajian ekonomi seiring dengan makin majunya teknologi, di lepas pantai sangat mungkin dilakukan eksplorasi dan eksploitasi SDA. Pada tahun 2004, produksi migas Indonesia dari anjungan-anjungan lepas pantai (off shore) mencapai angka 27,8 juta ton minyak dan 14 miliar kubik gas (Mackay Consultant, 2005). Hal tersebut masih ditambah pusparagam potensi laut yang lain seperti: perikanan (tangkap, budidaya, dan pengolahan), bioteknologi, pariwisata, transportasi, potensi pulau-pulau kecil, jasa, dan sumberdaya non-konvensional (Rokhmin Dahuri, 2005).

Teori Landas Kontinen: Sejarah dan SubstansiAdalah Presiden Amerika Serikat (AS), Harry S. Truman, yang pertama kali memproklamirkan TLK. Persisnya pasca-Perang Dunia II, pada tanggal 28 September 1945. ”Whereas the Goverment of the United States of America, aware of the long range world wide need for new sources of petroleum and other minerals, holds the view the efforts to discover and make available new supplies of these resources should be encouraged,…” demikian Presiden Truman mengawali proklamasinya yang antusias bernomor 2667 tersebut (vide Chairul Anwar, 1989;

55).Di kala itu ide tersebut adalah hal baru. Sebelumnya batas negara di laut cuma mengacu pada batas teritori saja. Dalam perkembangannya terjadi pelbagai macam friksi menanggapi proklamasi Presiden Truman. Pada Konferensi Hukum Laut PBB (United Nation Conference on

Page 4: Landas Kontinen

the Law of the Sea—UNCLOS) I tahun 1958, Komite Empat menangani rancangan Convention on the Continental Shelf 1958. Dan terus diproses pada UNCLOS II tahun 1960.Berdasarkan pengumuman PBB No. L/T/4060 tanggal 7 Februari 1989, terhitung per tanggal 2 Februari 1989, sebanyak 37 negara—termasuk di dalamnya Indonesia—meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 yang dihasilkan melalui sebelas rangkaian sidang UNCLOS III dari tahun 1973 – 1982, yang antara lain berisi mengenai penentuan batas negara di laut berdasarkan TLK.Pada hakikatnya ada dua cara untuk menentukan batas luar landas kontinen suatu negara pantai yang melebihi 200 mil laut. Pertama, dengan pengukuran 350 mil laut dari garis pantai, atau kedua, penentuan jarak 100 mil laut dari kedalaman laut yang mencapai 2.500 m (Chairul Anwar, 1989; 54-61).Adapun hak-hak suatu negara pantai dalam TLK ini meliputi antara lain, kedaulatan atas dasar laut dan bawah tanah landas kontinen, termasuk di dalamnya hak eksklusif untuk mengatur segala sesuatu yang bertalian dengan eksploitasi sumber-sumber daya alam seperti pemboran minyak dan hak atas sumber-sumber hayati laut (Pasal 77 Konvensi Hukum Laut 1982). Menarik ditelisik: apa pretensi yang melandasi antusiasme dalam proklamasi TLK oleh Presiden Truman? Bagaimana penjelasannya dari perspektif ilmu kebumian?

Kontinen dalam Spektrum GeologiDalam geologi dikenal istilah continental margin (CM), dalam Bahasa Indonesia sering disebut dengan ’batas kontinen’, merupakan terusan kontinen yang berada di bawah muka air laut dengan kedalaman 0 – ~ 4000 m, (Gambar 1). Ada dua tipe batas kontinen di dunia. Pertama, active continental margin (ACM), merupakan batas kontinen yang berasosiasi dengan batas lempeng bumi—lempeng benua (continental plate) dan lempeng samudra (oceanic plate). Tipe seperti ini terdapat pada pantai-pantai di sekeliling Samudra Pasifik, sehingga tipe ACM sering juga disebut sebagai Pacific Type. Kedua, passive continental margine (PCM), merupakan batas kontinen yang memiliki jarak cukup jauh dari batas lempeng bumi. Contohnya pada pantai-pantai di sekeliling Samudra Atlantik, sehingga tipe PCM sering juga disebut sebagai Atlantic Type.

Page 5: Landas Kontinen

Gambar 1: Skema terma-terma yang sering dipergunakan dalam pembahasan mengenai batas kontinen (CSh, CSl dan CR), dan hubungannya dengan kedalaman, lebar dan kemiringan. (Sumber: E. Seibold and W.H. Berger, 1996; 43).

Landas kontinen sendiri diterjemahkan dari continental shelf (CSh), yaitu bagian kontinen di bawah muka air laut dengan kedalaman 0 – ~ 130 m, (Gambar 1). Pada waktu UNCLOS I yang menghasilkan Convention on the Continental Shelf 1958 berlangsung, teknologi pemboran di laut belum begitu maju (semakin gencar pada tahun 1968, seperti yang akan disinggung nanti), sehingga kedalaman 2.500 m di bawah muka air laut (tampaknya?) dianggap sebagai bagian dari CSh. Belakangan CM dibagi menjadi tiga zone, yaitu: continental shelf (CSh), continental slope (CSl) dan continental rise (CR), (Gambar 1). Dari Gambar 1 tampak bahwa kedalaman 2.500 m—palka penentuan batas luar landas kontinen—terdapat pada zone CR.

Tahun 1968 berlayar kapal GLOMAR Challenger dari pantai Galveston, Texas, AS, yang menandai dimulainya Proyek Pemboran Laut Dalam (Deep Sea Drilling Project, DSDP) yang dibiayai oleh AS. Proyek ini menghasilkan data bawah laut yang baik. Berdasarkan data bawah laut tersebut didapat luas area, rerata lebar, dan rerata kemiringan masing-masing zone dasar laut.

Page 6: Landas Kontinen

Dari Grafik1 dan 2 terlihat bahwa CSh di Atlantik 2,32 kali lebih luas dari di Hindia dan 2,24 kali lebih luas dari di Pasifik; 1, 26 kali lebih lebar dari di Hindia dan 2,21 kali lebih lebar dari di Pasifik; dan 1, 22 kali lebih curam dari di Hindia dan 0,57 kali lebih landai dari di Pasifik.CSh di Atlantik: lebih luas dan lebih lebar dari di Hindia dan Pasifik; lebih landai dari di Pasifik.

Page 7: Landas Kontinen

CSl di Atlantik: lebih lebar dan lebih landai dari di Hindia dan Pasifik; lebih luas dari di Hindia. CR di Atlantik lebih luas dari di Hindia dan Pasifik.Mengacu pada tatacara penentuan batas luar landas kontinen suatu negara pantai pilihan kedua ’penentuan jarak 100 mil laut dari kedalaman laut yang mencapai 2.500 m’, maka negara-negara yang berasosiasi dengan batas kontinen Tipe Atlantik akan diuntungkan, karena kedalaman laut 2.500 m tercapai relatif jauh ke tengah, artinya wilayah landas kontinennya semakin luas. Penting pula diperhatikan bahwa material sedimen di daerah Atlantic Type adalah sedimen laut yang merupakan idola para geologiwati/wan, karena sedimen tipe ini sering mengandung sistem hidrokarbon.Dunia tahu bahwa bagian barat AS yang berhadapan dengan Samudra Atlantik lebih luas dibandingkan dengan bagian timur AS yang berhadapan dengan Samudra Pasifik. Maka analisis terhadap morfologi dan kandungan sedimen bawah laut seperti di atas kira-kira menjadi penjelas motif antusiasme dalam proklamasi Tuan Truman: suatu antusiasme yang tak tumbuh dari ruang kosong.

Page 8: Landas Kontinen

KAJIAN ATAS KLAIM LANDAS KONTINEN EKSTENSI (LKE) INDONESIA: Sebuah Studi Banding Terhadap Pengajuan LKE Australia, Brazilia dan Selandia Baru

I Made Andi Arsana [email protected]

Ni Made Kesuma A. I. Putri [email protected]

Abstrak

Pasal 76 Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 mensyaratkan bahwa sebuah negara pantai yang menginginkan klaim Landas Kontinen Ekstensi (LKE) yang melebihi 200 mil laut , wajib mengajukan klaim kepada komisi batas landas kontinen (Commission on the Limits of Continental Shelf, CLCS) melalui Sekretaris Jendral PBB. Sampai tulisan ini dibuat, Indonesia belum mengajukan klaim atas LKE kepada PBB dan masih dalam tahap mengkaji kemungkinan pengajuan LKE tersebut. Sementara itu, beberapa negara lain seperti Rusia, Australia, Brazilia, Perancis, Selandia Baru, sudah menyampaikan klaimnya dan dokumen mereka sudah dimuat di website Department of Ocean Affairs and the Law of the Sea (DOALOS).

Paper ini bertujuan untuk melakukan studi banding terhadap klaim LKE beberapa negara yang sudah diserahkan kepada CLCS. Studi banding ini dimaksudkan untuk mengkritisi kemungkinan pengajuan klaim LKE oleh Indonesia dengan mengambil pelajaran dari pengajuan klaim beberapa negara yang dianggap relevan. Yang akan dijadikan subyek studi banding adalah klaim oleh Australia, Brazilia dan Selandia Baru dengan fokus pada aspek teknis dalam konteks spasial/keruangan dikaitkan dengan kepentingan nasional Indonesia. Kajian ini bersifat tinjauan pustaka dengan menganalisis dokumen submisi klaim LKE negara terkait kepada CLCS.

Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan yang bisa dijadikan acuan oleh Indonesia dalam mengajukan LKE. Selain itu akan dianalisis juga kemungkinan sengketa yang muncul karena pengajuan LKE, terutama antara Indonesia dan Australia sebagai negara bertetangga.

Page 9: Landas Kontinen

Batas Landas Kontinen Indonesia bertambah, seluas 4.209 kilometer persegi

Tepat pada tanggal 17 Agustus 2010 jam 12.45 Waktu New York, Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), melalui CLCS (Commission on  the Limits of Continental Shelf) dapat menerima submisi Indonesia atas hak kedaulatannya di dasar laut di wilayah di luar 200 mil laut (NM). Wilayah baru yang menjadi bagian yurisdiksi Indonesia adalah di bagian Barat Aceh seluas kurang-lebih 4.209 km2.

Submisi wilayah di luar 200 mil laut (Extended Continental Shelf-ECS) ini berhak dilakukan Indonesia sebagai negara pihak terhadap UNCLOS, dimana Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 tahun 1985.  Sebagai negara pantai sesuai ketentuan Pasal 76 UNCLOS 1982, Indonesia telah menggunakan haknya dengan baik untuk mensubmisi landas kontinen di luar 200 mil laut.

Untuk mendukung keperluan submisi tersebut, data ilmiah survei dan pemetaan telah dibina oleh Indonesia sejak tahun 2003 yang dikoordinasikan oleh. Bakosurtanal dan didukung instansi-instansi BPPT, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, LIPI, Dinas Hidrografi TNI AL, dan Kementerian Luar Negeri. Diawali dengan pengkajian Desktop Study berdasarkan data global yang dilakukan para ahli Indonesia untuk menentukan lokasi-lokasi potensial untuk submisi landas kontinen diluar 200 NM. Studi tersebut menghasilkan tiga lokasi potensial yaitu: di sebelah Barat Sumatera, di Selatan NTB dan di Utara Papua.

Selanjutnya hasil studi yang menggunakan data global tersebut harus dipertajam dan dilengkapi dengan bukti-bukti ilmiah sesuai panduan submisi dari CLCS, maka Bakosurtanal bersama BPPT, LIPI, Kementerian ESDM dan Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan survei seismik di sebelah Barat Aceh pada tahun 2006 menggunakan kapal riset Sonne, dan pada bulan Februari 2010 menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya.

Pada tahun 2008, Indonesia berhasil menuntaskan dokumen submisi tahap pertama yang berisikan hasil-hasil kajian dan analisis berbagai data hasil survei, yang menjadi  dokumen submisi untuk  LKI di luar 200 NM di perairan sebelah Barat Aceh. Dokumen tersebut diterima oleh PBB pada tanggal 25 Juni 2008, dan dibahas pada sidang bulan Mei 2009. Akhirnya pada sidang pleno CLCS tanggal 17 Agustus 2010, submisi Indonesia diterima dengan baik, dan dengan demikian batas wilayah landas kontinen Indonesia bertambah seluas 4.209 kilometer persegi.   

Ini adalah prestasi besar bangsa Indonesia, dan patut dibanggakan. Sebagai negara besar dengan kemampuan sumberdaya dan teknologi survei dan pemetaan yang masih terbatas, kita telah mendapat pengakuan internasional. Dukungan data survei dan pemetaan hasil kerjasama beberapa lembaga pemerintah yang tertuang di dalam dokumen sumbmisi, adalah bukti kemampuan survei dan pemetaan bangsa Indonesia tidak kalah jika dibandingkan dengan negara-negara maju.

Permasalahan batas wilayah pun tidak berhenti hingga di sini. Penyelesaian batas-batas wilayah dengan negara-negara tetangga masih menjadi ‘PR’ panjang bangsa Indonesia, dan memerlukan komitmen tinggi dari bangsa Indonesia sehingga kedepan diharapkan dukungan optimal bukan

Page 10: Landas Kontinen

hanya dari Pemerintah, tapi juga dari Parlemen untuk dapat menyelesaikan submisi landas kontinen diluar 200 NM tahap ke II dan seterusnya.

Page 11: Landas Kontinen

Analisis Penetapan Batas Landas Kontinen Indonesia

Landas kontinen (continental shelf) merupakan salah satu wilayah laut (maritime zone) yang wajib ditetapkan oleh Negara-negara pantai (Coastal States) yang telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS III). Penentuan batas terluar (outer limit) landas kontinen akan dihadapkan pada berbagai masalah, di antaranya adalah kebutuhan data batimetrik perairan dan data ketebalan sedimen dasar laut yang akan dijadikan data pendukung untuk mengajukan tuntutan wilayah laut. Tulisan ini akan menguraikan tentang pengertian landas kontinen serta prosedur penentuannya berdasarkan UNCLOS 1982. Sebagai studi kasus, dikaji penetapan batas Landas Kontinen Indonesia. Pada bagian akhir disimpulkan berbagai hal yang berkaitan dengan kajian menyeluruh terhadap kegiatan penetapan batas Landas Kontinen Indonesia.

Page 12: Landas Kontinen

Penetapan Batas Landas Kontinen

Landas kontinen (continental shelf) semula berasal dari istilah geologi yang kemudian masuk ke dalam

perbendaharaan istilah hukum. Saat ini, landas kontinen berdasarkan istilah hukum telah berbeda jauh

dengan arti geologis yang sebenarnya. Berdasarkan fakta geologis bahwa di pantai, tanahnya menurun ke

dalam laut sampai akhirnya di suatu tempat tanah tersebut jatuh curam di kedalaman laut. Landas

kontinen biasanya tidak terlalu dalam, sehingga sumber-sumber alam dari landas kontinen dapat

dimanfaatkan dengan teknologi yang ada.

Dasar laut di banyak tempat dipisahkan dari tanah di pantai oleh lereng kontinen yang menurut istilah

geologis merupakan bagian dari kontinen itu sendiri. Lereng kontinen luasnya berkisar beberapa ratus

kilometer persegi dan mempunyai kedalaman sekitar 50 hingga 550 meter. Lereng kontinen di beberapa

tempat menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta sebagai sumber daya alam hayati. Oleh sebab itu,

banyak negara pantai yang menuntut eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam laut di landas kontinen

negaranya.

Tuntutan akan landas kontinen pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat yang kemudian

menjadi permasalahan baru dalam bidang hukum laut. Permasalahan tersebut timbul karena tidak adanya

batasan yang jelas mengenai landas kontinen itu sendiri, sehingga banyak negara lain yang menuntut

landas kontinen seluas-luasnya tanpa memperdulikan kepentingan negara tetangganya. Ketidakpastian

mengenai landas kontinen ini berhasil dirumuskan secara jelas dalam konvensi hokum laut PBB III tahun

1982 yang sekarang ini diberlakukan sebagai satu-satunya Hukum Laut Internasional.

Page 13: Landas Kontinen

Bentuk: UNDANG-UNDANG

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor: 1 TAHUN 1973 (1/1973)

Tanggal: 6 JANUARI 1973 (JAKARTA)

Sumber: LN 1973/1; TLN NO. 2994

Tentang: LANDAS KONTINEN INDONESIA

Indeks: LANDAS KONTINEN. LAUT

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a. bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia, sebagaimana telah ditegaskan dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 17 Pebruari 1969;

b. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu menetapkan suatu Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan usaha pemanfaatan kekayaan alam termaksud untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Tarip Indonesia Stbl. 1873 No. 135 sebagaimana telah dirubah dan ditambah;

3. Ordonansi Bea Stbl. 1882 No. 240 sebagaimana telah dirubah dan ditambah;

4. Undang-undang REFR DOCNM="60ppu004">Nomor 4 Prp. Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1942);

5. Undang-undang REFR DOCNM="60ppu044">Nomor 44 Prp. Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 133; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2070);

6. Undang-undang REFR DOCNM="61uu019">Nomor 19 Tahun 1961 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 276; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2318);

7. Undang-undang REFR DOCNM="67uu011">Nomor 11 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);

 

Page 14: Landas Kontinen

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

a. Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah dibawahnya diluar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam.

b. Kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya didasar laut dan/atau di dalam lapisan tanah dibawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak baik diatas maupun dibawah dasar laut atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah dibawahnya.

c. Eksplorasi dan eksploitasi adalah usaha-usaha pemanfaatan kekayaan alam dilandas kontinen sesuai dengan istilah yang digunakan dalam peraturan perundangan yang berlaku dibidang masing-masing.

d. Penyelidikan ilmiah adalah penelitian ilmiah atas kekayaan alam dilandas kontinen.

BAB II

STATUS KEKAYAAN ALAM DILANDAS KONTINEN INDONESIA

Pasal 2

Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia serta pemilikannya ada pada Negara.

Pasal 3

Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain, penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan.

BAB III

EKSPLORASI, EKSPLOITASI DAN PENYELIDIKAN ILMIAH

Pasal 4

Page 15: Landas Kontinen

Eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dilandas kontinen Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dibidang masing-masing.

Pasal 5

Penyelenggaraan penyelidikan ilmiah atas kekayaan alam di Landas Kontinen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV

INSTALASI

Pasal 6

(1). Untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang ini,dapat dibangun, dipelihara dan dipergunakan instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya di Landas Kontinen dan/atau diatasnya.

(2). Untuk melindungi instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya tersebut pada ayat(1) pasal ini terhadap gangguan pihak ketiga, Pemerintah dapat menetapkan suatu daerah terlarang yang lebarnya tidak melebihi 500 meter, dihitung dari setiap titik terluar pada instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya disekeliling instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya yang terdapat di Landas Kontinen dan/atau diatasnya.

(3). Disamping daerah terlarang tersebut pada ayat (2) pasal ini Pemerintah dapat juga menetapkan suatu daerah terbatas selebar tidak melebihi 1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu, dimana kapal-kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membokar sauh.

Pasal 7

Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tentang pembangunan, perlindungan dan penggunaan instalasi dan/atau alat-alat termaksud dalam Pasal 6 Undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

PENCEMARAN

Pasal 8

(1). Barang siapa melakukan eksplorasl eksploitasi dan penyelidikan ilmiah sumber-sumber kekayaan lain di landas kontinen Indonesia, diwajibkan mengambil langkah-langkah untuk:

a. Mencegah terjadinya pencemaran air laut di landas kontinen Indonesia dan udara diatasnya;

b. Mencegah meluasnya pencemaran dalam hal terjadi pencemaran.

(2). Ketentuan-ketentuan lebih lanjut yang berhubungan dengan pencemaran air laut di landas kontinen Indonesia dan udara diatasnya dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pencegahan dan penanggulangannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

Page 16: Landas Kontinen

YURISDIKSI NEGARA

Pasal 9

(1). Terhadap setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada, diatas atau dibawah instalasi-instalasi, alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang berada di landas kontinen dan/atau diatasnya, untuk keperluan eksplorasi dan/atau eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen atau daerah terlarang dan daerah terbatas dari instalasi-instalasi dan/atau alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang bersangkutan, berlaku hukum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia.

(2). Instalasi-instalasi dan alat-alat di landas kontinen Indonesia yang dipergunakan untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Pabean Indonesia.

BAB VII

PERLINDUNGAN TERHADAP

KEPENTINGAN-KEPENTINGAN LAIN

Pasal 10

(1). Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan:

a. Pertahanan dan keamanan nasional;

b. Perhubungan;

c. Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut;

d. Perikanan;

e. Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya;

f. Cagar alam.

(2). Dalam hal-hal terdapat perselisihan-perselisihan antara kepentingan kepentingan tersebut dalam ayat (1) pasal ini mengenai pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen Indonesia,akan diselesaikan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

(3). Apabila terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini, Pemerintah dapat menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut lain usaha yang bersangkutan.

BAB VIII

KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA

Pasal 11

Page 17: Landas Kontinen

Kecuali dalam hal tidak diatur secara khusus oleh Undang-undang lain, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) barang siapa tidak mematuhi:

a. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 Undang-undang ini;

b. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 8 Undang-undang ini.

Pasal 12

Tindak pidana tersebut dalam Pasal 11 Undang-undang ini adalah kejahatan.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan;

Agar supaya setiap orang dapat mengatahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 6 Januari 1973.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

SOEHARTO

JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 6 Januari 1973

SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

Page 18: Landas Kontinen

 

SUDHARMONO, SH.

MAYOR JENDERAL TNI.

Page 19: Landas Kontinen

Pengelolaan SDA di Landas Kontinen Indonesia (Bagian   I) Diterbitkan April 1, 2010 Artikel Dosen Ditutup Tag:Landas Kontinen Indonesia, SDA, Siti Kotijah

Oleh Siti Kotijah

Pengantar redaksi:Artikel ini dimuat secara bersambung. Bagian I, edisi Kamis 1 April 2010. Bagian II, edisi Kamis 8 April 2010. Bagian III, edisi Kamis 15 April 2010. Bagian IV, edisi Kamis 22 April 2010. Bagian V, edisi Kamis 29 April 2010.

 

Dewasa ini, pengelolaan sumber daya alam lebih berorientasi pada wilayah darat antara lain berupa sumber daya kehutanan, pertambangan, migas dan perkebunan. Pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah laut belum optimal. Isu pengelolaan SDA di laut hanya berupa illegal fishing dan konflik penguasaan wilayah tangkapan diantara nelayan. Meskipun diskursus pengelolaan wilayah laut sudah digulirkan, namun isu pengelolaan SDA khususnya di landas kontinen masih terabaikan.

Menurut Albert W. Koers, SDA yang terdapat di landas kontinen terdiri dari, mineral dan sumber daya non hayati lainnya yang berada pada dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk organisme hidup yang digolongkan ke dalam jenis-jenis sedinter yaitu organisme yang pada tingkat dapat dipanen berada dalam keadaan tidak dapat bergerak dan berada di dasar laut atau tanah di bawahnya atau hanya dapat bergerak apabila ada kontak fisik yang tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya (misalnya , lobster). Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan disamping sedenter di atas masih ada sentary species of living organism misalnya rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lainnya, sponges, corol enichoderm, mollucs.

Untuk SDA yang tidak dapat diperbaharui yang terkandung di lapisan tanah di bawah dasar laut menurut jenis lapisan terdiri dari;

- continental shelf yaitu minyak bumi, gas bumi, sulphur, har mineral, batu bara, diamonds;

- continental slope yaitu phosphor;

- abbysal plain dan dasar laut dalam terdapat 25 % mangan, 15 % besi, cobalt, nikel , copper.

Seperti kita ketahui, Indonesia bagian besar dasar lautnya menyimpan potensi mineral berupa emas, perak, timble, timah, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi 70 % dari cekungan migas. Diperkirakan Indonesia memiliki kurang lebih 60 cekungan. Hal ini mengandung potensi minyak

Page 20: Landas Kontinen

bumi yang diperkirakan hampir 9,1 milyard barel. Sedang potensi gas alam mencapai 230 trilyun cubic feet equivalent. Sungguh merupakan potensi yang besar bagi kita Bangsa Indonesia untuk dapat dimemanfaatkan dan melakukan pengelolaan SDA laut yang ada, tata kelola dilandas kontinen demi kesejahteraan warganya yang hidup didekat wilayah pantai.

Konsep landas kontinen perkenalkan oleh Amerika Serikat pada Konvensi Hukum Laut Internasional pada tahun 1958. Pengajuan itu sebagai strategi dalam menghadapi negara-negara kepulauan yang mengajukan konsep negara kepulauan, dan dalam usaha rangka memudahkan kepentingan negaranya untuk mengeksplorasi sumberdaya alam non hayati (minyak dan gas bumi) yang sangat potensial terdapat pada landas kontinen. Permasalahan yag ada, karena akibat ketidakjelasan konsep batas landas kontinen pada UNCLOS I 1958. Ini Kemudian menajdikan pada Konvensi Hukum Laut III Tahun 1982, masalah landas kontinen dijadikan salah satu agenda yang penting.

Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS – United Nation Convention on the Law of the Sea) III, telah memberi suatu pengakuan pada Indonesia dalam bentuk negara kepulauan . Pengakuan dunia internasional ini, ditindaklanjuti dengan diterbitkannya UU No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1985. Sejak diberlakukannya undang-undang ini pada 31 Desember 1985, Indonesia terikat dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 (UNCLOS 1982). Pengakuan ini sangat penting bagi Indonesia yang mempunyai pulau terbanyak didunia, masala yang ada, bagaimana pengelolaan SDA yang ada dapat member suatu kesejahteraan bagi masyarakat disekitar pantai.

I. PENGATURAN LANDAS KONTINEN

A. Landas Kontinen Menurut Konvensi Hukum Laut 1958.

Konvensi Hukum Laut 1958 merupakan hasil Konperensi Hukum Laut yang diselenggarakan oleh PBB yang I. Konvensi Hukum Laut 1958 ini menghasilkan 4 (empat) buah dan salah satunya adalah Konvensi mengenai Landas Kontinen (“Convention on the Continental Shelf”). Secara lengkap pengertian landas kontinen dimuat dalam pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen berbunyi sebagai berikut :

“ For the purpose of these articles, the term “continental shelf” is used as referring (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 metres or beyond that limit, to where the depth of the superjacent water admits of the exploitation of the natural resources of the said areas; (b) to the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to the coast of islands”.

Menurut eko, dari rumusan pasal 1 tersebut, landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan dengan pantai yang merupakan bagian terluar dari laut teritorial sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas itu untuk tujuan eksploitasi sumber daya alam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan dengan pantai pulau-pulau.

B. Landas Kontinen menurut UNCLOS 1982.

Page 21: Landas Kontinen

Konsepsi landas kontinen banyak dipermasalahkan dalam Konperensi Hukum Laut PBB III, terutama dengan diajukannya konsepsi ZEE 200 mil telah menimbulkan perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok peserta. Banyak diantara negara-negara Afrika berpendapat, jika konsepsi ZEE diterima dalam Konperensi, maka pada dasarnya konsepsi landas kontinen tidak dipertahankan lagi, karena dasar laut yang dinamakan landas kontinen telah tercakup dalam ZEE yang memberikan hak kepada negara pantai untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya. Negara-negara yang secara geografis tidak beruntung (“Geographically Disadvantaged States = GDS) dan negara-negara tidak berpantai (“Lan-locked States”), menyetujui penerimaan landas kontinen yang secara geografis dapat dipertanggung jawabkan, misalnya sampai kedalaman 200 meter atau sampai jarak 40 mil dari pantai. Tetapi dalam perkembangannya negara-negara ini merasa berhak atas segala yang dituntut oleh negara-negara pantai, karena mereka merupakan bagian dari “minkind”, oleh karena itu mereka juga menuntut hak yang sama untuk mengambil kekayaan alam di zona ekonomi eksklusif dan atau di landas kontinen.(Hasjim Djalal, Perjuangan .., 105-106)

Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, pengaturan mengenai landas kontinen dimuat dalam BAB VI, pasal 76 sampai dengan pasal 85. Sedangkan pengertian landas kontinen perumusannya dimuat secara lengkap dalam pasal 76 yang menyatakan sebagai berikut :

“ Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepan kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut”.

Menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 untuk mengukur lebar landas kontinen dapat ditentukan dengan beberapa alternatif, yaitu :

(1) Sampai batas terluar tepian kontinen (“the continental margin”);

(2) sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial apabila tepian kontinen tidak melebihi 200 mil laut;

(3) sampai jarak 350 mil laut dari garis pangkal laut teritorial apabila tepian kontinen melebihi 200 mil laut, atau

(4) tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (“isobath”) 2500 meter.

Dengan demikian berarti lebar landas kontinen dari suatu negara pantai tergantung pada konfigurasi tepian kontinen (“continental margin”)nya. Oleh karena itu suatu negara pantai dapat menetapkan lebar landas kontinen yang berbeda-beda disekeliling laut wilayahnya. JIika dibandingkan dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958, perumusan yang terdapat dalam pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan ketentuan-ketentuan yang lebih jelas dalam cara-cara mengukur lebar landas kontinen. Hal ini merupakan penyempurnaan dalam memberikan pengertian landas kontinen. Penyempurnaan yang dimaksudkan yaitu :

Page 22: Landas Kontinen

(1) terdapat kepastian dalam pengukuran batas terluar landas kontinen berdasarkan alternatif-alternatif sebagaimana tercantum dalam pasal 76. Dengan demikian menghapuskan ketidak jelasan cara pengukuran yang didasarkan atas kriteria “technical exploitability” yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1958

(2) pengertian landas kontinen yang terdapat dalam rumusan pasal 76 selain mencakup pengertian yuridis juga mencakup pengertian geologis.

C. LANDAS KONTINEN MENURUT UU NO 1 TAHUN 1973

Hak-hak negara Indonesia atas landas kontinen berdasarkan ketentuan UU No 1 tahun 1973 tentang landas kontinen sebagai berikut:

a. penguasaan penuh dan hak eksklusife atas kekayaan alam serta pemilikannya pada Negara; yang dimaksud kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya didasar laut dan/atau tanah dibawahnya dan organisme yang yang termasuk jenis sedenter, yaitu organisme yang menempel pada dasar laut atau tnah di bawahnya;

b. eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dilakukan sesuai dengan ketemtuan perundangan yang berlaku dibidang masing-masing;

c. penyelenggaraan penyelelidikan ilmiah dilakukan dengan peraturan dan seizin pemerintah Indonesia;

d. pembangunan, perlindungan dan penggunaan instalasi, kapaltasi sumber-sumber kekayaan alam dilakukan sesuai peraturan dan seizin pemerintah Indonesia;

e. terhadap setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada dan di atas atau dibawah instalasi-instalasi alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang berada di landas kontinen dan/atau di atasnya untuk keperluan eksplorasi dan/atau eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen atau daerah terlarang dan daerah terbatas dari instalasi-instalasi dan atau alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang bersangkutan berlaku hokum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia;

f. menetapkan peraturan tentang pencegahan dan penaggulangan masalah pencemaran, yang selanjutnya diatur dengan peraturan pemerintah;

g. Segala kegitan eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen Indonesia yang bertujuan memperoleh kekayaan alam harus mengutamakan pertimbangan segi-segi pertahanan dan keamanan nasional dan lain-lainnya;

h. Dalam hal terdapat perselisihan-perselisihan antara kepentingan-kepentingan tersebut di atas, yaitu mengenai pemanfaatan sumber kekayaan alam di landas kontinen indoensia maka akan diselesiakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jika tertadi hal-hal yang bertentengan dengan ketentuan di atas pemerintah dapat menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut izin usaha yang bersangkutan

Page 23: Landas Kontinen

II. HAK DAN KEWAJIBAN INDONESIA DI LANDAS KONTINEN

1. Hak melakukan explorasi dan eksploitasi

Berdasarkan pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen dan pasal 77 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982, Indonesia mempunyai hak eksplorasi dan exploitasi di landas kontinen atas sumber kekayaan alamnya. Dalam hal ini landas kontinen tidak dianggap sebagai wilayah negara Indonesia. Hak Indonesia di landas kontinen bersifat eksklusif, dalam arti apabila Indonesia tidak mengeksplorasi dan mengeksploitasinya, tidak seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan tegas dari Indonesia (KHL, 1982, pasal 7 ayat 2).

Untuk pengelolaan SDA di landas kontinen dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (4) KHL 1958 dan pasal 77 ayat (4) KHL 1982. Dalam pasal 77 ayat (4) KHL 1982 secara lengkap menyatakan sumber kekayaan alam di landas kontinen sebagai berikut :

“ … sumber kekayaan alam terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah di bawahnya, bersama dengan organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, yaitu organisme hidup yang pada tingkat yang sudah dapat dipanen dengan tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak phisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya”.

Menurut D.J. Harries, yang termasuk kepada sumber kekayaan mineral, seperti minyak dan gas bumi, sedangkan termasuk sumber organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, antara lain termasuk batu koral, bunga karang, tripang, tiram mutiara, kulit mutiara, sacred dari India dan Ceylon, rumput laut dan trocus (D.J. Harris, Cases .., 1979, 383).

2. Hak membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunan

Pasal 60 UNCLOS 1962 mengenai pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif berlaku secara mutatis mutandis di landas kontinen. Hak tersebut dinyatakan sebagai hak eksklusif negara pantai. Termasuk kedalam hak-hak ini, yaitu yuridiksi (kewenangan) yang berkaitan dengan perundang-undangan bea cukai dan fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi.

Selain hak berdaulat dan yuridiksi (kewenangan) tersebut, dalam pelaksanaan membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunan, negara pantai berkewajiban memperhatikan perlindungan lingkungan laut dan hak-hak serta kewajiban negara lain, seperti pemasangan dan pemeliharaan pipa dan kabel bawah laut, instalasi dan juga untuk keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau- pulau buatan. Untuk menjaga keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau- pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan dilandas kontinen, negara pantai berhak untuk menetapkan zona keselamatan di sekeliling pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan. Penetapan zona keselamatan tidak boleh mengganggu penggunaan alur laut yang diakui penting untuk pelayaran internasional.

Pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut tidak mempunyai status pulau dan tidak mempunyai laut teritorial sendiri. Apabila ditinggalkan dan tidak dipakai lagi, untuk keselamatan

Page 24: Landas Kontinen

pelayaran, negara pantai berkewajiban untuk membongkar pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi dan bangunan itu. (pasal 60 ayat 7 dan 8). Demikian juga mengenai kewenangan eksklusif negara pantai yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan bea-cukai dan fiskal, kesehatan, keselamatan dan keimigrasian tidak berlaku untuk seluruh landas kontinen, tetapi hanya terbatas pada pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di landas kontinen

.

3. Kewajiban untuk menetapkan batas landas kontinen bagi negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan

Bagi negara-negara yang landas kontinennya berhadapan dan atau berdampingan dalam menetapkan garis batas landas kontinennya harus ditetapkan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil (pasal 83 ayat 1). Konvensi memberikan pedoman persetujuan penetapan garis batas tersebut harus dilandasi oleh pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, yang secara umum diakui sebagai sumber hukum internasional, yaitu :

a. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;

b. Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;

c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

d. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaedah-kaedah hukum.

Urutan ini biasanya diikuti dalam praktek. Perjanjian internasional yang bersifat umum maupun khusus, kebiasaan dan azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab lebih utama dibanding dengan keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran sarjana-sarjana hukum yang secara tegas dinyatakan sebagai sumber hukum tambahan. Diantara ketiga jenis sumber hukum yang utama, biasanya yang diberi tempat pertama adalah perjanjian internasional umum maupun khusus yang secara tegas diterima oleh negara-negara yang bersangkutan, tetapi jika tidak ada perjanjian internasional umum maupun khusus, maka akan dipakai hukum kebiasaan, dan apabila tidak ada maka dipakai azas prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab. Jika ketiga kategori tidak ada yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan suatu persoalan maka akan digunakan keputusan-keputusan pengadilan. Adakalanya terjadi tumpang tindih dalam penerapan instrumen, misalnya apabila suatu konvensi atau perjanjian internasional memuat suatu ketentuan yang menyatakan hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab sekaligus dikukuhkan oleh suatu perjanjian internasional atau hukum kebiasaan (Starke, In.., 979, 62).

4. Kewajiban negara pantai untuk melakukan pembayaran atau sumbangan.

Page 25: Landas Kontinen

Perbedaan lebar landas kontinen telah menimbulkan perbedaan dalam hak dan kewajiban negara pantai yang mempunyai lebar landas kontinen 200 mil dan di luar 200 mil. Perbedaannya nampak jelas berkaitan dengan kegiatan ekspoitasi kekayaan alam non hayati di landas kontinen. Mengenai hal ini dalam pasal 82 KHL 1982 menyatakan, bahwa bagi negara pantai yang mempunyai lebar landas kontinen di luar 200 mil dibebani kewajiban- kewajiban sebagai berikut :

1. Negara pantai harus melakukan pembayaran atau sumbangan berupa barang bertalian dengan eksploitasi sumber kekayaan alam non hayati landas kontinen di luar 200 mil laut dihitung dari garis pangkal untuk mengukur luas laut teritorial;

2. Pembayaran dan sumbangan tersebut harus dibuat secara tahunan berkenaan semua produksi pada suatu tempat setelah produksi lima tahun pertama pada tempat itu. Untuk tahun keenam tarif pembayaran atau sumbangan adalah 1 % dari nilai atau jumlah produksi di tempat itu. Tarif tersebut harus naik dengan 1 % hingga tahun ke duabelas dan akan tetap pada 7 % setelah itu. Produksi tidak mencakup sumber yang digunakan bertalian dengan kegiatan eksploitasi;

3. Suatu negara yang berkembang yang merupakan pengimport netto suatu sumber mineral yang dihasilkan dari landas kontinennya dibebaskan dari keharusan melakukan pembayaran atau sumbangan yang bertalian dengan sumber mineral tersebu;

4. Pembayaran atau sumbangan itu harus dibuat melalui Otorita yang harus membagikannya kepada negara peserta pada konvensi ini atas dasar urukuran pembagian yang adil, dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan negara-negara berkembang, terutama yang paling terkebelakang dan yang tidak berpantai di antaranya.

Pembayaran atau sumbangan melalui otorita yang disebut pada bagian 4, adalah otorita Dasar Laut Internasional yang berkedudukan di Yamaica. Perlu dijelaskan kewajiban pembayaran sumbangan hanya dibebankan pada kegiatan eksploitasi di luar 200 mil landas kontinen dan hanya berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan mineral.

Pembayaran atau sumbangan ini pada hakekatnya merupakan kompromi antara negara-negara yang berusaha untuk menambah luas dasar laut yang merupakan warisan bersama ummat manusia (“common heritage of mankind”) dan negara-negara yang berusaha untuk menambah luas dasar laut untuk memperoleh hak-hak eksklusif mereka atas landas kontinen sampai ke tepian kontinen. Kompromi ini akhirnya melahirkan kewajiban-kewajiban tersebut diatas bagi negara yang melakukan kegiatan eksploitasi di landas kontinen di luar 200 mil. Memperhatikan kewajiban-kewajiban negara pantai tersebut, jelaslah Konvensi Hukum Laut 1982 ini dijiwai oleh azas : “laut adalah sebagai warisan bersama ummat manusia” (“common heritage of mankind”), sebab negara-negara tidak berpantai (“land locked states”) dan atau negara-negara yang secara geografis tidak beruntung (“geographically disovantages states” = GDS) dapat menikmati hasil dari eksploitasi landas kontinen dari kegiatan di luar 200 mil.

5. Kewajiban untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut.

Page 26: Landas Kontinen

Pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kegiatan di landas kontinen dapat terjadi dengan berbagai cara seperti kebocoran yang berasal dari pipa, pipa saluran dari dan ke pantai dan tabrakan antara kapal-kapal dan instalasi-instalasi pengeboran di landas kontinen akibat tidak adanya atau kurangnya tanda penerangan pada instalasi-instalasi tersebut (Komar, Ganti Rugi .., 1981).

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan tunduk kepada ketentuan pasal 194 ayat (3.c) UNCLOS 1982, untuk menanggulangi dan melestarikan lingkungan laut yang disebabkan oleh kegiatan di landas kontinen, negara pantai berkewajiban mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi sejauh mungkin terjadinya pencemaran lingkungan laut yang berasal dari instalasi-instalasi dan peralatan yang dipergunakan dalam kegiatan di landas kontinen. Dalam hal ini khususnya mencegah terjadinya kecelakaan dan yang bertalian dengan keadaan darurat, serta mangatur desain konstruksi, peralatan, operasi dan tata awak instalasi-instalasi atau peralatan yang dimaksud.

Pasal 194 ayat (4) UNCLOS 1982 mengatur sebagai berikut :

“ Dalam mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah, mengurangi atau mengendalikan pencemaran lingkungan laut negara-negara harus menjauhkan diri dari campur tangan yang tidak beralasan ke dalam kegiatan negara lain dalam melaksanakan hak-hak mereka dan melakukan kewajiban-kewajiban mereka sesuai dengan Konvensi”.

Ketentuan ini menuntut negara pantai melaksanakan kewajiban untuk mencegah dan mengatasi pencemaran lingkungan laut, negara harus bekerjasama dengan negara lain terutama dalam hal ini dengan negara tetangga. Meskipun negara-negara diwajibkan untuk menjamin agar pencemaran laut yang timbul akibat kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yuridiksi mereka tidak menyebar melampaui yuridiksi mereka, mengingat sifat laut yang mudah bergerak, masalah pencemaran lingkungan laut selain dapat menimbulkan masalah nasional, juga dapat menimbulkan masalah internasional. Karena menurut sifat dan hakekatnya laut adalah satu dan tidak mengenal batas-batas buatan manusia.

Pasal 208, UNCLOS 1982, negara pantai berkewajiban untuk menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengembalikan pencemaran lingkungan laut sehubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen. Peraturan perundang-undangan ini harus sesuai dengan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan hukum Internasional

B. Hak dan kewajiban negara lain di landas kontinen.

1. Kebebasan berlayar dan penerbangan

Dalam melaksanakan hak-hak eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen negara pantai tetap menjamin hak negara lain dalam melakukan pelayaran dan penerbangan di perairan diatas landas kontinen dan udara diatasnya. Dalam hal ini tanpa suatu alasan yang jelas negara pantai tidak boleh menghalang-halangi pelayaran dan penerbangan yang dilakukan oleh kapal atau pesawat asing tersebut. Maka untuk kepentingan pelayaran dan penerbangan ini negara asing berkewajiban untuk mentaati peraturan-peraturan yang dibuat negara pantai tersebut. Apabila

Page 27: Landas Kontinen

kapal asing melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut, negara pantai dapat melakukan penangkapan dan pengejaran seketika terhadap kapal-kapal asing tersebut, dan apabila tertangkap kapal tersebut di bawa ke salah satu pelabuhan negara pantai untuk diadili. Pengejaran akan berhenti apabila kapal asing tersebut memasuki laut nasionalnya atau perairan nasional negara ketiga. (pasal 87 dan pasal 111 UNCLOS 1982).

2. Kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut.

Dengan tunduk pada ketentuan pasal 79, negara pantai dalam menjalankan hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di landas kontinen wajib untuk menghormati hak-hak negara lain untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut di landas kontinen. Dalam pemasangan kabel dan pipa bawah laut, negara lain berkewajiban mematuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan negara pantai, seperti penentuan jalannya pipa harus mendapat persetujuan negara pantai. Dan dalam pemasangan kabel dan pipa bawah laut ini harus memperhatikan sebagaimana mestinya kabel-kabel atau pipa-pipa yang sudah ada, agar kemungkinan untuk perbaikan kabel-kabel dan pipa yang sudah ada tidak boleh dirugikan (pasal 79 ayat 5).

3. Hak untuk menangkap ikan.

Dengan diterimanya konsepsi landas kontinen dalam konperensi Hukum Laut PBB III, maka kebebasan penangkapan ikan di perairan diatas landas kontinen sejauh 200 mil pengaturannya tunduk pada rejim hukum zona ekonomi eksklusif. Negara lain dapat melakukan penangkapan ikan di perairan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara negara pantai dengan negara lain tersebut. Berbeda dengan perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil, perairan ini merupakan perairan laut lepas oleh karena itu pengaturannya tunduk pada rejim hukum laut lepas. Sesuai dengan status perairan itu sebagai laut lepas, maka semua negara bebas untuk melakukan penangkapan ikan sesuai dengan ketentuan konvensi (pasal 87 UNCLOS 1982).

4. Kebebasan melakukan riset ilmiah.

Penyelenggaraan hak negara lain untuk melakukan riset ilmiah kelautan di landas kontinen hanya dapat diselenggarakan dengan seijin negara pantai (pasal 246 ayat 1 dan 2). Pemberian ijin yang diberikan kepada negara lain untuk melakukan riset ilmiah di landas kontinen apabila riset ilmiah tersebut semata-mata untuk tujuan damai dan menambah pengetahuan ilmiah tentang kelautan demi kepentingan ummat manusia. Dalam rangka penyelenggaraan riset ilmiah ini negara pantai secepatnya menentukan ketentuan dan prosedur guna menjamin agar persetujuan-persetujuan riset tersebut tidak diundurkan atau tidak ditolak tanpa alasan yang cukup (pasal 246 ayat 3 UNCLOS 1982).

Masalah penting lainnya dalam pemberian ijin kepada negara lain untuk melakukan riset ilmiah kelautan, yaitu :

a. Tidak mempunyai arti langsung bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terhadap kekayaan alamnya;

Page 28: Landas Kontinen

b. Tidak menggunakan bahan peledak atau bahan yang berbahaya ke dalam lingkungan laut;

c. Tidak meliputi konstruksi, operasi atau pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen;

d. Harus mengandung informasi yang tepat yang disampaikan kepada negara pantai mengenai sifat dan tujuan proyek.

Selain persyaratan-persyaratan tersebut, kepada negara lain pihak penyelenggara riset kelautan dituntut untuk melakukan kewajiban-kewajiban seperti :

a. Kewajiban memberikan informasi kepada negara pantai mengenai sifat dan tujuan proyek, penentuan wilayah tempat dilaksanakan riset, metoda dan cara yang digunakan, tanggal pemunculan pertama dan keberangkatan terakhir, peralatan yang digunakan serta nama lembaga sponsor, direkturnya dan orang-orang yang bertanggung jawab. (pasal 248 UNCLOS 1982 )

b. Kewajiban-kewajiban untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yaitu :

- Menjamin hak negara pantai untuk berperan serta manakala negara pantai menghendakinya

- Memberikan laporan sementara atas permintaan negara pantai, dan juga laporan akhir serta kesimpulan setelah penyelesaian riset tersebut

- Memberitahu kepada negara pantai atas setiap perubahan utama dalam program riset

- Memberikan suatu penilaian, contoh dan hasil-hasil dan membantu memberikan penilaian serta interpretasinya

- Menjamin bahwa hasil penelitian dapat diperoleh secara internasional.

- Terkecuali apabila disepakati lain, supaya negara penyelenggara memindahkan peralatan riset.

c. Kewajiban lain yang dibebankan kepada pihak penyelenggara adalah memberikan ganti rugi terhadap kerusakan-kerusakan akibat penyelenggaraan riset. (pasal 253).

Kesimpulan dan Saran

1. Negara pantai tidak berkedaulatan penuh atas landas kontinennya. Negara mempunyai hak berdaulat secara eksklusive atas landas kontinennya, yakni hak untuk mengadakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen;

2. Sebagai Negara pantai, Indonesia dalam pengelolaan SDA dilandas kontinen, belum maksimal untuk memanfaatkanya;

3. Terwujudnya prinsip laut sebagai “heritage of mankind”, yaitu dengan adanya kewajiban untuk memberikan sumbangan bagi kegiatan di landas kontinen di luar 200 mil kepada negara-

Page 29: Landas Kontinen

negara yang tidak berpantai atau secara geografis pantainya tidak beruntung terutama negara-negara yang sedang berkembang atau terkebelakang yang diberikan melalui panitia dasar laut.

Rekomendasi terhadap pengelolaan SDA dilandas konten, Indonesia harus lebih memaksimalkan wilyah tata kelola dan pemanfaatannya dilandas kontinen demi kesejahteraan rakyat dan harus sinergi dengan kemampuan dan kapasitas yang dipunyai SDM dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan.